Seminar Nasional Teknik Industri 2006 ANALISA PENGARUH PERILAKU KONSUMEN DAN NILAI-NILAI KONSUMEN TERHADAP STRATEGI PEMASARAN PRODUK PASTA GIGI PEPSODENT MEDIUM DI AREA PEMASARAN SURABAYA (Studi Kasus : Produk Pasta Gigi Pepsoden Medium Ukuran 75 gr Produksi PT. Unilever Indonesia, Rungkut – Surabaya) Oleh : Sutrisno, Ir. Arman Hakim Nasution M.Eng, Ir. Lantip Trisunarno Msc Rekayasa Kualitas Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS Keputih Sukolilo- Surabaya 60111 Email : Sutrisno @ yahoo.co.id Abstrak Pasar global dan persaingan usaha yang semakin kompetitif untuk dunia manufaktur membawa dampak yang besar dalam hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya. Sebagai contoh, tuntutan konsumen makin besar, mereka tidak lagi sekedar menginginkan produk atau jasa yang berkualitas dengan harga murah tetapi juga sangat mengharapkan kecepatan penyampaian, fleksibilitas, dan layanan pelanggan (customer service) yang unggul. Dalam membeli suatu produk, pelanggan selalu berupaya memaksimalkan nilai (value) yang dirasakan di saat dia menghadapi berbagai macam pilihan produk, merek, harga dan penjual. Konsumen akan memilih penawaran yang memberikan nilai (customer value) tertinggi dengan cost yang rendah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan antara perilaku konsumen (customer behavior) dan nilai konsumen (customer value) terhadap penerapan strategi marketing yang dilakukan oleh PT. Unilever Indonesia Tbk sehubungan dengan pemasaran produk pasta gigi Pepsodent medium. Dari hasil pengolahan serta analisa data didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0,715, menunjukkan adanya hubungan antara customer behavior dan customer value terhadap strategi pemasaran. Untuk nilai koefisien determinan (R2) didapatkan sebesar 0,511. Hal ini menunjukkan bahwa 50% strategi pemasaran dipengaruhi oleh faktor-faktor perilaku konsumen dan nilai konsumen. Sedangkan sisanya, 50% dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar kedua variabel tersebut. Dengan mengetahui tingginya keterkaitan hubungan customer behavior dan customer value terhadap strategi pemasaran yang diterapkan, maka strategi pemasaran untuk selanjutnya yang paling tepat adalah dengan strategi agresif. Ditunjang dengan kekuatan internal yang sangat baik, maka untuk penerapan strategi agresif tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perkembangan pasar, penetrasi pasar, pengembangan produk, serta diversifikasi produk. Kata Kunci : customer behavior, customer value, strategi pemasaran global dalam era perdagangan bebas, yaitu di pasar yang semua berlangsung dengan cepat, boleh jadi perusahaan akan tumbang dan posisinya akan diambil alih oleh pesaingnya. Pasar global dan persaingan usaha yang semakin kompetitif tersebut membawa dampak yang besar dalam hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya. Sebagai contoh, tuntutan konsumen makin besar, mereka tidak lagi sekedar menginginkan produk atau jasa yang berkualitas dengan harga murah tetapi juga sangat mengharapkan kecepatan penyampaian, fleksibilitas, dan layanan pelanggan (customer service) yang 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Setiap perusahaan hidup dari pelanggan, karena itu pelanggan merupakan satu-satunya alasan keberadaan sebuah perusahaan. Dengan demikian, kepuasan pelanggan wajib menjadi prioritas bagi setiap perusahaan. Meskipun demikian, tidak sedikit perusahaan yang kurang menyadari arti pentingnya kepuasan pelanggan. Akibatnya mudah ditebak, perusahaan secara cepat atau perlahan namun pasti akan mengalami kemunduran. Beruntung bila kemunduran tersebut berlangsung perlahan, karena masih ada waktu untuk berbenah. Tetapi di pasar C4 -6 1 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 unggul. Dalam membeli suatu produk, pelanggan selalu berupaya memaksimalkan nilai (value) yang dirasakan di saat dia menghadapi berbagai macam pilihan produk, merek, harga dan penjual. Konsumen akan memilih penawaran yang memberikan nilai (customer delivered value) tertinggi dengan cost yang rendah yang tentunya ada realitas kendala berupa biaya informasi, terbatasnya pengetahuan, mobilitas dan pendapatan. Selain itu saat ini industri manufaktur yang berbasis produksi masa (mass production) atau yang bersifat kebutuhan sehari-hari (consumer goods) mengalami tingkat persaingan sangat ketat dan berada pada pasar yang jenuh. Hal ini mengakibatkan tiap perusahaan berlomba-lomba untuk melakukan terobosan-terobosan baru untuk dapat memenangkan persaingan, mempertahankan konsumen lama atau bahkan menarik konsumen baru. Perubahan dan perbaikan yang dilakukan antara lain penggantian mesin-mesin atau peralatan baru yang lebih efisien dan produktif, perekrutan sumber daya manusia memiliki kemampuan sesuai dengan kebutuhan organisasi, inovasi dan diversifikasi produk baru, peningkatan pelayanan dan penambahan jalur distribusi. Pasta gigi merupakan kebutuhan penting bagi tiap individu di segala segmen dan demografi, sehingga produksi produk tersebut sangat tinggi setiap hari seiring dengan tingginya permintaan. Kriteria produk pasta gigi yang diinginkan konsumen diantaranya mengandung kandungan fluoride yang cukup, memiliki rasa segar, ekonomis, praktis, terkemas dengan baik dan menarik. PT. Unilever Indonesia di Surabaya pada departemen produksi memiliki dua divisi yaitu Personal Care dan Personal Wash. Divisi personal care meliputi produk-produk hair, skin, deo, dan dental. Sedangkan personal wash khusus memproduksi sabun mandi. Produk-produk hair meliputi sampo dan conditioner dengan beberapa merek Sunslik, Clear, Lifeboy, Dove. Untuk produk skin lebih menekankan pada produk perawatan kulit dengan beberapa merek Ponds, Dove, Citra, Vaseline. Produk deo untuk produk wewangian dengan merek Rexona dan Axe. Produk Dental diproduksi untuk perawatan gigi dengan beberapa merek Pepsodent, Close Up, dan Sparkle. Khusus untuk produk dental, PT. Unilever untuk saat ini menjadi market leader di pemasaran Indonesia terutama untuk merek Pepsodent dengan ukuran antara 25 gram – 190 gram, dimana tingkat produksi rata-rata per hari 870.000 pcs. Barang produksi tersebut dipasarkan melalui depo maupun outlet yang dikelola oleh PT. Excell. Untuk setiap depo rata-rata sirkulasi atau perputaran barang pasta gigi ini 2 minggu. Produk pasta gigi Pepsodent jenis warna putih memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan produk lain yang sejenis diantaranya mengandung flourade sebagai bahan anti gigi berlubang, mengandung CaGP sebagai bahan aktif C4 -6 yang mampu memperkuat daya kerja flouride dalam mencegah gigi berlubang. Meskipun memiliki banyak kelebihan dalam hal produk maupun feature yang ditawarkan oleh pasta gigi Pepsodent, namun PT. Unilever cukup kesulitan dalam merebut pangsa pasar yang telah dimiliki oleh pesaingnya. Dan pada kondisi tertentu pencapaian target penjualan produk pasta gigi Pepsodent putih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dari uraian di atas maka, perusahaan melalui berbagai kebijakan manajemen berupaya mencari rumusan strategi pemasaran yang sesuai dengan kondisi internal organisasi maupun kondisi eksternal. Dengan strategi pemasaran yang tepat ini maka diharapkan penjualan produk meningkat, pangsa pasar yang luas dan melemahkan posisi pesaing dalam persaingan. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi permasalahan bagi PT. Unilever Indonesia khususnya untuk produk Pepsodent putih ekonomis medium antara lain : 1. Apakah faktor – faktor perilaku konsumen (customer behavior) dan nilai-nilai konsumen (customer value) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap strategi pemasaran produk pasta gigi Pepsodent ? Dan dari faktor- faktor tersebut di atas, faktor manakah yang memiliki pengaruh paling dominant terhadap strategi pemasaran pasta gigi Pepsodent ? 2. Bagaimana strategi pemasaran yang diterapkan oleh PT. Unilever untuk mempertahankan pangsa pasar yang telah dicapai dan upayanya mencari pangsa pasar baru ? 1.3 1. 2. 3. 1.4 2 Tujuan Penelitian Menentukan strategi pemasaran yang tepat untuk mempertahankan pangsa pasar lama dan mendapatkan pangsa pasar baru. Mendeskripsikan karakteristik konsumen pengguna produk Pepsodent ekonomis medium. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada nilai-nilai konsumen (customer value) dan perilaku konsumen (customer behavior) pada penggunaan produk Pepsodent ekonomis medium. Manfaat Penelitian 1. Penelitian dilakukan khusus untuk produk Pepsodent ekonomis ukuran medium 2. Daerah penelitian dilakukan hanya meliputi wilayah Surabaya 3. Pengukuran tingkat konsumsi dan pemasaran dilakukan pada toko dan warung di tingkatan pengecer 4. Data diperoleh dari Departemen Produksi dan Depo atau outlet resmi PT. Unilever Indonesia. Seminar Nasional Teknik Industri 2006 II. Landasan Teori 2.1 Definisi Kepemimpinan Strategi pemasaran bertujuan untuk mengetahui kelompok konsumen eksternal organisasi dimana di dalamnya terdapat segmen pasar yaitu sub kelompok pembeli dalam pasar. Kebutuhan dan keinginan pembeli serta tanggapan terhadap usahausaha pemasaran sebuah segmen hampir sama dan berbeda diantara segmen. Keanekaragaman kebutuhan dan keinginan pembeli lebih menunjukkan peluang daripada ancaman. Peluang dan ancaman memungkinkan bisnis merancang produk yang sesuai dengan preferensi kelompok konsumen yang bervariasi. Perusahaan hendaknya berkonsentrasi dalam pemenuhan kebutuhan tertentu agar bisa lebih efektif dibandingkan dengan pesaingnya. Asosiasi Pemasaran Amerika (American Marketing Association-AMA, 1989) mendefinisikan strategi pemasaran sebagai : Suatu upaya strategis dalam proses perencanaan dan pelaksanaan konsep, pemberian harga, promosi dan pendistribusian ide-ide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan individu dan tujuan organisasi. dirasakan kegunaannya serta hanya dijumpai pada kelompok professional yang termotivasi tinggi. 2.2 Kesalahan Penentuan Strategi Rochelle O’ Connor dalam Facing Strategic Issues : New Planning Guides and Practices, Laporan No. 87 (New York : The Conference Board Inc, 1985) mendefinisikan beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam penentuan strategi perusahaan : 1. Bertaruh untuk jangka panjang 2. Mencoba melakukan ‘perubahan’ pada situasi yang tidak menjanjikan apa-apa 3. Tidak mempercayai nasib baik dan kegagalan dalam mengkapitalisasi kesalahan pesaing 4. Melukai pesaing namun tidak melumpuhkannya 5. Mempercepat keruntuhan pada saat memungut hasil bisnis 6. Pemasaran dan R & D yang berlebihan pada saat strategi unit bisnis lemah, dan pemasaran R & D yang tidak memadai pada saat kuat 7. Mengambil resiko untuk masalah besar yang hanya menghasilkan keuntungan sedikit 8. Kurangnya perhatian pada strategi unit bisnis dan industri yang dimasukinya, terutama yang berhubungan dengan pembatasan kemungkinan yang ada 9. Menghadapi pesaing berdasarkan kemauan dan istilahnya sendiri 10. Melakukan sesuatu dari yang dapat dilakukan. Jangan terlalu yakin terhadap usaha yang sia-sia 11. Kegagalan mengembangkan strategi yang fleksibel dan mudah beradaptasi dengan keadaan yang berubah 12. Tetap melakukan strategi persaingan yang sama dengan menambah sumber daya, untuk kesalahan yang sama. 13. Melupakan strategi bisnis yang menggambarkan cara untuk mencapai keadaan ekonomi dan tujuan ekonomi yang harus mendasari strategi bisnis 14. Terlalu memfokuskan pada pengembangan taktik yang efisien dengan mengorbankan pemikiran strategis 15. Gagal dalam memilih pesaing yang ingin tantangan 16. Gagal menganalisis lingkungan yang stabil. 17. Gagal dalam melihat peluang yang terdapat dalam lingkungan yang berubah Federick E. Webster menjelaskan peranan manajer pemasaran : Pada level korporasi, manajer pemasaran memainkan peranan penting sebagai penasehat bagi konsumen dan sejumlah nilai, serta kepercayaan yang menempatkan konsumen sebagai hal utama dalam pengambilan keputusan perusahaan dan mengkomunikasikan proporsi nilai sebagai bagian budaya seluruh organisasi, baik intern maupun hubungan dengan aliansi. Cravens (1996) menekankan bahwa konsep pemasaran memiliki tiga aspek dasar yaitu : 1. dimulai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen sebagai dasar tujuan bisnis 2. mengembangkan pendekatan organisasi untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen 3. mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan memberikan kepuasan pada konsumen Sedangkan Kotler (1997), mendefinisikan bahwa pemasaran strategis adalah konsep yang menjelaskan tentang keputusan, analisis dan permasalahan pemasaran, penekanan terhadap pandangan organisasional daripada fungsional. Peran pemasaran berubah seiring dengan kesadaran akan pentingnya pelanggan bagi suatu perusahaan. Dari definisi mengenai pemasaran di atas dapat disimpulkan bahwa proses pemasaran bertujuan untuk memuaskan konsumennya. Kunci utama untuk mencapai sasaran organisasi adalah dengan mengenali kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) dari pasar sasarannya dan memberikan kepuasan kepada konsumen dengan cara yang lebih efektif dan efisien dibandingkan pesaingnya. C4 -6 2.3 Product Life Cycle dan Strategi di Tiap Fase Product Life Cycle menggambarkan tahaptahap yang berbeda dalam perkembangan sejarah penjualan dari suatu produk. Persamaan dari tahaptahap ini adalah peluang dan masalah yang berbeda berkenaan dengan strategi pemasaran dan potensial laba. Dengan mengidentifikasikan tahap dimana suatu produk berbeda, atau mungkin arah perkembangannya, perusahaan dapat memformulasikan rencana-rencana pemasaran yang lebih baik. 3 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 Menurut Kotler (1994) produk dalam suatu industri manufaktur akan memiliki siklus hidup jika : - produk memiliki siklus hidup yang terbatas - penjualan produk melewati tahap-tahap yang berbeda, setiap tahap memberikan tantangan yang berbeda bagi penjual - Keuntungan meningkat dan menurun pada tahaptahap yang berbeda dari PLC - Produk membutuhkan strategi pemasaran, keuangan, produksi, pembelian dan personel yang berbeda dalam setiap tahap dalam siklus hidupnya. Menurut Kotler (1994) terdapat tiga kategori dari siklus hidup produk yang harus dibedakan yaitu gaya (style), mode (fashion) dan mode sesaat (fad). Gaya (style) merupakan suatu ekspresi yang mendasar dan berbeda yang muncul dalam hidup manusia. Sebagai contoh, gaya muncul pada tempat tinggal, pada pakaian dan pada seni. Sekali suatu gaya diciptakan, ia akan bertahan hingga ke generasi berikutnya, datang dan pergi sesuai keadaan. Gaya menunjukkan suatu siklus yang memperlihatkan beberapa periode dari minat yang diperbaharui kembali. Sebuah mode merupakan gaya yang diterima pada sat ini atau gaya yang populer dalam suatu bidang tertentu. Mode melewati empat tahap. Dalam tahap yang istimewa (distinctiveness stage), beberapa konsumen tertarik pada sesuatu yang baru untuk membedakan mereka dengan konsumen yang lain. Dalam tahap perlombaan (emultion stage), konsumen yang lain mulai merasa tertarik dan berusaha menandingi para pengikut yang terdahulu, dan para pemilik perusahaan mulai memproduksi produk tersebut dalam jumlah besar. Dalam tahap gaya masal (mass fashion stage) mode tersebut benar-benar telah popular dan produsen telah memproduksinya secara masal. Dalam tahap penurunan (decline stage), konsumen mulai mengalihkan perhatian pada mode baru yang mulai menarik perhatian mereka. Mode cenderung untuk tumbuh lambat, menjadi popular untuk sementara dan menurun perlahan. Panjangnya siklus sebuah mode sukar diperkirakan. Wasson (1992) percaya bahwa modemode dating dan berakhir karena mereka menunjukkan suatu kompromi pembelian dan konsumen mulai menjaga atribut yang hilang. Reynolds (1998) memperkirakan bahwa panjangnya siklus hidup suatu mode pada umumnya tergantung pada kemampuan mode tersebut memenuhi suatu kebutuhan yang asli, konsisten terehadap kecenderungan lain dalam masyarakat, dan tidak menemui keterbatasan teknologi dalam perkembangannya. Robinson (1982) melihat mode sebagai suatu cara hidup yang tidak dapat diduga siklusnya tanpa memperhatikan perubahan ekonomi, fungsional dan teknologi dalam masyarakat. Mode sekejap (fad) merupakan mode yang datang dengan cepat ke dalam pandangan publik, ditiru dengan gairah yang besar, meningkat dengan C4 -6 singkat, dan menurun dengan sangat pesat. Siklus hidup mode sekejap sangat pendek, dan cenderung untuk mempengaruhi pengikut yang terbatas. Mode sekejap menarik orang-orang yang sedang mencari sesuatu yang lain atau orang yang memiliki keinginan berbeda dari orang lain atau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Model sekejap tidak dapat bertahan lama karena mereka secara normal tidak dapat memenuhi kebutuhan dengan konstan. Sangat sulit untuk menduga apakah sesuatu hanya menjadi sebuah mode sekejap atau berapa lama mode tersebut akan berakhir. 2.3.1 Tahap Perkenalan Tahap perkenalan berawal ketika produk baru diluncurkan dan akan membutuhkan waktu untuk menyalurkan produk tersebut ke banyak pasar serta untuk memenuhi jalur distribusi. Dengan demikian pertumbuhan penjualan cenderung lambat. Buzzell (1992) mengidentifikasi beberapa penyebab lambatnya pertumbuhan dari banyak produk antara lain proses, keterlambatan dalam ekspansi kapasitas produksi, adanya masalah-masalah teknis, keterlambatan dalam memperoleh distribusi yang sesuai melalui jalur-jalur eceran, dan enggannya konsumen untuk mengubah perilaku yang sudah ada. Dalam tahap perkenalan, laba cenderung rendah atau bahkan rugi, karena rendahnya penjualan, sulitnya penyaluran barang dan mahalnya biaya promosi. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk menarik para distributor dan memenuhi saluran penyalur barang. Pengeluaran promosi sebagai rasio penjualan dalam posisi tertinggi. Kebutuhan promosi dilakukan untuk menginformasikan kepada pembeli potensial mengenai produk baru atau produk yang belum diketahui, mendukung percobaan produk tersebut, dan melindungi jalur distribusi melalui jalur eceran. Dalam meluncurkan produk baru, manajemen pemasaran dapat membentuk suatu tingkat tinggi atau rendah bagi setiap variable pemasaran, seperti harga, promosi, distribusi dan mutu produk 2.3.2 Tahap Pertumbuhan Tahap pertumbuhan ditandai dengan peningkatan penjualan secara cepat. Para pemakai awal menyukai produk, dan mayoritas konsumen tingkat menengah mulai membeli produk. Para pesaing baru memasuki pasar, ditarik sebagai peluang untuk produksi skala besar dan peningkatan laba. Mereka memperkenalkan bentuk-bentuk produk baru dan tindakan ini selanjutnya untuk memperluas pasar. Jumlah pesaing yang meningkat membawa peningkatan pada sejumlah jalur-jalur pemasaran (outlets), dan penjualan perusahaan melonjak untuk memenuhi jalur distribusi. Harga tetap atau jatuh sedikit ketika permintaan meningkat agak cepat. Perusahaan menjaga pengeluaran-pengeluaran promosinya pada tingkat yang sama atau pada suatu tingkat yang 4 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 meningkat sedikit untuk menghadapi persaingan dan untuk mempelajari pasar. Penjualan tumbuh dengan pesat, disebabkan oleh penurunan rasio promosi penjualan. Laba meningkat selama tahap ini karena biaya promosi disebar dalam volume yang lebih besar, dan biaya unit produksi turun lebih cepat dibandingkan dengan penurunan harga disebabkan oleh efek “kurva pengalaman” (experience curve). Tingkat pertumbuhan akhirnya berubah dari satu tingkat ekselerasi (peningkatan yang semakin cepat) menjadi tingkat deselerasi (peningkatan yang semakin lambat). Perusahaan harus mengawasi akibat dari tingkat deselerasi ini dalam rangka menyiapkan strategi baru. 2.3.3 Tahap Kedewasaan Pada suatu titik, tingkat pertumbuhan penjualan produk akan menurun, dan produk akan memasuki tahap kedewasaan relative. Tahap ini biasanya berakhir lebih lama daripada tahap sebelumnya, dan memberikan tantangan-tantangan baru terhadap manajemen pasar. Kebanyakan produk berada pada tahap kedewasaan dari siklus hidup, dan karenanya kebanyakan manajemen pemasaran adalah berhubungan dengan produk yang telah matang. Tahap kedewasaan akan terbagi menjadi tiga fase. Dalam fase pertama, kedewasaan pertumbuhan, dimana tingkat pertumbuhan mulai menurun. Tidak ada saluran distribusi baru yang harus diisi, meskipun beberapa pembeli masih memasuki pasar. Pada fase kedua adalah kedewasaan yang stabil, penjualan atas dasar per kapita akan mulai mengecil karena kejenuhan pertumbuhan pasar. Sebagian pembeli potensial telah mencoba produk, dan masa depan penjualan ditentukan oleh pertumbuhan penduduk dan permintaan pengganti. Pada fase ketiga merupakan kedewasaan yang semakin berkurang, tingkat penjualan absolute kini mulai berkurang, dan konsumen mulai beralih ke produk baru atau produk pengganti. Kelambatan dalam tingkat pertumbuhan penjualan akan mengakibatkan kelebihan kapasitas industri. Hal ini akan mengakibatkan persaingan yang semakin ketat. Pesaing mulai mencari dan memasuki corak pasar baru. Mereka terlibat dalam penetapan diskon. Mereka meningkatkan iklan mereka dan promosi perdagangan serta transaksi konsumen. Mereka meningkatkan anggaran litbang mereka untuk mengembangkan perbaikan produk serta produk sampingan. Mereka membuat perjanjian untuk penyediaan merek-merek pribadi. Tahap ini akan mengakibatkan erosi keuntungan. Periode sulit akan dimulai dan pesaing yang lebih lemah akan mundur. Industri akan terdiri dari pesaing-pesaing yang memilki akar yang kuat yang dasarnya adalah untuk memperoleh keunggulan kompetitif. Pesaing-pesaing ini akan terdiri dari dua jenis (lihat gambar di bawah ini). Pendominasian terhadap industri akan terjadi perusahaan raksasa yang menghasilkan sebagian besar proporsi output industri. Perusahaan-perusahaan ini akan menjadi C4 -6 keseluruhan pasar dan mereka memperoleh keuntungan terutama dari volumenya yang besar serta biaya yang rendah. Mereka agak dibedakan (differetiated) dalam pengertian reputasi atas biaya rendah, mutu yang tinggi, pelayanan yang baik, dan sejenisnya. Di sekitar perusahaan-perusahaan ini terdapat perusahaan yang berbeda di celah-celah persaingan. Mereka termasuk spesialis pasar, spesialis produk, dan perusahaan-perusahaan yang khusus. Mereka melayani dan memenuhi pasar sasaran mereka yang kecil dan memberikan harga premium. Masalah yang dihadapi oleh sebuah perusahaan dalam tahap kedewasaan adalah apakah berjuang untuk menjadi salah satu dari kelompok besar dalam persaingan dan memperoleh keuntungan melalui volume yang besar serta biaya yang rendah ataukah strategi ceruk pasar (niching strategy) dan menggapai keuntungan melalui margin yang tinggi. 2.3.4 Tahap Penurunan Penjualan dari kebanyakan produk dan merk akhirnya akan menurun. Penurunan penjualan tersebut dapat berlangsung lambat. Penjualan dapat jatuh hingga nol, atau berada pada suatu tingkat yang rendah. Penurunan penjualan terjadi karena sejumlah alasan, seperti kemajuan teknologi, perubahan selera konsumen, dan persaingan domestic dan internasional yang meningkat. Semuanya akan mengakibatkan kelebihan kapasitas, meningkatkan potongan harga, dan erosi keuntungan. Jika penjualan dan keuntungan menurun, beberapa perusahaan mundur dari pasar. Mereka yang akan bertahan mengurangi jumlah penawaran produknya. Mereka akan mundur dari segmen pasar yang lebih kecil dan saluran perdagangan yang lebih lemah. Mereka mungkin memotong anggaran promosi, dan lebih jauh lagi, mengurangi hargaharga produknya. Sayangnya, kebanyakan perusahaan belum dapat mengembangkan kebijaksanaan jalan keluar yang baik untuk mengendalikan produk-produk mereka yang telah lama. Ternyata perasaan sentimen memegang peranan: Logika juga memainkan peranan. Manajemen yakin bahwa penjualan produk akan meningkat jika perekonomian meningkat, atau jika strategi pemasaran direvisi, atau ketika produk tersebut diperbaiki. Atau produk yang lemah diperbaiki karena kontribusinya yang jelas terhadap penjualan produk perusahaan lain. Atau pendapatannya dapat menutup biaya di luar sampingan, dan perusahaan tidak dapat menggunakan uangnya lebih baik. Jika alasan-alasan yang kuat untuk dipertahankan tidak ada, mempertahankan produk yang telah lemah akan sangat membutuhkan dana perusahaan. Biaya tersebut bukan hanya merupakan jumlah biaya produksi dan keuntungan yang besar. Akuntansi keuangan tidak dapat dengan cukup memperlihatkan semua biaya-biaya yang 5 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 tersembunyi. Produk yang lemah akan menghabiskan jumlah waktu manajemen yang tidak proporsional, sering mengakibatkan penyesuaian harga dan persediaan pada umumnya meliputi produksi jangaka pendek walaupun waktu persiapan yang mahal, ia digunakan secara lebih baik untuk membuat produk yang “sehat” (produk lain) lebih menguntungkan, ketidaksehatannya akan mengakibatkan kebosanan konsumen dan merusak citra perusahaan. Biaya yang terbesar mungkin akan dialami pada masa yang mendatang. Kegagalan untuk menggantikan produk yang lemah berarti menunda pencarian yang agresif terhadap produk pengganti, produk yang lemah akan menimbulkn bauran produk yang berat sebelah, penekanan yang terlalu banyak “produk yang hidup kemarin” dan penekanan yang terlalu sedikit pada “ produk yang hidup hari esok”, mereka akan menekan keuntungan sekarang dan memperlemah pijakan perusahaan di masa datang. profil kualitas dan harga tersebut dipetakan dalam sebuah peta customer value. Pendekatan customer value analysis tidak menggunakan suatu standar dimensi dari layanan yang sempurna, melainkan menanyakan kepada pelanggan tentang bagaimana mereka hingga yakin membuat keputusan untuk membeli. Kemudian, memilih atribut kualitas yang dipentingkan oleh pelanggan sehingga mereka memutuskan antara produk atau layanan yang satu dengan yang lainnya. Selain itu customer value analysis menitikberatkan pada performasi versus kompetitor. Sedangkan customer satisfaction measurement menitikberatkan pada performasi versus penghargaan. 2.5 Customer Value Map Customer value map memberikan gambaran yang jelas mengenai keputusan pelanggan yang dibuat diantara beberapa produk yang ada. Customer value map terutama sekali berguna untuk melihat sejauh mana pelanggan menilai pelayanan suatu perusahaan dibandingkan dengan harga yang ditawarkan. Perusahaan selanjutnya dapat melihat apakah layanan yang diberikannya bernilai rendah, wajar atau tinggi. Koordinat setiap perusahaan ditentukan oleh skor kualitas relatif dan skor harga relatif variabel tersebut. Absis ditunjukkan oleh skor kualitas relatif produk sementara ordinat ditunjukkan oleh skor harga relatif. Garis nilai wajar (fair value line) merupakan batas antara skor perusahaan yang bernilai rendah dan skor perusahaan bernilai tinggi. Garis tersebut dibuat dengan persamaan matematika sederhana dimana gradien garis dihitung berdasarkan perbandingan rata-rata bobot harga dan rata-rata bobot kualitas yang dipersepsikan pelanggan seluruh perusahaan. Rumus persamaan garis tersebut adalah sebagai berikut : 2.4 Nilai-Nilai Konsumen Sasaran utama dari customer value analysis adalah memahami penyebab seorang konsumen untuk memilih satu dari sekian banyak produk atau layanan. Di bawah ini merupakan ringkasan bagaimana seorang pelanggan mengambil keputusan untuk melakukan pembelian : a. Yang dibeli pelanggan adalah nilai b. Nilai yang menyamai kualitas bergantung pada harga c. Kualitas termasuk atribut non biaya pada produk d. Kualitas harga dan nilai adalah relative Customer value analysis menggunakan seluruh informasi yang diperoleh dari kustomer untuk menunjukkan bagaimana pelanggan tersebut membuat keputusan dalam suatu market place, yang pada akhirnya melalui informasi tersebut suatu perusahaan dapat melakukan suatu perubahan untuk memastikan pelanggan akan membeli produk atau layanan perusahaan tersebut. Customer value analysis menggunakan langkah riset pemasaran yang digabungkan dengan model matematis sederhana untuk mendapatkan gambaran mengenai peringkat produk atau layanan pada pasar yang bersangkutan, sebagaimana dikembangkan oleh Bradley Gale dan kawan-kawan. Kata kuncinya adalah nilai atau value, dimana value adalah adalah komoditi yang ingin dicapai dalam penerapan analisa ini. Value dalam konteks ini dianggap sebagai jumlah produk atau layanan yang diterima untuk jumlah uang yang telah diberikan. Menurut pengertian kamus, value merupakan pengharapan terhadap suatu produk atau layanan. Customer value analysis ini akan menyusun profil customer value yang membandingkan perusahaan yang diteliti dengan para pesaingnya. Profil customer value sendiri terdiri dari dua bagian yaitu profil kualitas dan profil harga. Kemudian setelah pembuatan profil customer value selesai, skor C4 -6 ⎡μ ⎤ Y = ⎢ bobotkualitas ⎥ X ⎣⎢ μ boboth arg a ⎦⎥ Y = skor harga relatif X = skor kualitas relatif μbobot kualitas = rata-rata bobot kualitas yang dipersepsikan pelanggan seluruh perusahaan μbobot kualitas = rata-rata bobot harga yang dipersepsikan pelanggan seluruh perusahaan Perluasan dari garis tersebut dibuat suatu area yang dinamakan area nilai wajar atau fair value zone, dimana garis wajar tersebut digeser ke kiri dan ke kanan sebesar 2 kali standar deviasi gradien garis nilai wajar tersebut 2.6 Perilaku Konsumen Perilaku konsumen merupakan suatu karakteristik tertentu, pola pikir, cara pandang ataupun budaya yang ada dalam suatu masyarakat dalam suatu segmen tertentu. Berkaitan dengan hal 6 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 ini perusahaan hendaknya memahami perilaku konsumen dalam pembelian suatu produk tertentu. James F. Engel et all. (1968: 8) berpendapat bahwa: “ Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut.” Sedangkan David L. Loudon dan Albert J. Della Bitta (1984: 6) berpendapat bahwa: “ Perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan jasa.” Pendapat lain mengenai perilaku konsumen diutarakan oleh Gerald Zaltman dan Melanie Wallendorf (1979: 6) dimana “ Perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan, proses, dan hubungan sosial yang dilakukan individu, kelompok, dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk atau yang lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan sumber-sumber lainnya.” Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomi yang dapat dipengaruhi lingkungan. Louden dan Bitta (1984 : 24-26) yang mengemukakan bahwa ada tiga variable dalam mempelajari perilaku konsumen, yaitu : 1. Variabel Stimulus Variabel stimulus merupakan variabel yang berada di luar diri individu (factor eksternal) yang sangat berpengaruh dalam proses pembelian. Contohnya: merek dan jenis barang, iklan, pramuniaga, penataan barang, dan ruangan toko. 2. Variabel Respons Variabel repsons merupakan hasil aktivitas individu sebagai reaksi dari variable stimulus. Variabel respons sangat tergantung pada factor individu dan kekuatan stimulus. Contohnya: keputusan membeli barang, pemberi penilaian terhadap barang, perubahan sikap terhadap suatu produk. 3. Variabel Intervening Variabel intervening adalah variabel antara stimulus dan respon. Variable ini merupakan factor internal individu, termasuk motif-motif membeli, sikap terhadap suatu peristiwa, dan persepsi terhadap suatu barang. Peranan variabel intervening adalah untuk memodifikasi respons. C4 -6 2.7 Konsep Pemasaran Menurut Kotler (1992 : 98) konsep pemasaran sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor antara lain : a. Kebutuhan , Keinginan dan Permintaan Ada perbedaan antara kebutuhan, keinginan dan permintaan. Kebutuhan manusia adalah keadaan dimana manusia merasa tidak memiliki kepuasan dasar. Kebutuhan tidak diciptakan oleh masyarakat atau pemasar, namun sudah ada dan terukir dalam hayati kondisi manusia. keinginan adalah hasrat akan pemuas tertentu dari kebutuhan tersebut. Keinginan manusia dibentuk oleh kekuatan dan institusi sosial. Sedangkan Permintaan adalah keinginan akan sesuatu yang didukung dengan kemampuan serta kesediaan membelinya. Keinginan menjadi permintaan bila didukung dengan daya beli. Perbedaan ini bisa menjelaskan bahwa pemasar tidak menciptakan kebutuhan; kebutuhan sudah ada sebelumnya. Pemasar mempengaruhi keinginan dan permintaan dengan membuat suatu produk yang cocok, menarik, terjangkau dan mudah didapatkan oleh pelanggan yang dituju. b. Produk Produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pelanggan. Pentingnya suatu produk fisik bukan terletak pada kepelikannya tetapi pada jasa yang dapat diberikannya. Oleh karena itu dalam membuat produk harus memperhatikan produk fisik dan jasa yang diberikan produk tersebut. 7 c. Nilai, Biaya dan Kepuasan Nilai adalah perkiraan pelanggan tentang kemampuan total suatu produk untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap produk memiliki kemampuan berbeda untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi pelanggan akan memilih produk mana yang akan memberi kepuasan total paling tinggi. Nilai setiap produk sebenarnya tergantung dari seberapa jauh produk tersebut dapat mendekati produk ideal, dalam ini termasuk harga. d. Pertukaran, Transaksi dan Hubungan Kebutuhan dan keinginan manusia serta nilai suatu produk bagi manusia tidak cukup untuk menjelaskan pemasaran. Pemasaran timbul saat orang memutuskan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginannya dengan pertukaran. Pertukaran adalah salah satu cara mendapatkan suatu produk yang diinginkan dari seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai gantinya. Pertukaran merupakan proses dan bukan kejadian sesaat. Masing-masing pihak disebut berada dalam suatu pertukaran bila Seminar Nasional Teknik Industri 2006 mereka berunding dan mengarah pada suatu persetujuan. Jika persetujuan tercapai maka disebut transaksi. Transaksi merupakan pertukaran nilai antara dua pihak. Untuk kelancaran dari transaksi, maka hubungan yang baik dan saling percaya antara pelanggan, distributor, penyalur dan pemasok akan membangun suatu ikan ekonomi, teknis dan sosial yang kuat dengan mitranya. Sehingga transaksi tidak perlu dinegosiasikan setiap kali, tetapi sudah menjadi hal yang rutin. Hal ini dapat dicapai dengan menjanjikan serta menyerahkan mutu produk, pelayanan dan harga yang wajar secara kesinambungan. e. kinerja terbaik dan inovatif dalam hal ini memuaskan perhatian untuk membuat produk yang lebih baik dan terus menyempurnakannya. Industri yang berwawasan ini cenderung tidak memperhatikan keinginan dan kebutuhan dari pelanggan, sehingga divisi pemasaran akan mengalami kesulitan dalam pemasaran. 2.6.3 Konsep Pemasaran Berwawasan Menjual Konsep ini berpendapat bahwa kalau pelanggan dibiarkan saja, pelanggan tidak akan membeli produk industri dalam jumlah cukup sehingga harus melakukan usaha penjualan dan promosi yang agresif. Konsep ini beranggapan bahwa pelanggan enggan membeli dan harus didorong supaya membeli. Konsep ini sering digunakan pada “ Produk yang tidak dicari” atau tidak terpikir untuk dibeli serta pada industri yang mengalami kelebihan kapasitas produksi. Pasar Pasar terdiri dari semua pelanggan potensial yang memiliki kebutuhan atau keinginan tertentu serta mau dan mampu turut dalam pertukaran untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan itu. Istilah pasar untuk menunjukan pada sejumlah pembeli dan penjual melakukan transaksi pada suatu produk. f. 2.8 2.6.4 Konsep Pemasaran Berwawasan Pemasaran Konsep ini berpendapat bahwa kunci untuk mencapai tujuan industri terdiri dari penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien daripada saingannya. Konsep berwawasan pemasaran bersandar pada empat pilar utama, yaitu a. pasar sasaran, b. kebutuhan pelanggan, c. pemasaran yang terkoordinir serta d. keuntungan. Konsep ini telah dinyatakan dalam banyak cara : - Memenuhi kebutuhan dengan menguntungkan - Temukan keinginan dan penuhilah - Cintailah pelanggan bukan produknya - Dapatkanlah sesuai kesukaan anda - Berusaha sekuat tenaga memberikan nilai, mutu dan kepuasan tertinggi bagi uang pelanggan. Pemasaran dan Pemasar Pemasaran adalah keinginan manusia dalam hubungannya dengan pasar, pemasaran maksudnya bekerja dengan pasar untuk mewujudkan transaksi yang mungkin terjadi dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Pemasar adalah orang yang mencari sumberdaya dari orang lain dan mau menawarkan sesuatu yang bernilai untuk itu. Kalau satu pihak lebih aktif mencari pertukaran daripada pihak lain, maka pihak pertama adalah pemasar dan pihak kedua adalah calon pembeli. 2.6.5 Konsep Pemasaran Berwawasan Bermasyarakat Konsep ini beranggapan bahwa tugas industri adalah menentukan kebutuhkan, keinginan serta kepentingan pasar sasaran dan memenuhi dengan lebih efektif serta lebih efisien daripada saingannya dengan cara mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan pelanggan dan masyarakat. Konsep pemasaran bermasyarakat meminta pemasar untuk menyeimbangkan tiga faktor dalam menentukan kebijaksanaan pemasaran, yaitu a. keuntungan usaha jangka pendek, b. kepuasan pelanggan jangka panjang dan c. kepentingan umum dalam pengambilan keputusan. Dasar Organisasi Menjalankan Konsep Pemasaran Dari konsep inti pemasaran maka, ada lima konsep pemasaran yang mendasari cara organisasi melakukan kegiatan pemasarannya. (Donello, 1997 : 104) 2.6.1 Konsep Pemasaran Berwawasan Produksi Konsep ini adalah salah satu konsep tertua, yaitu akan memilih produk yang mudah didapat dan murah harganya. Dalam hal ini memusatkan perhatiannya untuk mencapai efisiensi produksi yang tinggi serta cakupan distribusi yang luas. Konsep ini dapat dijalankan apabila permintaan produk melebihi penawarannya dan dimana biaya produk tersebut sangat tinggi. Kelemahan konsep pemasaran ini adalah pelayanan tidak ramah dan buruk. 2.7 Kepuasan Pelanggan Sepenuhnya (Total Customer Satisfaction) Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Jadi 2.6.2 Konsep Pemasaran Berwawasan Produk Konsep ini berpendapat bahwa pelanggan akan memilih produk yang menawarkan mutu, C4 -6 8 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Kepuasan pelanggan sepenuhnya dapat dibedakan pada tiga taraf, yaitu: a. memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pelanggan b. memenuhi harapan pelanggan dengan cara yang dapat membuat mereka akan kembali lagi. c. melakukan lebih daripada apa yang diharapkan pelanggan. Setiap orang di usaha mempunyai pelanggan yang harus dipuaskannya. Ini yang pertama-tama harus disadari setiap karyawan. Kepuasan pelanggan relevan untuk kita semua, apapun pekerjaan kita, jadi kepuasan pelanggan bukan semata-mata urusan dan tanggung jawab divisi pemasaran dan pelayanan purna jual. Langkah pertama dalam usaha memuaskan pelanggan adalah menentukan dan mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Pelanggan yang berbeda dapat pula berlainan kebutuhannya dan juga berbeda perioritasnya, tetapi pada dasarnya kebutuhan-kebutuhan umum hampir sama. Untuk mencapai kepuasan pelanggan dalam konteks industri diperlukan beberapa kondisi dan usaha, antara lain a. filosofi kepuasan pelanggan b. mengenal kebutuhan atau harapan pelanggan c. membuat standar dan pengukuran kepuasan pelanggan d. orientasi karyawan e. pelatihan f. keterlibatan karyawan dan g. pengakuan. d. e. pengiriman yang tepat waktu dan pelayanan purna jual. Pelanggan Internal. Pelanggan internal adalah orang yang melakuakan proses selanjutnya dari suatu pekerjaan (“next process”) Pelanggan internal merupakan seluruh karyawan dari suatu industri. Yang diperlukan pelanggan internal adalah a. kerja kelompok dan kerjasama, b. struktur dan sistem yang efisien, c. pekerjaan yang berkualitas dan d. pengiriman yang tepat waktu. Menurut Prof Charlie Chang (1995), untuk menjamin kemampuan suatu industri bertahan (survive) dalam era global ini, maka penerapan Manajemen Mutu Total bukan lagi merupakan suatu pilihan, tetapi suatu keharusan. Untuk mengelola manajemen secara baik dan praktis, maka dapat dibagi atas tiga suara, yaitu Voice of Customer, Voice of Employee dan Voice of Process. Voice of Customer, pendekatan manajemen pemasaran klasik dimana “prilaku” pelanggan seringkali sebagai “objek” penelitian, pemasaran, dimanipulasi dan dieksploitasi. Sedangkan manajemen mutu total melihat pelanggan sebagai salah satu “aset” usaha yang terpenting. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu industri ada karena “diperbolehkan ada ” oleh pelanggan, oleh karena itu persaingan usaha adalah dalam kemampuannya mendengarkan “ Voice of Customer” dan mencoba memenuhinya secara lebih baik. Voice Employee. Selaras dengan falsafah mengenai pelanggan. maka manajemen mutu total juga memberikan perhatian yang luar biasa dalam “pemberdayaan” karyawan (empowerment). Dalam hal ini jauh melampaui wewenang, namun juga penghapusan atas “ atasan-bawahan”, keterbukaan atas “rahasia industri” dan mengembangkan setiap karyawan agar dapat bertindak sebagai pengusaha atau presiden direktur. Sehingga manajmen mutu total berlandaskan asas mampaat bisnis, bukan semata-mata “demokratis atau sosialis”. Manajemen mutu total dapat membuktikan bahwa “management Control” yang dikenal sebagai pengendali karyawan dalam rangka pengendali biaya (realized cost), maka pengelolaan “Voice of employe” adalah “prediktor” yang baik bagi efisiensi industri (future costs). Sedangkan dalam konteks karyawan, ada empat unsur pokok yang harus dimiliki karyawan, yaitu : a. keterampilan b. efisiensi, yaitu target “ zero defect” dan tepat waktu “ deadline” c. ramah dan d. rasa bangga. 2.8 Pelanggan Setiap orang adalah pelanggan. Pelanggan adalah setiap orang, unit atau pihak dengan siapa kita bertransaksi, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyediaan produk. Pada dasarnya ada dua jenis pelanggan, yaitu Pelanggan Eksternal dan Pelanggan Internal . Pelanggan Eksternal. Pelanggan eksternal adalah orang diluar industri yang menerima suatu produk (end-user). Pelanggan eksternal setiap industri jelas adalah masyarakat umum yang menerima produk industri tersebut. Beberapa hal yang diperlukan pelanggan eksternal adalah a. kesesuaian dengan kebutuhan akan produk b. harga yang kompetitif c. kualitas dan realibilitas C4 -6 2.9 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 9 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 d. Konsumen tidak berani mencoba atau berganti merek pasta gigi lain e. Pasta gigi pepsodent memiliki persepsi kuat terhadap diri konsumen mengenai hal-hal yang ditawarkan perusahaan baik melalui iklan atau kegiatan perusahaan yang diketahui konsumen f. Secara pribadi konsumen menggunakan produk pasta gigi pepsodent sejak lama Metodologi Penelitian Respon Perusahaan (X2) Tanggapan perusahaan terhadap keinginan konsumen atau upaya-upaya agar produk memenuhi fungsi-fungsi kelayakan dan dapat diterima secara objektif. Indikator untuk mengukur variabel respon perusahaan (X2), meliputi : a. Konsumen merasa perusahaan memberi perhatian terhadap selera konsumen berkaitan dengan produk pasta gigi pepsodent. b. Konsumen beranggapan bahwa perusahaan mampu memberikan perubahan pada pola menggosok gigi bagi masyarakat dan konsumen c. Konsumen beranggapan bahwa perusahaan mampu bekerjasama dengan instansi pelayanan umum yang berkaitan dengan kesehatan gigi d. Perusahaan selalu mempertimbangkan perubahan keinginan dan selera konsumen terhadap produk e. Perusahaan memiliki divisi khusus terutama dalam hal yang berkaitan dengan riset perilaku konsumen Gambar 3.1 Alur Metodologi Penelitian Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian ini definisi operasional variabel terikat (Y) dan variabel bebas (X) sebagai berikut : Customer Behaviour Customer behaviour merupakan tindakantindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut. Di sini customer behavior dibagi menjadi beberapa variabel untuk memudahkan pengolahan data dan pemahaman responden saat pengisian kuisioner. Respon Distributor, Retailer, dan Toko (X3) Tanggapan distributor, retailer dan toko dalam memberikan respon mengenai produk yang dijualnya kepada konsumen ataupun dalam hal memposisikan dan mengkondisikan pemasaran mereka, sehingga hal ini berpengaruh terhadap asumsi konsumen terhadap produk yang ditawarkan. Indikator untuk mengukur variabel respon distributor, retailer dan toko (X3), meliputi : a. Perusahaan memperhatikan keluhan, keinginan maupun harapan konsumen mengenai produk b. Sirkulasi pengiriman produk atau sistem distribusi pasta gigi di retail sekitar konsumen sesuai dengan yang dikehendaki konsumen c. Terjadi trend pembelian tertentu pada produk pasta gigi pepsodent di sekitar konsumen. Secara emosional retail di sekitar konsumen menawarkan alternatif pemakaian pasta gigi pepsodent jika produk pasta gigi merek lain yang dikehendaki konsumen tidak ada Kekuatan Image (X1) Adanya ikatan emosional yang kuat antara konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya. Hal ini semata-mata karena anggapan bahwa produk dengan merek-merek tertentu akan memberikan kebutuhan yang diinginkan atau jaminan kualitas baik, sehingga saat pembelian tanpa memerlukan pertimbangan tinggi (low involvment). Indikator untuk mengukur variabel kekuatan image (X1), meliputi : a. Dalam keluarga sebelumnya pernah menggunakan pasta gigi pepsodent b. Konsumen menyukai atau menggunakan produk dengan merek-merek terkenal terutama untuk keperluan menggosok gigi c. Produk pasta gigi pepsodent banyak digunakan di sekitar lingkungan konsumen C4 -6 10 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 d. e. Perilaku konsumen sangat di suatu lingkungan sangat mendukung proses penjualan pasta gigi pepsodent Usaha atau tempat bekerja pengecer atau pemakai berada pada lingkungan kelas sosial menengah ke atas c. Produk pasta gigi pepsodent memiliki warna yang lebih menarik dibandingkan dengan produk lain d. Produk pasta gigi pepsodent memiliki harga yang lebih murah atau bersaing dengan produk pasta gigi merek lain e. Produk pasta gigi pepsodent memiliki ketahanan yang cukup baik dibandingkan dengan produk lain f. Konsumen tidak kesulitan dalam memperoleh produk pasta gigi pepsodent g. Perubahan yang dilakukan perusahaan terhadap perusahaan seringkali susuai dengan harapan konsumen h. Kegiatan yang dilakukan perusahaan mengenai sosialisasi manfaat produk bermanfaat bagi konsumen i. Konsumen merasa harga yang telah dibayar sesuai dengan manfaat produk yang diperolehnya j. Informasi mengenai manfaat produk disukai oleh konsumen k. Perusahaan seringkali memberikan apresiasi berupa reward maupun award kepada konsumen yang dianggap loyal. Customer Value Customer Value adalah nilai –nilai intrinsik maupun ekstrinsik yang melekat pada produk maupun proses penyampaian produk sehingga konsumen merasakan bahwa produk yang dia beli sebanding dengan biaya atau harga yang dikeluarkan. Nilai-nilai Intrinsik Produk (X4) Nilai –nilai yang langsung melekat pada produk dan biasanya tidak berwujud (intangibel), tetapi langsung memiliki manfaat atau kegunaan yang bisa dirasakan konsumen. Indikator untuk mengukur variabel nilai intrinsik produk (X4), meliputi : a. Produk pasta gigi memiliki kualitas yang paling bagus daripada pasta gigi produk lain b. Pasta gigi pepsodent memiliki rasa yang sesuai dengan selera konsumen c. Pasta gigi pepsodent memiliki aroma yang sesuai dengan selera konsumen d. Pasta gigi pepsodent memiliki busa yang sesuai dengan selera konsumen e. Dalam kemasan produk pasta gigi pepsodent terdapat komposisi bahan pembentuk produk yang menurut konsumen komposisi tersebut benar-benar memberikan manfaat dan tidak memberikan efek negatif f. Adanya kemungkinan perusahaan mengganti produk pasta gigi pepsodent dengan produk pasta gigi jenis lain dengan merek yang sama g. Respon atau perhatian dari perusahaan terhadap keluhan yang disampaikan konsumen atas pengkonsumsian produk h. Keyakinan konsumen bahwa produk pasta gigi pepsodent dibuat dan diproduksi dengan bahanbahan pilihan, mesin-mesin canggih dan tenaga kerja yang handal i. Adanya jaminan dari perusahaan terhadap produk pasta gigi pepsodent yang dikonsumsi konsumen Strategi Pemasaran (Y) Strategi pemasaran adalah suatu upaya strategis dalam proses perencanaan dan pelaksanaan konsep, pemberian harga, promosi dan pendistribusian ideide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan individu dan tujuan organisasi. Indikator untuk mengukur variabel strategi pemasaran (Y), meliputi : a. Semua karyawan di perusahaan menggunakan atau mengkonsumsi pasta gigi pepsodent b. Distribusi pemasaran produk pasta gigi pepsodent menjangkau seluruh lapisan masyarakat Surabaya c. Jenis-jenis produk pasta gigi pepsodent memiliki pengaruh terhadap alternatif pemilihan produk pasta gigi d. Produk pasta gigi pepsodent masih memimpin pangsa pasar untuk pasta gigi e. Perusahaan masih menggunakan cara lama dalam memasarkan produknya f. Pasta gigi pepsodent memiliki kestabilan harga dibandingkan dengan produk pasta gigi lain g. Produk pasta gigi pepsodent masih konsisten dengan mutu, rasa atau ukurannya dengan produk sebelumnya h. Pemasaran produk pasta gigi pepsodent digabungkan dengan produk lain i. Perusahaan memiliki divisi marketing yang handal dalam memasarkan produk j. Adanya peningkatan penjualan terhadap produk pasta gigi pepsodent k. Seringkali terjadi inovasi produk untuk meningkatkan penjualan l. Konsumen membeli berdasarkan pilihan merek m. Konsumen membeli produk pasta gigi pepsodent berdasarkan pilihan manfaat atau kegunaan n. Konsumen membeli produk pasta gigi pepsodent tanpa pertimbangan tertentu dan hanya mengikuti kebiasaan keluarga atau teman Nilai Ekstrinsik Produk (X5) Nilai-nilai yang melekat pada produk dan dapat langsung diamati atau dirasakan tanpa harus melalui proses penggunaan produk. Indikator untuk mengukur variabel nilai ekstrinsik produk (X5), meliputi : a. Produk pasta gigi pepsodent dapat dibeli atau dikonsumsi dengan harga yang sesuai atau terjangkau b. Produk pasta gigi pepsodent memiliki kemasan atau bentuk yang menarik dan lebih baik dibandingkan dengan produk lain C4 -6 11 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 o. p. q. r. s. t. u. a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 23 orang (27,5%) berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator variabel respon perusahaan karena : (1) konsumen beranggapan bahwa perusahaan mampu bekerjasama dengan instansi pelayanan umum yang berkaitan dengan kesehatan gigi, (2) konsumen merasa perusahaan memberi perhatian terhadap selera konsumen berkaitan dengan produk pasta gigi pepsodent. b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 24 orang (48%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel respon perusahaan karena : (1) konsumen beranggapan bahwa perusahaan mampu memberikan perubahan pada pola menggosok gigi bagi masyarakat dan konsumen, (2) perusahaan selalu mempertimbangkan perubahan keinginan dan selera konsumen terhadap produk. c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel respon perusahaan karena : perusahaan memiliki divisi khusus terutama dalam hal yang berkaitan dengan riset perilaku konsumen. d. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju (nilai 2) adalah sebanyak 2 orang (4%) berarti konsumen menilai tidak setuju terhadap indikator variabel respon perusahaan karena : perusahaan memiliki divisi khusus terutama dalam hal yang berkaitan dengan riset perilaku konsumen. Kegiatan atau even sosial yang diadakan perusahaan berpengaruh terhadap peningkatan penjualan produk Iklan atau promosi perusahaan menarik dan mempengaruhi konsumen untuk membeli peroduk Konsumen tetap mengkonsumsi pasta gigi pepsodent meskipun harganya naik atau lebih mahal dareipada produk lain Konsumen sebelumnya pernah mengkonsumsi produk lain sebelum menggunakan produk pasta gigi pepsodent Produk pasta gigi pepsodent pernah mengalami penurunan penjualan Pemotongan harga, pemberian hadiah maupun pengharagaan yang diberikan perusahaan berpengaruh terhadap loyalitas konsumen Di suatu lingkungan tertentu, penjualan produk pasta gigi pepsodent masih kalah dibanding dengan produk lain 4.1 Deskripsi Variabel Kekuatan Image (X1) a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 6 orang (12%) berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator variabel kekuatan image karena : (1) produk pasta gigi pepsodent digunakan di sekitar lingkungan konsumen, (2) pasta gigi pepsodent memiliki persepsi yang kuat terhadap diri konsumen terutama mengenai hal-hal yang ditawarkan perusahaan terhadap produk melalui iklan atau kegiatan perusahaan, (3) konsumen enggan berganti produk pasta gigi dengan merek lain. . b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 43 orang (86%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel kekuatan image karena : (1) di dalam keluarga sebelumnya pernah menggunakan pasta gigi pepsodent, (2) konsumen menyukai atau menggunakan produk dengan merek-merek terkenal terutama untuk keperluan menggosok gigi. c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel kekuatan image karena : (1) secara pribadi konsumen menggunakan produk pasta gigi pepsodent sejak lama. 4.3 Deskripsi Variabel Retailer, Toko (X3) Distributor, a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 3 orang (6%) berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator variabel distributor, retailer dan toko karena : (1) perusahaan memperhatikan keluhan, keinginan maupun harapan konsumen mengenai produk; (2) sirkulasi pengiriman produk atau sistem distribusi pasta gigi di retail sekitar konsumen sesuai dengan yang dikehendaki konsumen. b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 36 orang (72%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel distributor, retailer dan toko karena : (1) secara emosional retail di sekitar konsumen menawarkan alternatif pemakaian pasta gigi pepsodent jika produk pasta gigi merek lain yang dikehendaki konsumen tidak ada; (2) periku konsumen sangat di suatu lingkungan sangat mendukung proses penjualan pasta gigi pepsodent. c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 10 orang (20%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap 4.2 Deskripsi Variabel Respon Perusahaan (X2) C4 -6 Respon 12 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 indikator variabel distributor, retailer dan toko karena : terjadi trend pembelian tertentu pada produk pasta gigi pepsodent di sekitar konsumen. d. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti konsumen menilai tidak setuju terhadap indikator variabel distributor, retailer dan toko karena : usaha atau tempat bekerja pengecer atau pemakai berada pada lingkungan kelas sosial menengah ke atas. a. 4.4 Deskripsi Variabel Nilai Intrinsik Produk (X4) b. a. b. c. d. Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 10 orang (20%) berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator variabel nilai – nilai intrinsik produk karena : (1) respon atau perhatian dari perusahaan terhadap keluhan yang disampaikan konsumen atas pengkonsumsian produk; (2) keyakinan konsumen bahwa produk pasta gigi pepsodent dibuat dan diproduksi dengan bahan-bahan pilihan, mesin-mesin canggih dan tenaga kerja yang handal; (3) adanya jaminan dari perusahaan terhadap produk pasta gigi pepsodent yang dikonsumsi konsumen. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 31 orang (62%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel nilai – nilai intrinsik produk karena : (1) pasta gigi pepsodent memiliki rasa yang sesuai dengan selera konsumen; (2) pasta gigi pepsodent memiliki aroma yang sesuai dengan selera konsumen; (3) dalam kemasan produk pasta gigi pepsodent terdapat komposisi bahan pembentuk produk yang menurut konsumen komposisi tersebut benar-benar memberikan manfaat dan tidak memberikan efek negatif. Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 7 orang (14%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel nilai – nilai intrinsik produk karena :. (1) produk pasta gigi pepsodent memiliki kualitas yang paling bagus daripada pasta gigi produk lain; (2) pasta gigi pepsodent memiliki busa yang sesuai dengan selera konsumen. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju (nilai 2) adalah sebanyak 2 orang (4%) berarti konsumen menilai tidak setuju terhadap indikator variabel nilai – nilai intrinsik produk karena : adanya kemungkinan perusahaan mengganti produk pasta gigi pepsodent dengan produk pasta gigi jenis lain dengan merek yang sama. c. d. 4.6 Deskripsi Variabel Pemasaran Internal (Y1) a. 4.5 Deskripsi Variabel Nilai Ekstrinsik Produk (X5) C4 -6 Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 5 orang (10%) berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator variabel nilai-nilai ekstrinsik produk karena : (1) produk pasta gigi pepsodent memiliki ketahanan yang cukup baik dibandingkan dengan produk lain; (2) konsumen tidak kesulitan dalam memperoleh produk pasta gigi pepsodent ; (3) kegiatan yang dilakukan perusahaan mengenai sosialisasi manfaat produk bermanfaat bagi konsumen; (4) informasi mengenai manfaat produk disukai oleh konsumen. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 37 orang (74%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel nilai-nilai ektrinsik produk karena : (1) produk pasta gigi pepsodent dapat dibeli atau dikonsumsi dengan harga yang sesuai atau terjangkau ; (2) produk pasta gigi pepsodent memiliki kemasan atau bentuk yang menarik dan lebih baik dibandingkan dengan produk lain; (3) perubahan yang dilakukan perusahaan terhadap perusahaan seringkali susuai dengan harapan konsumen; (4) konsumen merasa harga yang telah dibayar sesuai dengan manfaat produk yang diperolehnya Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 7 orang (14%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel nilai-nilai ektrinsik produk karena : (1) produk pasta gigi pepsodent memiliki warna yang lebih menarik dibandingkan dengan produk lain; (2) produk pasta gigi pepsodent memiliki harga yang lebih murah atau bersaing dengan produk pasta gigi merek lain. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel nilai-nilai ektrinsik produk karena : perusahaan seringkali memberikan apresiasi berupa reward maupun award kepada konsumen yang dianggap loyal. 13 Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 41 orang (82%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran internal karena : (1) distribusi pemasaran produk pasta gigi pepsodent menjangkau seluruh lapisan masyarakat Surabaya; (2) jenis-jenis produk pasta gigi pepsodent memiliki pengaruh terhadap alternatif pemilihan produk pasta gigi; (3) produk pasta gigi pepsodent masih memimpin pangsa pasar untuk pasta gigi; (4) produk pasta gigi pepsodent masih konsisten dengan mutu, rasa atau ukurannya dengan produk sebelumnya; (5) pemasaran produk pasta gigi Seminar Nasional Teknik Industri 2006 b. c. pepsodent digabungkan dengan produk lain; (6) perusahaan memiliki divisi marketing yang handal dalam memasarkan produk. Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 8 orang (16%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran internal karena : (1) pasta gigi pepsodent memiliki kestabilan harga dibandingkan dengan produk pasta gigi lain; (2) adanya peningkatan penjualan terhadap produk pasta gigi pepsodent; (3) seringkali terjadi inovasi produk untuk meningkatkan penjualan. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran internal karena : (1) perusahaan masih menggunakan cara lama dalam memasarkan produknya; (2) semua karyawan di perusahaan menggunakan atau mengkonsumsi pasta gigi pepsodent. karena : (1) konsumen membeli produk pasta gigi pepsodent berdasarkan pilihan manfaat atau kegunaan; (2) di suatu lingkungan tertentu, penjualan produk pasta gigi pepsodent masih kalah dibanding dengan produk lain. 4.8 Deskripsi Variabel Simbol Individu (B4) a. Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 22 orang (16,92%) berarti karyawan menilai sangat setuju terhadap indikator variabel simbol individu perilaku karena : organisasi memiliki peraturan yang berbeda dengan organisasi lain. b. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 61orang (46,98%) berarti karyawan menilai setuju terhadap indikator variabel simbol individu karena : organisasi memiliki cerita perjuangan atau perjalanan organisasi hingga sampai saat ini masih bertahan bahkan berkembang. c. Responden dengan jawaban pada kategori cukup 4.7 Deskripsi Variabel Pemasaran Eksternal (Y2) a. b. c. d. setuju (nilai 3) adalah sebanyak 45 orang (34,61%) berarti karyawan menilai cukup setuju terhadap indikator variabel simbol individu karena : organisasi dan seluruh anggotanya memiliki identitas tertentu. Responden dengan jawaban pada kategori sangat setuju (nilai 5) adalah sebanyak 1 orang (10%) berarti konsumen menilai sangat setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran eksternal karena : (1) konsumen membeli produk pasta gigi pepsodent berdasarkan pilihan manfaat atau kegunaan; (2) kegiatan atau even sosial yang diadakan perusahaan berpengaruh terhadap peningkatan penjualan produk. Responden dengan jawaban pada kategori setuju (nilai 4) adalah sebanyak 12 orang (24%) berarti konsumen menilai setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran eksternal karena : (1) konsumen membeli berdasarkan pilihan merek; (2) iklan atau promosi perusahaan menarik dan mempengaruhi konsumen untuk membeli peroduk; (3) pemotongan harga, pemberian hadiah maupun pengharagaan yang diberikan perusahaan berpengaruh terhadap loyalitas konsumen. Responden dengan jawaban pada kategori cukup setuju (nilai 3) adalah sebanyak 36 orang (72%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran internal karena : (1) konsumen tetap mengkonsumsi pasta gigi pepsodent meskipun harganya naik atau lebih mahal dareipada produk lain; (2) konsumen sebelumnya pernah mengkonsumsi produk lain sebelum menggunakan produk pasta gigi pepsodent; (3) produk pasta gigi pepsodent pernah mengalami penurunan penjualan. Responden dengan jawaban pada kategori tidak setuju (nilai 2) adalah sebanyak 1 orang (2%) berarti konsumen menilai cukup setuju terhadap indikator variabel strategi pemasaran internal C4 -6 4.9 Matriks SWOT 14 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 5.2 Pembuktian Hipotesis Y= 0,715 + 0,545 X1 + 0,679 X2 +0,936 X3 + 0,134X4 +0,260 X5 1. Konstan intersep sebesar 0,715 merupakan perpotongan garis regresi dengan sumbu Y yang menunjukkan rata-rata strategi pemasaran pasta gigi Pepsodent oleh perusahaan Unilever pada saat perilaku konsumen (customer behavior) yang terdiri dari kekuatan image (brand image), respon perusahaan (organizational responses), respon distributor (retailer responses), dan nilai – nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai intrinsik produk (product intrinsic value) serta nilai ekstrinsik produk (product extrinsic value) sama dengan nol. 2. Koefisien regresi X1 sebesar 0,545 menunjukkan bahwa apabila variabel kekuatan image (brand image) meningkat 1 satuan maka strategi pemasaran perusahaan akan meningkat sebesar 0,545 dengan anggapan variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini terutama untuk indikator pasta gigi pepsodent digunakan di sekitar lingkungan konsumen, pasta gigi pepsodent memiliki persepsi yang kuat terhadap diri konsumen terutama mengenai hal-hal yang ditawarkan perusahaan terhadap produk melalui iklan atau kegiatan perusahaan, dan konsumen tidak bersedia berganti produk pasta gigi dengan merek lain. . 3. Koefisien regresi X2 sebesar 0,679 menunjukkan bahwa apabila variabel respon perusahaan (organizational responses) meningkat 1 satuan maka strategi pemasaran perusahaan akan meningkat sebesar 0,679 dengan anggapan variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini terutama untuk indikator dengan kondisi konsumen beranggapan bahwa perusahaan mampu bekerjasama dengan instansi pelayanan umum yang berkaitan dengan kesehatan gigi, konsumen merasa perusahaan memberi perhatian terhadap selera konsumen berkaitan dengan produk pasta gigi pepsodent, dan perusahaan selalu mempertimbangkan perubahan keinginan maupun selera konsumen terhadap produk. 4. Koefisien regresi X3 sebesar 0,936 menunjukkan bahwa apabila variabel respon distributor, retailer dan toko (distribuotor and retailer responses) meningkat 1 satuan maka strategi pemasaran perusahaan akan meningkat sebesar 0,936 dengan 5. Analisa Hasil Penelitian 5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas C4 -6 15 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 5. 6. 7. 8. anggapan variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini terutama untuk indikator dengan kondisi perusahaan memperhatikan keluhan, keinginan dan harapan konsumen mengenai produk, sirkulasi pengiriman produk maupun sistem distribusi pasta gigi di retail sekitar konsumen sesuai dengan yang dikehendaki konsumen. Koefisien regresi X4 sebesar 0,134 menunjukkan bahwa apabila variabel nilai intrinsik produk (product intrinsic value) meningkat 1 satuan maka strategi pemasaran perusahaan akan meningkat sebesar 0,134 dengan anggapan variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini terutama untuk indikator dengan kondisi respon atau perhatian dari perusahaan terhadap keluhan yang disampaikan konsumen atas konsumsi produk, keyakinan konsumen bahwa produk pasta gigi pepsodent dibuat dan diproduksi dengan bahan-bahan pilihan, mesin-mesin canggih, dan tenaga kerja yang handal. Selanjutnya terdapat jaminan dari perusahaan terhadap produk pasta gigi pepsodent yang dikonsumsi konsumen. . Koefisien regresi X5 sebesar 0,260 menunjukkan bahwa apabila variabel nilai ekstrinsik produk (product extrinsic value) meningkat 1 satuan maka strategi pemasaran perusahaan akan meningkat sebesar 0,260 dengan anggapan variabel bebas lainnya tetap. Peningkatan ini terutama untuk indikator dengan kondisi produk pasta gigi pepsodent memiliki kualitas yang paling bagus dibandingkan dengan produk lain, konsumen tidak kesulitan dalam memperoleh produk pasta gigi pepsodent, kegiatan yang dilakukan perusahaan mengenai sosialisasi manfaat produk bermanfaat bagi konsumen, informasi mengenai manfaat produk disukai oleh konsumen. Nilai koefisien korelasi berganda (R) dari persamaan regresi linier berganda di atas sebesar 0,715 besarnya nilai (R) ini menunjukkan adanya hubungan antara variabel strategi pemasaran perusahaan (Y) dengan variabel bebasnya yaitu customer behavior yang terdiri dari kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) adalah sangat kuat (karena di atas 0,5). Nilai Koefisien determinan (R2) daripersamaan regresi linier berganda di atas sebesar 0,511 ≈ 0,5. Hal ini berarti 50% variasi dari faktor kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) mempengaruhi strategi pemasaran. Sedangkan sisanya, 50% menunjukkan strategi pemasaran dipengaruhi variabel-variabel lain di luar variabel C4 -6 faktor perilaku konsumen (customer behavior) dan nilai – nilai konsumen (customer value). 9. Standard Error of The Estimation (SEE) sebesar 0,211. Makin kecil SEE akan membuat model regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel bebasnya. 5.3 Pengambilan Keputuan Berdasarkan nilai Fhitung > Ftabel (Fhitung sebesar 9,212 > Ftabel sebesar 1,6794), maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap strategi pemasaran pada produk pasta gigi pepsodent produksi PT Unilever Surabaya (menolak H0 dan menerima H1), sehingga hipotesis pertama terbukti kebenarannya. Berdasarkan perbandingan nilai Thitung dengan Ttabel dimana Thitung terletak di luar interval Ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa faktor kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilainilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai berpengaruh signifikan ekstrinsik produk (X5) terhadap strategi pemasaran pada produk pasta gigi pepsodent produksi PT. Unilever Surabaya (menolak H0 dan menerima H1), sehingga hipotesis kedua terbukti kebenarannya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai koefisien korelasi (R) dari persamaan regresi linier berganda di atas sebesar 0,715 yang berarti korelasi (hubungan) variabel bebas dengan variabel Y adalah kuat yaitu sebesar 71,5%. Standard Error of The Estimated (SEE) sebesar 0,211. Makin kecil SEE akan membuat model regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel bebasnya Pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tergantung menggunakan teknik statistik uji-F. Berdasarkan perbandingan dimana nilai Fhitung sebesar 9,212 > Ftabel sebesar 1,6794. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor perilaku konsumen (customer behavior) yang terdiri dari kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap strategi pemasaran pasta gigi Pepsoden produksi PT. Unilever. Pengujian hipotesis pengaruh masingmasing variabel bebas secara parsial terhadap variabel tergantung berdasarkan perbandingan > Ttabel. Hal tersebut dimana nilai Thitung menunjukkan bahwa faktor perilaku konsumen (customer behavior) yang terdiri dari kekuatan image 16 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilainilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap budaya organisasi pada usaha kecil batik di kabupaten Pacitan. Variabel perilaku konsumen (customer behavior) yang terdiri dari kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) yang paling berpengaruh terhadap strategi pemasaran pasta gigi pepsodent produksi PT. Unilever adalah faktor nilai-nilai ekstrinsik produk, karena memiliki nilai r2 lebih besar dibandingkan dengan variabel yang lain. yang didapatkan bernilai 1,16. Maka dipastikan bahwa strategi dengan analisa SWOT berada pada kuadran I yaitu strategi agresif. Dengan demikian terdapat persamaan pemilihan strategi baik dengan menggunakan analisa SWOT maupun dengan menggunakan pengolahan regresi linier berganda. 6.2 Saran - Berdasar hasil analisa uji t dan koefisien parsial (r), didapatkan bahwa perilaku konsumen sangat mempengaruhi strategi pemasaran yang diterapkan. Sehingga disini PT Unilever Indonesia Tbk diharapakan lebih meningkatkan lagi pengetahuan serta perkembangan dari perilaku konsumen yang selama ini ada. Hal semacam ini bisa dengan menggunakan promosi atau event-event yang nantinya ada interaksi langsung antara perusahaan dengan konsumen. Sehingga secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada konsumen untuk secara langsung memberikan masukan dan perubahan yang diinginkan. - Tingginya tingkat keterkaiaitan antara hubungan customer behavior dan customer value terhadap penerapan strategi marketing, serta tingkat kekuatan internal perusahaan yang sangat bagus, maka untuk strategi pemasaran selanjutnya yang paling tepat adalah dengan menggunakan strategi agresif. Penerapan strategi agresif ini dapat melalui, perkembangan pasar, penetrasi pasar, pengembangan produk, serta diversifikasi produk. 6 Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan - Nilai koefisien korelasi berganda (R) dari persamaan regresi linier berganda di atas sebesar 0,715, besarnya nilai (R) ini menunjukkan adanya hubungan antara variabel strategi pemasaran perusahaan (Y) dengan variabel bebasnya yaitu customer behavior yang terdiri dari kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) adalah sangat kuat (karena di atas 0,5). - Nilai Koefisien determinan (R2) dari persamaan regresi linier berganda di atas sebesar 0,511 ≈ 0,5. Hal ini berarti 50% variasi dari faktor kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) mempengaruhi strategi pemasaran. Sedangkan sisanya, 50% menunjukkan strategi pemasaran dipengaruhi variabel-variabel lain di luar variabel faktor perilaku konsumen (customer behavior) dan nilai – nilai konsumen (customer value). - Berdasarkan nilai Fhitung > Ftabel (Fhitung sebesar 9,212 > Ftabel sebesar 1,6794), maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan image (X1), respon perusahaan (X2), respon distributor, retailer dan toko (X3), dan pengaruh nilai-nilai konsumen (customer value) yang terdiri dari nilai-nilai intrinsik produk (X4), nilai – nilai ekstrinsik produk (X5) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap strategi pemasaran pada produk pasta gigi pepsodent produksi PT Unilever Surabaya - Melalui analisa SWOT diketahui bahwa kekuatan internal memiliki nilai positip sebesar 2,00, dan kekuatan faktor eksternal sebesar 0,84. Kemudian dicari selisih antara faktor kekuatan internal dengan kekuatan eksternal. Dan hasil C4 -6 Referensi Aaker, D. A. 1992, Strategic Market Management, 3rd Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc. Allen dan Mayer, 1990. Psychology In Management. New York : Mc Graw – Hill Company. Anoraga, Pandji, 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : Rineka Cipta. Ariani, Dorothea W. 1999. Manajemen Kualitas. Edisi I, Universitas Atmajaya, Yogyakarta Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktis, Edisi Revisi Jakarta : PT. Rineka Cipta. Arnold, D. 1996. Pedoman Manajemen Merek (terjemahan). Surabaya. Kentindo Soho Bass, B.M., 1994. Leadership and Performance Beyond Expectation. New York : Free Press. Bass, B.M. and B.J. Avolio, 1994. Improving Organizational Effectiveness Through Transformational Leadership. New York : Thousand Oaks SAGE Publication, Inc. Basu, K.S, 1968, Management Similiarities and Differences Under Different Cultures. Rotterdam : Ned. Inst. V. Efficiency University Press. Bennett, P.d. 1988. Disctionary of Marketing Terms. New York : The American Marketing Association Berry, L.L. 1995. On Great Service : A Frame Work for Action. New York: The Free Press Bennis, Warren, 1989. Human Behaviour at Work, 1st Edition, Santa Monica, California : Goodyear Company. 17 Seminar Nasional Teknik Industri 2006 Luthans, Fred. 1995. Organizatioanal Behavior. 6th Edition, Englewood Cliff, New Jersey : Prentice Hall Inc Malhotra, Naresh K. 1996. Marketing Research : An Applied Orientation. New Jersey : Prentice Hall International Editions Mangkunegara, AA. Prabu. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung, PT. Remaja Rodakarya Maslow, Abraham, 1943, A Theory of Human Motivation, Publ, New York Miner, John B. 1992. Organizational Behavior Performance, and Productivity. Boston : Richard D. Irwin Inc. Nanus, Burt, 1994. Organization : Theory and Design, 4th Edition, United States of America : West Publising Company Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Edisi Ketiga. Jakarta : Ghalia Indonesia Ndraha, Taliziduhu. 2003. Budaya Organisasi. Jakarta : Rineka Cipta Nitisemito, AS. 1996. Manajemen Personalia : Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Ketiga. Jakarta. Ghalia Indonesia Orville C Walker, Jr. Harper W. Boyd, Jr and Jean Claude Larreche. 1992. Marketing Strategy, Homewood, IL Pangeran, Perminas, 1999. Transformasi Organisasional dan Pergeseran Peran Sumber Daya Manusia. Usahawan. TH XXVIII Nopember. No. 11. Riggio, Ronald E. 1996. Introduction to Industrial / Organizational Psychology. Second Edition. Singapore : Mc Graw – Hill International Edition Robbins, Stephen P. 1990. Organization Theory. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc Robbins, Stephen P. 1998. Perilaku Organisasi, Edisi Kedelapan (Jilid 2). Jakarta : PT. Prenhallindo Robert, Karlene H and David M. Hunt. 1991. Organizational Behavior, 2nd Edition, Boston : PwsKent Publishing Company. Rochelle O’Connor. 1985. Facing Strategic Issues : New Planning Guides and Practices. New York. The Conference Board Inc Room, Vernand. 1992. Employee Behavior in Motivation. California, Webster University Siagian, Sondang P. 1996. Manajemen SDM . Jakarta. Bumi Aksara. Simons, T.L., 1999. Behavioral Integrity as ACritical Ingridient for Transformational Leadership. Journal of Organizatioanal Change Management. Volume 12 (2). Brown, Warren B. dan Dennis J. Moberg, 1991. Organization Theory and Management ; A Macro Approach. New York.: John Wiley & Sons. Budhi Paramita, 1986, Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen Indonesia. Jakarta : Majalah Manajemen dan Usahawan Indonesia. Burhan. 2004. Perencanaan Strategik. Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, Jakarta Burns, 1994. Human Resource Management, 3rd Edition, Boston : Houghton Mifflin Company. Cascio, Wayne F., 1992. Managing Human Resources, Productivity, Quality of Work Live, Profits. Third Edition. Singapore : MC Graw – Hill International Edition Celland, Michael, Human Resource Management, 4rd Edition, London : Scienetics Economics Association. Davis, Keith and John W Newstrom. 1989. Human Behavior at Work : Organizational Behavior. Eight. Singapore : Mc. Graw-Hill International Edition Davis, Keith and William BWerther. 1993. Human Resources and Personnel Management. Fourth Edition. Singapore : Mc. Graw-Hill International Edition Desseler, Gary, 1992, Organizational Theory. Singapore : Prentice-Hall. Du Brin, Andrew J., 1988. Human Relations : A Job Oriented Approach. Fourth Edition. New Jersey. Prentice Hall, Inc. Feinstein, H. Andrew. 2001. A Study of Relationships Between Job Satisfaction and Organizational Commitment Among Restaurant Employee. Journal of Applied Psycology. 62 (4). 472 – 479. Gibson. 1987. Organizational Culture Characteristics. 4th Edition, New York. Prentice Hall Graves, Desmond, 1986, Corporate Culture : Diagnosis and Change Auditing and Changins the Culture of Organizations. London : Frances Pinters (Publs). Greenber A., dan Michael Baron J., 1995. Behavior in Organization : Understanding and Managing The Human Side of Work. 3rd Edition, New Jersey : Prentice Hill Inc. Gujarati D., 1997. Ekonometrika Dasar. Cetakan Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga. Handoko, H dan F. Tjiptono, 1996. Kepemimpinan Transformasional dan Pemberdayaan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Volume 1. Hasan, Iqbal, 1999. Pokok - Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensi). Edisi Pertama. Jakarta : Bumi Aksara. Hersley, Paul dan Ken Blanchard, 1988, Management of Organizational Behavior. New Jersey : Prentice Hall Int. Eds. Hezberg, Frederick, 1984, Human Motivation in Work Place, South Carolina, Quantum International Igalens, Jaques and Patrice Roussel. 1998. A Study of The Relationship Between Compensation Package, Work Motivation and Job Satisfaction. Journal of Organizational Behavior. 20. (2) : 1003 – 1025 Indriantoro, Nur, dan Supomo, Bambang. 1997. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE UGM Ivancevich, John M., 1992. Human Resource Management : Foundations of Personnel. Fifth Edition. Illionis : Irwin, Inc. Kotler, John P dan James L. Heskett. 1992. Corporate and Performance. New York. : The Free Press C4 -6 Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy., 1989. Metode Penelitian Survei. Edisi Kedua. Jakarta : PT. Pustaka LP3ES. Stone, Raymond J, 2002. Human Resources Management. Fourth Edition. Australia. John Wiley & Sons, Ltd Stoner, James A.F and Charles Wankel, 1993. Perencanaan dan Pengambilan Keputusan. Cetakan Pertama. Terjemahan. Jakarta. Rineka Cipta Suparmoko, 1998. Metode Penelitian Praktis. Yogyakarta : BPFE UGM Umar, Husein. 1998. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama Wexley, Kenneth N and Gary A Yulk. 1992. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Terjemahan. Jakarta. Rineka Cipta 18