BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi pada kehamilan ditandai dengan meningkatnya tekanan darah diatas normal yaitu tekanan darah sistolik≥ 140 mmHg dan diastolik≥ 90 mmHg. Kejadian hipertensi pada kehamilan sebesar 5–15%,hal ini dapat terjadi karena tingkat pengetahuan ibu hamil yang kurang baik dan kurang mengerti tentang bahaya hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan merupakan satu di antara 3 penyebab mortalitas dan morbiditas ibu bersalin di samping infeksi dan perdarahan(Sirait, 2012). Penanganan hipertensi selama kehamilan perlu segera dilakukan setelah diagnosa ditegakkan. Pemberian terapi obat antihipertensi segera mungkin dan menjaga tekanan darah agar tetap masuk ke dalam kisaran normal merupakan hal penting. Hipertensi dalam kehamilan apabila tidak segera diobati dapat menyebabkan pendarahan pada janin dan otak, serta dapat menyebabkan kematian pada ibu, janin, maupun keduanya(Queensland ClinicalGuidelines, 2013). Angka kematian ibu (AKI) masih menjadimasalah kesehatan yang tinggi di Indonesia. AKI di Indonesia berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu di Jawa Tengahselama tahun 2015 sebesar 619 kasus atau nilai AKI 111,16 per 100.000 kelahiran hidup. Faktor yang menyebabkan kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah diantaranya pendarahan sebesar 21,14%, hipertensi 26,34%, infeksi 2,76%(Prabowo, 2015). Selama tahun 2014, jumlah kematian ibu di Kabupaten Boyolali sebesar 14 kasus atau AKI 93,05 per 100.000 kelahiran hidup dimana 6 kasus kematian karena hipertensi selama kehamilan, 1 kasus mengalami pendarahan, 1 kasus terkena infeksi, dan penyebab kematian lain sebesar 6 kasus (Survivalina, 2015). 1 2 Keamanan dan ketepatan pemberian obat antihipertensi pada Ibu hamil sangat penting, karena obat tersebut akan terdistribusi ke dalam uterus dan kemudian kedalam janin (Chobanian et al., 2004). Wanita hamil dengan hipertensi harus dimonitor dengan hati-hati karena risiko ke ibu dan janin akan meningkat. Metildopa, beta blocker, dan vasodilator merupakan lini pertama pengobatan hipertensi pada ibu hamil karena aman dan tidak mempengaruhi janin. ACEI (angiotensin-converting enzyme inhibitor) dan ARB(Angiotensin receptor blocker)tidak boleh digunakan selama kehamilan karena berpotensi untuk cacat fetus dan harus dihindari pada perempuan yang diduga hamil atau berencana hamil (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Lisniawatiet aldi RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2011 ditemukan terapi antihipertensi yang diberikanselama kehamilan adalah metildopa dan nifedipin. Selain penggunaan antihipertensi terdapat penggunaan obat lain seperti oksitosin, sintosinon, atau misoprostol, dan MgSO4. Pemberian terapi antihipertensi yang kepada pasien setelah melahirkanadalah metildopa dan nifedipin, serta pemberian obat lain seperti antibiotika, metilergometrin, asammefenamat, dan sulfas ferosus. Sebanyak 6 orang pasien dengan kategori hipertensi sedang, diberikan terapi antihipertensi yaitu metildopa (16,67%) dan nifedipin (83,33%) dengan dosis masing-masing yaitu 3 x 250 mg per hari dan 3 x 10 mg per hari(Lisniawati et al., 2011). Penelitian tersebut belum mengevaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi berdasarkan tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien dan tepat dosis dan pengambilan data pasien yang dilakukan oleh peneliti adalah pasien yang mengalami hipertensi gestasional. Sehingga perlu dilakukan evaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian mengenai evaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil perlu dilakukan, untuk melihat apakah obat yang digunakan sudah memenuhi kriteria tepat indikasi,tepat pasien tepat obat, dan tepat dosis. RSUD Pandan Arang Boyolali dipilih karena Kabupaten Boyolali masih menjadi salah satu Kabupaten yang memiliki nilai AKI 3 tinggi di Jawa Tengah sehingga diharapkan sampel yang diambil dapat mewakili populasi daerah Kabupaten Boyolali. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil di RSUD Pandan Arang Boyolali Januari-September tahun 2016 ? 2. Apakah penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil di RSUD Pandan Arang Boyolali sudah memenuhi kriteria ketepatan indikasi, ketepatan pasien, ketepatan obat, dan ketepatan dosis dengan standar acuan dariStandar Pengobatan Medis Preeklamsia di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali, Panduan Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan(Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, 2006) dan Queensland Health(Hypertensive Disorders of Pregnancy) tahun 2013. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Mengetahui gambaran penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil di instalasi rawat inap RSUD Pandan Arang Boyolali Januari-September tahun 2016 2. Mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil di instalasi rawat inap RSUD Pandan Arang BoyolaliJanuari-September tahun 2016. D. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi pada ibu hamil Hipertensi pada kehamilan ditandai dengan meningkatnya tekanan darah diatas normal yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering muncul selama 4 kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2–3% kehamilan (Sirait, 2012). 2. Klasifikasi a. Hipertensi Berikut pada Tabel. 1 adalah klasifikasi hipertensi menurut JNC VII tahun 2003 pada pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun)berdasarkanrata-rata pengukuran dua atau lebih tekanan darah pada kunjungan klinis(Chobanian et al., 2004). Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII 2003: Klasifikasi Sistolik(mmHg) Diastolik (mmHg) Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120 – 139 80 – 89 Hipertensistage 1 140 – 159 90 – 99 Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100 b. Hipertensi pada ibu hamil BerdasarkanReport of the National High Blood Pressure EducationProgram Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2000 (NHBPEP, 2000)hipertensi dalam kehamilandapat diklasifikasikan menjadi: 1) Hipertensi Kronik 2) Preeklampsia-eklampsia 3) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia 4) Hipertensi gestasional 1) Hipertensi Kronis (Esensial) Hipertensi yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan > 20 minggu (Prawirohardjo, 2009). Obesitas dan keterlambatan usia pada saat kehamilan menjadi penyebab utama hipertensi kronis pada ibu hamil. Hipertensi kronis pada ibu hamil dapat beresiko meningkat menjadi preeklamsia sehingga harus dilakukan penyesuaian terapi hipertensi yang dijalankan sebelum, selama, dan sesudah kehamilan (Seely and Ecker, 2014). 5 2) Hipertensi Kronis (Esensial) Hipertensi yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan > 20 minggu (Prawirohardjo, 2009). Obesitas dan keterlambatan usia pada saat kehamilan menjadi penyebab utama hipertensi kronis pada ibu hamil. Hipertensi kronis pada ibu hamil dapat beresiko meningkat menjadi preeklamsia sehingga harus dilakukan penyesuaian terapi hipertensi yang dijalankan sebelum, selama, dan sesudah kehamilan (Seely and Ecker, 2014). 3) Preeklamsia Preeklamsia dapat berubah menjadi komplikasi yang dapat merenggut nyawa baik ibu dan fetusnya. Diagnosa preeklampsia berdasarkan munculnya hipertensi (>140/90 mmHg) setelah usia kehamilan memasukin 20 minggu dan dengan ditemukannya protein di dalam urin. Preeklamsia dapat terjadi selama proses kehamilan dan dapat pulih diperiode post natal atau setelah melahirkan(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). 4) Preeklamsia pada hipertensi kronis Hipertensi kronis yang sudah diderita oleh seorang Ibu pada saat sebelum masa kehamilan, dan berkembang menjadi preeklamsia pada usia kehamilan 20 minggu(Queensland Clinical Guidelines, 2013). 5) Hipertensi gestasional Hipertensi yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan dan akan normal kembali dengan terapi setelah 3 bulan pasca melahirkan(Queensland Clinical Guidelines, 2013). 6) Eklamsia Eklamsia merupakan komplikasi akut hipertensi dalam kehamilan yang ditandai dengan kejang dan dapat diikuti dengan koma yang terjadi selama kehamilan atau setelah melahirkan. Tingkat kejadian eklamsia pada ibu hamil sangat rendah, namun tingkat keparahan dan tingkat kematiannya cukup tinggi. Ibu hamil yang memiliki risiko tinggi terkena eklamsia, apabila terdapat 6 komplikasi seperti gagal ginjal, sindrom HELLP(Hemolysis, Elevated Liver function, dan Low Platelet count)dan koma (Fathima, 2016).Tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau dipstick ≥ 1+ (Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, 2006). 3. Patofisiologi Hipertensi pada Ibu Hamil Beberapa teori yang yang menjelaskan tentang patofisiologi hipertensi dalam kehamilan, yaitu : a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang – cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada preeklamsia terjadi kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi, berakibat aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta (Prawirohardjo,2009). b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotel 1) Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas Remodelling arteri spiralis yang tidak terjadi/gagal dapat berakibat pada plasenta sehingga mengalami iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak 7 jenuh menjadi peroksida lemak. Periksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel 2) Disfungsi Endotel Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut disfungsi endotel, yang akan menyebabkan terjadinya : 3) Gangguan metabolisme prostalglandin. 4) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. 5) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis). 6) Peningkatan permeabilitas kapiler. 7) Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO menurun sedangkan endotelin meningkat. Peningkatan faktor koagulasi. (Prawirohardjo,2009) c. Teori intoleransi imunologik ibu dan janin Pada plasenta ibu yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G (Human Leukocyte Antigen Protein G) yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi ImmuneMaladaptation pada preeklamsia.Human Leukocyte Antigen Protein G (HLAG)berfungsi sebagai pelindung trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G (Human Leukocyte Antigen Protein G) mempermudah invasisel trofoblas kedalam jaringan juga akan desidua ibu(Prawirohardjo,2009). d. Teori Adaptasi kardiovaskular Pada kehamilan normal pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis prostaglandin oleh sel endotel. Pada pre eklamsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor dan berakibat vasokonstriksi mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo,2009). 8 e. Teori Genetik Faktor keturunan dan keluarga dengan model gen tunggal.Genotype Ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotype janin. (Prawirohardjo,2009) f. Teori Defisiensi Gizi Minyak ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokontriksi pembuluh darah. Konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklampsia dan beberapa penelitian jugamenunjukkan bahwa defisiensi kalsiummengakibatkan risiko terjadinyapreeklampsia/eklampsia (Prawirohardjo,2009). g. Teori Stimulasi Inflamasi Debris trofoblas yang lepas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses apoptosis pada pre eklamsia, dimana pada pre eklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan gejala – gejala pre eklamsia pada ibu (Prawirohardjo,2009). 4. Faktor Risiko Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial. Faktor- faktor resiko yang dapat menyebabkan hipertensi pada kehamilan adalah preeklamsia yang terjadi pada kehamilan sebelumnya, riwayat hipertensi yang sudah diderita sebelum kehamilan, gaya hidup, usia kehamilan, obesitas dan riwayat keluarga (Morimoto et al., 2015). Menurut Prawirohardjo tahun 2009, faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi selama kehamilan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 9 a. Primigravida b. Umur c. Riwayat keluarga. d. Penyakit ginjal e. Riwayat hipertensi f. Obesitas 5. Komplikasi hipertensi pada ibu hamil Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi pada kehamilan antara lain: kekurangan cairan plasma akibat gangguan pembuluh darah, gangguan ginjal, gangguan hematologis, gangguan kardiovaskular, gangguan hati, gangguan pernafasan, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes,low platelet count), serta gangguan pada janin seperti pertumbuhan terhambat, prematuritas hingga kematian dalam rahim (Sirait, 2012). 6. Diagnosis Waspada dengan gejala yang timbul dari hipertensi selama kehamilan, yaitu munculnya sakit kepala hebat, muntah, gangguan penglihatan, nyeri apabila ditekan bagian hati, dan nyeri epigastrik. Anamnesis dilakukan pada pasien/keluargamengenai adanya gejalaseperti nyeri kepala, gangguan virus, rasa panas dimuka, dispnea, nyeri dada, mual muntah dan kejang. Penyakit terdahulu seperti hipertensi dalam kehamilan, pemakaian kontrasepsi hormonal, penyakit ginjal, riwayat penyakit keluarga dan riwayat gaya hidup seperti lingkungan sosial, merokok danminum alkohol (Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, 2006). Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan kadar protein di dalam urin. Jika tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg dengan rata-rata pengukuran 2 kali atau lebih, dengan jarak pengukuran 15 menit dan dilakukan pengukuran di bagian tubuh yang sama. Pemeriksaan kadar protein dalam urin ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, didapatkan data secara kuantitatif berupa kadar protein dalam urin 10 lebihdari 300 mg per 24 jam. Nilai protein dalam urin secara semi kuantitatif didapatkan dengan menggunakan metode dipstik, nilai proteinuria yang dihasilkan adalah > 1+ (Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, 2006). 7. Penatalaksanaan Hipertensi pada Ibu Hamil a. Penatalaksanaan hipertensi berdasarkan klasifikasi hipertensi dalam kehamilan, menurut Panduan Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan adalah : 1) Preeklamsia Apabila muncul satu atau lebih gejala, seperti tekanan darah sistolik mencapai ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg, Trombosit < 100.000 / mikroliter, hasil pemeriksaan proteinuria adalah ≥ 300 mg/24 jam atau dipstick ≥ 1+ Dapat diberikan obat antihipertensi berupa : a) Nifedipine :10-20 mg secara peroral, dan dapat diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. b) Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl atau RL(ringer laktat) diberikan secara intravena selama 5 menit, apabila gagal setelah 1 jam dapat diberikan nicardipin dengan dosis dinaikkan menjadi 12,5 mg diberikan selama 5 menit. Apabila kegagalan terapi masih terjadisetelah pemberian selama 1 jam dengan dosis 12,5mg, makadapat diberikan dengan dosis yang dinaikkan kembali menjadi 15 mg diberikan selama 5 menit. 2) Hipertensi kronis dan gestasional Obat antihipertensi yang dapat diberikan kepada ibu hamil yang mengalami hipertensi kronis dengan kriteria tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu adalah : a) Pilihan pertama : Metildopa 0,5–3,0 g/hari, dibagi menjadi 2-3 dosis dalamsehari. b) Pilihan kedua : Nifedipine30 – 120 g/hari 11 3) Hipertensi kronis dengan preeklamsia Penatalaksanaan hipertensi kronis dengan preeklamsia sama dengan penatalaksanaan preeklamsia. Dapat diberikan obat antihipertensi berupa : a) Nifedipine :10-20 mg secara peroral, dan dapat diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. b) Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl atau RL(ringer laktat) diberikan secara intravena selama 5 menit, apabila gagal setelah 1 jam dapat diberikan nicardipin dengan dosis dinaikkan menjadi 12,5 mg diberikan selama 5 menit. Apabila kegagalan terapi masih terjadisetelah pemberian selama 1 jam dengan dosis 12,5mg, makadapat diberikan dengan dosis yang dinaikkan kembali menjadi 15 mg diberikan selama 5 menit . 4) Eklamsia Merupakan preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang pada ibu Hamil.Tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertei dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau dipstick ≥ 1+. Dapat diberikan obat antihipertensi berupa : a) Nifedipine : 10-20 mg secara peroral, dan dapat diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. b) Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl atau RL(ringer laktat) diberikan secara intravena selama 5 menit, apabila gagal setelah 1 jam dapat diberikan nicardipin dengan dosis dinaikkan menjadi 12,5 mg diberikan selama 5 menit. Apabila kegagalan terapi masih terjadisetelah pemberian selama 1 jam dengan dosis 12,5mg, makadapat diberikan dengan dosis yang dinaikkan kembali menjadi 15 mg diberikan selama 5 menit . b. Standar Pengobatan Preeklamsia Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali Kriteria Preeklamsia berat (Pre eklamsia dengan minimal satu gejala dibawah ini) 1) Tekanan darah > 160/110mmHg 12 2) Proteinuria > 5gram/ 24 jam atau > 2+ uji dipstick 3) Ada keterlibatan organ lain Penatalaksanaan digunakan obat antihipertensi berupa nifedipin 10mg jika tekanan darah > 160/110 mmHg dan tidak dibenarkan pemberian dengan rute sublingual. 8. Antihipertensi yang Aman bagi Ibu Hamil : a. Metildopa Metildopa merupakan obat antihipertensi yang bekerja langsung pada sistem sarafsimpatik. Obat ini aman digunakan pada ibu hamil, karena tidak memiliki efek pada uteroplasenta janin. Metildopa merupakan lini pertama untuk terapi hipertensi pada kehamilan(Morimoto et al., 2015). b. Beta blocker Obat golongan beta blocker bekerja dengan memblok efek adrenalin pada tubuh. Bekerja pada jantung dengan meminimalkan timbulnya stress sehingga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dan meringankan kerja jantung dan tekanan darah dapat turun(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Obat golongan beta blocker dapat memicu terjadinya bronkospasme sehingga penggunanya harus dihindari untuk pasien dengan riwayat asma. Labetolol merupakan obat antihipertensi golongan beta blocker yang efektif dan aman untuk menurunkan tekanan darah pada ibu hamil, namun obat ini tidak dianjurkan apabila memiliki riwayat asma(O’Loughlind, 2013). c. Calcium Channel Blockers Mekanisme aksi dari Calcium Channel Blockers yaitu mencegah masuknya kalsium ke dalam sel, sehingga akan terjadi vasodilatasi. Aksi ini dapat menurunkan tekanan darah karena pada pasien yang menderita hipertensi terjadi peningkatanperipheral vascular resistance (PVR) dikarenakan tingginya calcium intracellular yang menyebabkan peningkatan tekanan otot polos arterial. Contoh : 1) Non Dihidropyridine : Diltiazem, Verapamil. 13 2) Dihidropyridine : Amlodipine, Felodipine, Isradipine, Nicardipine SR, Nifedipine long-acting, dan Nisoldipine. (Gaspar et al., 2013) 9. Kategori obat untuk Ibu Hamil FDA menggolongkan tingkat keamanan penggunaan obat selama kehamilan dalam 5 kategori (MIMS, 2015) yaitu : a. Kategori A Studi kontrol pada wanita tidak memperlihatkan adanya resiko terhadap janin pada kehamilan trimester I (dan tidak ada bukti mengenai resiko pada trimester selanjutnya), dan sangat rendah kemungkinannya untuk membahayakan janin. b. Kategori B Studi pada sistem reproduksi binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya resiko terhadap janin, tetapi studi terkontrol terhadap wanita hamil belum pernah dilakukan. Atau studi terhadap reproduksi binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping obat (selain penurunan fertilitas) yang tidak diperlihatkan pada studi terkontrol pada wanita hamil trimester I (dan tidak ada bukti mengenai resiko pada trimester berikutnya). c. Kategori C Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainnya) dan belum ada studi terkontrol pada wanita, atau studi terhadap wanita dan binatang percobaan tidak dapat dilakukan. Obat hanya dapat diberikan jika manfaat yang diperoleh melebihi besarnya resiko yang mungkin timbul pada janin. d. Kategori D Terbukti menimbulkan resiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya manfaat yang diperoleh jika digunakan pada wanita hamil dapat dipertimbangkan (misalnya jika obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang lebih aman tidak efektif atau tidak dapat diberikan). e. Kategori X 14 Studi pada binatang percobaan atau manusia telah memperlihatkan adanya abnormalitas janin dan besarnya resiko obat ini pada wanita hamil jelas-jelas melebihi manfaatnya. Dikontraindikasikan bagi wanita hamil atau wanita usia subur. Tabel 2. Kategori keamanan anti hipertensi bagi ibu hamil. Golongan Nama obat Thiazid Chlorthalidone Diuretik Hydrochlorothiazide Indapamide Metolazone Loops Bumetanide Furosemide Torasemide Potassium Amiloride Triamterene Amiloride/hydrochlorothiazide Triamterene/hydrochlorothiazide Aldosterone Eplerenone antagonists Spironolactone Benazepril ACE inhibitors Captopril Enalapril Fosinopril ARBs Calcium channel Blockers Dihydropyridines Nondihydropyridines Beta Cardioselective Kategori B B B B C C B B C B C C C D D D C Lisinopril Moexipril Perindopril Quinapril Ramipril Trandolapril Candesartan Eprosartan Irbesartan Losartan Olmesartan Telmisartan Valsartan Eprosartan Amlodipine D D D D D D D D D D D D D D C Felodipine Isradipine Nicardipine Nifedipine Nisoldipine Diltiazem Verapamil Atenolol C C C C C C C C D jika digunakan pada trimester 2 dan 3 15 Blockers Non selektive Alfa agonis sentral Bisprolol C Metoprolol C Nadolol C Propanolol C Timolol C Clonidine C Metildopa B D jika digunakan pada trimester 2 dan 3 D jika digunakan pada trimester 2 dan 3 D jika digunakan pada trimester 2 dan 3 D jika digunakan pada trimester 2 dan 3 D jika digunakan pada trimester 2 dan 3 10. Kerasionalan Terapi Obat Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhannya dalam periode waktu tertentu dengan biaya yang terjangkau (Depkes RI, 2011). Penggunaan obat yang rasional harus mencakup hal-hal berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a. Tepat indikasi Tepat indikasi adalah pemberian obat disesuaikan dengan gejala dan diagnosa pasien karena obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. b. Tepat pasien Tepat pasien adalah pemberian obat yang disesuaikan dengan kondisi pasien terhadap efek obat. c. Tepat obat Tepat obat adalah pemberian obat disesuaikan dengan diagnosis penyakit dan obat yang dipilih haruslah obat lini pertama. d. Tepat dosis Tepat dosis adalah pemberian obat yang tepat besaran, frekuensi, rute dan durasinya kepada pasien sehingga menimbulkan efek yang diinginkan, karena pemberian dosis yang berlebihan atau kurang akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. 16 E. Keterangan Empiris Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten tahun 2014 tentang evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil, 67 pasien ibu hamil dengan rentang umur 17-45 tahun yang mendapatkan terapi antihipertensi dan dievaluasi ketepatanya berdasarkan tepat indikasi, pasien, obat dan dosis. Data yang didapat, pasien mendapatkan resep yaitu nifedipine 42 pasien (62,67%), metildopa 10 pasien (14,92%), propanolol 1 pasien (1,49 %). Terapi kombinasi nifedipin dengan metildopa sebanyak 13 pasien (19,40 %) terapi kombinasi antara nifedipin dengan metildopa dan furosemid sebanyak 1(1,49 %). Dari semua data tersebut 49 pasien (73,13 %) yang memenuhi kriteria tepat indikasi, pasien, obat dan dosis (Kusumaningtyas, 2015). Penelitian lain yang dilakukan di RS. Moewardi pada tahun 2014 tentang studi penggunaan obat antihipertensi pada preeklamsia berat. Obat antihipertensi yang diberikan adalah nifedipin sebanyak 47pasien (61,84%), metildopa sebanyak 8 pasien (10,52%), furosemid sebanyak 7pasien (9,21%), dan captopril sebanyak 4 pasien (5,26%). Terapi kombinasi yang diberikan adalah nifedipin dengan metildopasebanyak 7 pasien atau 9,21%, nifedipin dengan furosemid sebanyak 4 pasien atau5,26% dan furosemid dengan captopril sebanyak 4 pasien atau 5,26%. Terapi penggunaan antihipertensi dievaluasi ketepatan penggunaan berdasarkan tepat indikasi, pasien, obat dan dosis. Dari penggunaan antihipertensi ada 76 pasien ibu hamil yang menderitapreeklampsia berat yang dianalisis ketepatan pengobatan dengan standar acuan POGI tahun 2006 dan BNF 54, hasil yang diperoleh sebesar 49,19% tepat indikasi, 81,35 % tepat obat, 86,44% tepat dosis, 93,22%tepat pasien dan persentase kasus yang pengobatannya rasional adalah 40,67%.(Amri, 2015) Dari penelitian diatas diharapkan dapat diketahui gambaran penggunaan obat antihipertensi dan ketepatan penggunaan berdasarkan ketepatan indikasi, ketepatan pasien, ketepatan obat dan ketepatan dosis di RSUD Pandan Arang Boyolali tahun 2016.