BAB II Kajian Pustaka 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan

advertisement
BAB II
Kajian Pustaka
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori
keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota
perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (principal) dengan manajemen
(agent). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai
sebuah kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang
lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson et al
(1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan persetujuan
antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk bertindak atas nama pihak
lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan mendelegasikan tanggungjawab kepada
manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang
yang diberikan pemilik.
Principal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai rasio
ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak,
agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal ini
disebabkan
agent
juga
memiliki
kepentingan
untuk
memaksimalkan
kesejahteraannya. Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan
12
keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi hasil
sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen untuk
berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan
harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen
(Faozi, 2002).
Hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah jika terdapat
informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (2000) menyatakan apabila
beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis lebih memiliki informasi daripada
pihak lainnya, maka kondisi tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri
informasi dapat berupa informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara
agen dan prinsipal, serta tidak mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara
langsung usaha yang dilakukan oleh agen. Hal ini menyebabkan agen
cenderungmelakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour).Salah
satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen adalah pemanipulasian data dalam
laporan keuangan agar sesuai dengan harapan prinsipal meskipun laporan tersebut
tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
2.1.2 Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan timbal balik secara
13
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Dari definisi pajak tersebut, dapat disimpulkan pajak memiliki unsur-unsur:
1) Iuran dari rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak adalah negara.Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2) Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3) Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayarannya pajak tidak dapat ditunjuk adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
2.1.3 Wajib Pajak Badan
Mengenai pajak penghasilan badan tentunya tidak terlepas dri gambaran
mengenai wajb pajak badan. Menurut UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
penghasilan, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wajib pajak badan yaitu yang
memenuhi kriterian berikut ini:
1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) Pembiayaanya bersumber dari APBN atau APBD;
3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah; dan
14
atau
4) Pembentukannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Pajak penghasilan badan (PPh Badan) merupakan suatu pajak penghasilan
yang terutang oleh badan, yang diperoleh dari pengenaan tarif pajak atas laba kena
pajak suatu badan dan wajib disetor kepada negara pada periode waktu yang telah
ditentukan sebagai wujud kewajiban suatu wajib pajak. Penghasilan kena pajak
(PKP) bagi wajib pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung
dengan mennggunakan norma perhitungan penghasilan neto untuk menentukan
penghasilan neto badan.
Pajak pengasilan didefinisikan sebagai suatu pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Salah satu subjek pajak adalah beban, terdiri dari perseroan terbatas, persesoan
komanditer, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD)
denga nama dan dalam bentuk apapun persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi,
koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, lembaga dana pension dan bentuk badan
usaha lainnya. Dengan demikian, pajak penghasilan badan yang dikenakan terhadap
salah satu bentuk usaha tersebut, atas penghasilan yang diterma atau diperoleh dalam
satu tahun pajak (Soebakir, dkk, 1999).
2.1.4 Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Badan
Indonesia telah mengalami bebrapa perubahan pemberlakuan tarif pajak, salah
satunya adalah tarif pajak penghasilan. Perubahan tarif pajak penghasilan terbaru
tercantum dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentan Pajak Penghasilan sebaga perubahan
15
keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 dan dipertegas dengan Peraturan Menteri
Keuangan PMK-238/PMK.03/2008.
Pada PMK-238/PMK.03/2008 terdapat beberapa aturan mengenai penurunan
tarif pajak. Aturan tersebut di antaranya:
1) Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dapat
memperoleh potongan tarif PPh sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif
tertinggi PPh WP Badan dalam negeri ebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b Undang-Undang PPh.
2) Penurunan tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud diatas diberikan
kepada wajib pajak apabila jumlah kepemilikan saham publiknya 40% dan atau
lebih dari keseluruhan saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki paling
sedikit
oleh
300
pihak
dan
peredaran
bruto
sampai
dengan
Rp.
50.000.000.000,00 (lima puluh miliyar rupiah).
3) Masing-masing pihak sebagaimana dimaksud diatas hanya noleh memiliki saham
kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor.
4) Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas harus dipenuhi oleh wajib pajak badan
dalam waktu paling singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak.
5) Waku enam bulan sebagaimana dimaksud diatas adalah 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari.
16
Tabel 2.1
Perbedaan tarif UU PPh 1983, 1994, 2000 dan 2008
Untuk Wajib Pajak Badan
UU No.7/1983
UU No.10/1994
UU No.17/2000
UU No.36/2008
PKP dan Tarif
PKP dan Tarif
PKP dan Tarif
PKP dan Tarif
PKP s/d
10.000.000 = 15%
PKP diatas
10.000.000 s/d
50.000.000 = 25%
PKP s/d
25.000.000 = 10%
PKP diatas
25.000.000 s/d
50.000.000 = 15%
PKP s/d
50.000.000 = 10%
PKP diatas
50.000.000 s/d
100.000.000 =
15%
Tarif WP (Wajib
Pajak) Badan &
Bentuk
Usaha
Tetap
(BUT)
adalah
28%
(ditetapkan pada
tahun 2009), dan
25% (diefektifkan
pada tahun 2010),
dan bisa turun
sebesar 5% untuk
WP
berbentuk
perseroan terbuka
yang
paling
sedikit 40% dari
jumlah
keseluruhan
saham
yang
disetor,
diperdagangkan di
BEI dan/atau lebih
dari keseluruhan
saham
tersebut
dimiliki
paling
sedikit 300 pihak
PKP diatas
PKP
diatas PKP diatas
17
50.000.000 = 35%
50.000.000 = 30%
100.000.000 =
30%
Sumber : UU Perpajakan, PMK Tahun 2008 (ww.pajak.go.id)
2.1.5 Insentif Pajak
Insentif pajak adalah suatu bentuk fasilitas perpajakan dari pemerintah kepada
wajib pajak tertentu berupa penurunan tarif pajak untuk dapat memperkecil besarnya
beban pajak yang wajib dibayar. Menurut Barry (2002) terdapat empat jenis insentif
pajak yaitu: pengecualian dari pengenaan pajak, pengurangan dasar pengenaan pajak,
penurunan tarif pajak, penangguhan pajak. Insentif pajak mampu memotivasi
perusahaan untuk melakukan manajemen laba sebagai bentuk penghematan pajak,
sehingga dapat disebut sebagai manajemen pajak.
Menurut Sopar Lombantoruan (1999) manajemen pajak adalah sarana untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetap jumlah pajak yang dibayar akan
dapat ditekan serendah mungkn untuk memperoleh laba dan likuiditas yang
diharapkan. Menurut Suandy (2003), manajemen pajak dapat dilakaukan dengan
langkah-langkah sebgai berikut:
1) Perencanaan Pajak (tax planning)
Tax planning merupakan proses pengorganisasian dan pengaturan suatu usaha
dengan tujuan agar pajak yang dibayarkan lebh hemat yang dilakukan secara
18
legal dengan berlandaskan undang-undang dan peraturan perpajakan yang
berlaku.
2) Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (tax implementation)
Perusahaan melaksanakan kewajiban perpajakan yang harus sesuai dengan
regulasi perpajakan.
3) Pengendalian Pajak (tax controlling)
Pengendalian pajak berfungsi untuk memastikan bahwa manajemen laba yang
dilakukan sudah sesuai dengan peraturan perpajakn dan pembayaran pajak sesuai
dengan yang sudah ditetapkan.
Sedangkan menurut Mohammad Zain (2008) perencanaan pajak merupakan
tindakan pentrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, untuk
mengendalikan setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah
untuk mengefisiensikan pajak yang akan dibayar ke pemerintah melalui apa yang
disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidace), bukan penyeludupan pajak (tax
evasion). Unduk mendapatkan pajak yang lebih kecil maka perusahaan tidak harus
melakukan
pelanggaran
terhadap
peraturan
perpajakan,
namun
melakukan
perencanaan pajak dengan memanfaatkan peraturan perpajakan yang dapat
menguntungkan perusahaan melalui aktivitas perusahaan.
Dapat juga dijelaskan secara singkat bahwa manajemen pajak adalah suatu
upaya manajemen dalam berperan melakukan penghematan pajak secara legal dengan
tetap memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan
19
proksi tax planning karena proses dari penghematan pajak terutang berfokus pada
perencanaan pajak itu sendiri.
2.1.6 Kebijakan Akrual (Discretionary Accrual)
Akuntansi terdapat basis akrual (accrual basis) dan basis kas (cash basis).
Basis akrual mengakui penghasilan (revenue) pada saat diperoleh dan mengakui
beban yang terkait dengan penghasilan tersebut pada periode yang sama, tanpa
memperhatikan saat penerimaan kas dari penghasilan yang bersangkutan. Dengan
dasar akrual, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian dan
dicatat dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada
periode yang bersangkutan. Sedangkan basis kas mengakui penghasilan dan beban
atas dasar kas tunai yang diterima.
Konsep akrual memenuhi konsep dasar akuntansi yaitu matching of cost with
revenue (membandingkan penghasilan dengan beban/biaya). Menurut konsep ini,
pengakuan beban atau pendapatan harus diakui sesuai dengan hak yang diukur dalam
satu periode akuntansi tanpa mempertimbangkan adanya penerimaan kas tunai.
Dengan demikian, aktiva, kewajiban, ekuiti, penghasilan dan beban diakui pada saat
kejadian, bukan pada saat kas atau setara kas diterima dan dicatat sertadisajikan
dalam laporan keuangan pada periode terjadinya. Beban diakui dalam laporan laba
rugi atas dasar hubungan langsung antara biaya yang timbul dengan pos penghasilan
tertentu yang diperoleh. Dengan demikian, pengakuan pendapatan dan beban menurut
20
standar akuntansi yang diterima umum menggunakan konsep akrual, dan laba bersih
operasi yang didasarkan pada perhitungan akrual disebut laba akrual.
Konsep akrual ini memungkinkan dilakukannya rekayasa laba atau earning
management oleh manajer untuk menaikkan atau menurunkan angka akrual dalam
laporan laba rugi (Hidayati dan Zulaikha, 2003). Perekayasaan laba juga dapat
dilakukan dengan mendistorsi laba dengan cara menggeser periode pengakuan biaya
dan pendapatan.
Konsep akrual terdiri atas akrual diskresioner (discretionary accrual) dan
akrual nondiskresioner (nondiscretionary accrual). Discretionary accrual adalah
pengakuan laba akrual atau beban yang bebas, tidak diatur, dan merupakan pilihan
kebijakan manajemen, sedangkan nondiscretionary accrual adalah pengakuan laba
akrual yang wajar, tidak dipengaruhi kebijakan manajemen, serta tunduk pada suatu
standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan jika standar tersebut dilanggar
akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan (Hidayati dan Zulaikha, 2003).
2.1.7 Kepemilikan Manajerial
Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar
dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika
kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya
perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap
saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan
antara pemegang saham luar dengan manajemen (Jansen dan Meckling, 1976).
21
Sehingga permasalahan keagenen diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer
adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham
oleh pihak manajemen (kepemilikan manajerial) cenderung mempengaruhi tindakan
manajemen laba (Boediono, 2005). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
praktek manajemen laba dapat diminimumkan dengan menyelaraskan perbedaan
kepentingan antara pemilik dan manajemen dengan cara memperbesar kepemilikan
saham perusahaan oleh manajemen (managerial ownership). Warfield et al (2003)
menyatakan adanya kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan manajer
untuk melakukan tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan
keadaan ekonomi yang sebenarnya dari perusahaan tersebut.
2.1.8 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor pendorong praktek
manajemen laba. Menurut Budhijono (2006) semakin besar perusahaan maka akan
mendapat perhatian dari banyak pihak terutama pemerintah dan masyarakat. Adanya
perhatian dari banyak pihak ini menyebabkan perusahaan tidak ingin memperlihatkan
labanya yang berfluktuasi, sehingga praktek manajemen laba dilakukan. Perhatian
dari pemerintah dan masyarakat akan mempengaruhi pandangan dari investor pula.
Juniarti dan Corolina (2005) juga menyebutkan bahwa perusahaan besar diperkirakan
akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab kenaikan laba yang drastis
22
akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya penurunan laba yang drastis
akan memberikan kesan yang kurang baik.
Laba yang berfluktuasi akan dinilai sebagai perusahaan yang mempunyai
kinerja kurang optimal dan penilaian pemerintah serta masyarakat tersebut akan
merugikan perusahaan itu sendiri. Investor juga tentu akan menilai pandangan dari
masyarakat dan pemerintah yang buruk akan menghambat jalannya operasional
perusahaan. Sehingga memunculkan asumsi bahwa semakin besar perusahaan makin
terindikasi perusahaan melakukan manajemen laba (Ratnasari, 2012).
2.1.9 Manajemen Laba
Scott (2003:369) mendefinisikan manajemen laba sebagai pemilihan kebijakan
akuntansi oleh manajemen untuk mencapai tujuan khusus. Manajemen laba
merupakan suatu proses yang disengaja, menurut batasan standar akuntansi keuangan
untuk mengarahkan pelaporan laba pada tingkat tertentu. Cornett (2006)
menyimpulkan bahwa manajer memanipulasi laba untuk memperoleh tambahan
pendapatan bonus. Healy dan Wahlen (1999) berpendapat bahwa manajemen laba
terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan
keuangan, dan menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan
untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan, atau untuk
mempengaruhi contractual outcomes yang tergantung pada angka-angka akuntansi
yang dilaporkan.
23
Motivasi utama manajemen untuk melakukan manajemen laba, yaitu mendorong
investor untuk membeli saham dari perusahaan tersebut serta meningkatkan nilai
pasar perusahaan (Sekarmayang, 2001). Sedangkan menurut Sari (2005) manajemen
melakukan manajemen laba untuk meningkatkan bonus dan meningkatkan nilai pasar
perusahaan. Cara pemahaman atas manajemen laba dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan
utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political
cost.
2) Memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting, dimana
manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri
mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Scott (2003:383) menyebutkan bahwa pola manajemen laba dapat dilakukan
dengan cara :
1) Taking a bath,
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi, dimana manajemen harus melaporkan
kerugian dalam jumlah besar agar dapat meningkatkan laba dimasa yang akan
datang.
2) Income minimization,
Perusahaan yang tingkat profitabilitasnya tinggi akan melakukan pola ini,
sehingga apabila laba pada periode mendatang diperkirakan akan turun drastis,
maka dapat diatasi dengan mengambil laba dari periode sebelumnya.
24
3) Income maximization,
Pola ini dilakukan pada saat laba perusahaan mengalami penurunan. Perusahaan
yang melaporkan net income yang tinggi berharap akan memperoleh bonus yang
lebih besar.
4) Income smoothing.
Pola ini dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan dengan tujuan
untuk pelaporan eksternal, terutama bagi investor, kerena investor lebih
menyukai laba yang relatif stabil.
2.1.10 Faktor-faktor Pendorong Manajemen Laba
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positve Accounting Theory
(PAT). PAT menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen dalam
memilih prosedur akuntansi yang optimal dan mempunyai tujuan tertentu. Menurut
PAT, prosedur akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan
yang lainnya, namun perusahaan di beri kebebasan untuk memilih salah satu
alternative prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan
memaksimalkan nilai perusahaan. Scott (2006) menjelaskan bahwa dengan adanya
kebebasan tersebut, manajer memiliki kecenderungan melakukan suatu tindakan yang
menurut PAT dinamakan sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior).
Tindakan oportunis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh peusahaan dalam
25
memilih kebijakan akuntansi yang menguntukan dan memaksimalkan kepuasan
perusahaan.
Tiga hipotesis PAT yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan
manajemen laba yang dirumuskan oleh Watts dan Zimmerman (1986) dalam
Sulistyanto (2008), yaitu :
1. Bonus Plan Hypothesis
Bonus plan hypothesis menyatakan bahwa manajer akan cenderung memilih
dan menggunakan metode-metode akuntansi yang akan memuat laba yang
dilaporkannya menjadi lebih tinggi. Konsep ini membahas bahwa bonus yang
dijanjikan pemilik kepada manajer perusahaan tidak hanya memotivasi
manajer untuk bekerja dengan lebih baik, tetapi juga memotvasi manajer
untuk melakukan kecurangan manajerial. Agar selalu bisa mencapai tingkat
kinerja yang memberikan bonus, manajer mempermainkan besar kecilnya
angka-angka akuntansi dalam laporan keuangan sehingga bonus itu selalu
didapatnya setiap tahun.
2. Debt (Equity) Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin dekat suatu perusahaan kepada
waktu pelanggaran perjanjian utang, maka para manajer akan cenderung
untuk memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode
mendatang ke periode berjalan dengan harapan dapat
26
mengurangi
kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang. Pada
perusahaan yang mempunyai debt to equity tinggi, manajer perusahaan
cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan
pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan
mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kredtur,
bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.
3. Political Cost Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan dengan skala besar
dan industri strategi cenderung untuk menurunkan laba, dengan alasan
masalah pelanggaran regulasi pemerintah. Salah satu regulasi yang
dikeluarkan pemerntah berkaitan dengan dunia perpajakan. UU mengatur
jumlah pajak yang akan ditarik dari perusahaan berdasarkan laba yang
diperoleh perusahaan selama periode tertentu, dengan kata lain, besar kecilnya
pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar
kecilnya laba yang dicapai perusahaan. kondisi inilah yang merangsang
manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar
pajak yang harus dibayarkan menjadi tidak terlalu tinggi.
Scott (2000: 302) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba :
1)
Bonus Purposes
27
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan
laba saat ini (Healy, 1985).
2)
Political Motivations
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan
karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan
peraturan yang lebih ketat.
3)
Taxation Motivations
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metoda akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan
jumlah pajak pendapatan yang harus dibayarkan.
4)
Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka
akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5)
Initital Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan
manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam
prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
28
6)
Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa
perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
2.2 Pembahasan Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan Oktavia (2012) menguji tentang dampak perubahan
tarif pajak penghasilan badan terhadap perilaku manajemen laba. Peneliti
menggunakan 120 sampel dengan 2 tahun penelitian 2009-2010. Hasil penelitian
yang dilakukan Oktaviani (2012) menyatakan dalam rangka merespon perubahan tarif
pajak badan di Indonesia, perusahaan manufaktur yang memperoleh laba melakukan
praktek manajemen laba. Hal ini ditunjukan dari pengaruh signifikan variabel insentif
pajak yang diproksikan dengan perencanaan pajak, terhadap praktek manajemen laba.
H. Yamashita dan Otogawa Kazuhia (2007) menguji apakah perusahaan di
Jepang mengatur nilai buku penghasilan (book income) untuk menanggapi penurunan
tarif pajak perusahaan. Hasil penelitian ditemukan bukti empiris bahwa ada
pengurangan discretionary accrual untuk tahun sebelum penurunan tarif pajak. Ini
menunjukan perusahaan Jepang mengatur pendapatan akuntansi mereka untuk
meminimalkan biaya pajak.
Penelitian yang dilakukan Lindra (2014) menguji tentang pengaruh pajak
penghasilan dan asset perusahaan pada earning management. Penelitian ini dilakukan
29
pada perusahaan manufaktur dengan jumlah sampel 30 perusahaan dengan waktu
pengamatan 3tahun sehingga sample yang diteliti sebanyak 90. Hasil penelitian
menunjukan hasil bahwa pajak penghasilan tidak berpengaruh terhadap manajemen
laba. Temuan ini menunjukan bahwa peningkatan pajak penghasilan akan
menurunkan praktek manajemen laba, dikarenakan secara umum memiliki aturan
akuntansi tersendiri dalam menghitung pendapatan kena pajak. Sementara itu variabel
asset perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba, yang berarti jika ukuran
perusahaan meningkat, maka akan mengakibatkan peningkatan pada manajemen laba.
Mahariana (2014) meneliti tentang pengaruh kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional pada manajemen laba perusahaan manufaktur di bursa efek
Indonesia. Hasil penelitian menyatakan kepemilikan manajerial berpengaruh negative
pada manajemen laba. Hasil ini membuktikan adanya peningkatan kepemilikan
saham oleh manajer dalam perusahaan akan mampu untuk menciptakan kinerja
perusahaan secara optmal dan memotivasi manajer dalam bertindak agar lebih
berhati-hati, karena mereka ikut menanggung konsekuensi dari setiap tindakan yang
dilakukan.
Catherine (2013) yang menguji pengaruh good corporate governance
terhadap perataan laba dengan variabel dewan komisaris independen, komte audit
kualitas audi dan kepemilikan manajerial. Peneliti menggunakan total observasi
selama periode penelitian 2009-2010 sebanyak 60. Hasil penelitian menunjukan
dewan komisaris independen, komite audit dan kepemilikan manajerial tidak
30
berpengaruh terhadap perataan laba, sedangkan variabel kualitas audit berpengaruh
secara signifikan.
Tampubolon (2012) meneliti mengenai pengaruh leverange, free cash flow,
dan good corporate governance terhadap praktek perataan laba pada perusahaan
manufaktur sektor industri dasar dan kimia di Bursa Efek Indonesia. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah leverange, free cash flow,dewan komisaris
independen, komite audit, dan kepemilikan manajerial. Sampel penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia dari tahun 2007-2011. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan
metode purpossive sampling yang memperoleh 30 perusahaan manufaktur sektor
industri dasar dan kimia. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan
teknik regresi logistik. Hasil penelitian secara parsial menunjukkan bahwa leverage
dan komite audit berpengaruh terhadap praktek perataan laba dan free cash flow,
komisaris independen, kualitas audit, dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
terhadap praktek perataan laba.
Nasution dan Setiawan (2007) menguji tentang pengaruh coreporate governance
terhadap manajemen laba di industry perbankan Indonesia. Variabel yang diteliti
komposisi dewan komisaris, ukuran dewa komisaris, komite audit dan ukuran
perusahaan. Penggunakan tahun pengamatan 2000-2004 metode analisis regresi
berganda. Hasil dari penelitian menunjukan variabel komposisi dewa komisaris
beprngaruh negatif, ukuran dewa komisaris berpengaruh positif dan komite audit
31
berpengaruh sgnifikan terhadap manajemen laba, sedangkan variabel ukuran
perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Budiasih (2008) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi praktek
manajemen laba. Variabel yang diteliti ukuran perusahaan, probabilitas, financial
leverage, dan deviden POR. Penelitian yang dilakukan menggunakan 84 perusahaan
dengan waktu pengamatan 5 tahun maka diperoleh sebanyak 420 pengamatan. Hasil
penelitian menyatakan variabel ukuran perusahaan, probabiltas dan deviden POR
berpengaruh positif terhadap praktek manajemen laba. Hal ini membuktikan bahwa
semakin besar ukuran perusahaan, maka perusahaan tersebut akan melakukan praktek
manajemen laba guna menyajikan laporan keuangan yang baik untuk menarik
investor.
2.3 Rumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Praktek Manajemen Laba
Pada umumnya, perencanaan pajak merujuk kepada proses merekayasa usaha
transaksi wajib pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi
masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Jadi dengan melakukan perencanaan
pajak, perusahaan dapat memperkecil jumlah laba perusahaan untuk dapat
memperoleh keuntungan pajak tanpa melakukan pelanggaran terhadap UU
perpajakan yang berlaku. Yin dan Cheng (2004) menyatakan bahwa perusahaan yang
32
memiliki perencanaan pajak yang baik akan mendapatkan keuntungan dari tax shields
dan dapat meminimalisasi pembayaran pajak dengan mengurangi laba bersih
perusahaan guna mendapatkan keuntungan pajak.
Penelitian terkait dilakukan oleh Ulfa (2012) dalam penelitiannya menyatakan
perencanaan pajak memiliki pengaruh positif, semakin tinggi perencanaan pajak
maka semakin besar peluang perusahaan melalukan manajemen laba. Salah satu
perencanaan pajak adalah dengan cara mengatur seberapa besar laba yang dilaporkan,
sehingga masuk dalam indikasi adanya praktek manajemen laba. Anggreani (2013)
yang menyatakan perencanaan pajak berpengaruh signifikan terhadap manajemen
laba. Hal ini dikarenakan perencanaan pajak digunakan oleh perusahaan untuk
meminmalkan pembayanran pajak perusahaan sehingga perusahaan mendapat
keuntungan pajak. Hasil penelitian Wijaya dan Martini (2011) ditemukan bahwa
manajemen laba yang dilakukan oleh persahaan yang memperoleh laba dipengaruhi
oleh insentif pajak yaitu perencanaan pajak. Perusahaan akan menanggapi perubahan
tarif pajak dengan mengalokasikan laba tahun berjalan ketahun mendatang yang tarif
pajaknya lebih rendah. Berdasarkan paparan tersebut, dapat dikembangkan hipotesis
sebagai berikut:
H1= Perencanaan pajak berpengaruh positif terhadap praktek manajemen laba
2.3.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Praktek Manajemen Laba
Kepemilikan manajerial merupakan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen perusahaan, yang berarti pihak manajemen juga bertindak sebagai
33
pemegang saham atau perusahaan yang dkelolanya. Karena pihak manajemen juga
bertindak sebagai pemegang saham perusahaannya sendiri, maka dapat diperkirakan
manajer akan mengambil langkah yang sejalan dengan apa yang diinginkan sebagai
pemegang saham, yaitu ingin merasakan manfaat dari setiap keputusan yang diambil.
Kepemeilikan manajerial yang tinggi, dapat mempenharuhi tindakannya dalam
melaporan laba yang tinggi untuk mengejar kepentingan pribadinya.
Muid (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh
positif kepemilikan manajerial terhadap kualitas laba ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan dalam perusahaan maka manajemen
akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya.
H2= Kepemilikan manajeral berpengaruh positif terhadap praktek manajemen laba
2.3.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Praktek Manajemen Laba
Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor pendorong praktek
manajemen laba. Menurut Budhijono (2006) semakin besar perusahaan maka akan
mendapat perhatian dari banyak pihak terutama pemerintah dan masyarakat. Adanya
perhatian dari banyak pihak ini menyebabkan perusahaan tidak ingin memperlihatkan
labanya yang berfluktuasi, sehingga praktek manajemen laba dilakukan. Perhatian
dari pemerintah dan masyarakat akan mempengaruhi pandangan dari investor pula.
Juniarti dan Corolina (2005) juga menyebutkan bahwa perusahaan besar diperkirakan
akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab kenaikan laba yang drastis
34
akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya penurunan laba yang drastis
akan memberikan image yang kurang baik.
Ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan manajemen laba,
karena perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks
dibandingkan perusahaan kecil, sehingga lebih memungkinkan untuk melakukan
manajemen laba. Moses (1997) mengemukakan bahwa perusahaan - perusahaan
yang lebih besar memiliki dorongan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba
(salah satu bentuk manajemen laba) dibandingkan dengan perusahaan kecil, karena
memiliki biaya politik lebih besar. Biaya politik muncul dikarenkan profitabilitas
perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen.
H3= Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap praktek manajemen laba
35
Download