Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis

advertisement
Harris Hasan dkk.
Hubungan Mikroalbuminuria dengan Penyakit…
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis
Achsanuddin Hanafie
SMF-Anestesi dan Reanimasi
FK-USU/RSUP Hají Adam Malik, Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan
Abstrak: Anemia sering terdapat pada pasien kritis, dengan insiden antara 29% sampai 37%. Pasien
dengan penyakit jantung iskhemia mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita akibat
konsekwensi dari keadaan anemia. Penelitian secara random dengan jelas menunjukkan bahwa
strategi membatasi transfusi dapat menurunkan kebutuhan dalam pemberian transfusi sel darah
merah dan tidak mengakibatkan konsekwensi klinis yang berubah. Penelitian lebih lanjut diperlukan
bagi populasi dengan resiko tinggi (seperti pasien dengan sindroma koroner akut dan syok septik dini)
dan juga pada anak-anak.
Abstract: Anemia is very common among critically ill patients, ranking in incidence from 29% to
37%. Patients with ischemic heart disease may appear to be at increased risk for adverse
consequences from anemia. Randomized trials clearly indicate that restrictive transfusion strategies
decreased the need for red blood cell transfusion and do not result in adverse clinical consequences.
Further studies are required in high-risk populations (acute coronary syndromes and early septic
shock) as well as children.
PENDAHULUAN
Anemia adalah masalah yang sering terjadi
pada pasien kritis yang dirawat di ruangan
intensip (ICU). Pada penelitian “crosssectional”, 29% pasien dengan kadar Hb di
bawah nilai normal dan 37% pasien
membutuhkan transfusi sel darah merah.
Keputusan untuk pemberian transfusi sel darah
merah (RBC) dalam pengobatan karena anemia
dan perdarahan membutuhkan pengertian yang
jelas tentang resiko dan keuntungan. Walaupun
telah dikembangkan lebih jelas tentang resiko
infeksi dan immunomodulasi dari transfusi sel
darah merah selama dua dekade lalu, resiko
anemia dan keuntungan transfusi RBC masih
belum mempunyai kharakteristik yang jelas.
Dugaan bahwa resiko anemia adalah
berhubungan dengan buruknya kapasitas
transport oksigen dan penurunan volume
plasma. Konsekuensi keadaan klinis yang
memburuk akibat anemia bergantung kepada
kapasitas individu dalam mengkompensasi
perubahan keadaan diatas.Keuntungan tambahan
dari manfaat transfusi sel darah merah selain
memperbaiki resiko tersebut diatas adalah
meningkatkan oksigen transport diatas normal.
Kerangka acuan tertentu ada yang mengenai
konsep resiko dan manfaat. Dengan adanya
pengecualian pada pasien yang menolak
transfusi darah oleh karena alasan religius,
adalah tidak mungkin, di luar pengujian secara
acak, untuk menghilangkan secara jelas diantara
pertentangan resiko dan manfaat terhadap si
pasien.1
ANEMIA YANG TIDAK TERKOREKSI
Sejumlah besar penelitian laboratorium
menyatakan adanya hemodilusi ekstrem dapat
ditoleransi dengan baik pada hewan- hewan yang
sehat. Hewan- hewan dengan hemodilusi akut
mentoleransi penurunan kadar Hb hingga 50 – 30
g/L, dengan adanya perubahan elektrokardiografik
iskemik dan fungsi ventrikel yang tertekan, yang
mana terjadi masing- masing pada tingkat kadar Hb
ini. Memang, hemodilusi akut kurang tertoleransi
pada model hewan percobaan dengan stenosis
koroner,
dengan
perubahanperubahan
elektrokardiografik iskemik dan penekanan fungsi
jantung yang terjadi pada kadar Hb antara 70 dan
100 g/L. Pada manusia batas toleransi anemia
adalah tidak adekwat dan kadang-kadang
bertentangan. Leung dkk menemukan perubahan
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
243
Tinjauan Pustaka
pada
elektrokardiografik
yang
mungkin
menunjukkan miokardial iskemi pada 3 dari 55
sukarelawan yang didapati adanya hemodilusi
isovolemik akut dengan kadar Hb 50 g/L.2
Bila diteliti respon fisiologis manusia
terhadap anemia akut, data percoban di atas
sangat terbatas artinya dalam aplikasinya untuk
keadaan perioperatif, yang mana banyak faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi oksigen
termasuk perubahan-perubahan pada aktifitas
otot, suhu tubuh, frekuensi nadi, aktifitas
simpatetik, dan keadaan metabolik. Karena itu,
kita harus menentukan resiko penundaan
transfusi sel darah merah saat perioperatif. Dari
sebuah tinjauan sistematik yang lengkap oleh
Canadian Guidelines on Red cells, Herbert dkk
mengidentifikasi banyak laporan anemia berat
yang cukup tertoleransi pada pasien- pasien
bedah. Laporan- laporan tambahan atau banyak
kasus menggambarkan hasil yang sukses pada
pasien anemia kronis sebagai akibat dari gagal
ginjal. Akhirnya, penelitian deskriptif pada
pasien yang menolak transfusi sel darah merah
dan dari bagian- bagian yang mengalami
keterbatasan suplai darah telah menunjukkan
bahwa pasien- pasien bisa bertahan terhadap
intervensi bedah dengan kadar Hb serendah 45
g/L.3
Di dalam memeriksa beberapa penelitian ini
secara lebih detil, telah muncul hubungan antara
Hb pre- bedah, kehilangan darah pada saat operasi,
dan mortalitas post- operasi. Sebenarnya, tidak ada
kematian yang dilaporkan pada lebih dari 100
pasien yang sedang mengalami bedah mayor
elektif saat Hb pra- bedah > 80 g/L dan perkiraan
kehilangan darah < 500 ml. Pada suatu pusat
penelitian ada 542 kasus pasien- pasien Jehovah’s
yang menjalani prosedur bedah jantung, tingkat
kematian seluruhnya adalah 10,7% ; hanya 2,2%
kematian yang dianggap sebagai konsekuensi
anemia. Laporan terakhir, Viele dan Weiskopf
melaporkan 134 pasien Jehovah’s dengan Hb < 80
g/L atau Ht < 24% yang diobati untuk berbagai
kondisi medis dan bedah tanpa pemberian transfusi
darah ataupun komponen darah. Dilaporkan 50
kasus kematian, yang mana 23 kasus dihubungkan
dengan anemia (kematian dengan kadar Hb < 50
g/L). Bagi pasien yang meninggal karena anemia,
244
60% adalah yang berusia di atas 50 tahun. 27 kasus
yang selamat dengan Hb < 50 g/L, 65% adalah
yang berusia di bawah 50 tahun. Walaupun bias
publikasi harus diyakini, di dalam pemeriksaan
data- data ini, pasien muda yang sehat dapat
bertahan tanpa transfusi pada kadar Hb di kisaran
50 g/L. Dari data ini, jelas bahwa anemia yang
ekstrim sering ditoleransi pada saat perioperatif,
tapi juga menunjukkan meningkatnya resiko
kematian. Penelitian ini tidak boleh diartikan
sebagai untuk mendukung terhadap strategi
restriktif atau konservatif, terutama karena
kebanyakan literatur berhubungan dengan toleransi
anemia tidak menjelaskan karakteristik pasien
dengan kemungkinan hasil yang buruk terhadap
keadaan anemia yang sedang sampai berat.5
ANEMIA PADA KELOMPOK RISIKO
TINGGI
Sejumlah faktor resiko mengenai akibat
buruk yang berhubungan dengan anemia telah
diidentifikasi dalam penuntun praktis klinis dan
tinjauannya. Anemia diyakini sedikit ditoleransi
pada pasien yang lebih tua usianya, pada yang
berpenyakit parah, dan pada pasien dengan
kondisi klinis tertentu, seperti penyakit
pembuluh darah, penyakit serebrovaskular,
ataupun penyakit pernafasan. Begitupun, tidak
ada bukti klinis yang mengkonfirmasi bahwa
faktor- faktor diatas berhubungan dengan
meningkatnya resiko hasil yang buruk. Satu
laporan penelitian dari bedah jantung - vaskular
resiko tinggi menyatakan bahwa ada
peningkatan terjadinya resiko gangguan jantung
post-operatif akibat kejadian anemia. Pada dua
laporan penelitian perioperatif dan pasien yang
kritis, telah mencatat bahwa peningkatan derajat
anemia berkaitan dengan peningkatan yang tidak
sesuai dalam tingkat kematian pada sub grup
pasien dengan penyakit jantung. Pada tahun
1958, pasien Jehovah’s, pergeseran odds
kematian meningkat dari 2,3 (95% interval
konfiden, 1,4 - 4,0) sampai dengan 12,3 (95%
interval konfiden, 2,5 – 62,1) sebagaimana kadar
Hb preoperatif menurun dari (100 – 109 g/L) –
(60 - 69g/L) pada pasien dengan penyakit
jantung (gambar-1).4,5
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Achsanuddin Hanafie
Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...
Gambar 1. Odds rasio terkoreksi mengenai kematian oleh karena penyakit kardiovaskular dan Hb
preoperatif (Hgb)
Tidak ada peningkatan bermakna dalam
mortalitas pada pasien non kardiak dengan
perbandingan pada tingkat anemianya. Pada
penelitian yang terpisah mengenai penyakit yang
kritis, yang berpenyakit jantungdan Hb < 95 g/L
umumnya meningkatkan angka mortalitas (55%
banding 42% ; p= 0.09) sebagaimana
dibandingakn dengan pasien- pasien anemia
dengan diagnosa yang lain. Walaupun penelitian
cohort tersebut bersifat retrospektif dan tidak
mempunyai kontrol terhadap sejumlah temuan
yang baru, bukti menyatakan bahwa anemia
meningkatkan resiko kematian pada pasienpasien dengan penyakit jantung yang
bermakna.6
Beratnya penyakit juga merupakan
faktor resiko pada pasien yang sakit kritis. Dua
laporan penelitian retrospektif menunjukkan
bahwa
banyaknya
kehilangan
darah
berhubungan dengan mortalitas perioperatif.
Tetapi, tidak ada penelitian yang meneliti
kontribusi
independen
usia,
penyakit
serebrovaskular, dan penyakit paru di dalam
meningkatkan resiko kematian pada pasienpasien anemia. Hubungan ini mungkin cukup
kompleks,
terkait
usia
dan
penyakit
serebrovaskular merupakan faktor- faktor resiko
yang berkaitan dengan penyakit arteri koronaria.
Penyakit paru yang berhubungan dengan
merokok mungkin punya kemiripan dengan
penyakit jantung. Sehingga, hubungan antara
anemia dengan peningkatan hasil yang buruk ini
merupakan suatu spekulatif . 8
RISIKO DAN MANFAAT DARI TRANSFUSI
Empat penelitian besar yang secara khusus
dibuat untuk membandingkan akibat klinis pada
kadar Hb yang beragam pada pasien yang
ditransfusi dan pasien yang tidak ditransfusi yang
telah dilakukan di berbagai tempat klinis. Pada
awal dari semua ini, Hébert dan kawan- kawan
menggunakan desain retrospektif dan cohort
prospektif untuk meneliti 4470 pasien kritis yang
diopname di 6 ICU tingkat tertier di Canada
selama tahun 1993. Pada pasien dengan diagnosa
jantung (penyakit jantung iskemi, aritmia, henti
jantung atau prosedur bedah vascular dan jantung),
ada sebuah tren kenaikan mortalitas saat kadar Hb
< 95 g/L. Selanjutnya, analisa sub grup 202 pasien
dengan anemia, dengan nilai Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation (APACHE) II lebih
besar dari 20, dan diagnosa jantung menyatakan
bahwa transfusi 1 – 3 unit atau 4 – 6 unit sel darah
merah dikaitkan dengan tingkat kematian yang
lebih rendah secara bermakna dibandingkan
dengan pasien- pasien yang tidak mendapatkan
transfusi (55% [tanpa transfusi] dibanding 35% [1
– 3 unit] atau 32% [4 – 6 unit] ; p=0.01). Walaupun
desain analisa bertujuan untuk mencari hubungan
dari beratnya penyakit, jumlah transfusi dan derajat
anemia telah menghasilkan hubungan yang erat
antara diagnosa kardiovaskular dengan laporan
resiko kematian akibat anemia.7
Wu dkk secara retrospektif meneliti 78.974
pasien yang berusia di atas 65 tahun yang
dirawat dengan diagnosa miokard infark akut.
Penulis kemudian mengkategorikan pasien
menurut kadar Ht saat masuk. Walaupun
anemia, yang digambarkan dalam penelitian
dengan Ht di bawah 39%, yang terdapat pada
hampir pada setengah jumlah pasien, hanya
3680 pasien yang menerima transfusi sel darah
merah. Kadar rendahnya Ht dikaitkan dengan
meningkatnya tingkat kematian pada 30 hari,
dengan tingkat mortalitas mendekati 50%
diantara pasien dengan Ht 27% atau lebih
rendah yang tidak mendapat transfusi sel darah
merah. Sayangnya, penelitian ini tidak memiliki
data apapun pada Hb nadir dan hubungannya
dengan kematian. Menariknya , transfusi sel
darah merah dikaitkan dengan menurunnya
angka kematian 30 hari pada pasien yang
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
245
Tinjauan Pustaka
memperoleh sedikitnya satu unit transfusi darah
bila pada waktu masuknya keruangan dengan
kadar hematokrit 33%, sementara transfusi sel
darah merah berhubungan dengan meningkatnya
angka kematian 30 hari pada pasien yang pada
waktu masuk ke ruangan dengan kadar
hematokrit 36,1% atau lebih tinggi. Dalam
analisa, hubungan ini ada bahkan saat perubahan
dibuat pada faktor klinis si pasien, termasuk
nilai APACHE II, lokasi dari miokard infark,
dan adanya gagal jantung kongesti serta faktor
terapi, termasuk pemakaian reperfusi terapi,
aspirin, dan pengahambat beta adrenergik.9
Dalam penelitian yang hanya memfokuskan
pada periode perioperatif, Carson dan
serikatmengusahakan untuk mendeterminasikan
efek transfusi perioperatif pada 30 dan 90 hari
post operatif
mortalitas dengan penelitian
kohort retrospektif yang melibatkan 8787 pasien
dengan fraktur panggul yang sedang mengalami
perbaikan antara tahun 1983 – 1993 di 20 rumah
sakit yang berbeda di Amerika. Ini merupakan
suatu populasi yang besar, beresiko tinggi, lebih
tua (usia median 80,3 tahun) dengan penyakit
yang muncul berbarengan secara ekstensif dan
dengan keseluruhan tingkat kematian 30 hari
sebesar 4,6%. Keseluruhan 3699 pasien (42%)
menerima transfusi perioperatif dalam 7 hari
perbaikan pra bedah. Setelah mengendalikan
pemicu kadar Hb, penyakit kardiovaskular , dan
faktor resiko kematian lainnya, hasilnya
menyatakan bahwa pasien dengan kadar Hb 80
g/L dan tidak mendapat transfusi tidak akan
segera meninggal
dibanding dengan yang
mendapat transfusi (dengan Hb < 80 g/L, hampir
semua pasien mendapat transfusi , sehingga
penyidik tidak mampu mengambil kesimpulan
mengenai efek transfusi pada Hb yang lebih
rendah ini). Memang, seperti yang ditegaskan
penulis, selain sampel yang besar, kekuatan
yang tidak adekuat masih menjelaskan
ketidakmampuan untuk mendeteksi suatu
reduksi kematian yang berkaitan dengan
transfusi dan mereka menghitung bahwa
penelitian akan memerlukan 10 kali lebih besar
untuk mendeteksi 10% perbedaan dalam
mortalitas 30 hari dengan kekuatan 80%.
Yang lebih baru lagi, Vincent dan rekan
melengkapi penelitian “ cross- sectional” dengan
pengamatan prospektif yang melibatkan 3534
pasien di 146 ICU di Eropa Barat selama
periode 2 minggu pada November 1999. 37%
pasien mendapat transfusi sel darah merah
selama di ICU, dengan tingkat transfusi
keseluruhan meningkat hingga 41,6% dalam 28
hari. Bagi pasien yang mendapat transfusi, kadar
246
Hb rata- rata per transfusi 84 ± 13 g/L. Dalam
usaha mengontrol faktor- faktor yang
berbarengan ada yang diakibatkan penyakit yang
parah dan kebutuhan transfusi, penyidikpenyidik ini memakai suatu strategi pencocokan
pasien yang ditransfusi dan yang tidak
ditransfusi, berdasarakan propensitas untuk
menerima transfusi, yakni pembedaan 2 grup
yang balansnya bagus (516 pasien, masingmasing grup) untuk mendeterminasi pengaruh
transfusi sel darah merah terhadap mortalitas.
Pemakaian pendekatan ini, kaitan resiko
kematian yang mendapat transfusi walaupun
turun pada 33% pasien yang mendapat transfusi
daripada yang mana pasien tersebut tidak
mendapat transfusi. Tetapi, seperti yang
ditunjukkan, akibat mungkin telah dibedakan
bila nilai propensitas dibedakan secara terpisah
kategori kadar Hb per transfusi (contoh : < 80,
80 – 100, dan > 100g/L) selain Hb di ICU.
Contohnya : bila seseorang dipertimbangkan
grup pasien dengan Hb per transfusi < 60 g/L,
adalah tidak sama dengan yang 33% yang
meningkat dalam hal mortalitas yang akan terus
nyata
ataupun
tidak
akan
pernah
direkomendasikan untuk transfusi.
Sayang sekali, seperti yang dibuktikan oleh
tinjauan sistematik yang baru, terdapat pausitas
uji klinik yang membandingkan restriktif
tehadap penelitian transfusi liberal untuk
menyidik efikasi transfusi sel darah merah.
Carson dan rekan (gambar- 2) mampu
mengetahui hanya 10 uji klinis acak dari kualitas
metodologik adekuat yang berbeda dari pemicu
transfusi sela darah merah yang dinilai tersebut.
Termasuk 1780 pasien bedah, pasien trauma,
dan pasien ICU yang berperan dalam uji yang
diperkuat dalam 40 tahun terakhir. Pemicu
transfusi dinilai dalam beragam uji ini antara 70
dan 100 g/L. data mortalitas atau lama opname
tersedia hanya 6 dari uji- uji ini. Pemicu
transfusi konservatif (Hb rendah) tidak
berhubungan dengan kenaikan tingkat kematian,
pada rerata, tingkat kematian adalah 1/5 resiko
yang lebih rendah (resiko relatif, 0.80; 95% Cl,
0,63 – 1,02) dengan konservatif daripada dengan
pemicu transfusi liberal. Seperti, morbiditas
jantung dan lama tinggal (opname) di rumah
sakit tidak tanpak secara buruk dipengaruhi
tingkat lebih rendah dari transfusi sel darah
merah. Ada data yang tidak cukup, dalam hal
akibat klinis yang relevan secara potensial,
seperti
stroke,
tromboembolisme,
gagal
multiorgan, delirium, infeksi dan luka yang
tidak sembuh untuk dilakukan pooling analisa
manapun. Carson dan rekan menyatakan adanya
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Achsanuddin Hanafie
data yang pincang mengenai resiko penuh dan
manfaat yang dikaitkan dengan ambang
transfusi yang berbeda, khususnya pada pasien
yang ada penyakit sebelumnya. Mereka juga
mencatat bahwa analisa meta- nya didominasi
oleh uji tunggal: uji Kebutuhan Transfusi pada
Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...
Rawatan Kritis (TRICC) yang melibatkan 838
pasien dan hanya uji individual yang
diidentifikasi secara adekuat diperkuat untuk
menilai dampak strategi transfusi yang berbeda
strategi transfusi pada mortalitas dan morbiditas.
Gambar 2. Efek restriktif dari transfusi yang bisa memicu pemakaian transfusi darah alogenik (Carson,
et al, 2002, p. 187-199)
Penelitian TRICC mencatat keseluruhan
trend yang tidak bermakna terhadap penurunan
mortalitas 30 hari (18,7% banding 23,3%;
p=0,11) dan penurunan yang bermakna dalam
mortalitas diantara pasien- pasien yang
penyakitnya kurang akut (8,7% banding 16,1% ;
p=0,03) dalam kelompok yang diobati memakai
pemicu transfusi Hb 70 g/L dibandingkan
dengan kelompok transfusi yang lebih liberal
pada kelompok yang mendapat lebih banyak
transfusi sel darah merah sebanyak 54%.
Penyidik juga mencatat bahwa tingkat kematian
30 hari lebih rendah secara bermakna dengan
adanya strategi trnasfusi restriktif diantara
pasien- pasien yang kurang akut penyakitnya
(nilai APACHE II <20) dan diantara pasien yang
lebih muda usia (<55 tahun) (Gambar 3).
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
247
Tinjauan Pustaka
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup di ICU dalam 30 hari pada penelitian pasien pada kelompokkelompok strategi transfusi sel darah merah alogenik yang liberal maupun restriktif. (A)
kurva kelangsungan hidup Kaplan-Meier pada semua pasien di kedua grup. Ada sebuah
tren mortalitas yang lebih rendah pada pasien grup restriktif (garis bertitik) yang
dibandingkan dengan grup liberal (garis lurus) (p=0,10). (B) pada subgrup dengan nilai
APACHE II < 20, lebih sedikit pasien yang meninggal di restriktif grup dibandingkan dengan
liberal grup (p=0,02). (C) terdapat juga perbedaan yang bermakna pada ketahanan
diantara kedua grup pada subgrup dengan usia di bawah 55 tahun (p=0,02)
248
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Achsanuddin Hanafie
Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...
Gambar 4. Waktu yang tersisa pada ventilasi mekanik pada 283 pasien yang memerlukan ventilasi
mekanik lebih dari satu minggu. Waktu untuk berhasil berhenti dari ventilasi mekanik
diilustrasikan menggunakan kurva bertahan dari Kaplan-Meier pada pasien yang
memerlukan ventilasi mekanik lebih dari satu minggu. Keberhasilan berhenti diartikan
sebagai tersisanya ventilasi mekanik, sekali diekstubasi, selama 30 hari penelitian. Garis
bertitik diartikan sebagai restriktif grup dan garis padat sebagai liberal grup. Kurva
pertahanan tidak berbeda secara statistik ketika dibandingkan menggunakan tes log rank
(p=0,08)
Sejumlah
pertanyaan
tambahan
bermunculan dari uji TRICC. Penyidik tertarik
khususnya dalam resiko dan manfaat anemia
dan transfusi pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular dan pada pasien yang sedang
berusaha bertahan dengan ventilasi mekanis.
Pada analisa sub grup pertama ini, 357 pasien
(43%) diketahui ada penyakit kardiovaskular.
Dari antaranya, 160 pasien telah digrupkan pada
grup transfusi sel darah merah restriktif dan 197
pada transfusi liberal. Dua grup cukup serupa
keseimbangannya terhadap lini dasar ciri dan
terapi yang ada, berbarengan dengan sedikit
pengecualian : ada sedikit pemakaian diuretik
pada grup restriktif (43% banding 58% ;
p=<0,01)dan pemakaian anestesi epidural adalah
lebih besar pada grup restriktif (8% banding 2%
; p=<0,01). Keseluruhan, pada analisa sub grup
ini, tidak ada perbedaan yang bermakna pada
tingkat kematian antara 2 grup yang sedang
dalam pengobatan. Tetapi, ada penurunan yang
tidak signifikan (p=0,3) pada keseluruhan
tingkat kematian dalam grup restriktif bagi
pasien dengan penyakit jantung iskemik,
penyakit vaskular perifer yang buruk, atau
penyakit penyerta jantung yang berat.11,12
Analisa sub grup pasien yang sedang
mendapat ventilasi mekanis adalah terbatas
hingga 713 (85% dari 838 pasien pada uji
TRICC yang membutuhkan ventilator mekanik
yang invasif). Dari antaranya, 357 telah
dimasukkan dalam grup transfusi restriktif dan
358 lagi dalm grup liberal. Lama rata- rata
ventilasi mekanis adalah 8,3 ± 8,1 hari pada
grup restriktif dan 8,8 ± 8,7 hari pada grup
liberal (p=0,48). Hari bebas ventilator adalah
17,5 ± 10,9 dan 16,1 ± 11,4 pada grup resrtiktif
dan grup liberal (p=0,09). Delapan puluh dua
persen pasien grup transfusi restriktif
dipertimbangkan
berhasil
bertahan
dan
diekstubasi paling tidak 24 jam dibandingkan
pada 78% pasien grup liberal (p=0,19). Diantara
219 pasien yang memerlukan ventilator mekanis
di atas 7 hari, tidak ada perbedaan masa untuk
berhasil bertahan (Gambar 4).
Efek independen transfusi sel darah merah
dan kadar Hb juga disidik. Tiap transfusi
tambahan dikaitkan dengan kenaikan lama
ventilasi mekanis (RR= 1,10 ; 95% Cl, 1,14 –
1,06 ; p<0,01) setelah penyetelan terhadap efek
umur, nilai APACHE II, dan penyakit penyerta.
Kadar Hb tidak mempengaruhi lam ventilasi
mekanis (RR= 0,99 ; 95% Cl ; 1,01 – 0,98 ;
p=0,45). Penyulit, termasuk penyalit paru dan
sindrom pernapasan akut adalah meningkatkan
pada pasien grup liberal.
Bahkan sejumlah uji terkendali acak telah
diselesaikan, sejumlah pertanyaan masih belum
terjawab. Salah satu pertanyaan paling penting
adalah mengapa strategi transfusi liberal sel
darah merah gagal menaikkan tingkat kematian
30 hari dan tingkat kegagalan organ pada pasien
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
249
Tinjauan Pustaka
kritis. Diyakini bahwa jumlah yang besar dari
sel darah merah allogenik grup liberal menekan
secara bermakna respon imun inang atau
diakibatkan perubahan aliran mikro- sirkulasi
sebagai sebuah konsekuensi masa penyimpanan
yang diperpanjang.
Di bawah keadaan publikasi uji TRICC,
sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Rivers
dan rekan mencatat bahwa pemakaian tujuan
langsung dini berbasis rawatan pada saturasi
vena sentral campuran menurunkan mortalitas
dari 46,5 % dalam grup kendali menjadi 30,5%
pada grup terapi tujuan langsung (p= 0,009).
Sebagaimana salah satu dari banyak intervensi
pada pasien syok septik dini, kadar Ht
meningkat >30% bila saturasi vena sentral turun
<70%. Sebagai konsekuensi dari terapi tujuan
langsung, 64% pasien dibanding dengan 18,5%
grup kontrol yang mendapat transfusi sel darah
merah (p<0,0001). Perbedaan bermakna pada
populasi pasien diteliti oleh Rivers dan rekan
serta uji TRICC yang mungkin dengan jelasnya
memfokuskan pada akibat yang bertentangan
antara penelitian- penelitian ini. Penemuan baru
penelitian terapi bertujuan langsung dini
menekankan kepentingan pada kebutuhan
melakukan penelitian- penelitian tambahan pada
sub populasi pasien yang kritis.13
ALTERNATIF BAGI TRANSFUSI
Banyak strategi telah diteliti dan
direkomendasikan untuk menurunkan atau
menghilangkan perlunya transfusi darah selama
bedah mayor dan penyakit berat. Beberapa
strategi relatif ringan menentangnya, tapi yang
lain menentang secara berat dengan resiko
tersendiri akibat menentang pemberian transfusi
tersebut. Alternatif- alternatif mencakup :
pengurangan
pemakaian
medikasi
yang
berakibat perdarahan peri operatif (seperti : obat
anti inflamasi non steroid dan asam
asetilsalisilat), menghindari phlebotomi yang
tidak perlu dan pemakaian strategi konservasi
darah (seperti : pediatric test tubes dan set infus
kateter arteri), pemberian obat untuk
mengurangi perdarahan yang hilang (seperti :
agen- agen anti fibrinolitik), dan pemberian
obat-obatan untuk menaikkan produksi Hb.
Sebagai tambahan, dari strategi yang membatasi
transfusi, ada 2 pendekatan yang paling berguna
dalam mengurangi transfusi sel darah merah
pada pasien yang berat penyakitnya adalah
teknik konservasi darah, seperti mengurangi
phlebotomi dan terapi eritropoetin. Strategi
terapetik lainnya adalah lebih ditujukan pada
250
pasien yang sedang menjalani prosedur bedah
beresiko tinggi.
Menurunnya produksi sel darah merah
adalah salah satu penyebab anemia pada
penyakit berat. Pastinya, pada pasien kritis
terjadi penurunan produksi dan respon dari
eritropoeitin.. Hal ini akibat dari inhibisi gene
eritropoetin oleh mediator- mediator inflamasi;
juga terdapat cytokine inflamasi secara langsung
menghambat produksi sel darah merah di
sumsum tulang dan menghasilkan kelainan pada
metabolisme besi. Pada pasien yang gagal
multiorgan, pemberian terapi eritropoetin
manusia rekombinan (600 IU/kg) dapat
menstimulasi proses eritropoeisis. Pada suatu
penelitian (160 pasien), terapi dengan
eritropoetin manusia rekombinan memberikan
hasil penurunan hampir 50% penurunan
transfusi sel darah merah yang dibandingkan
dengan pasien- pasien yang diterapi dengan
plasebo. Eritropoetin diberikan dengan dosis
300 IU/kg/hari selama 5 hari diikuti dengan
dosis selang sehari sampai pasien keuar dari
ICU. Selain berkurangnya transfusi sel darah
merah, pasien kelompok yang mendapat terapi
eritropoetin manusia rekombinan mempunyai
kenaikan Ht yang lebih besar secara bermakna.14
Akhir-akhir
ini,
efikasi
pemberian
eritropoetin manusia rekombinan pada pasien
kritis diteliti pada 1302 pasien. Dalam penelitian
ini, eritropoetin manusia rekombinan diberi per
minggu dengan dosis 40.000 unit. Semua pasien
yang mendapat dosis 3 minggu, dan pasien yang
masih dirawat di ICU pada penelitian hari ke- 21
mendapatkan dosis ke- 4. Pengobatan dengan
eritropoetin manusia rekombinan mengalami
keberhasilan sebesar 10% menurunkan jumlah
pasien yang menerima transfusi sel darah merah.
Penulis
melaporkan
sebesar
60,4%
membutuhkan transfusi pada plasebo di banding
50% pada kelompok yang mendapat eritropoetin
manusia rekombinan (OR, 0,67 ; 95% Cl ; 0,540,83 ; p<0,0004) dan 20% penurunan dalam
jumlah total unit sel darah merah yang
ditransfusikan ke pasien yang sedang
mendapatkan eritropoetin manusia rekombinan
(p<0,001).15
Semua hasil klinis termasuk tingkat
kematian, tingkat gagal organ, dan lama rawatan
di ICU dan rumah sakit, dapat diperbandingkan
antara kelompok- kelompok (semua p bernilai
>0,05). Dalam hal ini, penelitian- penelitian ini
menggambarkan terapi eritropoetin manusia
rekombinan pada pasien yang berat penyakitnya
dapat menurunkan transfusi sel darah merah dan
peningkatan kadar Hb. Hal ini sesuai dengan
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Achsanuddin Hanafie
hipotese bahwa anemia pada pasien dengan
penyakit kritis adalah mirip dengan pasien yang
menderita penyakit kronis dengan kharakteristik
terdapat defisiensi relatif eritropoeitin. Karena
eritropoetin mahal dan tidak adanya keuntungan
klinis yang diperoleh dari penelitian tersebut,
maka belum ada rekomendasi strategi ini dalam
praktek sehari-hari praktek. 16,17
KESIMPULAN
Di samping seringnya pemberian transfusi sel
darah merah, hanya ada satu penelitian yang
meneliti pemberian sel darah merah pada
perioperatif dan pasien kritis. Begitupun penelitian
TRICC tidak cukup memberikan bukti untuk
menentukan protokol pemberian transfusi secara
optimal pada postoperatif, pada anak- anak yang
sakit kritis, pada situasi keadaan septik syok,
ataupun pada pasien dengan miokard infark atau
sindroma koronarius akut. Sebagai tambahan,
kebanyakan
penuntun
praktis
transfusi
dipublikasikan sebelum penelitian dari TRICC, dan
membutuhkan pendapat ahli dengan bukti yang
klinis yang berbeda. Pada beberapa tahun
mendatang, beberapa penelitian akan memberikan
bukti tambahan dalam hal mendukung keputusan
pemberian transfusi. Contohnya, dua penelitian
transfusi akan menilai pemicu diberikannya
transfusi, satu kasus pada bayi yang prematur dan
yang lain pada anak- anak yang sakit berat. Dalam
hal kegentingan ini, bukti klinis yang berkualitas
tinggi belumlah ada untuk berbagai keputusan yang
berkaitan dengan transfusi sel darah merah dan
alternatif- alternatif, seperti : eritropoetin manusia
rekombinan. Diharapkan resiko dan keuntungan
transfusi sel darah merah dan alternatif terapi akan
di publikasikan pada tahun- tahun mendatang.
REKOMENDASI
1. Ambil suatu batasan transfusi sebesar 70 g/L
pada pasien kritis yang dilakukan resusitasi
cairan, termasuk pasien dengan riwayat
penyakit arteri koronaria.
2. Tujuannya adalah untuk mempertahankan
kadar Hemoglobin pasien antara 70 dan 90
g/L.
3. Berikan transfusi satu unit saja dan
evaluaisi bila anemia ataupun perdarahan
masih tetap terdapat.
4. Pengecualian terhadap rekomendasi diatas
adalah kasus- kasus pasien dengan
sindroma koroner akut (miokard akut dan
angina tidak stabil) dan pasien- pasien
dengan renjatan septik dini.
5. Belum diperoleh bukti yang cukup untuk
merekomendasikan
pemakaian
rutin
Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...
eritropoetin pada pasien dengan penyakit
kritis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Vincent Jl, Baron J-F, Reinhart K, et al:
Anemia and blood transfusion in critically
ill patients. JAMA 2002;288:1499-1507.
2.
Carson JL, Spence RK, Poses RM,
Bonavita G: Severity of anemia and
operative mortality and morbidity. Lancet
1988;1:727-729.
3.
Spence RK, Carson JA, Poses R, et al:
Elective Surgery without transfusion:
influence of preoperative hemoglobin level
and blood loss on mortality. Am J Surg
1990;159:320-324.
4.
Nelson AH, Fleisher LA, Rosenbaum SH:
Relationship between post-operative anemia
and cardiac morbidity in high risk vascular
patients in the intensive care unit. Crit Care
Med 1993;21:860-866.
5.
Viele MK, Weiskopf RB: What can we
learn about the need for transfusion from
patients who refuse blood? The experience
with Jehovah’s Witnesses. Transfusion
1994;34:396-401.
6.
Audet AM, Goodnough LT: Practice
strategies for elective red blood cell
transfusion. An Intern Med 1992;116;403406.
7.
American Society of Anesthesiologists Task
Force on Blood Component Therapy;
Practice Guidelines for Blood Component
Therapy. Anesthesiology 1996;84:732-747.
8.
Hebert PC, Wells G, Tweeddale M, et al:
Does transfusion affect mortality in
critically ill patient? Am J Respir Crit Care
Med 1997;155:1618-1623.
9.
Wu WC, Rathore SS, Wang Y, et al: Blood
transfusion in elderly patients with acute
myocardial infarction. N Engl J Med
2001;345:1230-1236.
10. Hebert PC, Fergusson DA: Red blood cell
transfusion in critically ill patients. JAMA
2002;288:1525-1526.
11. Hebert PC, Wells G, Blajhman MA, et al: A
multicenter, randomized, controlled clinical
trial of transfusion requirements in critically
care. N Engl J Med 1999;340:409-417.
12. Hebert PC, Yetisir E, Martin C, et al: Is a
low transfusion threshold save in critically
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
251
Tinjauan Pustaka
ill patients with cardiovascular disease?.
Crit Care Med 2001;29:227-234.
13. Rivers E, Nguyen B, Hevstad MA, et al:
Early goal-directed therapy in the treatment
of severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med 2001;345:1366-1377.
14. Corwin HL, Gettinger A, Rodriguez RM, et
al: Efficacy of recombinant human
erythropoietin in the critically ill patient: A
randomized,
double-blind,
placebocontrolled
trial.
Crit
Care
Med
1999;27:2346-2350.
252
15. Corwin HL, Gettinger A, Pearl RG, et al:
Efficacy
of
recombinant
human
erythropoietin in critically ill patient: A
randomized controlled trial. JAMA
2002;288:2827-2835.
16. Corwin HL, Krantz SB: Anemia of the
critically ill: “Acute” anemia of chronic
disease. Crit Care Med 2000;28:3098-3099.
17. Silver MJ, Bazzan A, Corwin HL, et al: A
randomized,
double-blind,
placebocontrolled trial of recombinant human
erythropoietin in long term acute care
patients. Crit Care Med 2003;31:A167.
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Download