TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Perilaku merupakan suatu tindakan nyata (action) yang dapat dilihat atau diamati (Rogers dan Shoemaker, 1971: 28). Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai pada penentuan sikap untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan pancaindera. Perilaku juga menunjukkan pada tindakan atau respon dari sesuatu atau sistem tertentu dalam hubungannya dengan lingkungan atau situasi (Gould dan Kolb, 1964: 78). Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Karena itu, sikap seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek (Azwar,2003: 89). Pengertian kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh seseorang (Azwar,2003: 92). Lebih lanjut, Machfoedz dkk.(2005: 102) mengatakan, bila dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni perilaku yang tidak tampak atau terselubung (covert behavior) dan perilaku yang tampak (overt behavior). Perilaku yang tidak tampak ialah berpikir, tanggapan, sikap, persepsi, emosi, pengetahuan, dan lain-lain. Perilaku yang tampak anatara lain berjalan, berbicara, berpakaian, dan sebagainya. Lebih lanjut, Engel dalam Mangkunegara (2005: 44) mengemukakan definisinya tentang perilaku konsumen, yakni sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut. Loudon dan Bitta dalam Mangkunegara (2005: 79) 8 mendifinisikan perilaku kosumen sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan jasa. Menurut Mangkunegara (2005: 66) ada tiga variabel dalam mempelajari perilaku konsumen, yaitu variabel stimulus, variabel respon, dan variabel antara. Variabel stimulus merupakan variabel yang berada di luar diri individu (faktor eksternal) yang sangat berpengaruh dalam proses pembelian. Variabel respon merupakan hasil aktivitas individu sebagai reaksi dari variabel stimulus. Variabel intervening merupakan faktor internal individu, yaitu variabel antara stimulus dan respon. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku Menurut para ahli perilaku, individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Suparta (2001: 62) menyatakan bahwa dalam pendekatan interaksionis perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kondisi situasional luar mempengaruhi sikap ‘dalam’ dan selanjutnya sikap ini dapat mempengaruhi perilaku terbuka. Perilaku dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor yang terdapat di dalam diri sendiri (karakter individu) dan faktor luar (faktor eksternal). Azwar (2003: 102) mengemukakan, banyak faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku. Bahkan, kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal ini menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks (Azwar,2003: 105). Icek Ajzen dan Martin Fishbein (Azwar, 2003: 107) mengemukakan teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) dengan mencoba melihat antesenden penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri). Teori ini didasarkan 9 pada asumsi-asumsi (a) manusia pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal, (b) manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan (c) secara eksplisit dan implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka. Kotler (1980: 94) mengemukakan bahwa karakteristik individu dapat diklasifikasikan ke dalam karakteristik demografik dan psikografik. Karakteristik demografik mencakup umur, jenis kelamin, ukuran keluarga, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras, kebangsaan, dan tingkat sosial. Karakteristik psikografik meliputi gaya dan kepribadian. Lionberger (1960: 78) menyatakan bahwa karakteristik individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan adalah umur, tingkat pendidikan, dan karakter psikologis. Termasuk dalam karakteristik psikologis adalah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap usaha tani, dan kecenderungan atau kemudahan mencari informasi. Ada dua kekuatan dari faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu kekuatan sosial budaya dan kekuatan psikologis. Kekuatan sosial budaya terdiri atas faktor budaya, tingkat sosial, kelompok anutan (small reference groups), dan keluarga. Kekuatan psikologis terdiri atas pengalaman belajar, kepribadian, sikap dan keyakinan, gambaran diri (selfconcept) (Mangkunegara, 2005: 112). Lebih lanjut, Mangkunegara (2005:113) mengemukakan kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku konsumen. Menurutnya, kita tidak mungkin memahami perilaku konsumen tanpa mengerti kebutuhannya. Berdasarkan teori Gestalt, faktor lingkungan merupakan kekuatan yang sangat berpengaruh pada perilaku konsumen. Lingkungan budaya dibentuk oleh tingkat kelas sosial dan kelompok anutan (Mangkunegara,2005: 114). Dalam hubungannya dengan perilaku konsumen, sikap dan keyakinan sangat berpengaruh dalam menentukan suatu produk, merek, dan pelayanan. Sikap dan keyakinan konsumen terhadap suatu produk atau merek dapat diubah melalui komunikasi persuasif dan pemberian informasi yang efektif kepada konsumen (Mangkunegara, 2005). Notoatmodjo (2005: 133) menyatakan bahwa perilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama, yaitu stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang 10 (faktor eksternal) dan respons merupakan factor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus ialah lingkungan, baik lingkungan fisik maupun nonfisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, faktor eksternal yang paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia yang meliputi faktor sosial budaya. Adapun faktor internal yang menentukan perilaku ialah perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya. Barker dalam Sarwono (2001: 67) mengemukakan teori Behaviour Setting, manusia berperilaku sesuai dengan setting (tatanan) lingkungan. Di tempat yang sama, perilaku dapat berbeda jika tatanan tempat itu berbeda. Dalam penelitian ini, faktor internal yang diduga berhubungan dengan perilaku pembaca Senior dalam memperoleh informasi mengenai gaya hidup sehat meliputi umur, pekerjaan, pendidikan, jumlah keluarga, dan kekosmopolitan. Berikut ini diberikan definisi kamus tentang beberapa istilah yang dipakai : 1. Umur. Poerwadarminta (1984: 222) menyebut istilah umur sebagai lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). 2. Pendidikan adalah proses pengembangan diri dan kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (Nasution, 1987:121). 3. Pekerjaan. Poerwadarminta (1984: 132) mengemukakan istilah ini sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. 4. Keluarga. Muhammad (2005: 104) menyebut istilah ini sebagai kesatuan antara suami sebagai ayah, istri sebagai ibu, dan anak sebagai keturunan mereka. Mangkunegara (2005: 96) mendefinisikan keluarga sebagai unit masyarakat yang terkecil. 5. Pengalaman ialah kejadian atau peristiwa yang pernah dilalui seseorang selama hidup (Poerwadarminta, 1987: 128). 6. Kosmopolitan adalah kesediaan seseorang untuk berusaha mencari ide-ide baru di luar lingkungannya atau tingkat keterbukaan seseorang dalam menerima pengaruh dari luar (Rogers dan Shoemaker, 1971:128). 11 Adapun faktor eksternal yang diduga berhubungan dengan perilaku pembaca Senior dalam memperoleh informasi mengenai gaya hidup sehat meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Lingkungan fisik yaitu kemasan tabloid Senior yang meliputi topik, bahasa, rubrikasi, dan desain. Lingkungan sosial budaya terdiri atas nilai, proses sosialisasi, dan image kelompok. Definisi beberapa istilah faktor ekternal dapat dilihat di bawah ini : 1. Topik. Depdikbud (2003: 133) menyebut topik sebagai ide pokok. 2. Bahasa. Depdikbud (2003: 94) menyebut bahasa sebagai lambang bunyi yang memiliki arti. 3. Rubrikasi. Purwanto (1998: 66) menyebut rubrikasi sebagai pengaturan kepala karangan (ruangan) berdasarkan aspek atau tema tertentu. 4. Lingkungan sosial budaya. Muhammad (2005: 69) mendefinisikan lingkungan sosial budaya sebagai sejumlah manusia yang hidup berkelompok dan saling berinteraksi secara teratur guna memnuhi kepentingan bersama 5. Konsep diri (selfconcept) ialah cara kita melihat diri sendiri dan dalam waktu tertentu sebagai gambaran tentang apa yang kita pikirkan (Machfoedz,2005: 78). 6. Pengaruh kelompok (image kelompok) ialah cara pandang individu akibat pengaruh kelompoknya (Machfoedz,2005: 54). 7. Nilai. Menurut Perry (Muhammad,2005:28), nilai ialah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Sejalan dengan itu, Pepper (Muhammad,2005: 59) menyebut nilai sebagai segala sesuatu tentang yang baik dan yang buruk. 8. Proses sosialisasi ialah pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal (usia kanak-kanak) hingga saat sekarang (Mangkunegara, 2005: 44). Kesehatan Irianto dan Waluyo (2004: 55) mendefinisikan sehat adalah suatu keadaan yang utuh dinamis dalam siklus kehidupan. Manusia dapat berfungsi dan menyesuaikan diri secara terus-menerus terhadap setiap perubahan yang timbul demi memenuhi 12 kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari. Machfoedz dkk (2005: 87) dengan mengutip UU No. 23 Tahun 1992 menyebut definisi kesehatan, yakni keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan adalah upaya dari, oleh, dan untuk masyarakat yang diwujudkan sebagai gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Berdasar batasan WHO (Machfoedz, 2005: 101), tujuan pendidikan kesehatan ialah untuk mengubah perilaku orang atau masyarakat dari perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat. Lebih lanjut, Yustina (2003: 222) mengemukakan, kesehatan pada hakekatnya merupakan masalah multikausal sehingga pendekatannya pun harus dilakukan dengan multidimensi. Untuk kasus-kasus yang membutuhkan penyembuhan fisik, pengobatan secara kuratif bisa jadi dapat menjadi pendekatan yang efektif dalam peningkatan kesehatan manusia. Namun umumnya, pendekatan tersebut tidak berdiri sendiri. Orang yang sembuh secara fisik biasanya masih membutuhkan pendekatan lain untuk menghindari terjadinya kejadian yang sama atau penyakit lainnya, diperlukan pula pendekatan yang bersifat preventif. UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan memberi definisi kesehatan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Berdasarkan definisi tersebut, tidak saja tubuh dan jiwa yang menjadi ukuran sehat bagi seseorang, tetapi juga kehidupan sosialnya. Perilaku Kesehatan Perilaku sehat adalah perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan (Machfoedz, 2005: 155). Orang akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan dasar yang disebut Maslow ( Machfoedz 2005:153)) terdiri atas kebutuhan pokok (makan, minum), rasa aman, cinta kasih, dihargai dan dihormati, dan penampilan diri. Kebutuhan lain bersifat sekunder. Namun, dikatakan Azwar (Machfoedz,2005:94) terciptanya keadaan sehat sebenarnya juga termasuk kebutuhan dasar manusia. Hal ini yang perlu dididikkan kepada masyarakat melalui system pendidikan kesehatan. 13 Notoatmodjo (2005:59) mengemukakan, perilaku kesehatan (healthy behavior) ialah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan). Dengan perkataan lain, perilaku kesehatan ialah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Azwar (Machfoedz, 1983: 138) membagi perilaku kesehatan sebagai tujuan pendidikan kesehatan menjadi tiga macam, (1) perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di masayarakat, (2) secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya sendiri maupun menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok, dan (3) mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang ada secara tepat. Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan sosial budaya ialah sejumlah manusia yang hidup berkelompok dan saling berinteraksi secara teratur guna memnuhi kepentingan bersama (Muhammad, 2005:107). Sistem nilai budaya yang dikembangkan Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1982) berorientasi pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu hidup manusia, karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Muhammad (2005:110) membagi kelompok sosial budaya menjadi empat tipe, yaitu tipe kelompok sosial budaya berdasarkan (1) kesatuan geografis, (2) ikatan perkawinan dan hubungan darah, (3) kepentingan bersama, dan (4) keahlian profesional. Tipe kelompok sosial budaya modern berdasarkan kepentingan bersama dan keahlian profesional yang berhimpun dalam organisasi kemasyarakatan yang dibentuk dengan Anggaran Dasar, diketahui dan diakui masyarakat luas atau pemerintah. 14 Aspek Sosial Budaya yang Berhubungan dengan Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2005:72) aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan dan perilaku kesehatan meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sosial ekonomi. Menurut Elling (Notoatmodjo, 2005:75) faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan antara lain self concept dan image kelompok. Foster (Notoatmodjo, 2005:110) mengatakan, aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain tradisi, sikap fatalisme, nilai, ethnocentrism, dan unsur budaya. Pendidikan Kesehatan Masyarakat Kesehatan menjadi salah satu indikator untuk menentukan Human Development Index (HDI), yang dinyatakan dalam tingkat harapan hidup. Dalam konteks HDI, sebagaimana yang dilaporkan United Nations Development Programme (UNDP), HDI Indonesia masih menempati posisi 102 dari 162 negara di dunia. Untuk mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia, Indonesia harus melakukan berbagai upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya, termasuk bidang kesehatan Yustina (2003: 274). Pada tahun 1950 dalam Undang-Undang Pokok Kesehatan No.9, pendidikan kesehatan tercantum pada pasal 3 ayat 2. Pemerintah mulai mencanangkan pentingnya menggerakkan masyarakat dan memberikan perlindungan kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Di Depatemen kesehatan, badan khusus yang mengelola kesehatan awalnya adalah Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat yang bernaung di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Machfoedz,2005: 122). Memasuki abad ke-21 telah dicanangkan Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan yang dilandasi paradigma baru di bidang kesehatan yang disebut paradigma sehat. Cita-citanya mewujudkan paradigma sehat menuju Indonesia sehat 2010. Untuk itu, pelaksanaan dari pendidikan kesehatan kini di bawah koordinasi Direktorat Promosi 15 Kesehatan yang bernaung di bawah Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat (Machfoedz, 2005: 125). Di Indonesia, masalah- masalah kesehatan masyarakat yang masih memerlukan penanganan yang serius tercatat cukup banyak, antara lain meliputi kematian ibu melahirkan, kematian bayi, anak balita yang kurang gizi, ibu hamil yang anemia, demam berdarah, dan masalah-masalah lain yang umumnya menyangkut perilaku manusianya, seperti kebiasaan merokok, kebiasaan hidup bersih dan sehat, dan sebagainya. Mengingat pentingnya masalah kesehatan yang merupakan investasi pembangunan ini, maka dalam paradigma sehat nasional yang memiliki visi “Indonesia Sehat 2010”, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat menjadi salah satu proiritas utama dalam kehidupan manusia, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Setiap bidang pembangunan harus berwawasan sehat, setidaknya berkontribusi untuk mengembangkan lingkungan dan perilaku hidup sehat (Yustina, 2003:175) Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan bias melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan Azwar (Machfoedz,2005: 201). Penyuluhan untuk pendidikan secara umum adalah untuk mengubah perilaku yang kurang sehat menjadi sehat. Perilaku kurang sehat tersebut bukan suatu penyakit, tetapi suatu perilaku yang terjadi karena kebiasaan atau adat atau karena masalah budaya yang lain. Slamet (2000:20) mengatakan bahwa ilmu penyuluhan pembangunan adalah ilmu yang mempelajari perubahan perilaku manusia dalam pembangunan melalui aktivitas pembelajaran, pengalaman belajar (partisipasi) dalam pembangunan. Lebih lanjut, dikatakan bahwa ilmu penyuluhan pembangunan bukanlah ilmu murni, melainkan ilmu terapan yang dibangun dari perangkuman konsep-konsep ilmiah dari beberapa disiplin ilmu yang relevan, yaitu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial, dan manajemen. 16 Rahayu (2003:257) mengatakan bahwa berbagai aspek pembangunan yang berorientasi pada perubahan tindakan atau perilaku manusia dalam pembangunan sudah selayaknya menjadi bidang kajian ilmu penyuluhan pembangunan. Yustina (2003:274) menyebutkan bahwa penyuluhan yang merupakan pendidikan nonformal, mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang tersebut menjadi lebih baik. Dikaitkan dengan empat upaya kesehatan masyarakat, yakni preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif, penyuluhan dibutuhkan pada kesemua upaya tersebut (Yustina, 2003:274). Sejalan dengan itu, Mardikanto (1993) menilai bahwa kegiatan penyuluhan seharusnya ditempatkan sebagai faktor kunci keberhasilan pembangunan, yaitu melaksanakan fungsi-fungsi (Lionberger,1982:134): distribusi, informasi, pemecahan masalah, serta fasilitator untuk pengambilan keputusan. Media Promosi Kesehatan Media promosi kesehatan ialah semua sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator baik melalui media cetak, eketronika (TV, radio, computer, dan sebagainya) maupun media luar ruang sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya kearah positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo,2005:200). Promosi kesehatan tidak dapat lepas dari media karena melalui media, pesan-pesan yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami sehingga sasaran dapat mempelajari pesan tersebut sehingga sampai memutuskan untuk mengadopsinya, yakni perilaku yang positif (Notoatmodjo,2005: 2002). Notoatmodjo (2005: 2005) menyebutkan tujuan media promosi kesehatan yaitu (1) media dapat mempermudah penyampaian informasi, (2) media dapat menghindari kesalahan persepsi, (3) dapat memperjelas informasi, (4) media dapat mempemudah 17 pengertian, (5) mengurangi komunikasi yang verbalistik, (6) dapat menampilkan objek yang tidak bisa ditangkap dengan mata, dan (7) memperlancar komunikasi. Metode Pendidikan di Media Cetak Notoatmodjo (2005: 220) membuat definisi mengenai media cetak, yakni suatu media statis dan mengutamakan pesan-pesan visual. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa media cetak pada umumnya terdiri atas gambaran sejumlah kata, gambar, atau foto dalam tata warna yang macamnya bisa berupa poster, leaflet, brosur, majalah, surat kabar, lembar balik, stiker, dan pamlet. Menurut Notoatmodjo (2005:223), fungsi utama media cetak ialah memberi informasi dan menghibur. Kelebihan media cetak ialah tahan lama, mencakup banyak orang, biaya murah, tidak perlu listrik, dapat dibawa ke mana-mana, dapat mengungkit rasa keindahan, mempermudah pemahaman, dan meningkatkan gairah belajar. Adapun kelemahannya ialah media ini tidak dapat menstimulir efek suara dan efek gerak serta mudah terlipat. Asngari (2005: 98) mengemukakan, proses pendidikan akan berhasil apabila didukung suasana yang bebas dan demokratis. Suasana yang demikian merupakan sarana yang kondusif untuk terjadinya proses belajar dan berpikir. Asngari (2001: 99) juga mengatakan, proses penyampaian informasi dari agen pembaruan kepada klien harus komunikatif, yaitu isi pesan harus bermakna bagi klien; caranya harus persuasif dan bukan paksaan; serta dapat diterima dengan menyenangkan. Lebih jauh, Asngari (2001: 102) membuat definisi mengenai komunikasi, yaitu suatu proses hubungan antarmanusia yang dapat dilakukan secara primer (langsung) dan sekunder (tidak langsung), yakni dengan menggunakan media atau alat. Komunikasi itu dapat (1) intrapersonal, (2) interpersonal, dan (3) massal. Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri, misalnya membaca suatu artikel atau melihat acara TV. Merenung, mencamkan, dan usaha memahami makna artikel merupakan komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar dua orang atau lebih, baik tatap muka antar pribadi perorangan ataupun 18 dalam kelompok. Komunikasi massa adalah komunikasi yang massal sifatnya. Media massa mempunyai pengaruh/kekuatan yang dasyat pada masyarakat. Dengan begitu, media massa banyak dimanfaatkan dalam menyebarluaskan informasi IPTEK, lebih-lebih hasil penemuan-penemuan baru. Pengaruh Media Massa Cetak terhadap Perilaku Masyarakat Sebagai bagian dari sistem kehidupan masyarakat maka media massa cetak mempunyai peranan dalam perubahan sosial dan pembaruan masyarakat (Oepen, 1988:88). Hal ini terjadi karena media massa jangkauannya luas sekali dengan kecepatan yang tinggi. Schramm (1982: 99) mengatakan, peranan media yang paling cocok dengan pembangunan ialah sebagai agen perubahan (agent of change). Lebih lanjut dikatakan Mc. Luhan (Oepen,1988: 110), inovasi atau perubahan dalam teknologi banyak mempengaruhi pembangunan. Media massa tidak hanya berperan dalam menimbulkan dan memberikan informasi, tetapi lebih jauh dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan penyuluhan dan pendidikan masyarakat. Dalam program-program pembangunan media massa sangat nyata. Program keluarga berencana, medernisasi pertanian seperti Bimas/Inmas, program perbaikan gizi, dan sebagainya secara intensif menggunakan media massa. Menyadari potensi yang dimiliki oleh media massa dalam menyebarluaskan informasi serta perubahan sikap mental masyarakat maka diperlukan pemikiran tentang pemilihan media dengan cara-cara penggunaan media tersebut sehingga benar-benar dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien (Oepen, 1988: 112). Lebih lanjut, dikatakan Schramm (1982: 164) bahwa efek media massa adalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan. Karena fokusnya pesan maka efek yang terjadi berkaitan dengan pesan yang disampaikan oleh media massa. Rakhmat (2001: 165) membagi efek media massa tersebut menjadi dua, yaitu kehadiran media massa secara fisik dan kehadiran media massa menyangkut aspek kognitif, afektif, dan behavioral. Sejalan dengan itu, Mc Luhan (Rakhmat, 2001: 167) mengatakan, dari bentuk media atau bentuk fisik saja, media massa sudah mampu mempengaruhi orang. Dengan begitu, menurut Mc Luhan, isi pesan tidak mempengaruhi khalayak. Dia menyebut 19 bahwa efek media massa adalah kehadirannya sebagai benda fisik. Chaffee (Rakhmat,2001: 169) menyebut lima hal : (1) efek ekonomis, (2) efek sosial, (3) efek pada penjadwalan kegiatan, (4) efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertenu, dan (5) efek pada perasaan orang terhadap media. Efek ekonomis, kehadiran media massa mampu menggerakkan berbagai usaha: produksi, distribusi, dan konsumsi jasa media massa. Kehadiran surat kabar berarti menghidupkan pabrik yang mensuplai kertas koran, menyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, memberi pekerjaan kepada wartawan, ahli rancang grafis, pengedar, pengecer, pencari iklan, dan sebagainya. Efek sosial berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial akibat kehadiran media massa. Kehadiran media massa mampu meningkatkan status sosial pemiliknya. Efek pendjadwalan kembali kegiatan sehari-hari ialah kemampuan media massa mengubah jadwal seseorang berkaitan dengan aktivitas sehari-harinya, misalnya jadwal bangun pagi untuk membaca koran terlebih dahulu sebelum pergi ke kantor, dan sebagainya. Efek penghilangan perasaan tidak enak, misalnya kesepian, marah, kecewa, dan sebagainya. Media digunakan tanpa mempersoalkan isi pesan yang disampaikannya. Efek penumbuhan perasaan tertentu ialah kemampuan media massa untuk menumbuhkan perasaan tertentu (senang atau percaya) pada media massa tertentu. Ini dimungkinkan erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media tersebut, misalnya faktor isi pesan yang sangat berpengaruh kepada pembaca, kemudian jenis media yang menarik, dan sebagainya (Rakhmat, 2001: 170) Efek media massa selanjutnya meliputi efek kognitif, afektif, dan behavioral. Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap dan nilai. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang meliputi pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku (Rakhmat, 2001: 171) Pengaruh positif media massa cetak adalah dapat memberikan pengetahuan tentang informasi di belahan dunia lain. Masyarakat secara tidak sadar akan saling 20 berkompetisi dalam menguasai informasi dan menuju kepada kehidupan modernitas dengan menambah apresiasi pola pikir masyarakat (Rakhmat,2001: 172). Bentuk Media Cetak Wibowo (2001: 53) membuat definisi dari lima bentuk media cetak, yaitu : (1) Majalah, yaitu publikasi atau terbitan berkala yang memuat berbagai artikel, beritaolahan (depth reporting), berita investigatif, cerita, dan iklan. Majalah dicetak dalam lembaran kertas berukuran kuarto, folio, atau bahkan lebih kecil, dan dijilid seperti buku. Berdasarkan visi dan posisi pembacanya (segmentasi), bentuk majalah terbagi atas majalah foto, majalah anak-anak, majalah berita, majalah ilmiah (scientific magazine), majalah keagamaan (religious periodicals), majalah keluarga (home magazine), majalah remaja (juvenile weekly), majalah sari tulisan (magazine digest), majalah wanita, majalah sastra, majalah budaya, majalah hiburan (popular magazine). (2) Jurnal, yaitu catatan harian ata buku harian. Sebagai salah satu ragam bentuk tulisan pribadi (di samping esai), jurnal memang memuat kisah, pengalaman, pikiran, atau peristiwa yang secara runtut menimpa pribadi penulisnya. Oleh karena itu, jurnal ditulis dengan gaya yang sangat bebas dan biasanya tertutup bagi orang lain. Namun, dalam beberapa kasus, setelah diterbitkan, jurnal berguna bagi orang lain. Dewasa ini, dikenal pula dengan sebutan jurnal ilmiah, yakni penerbitan berkala yang diterbitkan perguruan tinggi (misalnya, dua kali setahun). Wujudnya, bisa serupa majalah, koraan, atau buletin. Isinya sangat khas, yakni hasil penelitian atau hasil terobosan baru yang dilakukan kalangan akademik. Di Indonesia, eksistensi jurnal ilmiah dipagari oleh sejumlah aturan yang dikeluarkan oleh pihak Direktorat Pendidikan Tinggi, Depdiknas RI. (3) Koran (newspaper), yaitu atau surat kabar adalah penerbitan berkala (biasanya tiap hari sehingga disebut pula harian) yang berisikan artikel, berita-langsung (straigh news), atau iklan. Wujud koran berupa lembaran kertas ukuran plano. Berdasarkan tujuan dan sasarannya, pada umumnya muncul dalam motto, jenis koran yang umum 21 anatara lain adalah koran independen, koran partai, dan koran kuning (menyajikan berita sensasional). (4) Tabloid, yaitu kumpulan berita olahan atau berita investigasi, artikel, cerita, atau iklan yang terbit berkala (biasanya tiap minggu), dan dicetak dalam kertas yang ukurannya lebih kecil ketimbang plano (broadsheet). Dewasa ini, tabloid di tanah air memfokuskan pemberitaannya pada segmentasi tertentu, seperti tabloid wanita, tabloid politik, tabloid pria, atau tabloid anak-anak. (5) Buletin (bulletin), yaitu kumpulan cerita, artikel, cerita, atau iklan yang terbit berkala dan dicetak dalam kertas berukuran broadsheet. Wujudnya mirip majalah, namun jauh lebih sederhana. Sesuai tujuan penerbitannya, biasanya buletin tidak dipasarkan secara umum. Ia lebih merupakan penerbitan intern suatu organisasi (terkelompok sebagai inhouse magazine). Daniel dalam Investor Daily (2005: 7) mengatakan, perubahan surat kabar Indonesia memperkuat tren pembaca abad XXI. Jika koran tidak mengikuti, efeknya cukup berbahaya, yaitu ditinggal pembaca. Dengan demikian, gerak-gerik koran bukan semata muncul karena pertimbangan internal. Faktor pembaca, sangat turut menentukan. Karakter masyarakat kota atau urban sangat mempengaruhi wajah koran. Masyarakat yang menuntut efisiensi dan keprakisan harus menjadi pertimbangan para pengelola koran (Slamet, 2005: 7). Dorimulu (Slamet, 2005: 9) mengatakan, perubahan surat kabar umumnya tidak hanya menyangkut ukuran. Pada era digital, pembaca sibuk ingin menangkap informasi surat kabar dalam tempo singkat. Untuk memenuhi tuntutan pembaca modern inilah surat kabar menampilkan berita yang dipadukan dengan desain grafis, gambar, dan foto menarik. Surat kabar Indonesia terus berkembang mengikuti kebutuhan dan selera pembaca yang terus berubah sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pengaruh cukup besar terhadap gaya hidup masyarakat pembaca adalah kemajuan teknologi audiovisual dan internet (Slamet, 2005: 9). Oepen (1988: 89) mengatakan, sejarah pers Indonesia ditandai oleh orientasi perkotaan dan kendala-kendalanya berhubungan dengan adanya sensor. Meskipun, oplag surat kabar per hari terus meningkat dari 1,2 juta pada tahun 1979 menjadi 3,5 juta pada 22 tahun 1984 dan mencapai 15 juta pada tahun 1988. Namun, peningkatan jumlah oplag tersebut tidak dibarengi dengan peredaran yang merata pada sektor kota-kota besar dan kota-kota kecil. Peredaran surat kabar paling besar terdapat di kota-kota besar di Pulau Jawa. 23