6 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis di Asia Tenggara dan di Indonesia adalah ikan patin (Pangasius Sp) (Setijaningsih et al. 2006). Budidaya ikan patin, baik dalam ukuran benih maupun konsumsi didominasi oleh jenis patin siam (Pangasius hypopthalmus). Ikan patin siam banyak dipilih petani untuk dibudidayakan karena mempunyai kelangsungan hidup yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi perairan yang ekstrim seperti kandungan oksigen terlarut dan pH yang rendah (Hamid et al. 2009). Patin siam termasuk dalam famili pangasidae dan dikenal dengan nama lokal patin, jambal atau pangasius. Ikan patin merupakan ikan konsumsi, berbadan panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging ternak. Sedangkan sifat biologinya, ikan ini tergolong nocturnal yaitu melakukan aktivitas pada malam hari dan merupakan ikan pemakan segala (omnivora) dan sesekali muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen dari udara langsung. Salinitas dan Osmoregulasi Salinitas merupakan salah satu faktor yang ada dalam sifat kimia air dan keberadaannya di dalam air dapat menjadi faktor penghambat atau pemacu pertumbuhan ikan. Boyd (1982) mendefinisikan salinitas sebagai konsentrasi total dari semua ion yang terlarut dalam air. Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air, sebagai media internal maupun eksternal (Affandi dan Usman 2002). Sifat osmotik air bergantung pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut, tingkat kepekatan osmotik larutan akan semakin tinggi dengan semakin besar jumlah ion yang terlarut, hal ini menyebabkan semakin bertambah besar tekanan osmotik medium. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na+ dan Cl- (Tabel 1). 7 Tabel 1 Kandungan ion-ion yang dominan dalam air laut (%) Ion Persentase (%) Kation Na+ Mg+ Ca2+ K+ Sr2+ 30.40 3.70 1.16 1.10 0.04 Anion ClSO42CO3- dan HCO3 H3 BO3 Lain- lain 55.20 7.70 0.19 0.07 0.44 Sumber : McConnaughey dan Zottoli (1983) dalam Usman (1993) Nilai tingkat kerja osmotik diketahui dari selisih antara nilai osmolaritas media dengan nilai osmolaritas cairan tubuh. Semakin tinggi salinitas maka tekanan osmotik pada media juga akan semakin meningkat. Sebaliknya, jika semakin rendah salinitas media maka tekanan osmotik media akan semakin menurun. Menurut Baldisserotto (2007) Ikan yang dipelihara pada kondisi salinitas yang sama dengan konsentrasi ion dalam darah akan lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhan. Imsland at al. (2008) menambahkan, bahwa pada kondisi lingkungan yang iso-osmotik pertumbuhan dan konversi pakan dapat ditingkatkan. Setiap oganisme mempunyai daya tahan pada batas tertentu terhadap perubahan lingkungan. Jika keadaan lingkungannya ada pada tingkat di luar batas kisaran daya tahan, maka pertumbuhannya akan terhambat dan bahkan dapat menyebabkan kematian secara perlahan- lahan atau kematian mendadak (Black 1957). Channel catfish yang tumbuh dengan normal di air tawar, diketahui dapat menyesuaikan diri sampai batas salinitas 14 ppt dan dapat dipelihara di perairan payau (Black 1957). Menurut Hardjamulia et al. (1986) benih ikan jambal siam dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada kisaran 3ppt sampai 7ppt dan mati semua pada kadar garam 12.8 ppt dalam waktu 2 hari. Hasil penelitian tersebut 8 menunjukkan bahwa kadar garam dalam air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan jambal siam. Osmoregulasi merupakan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan sehingga proses-proses fisiologi berjalan normal. Tingkat kerja osmotik yang rendah akan mengurangi kerja enzim Na-K ATPase serta transfor aktif Na+, K+ dan CL-, sehingga energi (ATP) yang digunakan untuk osmoregulasi mengecil dan sebaliknya makin banyak porsi energi yang tersedia bagi pertumbuhan (Usman 1993). Hal tersebut juga diterangkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Muslim (2003) pada udang. Osmoregulasi pada ikan laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang serta kemasukan garam- garam. Oleh karena itu, ikan banyak “minum” air laut yang meliputi ion natrium, dan klorida yang diserap oleh usus dan dibuang melalui transfo r aktif, magnesium dan sulfat dibuang melalui ginjal sehingga menyebabkan peningkatan kandungan garam dalam tubuh ikan, namun kelebihan ini dikeluarkan kembali melalui permukaan tubuh yang semipermeabel secara difusi. Berbeda dengan ikan air tawar yang mempunyai tekanan osmotik darah yang lebih tinggi dari lingkungannya sehingga sejumlah garam yang ada dalam tubuh ikan akan hilang melalui permukaan jaringan insang dan kulit pada proses difusi, melalui feses dan juga urine. Untuk menjaga agar garam-garam tub uh yang hilang seminimum mungkin, maka dilakukan penyerapan kembali garam-garam dalam pembuluh proksimal ginjal. Kehilangan garam- garam ini akan digantikan oleh garam-garam yang terdapat dalam pakan dan penyerapan aktif ion- ion garam yang berasal dari lingkungan perairan melalui insang (Baldisserotto 2007). Menurut Black (1957), ikan air tawar yang dipindahkan ke media yang bersalinitas lebih tinggi akan kemasukan garam- garam dan sebaliknya, ikan air laut yang dipindahkan ke media yang bersalinitas lebih rendah akan kemasukan air secara terus- menerus pada kecepatan yang tidak normal dan mendapat keseimbangan kembali setelah 10-48 jam. Ikan air tawar yang diaklimatisasi ke media air bersalinitas tinggi dari tubuhnya dengan cara menambah garam secara bertahap, memperlihatkan perubahan konsentrasi garam tubuh secara berangsur- 9 angsur akibat kontrol permeabilitas oleh hormon dan system saraf otomatis terhadap lingkungan baru dan pengaruh langsung sel-sel permukaan tubuhnya. Karakter Kuantitatif 1. Kelangsungan Hidup Menurut Royce (1973) kematian yang terjadi pada suatu populasi organisme dapat menyebabkan turunnya jumlah populasi. Kelangsungan hidup diasumsikan dengan seberapa banyak jumlah kematian yang terjadi dalam masa pemeliharaan. Kelangsungan hidup dan metabolisme ikan akibat perubahan salinitas tergantung pada dua hal, yaitu kemampuan cairan tubuh untuk berfungsi sedikit mungkin dan dengan waktu yang singkat pada kisaran osmotik internal dan konsentrasi ion tidak normal yang tumbuh secara mendadak. Kedua, kemampuan cairan tubuh yang bekerja sedikit mungkin dan pengembalian tekanan osmotik kembali ke normal (Holliday 1969). Kelangsungan ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam bergantung pada jaringan insang, luas permukaan insang, laju konsumsi oksigen, daya tahan (toleransi) jaringan terhadap garam-garam dan kontrol permeabilitas (Black 1957). 2. Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran volume dan berat suatu organisme yang dapat dilihat dari perubahan ukuran panjang dan berat dalam satuan waktu (Effendi 1979). Effendi (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan terjadi bila ada kelebihan masukan energi dan asam amino dari pakan. Energi dari pakan tersebut akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh serta menggantikan sel-sel yang telah rusak dan kelebihannya untuk pertumbuhan. Menurut Huet (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktorfaktor yang berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti umur dan sifat genetik ikan yang meliputi keturunan, kamampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat ikan hidup yang meliputi sifat fisik dan kimia air, yaitu suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas dan lain sebagainya. 10 Beberapa penelitian mengenai pemeliharaan ikan air tawar pada media bersalinitas yang dilatar belakangi perlunya pemanfaatan lahan bekas tambak yang kosong dan tendensi adanya tendensi semakin sempitnya lahan di daratan akibat dikonversi keperuntukan lain dan semakin terbatasnya sumberdaya air (Setiawati dan Suprayudi 2003) telah dilakukan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menguji kemampuan adaptasi, kelangsungan hidup dan pertumbuhan dengan menggantikan ikan- ikan yang biasa dipelihara di tambak dengan ikan-ikan air tawar. Ikan patin misalnya, dapat bertahan hidup dan tumbuh dengan baik pada media bersalinitas dengan kisaran 3 ppt hingga 7 ppt. Setiawati dan Suprayudi (2003) menyatakan bahwa, ikan nila dapat tumbuh dengan baik pada media bersalinitas karena dapat memanfaatkan energi pakan lebih optimal. Karakter Kualitatif Komposisi Kimiawi Tubuh Menurut Ahmed (2007), komposisi tubuh ikan sering dijadikan sebagai indikator kualitas ikan. Beberapa faktor seperti pertumbuhan dan pakan diketahui dapat mempengaruhi komposisi tubuh ikan. Protein adalah makromolekul yang terbuat dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan dapat juga mengandung sulfur. Protein juga merupakan bahan organik utama pada jaringan ikan yang diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan dan pemeliharaan tubuh (Nur dan Arifin 2004). Ikan mengkonsumsi protein untuk menghasilkan asam amino. Asam amino digunakan secara terus menerus oleh beberapa jaringan untuk mensintesa protein baru (Goddard 1996). Secara umum, kebutuhan protein ikan berkurang dengan meningkatnya ukuran dan umur ikan. Benih channel catfish membutuhkan sekitar 30-35% protein, sedangkan ikan yang lebih dewasa membutuhkan 25-35% protein (Goddard 1996). Hal tersebut disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan protein untuk petumbuhan ikan antara lain, spesies, ukuran ikan, umur, temperatur air, kualitas protein yang ditentukan dari profil asam aminonya, tingkat dietari dari energi non-protein serta jumlah pakan harian (Nur dan Arifin 2004). Lemak merupakan sumber asam lemak essensial yang sangat penting. Ikan menggunakan lemak untuk energi, penyusun sel dan untuk 11 mempertahankan integritas biomembran (Watanabe 1988). Perbedaan kebutuhan lemak pada beberapa spesies ikan dan udang mencerminkan perbedaan tipe lemak yang ditemukan dalam rantai makanan spesies air tawar dan la ut. Asam lemakasam lemak tidak jenuh yang terikat pada fosfolipid dapat mempengaruhi aktivitas enzim (Na+ /K +) ATP-ase yang terdapat pada membran (Darwisito 2006). Lemak disimpan sebagai cadangan energi jangka panjang selama periode yang penuh aktivitas atau periode tanpa makanan dan energi (Setiawati dan Suprayudi 2003). Peningkatan ketersediaan nutrien penghasil energi selain protein, seperti lemak dapat menurunkan oksidasi protein dalam menghasilkan energi, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan (Feruichi 1988). Beberapa asam lemak bersifat hidrofobik atau tidak larut dalam air pada membran sel. Namun demikian, beberapa fosfolipid, spingolipid (lipid polar) mengandung gugus asam lemak polar (Darwisito 2006) yang dapat larut dalam air. Sifat fisik dari membran sel ini ditentukan oleh fosfolipid yang ada pada membran, komposisi asam lemak pada fosfolipid dan interaksinya dengan kolesterol dan protein. Komposisi asam lemak tidak hanya dipengaruhi oleh pakan, namun juga oleh faktor lingkungan, seperti temperatur dan salinitas. Kebutuhan ikan akan asam-asam lemak essensial berbeda untuk masing- masing spesies ikan, perbedaan ini berkaitan dengan habitatnya. Ikan air yang hidup di air laut dan perairan dingin membutuhkan asam lemak omega 3 yang lebih banyak, sedangkan ikan air tawar membutuhkan asam lemak omega 6 yang lebih banyak atau kombinasi omega 3 dan omega 6. Sebagai contoh ikan salmon yang bermigrasi dari lingkungan air tawar ke lingkungan air laut akan memiliki perbandingan n-3/n-6 lebih tinggi (Nur dan Arifin 2004). Menurut Hamre et al. (2005), asam lemak essensial dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan syaraf, daya tahan terhadap stres, pigmentasi, kebiasaan berkelompok dan timbulnya kelainan bentuk pada ikan laut, selain itu asam lemak dan lemak yang disimpan dalam otot juga dapat mempengaruhi warna (Shearer 1994 dalam Goddard 1996), tekstur dan rasa pada daging ikan (Goddard 1996). 12 Organoleptik Organoleptik merupakan pengujian terhadap bahan makanan berdasarkan kesukaan dan kemauan untuk mempergunakan suatu produk. Oganoleptik juga diartikan sebagai penggunaan panca indra perasa, peraba, penglihatan, pendengaran dan penciuman dalam menentukan sifat sesuatu (benda/zat). Menurut Rosdiana (2002), dalam uji organoleptik, indra yang berperan dalam pengujian adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Namun produk pangan, yang paling jarang digunakan adalah indra pendengaran. Uji/penilaian organoleptik yang dilaksanakan memerlukan panel. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penilaian mutu atau analisis sifat-sifat sensori dari suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrument atau alat. Panel terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Tujuh macam panel yang dikenal dalam penilaian organoleptik, yaitu panel perorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel konsumen dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik. Penilaian orgnoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonic atau uji kesukaan yang merupakan satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tangapan pribadinya tentang uji kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat kesukaan ini disebut orang sebagai skala hedonic, misalnya amat sangat suka, sangat suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat suka dan amat sangat tidak suka. Skala hedonic dapat direntangkan atau diperkecil menurut skala yang dikehendaki. Dalam analisisnya skala hedonic ditransfortasikan menjadi skala numeric dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala hedonic ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan (Rosdiana 2002). Warna Menurut Sukarni dan Kusno (1980) yang termasuk dalam faktor - faktor rupa diantaranya adalah sifat-sifat seperti warna, ukuran dan bentuk. Selanjutnya 13 Rosdiana (2002) berpendapat bahwa hal pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihatan. Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas, ukuran dan bentuk, volume kerapatan dan berat jenis, panjang lebar dan diameter serta bentuk bahan. Warna biasanya merupakan tanda kemasakan, atau kerusakan dari makanan, seperti makanan dari penyimpanan warnanya mungkin akan berubah, oleh karena itu untuk mendapatkan warna yang sesuai dan menarik harus digunakan teknik memasak tertentu atau dengan penyimpanan yang baik (Sukarni dan Kusno 1980). Tekstur Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut atau perabaan dengan jari, dan konsistensi merupakan tebal, tipis dan halus. Menurut Sukarni dan Kusno (1980) termasuk ke dalam faktor tekstur diantaranya adalah rabaan oleh tangan, keempukan, kekompakan dan mudah dikunyah. Selain itu termasuk juga kerenyahan makanan. Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari, gigi, langit- langit (tekak). Dari nilai yang diperoleh diharapkan dapat diketahui kualitas makanan. Rasa Rasa makanan merupakan faktor kedua yang mempengaruhi cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Rasa merupakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai indera pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar manis, asin, asam dan pahit (Rosdiana 2002). Sedangkan yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.