BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masa remaja merupakan salah satu tahapan krusial dalam rentang perkembangan manusia. Masa remaja merupakan masa di mana terjadi perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosional secara cepat pada manusia (Santrock, 2003). Perubahan-perubahan dalam diri remaja tersebut seringkali menyebabkan banyak permasalahan psikologis yang dihadapi remaja. Menurut Erickson, masa remaja berada pada tahap identity versus identity confusion, yaitu tahap di mana remaja mencari identitas dan jati diri mereka. Tahap ini sering disebut dengan tahapan psychological moratorium, yaitu tahapan krusial antara masa anak-anak dan masa dewasa. Remaja yang berhasil melewati tahap ini dengan baik akan mampu menemukan jati diri mereka, sebaliknya remaja yang gagal pada tahap ini akan mengalami fase kehilangan identitas(Santrock, 2011). Pada masa remaja, individu juga akan berhadapan dengan berbagai masalah dan tekanan sosial setiap harinya (Willis, 20015). Remaja rentan menghadapi permasalahan, baik permasalahan di sekolah/ kampus, di rumah, permasalahan dengan teman, dan tekanan-tekanan dari media sosial. Menurut Chaplin, Batos, dan Lowrey (2010), berbagai permasalahan pada masa remaja dapat diatasi jika remaja tersebut memiliki kesejahteraan psikologis/ pyshocogical well-being. kesejahteraan psikologis dapat membantu menanggulangi permasalah yang mungkin dialami remaja karena psychological well-beingmenjadi 1 stimulus penting kesehatan mental. Psychological well-beingmerupakan kebahagiaan yang berkaitan dengan kepuasan hidup, penerimaan diri secara utuh, otonomi, dan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1989). Menurut Bradburn, psychological well-being merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai manusia (Ryff, 1989). Diener menambahkan bahwa psychological well-being merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh remaja (Argyle, 2000). Hal ini disebabkan karena remaja yang memiliki psychological well-being akan berhasil menanggulangi berbagai permasalahan dan tekanan yang dialami. Remaja yang memiliki psychological well-being akan mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Psychological well-being dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya usia, jenis kelamin, pendidikan, budaya, keadaan sosial ekonomi, kepribadian, dan keadaan fisik/ citra tubuh. Salah satu faktor psychological well-being yang terkait dengan permasalahan remaja adalah keadaan fisik/ citra tubuh. Permasalahan fisik ini merupakan salah satu permasalahan penting yang memperngaruhi pyshocological well-being pada remaja. Pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang signifikan. Hal ini membuat remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citra tubuh mereka (Hamburg, 1974; Wright, 1989). Salah satu dampak psikologis dari perubahan fisik pada saat remaja yaitu adanya perasaan cemas dengan tubuh mereka sehingga mereka akan membentuk body image mengenai kondisi tubuh mereka (Hendersin & Zuvuan, 1995; Richards, dll, 1990).Body image merupakan suatu sikap atau perasaan puas atau tidak puas yang dimiliki individu terhadap tubuhnya dan menghasilkan suatu penilaian yang positif atau negatif pada dirinya tersebut (Bell dan Rushfort,2008). Permasalahan fisik pada remaja awal biasanya berhubungan dengan masa pubertas, di mana terjadi perubahan fisik, biologis, dan hormon yang signfikan. Permasalahan fisik pada masa remaja tengah dan akhir berhubungan dengan ketidakpuasan individu terhadap bentuk dan 2 penampilan tubuhnya (Rini, 2004). Remaja akan lebih memperhatikan penampilan fisiknya dan menjadi gelisah akan tubuhnya yang berubah. Seringkali para remaja merasa tidak puas dengan penampilan dirinya dan sulit untuk menerima dirinya sendiri. Pada masa ini remaja sering mengalami gangguan psikologis yang disebabkan oleh ketidak puasan terhadap penampilan tubuhnya, sebaliknya, remaja yang akan memiliki kesejahteraan psikologis saat merasa puas dengan penampilan tubuhnya (Mighwar, 2006). Perbedaan gender menandai perbedaan persepsi remaja mengenai tubuh mereka. Pada umumnya remaja putri merasa kurang puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki citra tubuh yang lebih negatif dibandingkan dengan remaja putra (Brooks-Gunn & Paikoff, 1993). Penelitian yang dilakukan Charles dan Kerr menemukan bahwa kebanyakan wanita tidak puas dengan tubuhnya(Grogan, 2008). Menurut Jones (2004), remaja putri lebih banyak mengembangkan body image yang negatif dibandingkan remaja putra. Sebagian besar remaja putri memberi perhatian terhadap penampilan fisiknya. Mereka akan merasa gundah, sedih atau stress kalau penampilannya menimbulkan kesan tidak baik bagi orang lain, termasuk lawan jenisnya. Akibatnya, hal ini membuat individu menjadi kecewa dengan dirinya (Dariyo, 2004 dan Husna , 2013). Sebuah penelitian di Kanada yang dilakukan oleh Boyce (2008) menemukan bahwa 36%50%remaja di masa sekolah tidak puas dengan ukuran tubuh mereka. Berdasarkan World Health Organization (WHO) (2013), individu yang tidak puas pada tubuhnya akan mengubah bentuk tubuh mereka dan merawat tubuh mereka agar terlihat lebih menarik dan sesuai dengan yang mereka inginkan. Kebanyakan wanita yang tidak puas akan tubuhnya akan mengubah tubuh mereka menjadi seperti yang mereka inginkan. Mereka akan mengubah bentuk wajah, tubuh, warna kulit, warna rambut, dan sebagainya. Tekanan, harapan, ajakan dari media sosial, dan 3 lingkungan sosial akan mempengaruhi para remaja untuk percaya bahwa mereka harus menjadi seperti yang diinginkan sosialnya, bukan seperti diri mereka yang apa adanya. Pada masa remaja, citradirisecara penampilan fisikdan harga dirimenjadipentinguntukmembentuk keseluruhanpada remaja. Perubahan fisikdanperubahan emosionalinidapat berdampakkritis padaharga diridan mengembangkankeseluruhanperilakupada remaja (Gupta & Charulata, 2011). Hurlock (1999) menyatakan bahwa di masa remaja, seringkali remaja menganggap penting penilaian orang lain akan dirinya. Anggapan itu membuat remaja akan membentuk citra diri/ body image berdasarkan penilaian orang lain. Hal ini berhubungan dengan aspek otonomi pada psychological well-being, di mana individu yang memiliki otonomi akan menilai dirinya bukan berdasarkan evaluasi orang lain, namun berdasarkan evaluasi personal tentang dirinya. Penelitian yang dilakukan Blower dkk (2000) mengestimasikan bahwa sekitar 40% remaja putri di Australia merasa tidak puas pada bentuk tubuh mereka. Remaja yang tidak puas dengan tubuh mereka cenderung kurang bisa menerima diri mereka apa adanya. Persepsi terhadap body image tersebut berkorelasi dengan self esteem, self satisfaction, dan self evaluation. Sejalan dengan hal tersebut, Jung dan Lee (2006) melakukan penelitian dan hasilnya adalah remaja putri di Korea dan Amerika yang memiliki body image yang negatif akan mempunyai self esteem yang rendah, self evaluation yang buruk, dan rendahnya kepuasan terhadap dirinya. Hal ini berhubungan dengan aspek penerimaan diri pada psychological wellbeing, di mana individu yang memiliki penerimaan diri biasanya memiliki evaluasi positif dan kepuasan diri. 4 Perubahan fisik yang dialami oleh seorang wanita bisa mempengaruhi hubungan sosialnya dengan orang lain. Sebagian wanita ingin menghindari situasi atau orang tertentu karena merasa begitu rendah diri atau malu. Semua perubahan ini seringkali membuat seorang wanita merasa tidak yakin terhadap diri sendiri karena merasa gemuk. Wanita juga akan merasa malu, seakan semua orang di dunia memperhatikan ketidaksempurnaanya (Dariyo, 2004 dan Husna, 2013).Ketidakpuasan terhadap body image dapat membuat hubungan individu dengan orang lain menjadi terganggu. Individu dengan body image yang negatif menjadi tertekan, merasa rendah diri, kurang percaya diri saat berhubungan dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan aspek hubungan positif dengan orang lain yang ada pada psychological well-being(Tylka, 2011). Individu yang memiliki kepercayaan diri akan mudah membangun hubungan positif dengan orang lain. Telah banyak ahli meneliti hubungan antara body image dengan kecemasan dan depresi. Kecemasan dan depresi ini berkaitan dengan kesehatan mental, khususnya psychological wellbeing. Remaja yang memiliki body image yang negatif cenderung merasa tidak puas terhadap dirinya, cemas akan bentuk tubuhnya, penurunan nafsu makan, merasa rendah diri, tidak percaya diri, hingga mengalami kecemasan dan depresi. Gangguan body image tersebut dapat menyebabkan tidak adanya kebahagiaan. Remaja yang memiliki body image yang positif cenderung akan merasa puas dengan keadaan dirinya, mampu menerima dirinya dengan baik, mempunyai kepercayaan diri dan self esteem yang baik (Thompson dan Stice, 2001). Selain itu Dotse dan Asumeng (2014) meneliti bahwa terdapat hubungan positif antara body image satisfaction dengan psychological well being. Berdasarkan uraian dan data-data di atas, telah banyak peneliti yang meneliti hubungan body image dengan kecemasan, depresi, self-esteem, self satisfaction, dan self evaluation. 5 Penelitian-penelitian tentang body image tersebut berkaitan dengan aspek-aspek yang ada pada psychological well-being individu, namun masih sedikit peneliti yang meneliti hubungan body image dengan psychological well-being, yang merupakan penentu penting dalam kesehatan mental individu. Berdasarkan hal itu, peneliti tertarik untuk melakukan studi tentang hubungan antara body image dengan psychological well-being pada remaja putri. Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan antara body image dengan psychological well-being pada remaja putri? Tujuan Penelitian 1. Mengetahui secara empiris hubungan antara body image dengan psychological well-being pada remaja putri. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis penelitianini adalah untuk memberikan sumbangan pengetahuan dalam ilmu psikologi klinis dan perkembangan, khusunya yang berkaitan dengan body image dan psychological well-being. 2. Manfaat praktis 6 Manfaat penelitian ini tergantung dari hasil penelitian. Jika hipotesis penelitian ini teruji, maka terdapat hubungan antara body image dengan psychological well-being pada remaja putri. Jika hipotesis penelitian ini tidak teruji, maka tidak terdapat hubungan antara body image dengan psychological well-being pada remaja putri 7