II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PANGAN FUNGSIONAL Peran utama makanan adalah untuk memberikan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi individu. Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini menemukan bukti secara ilmiah bahwa beberapa makanan dan komponen makanan memiliki efek fisiologis dan psikologis yang menguntungkan disamping penyediaan kandungan nutrisi dasar. Oleh karena itu fokus penelitian telah bergeser lebih ke identifikasi komponen biologis aktif dalam makanan yang memiliki potensi untuk mengoptimalkan kesehatan fisik dan mental serta dapat mengurangi risiko penyakit. Banyak produk makanan tradisional, termasuk buah-buahan, sayuran, kedelai, gandum dan susu telah ditemukan mengandung komponen dengan manfaat kesehatan potensial. Pangan ini disebut pangan fungsional. Istilah pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang sekitar pertengahan tahun 1980an dengan nama FOSHU (Foods for Specified Health Use). FOSHU mengacu pada makanan yang mengandung bahan yang berfungsi untuk kesehatan dan secara resmi telah diklaim mempunyai efek fisiologis pada tubuh manusia. Tujuan mengonsumsi FOSHU dimaksudkan untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan terutama bagi orang-orang yang ingin mengontrol kondisi kesehatan, termasuk tekanan darah, kolesterol darah atau bagi orang yang ingin menjaga tubuhnya tetap sehat. Istilah FOSHU sekarang telah dikenal dengan nama functional food atau pangan fungsional (Hasler, 1995). Umumnya pangan fungsional dianggap sebagai bagian pangan yang memiliki fungsi diet dan memiliki komponen biologi aktif yang berguna untuk meningkatkan kesehatan atau mengurangi risiko penyakit. Pangan fungsional termasuk dalam konsep pangan yang tidak hanya penting bagi kehidupan tetapi juga sebagai sumber mental dan fisik, mendukung pencegahan dan mengurangi faktor risiko sakit untuk beberapa penyakit serta penambahan terhadap fungsi fisiologis tertentu. Banyak definisi tentang pangan fungsional yang telah dikemukakan, diantaranya menurut kosensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996 yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memiliki kandungan komponen aktif sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung didalamnya (Hasler, 1995). Pangan fungsional juga didefinisikan oleh Functional Food Science in Europe (FUFOSE) sebagai pangan dalam bentuk makanan seharihari yang biasa dikonsumsi dengan jumlah rata-rata konsumsi pada umumnya, menunjukkan efek fisiologis bagi tubuh. Pangan fungsional tersebut dapat berasal dari makanan alami, makanan yang telah ditambahkan komponen fungsional, atau makanan hasil bioteknologi. Pangan fungsional dapat juga berasal dari makanan yang satu atau lebih sifat komponennya telah dimodifikasi, atau makanan yang satu atau lebih bioavailabilitasnya komponennya telah dimodifikasi, atau kombinasi dari keduanya. Pangan fungsional ini dapat dikonsumsi oleh seluruh populasi atau untuk kelompok tertentu, misalnya kelompok usia tertentu atau golongan penderita penyakit tertentu (Madsen, 2007). Menurut FAO (2004) definisi pangan fungsional adalah makanan yang mempunyai penampakan sama dengan makanan konvensional (minuman dan makanan), dikonsumsi sebagai bagian dari makanan sehari-hari yang mengandung komponen-komponen biologis aktif yang mempunyai manfaat fisiologis dan mempunyai potensi mengurangi risiko penyakit kronis disamping nilai gizi yang dikandunganya. Komponen biologis aktif yang dimaksud dapat berasal dari bahan baku makanan yang terdapat secara alami atau ditambahkan ke dalam makanan. 3 Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.5.52.0685 tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan. Komponen dalam pangan yang tergolong sebagai pangan fungsional berdasarkan BPOM (2005) adalah vitamin, mineral, gula, alkohol, asam lemak tidak jenuh, asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, kolin, lesitin dan inositol, karnitin dan skualen, isoflavon, fitosterol dan fitostanol, dan polifenol (teh). Badan POM (2005) membuat persyaratan suatu produk dapat dikatakan sebagai pangan fungsional antara lain: (1) wajib memenuhi kriteria produk pangan; (2) menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan; (3) mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional berdasarkan kajian ilmiah Tim Mitra Bestari; (4) disajikan dan dikonsumsi sebagai mana layaknya makanan dan minuman; (5) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen; (6) komponen pangan fungsional tidak boleh memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain. Muchtadi (2001) menyatakan bahwa pangan fungsional memiliki tiga fungsi dasar yaitu sensori (warna dan penampilan menarik serta cita rasa yang enak), nutrisional (bergizi tinggi), dan fisiologikal (memberi pengaruh fisiologis bagi tubuh). Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan antara lain mencegah timbulnya penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, meregulasi kondisi ritme fisik tubuh, memperlambat proses penuaan dan membantu proses penyembuhan. Saat ini jenis produk pangan fungsional telah banyak beredar di pasaran yang sebagian besarnya didominasi oleh produkproduk susu dan olahannya (Toma & Pokrotnieks, 2006). Salah satu yang paling populer saat ini di kalangan industri adalah yoghurt. Probiotik dan prebiotik merupakan bahan pangan yang termasuk ke dalam kategori pangan fungsional. Probiotik dikatakan termasuk pangan fungsional karena probiotik mempunyai manfaat menjaga fungsi saluran cerna dan meningkatkan kesehatan (Sanders, 1999). Golongan bakteri asam laktat terutama Lactobacilli dan Bifidobacteria merupakan bakteri probiotik yang banyak digunakan diberbagai negara (Tamime et al., 2005). Bakteri tersebut banyak digunakan dalam pembuatan yoghurt, dimana saat ini yoghurt merupakan salah satu jenis produk makanan yang dapat meningkatkan kesehatan manusia. Menurut Saxelin (2008) produk-produk probiotik yang beredar di pasaran dunia, 72% merupakan produk dalam bentuk yoghurt probiotik. Sedangkan prebiotik adalah makanan bagi probiotik yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik dan meningkatkan kesehatan tubuh manusia (FAO, 2007). Beberapa jenis prebiotik yang paling banyak digunakan adalah inulin dan fruktooligosakarida (FOS). Menurut Sveje (2007), di pasaran dunia terdapat lebih dari 180 macam produk prebiotik yang telah ada. 2.2 PROBIOTIK Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang ditambahkan pada makanan untuk kebutuhan diet dan memberi efek kesehatan bagi inangnya dengan cara meningkatkan keseimbangan mikroflora usus (Fuller, 1989). Sedangkan menurut FAO/WHO (2002), probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Jumlah yang cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2002) ini adalah 106108 cfu/ml dan diharapkan dapat berkembang menjadi 10 12 cfu/ml di dalam kolon. Jumlah probiotik hidup harus mampu melewati kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti terekspos asam lambung dan garam empedu, sehingga masih memiliki aktivitas. Produk yang mengandung probiotik dikategorikan sebagai pangan fungsional dan di Indonesia hal ini resmi dinyatakan dalam Peraturan 4 Pangan Fungsional dari BPOM tahun 2005, namun belum secara spesifik dinyatakan regulasi dan jumlah minimal kandungannya. Bakteri yang umum digunakan sebagai sumber probiotik sebagian besar berasal dari golongan bakteri asam laktat. Beberapa jenis bakteri yang termasuk dalam bakteri probiotik dapat dilihat pada Tabel 1. Bakteri asam laktat dapat digolongkan sebagai probiotik jika memenuhi beberapa persyaratan antara lain (Salminen et al., 2004) : 1. Suatu probiotik harus non-patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus 2. Suatu probiotik yang baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat serta terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus 3. Probiotik yang ideal dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara 4. Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan 5. Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan Tabel 1. Jenis-Jenis Bakteri Probiotik a Mikroflora Lactobacili Bifidobacteria Spesies Lactobacillus acidophillus Lactobacillus rhamnosus Lactobacillus reuteri Lactobacillus casei Lactobacillus plantarum Lactobacillus johnsonii Bifidobacterium bifidum Bifidobacterium longum Bifidobacterium breve Bifidobacterium infantis a Tamime (2007) , bReid (1999) Produsenb Rhodia, Inc (Madison Wis) Valio Dairy (Helsintei Finland) Biogaia Biologis Yakult (Tokyo) Probi AB (Lund Sweden) Nestle (Switzerland) Danisco Morinaga Milk Ind. Co Ltd (Zama City) Yakult (Tokyo) Procter & Gamble Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi dalam tiga aspek, yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), serta dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus. Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan risiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen. Karena alasan tersebut, teknik probiotik diterapkan untuk meningkatkan kesehatan saluran pencernaan serta sistem imunitas tubuh (Winarno, 2003). Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan juga mendukung pernyataan bahwa probiotik dapat meningkatkan kesehatan diantaranya yaitu (1) probiotik dapat meningkatkan pencernaan laktosa karena dapat menghasilkan enzim pemecah laktosa (Kim & Gilliland, 1983), (2) mengurangi efek samping dari antibiotik dengan cara merangsang pengaktifan kembali bakteri baik pada usus yang telah terkena efek antibiotik (Lidbeck, 1995), (3) mencegah infeksi saluran usus dengan cara memproduksi asam-asam organik dan zat antibakteri (Gilliland & Speck, 1977), (4) 5 mencegah kanker (Reddy et al., 1983), (5) meningkatkan sistem imun (Hatcher & Lambrecht, 1993), dan (6) menurunkan kolesterol (Gilliland & Walker, 1990). Salah satu jenis bakteri yang tergolong probiotik dan banyak digunakan di industri pangan dalam pembuatan susu fermentasi adalah kultur Lactobacillus casei. Bakteri ini mempunyai morfologi berbentuk batang, berada dalam koloni tunggal maupun berantai, memiliki panjang 1.5-5.0 µm dan lebar 0.6-0.7 µm, gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora maupun kapsul, tidak memiliki flagela, anaerobik fakultatif, hidup dengan baik pada suhu optimum 15-410C, dan pH 3.5 atau lebih. Lactobacillus casei tahan terhadap kondisi asam dengan sebagian besar produk akhir metabolisme berupa asam laktat dan sudah terbukti prebiotik (Tamime & Robinson, 1989). Lactobacillus casei termasuk ke dalam kategori bakteri asam laktat homofermentatif yaitu memecah glukosa terutama menjadi asam laktat kira-kira 90%. Kemampuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri asam laktat heterofermentatif yang hanya dapat memecah glukosa menjadi asam laktat kurang dari 90% (Winarno & Fardiaz, 1984). Selain itu juga L. casei dapat menghasilkan sejumlah kecil asam sitrat, asam malat, asam asetat, asam suksinat, asetaldehid, diasetil, dan asetoin yang berperan dalam pembentukan flavor (Varnam & Sutherland, 1994). Menurut para peneliti di Jepang, L. casei dapat memproduksi L(+) asam laktat lebih dari 95%, sedangkan Lactobacillus bulgaricus memproduksi hampir 100% D(-) asam laktat. Asam laktat dalam bentuk L(+) lebih dapat digunakan di dalam tubuh dibandingkan dengan bentuk D(-). Beberapa jenis Lactobacillus casei sudah terbukti dan terindentifikasi termasuk probiotik (Crittenden et al., 2002). Lactobacillus casei mempunyai manfaat bagi kesehatan diantaranya : (1) mendukung respon sistem imun, (2) mendukung kesehatan sel dan meningkatkan bakteri menyehatkan di dalam usus, (3) dapat memodifikasi potensi aktivitas bakteri berbahaya seperti βglukoronidase dan nitroreduktase (Goldin & Gorbach, 1984), dan (4) meningkatkan kesehatan manusia (Takeshi, 2003). Konsumsi yoghurt dengan kandungan L. casei pada manusia memiliki potensi menurunkan risiko beberapa penyakit dan menunjang kesehatan tubuh, terutama yang banyak diteliti adalah bakteri L. casei galur Shirota diantaranya menurunkan risiko kanker kandung kemih (Ohashi et al., 2002). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ishikawa et al. (2005) juga menunjukkan L.casei galur Shirota berpotensi mencegah kanker pada saluran kandung kemih pada studi in vivo. Penelitian terkait peran L. casei galur Shirota pada sistem imun dilakukan oleh Nagao et al. (2000) yang menunjukkan bahwa asupan L. casei dapat meningkatkan aktivitas sel Natural Killer (NK) pada manusia. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa aktivitas sel NK dapat ditingkatkan oleh L. casei galur Shirota pada manusia yang memiliki kebiasaan merokok (Morimoto et al., 2005). Selain itu penelitian oleh Yuniastuti (2004) tentang pengaruh pemberian susu fermentasi L. casei galur Shirota terhadap perubahan kadar fraksi lipid serum tikus hiperkolesterolemik, menyimpulkan bahwa pemberian susu fermentasi Lactobacillus casei galur Shirota pada dosis 2.5 ml/ekor/hari menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida dan kolesterol LDL serta meningkatkan kolesterol HDL secara signifikan. Kultur bakteri L. casei pada produk-produk susu fermentasi dapat digunakan sebagai kultur tunggal maupun kultur campuran. Penggunaan kultur tunggal mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah dalam pemeliharaan, penggunaan, dan juga perhitungan total mikroba probiotik. Selain itu juga mudah dalam mendeteksi kontaminasi dan menentukan kondisi optimum inkubasi produk yoghurt. Begitu pula menurut hasil penelitian Oliveira et al. (2001) menyebutkan bahwa jumlah bakteri probiotik pada kultur tunggal akan lebih stabil dan terjaga viabilitasnya dibanding pada kultur campuran. Penggunaan kultur tunggal ini juga tidak kalah dengan penggunaan kultur campuran karena kultur yang digunakan adalah kultur yang sudah pasti probiotik yang bermanfaat bagi 6 kesehatan tubuh dan menurut Yulianis (2004) penggunaan L. casei pada produk fermentasi tergolong disukai konsumen dari segi tekstur, aroma dan rasa. Penelitian penggunaan kultur tunggal L. casei dalam pembuatan susu fermentasi telah banyak dilakukan, antara lain penelitian melihat jumlah total BAL pada susu fermentasi oleh Yulianis (2004) yang membuat susu fermentasi dari ampas tahu menggunakan kultur tunggal L. casei. Hasilnya adalah penambahan kultur sebanyak 5% sudah menghasilkan produk yang mengandung probiotik tinggi yaitu sekitar 3.9-7.5 109 cfu/ml dan produk yang dihasilkan disukai oleh panelis. Penelitian lain oleh Artanti (2009) yang melihat pertumbuhan L.casei pada dua jenis prebiotik yaitu inulin dan FOS. Hasilnya adalah L. casei dapat tumbuh dengan baik di dua jenis prebiotik tersebut, akan tetapi L. casei cenderung memberikan jumlah sel hidup yang lebih tinggi pada prebiotik inulin yaitu sebesar 10.0 log cfu/ml. 2.3 PREBIOTIK Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak tercerna yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau lebih bakteri tertentu dalam usus besar, yang dapat memperbaiki kesehatan inang. Banyak pangan dengan oligosakarida atau polisakarida (termasuk serat pangan) yang diklaim mempunyai aktivitas prebiotik, meskipun tidak semua karbohidrat pangan adalah prebiotik (Roberfroid, 2005). Golongan fruktooligosakarida sudah terbukti sebagai prebiotik dan saat ini inulin dan oligofruktosa juga sudah diakui sebagai sumber prebiotik (Coussement, 2007). Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya asupan prebiotik tergantung kepada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO, 2007). Pada umumnya dosis konsumsi harian 5-8 g/hari dari FOS atau GOS memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Venter (2007) menyatakan bahwa peraturan Foodstuffs Cosmetics and Disinfectans Act (Act No 54 of 1972) di Afrika Selatan menyatakan bahwa jumlah dan sumber prebiotik yang harus tercantum pada label suatu produk dengan klaim prebiotik adalah minimal 3 gram prebiotik per penyajian harian. Indonesia mengatur regulasi prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlahnya belum dikeluarkan. Surono (2004) menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari untuk dewasa. Menurut Roberfroid (2005), inulin adalah salah satu jenis prebiotik yang baik digunakan dan kini legal diklasifikasikan sebagai bahan pangan yang diterima dan digunakan tanpa batas, dan dianggap sebagai model prebiotik. Inulin merupakan polisakarida (khususnya fruktan) yang terdiri dari fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik β-(2-1) dan terminal glukosa pada bagian ujungnya, dimana struktur kimianya dapat berbentuk lurus, bercabang, ataupun cyclic. Panjang rantai dari inulin hingga sekitar 60 dengan panjang rantai terbanyak adalah 9 (Tungland, 2002) dengan perbandingan antara glukosa dan fruktosa adalah 20 : 80. Pada umumnya native inulin (diekstrak dari umbi segar) mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, dan oligosakarida. Inulin mempunyai karakter tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna putih serta tahan panas (Roberfroid, 2005). Struktur kimia dari inulin dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Stuktur Kimia Inulin 7 Inulin mempunyai banyak kegunaan terutama dalam bidang pangan dan kesehatan. Pada dasarnya, penggunaan inulin dalam bidang pangan adalah karena sifat-sifat teknologisnya dan fisiologisnya. Sifat-sifat teknologisnya yaitu sebagai pengganti gula dan lemak, sedangkan sifat-sifat fisiologisnya digunakan sebagai sumber prebiotik. Sifat fisiologis inulin sebagai sumber prebiotik salah satunya digunakan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Inulin tergolong sebagai prebiotik karena mampu melewati saluran pencernaan atas dan mencapai usus besar, sehingga dianggap juga sebagai ―colonic foods‖ bagi mikroflora usus. Hasil penelitian menurut Roberfroid (2005) yang dilakukan secara in vitro dan in vivo menyatakan bahwa inulin dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas Bifidobacteria dan Lactobacilli yang merupakan mikroflora yang berperan dalam saluran cerna. Hasil fermentasi inulin di usus besar adalah asam lemak rantai pendek yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. Khususnya asam butirat, asam lemak rantai pendek ini berperan dalam mempertahankan mukosa usus melalui metabolisme, proliferasi, dan melakukan pembedaan dari tipe sel epitel yang berbeda (Roberfroid, 2005). Roberfroid (2005) menyatakan bahwa, inulin merupakan tanaman karbohidrat yang dapat bertahan di saluran pencernaan atas, untuk kemudian difermentasi di usus besar. Dengan meningkatkan biomassa fekal dan kandungan air dalam feses, inulin mampu memperbaiki ―bowel habits‖. Juga dengan karakternya dalam melindungi dan memperbaiki mukosa usus, inulin dapat mengurangi risiko penyakit saluran cerna di usus. Beberapa penelitian penggunaan inulin sebagai prebiotik banyak dilakukan pada produkproduk susu fermentasi terutama yoghurt. Artanti (2009) melakukan penelitian pembuatan yoghurt dengan L. casei pada dua jenis prebiotik yaitu inulin dan FOS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri L. casei tumbuh baik pada kedua jenis prebiotik tersebut, akan tetapi L. casei cenderung memberikan jumlah sel hidup yang lebih tinggi pada prebiotik inulin dibanding pada FOS yaitu sebesar 10 log cfu/ml. Hasil penelitian tersebut juga sama dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Donkor et al. (2007) yang menyebutkan bahwa inulin dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan aktivitas dari bakteri L. acidophilus dan L. casei selama penyimpanan. Penelitian lainnya yaitu tentang kualitas atribut yoghurt yang dibuat menggunakan bakteri L. casei dan berbagai jenis prebiotik oleh Aryana dan McGrew (2007). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa L. casei dengan penambahan inulin pada yoghurt menghasilkan pH, viskositas, warna, dan organogleptik produk yoghurt yang baik dimana jika disimpan pada suhu 4°C mempunyai jumlah total L. casei yang cenderung tetap tinggi selama 15 hari yaitu rata-rata 3.2 x 106 cfu/ml. Penggunaan inulin pada produk-produk olahan susu seperti yoghurt antara lain, yaitu: (1) dapat meningkatkan viskositas dan penggumpalan curd (Ibrahim et al., 2004); (2) dapat mengurangi sineresis; (3) dapat menghasilkan flavor dan tekstur yang lembut (Seydin et al., 2005); (4) dapat mempertahankan warna dan aw; (5) menghasilkan skor organoleptik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yoghurt tanpa penambahan inulin (Staffolo et al., 2004); (6) dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri asam laktat (Sadek et al., 2004); (7) menurunkan pH pada yoghurt (Hardi & Slacanac, 2000); dan (8) meningkatkan konsentrasi asam amino dan asam organik yang berperan penting dalam pengolahan yoghurt (Chen et al., 2004). Asupan prebiotik dari konsumsi harian tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan prebiotik yang berkhasiat menekan infeksi penyakit, sehingga konsumsi tambahan prebiotik komersial dari makanan sangat diperlukan. Menurut Franck dan De Leenheer (2005) pengunaan inulin sebanyak 13% pada produk yoghurt sudah memberi efek prebiotik dan penggunaan inulin hingga 15 g per hari tidak menyebabkan efek samping yang negatif. Manfaat mengonsumsi prebiotik dalam jumlah yang cukup menurut beberapa penelitian antara lain: (1) menghambat patogen melalui mekanisme langsung 8 atau tidak langsung dengan memblok sisi reseptor pelekatan patogen pada mukosa usus dan secara tidak langsung mendukung pertumbuhan probiotik (Roberfroid, 2005); (2) mencegah kanker usus; (3) meningkatkan penyerapan kalsium, manesium, dan besi karena fermentasi probiotik menjadi SCFA (short chain fatty acid); (4) meningkatkan jumlah bakteri baik pada usus; (5) membantu mencerna protein, mengurangi penyerapan lemak, dan membantu tubuh mengeluarkan racun (Jenkins et al., 1999); (6) menurunkan kolesterol dengan memicu pertumbuhan probiotik atau BAL yang memproduksi enzim atau pengikat kolesterol oleh membran (Surono, 2004); dan (7) meningkatkan imunitas dengan meningkatkan pertumbuhan probiotik yang berinteraksi dengan sistem imun (Roberfroid, 2005). Sumber inulin banyak terdapat di alam seperti pada bawang merah, Jerusalem artichoke, chicory, asparagus, bawang daun, bawang putih, globe artichoke, gandum, rye, barley, dandelion, dan salah satunya adalah pisang (Tungland, 2000). Pisang mengandung sekitar ± 1g/100g inulin (Roberfroid, 2005). Selain itu pisang mempuyai nilai gizi yang tinggi dan penting (seperti terlihat pada Tabel 2) karena mengandung karbohidrat, mineral, dan vitamin yang dapat digunakan sebagai bahan makanan bayi maupun untuk makanan tambahan bagi para remaja yang masih dalam pertumbuhan. Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang menonjol di Indonesia. Berdasarkan data FAO (2002) produksi pisang di dunia pada tahun 2001 mencapai 66,5 juta ton. Di Indonesia sendiri produksi pisang menempati peringkat tertinggi diikuti oleh jeruk pada urutan kedua dan nanas urutan ketiga. Pada tahun 2010 jumlah produksi pisang di Indonesia mencapai 5.814.576 ton dengan kontribusi terbesar dari daerah Jawa Barat (1.089.472 ton), diikuti oleh Jawa Timur (921.964 ton) dan Jawa Tengah (854.383 ton) (BPS, 2010). Pisang terbagi dalam dua jenis yaitu pisang meja dan pisang olahan. Jenis pisang yang termasuk dalam tipe pisang meja (banana) antara lain Ambon Putih, Ambon Hijau, pisang Mas, pisang Raja, pisang Susu, pisang Badak, pisang Seribu, dan pisang Angling. Jenis pisang meja adalah jenis pisang yang mengandung banyak gula sehingga pada umumnya rasanya lebih manis. Jenis pisang yang tergolong dalam pisang olahan (plantain) antara lain pisang Siam, pisang Nangka, pisang Kapas, pisang Kepok, pisang Gembor, pisang Menggala, dan pisang Tanduk. Jenis pisang olahan ini, kandungan karbohidratnya lebih banyak tersusun atas pati sehingga cocok untuk diolah menjadi tepung pisang (Prabawati, 2009). Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Buah Pisang Ambon dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan Komponen Satuan Pisang Ambon Protein Gram 1.2 Lemak Gram 0.2 Karbohidrat Gram 25.8 Air Gram 72.0 Kalori Kal 99.0 Kalsium Mg 8.0 Phosfor Mg 28.0 Besi Mg 0.5 Vitamin A SI 146.0 Vitamin B Mg 0.1 Vitamin C Mg 3.0 BDD Persen 75.0 a) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) 9 Pengolahan buah pisang sejauh ini adalah sebagai tepung pisang, keripik pisang, dan dimakan segar. Salah satu alternatif pemanfaatan pisang yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengolah pisang sebagai bahan baku tambahan pada yoghurt. Karbohidrat yang terkandung di dalam pisang terutama dalam bentuk gula dapat digunakan oleh bakteri probiotik sebagai substrat sehingga penambahan pisang dalam produk yoghurt tidak akan menghambat proses fermentasi susu. Pisang yang cocok digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah dalam bentuk puree. Puree pisang adalah hancuran buah pisang tanpa mengalami penambahan air dan penyaringan. Biasanya untuk diolah menjadi puree, pisang yang digunakan adalah jenis pisang meja karena rasanya lebih manis (lebih banyak mengandung gula) dan teksturnya lebih lembut serta mengandung banyak air. Penambahan dalam bentuk puree ke dalam produk yoghurt akan menghasilkan aroma, rasa, dan tekstur yang bagus. Pengolahan pisang menjadi puree dapat dilakukan dengan cara diblansir selama 5-7 menit pada suhu kurang dari 100°C terlebih dahulu untuk mencegah reaksi pencoklatan pada saat diblender, kemudian dipotong-potong dan dihancurkan dengan menggunakan waring blender (Ferawati, 2009). Proses blansir yang diterapkan pada pembuatan puree merupakan salah satu upaya untuk membunuh mikroba awal yang terdapat dalam pisang, selain dapat bertujuan untuk melunakan jaringan buah pisang agar mudah dihancurkan dan mencegah reaksi pencoklatan. Menurut Luky (1996), dalam penelitiannya tentang uji kecukupan blansir menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk proses blansir puree pisang Ambon adalah selama 5-7 menit pada suhu kurang dari 100°C. Pisang sebagai bahan baku tambahan pada yoghurt dapat berfungsi sebagai penambah cita rasa sekaligus sebagai sumber prebiotik berupa karbohidrat komplek seperti FOS dan inulin yang dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri baik pada yoghurt. 2.4 SINBIOTIK Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik (Panesar et al., 2009) yang menguntungkan inang dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup dalam saluran pencernaan dengan secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inangnya. Beberapa pendekatan yang dapat memberikan manfaat gizi bagi kesehatan diantaranya adalah meningkatkan pertahanan bakteri hidup dalam produk pangan sehingga memperpanjang umur simpan, meningkatkan jumlah bakteri mencapai kolon dalam keadaan hidup, memicu pertumbuhan bakteri dalam kolon, dan aktivasi metabolisme bakteri. Prebiotik, probiotik, dan sinbiotik mempunyai aplikasi farmasi yang potensial disamping manfaat gizinya, seperti meningkatkan level pertumbuhan bakteri tertentu dalam saluran pencernaan manusia yang diimplikasikan sebagai faktor pertahanan tidak saja untuk kerusakan di usus tetapi juga sistemik. Konsep sinbiotik banyak dikembangkan terutama di bidang pangan yaitu pangan sinbiotik. Salah satu jenis pangan sinbiotik yang populer adalah yoghurt sinbiotik yang terbuat dari hasil fermentasi susu oleh bakteri probiotik misalnya golongan Lactobacillus dan Bifidobacterium dengan ditambahkan sumber prebiotik seperti FOS, GOS, dan inulin. Beberapa penelitian tentang yoghurt sinbiotik telah banyak dilakukan diantaranya penelitian oleh Fung et al. (2009) menyebutkan bahwa mengonsumsi pangan sinbiotik dapat mengurangi penyakit Lactose intolerant, meningkatkan sistem imun, aktivitas antimikroba, dan karsinogenik, menurunkan tingkat kolesterol, mencegah infeksi lambung oleh Helicobacter pylory, dan menjaga kesehatan usus. Beragam manfaat yang sama dari mengonsumsi pangan sinbiotik juga telah banyak dilaporkan seperti meningkatkan penyerapan mineral dan kalsium sehingga dapat mencagah osteoporosis (Bosscher et al., 2006), menurunkan risiko terkena penyakit diare, menurunkan kolesterol (Renhe et al., 2008), dan mengurangi risiko obesitas (Delzenne & Cani, 2010). 10 2.5 YOGHURT Standar Nasional Indonesia (2009) mendefinisikan yoghurt sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan mengunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/ atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Yoghurt yang berupa minuman cair ketal dengan rasa asam (dari akumulasi asam laktat) dan flavor yang khas (dari komponen asetaldehida, sejumlah kecil diasetil, aseton, asetoin) merupakan hasil dari aktivitas starter BAL melalui proses fermentasi susu. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk yoghurt sesuai SNI 01.2981-2009, dapat dilihat pada Tabel 3. Yoghurt yang beredar saat ini dapat kita jumpai dalam berbagai bentuk dan aneka rasa. Tamime dan Robinson (1989) mengklasifikasikan yoghurt komersial ke dalam tiga kelompok, yaitu plain yoghurt atau natural yoghurt yaitu yoghurt tanpa penambahan flavor lain sehingga rasa asamnya sangat tajam, fruit yoghurt yaitu yoghurt dengan penambahan buah, dan flavoured yoghurt yaitu yoghurt yang diberi flavor sintetik dan zat pewarna. Sedangkan berdasarkan perbedaan metode pembuatannya, tipe yoghurt dibagi menjadi dua yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Klasifikasi ini berdasarkan pada sistem pembuatan dan struktur fisik dari koagulumnya. Set yoghurt adalah produk dimana pada waktu inkubasi atau fermentasi susu berada di kemasan kecil dan karakteristik koagulumnya tidak berubah. Sedangkan pada stirred yoghurt, fermentasi susu dilakukan pada wadah yang besar dan setelah inkubasi produk hasil inkubasi dikemas dalam kemasan kecil sehingga memungkinkan koagulumnya rusak atau pecah sebelum pendinginan dan pengemasan selesai (Helferich & Westhoff, 1980). Tabel 3. SNI 01.2981-2009 Tentang Yoghurt No Kriteria Uji 1 Keadaan 1.1 Penampakan 1.2 Bau 1.3 Rasa 1.4 Konsistensi 2 Kadar lemak (b/b) 3 Total padatan (b/b) 4 Protein (Nx6,38)(b/b) 5 Kadar abu (b/b) 6 Keasaman (dihitung sebagai asam laktat)(b/b) 7 Cemaran mikroba 7.1 Bakteri coliform 7.2 Salmonella 8 Jumlah bakteri starter *sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi) Satuan Yoghurt % % % % % Cairan kental-padat Normal/khas Asam/khas Homogen 0.5 Min. 8.2 2.7 Maks. 1.0 0.5-2.0 APM/g atau koloni/g Koloni/g Maks. 10 Negatif/25g Min. 107 Secara garis besar proses pembuatan yoghurt terdiri atas 4 langkah dasar, yaitu : (1) pemanasan susu, (2) inokulasi kultur starter, (3) inkubasi, dan (4) pendinginan. Pemanasan bertujuan untuk menghancurkan dan menginaktivasi organisme yang tidak diinginkan yang dapat berkompetisi dengan bakteri yoghurt. Selain itu, pemanasan juga mempengaruhi protein dalam susu untuk mengikat air sehingga diperoleh curd yang lebih kompak dan suhu pemansan yang tinggi dapat membebaskan oksigen sehingga menciptakan kondisi anaerob selama fermentasi (Helferich & Westhoff, 1980). 11 Pemanasan susu dapat dilakukan dengan suhu pasteurisasi, baik secara LTLT (Low Temperature Long Time) dengan suhu pemanasan 650C selama 30 menit atau secara HTST (High Temparature Short Time) dengan suhu pemanasan 75°C selama 15-16 detik (Buckle et al., 1987). Sebelum proses pemanasan susu, umumnya dilakukan proses homogenisasi. Proses homogenisasi pada proses pembuatan yoghurt bertujuan untuk memperkecil ukuran globula lemak, memperbaiki viskositas yoghurt, mencegah terjadinya sineresis (wheying off) (Tamime & Robinson, 1987) dan membuat lebih homogen. Perlakuan homogenisasi akan membuat campuran dari bahan-bahan yang digunakan menjadi lebih seragam sehingga nantinya tekstur yoghurt akan lebih lembut. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Triyono (2011) yang menyatakan bahwa proses homogenisasi juga dapat membuat tekstur menjadi lebih homogen dan kekentalannya meningkat. Inokulasi kultur starter biasanya dilakukan sesuai suhu optimum kultur starter yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Kultur bakteri yang biasa dipergunakan dalam produksi yoghurt adalah Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus (Deeth & Tamime, 1981). Kedua bakteri tersebut mempunyai suhu optimum 42- 45°C. Sedangkan jika menggunakan kultur starter jenis lain misalnya Lactobacillus casei, akan mempunyai suhu optimum yang berbeda yaitu sekitar 37°C. Kultur yang digunakan dalam proses fermentasi susu tidak hanya jenis bakteri yang disebutkan di atas, namun jenis bakteri asam laktat (BAL) yang dapat mengubah laktosa pada susu menjadi asam laktat dapat digunakan sebagai kultur starter. Organisme yang tergolong bakteri asam laktat dibagi menjadi 20 genus, diantaranya Streptococcus (termasuk Lactococcus), pediococcus, Leuconoctoc, Lactobacillus, dan Bifidobacterium (Tamime & Robinson, 1989). Susu yang telah diinokulasi kultur starter kemudian diinkubasi sampai diperoleh keasaman yang diinginkan. Namun, proses fermentasi umumnya berlangsung selama 1 hari pada suhu 37 0C (Tamime & Robinson, 1989). Selama proses inkubasi berlangsung, terdapat tiga hal penting yang terjadi, yaitu : 1. Kultur memanfaatkan laktosa sebagai sumber energi. Mula-mula laktosa dihidrolisis oleh enzim D-galaktosidase dalam sel bakteri menjadi glukosa dan galaktosa. Glukosa ini dimetabolisme oleh sel bakteri membentuk asam piruvat, lalu diubah menjadi asam laktat. Secara sederhana, reaksi perubahan laktosa menjadi asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2 (Tamime & Robinson, 1989): Laktosa + Air Asam laktat C12H22O11 H2O 4C3H6O3 Gambar 2. Perubahan Laktosa menjadi Asam Laktat 2. Akumulasi asam laktat menyebabkan keasaman pada susu meningkat yang mengakibatkan kompleks kalsium-kasein-fosfat dalam susu menjadi tidak stabil. Keasaman susu yang semakin tinggi sampai akhirnya pH turun mencapai 4.6-4.7 menyebabkan terbentuknya koagulum atau curd pada susu. 3. Selama proses fermentasi juga terjadi pembentukan kompleks flavor seperti asetaldehid, aseton, asetonin, dan diasetil. Menurut Rahman et al. (1992), starter merupakan bagian yang penting dalam pembuatan yoghurt. Beberapa aspek penting dari kultur yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhan yang cepat, menghasilkan flavor yang khas, tekstur, dan bentuk yang bagus, tahan terhadap bakteriogfage, dan juga tahan terhadap antibiotik. Menurut Nuraida et al. (1995), kultur starter yoghurt yang aktif harus memenuhi karakteristik sebagai berikut : (a) harus mengandung jumlah sel yang maksimum, (b) harus bebas dari cemaran mikroba lain, dan (c) harus aktif di bawah kondisi fermentasi. Aktifitas mikroba dalam starter dapat menurun dengan cepat tergantung dari kecocokan spesies dan varietas (strain) mikroba terhadap kondisi tersebut. Perubahan dari fermentasi yang 12 normal dapat merupakan suatu indikasi adanya kerusakan. Kerusakan atau penurunan viabilitas dari starter dapat disebabkan oleh suhu inkubasi, keberadaan mikroba lain, pH, keasaman dan kandungan oksigen terlarut pada yoghurt (Dave & Shah, 1996). Kerusakan atau penurunan viabilias starter akan berpengaruh terhadap : (1) kekurangan pembentukan asam, (2) flavor yang tidak mencukupi atau menyimpang, dan (3) terbentuknya gas dan lendir (Rahman et al., 1992). Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan viabilitas dari kultur starter adalah dengan pemeliharaan kultur. Pemeliharaan kultur dapat dilakukan dengan metode pendinginan, pembekuan, dan pengeringan. Pada penelitian ini digunakan metode pendinginan untuk pemeliharaan kultur, karena metode ini cenderung mudah untuk dilakukan dan tidak memerlukan peralatan yang rumit. Tetapi metode ini memiliki kekurangan, yaitu kultur yang diawetkan/dipelihara tidak dapat disimpan dalam waktu lama, sehingga harus dilakukan penyegaran setiap satu minggu sampai satu bulan sekali. Viabilitas yang baik dari kultur starter pada produk yoghurt dapat ditunjang dari penggunaan bahan baku yoghurt. Bahan baku yang paling penting dalam pembuatan yoghurt adalah susu. Susu merupakan bahan baku penyuplai karbohidrat utama pada yoghurt untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan oleh bakteri. Karbohidrat jenis gula-gula sederhana menjadi asam laktat, alkohol, dan berbagai senyawa kimia menyediakan energi yang cepat untuk metabolisme. Susu merupakan media fermentasi yang serbaguna dan mengandung semua bahan-bahan yang diperlukan oleh tiap organisme yang secara nutrisi membutuhkannya seperti jenis lactobacillus terutama komponen laktosa dan kasein. Jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt dapat berupa susu skim ataupun susu murni. Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dalam susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin dalam lemak (Buckle et al., 1987). Susu skim dalam bentuk bubuk memiliki kandungan lemak sebesar 0.6%, protein 36.1% dan laktosa 52.9% (Tamime & Robinson, 1989). Laktosa yang terkandung tersebut merupakan fermentable sugar yang dapat dimanfaatkan oleh BAL untuk pertumbuhan sehingga susu skim merupakan salah satu media yang baik untuk pertumbuhan BAL. Tamime dan Robinson (1989) menyatakan bahwa penggunaan susu skim bubuk ternyata dapat meningkatkan kandungan total padatan dari susu yang berpengaruh nyata terhadap kekentalan, aroma dan total asam minuman fermentasi, dimana semakin tinggi total padatan akan semakin tinggi pula total asam yang akan dihasilkan. Penambahan susu skim bubuk juga dapat meningkatkan kandungan protein, selain sebagai sumber laktosa bagi kehidupan kultur bakteri asam laktat. Kandungan protein yang semakin meningkat ini akan menaikkan total padatan susu yang kemudian akan mempengaruhi kekentalan susu fermentasi. Penambahan susu skim kira-kira sebanyak 10% agar terbentuk penggumpalan atau curd yang baik, karena jika ditambahkan sekitar 5-7% susu fermentasi yang dihasilkan akan encer (Selamat, 1992) dan menurut Setyaningsih (1992), penambahan susu skim 10% paling disukai oleh panelis memiliki nilai organoleptik paling tinggi. Selain itu Yulianis (2004) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa kombinasi penambahan susu skim yang terlalu tinggi yaitu sekitar 20% akan menghasilkan bentuk curd yang padat dan pecah. Hal ini diasumsikan karena penggumpalan yang terjadi terlalu banyak sehingga aroma asam yang dihasilkan juga berlebihan (over fermented). Keuntungan dari penggunaan susu bubuk skim adalah tingkat kemudahan memperoleh bahan baku, kepraktisan dalam pembuatannya, dan kemudahan dalam melakukan standarisasi susu dalam pembuatan yoghurt. Selain itu popularitas susu skim semakin meningkat disebabkan karena semakin 13 populernya konsumsi akan diet dan menjaga tubuh tetap langsing dengan mengurangi konsumsi lemak. Bahan yang juga digunakan dalam pembuatan yoghurt, selain susu adalah gula atau sukrosa. Gula dalam bentuk sukrosa akan memberikan tambahan substrat sebagai penyedia energi awal bagi bakteri untuk proses fermentasi sehingga menghasilkan homogenitas yoghurt yang baik. Selain itu menurut Buckle et al. (1987) penambahan gula dapat memberi rasa manis, menyempurnakan rasa asam serta cita rasa lain. Pembuatan yoghurt ini menggunakan penambahan gula sebanyak 5%. Penambahan gula sekitar 2% yang dilakukan oleh Selamat (1992) tidak menghasilkan homogenitas penggumpalan yang baik. Hal ini disebabkan karena terlalu sedikit sumber energi awal yang tersedia sebelum bakteri asam laktat mampu menggunakan laktosa didalam susu skim. Sebaliknya menurut Mc Gregor dan White (1987), konsentrasi gula yang terlalu pekatpun dapat menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat. Hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik terhadap sel bakteri yang berakibat menurunnya aktivitas dari bakteri tersebut. Yoghurt tergolong produk yang aman, namun dalam pengolahannya harus diperhatikan sanitasi dan proses pengolahan yang baik agar tidak terkontaminasi oleh cemaran mikroba yang tidak diinginkan. Standar Nasional Indonesia (2009) menyebutkan bakteri indikator sanitasi dalam produk yoghurt adalah koliform dan Salmonella. Koliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu, dan produk-produk susu. Adanya bakteri koliform di dalam makanan atau minuman menunjukkan adanya kemungkinan mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan/atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri koliform dapat dibedakan atas dua grup yaitu: (1) koliform fekal, misalnya Escherichia coli dan (2) koliform non fekal, misalnya Enterobacter aerogenes. E.coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedangkan E. Aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman-tanaman yang telah mati. Salmonella adalah kelompok bakteri batang gram negatif, tidak berspora, yang dapat dibedakan dari flora normal usus berdasarkan kriteria biokimia dan antigen. Bakteri Salmonella spp. dapat tumbuh pada suhu antara 5°C-47°C dengan suhu optimum 35-37°C (Adam & Moss, 1995). Karakteristik pertumbuhan bakteri Salmonella dipengaruhi oleh variasi suhu, pH, dan kadar air. Bakteri ini dapat tumbuh pada tingkat pH antara 4.5-5.4 atau kisaran pH optimumnya sekitar 7, namun tidak tahan terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi Jay (2000) dan menurut Lund (2000) dengan suhu pasteurisasi mampu menurunkan jumlah sel hidup Salmonella sebanyak 105 sel. Bakteri Salmonella yang mengkontaminsi produk yoghurt dapat berasal dari susu skim bubuk atau proses sanitasi yang tidak baik saat pengolahan yoghurt. Penelitian tentang yoghurt telah banyak dilakukan karena yoghurt merupakan salah satu jenis minuman fermentasi yang paling populer diantara jenis susu fermentasi yang lain (Tamime & Robinson, 2007). Yoghurt yang banyak dikembangakan untuk diteliti dan dikaji manfaatnya adalah yoghurt sinbiotik baik itu dalam bentuk set yoghurt maupun strirred yoghurt. Penelitian yoghurt sinbiotik dari segi kesehatan salah satunya dilakukan oleh Utami (2010) yang melihat pengaruh mengonsumsi yoghurt dapat memberi efek sebagai antidiare dan imunomodulator pada tikus percobaan. Selain dari segi kesehatan, juga dilakukan penelitian pengembangan pembuatan yoghurt dengan berbagai sumber probiotik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium serta sumber prebiotik ekstrak ubi jalar, sari kacang komak, sari kedelai, sari jagung, dan lain-lain. Salah satu penelitiannya adalah pembuatan yoghurt sinbiotik dengan kultur campuran probiotik dan sari kedelai sebagai sumber prebiotik (Supriadi, 2003). Penelitian yoghurt sinbiotik lainnya yaitu pengembangan yoghurt sinbiotik dengan penambahan buah untuk meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk-produk susu fermentasi. 14 Penelitian Kuntarso (2007) tentang penambahan buah nenas segar dalam bentuk cacahan dan puree dengan perbandingan puree buah banding susu skim yaitu 1:1 dapat meningkatkan penerimaan panelis dengan penilaian ―suka‖ terhadap low fat fruity bio yogurt. Selain itu secara visual, low fat fruity bio yogurt memiliki tekstur yang cukup kental, creamy, dan berwarna putih sedikit kekuningan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kailasapathy et al. (2007) tentang yoghurt sinbiotik dengan penambahan buah berry dan campuran buah. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa yoghurt yang mengandung 10g/100g dan 5g/100g tambahan buah berry dan buah berry campuran tidak mempengaruhi kelangsungan hidup L. acidophilus, selain itu juga memiliki penilaian organoleptik yang baik. Pembuatan yoghurt terus dikembangkan guna pemenuhan kebutuhan terhadap permintaan akan pangan yang berfungsi untuk kesehatan dan memiliki komponen fisiologis yang tinggi. Hal tersebut karena tujuan mengonsumsi yoghurt, selain untuk tujuan diet (dietetic purpose), sering dikonsumsi juga untuk tujuan kesehatan (therapeutic purpose). Dengan mengonsumsi yoghurt secara teratur dapat menyeimbangkan mikroflora usus, dimana bakteri-bakteri yang merugikan dapat ditekan jumlahnya dan sebaiknya usus akan didominasi oleh bakteri yang menguntungkan (Silvia, 2002). Fungsi lainnya mengonsumsi yoghurt antara lain meningkatkan pertumbuhan tubuh, mengatur saluran pencernaan, memperbaiki gerakan perut, mencegah kanker, menghambat pertumbuhan bakteri patogen, membantu penderita lactose intolerance dan sebagai anti diare (Astawan, 2002). 15