analisis pengukuran beban kerja subjektif(metode swat)

advertisement
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
ANALISA PENGARUH PERILAKU KONSUMEN DAN NILAI-NILAI KONSUMEN
TERHADAP STRATEGI PEMASARAN PRODUK PASTA GIGI PEPSODENT
MEDIUM DI AREA PEMASARAN SURABAYA
(Studi Kasus : Produk Pasta Gigi Pepsoden Medium Ukuran 75 gr Produksi PT. Unilever Indonesia, Rungkut
– Surabaya)
Oleh :
Sutrisno, Ir. Arman Hakim Nasution M.Eng, Ir. Lantip Trisunarno Msc
Rekayasa Kualitas
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Kampus ITS Keputih Sukolilo- Surabaya 60111
Email : Sutrisno @ yahoo.co.id
Abstrak
Pasar global dan persaingan usaha yang semakin kompetitif untuk dunia manufaktur membawa
dampak yang besar dalam hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya. Sebagai contoh, tuntutan
konsumen makin besar, mereka tidak lagi sekedar menginginkan produk atau jasa yang berkualitas
dengan harga murah tetapi juga sangat mengharapkan kecepatan penyampaian, fleksibilitas, dan layanan
pelanggan (customer service) yang unggul. Dalam membeli suatu produk, pelanggan selalu berupaya
memaksimalkan nilai (value) yang dirasakan di saat dia menghadapi berbagai macam pilihan produk,
merek, harga dan penjual. Konsumen akan memilih penawaran yang memberikan nilai (customer value)
tertinggi dengan cost yang rendah.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan antara perilaku konsumen
(customer behavior) dan nilai konsumen (customer value) terhadap penerapan strategi marketing yang
dilakukan oleh PT. Unilever Indonesia Tbk sehubungan dengan pemasaran produk pasta gigi Pepsodent
medium. Dari hasil pengolahan serta analisa data didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi berganda (R)
sebesar 0,715, menunjukkan adanya hubungan antara customer behavior dan customer value terhadap
strategi pemasaran. Untuk nilai koefisien determinan (R2) didapatkan sebesar 0,511. Hal ini menunjukkan
bahwa 50% strategi pemasaran dipengaruhi oleh faktor-faktor perilaku konsumen dan nilai konsumen.
Sedangkan sisanya, 50% dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar kedua variabel tersebut.
Dengan mengetahui tingginya keterkaitan hubungan customer behavior dan customer value
terhadap strategi pemasaran yang diterapkan, maka strategi pemasaran untuk selanjutnya yang paling
tepat adalah dengan strategi agresif. Ditunjang dengan kekuatan internal yang sangat baik, maka untuk
penerapan strategi agresif tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perkembangan pasar, penetrasi
pasar, pengembangan produk, serta diversifikasi produk.
Kata Kunci : customer behavior, customer value, strategi pemasaran
global dalam era perdagangan bebas, yaitu di pasar
yang semua berlangsung dengan cepat, boleh jadi
perusahaan akan tumbang dan posisinya akan
diambil alih oleh pesaingnya.
Pasar global dan persaingan usaha yang
semakin kompetitif tersebut membawa dampak yang
besar dalam hubungan antara perusahaan dengan
pelanggannya. Sebagai contoh, tuntutan konsumen
makin besar, mereka tidak lagi sekedar
menginginkan produk atau jasa yang berkualitas
dengan harga murah tetapi juga sangat
mengharapkan kecepatan penyampaian, fleksibilitas,
dan layanan pelanggan (customer service) yang
1. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Setiap perusahaan hidup dari pelanggan,
karena itu pelanggan merupakan satu-satunya alasan
keberadaan sebuah perusahaan. Dengan demikian,
kepuasan pelanggan wajib menjadi prioritas bagi
setiap perusahaan. Meskipun demikian, tidak sedikit
perusahaan yang kurang menyadari arti pentingnya
kepuasan pelanggan. Akibatnya mudah ditebak,
perusahaan secara cepat atau perlahan namun pasti
akan mengalami kemunduran. Beruntung bila
kemunduran tersebut berlangsung perlahan, karena
masih ada waktu untuk berbenah. Tetapi di pasar
C4 -6
1
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
unggul. Dalam membeli suatu produk, pelanggan
selalu berupaya memaksimalkan nilai (value) yang
dirasakan di saat dia menghadapi berbagai macam
pilihan produk, merek, harga dan penjual. Konsumen
akan memilih penawaran yang memberikan nilai
(customer delivered value) tertinggi dengan cost
yang rendah yang tentunya ada realitas kendala
berupa biaya informasi, terbatasnya pengetahuan,
mobilitas dan pendapatan.
Selain itu saat ini industri manufaktur yang
berbasis produksi masa (mass production) atau yang
bersifat kebutuhan sehari-hari (consumer goods)
mengalami tingkat persaingan sangat ketat dan
berada pada pasar yang jenuh. Hal ini mengakibatkan
tiap perusahaan berlomba-lomba untuk melakukan
terobosan-terobosan baru untuk dapat memenangkan
persaingan, mempertahankan konsumen lama atau
bahkan menarik konsumen baru. Perubahan dan
perbaikan yang dilakukan antara lain penggantian
mesin-mesin atau peralatan baru yang lebih efisien
dan produktif, perekrutan sumber daya manusia
memiliki kemampuan sesuai dengan kebutuhan
organisasi, inovasi dan diversifikasi produk baru,
peningkatan pelayanan dan penambahan jalur
distribusi.
Pasta gigi merupakan kebutuhan penting
bagi tiap individu di segala segmen dan demografi,
sehingga produksi produk tersebut sangat tinggi
setiap hari seiring dengan tingginya permintaan.
Kriteria
produk pasta gigi yang diinginkan
konsumen diantaranya mengandung kandungan
fluoride yang cukup, memiliki rasa segar, ekonomis,
praktis, terkemas dengan baik dan menarik.
PT. Unilever Indonesia di Surabaya pada
departemen produksi memiliki dua divisi yaitu
Personal Care dan Personal Wash. Divisi personal
care meliputi produk-produk hair, skin, deo, dan
dental.
Sedangkan personal
wash
khusus
memproduksi sabun mandi. Produk-produk hair
meliputi sampo dan conditioner dengan beberapa
merek Sunslik, Clear, Lifeboy, Dove. Untuk produk
skin lebih menekankan pada produk perawatan kulit
dengan beberapa merek Ponds, Dove, Citra,
Vaseline. Produk deo untuk produk wewangian
dengan merek Rexona dan Axe. Produk Dental
diproduksi untuk perawatan gigi dengan beberapa
merek Pepsodent, Close Up, dan Sparkle.
Khusus untuk produk dental, PT. Unilever
untuk saat ini menjadi market leader di pemasaran
Indonesia terutama untuk merek Pepsodent dengan
ukuran antara 25 gram – 190 gram, dimana tingkat
produksi rata-rata per hari 870.000 pcs. Barang
produksi tersebut dipasarkan melalui depo maupun
outlet yang dikelola oleh PT. Excell. Untuk setiap
depo rata-rata sirkulasi atau perputaran barang pasta
gigi ini 2 minggu.
Produk pasta gigi Pepsodent jenis warna
putih memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan produk lain yang sejenis diantaranya
mengandung flourade sebagai bahan anti gigi
berlubang, mengandung CaGP sebagai bahan aktif
C4 -6
yang mampu memperkuat daya kerja flouride dalam
mencegah gigi berlubang.
Meskipun memiliki banyak kelebihan dalam
hal produk maupun feature yang ditawarkan oleh
pasta gigi Pepsodent, namun PT. Unilever cukup
kesulitan dalam merebut pangsa pasar yang telah
dimiliki oleh pesaingnya. Dan pada kondisi tertentu
pencapaian target penjualan produk pasta gigi
Pepsodent putih tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Dari uraian di atas maka, perusahaan
melalui berbagai kebijakan manajemen berupaya
mencari rumusan strategi pemasaran yang sesuai
dengan kondisi internal organisasi maupun kondisi
eksternal. Dengan strategi pemasaran yang tepat ini
maka diharapkan penjualan produk meningkat,
pangsa pasar yang luas dan melemahkan posisi
pesaing dalam persaingan.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang menjadi permasalahan bagi PT. Unilever
Indonesia khususnya untuk produk Pepsodent putih
ekonomis medium antara lain :
1. Apakah faktor – faktor perilaku konsumen
(customer behavior) dan nilai-nilai konsumen
(customer value) memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap strategi pemasaran produk
pasta gigi Pepsodent ? Dan dari faktor- faktor
tersebut di atas, faktor manakah yang memiliki
pengaruh paling dominant terhadap strategi
pemasaran pasta gigi Pepsodent ?
2. Bagaimana strategi pemasaran yang diterapkan
oleh PT. Unilever untuk mempertahankan
pangsa pasar yang telah dicapai dan upayanya
mencari pangsa pasar baru ?
1.3
1.
2.
3.
1.4
2
Tujuan Penelitian
Menentukan strategi pemasaran yang tepat
untuk mempertahankan pangsa pasar lama
dan mendapatkan pangsa pasar baru.
Mendeskripsikan karakteristik konsumen
pengguna produk Pepsodent ekonomis
medium.
Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
berpengaruh pada nilai-nilai konsumen
(customer value) dan perilaku konsumen
(customer behavior) pada penggunaan
produk Pepsodent ekonomis medium.
Manfaat Penelitian
1. Penelitian dilakukan khusus untuk produk
Pepsodent ekonomis ukuran medium
2. Daerah penelitian dilakukan hanya meliputi
wilayah Surabaya
3. Pengukuran
tingkat
konsumsi
dan
pemasaran dilakukan pada toko dan warung
di tingkatan pengecer
4. Data diperoleh dari Departemen Produksi
dan Depo atau outlet resmi PT. Unilever
Indonesia.
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
II. Landasan Teori
2.1 Definisi Kepemimpinan
Strategi
pemasaran
bertujuan
untuk
mengetahui kelompok konsumen eksternal organisasi
dimana di dalamnya terdapat segmen pasar yaitu sub
kelompok pembeli dalam pasar. Kebutuhan dan
keinginan pembeli serta tanggapan terhadap usahausaha pemasaran sebuah segmen hampir sama dan
berbeda
diantara
segmen.
Keanekaragaman
kebutuhan dan keinginan pembeli lebih menunjukkan
peluang daripada ancaman. Peluang dan ancaman
memungkinkan bisnis merancang produk yang sesuai
dengan preferensi kelompok konsumen yang
bervariasi. Perusahaan hendaknya berkonsentrasi
dalam pemenuhan kebutuhan tertentu agar bisa lebih
efektif dibandingkan dengan pesaingnya.
Asosiasi Pemasaran Amerika (American
Marketing Association-AMA, 1989) mendefinisikan
strategi pemasaran sebagai :
Suatu upaya strategis dalam proses perencanaan
dan pelaksanaan konsep, pemberian harga, promosi
dan pendistribusian ide-ide, barang dan jasa untuk
menciptakan pertukaran yang memuaskan individu
dan tujuan organisasi.
dirasakan kegunaannya serta hanya
dijumpai pada kelompok professional yang
termotivasi tinggi.
2.2 Kesalahan Penentuan Strategi
Rochelle O’ Connor dalam Facing Strategic
Issues : New Planning Guides and Practices,
Laporan No. 87 (New York : The Conference Board
Inc, 1985) mendefinisikan beberapa kesalahan yang
sering terjadi dalam penentuan strategi perusahaan :
1. Bertaruh untuk jangka panjang
2. Mencoba melakukan ‘perubahan’ pada situasi
yang tidak menjanjikan apa-apa
3. Tidak mempercayai nasib baik dan kegagalan
dalam mengkapitalisasi kesalahan pesaing
4. Melukai pesaing namun tidak melumpuhkannya
5. Mempercepat keruntuhan pada saat memungut
hasil bisnis
6. Pemasaran dan R & D yang berlebihan pada saat
strategi unit bisnis lemah, dan pemasaran R & D
yang tidak memadai pada saat kuat
7. Mengambil resiko untuk masalah besar yang
hanya menghasilkan keuntungan sedikit
8. Kurangnya perhatian pada strategi unit bisnis
dan industri yang dimasukinya, terutama yang
berhubungan dengan pembatasan kemungkinan
yang ada
9. Menghadapi pesaing berdasarkan kemauan dan
istilahnya sendiri
10. Melakukan sesuatu dari yang dapat dilakukan.
Jangan terlalu yakin terhadap usaha yang sia-sia
11. Kegagalan mengembangkan strategi yang
fleksibel dan mudah beradaptasi dengan keadaan
yang berubah
12. Tetap melakukan strategi persaingan yang sama
dengan menambah sumber daya, untuk
kesalahan yang sama.
13. Melupakan strategi bisnis yang menggambarkan
cara untuk mencapai keadaan ekonomi dan
tujuan ekonomi yang harus mendasari strategi
bisnis
14. Terlalu memfokuskan pada pengembangan
taktik yang efisien dengan mengorbankan
pemikiran strategis
15. Gagal dalam memilih pesaing yang ingin
tantangan
16. Gagal menganalisis lingkungan yang stabil.
17. Gagal dalam melihat peluang yang terdapat
dalam lingkungan yang berubah
Federick E. Webster menjelaskan peranan manajer
pemasaran :
Pada level korporasi, manajer pemasaran
memainkan peranan penting sebagai penasehat bagi
konsumen dan sejumlah nilai, serta kepercayaan
yang menempatkan konsumen sebagai hal utama
dalam pengambilan keputusan perusahaan dan
mengkomunikasikan proporsi nilai sebagai bagian
budaya seluruh organisasi, baik intern maupun
hubungan dengan aliansi.
Cravens (1996) menekankan bahwa konsep
pemasaran memiliki tiga aspek dasar yaitu :
1. dimulai dengan kebutuhan dan keinginan
konsumen sebagai dasar tujuan bisnis
2. mengembangkan pendekatan organisasi
untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
konsumen
3. mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan
memberikan kepuasan pada konsumen
Sedangkan Kotler (1997), mendefinisikan
bahwa pemasaran strategis adalah konsep yang
menjelaskan tentang keputusan, analisis dan
permasalahan pemasaran, penekanan terhadap
pandangan organisasional daripada fungsional.
Peran pemasaran berubah seiring dengan kesadaran
akan pentingnya pelanggan bagi suatu perusahaan.
Dari definisi mengenai pemasaran di atas dapat
disimpulkan bahwa proses pemasaran bertujuan
untuk memuaskan konsumennya. Kunci utama untuk
mencapai sasaran organisasi adalah dengan
mengenali kebutuhan (needs) dan keinginan (wants)
dari pasar sasarannya dan memberikan kepuasan
kepada konsumen dengan cara yang lebih efektif dan
efisien dibandingkan pesaingnya.
C4 -6
2.3 Product Life Cycle dan Strategi di Tiap Fase
Product Life Cycle menggambarkan tahaptahap yang berbeda dalam perkembangan sejarah
penjualan dari suatu produk. Persamaan dari tahaptahap ini adalah peluang dan masalah yang berbeda
berkenaan dengan strategi pemasaran dan potensial
laba. Dengan mengidentifikasikan tahap dimana
suatu produk berbeda, atau mungkin arah
perkembangannya,
perusahaan
dapat
memformulasikan rencana-rencana pemasaran yang
lebih baik.
3
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
Menurut Kotler (1994) produk dalam suatu
industri manufaktur akan memiliki siklus hidup jika :
- produk memiliki siklus hidup yang terbatas
- penjualan produk melewati tahap-tahap yang
berbeda, setiap tahap memberikan tantangan yang
berbeda bagi penjual
- Keuntungan meningkat dan menurun pada tahaptahap yang berbeda dari PLC
- Produk membutuhkan strategi pemasaran,
keuangan, produksi, pembelian dan personel yang
berbeda dalam setiap tahap dalam siklus hidupnya.
Menurut Kotler (1994) terdapat tiga
kategori dari siklus hidup produk yang harus
dibedakan yaitu gaya (style), mode (fashion) dan
mode sesaat (fad).
Gaya (style) merupakan suatu ekspresi yang
mendasar dan berbeda yang muncul dalam hidup
manusia. Sebagai contoh, gaya muncul pada tempat
tinggal, pada pakaian dan pada seni. Sekali suatu
gaya diciptakan, ia akan bertahan hingga ke generasi
berikutnya, datang dan pergi sesuai keadaan. Gaya
menunjukkan suatu siklus yang memperlihatkan
beberapa periode dari minat yang diperbaharui
kembali.
Sebuah mode merupakan gaya yang
diterima pada sat ini atau gaya yang populer dalam
suatu bidang tertentu. Mode melewati empat tahap.
Dalam tahap yang istimewa (distinctiveness stage),
beberapa konsumen tertarik pada sesuatu yang baru
untuk membedakan mereka dengan konsumen yang
lain. Dalam tahap perlombaan (emultion stage),
konsumen yang lain mulai merasa tertarik dan
berusaha menandingi para pengikut yang terdahulu,
dan para pemilik perusahaan mulai memproduksi
produk tersebut dalam jumlah besar. Dalam tahap
gaya masal (mass fashion stage) mode tersebut
benar-benar telah popular dan produsen telah
memproduksinya secara masal. Dalam tahap
penurunan (decline stage), konsumen mulai
mengalihkan perhatian pada mode baru yang mulai
menarik perhatian mereka.
Mode cenderung untuk tumbuh lambat,
menjadi popular untuk sementara dan menurun
perlahan. Panjangnya siklus sebuah mode sukar
diperkirakan. Wasson (1992) percaya bahwa modemode dating dan berakhir karena mereka
menunjukkan suatu kompromi pembelian dan
konsumen mulai menjaga atribut yang hilang.
Reynolds (1998) memperkirakan bahwa panjangnya
siklus hidup suatu mode pada umumnya tergantung
pada kemampuan mode tersebut memenuhi suatu
kebutuhan
yang
asli,
konsisten
terehadap
kecenderungan lain dalam masyarakat, dan tidak
menemui
keterbatasan
teknologi
dalam
perkembangannya. Robinson (1982) melihat mode
sebagai suatu cara hidup yang tidak dapat diduga
siklusnya tanpa memperhatikan perubahan ekonomi,
fungsional dan teknologi dalam masyarakat.
Mode sekejap (fad) merupakan mode yang
datang dengan cepat ke dalam pandangan publik,
ditiru dengan gairah yang besar, meningkat dengan
C4 -6
singkat, dan menurun dengan sangat pesat. Siklus
hidup mode sekejap sangat pendek, dan cenderung
untuk mempengaruhi pengikut yang terbatas. Mode
sekejap menarik orang-orang yang sedang mencari
sesuatu yang lain atau orang yang memiliki
keinginan berbeda dari orang lain atau memiliki
sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Model
sekejap tidak dapat bertahan lama karena mereka
secara normal tidak dapat memenuhi kebutuhan
dengan konstan. Sangat sulit untuk menduga apakah
sesuatu hanya menjadi sebuah mode sekejap atau
berapa lama mode tersebut akan berakhir.
2.3.1 Tahap Perkenalan
Tahap perkenalan berawal ketika
produk baru diluncurkan dan akan membutuhkan
waktu untuk menyalurkan produk tersebut ke banyak
pasar serta untuk memenuhi jalur distribusi. Dengan
demikian pertumbuhan penjualan cenderung lambat.
Buzzell (1992) mengidentifikasi beberapa penyebab
lambatnya pertumbuhan dari banyak produk antara
lain proses, keterlambatan dalam ekspansi kapasitas
produksi,
adanya
masalah-masalah
teknis,
keterlambatan dalam memperoleh distribusi yang
sesuai melalui jalur-jalur eceran, dan enggannya
konsumen untuk mengubah perilaku yang sudah ada.
Dalam tahap perkenalan, laba cenderung
rendah atau bahkan rugi, karena rendahnya
penjualan, sulitnya penyaluran barang dan mahalnya
biaya promosi. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk
menarik para distributor dan memenuhi saluran
penyalur barang. Pengeluaran promosi sebagai rasio
penjualan dalam posisi tertinggi. Kebutuhan promosi
dilakukan untuk menginformasikan kepada pembeli
potensial mengenai produk baru atau produk yang
belum diketahui, mendukung percobaan produk
tersebut, dan melindungi jalur distribusi melalui jalur
eceran.
Dalam
meluncurkan
produk
baru,
manajemen pemasaran dapat membentuk suatu
tingkat tinggi atau rendah bagi setiap variable
pemasaran, seperti harga, promosi, distribusi dan
mutu produk
2.3.2 Tahap Pertumbuhan
Tahap pertumbuhan ditandai dengan
peningkatan penjualan secara cepat. Para pemakai
awal menyukai produk, dan mayoritas konsumen
tingkat menengah mulai membeli produk. Para
pesaing baru memasuki pasar, ditarik sebagai
peluang untuk produksi skala besar dan peningkatan
laba. Mereka memperkenalkan bentuk-bentuk produk
baru dan tindakan ini selanjutnya untuk memperluas
pasar. Jumlah pesaing yang meningkat membawa
peningkatan pada sejumlah jalur-jalur pemasaran
(outlets), dan penjualan perusahaan melonjak untuk
memenuhi jalur distribusi.
Harga tetap atau jatuh sedikit ketika
permintaan meningkat agak cepat. Perusahaan
menjaga pengeluaran-pengeluaran promosinya pada
tingkat yang sama atau pada suatu tingkat yang
4
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
meningkat sedikit untuk menghadapi persaingan dan
untuk mempelajari pasar. Penjualan tumbuh dengan
pesat, disebabkan oleh penurunan rasio promosi
penjualan.
Laba meningkat selama tahap ini karena
biaya promosi disebar dalam volume yang lebih
besar, dan biaya unit produksi turun lebih cepat
dibandingkan dengan penurunan harga disebabkan
oleh efek “kurva pengalaman” (experience curve).
Tingkat pertumbuhan akhirnya berubah dari
satu tingkat ekselerasi (peningkatan yang semakin
cepat) menjadi tingkat deselerasi (peningkatan yang
semakin lambat). Perusahaan harus mengawasi
akibat dari tingkat deselerasi ini dalam rangka
menyiapkan strategi baru.
2.3.3 Tahap Kedewasaan
Pada suatu titik, tingkat pertumbuhan
penjualan produk akan menurun, dan produk akan
memasuki tahap kedewasaan relative. Tahap ini
biasanya berakhir lebih lama daripada tahap
sebelumnya, dan memberikan tantangan-tantangan
baru terhadap manajemen pasar. Kebanyakan produk
berada pada tahap kedewasaan dari siklus hidup, dan
karenanya kebanyakan manajemen pemasaran adalah
berhubungan dengan produk yang telah matang.
Tahap kedewasaan akan terbagi menjadi
tiga fase. Dalam fase pertama, kedewasaan
pertumbuhan, dimana tingkat pertumbuhan mulai
menurun. Tidak ada saluran distribusi baru yang
harus diisi, meskipun beberapa pembeli masih
memasuki pasar. Pada fase kedua adalah kedewasaan
yang stabil, penjualan atas dasar per kapita akan
mulai mengecil karena kejenuhan pertumbuhan
pasar. Sebagian pembeli potensial telah mencoba
produk, dan masa depan penjualan ditentukan oleh
pertumbuhan penduduk dan permintaan pengganti.
Pada fase ketiga merupakan kedewasaan yang
semakin berkurang, tingkat penjualan absolute kini
mulai berkurang, dan konsumen mulai beralih ke
produk baru atau produk pengganti.
Kelambatan dalam tingkat pertumbuhan
penjualan akan mengakibatkan kelebihan kapasitas
industri. Hal ini akan mengakibatkan persaingan
yang semakin ketat. Pesaing mulai mencari dan
memasuki corak pasar baru. Mereka terlibat dalam
penetapan diskon. Mereka meningkatkan iklan
mereka dan promosi perdagangan serta transaksi
konsumen. Mereka meningkatkan anggaran litbang
mereka untuk mengembangkan perbaikan produk
serta produk sampingan. Mereka membuat perjanjian
untuk penyediaan merek-merek pribadi. Tahap ini
akan mengakibatkan erosi keuntungan. Periode sulit
akan dimulai dan pesaing yang lebih lemah akan
mundur. Industri akan terdiri dari pesaing-pesaing
yang memilki akar yang kuat yang dasarnya adalah
untuk memperoleh keunggulan kompetitif.
Pesaing-pesaing ini akan terdiri dari dua
jenis (lihat gambar di bawah ini). Pendominasian
terhadap industri akan terjadi perusahaan raksasa
yang menghasilkan sebagian besar proporsi output
industri. Perusahaan-perusahaan ini akan menjadi
C4 -6
keseluruhan pasar dan mereka memperoleh
keuntungan terutama dari volumenya yang besar
serta biaya yang rendah. Mereka agak dibedakan
(differetiated) dalam pengertian reputasi atas biaya
rendah, mutu yang tinggi, pelayanan yang baik, dan
sejenisnya. Di sekitar perusahaan-perusahaan ini
terdapat perusahaan yang berbeda di celah-celah
persaingan. Mereka termasuk spesialis pasar,
spesialis produk, dan perusahaan-perusahaan yang
khusus. Mereka melayani dan memenuhi pasar
sasaran mereka yang kecil dan memberikan harga
premium. Masalah yang dihadapi oleh sebuah
perusahaan dalam tahap kedewasaan adalah apakah
berjuang untuk menjadi salah satu dari kelompok
besar dalam persaingan dan memperoleh keuntungan
melalui volume yang besar serta biaya yang rendah
ataukah strategi ceruk pasar (niching strategy) dan
menggapai keuntungan melalui margin yang tinggi.
2.3.4 Tahap Penurunan
Penjualan dari kebanyakan produk dan merk
akhirnya akan menurun. Penurunan penjualan
tersebut dapat berlangsung lambat. Penjualan dapat
jatuh hingga nol, atau berada pada suatu tingkat yang
rendah.
Penurunan penjualan terjadi karena sejumlah
alasan, seperti kemajuan teknologi, perubahan selera
konsumen,
dan
persaingan
domestic
dan
internasional yang meningkat. Semuanya akan
mengakibatkan kelebihan kapasitas, meningkatkan
potongan harga, dan erosi keuntungan.
Jika penjualan dan keuntungan menurun,
beberapa perusahaan mundur dari pasar. Mereka
yang akan bertahan mengurangi jumlah penawaran
produknya. Mereka akan mundur dari segmen pasar
yang lebih kecil dan saluran perdagangan yang lebih
lemah. Mereka mungkin memotong anggaran
promosi, dan lebih jauh lagi, mengurangi hargaharga produknya.
Sayangnya, kebanyakan perusahaan belum
dapat mengembangkan kebijaksanaan jalan keluar
yang baik untuk mengendalikan produk-produk
mereka yang telah lama. Ternyata perasaan sentimen
memegang peranan:
Logika
juga
memainkan
peranan.
Manajemen yakin bahwa penjualan produk akan
meningkat jika perekonomian meningkat, atau jika
strategi pemasaran direvisi, atau ketika produk
tersebut diperbaiki. Atau produk yang lemah
diperbaiki karena kontribusinya yang jelas terhadap
penjualan
produk
perusahaan
lain.
Atau
pendapatannya dapat menutup biaya di luar
sampingan,
dan
perusahaan
tidak
dapat
menggunakan uangnya lebih baik.
Jika
alasan-alasan
yang
kuat
untuk
dipertahankan tidak ada, mempertahankan produk
yang telah lemah akan sangat membutuhkan dana
perusahaan. Biaya tersebut bukan hanya merupakan
jumlah biaya produksi dan keuntungan yang besar.
Akuntansi keuangan tidak dapat dengan
cukup memperlihatkan semua biaya-biaya yang
5
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
tersembunyi. Produk yang lemah akan menghabiskan
jumlah waktu manajemen yang tidak proporsional,
sering mengakibatkan penyesuaian harga dan
persediaan pada umumnya meliputi produksi jangaka
pendek walaupun waktu persiapan yang mahal, ia
digunakan secara lebih baik untuk membuat produk
yang “sehat” (produk lain) lebih menguntungkan,
ketidaksehatannya akan mengakibatkan kebosanan
konsumen dan merusak citra perusahaan. Biaya yang
terbesar mungkin akan dialami pada masa yang
mendatang. Kegagalan untuk menggantikan produk
yang lemah berarti menunda pencarian yang agresif
terhadap produk pengganti, produk yang lemah akan
menimbulkn bauran produk yang berat sebelah,
penekanan yang terlalu banyak “produk yang hidup
kemarin” dan penekanan yang terlalu sedikit pada “
produk yang hidup hari esok”,
mereka akan
menekan keuntungan sekarang dan memperlemah
pijakan perusahaan di masa datang.
profil kualitas dan harga tersebut dipetakan dalam
sebuah peta customer value.
Pendekatan customer value analysis tidak
menggunakan suatu standar dimensi dari layanan
yang sempurna, melainkan menanyakan kepada
pelanggan tentang bagaimana mereka hingga yakin
membuat keputusan untuk membeli. Kemudian,
memilih atribut kualitas yang dipentingkan oleh
pelanggan sehingga mereka memutuskan antara
produk atau layanan yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu customer value analysis menitikberatkan
pada performasi versus kompetitor. Sedangkan
customer satisfaction measurement menitikberatkan
pada performasi versus penghargaan.
2.5
Customer Value Map
Customer value map memberikan gambaran
yang jelas mengenai keputusan pelanggan yang
dibuat diantara beberapa produk yang ada.
Customer value map terutama sekali berguna untuk
melihat sejauh mana pelanggan menilai pelayanan
suatu perusahaan dibandingkan dengan harga yang
ditawarkan. Perusahaan selanjutnya dapat melihat
apakah layanan yang diberikannya bernilai rendah,
wajar atau tinggi. Koordinat setiap perusahaan
ditentukan oleh skor kualitas relatif dan skor harga
relatif variabel tersebut. Absis ditunjukkan oleh skor
kualitas relatif produk sementara ordinat ditunjukkan
oleh skor harga relatif.
Garis nilai wajar (fair value line) merupakan
batas antara skor perusahaan yang bernilai rendah
dan skor perusahaan bernilai tinggi. Garis tersebut
dibuat dengan persamaan matematika sederhana
dimana gradien garis dihitung berdasarkan
perbandingan rata-rata bobot harga dan rata-rata
bobot kualitas yang dipersepsikan pelanggan seluruh
perusahaan.
Rumus persamaan garis tersebut adalah
sebagai berikut :
2.4
Nilai-Nilai Konsumen
Sasaran utama dari customer value analysis
adalah memahami penyebab seorang konsumen
untuk memilih satu dari sekian banyak produk atau
layanan.
Di bawah ini merupakan ringkasan
bagaimana seorang pelanggan mengambil keputusan
untuk melakukan pembelian :
a. Yang dibeli pelanggan adalah nilai
b. Nilai yang menyamai kualitas bergantung
pada harga
c. Kualitas termasuk atribut non biaya pada
produk
d. Kualitas harga dan nilai adalah relative
Customer value analysis menggunakan
seluruh informasi yang diperoleh dari kustomer
untuk menunjukkan bagaimana pelanggan tersebut
membuat keputusan dalam suatu market place, yang
pada akhirnya melalui informasi tersebut suatu
perusahaan dapat melakukan suatu perubahan untuk
memastikan pelanggan akan membeli produk atau
layanan perusahaan tersebut.
Customer value analysis menggunakan
langkah riset pemasaran yang digabungkan dengan
model matematis sederhana untuk mendapatkan
gambaran mengenai peringkat produk atau layanan
pada pasar yang bersangkutan, sebagaimana
dikembangkan oleh Bradley Gale dan kawan-kawan.
Kata kuncinya adalah nilai atau value, dimana value
adalah adalah komoditi yang ingin dicapai dalam
penerapan analisa ini. Value dalam konteks ini
dianggap sebagai jumlah produk atau layanan yang
diterima untuk jumlah uang yang telah diberikan.
Menurut pengertian kamus, value merupakan
pengharapan terhadap suatu produk atau layanan.
Customer value analysis ini akan menyusun
profil customer value yang membandingkan
perusahaan yang diteliti dengan para pesaingnya.
Profil customer value sendiri terdiri dari dua bagian
yaitu profil kualitas dan profil harga. Kemudian
setelah pembuatan profil customer value selesai, skor
C4 -6
⎡μ
⎤
Y = ⎢ bobotkualitas ⎥ X
⎣⎢ μ boboth arg a ⎦⎥
Y
= skor harga relatif
X
= skor kualitas relatif
μbobot kualitas = rata-rata bobot kualitas yang
dipersepsikan pelanggan seluruh
perusahaan
μbobot kualitas = rata-rata bobot harga yang
dipersepsikan pelanggan seluruh
perusahaan
Perluasan dari garis tersebut dibuat suatu area yang
dinamakan area nilai wajar atau fair value zone,
dimana garis wajar tersebut digeser ke kiri dan ke
kanan sebesar 2 kali standar deviasi gradien garis
nilai wajar tersebut
2.6
Perilaku Konsumen
Perilaku
konsumen
merupakan
suatu
karakteristik tertentu, pola pikir, cara pandang
ataupun budaya yang ada dalam suatu masyarakat
dalam suatu segmen tertentu. Berkaitan dengan hal
6
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
ini perusahaan hendaknya memahami perilaku
konsumen dalam pembelian suatu produk tertentu.
James F. Engel et all. (1968: 8) berpendapat
bahwa: “ Perilaku konsumen didefinisikan sebagai
tindakan-tindakan individu yang secara langsung
terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan
barang-barang jasa ekonomis termasuk proses
pengambilan keputusan yang mendahului dan
menentukan tindakan-tindakan tersebut.”
Sedangkan David L. Loudon dan Albert J.
Della Bitta (1984: 6) berpendapat bahwa: “ Perilaku
konsumen dapat didefinisikan sebagai proses
pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara
fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi,
memperoleh,
menggunakan
atau
dapat
mempergunakan barang-barang dan jasa.”
Pendapat lain mengenai perilaku konsumen
diutarakan oleh Gerald Zaltman dan Melanie
Wallendorf (1979: 6) dimana “ Perilaku konsumen
merupakan tindakan-tindakan, proses, dan hubungan
sosial yang dilakukan individu, kelompok, dan
organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu
produk atau yang lainnya sebagai suatu akibat dari
pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan
sumber-sumber lainnya.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu,
kelompok, atau organisasi yang berhubungan dengan
proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan,
menggunakan barang-barang atau jasa ekonomi yang
dapat dipengaruhi lingkungan.
Louden dan Bitta (1984 : 24-26) yang
mengemukakan bahwa ada tiga variable dalam
mempelajari perilaku konsumen, yaitu :
1. Variabel Stimulus
Variabel stimulus merupakan variabel yang
berada di luar diri individu (factor eksternal)
yang sangat berpengaruh dalam proses
pembelian. Contohnya: merek dan jenis barang,
iklan, pramuniaga, penataan barang, dan
ruangan toko.
2. Variabel Respons
Variabel repsons merupakan hasil aktivitas
individu sebagai reaksi dari variable stimulus.
Variabel respons sangat tergantung pada factor
individu dan kekuatan stimulus. Contohnya:
keputusan membeli barang, pemberi penilaian
terhadap barang, perubahan sikap terhadap
suatu produk.
3. Variabel Intervening
Variabel intervening adalah variabel antara
stimulus dan respon. Variable ini merupakan
factor internal individu, termasuk motif-motif
membeli, sikap terhadap suatu peristiwa, dan
persepsi
terhadap suatu barang. Peranan
variabel intervening adalah untuk memodifikasi
respons.
C4 -6
2.7
Konsep Pemasaran
Menurut Kotler (1992 : 98) konsep
pemasaran sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor
antara lain :
a. Kebutuhan , Keinginan dan Permintaan
Ada perbedaan antara kebutuhan, keinginan
dan permintaan. Kebutuhan manusia adalah
keadaan dimana manusia merasa tidak memiliki
kepuasan dasar. Kebutuhan tidak diciptakan oleh
masyarakat atau pemasar, namun sudah ada dan
terukir dalam hayati kondisi manusia. keinginan
adalah hasrat akan pemuas tertentu dari
kebutuhan tersebut. Keinginan manusia dibentuk
oleh kekuatan dan institusi sosial. Sedangkan
Permintaan adalah keinginan akan sesuatu yang
didukung dengan kemampuan serta kesediaan
membelinya.
Keinginan menjadi permintaan bila didukung
dengan daya beli. Perbedaan ini bisa menjelaskan
bahwa pemasar tidak menciptakan kebutuhan;
kebutuhan sudah ada sebelumnya. Pemasar
mempengaruhi keinginan dan permintaan dengan
membuat suatu produk yang cocok, menarik,
terjangkau dan mudah didapatkan oleh pelanggan
yang dituju.
b. Produk
Produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan
untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan
pelanggan. Pentingnya suatu produk fisik bukan
terletak pada kepelikannya tetapi pada jasa yang
dapat diberikannya. Oleh karena itu dalam
membuat produk harus memperhatikan produk
fisik dan jasa yang diberikan produk tersebut.
7
c.
Nilai, Biaya dan Kepuasan
Nilai adalah perkiraan pelanggan
tentang kemampuan total suatu produk untuk
memenuhi kebutuhannya. Setiap produk
memiliki kemampuan berbeda untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi
pelanggan akan memilih produk mana yang
akan memberi kepuasan total paling tinggi.
Nilai setiap produk sebenarnya tergantung
dari seberapa jauh produk tersebut dapat
mendekati produk ideal, dalam ini termasuk
harga.
d.
Pertukaran, Transaksi dan Hubungan
Kebutuhan dan keinginan manusia
serta nilai suatu produk bagi manusia tidak
cukup untuk menjelaskan pemasaran.
Pemasaran timbul saat orang memutuskan
untuk
memenuhi
kebutuhan
serta
keinginannya dengan pertukaran. Pertukaran
adalah salah satu cara mendapatkan suatu
produk yang diinginkan dari seseorang
dengan menawarkan sesuatu sebagai
gantinya. Pertukaran merupakan proses dan
bukan kejadian sesaat. Masing-masing pihak
disebut berada dalam suatu pertukaran bila
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
mereka berunding dan mengarah pada suatu
persetujuan. Jika persetujuan tercapai maka
disebut transaksi. Transaksi merupakan
pertukaran nilai antara dua pihak. Untuk
kelancaran dari transaksi, maka hubungan
yang baik dan saling percaya antara
pelanggan,
distributor,
penyalur
dan
pemasok akan membangun suatu ikan
ekonomi, teknis dan sosial yang kuat dengan
mitranya. Sehingga transaksi tidak perlu
dinegosiasikan setiap kali, tetapi sudah
menjadi hal yang rutin. Hal ini dapat dicapai
dengan menjanjikan serta menyerahkan mutu
produk, pelayanan dan harga yang wajar
secara kesinambungan.
e.
kinerja terbaik dan inovatif dalam hal ini memuaskan
perhatian untuk membuat produk yang lebih baik dan
terus
menyempurnakannya.
Industri
yang
berwawasan ini cenderung tidak memperhatikan
keinginan dan kebutuhan dari pelanggan, sehingga
divisi pemasaran akan mengalami kesulitan dalam
pemasaran.
2.6.3 Konsep Pemasaran Berwawasan Menjual
Konsep ini berpendapat bahwa kalau
pelanggan dibiarkan saja, pelanggan tidak akan
membeli produk industri dalam jumlah cukup
sehingga harus melakukan usaha penjualan dan
promosi yang agresif. Konsep ini beranggapan
bahwa pelanggan enggan membeli dan harus
didorong supaya membeli. Konsep ini sering
digunakan pada “ Produk yang tidak dicari” atau
tidak terpikir untuk dibeli serta pada industri yang
mengalami kelebihan kapasitas produksi.
Pasar
Pasar terdiri dari semua pelanggan
potensial yang memiliki kebutuhan atau
keinginan tertentu serta mau dan mampu
turut dalam pertukaran untuk memenuhi
kebutuhan atau keinginan itu. Istilah pasar
untuk menunjukan pada sejumlah pembeli
dan penjual melakukan transaksi pada suatu
produk.
f.
2.8
2.6.4 Konsep Pemasaran Berwawasan Pemasaran
Konsep ini berpendapat bahwa kunci untuk
mencapai tujuan industri terdiri dari penentuan
kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta
memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih
efektif dan efisien daripada saingannya. Konsep
berwawasan pemasaran bersandar pada empat pilar
utama, yaitu
a. pasar sasaran,
b. kebutuhan pelanggan,
c. pemasaran yang terkoordinir serta
d. keuntungan.
Konsep ini telah dinyatakan dalam banyak cara :
- Memenuhi kebutuhan dengan menguntungkan
- Temukan keinginan dan penuhilah
- Cintailah pelanggan bukan produknya
- Dapatkanlah sesuai kesukaan anda
- Berusaha sekuat tenaga memberikan nilai, mutu
dan kepuasan tertinggi bagi uang pelanggan.
Pemasaran dan Pemasar
Pemasaran
adalah
keinginan
manusia dalam hubungannya dengan pasar,
pemasaran maksudnya bekerja dengan pasar
untuk mewujudkan transaksi yang mungkin
terjadi dalam memenuhi kebutuhan dan
keinginan manusia. Pemasar adalah orang
yang mencari sumberdaya dari orang lain
dan mau menawarkan sesuatu yang bernilai
untuk itu. Kalau satu pihak lebih aktif
mencari pertukaran daripada pihak lain,
maka pihak pertama adalah pemasar dan
pihak kedua adalah calon pembeli.
2.6.5
Konsep Pemasaran Berwawasan
Bermasyarakat
Konsep ini beranggapan bahwa tugas
industri adalah menentukan kebutuhkan, keinginan
serta kepentingan pasar sasaran dan memenuhi
dengan lebih efektif serta lebih efisien daripada
saingannya dengan cara mempertahankan atau
meningkatkan
kesejahteraan
pelanggan
dan
masyarakat. Konsep pemasaran bermasyarakat
meminta pemasar untuk menyeimbangkan tiga faktor
dalam menentukan kebijaksanaan pemasaran, yaitu
a. keuntungan usaha jangka pendek,
b. kepuasan pelanggan jangka panjang dan
c. kepentingan umum dalam pengambilan
keputusan.
Dasar Organisasi Menjalankan Konsep
Pemasaran
Dari konsep inti pemasaran maka, ada lima
konsep pemasaran yang mendasari cara organisasi
melakukan kegiatan pemasarannya. (Donello, 1997 :
104)
2.6.1 Konsep Pemasaran Berwawasan Produksi
Konsep ini adalah salah satu konsep tertua,
yaitu akan memilih produk yang mudah didapat dan
murah harganya. Dalam hal ini memusatkan
perhatiannya untuk mencapai efisiensi produksi yang
tinggi serta cakupan distribusi yang luas. Konsep ini
dapat dijalankan apabila permintaan produk melebihi
penawarannya dan dimana biaya produk tersebut
sangat tinggi. Kelemahan konsep pemasaran ini
adalah pelayanan tidak ramah dan buruk.
2.7
Kepuasan Pelanggan Sepenuhnya (Total
Customer Satisfaction)
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang
setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang
dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Jadi
2.6.2 Konsep Pemasaran Berwawasan Produk
Konsep ini berpendapat bahwa pelanggan
akan memilih produk yang menawarkan mutu,
C4 -6
8
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara
kinerja yang dirasakan dengan harapan.
Kepuasan pelanggan sepenuhnya dapat dibedakan
pada tiga taraf, yaitu:
a. memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
pelanggan
b. memenuhi harapan pelanggan dengan cara
yang dapat membuat mereka akan kembali
lagi.
c. melakukan lebih daripada apa yang
diharapkan pelanggan.
Setiap orang di usaha mempunyai
pelanggan yang harus dipuaskannya. Ini yang
pertama-tama harus disadari setiap karyawan.
Kepuasan pelanggan relevan untuk kita semua,
apapun pekerjaan kita, jadi kepuasan pelanggan
bukan semata-mata urusan dan tanggung jawab divisi
pemasaran dan pelayanan purna jual.
Langkah pertama dalam usaha memuaskan
pelanggan adalah menentukan dan mengantisipasi
kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Pelanggan yang
berbeda dapat pula berlainan kebutuhannya dan juga
berbeda perioritasnya, tetapi pada dasarnya
kebutuhan-kebutuhan umum hampir sama.
Untuk mencapai kepuasan pelanggan dalam
konteks industri diperlukan beberapa kondisi dan
usaha, antara lain
a. filosofi kepuasan pelanggan
b. mengenal
kebutuhan
atau
harapan
pelanggan
c. membuat standar dan pengukuran kepuasan
pelanggan
d. orientasi karyawan
e. pelatihan
f. keterlibatan karyawan dan
g. pengakuan.
d.
e.
pengiriman yang tepat waktu dan
pelayanan purna jual.
Pelanggan Internal. Pelanggan internal
adalah orang yang melakuakan proses selanjutnya
dari suatu pekerjaan (“next process”) Pelanggan
internal merupakan seluruh karyawan dari suatu
industri. Yang diperlukan pelanggan internal adalah
a. kerja kelompok dan kerjasama,
b. struktur dan sistem yang efisien,
c. pekerjaan yang berkualitas dan
d. pengiriman yang tepat waktu.
Menurut Prof Charlie Chang (1995), untuk
menjamin kemampuan suatu industri bertahan
(survive) dalam era global ini, maka penerapan
Manajemen Mutu Total bukan lagi merupakan suatu
pilihan, tetapi suatu keharusan. Untuk mengelola
manajemen secara baik dan praktis, maka dapat
dibagi atas tiga suara, yaitu Voice of Customer, Voice
of Employee dan Voice of Process.
Voice of Customer, pendekatan manajemen
pemasaran klasik dimana “prilaku” pelanggan
seringkali sebagai “objek” penelitian, pemasaran,
dimanipulasi
dan
dieksploitasi.
Sedangkan
manajemen mutu total melihat pelanggan sebagai
salah satu “aset” usaha yang terpenting. Bahkan
dapat dikatakan bahwa suatu industri ada karena
“diperbolehkan ada ” oleh pelanggan, oleh karena itu
persaingan usaha adalah dalam kemampuannya
mendengarkan “ Voice of Customer” dan mencoba
memenuhinya secara lebih baik.
Voice Employee. Selaras dengan falsafah mengenai
pelanggan. maka manajemen mutu total juga
memberikan perhatian yang luar biasa dalam
“pemberdayaan” karyawan (empowerment). Dalam
hal ini jauh melampaui wewenang, namun juga
penghapusan atas “ atasan-bawahan”, keterbukaan
atas “rahasia industri” dan mengembangkan setiap
karyawan agar dapat bertindak sebagai pengusaha
atau presiden direktur. Sehingga manajmen mutu
total berlandaskan asas mampaat bisnis, bukan
semata-mata “demokratis atau sosialis”. Manajemen
mutu total dapat membuktikan bahwa “management
Control” yang dikenal sebagai pengendali karyawan
dalam rangka pengendali biaya (realized cost), maka
pengelolaan “Voice of employe” adalah “prediktor”
yang baik bagi efisiensi industri (future costs).
Sedangkan dalam konteks karyawan, ada empat
unsur pokok yang harus dimiliki karyawan, yaitu :
a. keterampilan
b. efisiensi, yaitu target “ zero defect” dan
tepat waktu “ deadline”
c. ramah dan
d. rasa bangga.
2.8
Pelanggan
Setiap orang adalah pelanggan. Pelanggan
adalah setiap orang, unit atau pihak dengan siapa kita
bertransaksi, baik langsung maupun tidak langsung
dalam penyediaan produk. Pada dasarnya ada dua
jenis pelanggan, yaitu Pelanggan Eksternal dan
Pelanggan Internal .
Pelanggan Eksternal. Pelanggan eksternal
adalah orang diluar industri yang menerima suatu
produk (end-user). Pelanggan eksternal setiap
industri jelas adalah masyarakat umum yang
menerima produk industri tersebut. Beberapa hal
yang diperlukan pelanggan eksternal adalah
a. kesesuaian dengan kebutuhan akan produk
b. harga yang kompetitif
c. kualitas dan realibilitas
C4 -6
2.9 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
9
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
d. Konsumen tidak berani mencoba atau berganti
merek pasta gigi lain
e. Pasta gigi pepsodent memiliki persepsi kuat
terhadap diri konsumen mengenai hal-hal
yang ditawarkan perusahaan baik melalui
iklan atau kegiatan perusahaan yang diketahui
konsumen
f. Secara pribadi konsumen menggunakan
produk pasta gigi pepsodent sejak lama
Metodologi Penelitian
Respon Perusahaan (X2)
Tanggapan perusahaan terhadap keinginan
konsumen atau upaya-upaya agar produk
memenuhi fungsi-fungsi kelayakan dan dapat
diterima secara objektif.
Indikator untuk mengukur variabel respon
perusahaan (X2), meliputi :
a. Konsumen merasa perusahaan memberi
perhatian terhadap selera konsumen
berkaitan dengan produk pasta gigi
pepsodent.
b. Konsumen beranggapan bahwa perusahaan
mampu memberikan perubahan pada pola
menggosok gigi bagi masyarakat dan
konsumen
c. Konsumen beranggapan bahwa perusahaan
mampu bekerjasama dengan instansi
pelayanan umum yang berkaitan dengan
kesehatan gigi
d. Perusahaan
selalu
mempertimbangkan
perubahan keinginan dan selera konsumen
terhadap produk
e. Perusahaan memiliki divisi khusus terutama
dalam hal yang berkaitan dengan riset
perilaku konsumen
Gambar 3.1 Alur Metodologi Penelitian
Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini definisi operasional
variabel terikat (Y) dan variabel bebas (X) sebagai
berikut :
Customer Behaviour
Customer behaviour merupakan tindakantindakan individu yang secara langsung terlibat
dalam usaha memperoleh dan menggunakan
barang-barang jasa ekonomis termasuk proses
pengambilan keputusan yang mendahului dan
menentukan tindakan-tindakan tersebut. Di sini
customer behavior dibagi menjadi beberapa
variabel untuk memudahkan pengolahan data dan
pemahaman responden saat pengisian kuisioner.
Respon Distributor, Retailer, dan
Toko (X3)
Tanggapan distributor, retailer dan toko
dalam memberikan respon mengenai produk yang
dijualnya kepada konsumen ataupun dalam hal
memposisikan dan mengkondisikan pemasaran
mereka, sehingga hal ini berpengaruh terhadap
asumsi konsumen terhadap produk yang
ditawarkan.
Indikator untuk mengukur variabel respon
distributor, retailer dan toko (X3), meliputi :
a. Perusahaan
memperhatikan
keluhan,
keinginan maupun harapan konsumen
mengenai produk
b. Sirkulasi pengiriman produk atau sistem
distribusi pasta gigi di retail sekitar
konsumen sesuai dengan yang dikehendaki
konsumen
c. Terjadi trend pembelian tertentu pada
produk pasta gigi pepsodent di sekitar
konsumen. Secara emosional retail di sekitar
konsumen
menawarkan
alternatif
pemakaian pasta gigi pepsodent jika produk
pasta gigi merek lain yang dikehendaki
konsumen tidak ada
Kekuatan Image (X1)
Adanya ikatan emosional yang kuat antara
konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya.
Hal ini semata-mata karena anggapan bahwa produk
dengan merek-merek tertentu akan memberikan
kebutuhan yang diinginkan atau jaminan kualitas
baik, sehingga saat pembelian tanpa memerlukan
pertimbangan tinggi (low involvment).
Indikator untuk mengukur variabel
kekuatan image (X1), meliputi :
a. Dalam
keluarga
sebelumnya
pernah
menggunakan pasta gigi pepsodent
b. Konsumen menyukai atau menggunakan
produk dengan merek-merek terkenal
terutama untuk keperluan menggosok gigi
c. Produk pasta gigi pepsodent banyak
digunakan di sekitar lingkungan konsumen
C4 -6
10
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
d.
e.
Perilaku konsumen sangat di suatu
lingkungan sangat mendukung proses
penjualan pasta gigi pepsodent
Usaha atau tempat bekerja pengecer atau
pemakai berada pada lingkungan kelas
sosial menengah ke atas
c. Produk pasta gigi pepsodent memiliki warna yang
lebih menarik dibandingkan dengan produk lain
d. Produk pasta gigi pepsodent memiliki harga yang
lebih murah atau bersaing dengan produk pasta gigi
merek lain
e. Produk pasta gigi pepsodent memiliki ketahanan
yang cukup baik dibandingkan dengan produk lain
f. Konsumen tidak kesulitan dalam memperoleh
produk pasta gigi pepsodent
g. Perubahan yang dilakukan perusahaan terhadap
perusahaan seringkali susuai dengan harapan
konsumen
h. Kegiatan yang dilakukan perusahaan mengenai
sosialisasi manfaat produk bermanfaat bagi
konsumen
i. Konsumen merasa harga yang telah dibayar sesuai
dengan manfaat produk yang diperolehnya
j. Informasi mengenai manfaat produk disukai oleh
konsumen
k. Perusahaan seringkali memberikan apresiasi berupa
reward maupun award kepada konsumen yang
dianggap loyal.
Customer Value
Customer Value adalah nilai –nilai intrinsik
maupun ekstrinsik yang melekat pada produk
maupun proses penyampaian produk sehingga
konsumen merasakan bahwa produk yang dia beli
sebanding dengan biaya atau harga yang
dikeluarkan.
Nilai-nilai Intrinsik Produk (X4)
Nilai –nilai yang langsung melekat pada
produk dan biasanya tidak berwujud (intangibel),
tetapi langsung memiliki manfaat atau kegunaan
yang bisa dirasakan konsumen.
Indikator untuk mengukur variabel nilai
intrinsik produk (X4), meliputi :
a. Produk pasta gigi memiliki kualitas yang paling
bagus daripada pasta gigi produk lain
b. Pasta gigi pepsodent memiliki rasa yang sesuai
dengan selera konsumen
c. Pasta gigi pepsodent memiliki aroma yang
sesuai dengan selera konsumen
d. Pasta gigi pepsodent memiliki busa yang sesuai
dengan selera konsumen
e. Dalam kemasan produk pasta gigi pepsodent
terdapat komposisi bahan pembentuk produk
yang menurut konsumen komposisi tersebut
benar-benar memberikan manfaat dan tidak
memberikan efek negatif
f. Adanya kemungkinan perusahaan mengganti
produk pasta gigi pepsodent dengan produk
pasta gigi jenis lain dengan merek yang sama
g. Respon atau perhatian dari perusahaan terhadap
keluhan yang disampaikan konsumen atas
pengkonsumsian produk
h. Keyakinan konsumen bahwa produk pasta gigi
pepsodent dibuat dan diproduksi dengan bahanbahan pilihan, mesin-mesin canggih dan tenaga
kerja yang handal
i. Adanya jaminan dari perusahaan terhadap
produk pasta gigi pepsodent yang dikonsumsi
konsumen
Strategi Pemasaran (Y)
Strategi pemasaran adalah suatu upaya strategis
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan konsep,
pemberian harga, promosi dan pendistribusian ideide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran
yang memuaskan individu dan tujuan organisasi.
Indikator untuk mengukur variabel strategi
pemasaran (Y), meliputi :
a. Semua karyawan di perusahaan menggunakan
atau mengkonsumsi pasta gigi pepsodent
b. Distribusi pemasaran produk pasta gigi pepsodent
menjangkau seluruh lapisan masyarakat Surabaya
c. Jenis-jenis produk pasta gigi pepsodent memiliki
pengaruh terhadap alternatif pemilihan produk
pasta gigi
d. Produk pasta gigi pepsodent masih memimpin
pangsa pasar untuk pasta gigi
e. Perusahaan masih menggunakan cara lama dalam
memasarkan produknya
f. Pasta gigi pepsodent memiliki kestabilan harga
dibandingkan dengan produk pasta gigi lain
g. Produk pasta gigi pepsodent masih konsisten
dengan mutu, rasa atau ukurannya dengan produk
sebelumnya
h. Pemasaran produk pasta gigi pepsodent
digabungkan dengan produk lain
i. Perusahaan memiliki divisi marketing yang
handal dalam memasarkan produk
j. Adanya peningkatan penjualan terhadap produk
pasta gigi pepsodent
k. Seringkali terjadi inovasi produk untuk
meningkatkan penjualan
l. Konsumen membeli berdasarkan pilihan merek
m. Konsumen membeli produk pasta gigi pepsodent
berdasarkan pilihan manfaat atau kegunaan
n. Konsumen membeli produk pasta gigi pepsodent
tanpa pertimbangan tertentu dan hanya mengikuti
kebiasaan keluarga atau teman
Nilai Ekstrinsik Produk (X5)
Nilai-nilai yang melekat pada produk dan
dapat langsung diamati atau dirasakan tanpa harus
melalui proses penggunaan produk.
Indikator untuk mengukur variabel nilai
ekstrinsik produk (X5), meliputi :
a. Produk pasta gigi pepsodent dapat dibeli atau
dikonsumsi dengan harga yang sesuai atau
terjangkau
b. Produk pasta gigi pepsodent memiliki kemasan
atau bentuk yang menarik dan lebih baik
dibandingkan dengan produk lain
C4 -6
11
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 23 orang (27,5%)
berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap
indikator variabel respon perusahaan karena : (1)
konsumen beranggapan bahwa perusahaan mampu
bekerjasama dengan instansi pelayanan umum yang
berkaitan dengan kesehatan gigi, (2) konsumen
merasa perusahaan memberi perhatian terhadap selera
konsumen berkaitan dengan produk pasta gigi
pepsodent.
b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai
4) adalah sebanyak 24 orang (48%) berarti konsumen
menilai setuju terhadap indikator variabel respon
perusahaan karena : (1) konsumen beranggapan
bahwa perusahaan mampu memberikan perubahan
pada pola menggosok gigi bagi masyarakat dan
konsumen, (2) perusahaan selalu mempertimbangkan
perubahan keinginan dan selera konsumen terhadap
produk.
c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti
konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator
variabel respon perusahaan karena : perusahaan
memiliki divisi khusus terutama dalam hal yang
berkaitan dengan riset perilaku konsumen.
d. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju
(nilai 2) adalah sebanyak 2 orang (4%) berarti
konsumen menilai tidak setuju terhadap indikator
variabel respon perusahaan karena : perusahaan
memiliki divisi khusus terutama dalam hal yang
berkaitan dengan riset perilaku konsumen.
Kegiatan atau even sosial yang diadakan
perusahaan berpengaruh terhadap peningkatan
penjualan produk
Iklan atau promosi perusahaan menarik dan
mempengaruhi konsumen untuk membeli
peroduk
Konsumen tetap mengkonsumsi pasta gigi
pepsodent meskipun harganya naik atau lebih
mahal dareipada produk lain
Konsumen sebelumnya pernah mengkonsumsi
produk lain sebelum menggunakan produk
pasta gigi pepsodent
Produk pasta gigi pepsodent pernah
mengalami penurunan penjualan
Pemotongan harga, pemberian hadiah maupun
pengharagaan yang diberikan perusahaan
berpengaruh terhadap loyalitas konsumen
Di suatu lingkungan tertentu, penjualan
produk pasta gigi pepsodent masih kalah
dibanding dengan produk lain
4.1 Deskripsi Variabel Kekuatan Image (X1)
a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 6 orang (12%)
berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap
indikator variabel kekuatan image karena : (1)
produk pasta gigi pepsodent digunakan di sekitar
lingkungan konsumen, (2) pasta gigi pepsodent
memiliki persepsi yang kuat terhadap diri konsumen
terutama mengenai hal-hal yang ditawarkan
perusahaan terhadap produk melalui iklan atau
kegiatan perusahaan, (3) konsumen enggan berganti
produk pasta gigi dengan merek lain. .
b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju
(nilai 4) adalah sebanyak 43 orang (86%) berarti
konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel
kekuatan image karena : (1) di dalam keluarga
sebelumnya pernah menggunakan pasta gigi
pepsodent, (2) konsumen menyukai atau
menggunakan produk dengan merek-merek terkenal
terutama untuk keperluan menggosok gigi.
c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti
konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator
variabel kekuatan image karena : (1) secara pribadi
konsumen menggunakan produk pasta gigi
pepsodent sejak lama.
4.3 Deskripsi Variabel
Retailer, Toko (X3)
Distributor,
a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 3 orang (6%) berarti
konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator
variabel distributor, retailer dan toko karena : (1)
perusahaan memperhatikan keluhan, keinginan
maupun harapan konsumen mengenai produk; (2)
sirkulasi pengiriman produk atau sistem distribusi
pasta gigi di retail sekitar konsumen sesuai dengan
yang dikehendaki konsumen.
b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai
4) adalah sebanyak 36 orang (72%) berarti
konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel
distributor, retailer dan toko karena : (1) secara
emosional retail di sekitar konsumen menawarkan
alternatif pemakaian pasta gigi pepsodent jika
produk pasta gigi merek lain yang dikehendaki
konsumen tidak ada; (2) periku konsumen sangat di
suatu lingkungan sangat mendukung proses
penjualan pasta gigi pepsodent.
c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 10 orang (20%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
4.2 Deskripsi Variabel Respon Perusahaan (X2)
C4 -6
Respon
12
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
indikator variabel distributor, retailer dan toko
karena : terjadi trend pembelian tertentu pada
produk pasta gigi pepsodent di sekitar konsumen.
d. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju
(nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti
konsumen menilai tidak setuju terhadap indikator
variabel distributor, retailer dan toko karena : usaha
atau tempat bekerja pengecer atau pemakai berada
pada lingkungan kelas sosial menengah ke atas.
a.
4.4 Deskripsi Variabel Nilai Intrinsik Produk (X4)
b.
a.
b.
c.
d.
Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 10 orang (20%)
berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap
indikator variabel nilai – nilai intrinsik produk karena
: (1) respon atau perhatian dari perusahaan terhadap
keluhan yang disampaikan konsumen atas
pengkonsumsian produk; (2) keyakinan konsumen
bahwa produk pasta gigi pepsodent dibuat dan
diproduksi dengan bahan-bahan pilihan, mesin-mesin
canggih dan tenaga kerja yang handal; (3) adanya
jaminan dari perusahaan terhadap produk pasta gigi
pepsodent yang dikonsumsi konsumen.
Responden dengan jawaban pada kategori setuju
(nilai 4) adalah sebanyak 31 orang (62%) berarti
konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel
nilai – nilai intrinsik produk karena : (1) pasta gigi
pepsodent memiliki rasa yang sesuai dengan selera
konsumen; (2) pasta gigi pepsodent memiliki aroma
yang sesuai dengan selera konsumen; (3) dalam
kemasan produk pasta gigi pepsodent terdapat
komposisi bahan pembentuk produk yang menurut
konsumen
komposisi
tersebut
benar-benar
memberikan manfaat dan tidak memberikan efek
negatif.
Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 7 orang (14%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel nilai – nilai intrinsik produk
karena :. (1) produk pasta gigi pepsodent memiliki
kualitas yang paling bagus daripada pasta gigi
produk lain; (2) pasta gigi pepsodent memiliki busa
yang sesuai dengan selera konsumen.
Responden dengan jawaban pada kategori tidak
setuju (nilai 2) adalah sebanyak 2 orang (4%) berarti
konsumen menilai tidak setuju terhadap indikator
variabel nilai – nilai intrinsik produk karena :
adanya kemungkinan perusahaan mengganti produk
pasta gigi pepsodent dengan produk pasta gigi jenis
lain dengan merek yang sama.
c.
d.
4.6 Deskripsi Variabel Pemasaran Internal (Y1)
a.
4.5 Deskripsi Variabel Nilai Ekstrinsik Produk (X5)
C4 -6
Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 5 orang (10%)
berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap
indikator variabel nilai-nilai ekstrinsik produk
karena : (1) produk pasta gigi pepsodent memiliki
ketahanan yang cukup baik dibandingkan dengan
produk lain; (2) konsumen tidak kesulitan dalam
memperoleh produk pasta gigi pepsodent ; (3)
kegiatan yang dilakukan perusahaan mengenai
sosialisasi manfaat produk bermanfaat bagi
konsumen; (4) informasi mengenai manfaat
produk disukai oleh konsumen.
Responden dengan jawaban pada kategori setuju
(nilai 4) adalah sebanyak 37 orang (74%) berarti
konsumen menilai setuju terhadap indikator
variabel nilai-nilai ektrinsik produk karena : (1)
produk pasta gigi pepsodent dapat dibeli atau
dikonsumsi dengan harga yang sesuai atau
terjangkau ; (2) produk pasta gigi pepsodent
memiliki kemasan atau bentuk yang menarik dan
lebih baik dibandingkan dengan produk lain; (3)
perubahan yang dilakukan perusahaan terhadap
perusahaan seringkali susuai dengan harapan
konsumen; (4) konsumen merasa harga yang telah
dibayar sesuai dengan manfaat produk yang
diperolehnya
Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 7 orang (14%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel nilai-nilai ektrinsik produk
karena : (1) produk pasta gigi pepsodent memiliki
warna yang lebih menarik dibandingkan dengan
produk lain; (2) produk pasta gigi pepsodent
memiliki harga yang lebih murah atau bersaing
dengan produk pasta gigi merek lain.
Responden dengan jawaban pada kategori tidak
setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel nilai-nilai ektrinsik produk
karena : perusahaan seringkali memberikan
apresiasi berupa reward maupun award kepada
konsumen yang dianggap loyal.
13
Responden dengan jawaban pada kategori setuju
(nilai 4) adalah sebanyak 41 orang (82%) berarti
konsumen menilai setuju terhadap indikator
variabel strategi pemasaran internal karena : (1)
distribusi pemasaran produk pasta gigi pepsodent
menjangkau seluruh lapisan masyarakat Surabaya;
(2) jenis-jenis produk pasta gigi pepsodent
memiliki pengaruh terhadap alternatif pemilihan
produk pasta gigi; (3) produk pasta gigi pepsodent
masih memimpin pangsa pasar untuk pasta gigi; (4)
produk pasta gigi pepsodent masih konsisten
dengan mutu, rasa atau ukurannya dengan produk
sebelumnya; (5) pemasaran produk pasta gigi
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
b.
c.
pepsodent digabungkan dengan produk lain; (6)
perusahaan memiliki divisi marketing yang handal
dalam memasarkan produk.
Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 8 orang (16%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel strategi pemasaran internal
karena : (1) pasta gigi pepsodent memiliki
kestabilan harga dibandingkan dengan produk
pasta gigi lain;
(2) adanya peningkatan
penjualan terhadap produk pasta gigi pepsodent;
(3) seringkali terjadi inovasi produk untuk
meningkatkan penjualan.
Responden dengan jawaban pada kategori tidak
setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel strategi pemasaran internal
karena : (1) perusahaan masih menggunakan cara
lama dalam memasarkan produknya; (2) semua
karyawan di perusahaan menggunakan atau
mengkonsumsi pasta gigi pepsodent.
karena : (1) konsumen membeli produk pasta gigi
pepsodent berdasarkan pilihan manfaat atau
kegunaan; (2) di suatu lingkungan tertentu,
penjualan produk pasta gigi pepsodent masih kalah
dibanding dengan produk lain.
4.8 Deskripsi Variabel Simbol Individu (B4)
a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 22 orang (16,92%)
berarti karyawan menilai sangat setuju terhadap
indikator variabel simbol individu perilaku karena :
organisasi memiliki peraturan yang berbeda dengan
organisasi lain.
b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai
4) adalah sebanyak 61orang (46,98%) berarti
karyawan menilai setuju terhadap indikator variabel
simbol individu karena : organisasi memiliki cerita
perjuangan atau perjalanan organisasi hingga sampai
saat ini masih bertahan bahkan berkembang.
c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup
4.7 Deskripsi Variabel Pemasaran Eksternal (Y2)
a.
b.
c.
d.
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 45 orang (34,61%)
berarti karyawan menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel simbol individu karena :
organisasi dan seluruh anggotanya memiliki
identitas tertentu.
Responden dengan jawaban pada kategori sangat
setuju (nilai 5) adalah sebanyak 1 orang (10%)
berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap
indikator variabel strategi pemasaran eksternal
karena : (1) konsumen membeli produk pasta gigi
pepsodent berdasarkan pilihan manfaat atau
kegunaan; (2) kegiatan atau even sosial yang
diadakan perusahaan berpengaruh terhadap
peningkatan penjualan produk.
Responden dengan jawaban pada kategori setuju
(nilai 4) adalah sebanyak 12 orang (24%) berarti
konsumen menilai setuju terhadap indikator
variabel strategi pemasaran eksternal karena : (1)
konsumen membeli berdasarkan pilihan merek; (2)
iklan atau promosi perusahaan menarik dan
mempengaruhi konsumen untuk membeli peroduk;
(3) pemotongan harga, pemberian hadiah maupun
pengharagaan
yang
diberikan
perusahaan
berpengaruh terhadap loyalitas konsumen.
Responden dengan jawaban pada kategori cukup
setuju (nilai 3) adalah sebanyak 36 orang (72%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel strategi pemasaran internal
karena : (1) konsumen tetap mengkonsumsi pasta
gigi pepsodent meskipun harganya naik atau lebih
mahal dareipada produk lain; (2) konsumen
sebelumnya pernah mengkonsumsi produk lain
sebelum menggunakan produk pasta gigi
pepsodent; (3) produk pasta gigi pepsodent pernah
mengalami penurunan penjualan.
Responden dengan jawaban pada kategori tidak
setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%)
berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap
indikator variabel strategi pemasaran internal
C4 -6
4.9 Matriks SWOT
14
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
5.2 Pembuktian Hipotesis
Y= 0,715 + 0,545 X1 + 0,679 X2 +0,936 X3 + 0,134X4 +0,260 X5
1. Konstan intersep sebesar 0,715 merupakan
perpotongan garis regresi dengan sumbu Y yang
menunjukkan rata-rata strategi pemasaran pasta
gigi Pepsodent oleh perusahaan Unilever pada
saat perilaku konsumen (customer behavior) yang
terdiri dari kekuatan image (brand image), respon
perusahaan (organizational responses), respon
distributor (retailer responses), dan nilai – nilai
konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai
intrinsik produk (product intrinsic value) serta
nilai ekstrinsik produk (product extrinsic value)
sama dengan nol.
2. Koefisien regresi X1 sebesar 0,545 menunjukkan
bahwa apabila variabel kekuatan image (brand
image) meningkat 1 satuan maka strategi
pemasaran perusahaan akan meningkat sebesar
0,545 dengan anggapan variabel bebas lainnya
tetap. Peningkatan ini terutama untuk indikator
pasta gigi pepsodent digunakan di sekitar
lingkungan konsumen, pasta gigi pepsodent
memiliki persepsi yang kuat terhadap diri
konsumen terutama mengenai hal-hal yang
ditawarkan perusahaan terhadap produk melalui
iklan atau kegiatan perusahaan, dan konsumen
tidak bersedia berganti produk pasta gigi dengan
merek lain. .
3. Koefisien regresi X2 sebesar 0,679 menunjukkan
bahwa apabila variabel respon perusahaan
(organizational responses) meningkat 1 satuan
maka strategi pemasaran perusahaan akan
meningkat sebesar 0,679 dengan anggapan
variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini
terutama untuk indikator dengan kondisi
konsumen beranggapan bahwa perusahaan
mampu bekerjasama dengan instansi pelayanan
umum yang berkaitan dengan kesehatan gigi,
konsumen merasa perusahaan memberi perhatian
terhadap selera konsumen berkaitan dengan
produk pasta gigi pepsodent, dan perusahaan
selalu mempertimbangkan perubahan keinginan
maupun selera konsumen terhadap produk.
4. Koefisien regresi X3 sebesar 0,936 menunjukkan
bahwa apabila variabel respon distributor, retailer
dan toko (distribuotor and retailer responses)
meningkat 1 satuan maka strategi pemasaran
perusahaan akan meningkat sebesar 0,936 dengan
5. Analisa Hasil Penelitian
5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas
C4 -6
15
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
5.
6.
7.
8.
anggapan variabel
bebas lainnya tetap.
Peningkatan ini terutama untuk indikator dengan
kondisi perusahaan memperhatikan keluhan,
keinginan dan harapan konsumen mengenai
produk, sirkulasi pengiriman produk maupun
sistem distribusi pasta gigi di retail sekitar
konsumen sesuai dengan yang dikehendaki
konsumen.
Koefisien regresi X4 sebesar 0,134 menunjukkan
bahwa apabila variabel nilai intrinsik produk
(product intrinsic value) meningkat 1 satuan
maka strategi pemasaran perusahaan akan
meningkat sebesar 0,134 dengan anggapan
variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini
terutama untuk indikator dengan kondisi respon
atau perhatian dari perusahaan terhadap keluhan
yang disampaikan konsumen atas konsumsi
produk, keyakinan konsumen bahwa produk pasta
gigi pepsodent dibuat dan diproduksi dengan
bahan-bahan pilihan, mesin-mesin canggih, dan
tenaga kerja yang handal. Selanjutnya terdapat
jaminan dari perusahaan terhadap produk pasta
gigi pepsodent yang dikonsumsi konsumen. .
Koefisien regresi X5 sebesar 0,260 menunjukkan
bahwa apabila variabel nilai ekstrinsik produk
(product extrinsic value) meningkat 1 satuan
maka strategi pemasaran perusahaan akan
meningkat sebesar 0,260 dengan anggapan
variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini
terutama untuk indikator dengan kondisi produk
pasta gigi pepsodent memiliki kualitas yang
paling bagus dibandingkan dengan produk lain,
konsumen tidak kesulitan dalam memperoleh
produk pasta gigi pepsodent, kegiatan yang
dilakukan perusahaan mengenai sosialisasi
manfaat produk bermanfaat bagi konsumen,
informasi mengenai manfaat produk disukai oleh
konsumen.
Nilai koefisien korelasi berganda (R) dari
persamaan regresi linier berganda di atas sebesar
0,715 besarnya nilai (R) ini menunjukkan adanya
hubungan antara variabel strategi pemasaran
perusahaan (Y) dengan variabel bebasnya yaitu
customer behavior yang terdiri dari kekuatan
image (X1), respon perusahaan (X2), respon
distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh
nilai-nilai konsumen (customer value) yang
terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai –
nilai ekstrinsik produk (X5) adalah sangat kuat
(karena di atas 0,5).
Nilai Koefisien determinan (R2) daripersamaan
regresi linier berganda di atas sebesar 0,511 ≈
0,5. Hal ini berarti 50% variasi dari faktor
kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2),
respon distributor, retailer dan toko (X3), dan
pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value)
yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4),
nilai
–
nilai
ekstrinsik
produk
(X5)
mempengaruhi strategi pemasaran. Sedangkan
sisanya, 50% menunjukkan strategi pemasaran
dipengaruhi variabel-variabel lain di luar variabel
C4 -6
faktor perilaku konsumen (customer behavior)
dan nilai – nilai konsumen (customer value).
9. Standard Error of The Estimation (SEE) sebesar
0,211. Makin kecil SEE akan membuat model
regresi semakin tepat dalam memprediksi
variabel bebasnya.
5.3 Pengambilan Keputuan
Berdasarkan nilai Fhitung > Ftabel (Fhitung sebesar
9,212 > Ftabel sebesar 1,6794), maka dapat
disimpulkan bahwa kekuatan image (X1), respon
perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko
(X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer
value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk
(X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) secara
bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
strategi pemasaran pada produk pasta gigi pepsodent
produksi PT Unilever Surabaya (menolak H0 dan
menerima H1), sehingga hipotesis pertama terbukti
kebenarannya.
Berdasarkan perbandingan nilai Thitung
dengan Ttabel dimana Thitung terletak di luar interval
Ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa faktor
kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon
distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilainilai konsumen (customer value) yang terdiri dari
nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai
berpengaruh signifikan
ekstrinsik produk (X5)
terhadap strategi pemasaran pada produk pasta gigi
pepsodent produksi PT. Unilever Surabaya (menolak
H0 dan menerima H1), sehingga hipotesis kedua
terbukti kebenarannya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai
koefisien korelasi (R) dari persamaan regresi linier
berganda di atas sebesar 0,715 yang berarti korelasi
(hubungan) variabel bebas dengan variabel Y adalah
kuat yaitu sebesar 71,5%. Standard Error of The
Estimated (SEE) sebesar 0,211. Makin kecil SEE
akan membuat model regresi semakin tepat dalam
memprediksi variabel bebasnya
Pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas
secara bersama-sama terhadap variabel tergantung
menggunakan teknik statistik uji-F. Berdasarkan
perbandingan dimana nilai Fhitung sebesar 9,212 >
Ftabel sebesar 1,6794. Hal tersebut menunjukkan
bahwa faktor perilaku konsumen (customer
behavior) yang terdiri dari kekuatan image (X1),
respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer
dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen
(customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik
produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5)
secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap strategi pemasaran pasta gigi Pepsoden
produksi PT. Unilever.
Pengujian hipotesis pengaruh masingmasing variabel bebas secara parsial terhadap
variabel tergantung berdasarkan perbandingan
>
Ttabel. Hal tersebut
dimana nilai Thitung
menunjukkan bahwa faktor perilaku konsumen
(customer behavior) yang terdiri dari kekuatan image
16
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
(X1), respon perusahaan (X2), respon distributor,
retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai
konsumen (customer value) yang terdiri dari nilainilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik
produk (X5) secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap budaya organisasi pada usaha kecil batik di
kabupaten Pacitan.
Variabel perilaku konsumen (customer
behavior) yang terdiri dari kekuatan image (X1),
respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer
dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen
(customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik
produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) yang
paling berpengaruh terhadap strategi pemasaran pasta
gigi pepsodent produksi PT. Unilever adalah faktor
nilai-nilai ekstrinsik produk, karena memiliki nilai r2
lebih besar dibandingkan dengan variabel yang lain.
yang didapatkan bernilai 1,16. Maka dipastikan
bahwa strategi dengan analisa SWOT berada
pada kuadran I yaitu strategi agresif. Dengan
demikian terdapat persamaan pemilihan strategi
baik dengan menggunakan analisa SWOT
maupun dengan menggunakan pengolahan regresi
linier berganda.
6.2 Saran
- Berdasar hasil analisa uji t dan koefisien parsial
(r), didapatkan bahwa perilaku konsumen sangat
mempengaruhi
strategi
pemasaran
yang
diterapkan. Sehingga disini PT Unilever
Indonesia Tbk diharapakan lebih meningkatkan
lagi pengetahuan serta perkembangan dari
perilaku konsumen yang selama ini ada. Hal
semacam ini bisa dengan menggunakan promosi
atau event-event yang nantinya ada interaksi
langsung antara perusahaan dengan konsumen.
Sehingga secara tidak langsung memberikan
kesempatan kepada konsumen untuk secara
langsung memberikan masukan dan perubahan
yang diinginkan.
- Tingginya tingkat keterkaiaitan antara hubungan
customer behavior dan customer value terhadap
penerapan strategi marketing, serta tingkat
kekuatan internal perusahaan yang sangat bagus,
maka untuk strategi pemasaran selanjutnya yang
paling tepat adalah dengan menggunakan strategi
agresif. Penerapan strategi agresif ini dapat
melalui, perkembangan pasar, penetrasi pasar,
pengembangan produk, serta diversifikasi produk.
6 Kesimpulan dan Saran
6.1 Kesimpulan
- Nilai koefisien korelasi berganda (R) dari
persamaan regresi linier berganda di atas sebesar
0,715, besarnya nilai (R) ini menunjukkan
adanya hubungan antara variabel strategi
pemasaran perusahaan (Y) dengan variabel
bebasnya yaitu customer behavior yang terdiri
dari kekuatan image (X1), respon perusahaan
(X2), respon distributor, retailer dan toko (X3),
dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer
value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk
(X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) adalah
sangat kuat (karena di atas 0,5).
- Nilai Koefisien determinan (R2) dari persamaan
regresi linier berganda di atas sebesar 0,511 ≈
0,5. Hal ini berarti 50% variasi dari faktor
kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2),
respon distributor, retailer dan toko (X3), dan
pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value)
yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4),
nilai
–
nilai
ekstrinsik
produk
(X5)
mempengaruhi strategi pemasaran. Sedangkan
sisanya, 50% menunjukkan strategi pemasaran
dipengaruhi variabel-variabel lain di luar variabel
faktor perilaku konsumen (customer behavior)
dan nilai – nilai konsumen (customer value).
- Berdasarkan nilai Fhitung > Ftabel (Fhitung sebesar
9,212 > Ftabel sebesar 1,6794), maka dapat
disimpulkan bahwa kekuatan image (X1), respon
perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan
toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen
(customer value) yang terdiri dari nilai-nilai
intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik
produk (X5) secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap strategi pemasaran pada
produk pasta gigi pepsodent produksi PT
Unilever Surabaya
- Melalui analisa SWOT diketahui bahwa kekuatan
internal memiliki nilai positip sebesar 2,00, dan
kekuatan faktor eksternal sebesar 0,84.
Kemudian dicari selisih antara faktor kekuatan
internal dengan kekuatan eksternal. Dan hasil
C4 -6
Referensi
Aaker, D. A. 1992, Strategic Market Management, 3rd
Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Allen dan Mayer, 1990. Psychology In Management. New
York : Mc Graw – Hill Company.
Anoraga, Pandji, 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : Rineka
Cipta.
Ariani, Dorothea W. 1999. Manajemen Kualitas. Edisi I,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan
Praktis, Edisi Revisi Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Arnold, D. 1996. Pedoman Manajemen Merek
(terjemahan). Surabaya. Kentindo Soho
Bass, B.M., 1994. Leadership and Performance Beyond
Expectation. New York : Free Press.
Bass, B.M. and B.J. Avolio, 1994. Improving
Organizational
Effectiveness
Through
Transformational Leadership. New York : Thousand
Oaks SAGE Publication, Inc.
Basu, K.S, 1968, Management Similiarities and
Differences Under Different Cultures. Rotterdam :
Ned. Inst. V. Efficiency University Press.
Bennett, P.d. 1988. Disctionary of Marketing Terms. New
York : The American Marketing Association
Berry, L.L. 1995. On Great Service : A Frame Work for
Action. New York: The Free Press
Bennis, Warren, 1989. Human Behaviour at Work, 1st
Edition, Santa Monica, California : Goodyear
Company.
17
Seminar Nasional Teknik Industri 2006
Luthans, Fred. 1995. Organizatioanal Behavior. 6th
Edition, Englewood Cliff, New Jersey : Prentice
Hall Inc
Malhotra, Naresh K. 1996. Marketing Research : An
Applied Orientation. New Jersey : Prentice Hall
International Editions
Mangkunegara, AA. Prabu. 2000. Manajemen Sumber
Daya Manusia Perusahaan. Bandung, PT. Remaja
Rodakarya
Maslow, Abraham, 1943, A Theory of Human Motivation,
Publ, New York
Miner, John B. 1992. Organizational Behavior
Performance, and Productivity. Boston : Richard D.
Irwin Inc.
Nanus, Burt, 1994. Organization : Theory and Design, 4th
Edition, United States of America : West Publising
Company
Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Edisi Ketiga.
Jakarta : Ghalia Indonesia
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Budaya Organisasi. Jakarta :
Rineka Cipta
Nitisemito, AS. 1996. Manajemen Personalia :
Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Ketiga.
Jakarta. Ghalia Indonesia
Orville C Walker, Jr. Harper W. Boyd, Jr and Jean Claude
Larreche. 1992. Marketing Strategy, Homewood, IL
Pangeran, Perminas, 1999. Transformasi Organisasional
dan Pergeseran Peran Sumber Daya Manusia.
Usahawan. TH XXVIII Nopember. No. 11.
Riggio, Ronald E. 1996. Introduction to Industrial /
Organizational Psychology. Second Edition.
Singapore : Mc Graw – Hill International Edition
Robbins, Stephen P. 1990. Organization Theory.
Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc
Robbins, Stephen P. 1998. Perilaku Organisasi, Edisi
Kedelapan (Jilid 2). Jakarta : PT. Prenhallindo
Robert, Karlene H and David M. Hunt. 1991.
Organizational Behavior, 2nd Edition, Boston : PwsKent Publishing Company.
Rochelle O’Connor. 1985. Facing Strategic Issues : New
Planning Guides and Practices. New York. The
Conference Board Inc
Room, Vernand. 1992. Employee Behavior in Motivation.
California, Webster University
Siagian, Sondang P. 1996. Manajemen SDM . Jakarta.
Bumi Aksara.
Simons, T.L., 1999. Behavioral Integrity as ACritical
Ingridient for Transformational Leadership. Journal
of Organizatioanal Change Management. Volume 12
(2).
Brown, Warren B. dan Dennis J. Moberg, 1991.
Organization Theory and Management ; A Macro
Approach. New York.: John Wiley & Sons.
Budhi Paramita, 1986, Masalah Keserasian Budaya dan
Manajemen Indonesia.
Jakarta : Majalah
Manajemen dan Usahawan Indonesia.
Burhan. 2004. Perencanaan Strategik. Lembaga
Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, Jakarta
Burns, 1994. Human Resource Management, 3rd Edition,
Boston : Houghton Mifflin Company.
Cascio, Wayne F., 1992. Managing Human Resources,
Productivity, Quality of Work Live, Profits. Third
Edition. Singapore : MC Graw – Hill International
Edition
Celland, Michael, Human Resource Management, 4rd
Edition, London : Scienetics Economics Association.
Davis, Keith and John W Newstrom. 1989. Human
Behavior at Work : Organizational Behavior. Eight.
Singapore : Mc. Graw-Hill International Edition
Davis, Keith and William BWerther. 1993. Human
Resources and Personnel Management. Fourth
Edition. Singapore : Mc. Graw-Hill International
Edition
Desseler, Gary, 1992, Organizational Theory. Singapore :
Prentice-Hall.
Du Brin, Andrew J., 1988. Human Relations : A Job
Oriented Approach. Fourth Edition. New Jersey.
Prentice Hall, Inc.
Feinstein, H. Andrew. 2001. A Study of Relationships
Between Job Satisfaction and Organizational
Commitment Among Restaurant Employee. Journal
of Applied Psycology. 62 (4). 472 – 479.
Gibson. 1987. Organizational Culture Characteristics. 4th
Edition, New York. Prentice Hall
Graves, Desmond, 1986, Corporate Culture : Diagnosis
and Change Auditing and Changins the Culture of
Organizations. London : Frances Pinters (Publs).
Greenber A., dan Michael Baron J., 1995. Behavior in
Organization : Understanding and Managing The
Human Side of Work. 3rd Edition, New Jersey :
Prentice Hill Inc.
Gujarati D., 1997. Ekonometrika Dasar. Cetakan Keenam.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
Handoko, H dan F. Tjiptono, 1996. Kepemimpinan
Transformasional dan Pemberdayaan. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Volume 1.
Hasan, Iqbal, 1999. Pokok - Pokok Materi Statistik 2
(Statistik Inferensi). Edisi Pertama. Jakarta : Bumi
Aksara.
Hersley, Paul dan Ken Blanchard, 1988, Management of
Organizational Behavior. New Jersey : Prentice Hall
Int. Eds.
Hezberg, Frederick, 1984, Human Motivation in Work
Place, South Carolina, Quantum International
Igalens, Jaques and Patrice Roussel. 1998. A Study of The
Relationship Between Compensation Package, Work
Motivation and Job Satisfaction. Journal of
Organizational Behavior. 20. (2) : 1003 – 1025
Indriantoro, Nur, dan Supomo, Bambang. 1997.
Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan
Manajemen. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE
UGM
Ivancevich, John M., 1992. Human Resource Management
: Foundations of Personnel. Fifth Edition. Illionis :
Irwin, Inc.
Kotler, John P dan James L. Heskett. 1992. Corporate and
Performance. New York. : The Free Press
C4 -6
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy., 1989. Metode
Penelitian Survei. Edisi Kedua. Jakarta : PT. Pustaka
LP3ES.
Stone, Raymond J, 2002. Human Resources Management.
Fourth Edition. Australia. John Wiley & Sons, Ltd
Stoner, James A.F and Charles Wankel, 1993.
Perencanaan dan Pengambilan Keputusan. Cetakan
Pertama. Terjemahan. Jakarta. Rineka Cipta
Suparmoko, 1998. Metode Penelitian Praktis. Yogyakarta
: BPFE UGM
Umar, Husein. 1998. Riset Sumber Daya Manusia Dalam
Organisasi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama
Wexley, Kenneth N and Gary A Yulk. 1992. Perilaku
Organisasi dan Psikologi Personalia. Terjemahan.
Jakarta. Rineka Cipta
18
Download