BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Karsinoma Payudara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Karsinoma Payudara
Karsinoma payudara adalah masalah kesehatan yang utama diseluruh dunia.
karsinoma ini merupakan keganasan yang paling banyak terjadi pada wanita baik
di negara berkembang maupun di negara maju. Karsinoma payudara merupakan
penyebab utama kematian karena kanker yang terjadi pada wanita secara global
dan merupakan kanker dengan angka kejadian kedua terbanyak setelah kanker
paru-paru. Sekitar 55% seluruh kasus karsinoma payudara terjadi di negara
berkembang, namun laju insiden meningkat secara cepat di negara maju. Pada
tahun 2012 diperkirakan sebanyak 1,7 juta kasus terdiagnosis karsinoma payudara
dengan angka kematian sebesar 521.900 (Ferlay et al, 2008; Torre et al, 2012).
Insiden karsinoma payudara di Uni Eropa adalah sekitar 109.9/100.000
pertahun dengan angka kematian sebesar 38,4/100.000 pertahun (Pestalozzi dan
Castiglione, 2008). Diperkirakan pada tahun 2007 terdapat 180.510 kasus
karsinoma payudara baru dan 40.460 pasien akan meninggal oleh penyakit
tersebut di Amerika Serikat (DeSantis, 2007).
Di Indonesia, karsinoma payudara merupakan penyakit kanker kedua
terbanyak setelah kanker serviks. Sedangkan di Bali khususnya, karsinoma
payudara merupakan keganasan ketiga terbanyak setelah kanker serviks dan
kanker nasofaring (Tjindarbumi dan Mangunkusumo, 2004).
8
Antara tahun 1980 sampai akhir 1990, terjadi peningkatan karsinoma
payudara sebanyak 30% pada negara-negara barat, yang disebabkan oleh karena
perubahan faktor-faktor reproduksi dan penggunaan terapi hormon untuk
menopause. Namun pada awal tahun 2000 terjadi penurunan insiden karsinoma
payudara disebabkan oleh menurunnya penggunaan terapi hormon di negara yang
sebelumnya banyak memakainya seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Australia.
Penurunan angka kematian dari karsinoma payudara juga terjadi di Amerika Utara
dan negara-negara Eropa pada tahun 1990an yang disebabkan oleh karena deteksi
dini dengan mamografi serta penanganan yang lebih baik (Torre et al, 2012).
Insiden karsinoma payudara mengalami peningkatan pada negara-negara
Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Penyebabnya masih belum dapat dipahami
sepenuhnya namun diperkirakan oleh karena perubahan pola reproduksi,
peningkatan obesitas, menurunnya aktifitas fisik dan adanya kegiatan skrining
karsinoma payudara. Laju mortalitas pada negara-negara ini juga mengalami
peningkatan, banyak disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan terlambatnya
pengenalan terhadap program skrining karsinoma payudara yang efektif dan pada
beberapa kasus, akses penatalaksanaan yang terbatas (Torre et al, 2012).
Pada negara maju, karsinoma payudara menunjukkan tren meningkat pada
wanita pasca menopause, sementara laju insiden pada wanita muda tetap stabil.
Namun, terjadi perkecualian di Spanyol dimana wanita usia dibawah 45 tahun
menunjukkan peningkatan insiden karsinoma payudara yang berkaitan dengan
perubahan gaya hidup. Penurunan fertilitas yang saat ini banyak terjadi di negaranegara Eropa juga terjadi di Spanyol dengan angka rata-rata jumlah anak yang
dilahirkan semakin menurun dan umur saat melahirkan pertama semakin
meningkat. Di lain pihak umur menarche semakin menurun yang merupakan
faktor resiko terjadinya karsinoma payudara (Pollán et al, 2010).
Pada wanita usia dibawah 30 tahun, karsinoma payudara merupakan
penyebab kematian oleh karena kanker sebanyak 5 sampai 7% di negara maju.
Karsinoma payudara pada wanita muda memiliki sifat yang lebih agresif
diantaranya ukuran tumor yang lebih besar, insiden tumor berdiferensiasi buruk
yang lebih tinggi, KGB positif, laju proliferasi yang tinggi, ekspresi HER2 yang
lebih tinggi, dan tidak adanya reseptor endokrin sehingga karsinoma payudara
pada usia muda berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk (Pollán et al,
2010).
2.1.1 Triple Negative Breast Cancer/TNBC
Pada studi yang dilaporkan oleh USA’s Surveillance, Epidemiology, and
End Results (SEER) California Cancer Registry, didapatkan bahwa insiden TNBC
lebih tinggi pada wanita keturunan Afrika/Afrika-Amerika dibandingkan dengan
ras yang lain pada semua umur (Brewster et al, 2014). Triple Negative Breast
Cancer berhubungan dengan Ras Afrika-Amerika, usia muda, stadium yang tinggi
saat terdiagnosa, dan outcome yang buruk dibandingkan dengan subtipe
karsinoma payudara lainnya (Filho et al, 2012).
Studi kohort berbasis populasi oleh Carolina Breast Cancer pada 878
wanita Afrika-Amerika dengan karsinoma payudara menunjukkan wanita AfrikaAmerika premenopause memiliki angka karsinoma payudara basal yang tinggi
(39%) dibandingkan dengan wanita kulit putih dengan umur yang sama (16%)
atau wanita Afrika-Amerika postmenopause (14%). Fenomena yang mirip
didapatkan oleh Bowen et al di inggris pada pasien-pasien dengan karsinoma
payudara dimana didapatkan 22% dari wanita kulit hitam mengalami TNBC
dibandingkan dengan 15% pada wanita kulit putih (Brewster et al, 2014).
Huo et al menginvestigasi distribusi subtipe molekular tumor-tumor
invasif pada wanita di berbagai daerah di Senegal dan Nigeria mendapatkan
bahwa tipe karsinoma yang mendominasi merupakan TNBC termasuk Basal Like
TNBC sebanyak 27%. Studi kasus yang dilakukan pada 1216 wanita dengan
karsinoma payudara di Soweto, Afrika Selatan mendapatkan 90 % penderita
adalah wanita kulit hitam dan 20% dari karsinoma payudara yang diderita
merupakan TNBC. Frekuensi TNBC didapatkan paling tinggi pada wanita usia
50-59 tahun dan lebih tinggi pada wanita keturunan Afrika dibandingkan dengan
suku yang lain (OR 2.2, 95% CI 1.1-3.8). studi lebih kecil yang berbasis rumah
sakit melaporkan prevalensi TNBC yang lebih tinggi pada wanita Ghaina (79%)
dibandingkan dengan wanita Afrika-Amerika (32%) dan Amerika kulit putih
(10%) (Brewster et al, 2014).
Suatu korelasi yang jelas ditemukan antara usia muda saat terdiagnosis
dengan TNBC. Pada suatu studi berbasis populasi yang besar pada 6.370 pasien,
wanita dengan TNBC secara signifikan berusia dibawah 40 tahun (Metzger-Filho
et al, 2012; Bauer et al, 2007).
2.1.2 Biologi Molekuler TNBC
Triple Negative Breast Cancer terjadi pada sekitar 6% sampai 28% dari
keseluruhan karsinoma payudara (Tan dan Wolff, 2014). Karakteristik dari TNBC
terlihat mirip dengan karsinoma payudara basal-like, termasuk bahwa TNBC dan
basal-like carcinoma cenderung terjadi pada usia muda (<50 tahun), wanita
Afrika-Amerika, dan secara signifikan lebih agresif dibandingkan dengan subgrup
molekular lainnya. Dari sudut pandang patologi, perbedaan antara TNBC dengan
non-TNBC adalah mayoritas dari triple-negative carcinoma secara histologis
merupakan grade 3, high-grade invasive ductal carcinoma of no special type,
metaplastic carcinomas, dan medullary cancers. Agresivitas dari TNBC dapat
terlihat dari rekurensinya yang tinggi antara tahun pertama dan ketiga dan
mayoritas kematian terjadi pada lima tahun pertama (Tan and Wolf, 2014).
Mayoritas TNBC merupakan suatu invasive ductal carcinoma, sedangkan
subtipe histologis yang lainnya antara lain: medullary, adenoid cystic, dan
karsinoma metaplastik. Terdapat juga subtipe molekular TNBC yang sulit untuk
dibedakan dengan marker standar pada praktek klinis seperti subgroup claudinlow tumors, interferon rich, dan normal-breast-like (Tan dan Wolf, 2014).
Triple Negative Breast Cancer ditentukan berdasarkan pada pemeriksaan
imunohistokimia dimana terjadi ekspresi negatif dari reseptor estrogen,
progesteron dan HER2. Sekitar 65%-85% TNBC merupakan subtipe basal-like.
(Tan and Wolf, 2014). Karsinoma payudara basal-like merupakan karsinoma
payudara dengan sel-sel neoplasia yang secara konsisten mengekspresikan gengen yang biasanya ditemukan pada sel-sel basal normal atau sel-sel myoepitel
payudara, termasuk sitokeratin high-molecular-weight ‘basal’ (CK;CK5/6, CK14
dan CK17), vimentin, p-cadherin, αB crystallin, fascin dan caveolin 1 dan 2
(Reis-Filho dan Tutt, 2008).
Karsinoma payudara basal-like meliputi 15% dari keseluruhan karsinoma
payudara. Lebih banyak terjadi pada pasien berusia muda, sering tidak
mengekspresikan
reseptor
–
reseptor hormon
dan
HER2,
dapat
juga
memperlihatkan imunohistokimia p53 dan mutasi gen TP 53. Pada lebih dari 85%
kasus mengekspresikan gen-gen yang berhubungan dengan proliferasi dan
epidermal growth factor receptor (EGFR) pada >60% kasus (Reis-Filho dan Tutt,
2008).
Secara morfologi, karsinoma payudara basal-like memiliki karakteristik
grading histologis yang tinggi, indeks mitosis yang tinggi, adanya zona nekrosis
sentral, dan infiltrasi limfosit yang jelas. Lebih lanjut, adanya elemen-elemen
metaplasia dan tanda-tanda medullary/atypical medullary secara signifikan lebih
banyak terjadi pada karsinoma payudara basal-like daripada karsinoma payudara
tipe lainnya. Pada suatu studi memperlihatkan bahwa >90% karsinoma payudara
metaplastik
dan
juga
karsinoma
payudara
medullary
secara
konsisten
memperlihatkan fenotipe basal-like (Reis-Filho dan Tutt, 2008).
Definisi TNBC bergantung pada pemeriksaan patologi sedangkan istilah
basal-like berasal dari studi ekspresi gen. Pada studi yang dilakukan oleh Perou et
al., karsinoma payudara dibedakan menjadi beberapa subtipe diantaranya dengan
pola ekspresi gen yang menyerupai sel-sel epitel luminal (luminal), sel-sel basal
dan/atau sel-sel myoepitelial dan subtipe yang memperlihatkan amplifikasi atau
ekspresi yang tinggi dari gen Erb-B2(HER2). Kompleksitas dan biaya yang
diperlukan untuk melakukan profilling ekspresi gen membatasi penggunaannya
pada praktek klinik (Metzger-Filho et al, 2012).
Beberapa studi telah mengembangkan metode imunohistokimia untuk
mendiagnosa subtipe basal-like yang didefinisikan secara genetika. Sitokeratin
basal (CKs; CK5/6 dan/atau CK 17) dapat mengidentifikasi basal-like breast
cancer yang dikenal dengan profilling ekspresi gen pada studi awal. Pemeriksaan
imunohistokimia yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi subtipe
basal-like pada studi terdahulu diantaranya adanya suatu triple negativity (ER
negatif, PR negatif dan HER2 negatif), sitokeratin basal (CK5/6, CK14 dan CK
17), epidermal growth factor receptor (EGFR), dan C-kit (CD117) (MetzgerFilho et al, 2012).
Heterogenitas dari pola pengecatan sitokeratin dan tidak adanya batasan
definisi yang jelas merupakan faktor-faktor yang membatasi penggunakan metode
imunohistokimia. Sampai saat ini tidak ada standar yang jelas mengenai
penggunaan metode imunohistokimia untuk mengidentifikasi karsinoma basallike, membatasi penggunaannya pada praktek klinis (Metzger-Filho et al, 2012).
Pada tingkatan morfologis, TNBC dan karsinoma basal-like memiliki
karakteristik yang mirip yaitu ukuran tumor yang besar, grading tumor yang
tinggi, adanya area nekrosis, dan infiltrasi limfosit pada stroma (Metzger-Filho et
al, 2012).
2.2 Imunologi Tumor
Didalam sel kanker terjadi suatu disregulasi gen yang menyebabkan perubahan
ekspresi berbagai molekul permukaan, gangguan transkripsi dan translasi berbagai
jenis molekul protein intraseluler maupun berbagai substansi yang disekresikan,
sehingga sel atau jaringan tumor, yang pada dasarnya berasal dari jaringan sendiri
(self cell), menjadi asing atau immunogenic. Oleh karena itu sistem imun yang
normal seharusnya mampu mengenali sel-sel abnormal tersebut dan dapat
memusnahkannya. (Abbas, 2010)
Konsep Immune surveilance yang dikemukakan oleh Macfarlane Burnet
pada tahun 1950 menyatakan bahwa fungsi fisiologis dari sistem imun adalah
untuk mengenali dan menghancurkan klon dari sel-sel yang bertransformasi
sebelum berubah menjadi sel tumor maupun yang sudah menjadi sel tumor.
(Abbas, 2010)
Interaksi antara sistem imun dengan tumor terjadi dalam tiga fase
diantaranya: eliminasi, equilibrium, dan escape. Pada fase eliminasi respon
inflamasi akut memicu terjadinya remodeling stroma dan angiogenesis yang
menginisiasi sel-sel imunitas natural (makrofag, sel-sel dendritik, sel-sel NK, )
kedalam microenvironment tumor. Pengenalan sel-sel tumor yang telah
bertransformasi oleh sel-sel tersebut diatas merupakan pengaruh dari produksi
sitokin proinflamasi, khususnya Interleukin 12 (IL-12) dan Interferon-γ (IFN-γ).
Sitokin-sitokin ini selanjutnya akan mengaktivasi sel-sel imunitas natural/innate
yang akan membunuh sel-sel tumor. Selama fase ini juga sel-sel dendritik yang
matur akan memproses tumor-associated antigen dan bermigrasi ke kelenjar getah
bening yang mendrainase tumor, untuk mempresentasikan antigen tersebut kepada
sel-sel T CD4+ dan T CD8+ naif. Sel-sel T yang teraktivasi ini akan melakukan
ekspansi ke lingkungan microenvironment tumor dan memfasilitasi kematian sel
tumor. Respon dari tumor terhadap reaksi imun tersebut dapat terjadi suatu
eradikasi tumor atau terjadi evolusi dari varian-varian sel tumor untuk
menghindari/escape respon imun dan tumor tetap berkembang. Selama fase
Equilibrium, inflamasi bergeser dari inflamasi akut ke inflamasi kronik, yang
justru menyebabkan sel-sel tumor dapat menghindar/escape dari mekanisme
immune surveillance dan mengarah pada pertumbuhan tumor. Mekanisme yang
memicu pertumbuhan tumor diantaranya ialah inhibisi sel-sel T yang spesifik
terhadap antigen tumor (Tumor antigen-specific T cells) oleh sel-sel T regulator
intratumoral, adanya pergeseran aktivitas dari respon imun anti tumor oleh sel T
helper tipe 1 (TH1) menjadi respon imun protumoral oleh sel T helper tipe 2
(TH2), dan produksi faktor-faktor soluble yang diproduksi oleh sel-sel tumor yang
dapat secara langsung menghambat fungsi sel dendritik dan sel-T saat memicu
terjadinya angiogenesis dan remodeling stroma. (Cimino-Mathews, 2015)
2.2.1 Antigen Tumor
Terdapat beberapa karakteristik interaksi antara antigen tumor dan respon imun
pada tumor yang merupakan hal mendasar untuk dapat memahami imunitas tumor
(Abbas, 2010)
1. Tumor mengekspresikan antigen yang dapat dikenali sebagai suatu benda
asing oleh sistem imunitas host. Observasi dan eksperimen klinis pada
binatang menunjukkan bahwa walaupun sel-sel tumor berasal dari sel-sel
Host, tumor dapat memicu terjadinya respon imun. Studi-studi
histopatologi menunjukkan bahwa banyak tumor dikelilingi oleh limfosit
T, Sel Natural Killer (NK), dan makrofag. Adanya infiltrasi limfosit pada
beberapa tipe melanoma dan karsinoma payudara merupakan faktor
prediktif untuk prognosis yang lebih baik. (Abbas, 2010)
2. Respon imun sering gagal untuk menghentikan pertumbuhan tumor.
Terdapat beberapa penyebab kenapa imunitas anti-tumor tidak dapat
mengeradikasi sel-sel yang mengalami transformasi. Pertama, sel-sel
tumor berasal dari sel Host yang memiliki struktur mirip dengan sel-sel
normal. Kebanyakan tumor hanya mengekspresikan sedikit antigen yang
dapat dikenali sebagai antigen nonself , yang membuat banyak tumor
imunogenitasnya lemah. Tumor-tumor yang merangsang timbulnya respon
imun yang kuat diantaranya adalah; tumor-tumor yang disebabkan oleh
virus-virus onkogenik dimana protein virus merupakan suatu antigen
asing, dan tumor-tumor yang diinduksi pada binatang yang disebabkan
oleh bahan karsinogen kuat, yang dapat menimbulkan mutasi pada gengen
sel
normal.
Tumor-tumor
yang
timbul
spontan
cenderung
menginduksi respon imun yang lemah dan bahkan mungkin tidak
terdeteksi. (Abbas, 2010)
Kedua, pertumbuhan tumor yang cepat dan penyebaran tumor
dapat melampaui kapasitas dari sistem imun untuk mengeradikasi sel-sel
tumor. Ketiga, tumor memiliki beberapa mekanisme untuk menghindari
sistem imun. (Abbas, 2010)
3. Sistem imun dapat diaktivasi melalui stimulus eksternal untuk dapat secara
efektif membunuh sel-sel tumor dan mengeradikasi tumor. (Abbas, 2010)
Beberapa variasi antigen tumor pada manusia maupun binatang yang dapat
dikenali oleh Limfosit T dan B telah dapat diidentifikasi. Klasifikasi terkini dari
antigen tumor adalah berdasarkan pola ekspresi dari antigen. Antigen yang
diekspresikan oleh sel-sel tumor tetapi tidak oleh diekspresikan oleh sel-sel
normal disebut sebagai tumor-specific antigens. Antigen tumor yang juga
diekspresikan oleh sel-sel normal disebut dengan tumor associated antigen.
(Abbas, 2010)
Antibodi anti-tumor tidak dapat mengenali peptida yang berasosiasi dengan
MHC/Major Histocompatibility Complex sebagaimana antigen dikenali oleh selsel T. Antigen-antigen tumor yang dikenali oleh sel T merupakan faktor utama
yang menginduksi imunitas tumor. Terdapat beberapa tipe antigen yang dapat
dikenali oleh sel-sel T (Gambar 2.1), diantaranya adalah: (Abbas, 2010)
1) Antigen-antigen tumor yang diproduksi oleh mutan-mutan onkogenik dari
gen-gen sel normal. Banyak tumor yang mengekspresikan gen-gen yang
nantinya menghasilkan produk yang diperlukan untuk transformasi
malignan atau untuk memelihara fenotipe malignan. Seringnya gen-gen ini
merupakan hasil dari point mutation, delesi, translokasi kromosom, atau
insersi dari gen virus yang mempengaruhi proto-onkogen dan tumor
supresor genes. Produk-produk dari proto-onkogen dan tumor supresor
genes yang telah berubah ini akan disintesa didalam sitoplasma sel-sel
tumor, dan dapat masuk ke jalur class I antigen-processing dan juga dapat
masuk ke jalur class II antigen-processing didalam APC/AntigenPresenting Cells yang telah memfagosit sel-sel tumor mati. Karena gengen yang telah berubah ini tidak terdapat didalam sel normal, peptida yang
berasal darinya dapat menstimulasi respon sel T dari host. (Abbas, 2010)
2) Antigen-antigen tumor mungkin diproduksi oleh gen-gen yang termutasi
secara random yang produk-produknya tidak berhubungan dengan
fenotipe yang bertransformasi. (Abbas, 2010)
3) Antigen-antigen tumor mungkin merupakan suatu protein-protein seluler
normal yang diekspresikan secara abnormal pada sel-sel tumor dan
menimbulkan respon imun. Banyak antigen seperti ini telah diidentifikasi
pada tumor, seperti pada melanoma diantaranya adalah tyrosinase, suatu
ensim yang diperlukan pada biosintesis melanin yang hanya diekspresikan
pada melanosit normal atau melanoma. Baik klon sel T CD8+ CTL-MHC I
dan CD4+-MHC II dapat mengenali peptida dari tyrosinase. (Abbas, 2010)
4) Antigen-antigen
kanker/testis
merupakan
protein-protein
yang
diekspresikan pada gamet dan trofoblast, dan berbagai tipe kanker, tetapi
tidak pada jaringan somatik normal. (Abbas, 2010)
5) Produk-produk dari virus-virus onkogen dapat berfungsi sebagai antigen
tumor dan merangsang timbulnya respon sel T yang spesifik yang dapat
mengeradikasi tumor. Virus-virus DNA berperan dalam perkembangan
berbagai variasi tumor baik pada manusia maupun binatang, misalnya
pada virus Epstein-Barr (EBV), yang berhubungan dengan limfoma sel B
dan karsinoma nasofaring dan Human Papillomavirus (HPV), yang
berhubungan dengan kanker serviks. Pada tumor-tumor yang diinduksi
oleh virus DNA ini protein-protein antigen yang dikode oleh virus terdapat
di nukleus, sitoplasma, atau membran plasma sel tumor. Protein yang
disintesa secara endogen ini dapat diproses oleh MHC kelas I
dan
diekspresikan pada permukaan sel tumor. Karena peptida virus ini
merupakan antigen asing, tumor-tumor yang diinduksi oleh virus DNA
termasuk tumor yang imunogenik. (Abbas, 2010)
Gambar 2.1. Tipe-tipe antigen tumor yang dapat dikenali oleh sel-sel T
2.2.2 Imunitas Innate dan Adaptif pada tumor
Sel-sel pada sistem imun innate (neutrofil, monosit, makrofag dan
antigen-presenting cells (APC) dan adaptive (limfosit T dan B) berperan dalam
respon terhadap patogen dan ancaman yang lain. Sel-sel limfosit T dan B
memerlukan sel-sel imunitas innate untuk dapat mengidentifikasi protein-protein
imunogenik, selanjutnya sel-sel imunitas adaptive memproduksi sitokin yang
mengoptimalisasi fungsi limfosit. Limfosit selanjutnya dapat mengenali sel-sel
yang mengekspresikan protein-protein asing dan membunuh sel-sel tersebut (Disis
dan Stanton, 2015).
Imunitas adaptive berbeda dengan imunitas innate karena imunitas
adaptive memiliki kemampuan untuk mengenal antigen dan menyimpan memori
terhadap paparan antigen sebelumnya. Respon terhadap antigen pertama kali
dikenal sebagai respon imun primer yang di mediasi oleh limfosit naif. Bila terjadi
paparan kembali terhadap antigen yang sama dan memberi respon, dikenal
sebagai respon imun sekunder dimana respon imun ini akan lebih cepat dan lebih
kuat dalam mengeliminasi antigen dibandingkan dengan respon imun primer
(Abbas dan Licthman, 2004).
Limfosit T mengenali protein antigen setelah berikatan dengan peptida
Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terdapat pada permukaan
Antigen Presenting Cells (APC). Pengolahan dan presentasi antigen merupakan
komponen penting dalam mengaktifkan limfosit dan membawa limfosit yang aktif
kepada sel tumor. Untuk menjadi limfosit yang aktif, limfosit sebelumnya harus
berinteraksi dengan antigen melalui reseptor antigen yang spesifik (TCR untuk
Limfosit T, BCR untuk limfosit B) dengan antigen yang sesuai serta limfosit juga
harus mendapatkan tambahan sinyal-sinyal ko-stimulan. Proses ini dikenal
sebagai presentasi antigen dan umumnya APC dapat menyediakan sinyal antigen
dan sinyal ko-stimulasi. Reseptor BCR pada limfosit B mampu merespon antigen
secara utuh, namun reseptor TCR pada limfosit T hanya mampu merespon
sebagian fragmen kecil dari antigen. Oleh karena itu APC akan memproses
terlebih dahulu antigen dengan molekul besar menjadi fragmen yang kecil, baru
kemudian dipresentasikan pada sel T. Karena reseptor sel T yang spesifik
terhadap antigen hanya mengenali fragmen antigen yang berikatan dengan
molekul antigen-presenting spesifik yang disajikan oleh MHC, antigen yang
terdegradasi ini akan di presentasikan pada sel T melalui mekanisme MHC pada
permukaan APC, seperti MHC kelas I, MHC kelas II atau molekul CD1 (OstrandRosenberg et al, 2002).
Proses pengolahan antigen dimulai dari pengambilan antigen oleh APC
(sel dendritik, sel monosit, sel B) baik melalui jalur endogen maupun eksogen,
kemudian diolah di APC, lalu diekspresikan dengan atau tanpa molekul antigenpresenting dan bantuan sinyal ko-stimulan pada APC. (Ostrand-Rosenberg et al,
2002).
Major Histocompatibility Complex kelas
I merupakan membran
glikoprotein yang diekspresikan oleh seluruh sel berinti dan molekul ini
mempresentasikan antigen kepada CD 8. Major Histocompatibility Complex kelas
I dijumpai pada banyak tumor seperti melanoma maligna, kanker prostat, kanker
payudara, kanker kolon, dan renal. Major Histocompatibility Complex kelas II
merupakan molekul membran protein yang mempresentasikan antigen kepada
limfosit T-CD4, baik Th1 maupun Th2. Major Histocompatibility Complex kelas
II di presentasikan oleh APC seperti sel dendritik, sel limfosit B, sel langerhans
dan makrofag. Oleh karena sel T-CD4 membantu sel limfosit B dan T-CD8,
maka presentasi antigen yang efektif oleh MHC kelas II sangat penting untuk
membangkitkan imunitas seluler dan antibodi (Ostrand-Rosenberg et al, 2002).
2.2.3 Limfosit
2.2.3.1 Limfosit T
Setiap sel T mampu mengenali antigen spesifik yang berikatan dengan sel melalui
T-cell receptor (TCR) (Gambar 2.2). Sekitar 95% sel T, TCR mengandung rantai
polipeptida α dan β. Rantai α dan β dari TCR mengenali peptida antigen yang
telah dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC. Setiap TCR
berhubungan secara nonkovalen dengan kompleks molekul CD3 dan rantai ζ.
CD3 dan protein ζ tidak berikatan dengan antigen, melainkan memberikan sinyalsinyal transduksi pada sel T setelah TCR berikatan dengan antigen. Selain CD3
dan protein ζ, sel-sel T juga mengekspresikan sejumlah molekul nonpolimorfik
yang memiliki fungsinya masing-masing, diantaranya CD4, CD8, CD2, integrin
dan CD 28. CD4 diekspresikan pada 60% sel-sel CD3 matur sedangkan CD 8
diekspresikan pada 30% sel T.
Untuk mengaktifkan sel limfosit T diperlukan dua sinyal, sinyal pertama
adalah saat TCR berikatan dengan molekul MHC-antigen dan koreseptor koreseptor CD4 dan CD 8 berikatan dengan molekul-molekul MHC. Sinyal kedua
diberikan saat terjadi interaksi antara molekul CD 28 pada sel-sel T dengan
molekul-molekul kostimulan B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86) yang diekspresikan
oleh APC(Abbas, 2010).
Gambar 2.2 Aktivasi Limfosit T
Saat sel T teraktivasi oleh antigen dan kostimulator, sel T ini akan
mensekresi protein yang disebut dengan sitokin. Dibawah pengaruh salah satu
sitokin yaitu IL-2, sel-sel T akan berproliferasi menjadi sel-sel limfosit yang
antigen-spesific dalam jumlah yang besar. Sebagian sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel-sel efektor yang akan mengeliminasi antigen, sebagian lagi akan
berdiferensiasi menjadi sel T memori, dengan durasi hidup yang panjang yang
akan merespon paparan antigen berulang dengan cepat(Abbas, 2010).
Sel-sel T CD4+ dan CD8+ memiliki fungsi yang berbeda namun sedikit
tumpang-tindih. Sel-sel T mensekresi sitokin yang mempengaruhi fungsi seluruh
sel-sel yang ada pada sistem imun, termasuk sel T, sel B, sel makrofag dan sel
NK. Terdapat dua subpopulasi CD4+ yang memiliki fungsi yang berbeda yang
dapat dikenali dari jenis sitokin yang diproduksi. Sel T-helper-1 (TH1) mensintesis
dan mensekresi IL-2 dan Interferon-γ (IFN-γ) sementara sel TH2 memproduksi IL4, IL-5 dan IL-13. Subset TH1 berfungsi memfasilitasi reaksi hipersensitifitas tipe
lambat, aktivasi makrofag, dan sintesa antibodi opsonizing dan complementfixing. Subset TH2 membantu sintesa beberapa antibodi dari kelas yang berbeda
diantaranya IgE (di mediasi oleh IL-4 dan IL-13) dan dalam aktivasi eosinofil (di
mediasi oleh IL-5). Sel-sel T CD8+ berfungsi sebagai sel sitotoksik yang
membunuh sel lain(Abbas, 2010).
Mekanisme utama dari imunitas tumor adalah destruksi sel tumor oleh
TCD8+ CTL. Cytotoxic T-cell Lymphocyte (CTL) mempunyai kemampuan
surveillance dengan mengenali dan membunuh sel-sel yang memiliki potensi
malignan yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein-protein mutan
selular atau protein-protein viral onkogenik dan dipresentasikan berikatan dengan
molekul MHC kelas I. Sel-sel CTL yang spesifik terhadap tumor dapat diisolasi
dari hewan maupun manusia dengan tumor-tumor tertentu misalnya melanoma.
Sel-sel mononuklear yang yang berasal dari infiltrat inflamasi pada tumor solid
manusia juga mengandung CTL dengan kemampuan untuk membunuh sel tumor
(Abbas, 2010).
Respon sel TCD8+ yang spesifik terhadap sel tumor memerlukan
presentasi dari APC. Kebanyakan sel-sel tumor tidak mengekspresikan
kostimulator yang diperlukan untuk menginisiasi respon sel T atau molekul MHC
kelas II yang diperlukan untuk menstimulasi sel-sel T-helper yang merangsang
diferensiasi sel-sel TCD8+. Sel-sel tumor atau antigennya diingesti oleh sel-sel
APC host, terutama oleh sel-sel dendritik; antigen-antigen tumor akan diproses
didalam APC dan peptida-peptida yang berasal dari antigen ini akan disajikan
berikatan dengan molekul-molekul MHC kelas I untuk dikenali oleh sel-sel
TCD8+. Sel APC mengekspresikan kostimulator yang memberikan sinyal-sinyal
yang diperlukan untuk diferensiasi sel TCD8+menjadi sel CTL anti-tumor, dan
sel APC mengekspresikan molekul-molekul MHC kelas II yang akan
mempresentasikan
antigen-antigen
tumor
yang
telah
diinternalisasi
dan
mengaktifkan sel-sel T CD4+ helper. Proses ini disebut dengan cross-presentation
atau cross-priming (Abbas, 2010).
Peranan sel-sel T CD4 helper dalam respon imunitas antitumor adalah
dengan memproduksi sitokin untuk membantu perkembangan CTL. Sel-sel T
helper yang spesifik terhadap antigen tumor dapa mensekresi sitokin seperti TNF
dan IFN-γ, yang dapat meningkatkan ekspresi MHC kelas I dari sel-sel tumor dan
meningkatkan sensitivitas dari CTL untuk melisiskan sel tumor. IFN-γ juga dapat
mengaktifkan makrofag untuk membunuh sel-sel tumor(Abbas, 2010).
Gambar 2.3 Mekanisme Cross-priming
2.2.3.2 Limfosit B
Sel-sel limfosit B mengenali antigen melalui B-Cell Receptor (BCR). Sel limfosit
B naif mengekspresikan Imunoglobulin M (IgM) dan IgD pada permukaannya
dan merupakan komponen antigen-binding pada BCR. Setelah distimulasi oleh
antigen, sel B membentuk sel plasma yang mensekresi imunoglobulin yang
merupakan mediator imunitas humoral sebagai tambahan pada imunoglobulin
membran,
kompleks
BCR
mengandung
protein-protein
nonpolimorfik
transmembran yaitu Igα dan Igβ. Mirip dengan fungsi CD3 pada TCR, Igα dan
Igβ tidak berikatan dengan antigen, tetapi membantu memberikan sinyal
transduksi. Sel limfosit B juga mengekspresikan molekul-molekul nonpolimorfik
lainnya yang penting untuk fungsi sel limfosit B diantaranya, reseptor-reseptor
komplemen, reseptor Fc, dan CD 40 (Abbas, 2004).
Sel-sel limfosit B diaktifkan oleh antigen protein maupun nonprotein.
Hasil akhir dari aktivasi sel B adalah sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi. Antibodi yang disekresi oleh sel plasma akan
beredar dalam darah dan mampu menemukan, menetralisir serta mengeliminasi
antigen (Abbas, 2004).
Respon sel limfosit B terhadap protein antigen memerlukan bantuan dari
sel T CD4+ dimana sel T CD4+ mengaktifkan sel limfosit B dengan menarik CD
40 dan dengan mensekresi sitokin. Sel-sel T-helper
yang teraktivasi
mengekspresikan ligand dari CD 40 yang akan berikatan secara spesifik pada
CD40 yang diekspresikan oleh sel limfosit B. Interaksi ini penting dalam maturasi
sel limfosit B dan sekresi antibodi IgG, IgA dan IgE (Abbas, 2005).
Kini antibodi banyak dipakai secara luas dalam pengenalan antigen,
bahkan beberapa antibodi dipakai sebagai anti kanker seperti: Trastuzumab (antiHER2/neu) pada karsinoma payudara, Rituximab (anti-B cell) pada Limfoma Non
Hodgkin, 3F8 (anti-GD2) pada neuroblastoma dan 17-1a (anti-epithelial antigen
KSA) pada kanker kolon (Abbas, 2005).
2.2.4 Sel Natural Killer (NK)
Sel-sel NK dapat membunuh berbagai sel tumor, terutama sel yang tidak
mengekspresikan MHC kelas I tetapi mengekspresikan ligand yang dapat
mengaktivasi reseptor sel NK. Sel-sel NK memberi respon terhadap sel yang tidak
mengekpresikan molekul MHC kelas I karena molekul MHC kelas I dapat
menghambat sel NK. Beberapa tumor mengekspresikan MICA, MICB, dan ULB
yang merupakan ligand untuk mengaktivasi reseptor NKG2D pada sel-sel NK.
Kemampuan tumorisidal sel NK dapat ditingkatkan oleh sitokin diantaranya
interferon dan interleukin (IL-2 dan IL-12) (Abbas, 2010).
2.2.5 Makrofag
Peranan makrofag pada imunitas anti-tumor diketahui secara in vitro, dimana
makrofag yang teraktivasi dapat membunuh banyak sel-sel tumor secara lebih
efisien daripada membunuh sel-sel normal. Namun penyebab makrofag dapat
teraktivasi oleh tumor masih belum diketahui. Makrofag dapat membunuh sel
tumor dengan beberapa mekanisme diantaranya; pelepasan enzim lisosom,
reactive oxygen species, dan nitric oxide. Makrofag teraktivasi juga memproduksi
tumor necrosis factor (TNF), agen yang dapat menginduksi trombosis pada
pembuluh darah tumor (Abbas, 2010).
2.3 Respon Imunitas pada Karsinoma Payudara
Sistem imun dikendalikan dengan menjaga keseimbangan sinyal-sinyal seluler
yang menginisiasi respon imun dan yang secara aktif menghambat inflamasi yang
diinduksi oleh imunitas. Kemampuan untuk menekan imunitas sangat penting
untuk melindungi jaringan normal dari kerusakan lebih lanjut yang disebabkan
oleh respon imun yang destruktif terhadap patogen. Sistem imunitas memiliki
peranan yang kompleks dan integral dalam biologi karsinoma payudara. Sistem
imunitas dapat berperan dalam mengeradikasi tumor dan juga sebaliknya dapat
pula mendukung pertumbuhan tumor. Peranan yang kontradiktif ini memerlukan
pemahaman yang mendalam mengenai sel-sel efektor imunitas, sel-sel tumor, selsel stroma, dan dan faktor-faktor lainnya. Kondisi tersebut diatas dapat dijelaskan
melalui teori Immunoediting. Menurut teori immunoediting suatu varian tumor
dapat bertahan dari mekanisme immune surveilance setelah mengalami suatu
evolusi genetik, sementara yang tidak mampu bertahan dari immune surveilance
akan dieradikasi. (Disis dan Stanton, 2015; Cimino-Mathews, 2015).
Sel-sel imunitas natural/innate, diantaranya makrofag, granulosit, sel mast,
sel dendritik (DC), sel NK (Natural Killer), merupakan pertahanan pertama
terhadap patogen dan benda asing. Ketika homeostasis jaringan mengalami
gangguan, makrofag jaringan dan sel mast akan mensekresi faktor-faktor lokal
yaitu: sitokin, kemokin, mediator bioaktif dan protein-protein matrix-remodelling
yang selanjutnya akan menarik leukosit dari sirkulasi menuju ke jaringan yang
mengalami kerusakan (inflamasi). Pada saat yang bersamaan sel dendritik akan
mengambil antigen asing (termasuk antigen tumor) dan bermigrasi ke organ
limfoid, dimana antigen tersebut akan di presentasikan ke sel-sel imunitas adaptif.
Aktivasi imunitas natural berguna untuk mempersiapkan respon dari imunitas
adaptif yang lebih akurat. Bila agen asing telah dimusnahkan, proses inflamasi
akan mereda dan homeostasis jaringan akan kembali seperti semula (DeNardo dan
Coussens, 2007).
Imunitas proinflamasi tipe I merupakan respon imun yang diperlukan
untuk mengeliminasi kanker. Pada respon imun tipe I, limfosit T-helper CD4
yang disebut dengan Th1 mensekresi sitokin seperti interferon-gamma (IFNgamma) dan TNF-alpha yang mengaktifkan dan meningkatkan fungsi lisis pada
limfosit T-CD8. Sel-sel T tipe I memproduksi sitokin yang meningkatkanmolekulmolekul kostimulan pada APC, yang menyebabkan sel-sel pada sistem imun
innate dapat mempresentasikan protein-protein imunogenik kepada sel-sel T
dengan lebih efektif. Sel-sel T CD8 bersifat sitolitik, dan bila telah berikatan
dengan target melalui interaksi dengan peptida antigenik yang mengandung
molekul-molekul major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan
target, dapat secara langsung melisiskan sel target atau menginduksi terjadinya
cell senescence melalui serangkaian reaksi enzimatik (Disis dan Stanton, 2015).
Karsinoma payudara mampu menstimulasi sistem imunitas. Walaupun
pada awalnya karsinoma dianggap sebagai suatu malignansi yang tidak terlalu
imunogenik, namun berbagai peneliti telah menemukan hubungan antara reaksi
imun intratumoral dengan evolusi karsinoma payudara. Saat ini telah diketahui
dengan jelas bahwa karsinoma payudara memiliki infiltrasi limfosit yang
substansial dan semakin banyak infiltrasi sel T, prognosis akan semakin bagus.
Karsinoma payudara memiliki beberapa mekanisme untuk menghambat infiltrasi
limfosit diantaranya, sel-sel imun yang ditemukan pada microenvironment
karsinoma payudara
merupakan sel-sel tipe II. Sel T CD4 tipe II
mengekspresikan sitokin seperti IL-10 dan IL-6 yang menurunkan kemampuan
imunitas destruktif (Disis dan Stanton, 2015; Gingras, 2015).
2.4 Kemampuan Tumor untuk Menghindari Sistem Imun
Tumor-tumor yang malignan memiliki kemampuan untuk menghindari atau
melawan respon imun. Proses menghindar/evasion melibatkan beberapa
mekanisme yang berbeda. Penelitian yang dilakukan pada tikus memperlihatkan
bahwa respon imun terhadap sel-sel tumor akan menyebabkan timbulnya varian
sel tumor dengan imunogenitas yang rendah, proses ini dinamakan “tumorediting”(Abbas, 2010).
Tumor editing didasari oleh pengertian timbulnya tumor-tumor yang dapat
“escape” dari immunosurveillance. Tumor editing dan escape dapat terjadi oleh
beberapa mekanisme (Abbas, 2010).
1. Antigen-antigen tumor dapat menginduksi terjadinya toleransi imunologi
spesifik. Toleransi dapat terjadi karena antigen-antigen tumor merupakan
self antigen yang dikenali oleh sistem imun atau karena sel tumor
mepresentasikan antigen mereka dalam bentuk yang dapat ditoleransi oleh
limfosit matur (Abbas, 2010).
2. Sel-sel T regulator dapat menekan respon sel T terhadap tumor. Sel-sel T
regulator meningkat jumlahnya pada individu dengan tumor dan sel-sel ini
dapat ditemukan pada infiltrat seluler dari tumor-tumor tertentu (Abbas,
2010).
3. Tumor tidak mengekpresikan antigen-antigen yang menimbulkan respon
imun. Pada tumor yang tumbuh dengan cepat (rapid growing) sering
timbul varian tumor yang tidak mengekspresikan sel tumor. Laju mitosis
yang tinggi dari sel-sel tumor dan instabilitas genetiknya menyebabkan
sering terjadinya mutasi pada gen yang mengkode antigen tumor (Abbas,
2010).
4. Tumor tidak mengekspresikan kostimulator dan MHC kelas II sehingga
tidak
dapat
menginduksi
CTL.
Kostimulator
diperlukan
untuk
menginisiasi respon sel T dan molekul kelas II diperlukan untuk aktivasi
sel T helper, yang diperlukan, pada keadaan tertentu, untuk membantu
diferensiasi CTL. Proses induksi respon sel T yang spesifik terhadap
tumor sering memerlukan mekanisme cross-priming oleh sel dendritik,
yang mengekspresikan kostimulator dan molekul kelas II (Abbas, 2010).
5. Produk-produk dari sel-sel tumor dapat menekan respon imun anti-tumor.
Tumor dapat memproduksi transforming growth factor-β yang dapat
menghambat proliferasi dan fungsi efektor dari limfosit dan makrofag.
Sebagian tumor dapat mengekspresikan Fas ligand (FasL), yang mampu
mengenali reseptor Fas pada leukosit; ikatan antara Fas dengan FasL akan
menginduksi apoptosis pada leukosit (Abbas, 2010).
6. Antigen pada permukaan sel tumor dapat disembunyikan dari sistem imun
oleh molekul glikokaliks, misalnya mukopolisakarida yang mengandung
(sialic acid). Proses ini disebut antigen masking (Abbas, 2010).
2.5 Tumor Infiltrating Lymphocytes (TIL)
Adanya suatu hubungan antara infiltrasi limfosit/Tumor-infiltrative Lymphocytes
(TIL) dengan prognosis karsinoma payudara telah menjadi perhatian para ahli
sejak lama. Saat ini tingginya kadar TIL telah meraih perhatian yang besar karena
dapat menjadi suatu biomarker prediktor suatu pathologic complete response
(pCR) setelah dilakukan kemoterapi neoadjuvant. Studi yang dilakukan oleh
German Breast Group, Denkert dkk memperlihatkan adanya suatu hubungan
yang independen antara persentase TIL intratumoral dengan pCR pada 1058
pasien (odds ratio, 1,36; P=,01). Lymphocyte-predominant breast cancer (LPBC;
yang didefinisikan sebagai infiltrasi limfosit pada stromal atau intratumoral lebih
dari 60%) berhubungan dengan pCR yang tinggi (41,7% vs 12,8%;
P<,0005)(Gingras, 2015; Denkertet al, 2010.).
TIL dapat dibedakan menjadi dua yaitu limfosit intratumoral (limfosit
yang berkontak langsung dengan sel-sel karsinoma) dan limfosit stromal ( limfosit
yang tersebar di dalam stroma tumor tanpa adanya kontak langsung dengan sel-sel
karsinoma.). TIL stromal sering didapatkan dalam jumlah yang lebih tinggi dan
lebih mudah untuk diperiksa(Gingras, 2015; Denkertet al, 2010; Salgadoet al,
2014; Issa-Nummeret al, 2013).
Pada umumnya TIL pada karsinoma payudara adalah limfosit T dengan
komposisi keseluruhan adalah; 75% Limfosit T, 20% limfosit B, <10% Monosit
dan <5% sel NK dan sel NK T. (Ahn, 2015; Gobertet al, 2009; Gu-trantien, 2013;
Ruffel,2011).
Terdapat beberapa subgroup sel T dengan fungsinya masing-masing. Sel T
CD8+/ sel T sitotoksik dapat menghancurkan sel-sel tumor melalui ikatan dengan
MHC kelas I. Aktivitas sel T CD8+ sitotoksik ini diregulasi dan dapat diinkativasi
oleh sel T regulator (Treg), Interleukin (IL) 10, dan sitokin lainnya. Sel T Helper/
T CD4+ (Sel Th) memediasi respon imun dari komponen sel darah putih lainnya.
Sel T helper membantu maturasi sel B menjadi sel plasma dan sel B memori dan
mengaktivasi sel T CD8+ dan makrofag. Sel-sel Th teraktivasi bila berikatan
dengan peptida antigen yang diekspresikan oleh molekul MHC kelas II, yang
terdapat pada permukaan sel APCs. Reaksi imunitas ini disebut dengan reaksi
imunitas tipe II, yang berbeda dengan imunitas tipe I yang lebih banyak
diperankan oleh sel T CD8+. Sesuai dengan sinyal yang diberikan oleh APC, selsel Th dapat berdeferensiasi menjadi berbagai tipe diantaranya Th1, Th2, Th3,
Th17, Th9, atau Tumor- infiltrated follicular helper (Tfh) dan melepaskan sitokinsitokin untuk memulai berbagai reaksi imun yang aktif. Diantara sel Th, sel Treg
berperan dalam meregulasi respon imun adaptif(Ahn, 2015; Abbas, 2013).
Beberapa studi telah menyadari pentingnya sel-sel T dan TIL pada
karsinoma payudara. Tingginya kadar sel-sel T sitotoksik CD8+ berhubungan
dengan memanjangnya survival outcome dan respon yang baik terhadap
kemoterapi. Tingginya kadar sel T CD8+ didapatkan pada subtipe yang tidak
terlalu agresif, seperti tipe luminal, sedangkan kadar sel T CD8+ yang rendah
dijumpai pada karsinoma payudara positif HER 2 dan tipe basal-like. Hal yang
berbeda didapatkan pada studi sel-sel T CD4+ yang masih inkonklusif. Sel Th1,
merupakan sumber utama IFN-γ yang berhubungan dengan prognosis yang baik,
sedangkan sel Th2 memiliki efek yang bertentangan dengan sel Th1 dan
melemahkan respon antitumor(Ahn, 2015).
Studi-studi mengenai sel Treg CD4+ yang mengekspresikan FOXP3 masih
kontroversial karena adanya sel Treg berhubungan baik dengan aktivitas
imunosupresi dan imunostimulasi. Lebih lanjut ditemukan bahwa rasio sel T
CD8+ dengan FOXP3 dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien-pasien
dengan respon yang baik terhadap kemoterapi neoadjuvan pada Triple Negative
Breast Cancer (TNBC)(Ahn, 2015).
Berbagai studi mengenai TIL telah banyak dilakukan baik studi adjuvan
maupun neoadjuvan. Pada umumnya studi yang dilakukan dengan mengevaluasi
TIL stromal dan intratumoral. Pemeriksaan TIL stromal memiliki nilai klinis yang
lebih superior daripada TIL intratumoral. Salah satu temuan penting dari studistudi tersebut ialah nilai prognostik dari TIL stromal pada TNBC. Korelasi yang
positif dari peningkatan TIL stromal dengan survival outcome pada TNBC telah
dilaporkan pada studi BIG 2-98(Ahn, 2015; Loi, 2013).
Efek prognostik dari TIL khususnya pada TNBC dapat dijelaskan melalui
mekanisme neoantigen, karena TNBC memiliki load mutasi yang tinggi
dibandingkan dengan tumor non-TNBC. Tingginya load
mutasi dari TNBC
menyebabkan imunogenitasnya meningkat yang kemudian diikuti dengan
peningkatan TIL(Ahn, 2015; Shah et al, 2012).
Download