aquawarman - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

advertisement
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
ISSN : 2460-9226
AQUAWARMAN
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI AKUAKULTUR
Alamat : Jl. Gn. Tabur. Kampus Gn. Kelua. Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
Aktivitas Antibakterial Ekstrak Daun Sonneratia alba
Terhadap Vibrio harveyi Pada Benur Udang Windu
(Penaeus monodon)
Antibacterial Activity of Leaf Extract from Sonneratia alba Againts Vibrio on
Tiger Prawn (Penaeus monodon)
Ulna1), Gina Saptiani2), Esti Handayani Hardi3)
1)
Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
Staf Pengantar Jurusan Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
2). 3)
Abstract
This purpose to assess the antibacterial activity of leaf extract from Sonneratia albaagainst
V.harveyi on tiger prawn (Penaeus monodon). Leaf of S. alba were chopped and dried, then
extracted by using seawater.The treatments weresea water extract of S. alba, with
concentrations 0.1% and of 0.05% respectively positive control and negative controls.
4
th
Challenge test using a V.harveyi 10 cfu/ml was given on day 6 , by immersion. The
parameters were the clinical sympton, patological anatomy, the prevalence and survival
rate.Sea water extract of S. alba leaves 0.1% the best antibacterial to prevent V.harveyi
infection, so that can increase survival rate tiger prawn and reduce prevalence.
Keywords :Extract, S. alba, Tiger prawn, Vibrio harveyi
1. PENDAHULUAN
Budidaya udang windu di tambak telah
lama dilakukan oleh masyarakat di Kalimantan
Timur. Namun masih banyak kendala yang
dihadapi. Penyebab umum yang menjadi
kendala dan kerugian dalam melakukan usaha
budidaya udang windu pada tambak tradisional
di Kalimantan timur adalah virus dan infeksi
bakteri, terutama Vibrio harveyi. Serangan
penyakit vibriosis tersebut sering terjadi pada
stadia nauplius, stadia zoea, stadia mysis dan
kadang-kadang
post
larva
serta
saat
pemeliharaan di tambak sampai sekitar umur 11,5 bulan. (Saptiani et al., 2012a). Diggles et al.
(2000) menyatakan bahwa V. harveyi bersifat
patogen oportunistik, yaitu organisme yang
dalam keadaan normal ada dalam lingkungan
pemeliharan dan berkembang dari sifat
saprofitik menjadi patogenik, apabila kondisi
lingkungan dan inang memburuk. Saulnier et al.
(2000) menyatakan bahwa beberapa galur V.
35
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
harveyi merupakan patogen penyebab utama
penyakit vibriosis pada udang windu.
Penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh
V. harveyi dapat menggunakan bahan kimia dan
antibiotik. Namun penggunaan bahan kimia
tersebut secara terus menerus dengan dosis
yang kurang tepat telah mengakibatkan V.
harveyi menjadi resisten. Pemakaian bahan
tersebut masih dilakukan di pembenihan
wilayah Kalimantan Timur karena belum
ditemukan alternatif pencegahan yang efektif
membunuh dan menghambat pertumbuhan
vibriosis yang ramah lingkungan serta mudah
terurai di perairan. Oleh karena itu pencarian
senyawa bioaktif dari bahan alami dapat
dilakukan
sebagai
alternatif
untuk
menanggulangi penyakit pada udang windu
(Saptiani dan Hartini 2008; Saptiani et al.,
2012b). Beberapa penelitian penggunaan bahan
herbal atau fitofarmaka telah dilakukan pada
biota akuatik, seperti yang dilakukan oleh
Saptiani dan Hartini (2008), yaitu pemberian
ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 50%
dapat menghambat pertumbuhan V. harveyi
secara in vitro dan mampu melindungi post
larva udang windu terhadap serangan V.
harveyi secara in vivo. Beberapa bahan belum
banyak dimanfaatkan dan banyak tersedia di
alam adalah tumbuhan mangrove seperti
Rhizophora, Nypha, Avicenia, Acanthus dan
Soneratia. Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik untuk mengkaji aktivitas
antibakterial ekstrak daun S. alba terhadap
serangan V. Harveyi pada benur udang windu
(Penaeus monodon).
2. BAHAN DAN METODE
b. Sonneratia alba
Daun mangrove S. alba berasal dari
pertambakan Desa Tanjung Limau, Kecamatan
Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur. Daun S. alba dicuci,
ditiriskan, dicincang dan dikeringanginkan pada
suhu ruang selama 19 hari.Daun S. alba terlebih
dahulu ditimbang sebanyak 200 gram,
ISSN : 2460-9226
dimasukan ke dalam stoples dan ditambahkan
pelarut air laut 22‰ sebanyak 1000 ml, 1:5.
Kemudian dipanaskan di dalam waterbath
dengan suhu 800C, sehingga didapatkan 600 ml
larutan. Larutan dimasukan kembali dalam
beaker glass dan dipanaskan kembali dalam
waterbath pada suhu 800C, hingga didapatkan
larutan 300 ml ekstrak (Saptiani et al., 2015)
b. Udang windu
Udang windu (Penaeus monodon) berasal
dari tambak Desa Tanjung Limau, Kecamatan
Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur yang berumur 15 hari,
diaklimasi selama 7 hari. Selanjutnya untuk
mengetahui udang terbebas dari bakteri,
dilakukakan isolasi bakteri dari tubuh udang dan
dikultur pada media TCBSA. Setelah itu udang
dimasukan ke akuarium dan diaklimasi selama 3
hari untuk mengadaptasikan udang uji dengan
lingkungan barunya.
c. Uji Patogenitas (pengganasan)
Uji Patogenitas dilakukan menurut metode
Saptiani et al. (2012). Udang diinfeksi dengan
dosis 104cfu/ml sebanyak 0,5 ml secara intra
muscular. Setelah 48 jam udang menunjukkan
gejala klinis spesifik kemerahan pada karapas,
ekor, kaki dan insang yang terinfeksi,
selanjutnya bakteri diisolasi dari haemolimnya
dan dikultur pada media TSA, selanjutnya
dimurnikan pada media Thiosulfate Citrate Bilt
Sucrose Agar (TCBSA).
d. Perlakuan
Perlakuan terdiri dari ekstrak air laut daun
S. alba konsentrasi 0,1% dan 0,05%, kontrol
positif antibiotic (Oxytetracycline) dan kontrol
negatif dengan akuades, yang diberikan secara
perendaman. Pada hari ke-6 udang diuji tantang
dengan bakteri V. harveyi dengan konsentrasi
104cfu/ml sebanyak 0,1ml/L yang diberikan
secara perendaman. Parameter yang diamati
adalah gejala klinis, patologi anatomi, prevalensi
dan kelangsungan hidup. Gejala kelinis diamati
setiap hari, yaitu aktivitas gerak, pola renang,
36
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
nafsu makan, reflek dan kondisi tubuh secara
umum. Patologi anatomi diamati berdasarkan
kondisi tubuh dan organ dengan melihat adanya
perubahan bentuk, warna dan konsistensi.
Prevalensi serangan dilihat berdasarkan adanya
gejala klinis dan patologi anatomi spesifik
terinfeksi, seperti warna organ pencernaan
kemerahan hingga kecoklatan, karapas, ekor
dan insang merah. Kelangsungan hidup
berdasarkan persentase jumlah udang yang
hidup udang. Patologi anatomi, prevalensi dan
kelangsungan hidup diamati pada hari ke-6, 13,
20 dan 24.
e. Analisa Data
Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis
secara deskriftip.
Prevalensi serangan diperoleh dari hasil
perhitungan dengan menggunakan rumus:
Kelangsungan hidup diperoleh dari hasil
perhitungan dengan menggunakan rumus:
ISSN : 2460-9226
a. Ekstraksi
Ekstrak air laut daun S. alba sedikit memiliki
warna coklat pekat, memiliki rasa asin dan getir,
dengan aroma seperti jamu rebusan daun sirih.
b. Gejala kelinis
Gejala klinis udang windu setelah diberi
perlakuan sekitar 12-76 jam, menunjukkan
ekstrak daun mangrove S. alba yang diberikan
masuk ke dalam tubuh udang, yaitu terjadi
perubahan warna pada tubuh udang dan
warnanya manjadi lebih gelap kehitaman.
Menurut Saptiani et al., (2012a) udang setelah
diberi perlakuan ekstrak jeruju (Acanthus
ilicifilius) maupun setelah uji tantang terjadi
perubahan warna pada tubuh udang,
perubahan warna pada tubuh udang disebabkan
terjadinya pembesaran kromatofor atau pigmen
pada kutikula udang, perubahan warna
merupakan adanya penurunan imunitas tubuh
udang, serta hal ini menunjukkan mulai
bekerjanya imunitas tubuh untuk melawan
benda asing dalam tubuh udang. Perubahan
warna ini juga sebagai tanda adanya benda
asing yang masuk dalam tubuh udang karena
kromatofor pada udang merupakan salah satu
pola pertahanan tubuh pada udang (Saptiani
dan Hartini 2008; Saptiani et al., 2012a)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.Rata-rata gejala klinis udang windu (Penaeus monodon) setelah uji tantang dengan V.
harveyi selama penelitian.
Gejala klinis
Ekstrak S.
Hari
alba
Aktivitas gerak (%)
Pola renang (%)
Gerak reflek (%)
keAktif
Pasif
Normal Melayang miring Normal Agresif
0,1%
6
100
0
100
0
100
0
7
100
0
95,5
4,5
90,9
9,1
8-9
100
0
100
0
100
0
10
81,8
18,2
100
0
100
0
11
86,4
13,6
85,5
14,5
90,9
9,1
12
81,8
18,2
90
10
100
0
13
100
0
100
0
100
0
14
100
0
94,4
5,6
85,0
15,0
15
100
0
100
0
100
0
16
100
0
83,9
16,1
100
0
37
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
0,05%
Kontrol (+)
Kontrol (-)
17-20
21
22-24
6
7
8
9
10
11
12
13
14-15
16
17-24
6-24
6
7
8
9
10
11
12
13-23
24
100
100
100
100
54,5
68,2
77,3
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
0
0
0
0
0
45,5
31,8
22,7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Gejala klinis yang tampak pada hari ke-7
setelah uji tantang tubuh udang tampak menyala
pada kondisi gelap. Pada hari ke-13 terjadi
penurunan aktifitas gerak, pola renang menjadi
melayang miring, gerak reflek lemah dan terjadi
penurunan nafsu makan, gejala ini terlihat pada
semua perlakuan. Menurut Gultom (2003),
udang yang terinfeksi secara akut akan
menyebabkan penurunan konsumsi pakan
secara cepat dan ketahanan tubuh menjadi
semakin
lemah,
sehingga
menyebabkan
Berdasarkan hasil pengamatan patologi
anatomi yang dilakukan pada hari ke-5 sebelum
uji tantang dengan V. harveyitidak terjadi
kematian dan tidak terjadi perubahan patologi
anatomi. Hasil pengamatan organ tubuh
mengalami kerusakan pada hari ke-13, ke-20
dan hari ke-24, ini terlihat pada semua
perlakuan seperti pada Tabel 2. Terjadi
ISSN : 2460-9226
100
94,4
100
100
81,8
63,6
95,5
100
90
100
100
100
87,5
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
0
0
5,6
0
0
18,2
36,4
4,5
0
10
0
0
0
12,5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
100
100
90,9
100
100
100
100
100
100
93,8
100
100
100
100
50
50
50
50
50
50
50
100
0
0
0
0
9,1
0
0
0
0
0
0
6,3
0
0
0
0
50
50
50
50
50
50
50
0
0
kematian. Demikian juga menurut Saptiani dan
Hartini (2008) dan Saptiani et al. (2012a) ciri-ciri
udang yang terserang adalah udang kelihatan
menyala terutama pada keadaan gelap, udang
kelihatan lemah dan tidak berenang, nafsu
makan berkurang sehingga pakan yang diberikan
banyak yang tersisa dan pada bagian tubuh
terlihat bercak-bercak merah. Rata-rata gejala
klinis yang nampak kemerahan pada karapas dan
ekor setelah diinfeksi dapat bertahan hidup 1-3
hari.
perubahan warna hitam kemerahan dan merah
pada bagian tubuh, ekor, insang dan organ
pencernaan. Setelah dilakukan infeksi V.
harveyi, semua perlakuan maupun kontrol
terjadi perubahan warna pada ekor dan tubuh
tampak kemerahan, insang dan pencernaan
merah serta otot punggung merah.
38
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
Secara umum perubahan warna tubuh
terjadi pada semua perlakuan yang diberi
ekstrak maupun pada kontrol positif dan
negatif. Pada hari ke-13 semua perlakuan
mengalami perubahan warna tubuh, organ
pencernaan hitam kecoklatan, otot punggung
kemerahan serta mengalami kerusakan.
Menurut Saptiani et al. (2012b), bahwa penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi
dapat
menyebabkan kematian pada udang yang
sensitif dan sedang terluka, ciri-ciri lain yang
timbulkan oleh infeksi yaitu hepatopankreas
akan berubah warna hitam kecoklatan dan
mengalami penyusutan bahkan hancur,
sehingga tidak berfungsi secara normal sebagai
penyerap nutrient dan produksi enzim untuk
pencernaan. Menurut Juliantok (2002), bahwa
infeksi Vibrio dapat menyebabkan kerusakan
organ dan infeksi Vibrio tidak terjadi secara
spontan tetapi merupakan hasil dari sejumlah
stres yang dialami larva udang, sehingga lemah
terhadap infeksi. Kerusakan pada organ luar
larva udang windu tidak sepenuhnya
disebabkan oleh infeksi, karena sifat
kanibalisme post larva yang tinggi dan pada saat
moulting tubuh udang sangat lemah, sehingga
sangat mudah diserang oleh udang lain.
Menurut Austin dan Zhang (2006), bahwa
secara mikroskopik bagian utama dari udang
yang diserang oleh bakteri luminescent vibriosis
adalah organ hepatopankreas. Pada kejadian
awal penyakit ini, hepatopankreas akan
mengalami perubahan warna menjadi kecoklatcoklatan dan pada tingkatan serangan yang
parah, organ ini akan berubah warna menjadi
coklat
kehitaman.
Pada
hari
ke-13
hepatopankreas
udang
tampak
coklat
kehitaman pada semua perlakuan. Menurut
Saptiani et al. (2012a), bahwa keberadaan
bakteri dalam saluran pencernaan udang atau
organ yang sangat erat hubungannya dengan
proses pencernaan udang akan menggangu
sistem kerja pencernaan udang, dimana
sebagian besar bakteri mampu mengurangi
polisakarida dan karbohidrat, sehingga bakteri
ISSN : 2460-9226
ini mengganggu proses penyerapan nutrisi
udang.
c. Prevalensi Serangan V. harveyi
Prevalensi udang windu pada hari ke-6 atau
12 jam setelah uji tantang sudah tampak pada
semua perlakuan, kecuali pada perlakuan
kontrol (+) udang tidak ada yang terinfeksi
secara gejala klinis dan patologi anatomi. Pada
hari ke-13 prevalensi udang mengalami
peningkatan pada semua perlakuan, ini karena
ekstrak air laut daun S. alba bisa menghambat
V. harveyi, tetapi kemampuannya untuk
melawan bakteri masih terbatas, sehingga
masih menimbulkan infeksi pada udang.
Pada hari ke-20 semua perlakuan
mengalami peningkatan prevalensi, kecuali
perlakuan K(+). Pada hari ke-24 semua
perlakuan mengalami penurunan prevalensi,
kecuali pada K(-). Ini menunjukkan bahwa
kemapuan antibakterial, ektrak air lautdaun S.
alba berhasil menghambat perkembangan V.
harveyi,
sehingga
perkembangan
dan
patogenitas dalam tubuh udang menurun.
Menurut Saptiani (2000), perlakuan vaksin
ataupun adanya uji tantang dapat meransang
meningkatkan pembentukan sel-sel imunitas,
adanya bahan asing atau infeksi yang masuk ke
dalam tubuh akan menimbulkan respon
kekebalan atau peradangan yang nantinya akan
diikuti dengan pembentukan zat kebal yang
dihasilkan oleh sel-sel radang, yang selanjutnya
meransang proliferasi dan defferensiasi sel
imunitas yang satu diantaranya berfungsi
membentuk bahan spesifik yang disebut
antibodi. Pemberian ekstrak daun S. alba dapat
mencegah infeksi, namun diduga tidak semua
bakteri yang diuji tantangkan terbasmi oleh
ekstrak daun S. alba. Kondisi ini justru
menguntungkan karena bias berperan sebagai
antigen yang dapat meransang terbentuknya
antibodi. Saptiani (2001) menyatakan bahwa
adanya
uji
tantang
ternyata
dapat
meningkatkan antibodi, antibodi terbentuk
setelah terjadi pemaparan atau infeksi oleh
antigen dan akan semakin meningkat apabila
ada infeksi sekunder, peristiwa ini akan
39
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
menguntungkan
bagi
organisme
yang
bersangkutan karena akan meningkatkan
resistensi
terhadap
organisme
patogen
tersebut. Menurut Dellman dan Brown (1989)
dalam Saptiani (2001) bahwa jumlah sel
imunitas meningkat pada saat terjadi infeksi dan
penyakit bakteri.
Pada perlakuan K(-) prevalensi pada hari ke24 sebesar 20.8%, hal ini disebabkan karena
pada kontrol negatif, udang tidak diberikan
bahan antibakteri, sehingga bakteri langsung
menyerang tubuh udang. Pada penelitian ini
adanya serangan agen melalui uji tantang pada
ISSN : 2460-9226
post larva udang merupakan infeksi lanjutan
dari perlakuan antibakteri ekstrak S. alba, yang
telah diberikan ke udang, sehingga sehingga
diduga hal ini memicu semakin meningkatkan
kekebalan tubuh. Hasil pengamatan diketahui
bahwa prevalensi semakin menurun pada
semua perlakuan di akhir penelitian akan tetapi
kontrol (-) semakin meningkat. Pada penelitian
ini ekstrak daun S. alba dapat menekan bakteri
yang ada dalam tubuh udang dan dapat
mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, sehingga
mampu menghambat serangan dan tubuh
udang semakin sehat.
Tabel 2. Patologi anatomi udang windu selama penelitian
Ekstrak S.
Hari
Hasil pengamatan
alba
ke0,1%
6
ekor hitam kemerahan, tubuh bening, insang kemerahan
bentuk tubuh bengkok, ekor hitam kemerahan, tubuh bening
13
kemerahan, kepala merah kehitaman, otot punggung merah, organ
pencernaan merah dan antena patah.
ekor hitam kemerahan, tubuh merah kebiruan, kepala merah kebiruan,
20
otot punggung merah.
24
ekor hitam coklat, tubuh bening merah muda, kepala bening hitam.
0,05%
6
ekor coklat kehitaman, tubuh bintik-bintik hijau dan insang kemerahan
ekor hitam kemerahan, tubuh bening kekuningan, kepala merah, otot
13
punggung merah.
ekor hitam kemerahan, tubuh bening, kepala bening kebiruan, otot
20
punggung merah.
24
ekor hitam kebiruan, tubuh bening kebiruan, kepala hitam kecoklatan.
24
ekor coklat, tubuh bening coklat, kepala bening coklat.
Kontrol (+)
6
ekor hitam dan tubuh bening.
13
ekor hitam kemerahan, tubuh bening, kepala hitam kemerahan.
20
ekor hitam kebiruan, tubuh bening kebiruan kepala bening kebiruan.
24
ekor hitam pekat, tubuh bening kehitaman, kepala hitam pekat.
Kontrol (-)
6
ekor hitam, tubuh bening dan insang kemerahan
13
ekor hitam, tubuh bening, organ pencernaan coklat kemerahan
ekor hitam kemerahan, tubuh hitam, kepala bening kemerahan, otot
20
punggung merah.
24
ekor kuning kehijauan, tubuh hitam, organ pencernaan coklat kemerahan
40
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
ISSN : 2460-9226
Prevalensi %
50
40
30
SAL 0,1%
20
SAL 0,05%
10
K(+)
0
K(-)
6
13
20
24
Hari pengamatan
Gambar 1. Prevalensi udang windu (P. monodon) pada hari ke-6, 13, 20 dan 24 pada semua
perlakuan. Keterangan : SAL = ekstrak air laut daun S. alba 0,1%, SAL = ekstrak air laut
daun S. alba 0,05%, K(+) = antibiotik dan K(-) = akuades.
100
SR (%)
90
SAL 0,1%
80
SAL 0,05%
70
K (+)
60
K (-)
50
5
6
13
20
24
Hari pengamatan
Gambar 1.Kelangsungan hidup udang windu (P. monodon) pada hari ke-6, 13, 20 dan 24 pada
semua perlakuan. Keterangan: SAL = ekstrak air laut daun S. alba 0,1%, SAL = ekstrak air
laut daun S. alba 0,05%,K(+) = antibiotik dan K(-) = akuades.
Kelangsungan hidup pada hari ke-13
mengalami penurunan pada perlakuan ekstrak
air laut 0,1%, dan 0,05%. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rukyani et al. (1992) bahwa
penyakit
yang
diakibatkan
bakteri
berpendarbersifat sangat akut dan ganas karena
dapat memusnahkan populasi yang terserang,
hanya dalam waktu 1-3 hari sejak gejala awal
tampak.
Tingkat kelangsungan hidup pada hari ke20 dan hari ke-24 meningkat, ini menunjukkan
perubahan kearah yang lebih baik, kecuali pada
perlakuan K(-) mengalami penurunan menjadi
49.98%. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi
pada perlakuan ekstrak air laut 0,1% sebesar
95.83%, dan K(+) sebesar 95.83%. Ini
menunjukkan antibiotik yang diberikan mampu
menghambat, namun penggunaan antibiotik
secara terus menerus dengan dosis yang tidak
tepat menyebabkan resistensi (Saptiani dan
Hartini 2008: Saptiani et al., 2012b).
Pada gambar 2, menunjukkan bahwa
tingkat kelangsungan hidup antara perlakuan
K(+) dan ekstrak air laut 0,1% adalah paling baik
dibandingkan dengan perlakuan K(-). Tingginya
kelangsungan
hidup
ini
menunjukkan
kemampuan ekstrak daun S. alba yang dapat
menghambat bakteri walaupun tidak maksimal.
Sesuai dengan pendapat (Herawati et al., 2011),
ekstrak S. alba memiliki kandungan senyawa
antibakteri yaitu alkaloid, flavonoid, trirpenoid,
steroid, fenol hidrokuinon, saponin dan tannin.
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari
senyawa fenolik disamping fenol sederhana,
41
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
fenil propenoid dan kuinon fenolik. Saptiani
(2012), menyatakan bahwa salah satu fungsi
flavonoid adalah dapat bekerja sebagai
antimikroba dan antivirus. Selain flavonoid,
steroid atau sterol adalah salah satu bahan aktif
yang dapat ditemukan dalam bentuk senyawa
fitosterol seperti: sitosterol, stimossterol dan
komposterol (Suradikusumah, 1989). Menurut
Taslihan (1988), pada konsentrasi rendah,
senyawa fenol merusak membran sitoplasma
yang menyebabkan bocornya metabolit penting
dan mengaktifkan sistem enzim bakteri.
Kerusakan pada membran ini memungkinkan
ion anorganik, nukleotida, koenzim dan asam
amino merembes keluar sel. Selain itu
kerusakan semacam itu dapat mencegah
masuknya bahan-bahan penting ke dalam sel,
karena
membran
sitoplasma
juga
mengendalikan penangkutan aktif ke dalam sel.
Jadi substansi yang menghalangi fungsi penting
membran akan berakibat kematian sel atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut
Sukarminah (1997), bahwa Senyawa fenol pada
konsentrasi tinggi akan bekerja dengan merusak
membran sitoplasma secara total dan
mengendapkan protein sel, struktur sel
terutama tersusun dari protein. Senyawa kuinon
terbagi atas 4 kelompok yaitu benzokuinon,
nafto kuinon, antarkuinon dan kuinon
isopernoid.
Kelompok
benzoa,
kuinon,
naftokuinon dan antarkuinon termasuk senyawa
terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol.
Beberapa senyawa kuinon seperti kelompok
naftokuinon diketahui dan bersifat racun dan
berpotensi
sebagai
antimikroba
(Suradikusumah, 1989). Naiborhu (2002)
mengatakan dari hasil uji fitokimia golongan
senyawa aktif ekstrak kelopak dan ekstrak buah
S. alba adalah bahan berpotensi sebagai bahan
antibakteri. Begitu juga menurut (Manilal et al.,
2009), S. alba mempunyai senyawa bioaktif dan
berpotensi sebagai antibakterial. Tumbuhan S.
alba mempunyai kandungan metabolit, yang
mengandung komposisi kimia senyawa glukosid,
alkaloid, flavonoid, asam lemak, steroid lignin
dan komponen phenol dan terpenoid
ISSN : 2460-9226
(Kanchanapoom et al., 2001; Wostmann dan
Liebezeid, 2008).
Golongan alkaloid dan karbohidrat seperti
glukosa, yang terdapat pada esktrak S. alba
mempunyai respon yang bagus untuk aktivitas
farmokologik, yaitu sebagai antimikroba dan
anti inflamasi (Okoli et al., 2009). Menurut
Sukarminah
(1997),
bahwa
senyawa
antimikroba merupakan senyawa kimia atau
biologis yang dapat menghambat pertumbuhan
dan aktivitas mikroba. Mekanisme kerja
antimikroba
dalam
membunuh
atau
menghambat pertumbuhan mikroba antara lain:
merusak dinding sel mikroba; mengubah
permeabilitas membran sitoplasma yang
menyebabkan keluarnya nutrient dari dalam sel;
menghambat kerja enzim dalam sel dan
menghambat proses sintesis asam nukleat dan
proteinnya (Marpaung, 2004).
Daya tahan tubuh udang terhadap V.
Harveyi dapat diketahui berdasarkan gejala
klinis, patologi anatomi, prevalensi dan
kelangsungan hidup. Pada perlakuan K(-) tingkat
serangan V. Harveyi yang tinggi, terlihat dari
rendahnya kelangsungan hidup udang. Ini
karena pada kontrol(-) tidak diberi ekstrak S.
alba yang dapat menghambat, pertumbuhan V.
harveyi, sehingga infeksi bakteri yang diberikan
hanya ditangkal oleh pertahanan tubuhnya saja
tanpa adanya bahan tambahan penghambat
yang dapat menghambat bakteri tersebut.
Pada perlakuan K(+) dan ekstrak air laut
0,1%, memiliki tingkat kelangsungan hidup yang
tinggi, ini menunjukkan bahwa perlakuan yang
diberikan mampu menghambat, walaupun
belum maksimal. Adanya pemberian ekstrak air
laut daun S. alba pada udang sebelum dilakukan
uji tantang menyebabkan bakteri yang masuk
akan mati karena adanya kandungan senyawa
bioaktif yang bersifat antibakterial. Senyawa ini
mampu melakukan migrasi dari fase lemak,
terjadi kerusakan pada membran sel,
mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan
biosintesa enzim-enzim spesifik yang diperlukan
dalam reaksi metabolisme dan kondisi ini pada
akhirnya menyebabkan kematian pada bakteri
42
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
(Marpaung, 2004). Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada perlakuan ekstrak air
laut 0,1%, mampu menghambat pertumbuhan
bakteri paling baik dibandingkan dengan
perlakuan yang lainnya.
4. KESIMPULAN
Ekstrak daun S. albamempunyai aktivitas
antibakterial yang dapat menghambat serangan
V. harveyi pada post larva udang windu, aman
digunakan dan dapat menurunkan prevalensi
serangan. Ekstrak air laut daun S.
albakonsentrasi 0,1% paling baik untuk
mencegah serangan V. harveyi pada benur
udang windu
DAFTAR PUSTAKA
Austin, B and X. H. Zhang. 2006. V. harveyi: a
Significant Pathogen of Marine Vetebrates
and Invertebrates. Letten of Applied
Microbiolgy. 43: 119-124.
Boer, D. R. dan Zafran. 1992. Karakteristik
Beberapa Isolat Bakteri Bercahaya yang
diisolasi dari Larva Udang Windu. Subbalai
Penelitian Perikanan Budidaya Pantai
Gondol. Bali. 93-97 hlm.
Diggles, B.K, J. Carson, P.M. Hine, R.W. Hiskman
dan M.J. Tait. 2000. Vibrio Species Associated
with Mortalities in Hatchery-reared Turbot
(Colistium nudipinnis) and Brill (C. guntheri)
in New Zealand. Aquaculture. 183: 1-12.
Gultom, D.N. 2003. Patogenitas Bakteri pada
Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fab)
Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39
hal. Tidak Dipublikasikan.
Herawati, N. Jalaluddin, La Daha dan F. Zenta.
2011. Potensi Antioksidan Ekstrak Metanol
Kulit Batang Tumbuhan Mangrove S. alba.
Jurnal Chemical. 12(1): 9-13
Juliantok, E., 2002. Isolasi dan Seleksi Bakteri
Vibrio sp. sebagai Biokontrol untuk Penyakit
Kunang-kunang
pada
Larva
Udang
Windu.Skripsi Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 50 hal. Tidak Dipublikasikan.
ISSN : 2460-9226
Kamiso, H. N. 1986. Vibriosis pada Ikan dan
Alternatif cara Penanggulangannya. Journal
Tulisan Science 1(1): 78-86.
Kanchanapoom, T., M.S. Kamel, R. Kasai, K.
Yamasaki, C. Picheansoonthon, and Y. Hiraga.
2001. Lignan Glucosides from Acanthus
ilicifolius Phytochemistry 56: 369-372.
Manilal, A., S. Sujith, G.S. Kiran, J. Selvin and C.
Shakir. 2009. Biopotensials of Mangroves
Collected from the Southwest Coast India.
Global Journal of Biotecnology and
Biochemistry. 4(1): 59-65.
Marpaung, E. L. 2004. Flavonoid dari Buah
Sonneratia caseolaris Engl. dan Kegunaannya
sebagai Antibakterial. Studi Laboratoris
Infeksi V. harveyi pada udang Windu
(Penaeus monodon F). Tesis sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
63 hal.
Naiborhu, P. E. 2002. Ektraksi dan Manfaat
Ekstrak Mangrove (S. alba dan Sonneratia
caseolaris)
sebagai
Bahan
Alami
Antibacterial: pada Patogen Udang Windu, V
harveyi Tesis. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Okoli, R. I., A. A. Turay., J. K. Mensah and A. O.
Aigbe.
2009.
Phytochemical
and
Antimicrobial Properties of Four Herbs from
Edo State. Nigeria. Report and Opinion. I(5):
67-73.
Saptiani, G. 2000. Pengaruh Vaksin pada Ikan
Mas (Cyrinus carpio L) terhadap Gambaran
Kekebalan Non-Spesifik. Frontir. 14(2): 52-56.
Saptiani, G. 2001. Peningkatan Resistensi pada
Ikan Gurame (Osphronemus gouramy)
dengan Pemberian Imunostimulant. Media
Veteriner. 8(1): 1-4 FKH IPB Bogor.
Saptiani, G. and Hartini, 2008. The Inhibition of
Bettle Leaf Extracts on the in vitro Growth of
the V. harveyi Bacteria and the Protective to
Tiger Prawn Larva. Paper. Konferensi
Indonesia Aquaculture. Indoaqua. Yogyakarta
17-20 Nopember. (in Indonesia).
Saptiani, G. 2012. Pemanfaatan Ekstrak Daun
Acanthus ilicifilius untuk Meningkatkan
43
J. Aquawarman. Vol. 2 (2) : 35-44.Oktober 2016.
Imunitas Udang Windu. Disertasi. Pasca
Sarjana Universitas Diponogoro. 298 hal.
Saptiani, G, Prayitno dan S. Anggoro. 2012a. The
Effectiveness of Potensi Acanthus ilicifolius In
Proctecting Tiger Prawn (Penaeus monodo F)
from V. harveyi Infection. Jurnal. of coastal
Develpoment Vol 15 (2) 217-224.
Saptiani, G, S. B. Prayitno dan S. Anggoro, 2012b.
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Jeruju (Acanthus
ilicifolius) terhadap Pertumbuhan V. harveyi
secara in vitro. Jurnal Veteriner. 13(3): 257262.
Saptiani, G, C. A. Pebrianto and E. H. Hardi.
2015. Antimicrobial of Alpinia galanga
Extracts Aquanist the Pathogen of Clarias
batrachus. Proc. Inter, Symp. Marine and
Fish. Research 99-104.
Sukarminah, E. 1997. Kajian Sifat Antimikroba
Ekstrak Daun Sirih (Piper bettle L) terhadap
.
ISSN : 2460-9226
Pertumbuhan Mikroba Perusak dan Patogen
Makanan. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 60 hal.
Suradikusumah, E. 1989. Kimia tumbuhan.
Depdikbud. Dirjen Pendidikan Tinggi. PAU.
Ilmu Hayat IPB.
Taslihan, A. 1988. Penyakit Udang dan Usaha
Pengendaliannya dalam: Kumpulan Paper
Tehnis Latihan Ahli Pembenihan Udang
Angkatan I. Balai Budidaya Jepara Air Payau.
Jepara.
Wostmann, R., and G. Liebezeid. 2008. Chemical
Composition of The Mangrove Holly
Acanthus ilicifolius (Acanthaceae) Review
and Additional Data Senckenbargiana
Maritima 38(1): 31-37.
44
Download