II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Tanaman Jarak Pagar

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas. L)
Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini merupakan
tanaman semak atau pohon yang tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh
pada area dengan curah hujan rendah sampai tinggi (200-1500 mm per tahun).
Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah dan saat ini banyak dibudidayakan di
Amerika Selatan dan Tengah, Asia Tenggara, India dan Afrika (Gubitz et al.
1999). Jarak pagar berpotensi untuk memperbaiki lingkungan dan meningkatkan
kualitas hidup penduduk pedesaan di negara tropis karena pemanfaatannya yang
sangat beragam. Tanaman ini dapat digunakan untuk mencegah atau mengontrol
erosi, reklamasi lahan, meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai tanaman pagar.
Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak
teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah.
Bagian-bagian tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al. 2006):
2.1.1. Daun
Daun tanaman jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk dan
bersudut 3 atau 5. Daun tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas dan
bawah lebih pucat dibanding permukaan atas. Daunnya lebar dan
berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang 5-15 cm. Helai
daunnya bertoreh, berlekuk, dan ujungnya meruncing. Tulang daun
menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama. Daunnya dihubungkan
dengan tangkai daun. Panjang tangkai daun antara 4-15 cm.
2.1.2. Bunga
Bunga tanaman jarak pagar adalah bunga majemuk berbentuk
malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu
(putik dan benang sari dalam satu tanaman). Bunga betina 4-5 kali lebih
banyak dari bunga jantan. Bunga jantan maupun bunga betina tersusun
dalam rangkaian berbentuk cawan yang tumbuh di ujung batang atau
ketiak daun. Bunganya mempunyai 5 kelopak berbentuk bulat telur dengan
panjang kurang lebih 4 mm. Benang sari mengumpul pada pangkal dan
berwarna kuning. Tangkai putik pendek berwarna hijau dan kepala putik
6
melengkung keluar berwarna kuning. Bunganya mempunyai 5 mahkota
berwarna keunguan. Setiap tandan terdapat lebih dari 15 bunga. Jarak
pagar termasuk tanaman monoecious dan bunganya uniseksual. Kadang
kala muncul bunga hermaprodit yang berbentuk cawan berwarna hijau
kekuningan.
2.1.3. Buah
Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat
telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar
1 cm. Buah berwarna hijau ketika muda dan berubah menjadi hijau
kekuningan dan coklat atau kehitaman ketika masak. Buah jarak terbagi
menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga dalam
setiap buah terdapat 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna
cokelat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan
rendemen sekitar 35-45% dan beracun.
Tanaman Jarak Pagar
Buah masak
Bunga
Biji jarak
Gambar 1 Tanaman dan bagian tanaman jarak pagar
7
Biji jarak pagar dapat dipisahkan bagian kernel dan cangkang.
Bagian kernel mencapai 60-62.7% bagian biji. Komposisi kimia kernel
dan cangkang biji jarak pagar varietas Cape Verde disajikan pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1 Komposisi kimia kernel dan cangkang biji jarak pagar
Keterangan
Kernel biji jarak Cangkang biji jarak
Kandungan bahan kering (bk, %)
96.6
90.3
Protein kasar (bk, %)
22.2
4.3
Lemak (bk, %)
57.8
0.7
Abu (bk, %)
3.6
6.0
Neutral detergent fiber (bk, %)
3.8*
83.9
Acid detergent fiber (bk, %)
3.0*
74.6
*
Acid detergent lignin (bk, %)
0.2
45.1
*
Dihitung dari nilai yang diperoleh dari sampel bebas lemak
Sumber : Makkar et al. (1998)
2.10
Komposisi Kimia Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas. L)
Daun, ranting, batang, akar serta biji jarak mengandung berbagai macam
senyawa kimia, beberapa diantaranya merupakan senyawa-senyawa aktif.
Senyawa kimia yang terisolasi dari bagian daun dan ranting jarak pagar meliputi
cyclic triterpene stigmasterol, stigmast-5-en-3β,7β-diol, stigmast-5-en-3β,7α-diol,
cholest-5-en-3β,7β-diol, cholest-5-en-3β,7α-diol, campesterol, β-sitosterol, 7keto- β-sitosterol. Selain itu, bagian daun dan ranting mengandung senyawa
flavanoid apigenin, vitexin dan isovitexin (Neuwinger 1994).
Senyawa kimia yang diisolasi dari bagian batang tanaman jarak pagar antara
lain friedelin, epi-friedelinol, tetracyclic triterpene ester jatrocurcin dan scopoletin
methyl ester. Senyawa β-amyrin, β-sitosterol dan juga taraxerol didapatkan
terkandung pada bagian kulit batang tanaman jarak, sedangkan bagian akar
mengandung β-sitosterol, β-D-glucoside, mermesin, propacin, curculathyranes A
dan B dan juga curcusones A-D. Lebih lanjut, diterpenoid jatrophol dan
jatrpholone A dan B, coumarin tomentin, coumerin-lignan jatrophin dan juga
taraxerol juga ditemukan pada akar (Naengchomnong et al. 1994).
Bagian biji jarak merupakan bagian yang paling banyak dikaji mengandung
senyawa aktif. Biji jarak (physic nut, purging nut) memiliki bobot 0.75 g dan
8
daging buah mengandung protein 27-32% dan minyak 58-60%. Makkar et al.
(1998) melaporkan adanya total fenol serta tannin pada kernel dan cangkang biji
beberapa varietas jarak pagar (Cape verde, Nicaragua, Ife-Nigeria). Pada bungkil
jarak pagar (meal) ditemukan adanya aktivitas tripsin inhibitor, lektin, saponin,
juga phytat, sedangkan ester forbol ditemukan pada bagian kernel jarak. Senyawa
curcin dan ester forbol yang merupakan senyawa racun dan antinutrisi paling
banyak ditemukan pada bagian biji.
Komponen toksik utama pada bungkil jarak adalah hemaglutinin bernama
curcin. Curcin menghambat sintesis protein in vitro. Senyawa toksik lain adalah
lektin (51-102 mg bungkil/ml uji produksi hemaglutinasi), fitat (8.9-10.1%),
saponin (2.0-3.4% ekuivalen diosgenin) dan inhibitor tripsin (21.1-26.5 mg tripsin
dihambat/gram bungkil kering). Penelitian terhadap berbagai varietas jarak di
Meksiko menunjukkan kandungan tripsin inhibitor 33.1-36.4 mg tripsin/gram
bungkil kering, fitat 8.5-9.3% ekuivalen asam fitat, saponin 2.1-2.9% dan lektin
0.35-1.46 mg/ml sampel dibutuhkan untuk aglutinasi (Martinez-Herrera et al.
2006).
Menurut Aregheore et al. (2003) komponen toksik dan iritan pada biji jarak
adalah β-D-glycoside dari sitosterol, curcin (lektin), flavonoid vitexin, isovitexin
dan 12-deoxyl-16-hydroxyphorbol (ester forbol). Lektin dan inhibitor tripsin
dapat dikurangi dengan pemanasan 121oC, 25 menit (Aderibigbe et al. 1997), fitat
sedikit berkurang dengan iradiasi 10 kGy, sementara ester forbol bersifat stabil
dan tahan terhadap suhu penyangraian sampai 160oC, 30 menit, akan tetapi
perlakuan kimia dapat mengurangi kandungannya (Makkar dan Becker 1997).
Ester forbol merupakan ester dari tiglian diterpen. Komponen penting dari
kelompok senyawa ini adalah tiglian, suatu diterpen tetrasiklik yang memiliki
gugus alkohol. Hidroksilasi senyawa ini dengan berbagai posisi dan jenis asam
melalui ikatan ester menghasilkan sejumlah besar senyawa yang disebut ester
forbol (Goel et al. 2007) (Gambar 2). Terdapat dua kelompok forbol yaitu α dan β
yang dibedakan berdasarkan gugus OH pada cincin C. Yang termasuk β phorbol
aktif yaitu TPA (4ß-12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dan PDBU (4ßphorbol-12,13-dibutyrate).
9
Ester forbol bersifat mengaktifkan protein kinase C (PKC) yaitu enzim
kunci pada penghantaran sinyal dan proses pertumbuhan kebanyakan sel dan
jaringan. Interaksi yang berlanjut antara ester forbol dengan PKC menyebabkan
respon mitogenik dan pembentukan tumor. Ester forbol juga menyebabkan
meningkatnya proliferasi sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit,
inflamasi, produksi prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986, diacu
dalam Evans 1986).
Tiglian
Forbol
Gambar 2 Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA) (Evans 1986)
Ester forbol telah diidentifikasi sebagai senyawa racun utama pada jarak
pagar. Kandungan ester forbol pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi
oleh varietas. Makkar et al. (1998) malaporkan kandungan ester forbol untuk
empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang
diperoleh dari Nicaragua mengandung ester forbol paling tinggi yaitu 2.7 mg/g
kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mg/g
kernel. Makkar et al. (1998) juga menemukan bahwa biji dari buah muda (belum
matang) mengandung senyawa ester forbol yang lebih tinggi.
Senyawa ester forbol secara alami ditemukan pada tanaman famili
Euphorbiaceae dan Thymelaeaceae. Beberapa tanaman yang dilaporkan
mengandung senyawa toksik ester forbol adalah Sapium indicum, S. japonicum,
10
Euphorbia frankiana, E. cocrulescence, E. ticulli, Croton spareiflorus, C.
tigilium, C.ciliatoglandulifer, Jatropha curcas, Excoecaria agallocha, dan
Homalanthus nutans (Beutler et al. 1989). Haas et al. (2002) telah melaporkan 6
jenis ester forbol dalam minyak jarak pagar, dimana semua senyawa memiliki
bagian diterpen yang sama yaitu 12-deoxy-16-hydroxyphorbol.
Makkar dan Becker (2009) melaporkan distribusi senyawa ester forbol pada
tanaman jarak pagar (Tabel 2). Kernel biji jarak pagar mengandung senyawa ester
forbol tertinggi yaitu 2-6 mg/g sampel kering, sedangkan konsentrasi terendah
ditemukan pada kayu tanaman jarak pagar (0,09 mg/g sampel kering). Adapun
pada getah tanaman jarak tidak terdeteksi senyawa tersebut.
Tabel 2 Kandungan ester forbol pada beberapa bagian tanaman jarak pagar
Bagian tanaman
Ester forbol (mg/g sampel kering)*
Kernel
2,00 – 6,00
Daun
1,83 – 2,75
Batang
0,78 – 0,99
Bunga
1,39 – 1,83
Bud (tunas)
1,18 – 2,10
Akar
0,55
Getah
tidak terdeteksi
Kulit (bagian luar, coklat)
0,39
Kulit (bagian dalam, hijau) 3,08
Kayu
0,09
* equivalent dengan phorbol 12 myristate 13 acetate
Sumber : Makkar dan Becker (2009)
Ekstraksi pelarut merupakan cara yang banyak digunakan untuk
menghilangkan senyawa ester forbol pada jarak pagar. Perlakukan panas yang
diikuti dengan ekstraksi pelarut untuk menghilangkan senyawa ester forbol dapat
mengeliminasi banyak senyawa beracun dan antinutrisi pada varietas jarak yang
beracun (Makkar dan Becker 1997). Perlakukan panas yang dikombinasikan
dengan perlakukan kimia dengan NaOH dan natrium hipoklorit dapat menurunkan
kandungan ester forbol hingga 75%. Kajian deasidifikasi minyak jarak dengan
NaOH dan KOH dan proses bleaching dengan beberapa bahan dapat mengurangi
ester forbol hingga 55%, dan proses degumming dan deodorisasi dapat
menurunkan kadar ester forbol menjadi lebih rendah (Hass dan Mittelbach 2000).
11
Selain cara fisik dan kimia, penggunaan larva Hyles euphorbiae dapat
memetabolisme 70-90% ester forbol (Hundsdoerfer et al. 2005). Selain itu enzim
liver carboxylesterase dari tikus juga dapat mendetoksifikasi senyawa forbol
(Mentlein 1986).
Selain memiliki efek negatif pada manusia dan hewan, senyawa ester forbol
juga memiliki sifat-sifat yang bermanfaat. Beberapa senyawa forbol alami mampu
menghambat tumor, menghambat replikasi virus (HIV) dan memiliki aktivitas
antileukemic yang potensial sebagai obat kanker darah. Dilaporkan bahwa TPA
merupakan satu-satunya penghambat potensial HIV-1 yang diinduksi CPEs
(cytopathic effects ) dengan nilai IC100 0.48 ng/ml. TPA juga dapat menghasilkan
perubahan struktur pada parasit Leishmania amazonensis pada konsentrasi 20
ng/ml (Chan-Bacab dan Pe˜na-Rodr´ıguez 2001).
Senyawa ester forbol bertanggung jawab terhadap reaksi iritasi kulit,
inflamasi (peradangan) dan pembentukan tumor. Mekanisme peradangan yang
disebabkan oleh senyawa ester forbol disajikan pada Gambar 3.
Ester forbol
Pelepasan histamin
Perubahan pembuluh darah
Aktivasi integrin pada
leukosit
Pelepasan interleukin
(IL-2)
Pelepasan protease, sitokin
dan aktivasi NADPH
oksidase
Kebocoran plasma
Migrasi sel
transendothelial
Ekspansi klonal
Kerusakan jaringan
Bengkak, panas,
kemerahan
Rasa sakit
Gambar 3 Respon peradangan yang diakibatkan oleh senyawa ester forbol
(Goel et al. 2007)
Senyawa ester forbol dapat menyebabkan beberapa reaksi ketika masuk ke
dalam jaringan, antara lain yaitu pelepasan histamin, aktivasi integrin pada
leukosit, pelepasan interleukin (IL-2) dan pelepasan protease, sitokin dan aktivasi
NADPH oksidase. Pelepasan histamin menyebabkan vascular remodelling yang
12
diikuti dengan pelepasan plasma yang bisa mengakibatkan tumor, kemerahan dan
rasa panas. Aktivasi integrin pada leukosit menyebabkan migrasi sel
transendotelial, sedangkan pelepasan interleukin (IL-2) menyebabkan ekspansi
klonal. Adapun pelepasan protease, sitokin dan aktivasi NADPH oksidase
menyebabkan kerusakan jaringan yang akhirnya menyebabkan rasa sakit (Goel et
al. 2007).
Sebagai promotor tumor, senyawa ester forbol sendiri tidak menyebabkan
tumor, akan tetapi memicu pertumbuhan tumor bagi sel/jaringan yang telah
terpapar dengan senyawa karsinogen pada dosis tertentu ataupun yang telah
mengalami mutasi. Dengan kata lain senyawa ester forbol merupakan kokarsinogen. Sifat ko-karsinogen ini menjadi jelas dengan adanya penelitian
Berenblum (1941), diacu dalam Goel et al. (2007), yang mendapatkan bahwa
minyak croton (Croton tiglium) dapat meningkatkan pembentukan tumor ketika
diaplikasikan pada kulit tikus bersamaan ataupun terpisah dengan aplikasi dosis
subefektif karsinogen hydrocarbon 3,4-bezpyrene. Lebih lanjut, Berebblum and
Shubik (1947), diacu dalam Goel et al. (2007) mendapatkan bahwa peningkatan
produksi tumor hanya terlihat ketika minyak croton diaplikasikan setelah aplikasi
karsinogen, bukan sebelumnya.
2.11
Senyawa Metabolit Sekunder pada Tanaman
Senyawa metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa kimia pada
tanaman yang distribusinya sangat beragam dari tanaman satu dengan yang lain.
Beberapa senyawa metabolit sekunder tersebut memiliki penting pada tanaman
antara lain sebagai zat pertumbuhan tanaman, komponen pigmen dan bau pada
bunga, zat antiherbivora, zat antifungi, serta membantu proses simbiosis dengan
tanaman tertentu (Harborne 1999).
Terdapat tiga kelas utama senyawa metabolit sekunder yaitu senyawa
terpenoid, alkaloid dan senyawa metabolit mengandung nitrogen lainnya serta
kelas senyawa fenolik. Terpenoid dicirikan oleh biosintesis awal yang berasal dari
isopentenil pirofosfat dan sifat lipofilik yang dimiliki oleh senyawa tersebut.
Senyawa terpenoid terbentuk dari satuan isoprene, dan dibedakan menjadi
beberapa golongan berdasarkan jumlah sat uan isoprenenya yaitu dari dua unit
13
(C10) hingga delapan unit (C40). Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa
mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang
mudah menguap (C10 dan C15), diterpen yang lebih sukar menguap (C20) sampai
ke senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen
karotenoid (C40) (Harborne 1999).
Sifat umum senyawa terpenoid adalah larut dalam lemak, dan pada
tanaman sebagian besar terdapat pada bagian sitoplasma sel, sebagian kecil
terdapat dalam sel kelenjar khusus permukaan daun, daun dan daun bunga.
Ekstraksi terpenoid dari jaringan tanaman dilakukan menggunakan eter minyak
bumi, eter atau kloroform serta dapat dipisahkan secara kromatografi
menggunakan pelarut-pelarut tersebut. Senyawa terpenoid umumnya tidak
berwarna kecuali senyawa karotenoid (Harborne 1987).
Salah satu golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah
triterpenoid. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan komponen aktif
dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit gangguan kulit,
berfungsi sebagai antifungi, insektisida, antibakteri atau virus (Robinson 1995).
Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa
yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (Harborne
1987).
Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah
fitosterol yang terdiri dari sitosterol ( - sitosterol), stigmasterol, dan kampesterol.
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne 1987). Steroid
alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan
sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa
steroid dapat digunakan sebagai dasar untuk pembuatan obat.
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dihasilkan dari grup
steroid atau triterpen yang berikatan dengan gula, senyawa ini memiliki pengaruh
biologis yang menguntungkan yaitu bersifat sebagai hipokolesterolemik dan
antikarsinogen serta dapat meningkatkan sistem imun (Meskin et al. 2002).
Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara
berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah
pelepasan protein dan enzim dari dalam sel (Zablotowicz et al. 1996).
14
Alkaloid adalah senyawa metabolit tanaman mengandung nitrogen yang
paling umum. Alkaloid merupakan senyawa organik basa yang mengandung atom
nitrogen pada strukturnya sebagai bagian dari sistem siklik. Keberadaan senyawa
alkaloid pada tanaman tingkat tinggi sebagai senyawa metabolit sekunder cukup
terbatas. Hal ini berkaitan dengan senyawa nitrogen sebagai penyusun senyawa
alkaloid yang umumnya terbatas pada tanaman (Harborne 1999).
Senyawa fenol meliputi beragam senyawa yang memiliki ciri yang sama
yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih grup hidroksil. Senyawa
fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya senyawa fenol sering
kali berikatan dengan gula sebagai glikosida. Flavanoid merupakan golongan
terbesar dari senyawa polifenol. Selain itu fenol monosiklik sederhana,
fenilpropanoid, dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah yang besar. Lignin,
melanin dan tannin yang merupakan polimer penting dalam tumbuhan adalah
senyawa fenolik. Kadang-kadang senyawa fenolik dijumpai pada protein, alkaloid
dan diantara terpenoid (Harborne 1987).
Harborne (1999) mengklasifikasikan senyawa-senyawa fenol menjadi
beberapa kelas meliputi 1) senyawa fenol sederhana, benzoquinones, 2) Asam
hidroksibenzoat, 3) Acetophenon, asam fenil asetat, 4) Asam hidroksisinamat,
fenilpropanoid yang terdiri dari kaumarin, isokaumarin, kromone dan kromene, 5)
Naptoquinon, 6) Xanthon, 7) Stilben, antraquinon, 8) flavanoid dan isoflavanoid,
9) lignan dan neolignan, 10) Biflavanoid, 11) lignin dan 12) Tanin terkondensasi
(flavolan atau proantosianidin). Flavanoid merupakan golongan terbesar dari
senyawa polifenol.
2.12
Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Aktif
Proses ekstraksi dan isolasi senyawa metabolit sekunder dari tanaman
dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yang dapat dibagi menjadi 4 jenis
berdasarkan mediumnya yaitu cairan, aliran superkritis, uap dan gas. Ektraksi
pelarut merupakan cara yang paling umum dan banyak digunakan, dimana secara
teknis dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi
soxhlet (Van Beek, 1999). Maserasi merupakan proses perendaman sampel
dengan pelarut organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Perkolasi
15
merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga senyawa
organik akan terbawa oleh pelarut. Teknik perkolasi hanya efektif untuk senyawa
yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Sokletisasi merupakan
proses ekstraksi menggunakan soxhlet yang disertai dengan pemanasan. Teknik
ini akan menghemat pelarut karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu
membasahi sampel dan cocok untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas
(Briger 1969).
Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi akan memberikan efektifitas
yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa dalam bahan. Pelarut
metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi
senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan semua golongan senyawa
metabolit sekunder (Briger 1969). Daftar pelarut yang umum digunakan diurut
berdasarkan tingkat kepolaran disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Tingkat kepolaran beberapa jenis pelarut
Pelarut
Heksan
Toluen
Etil eter
Diklorometan
Kloroform
Etil asetat
Butanon (metil etil keton)
Aseton
Metanol
Air
Sumber : Houghton and Raman (1998)
Indek kepolaran
0,1
2,4
2,8
3,1
4,1
4,4
4,7
5,1
5,1
10,2
Proses separasi/pemisahan umum dilakukan setelah diperoleh ekstrak
kasar yang mengandung berbagai macam senyawa baik yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan. Dengan proses pemisahan tersebut akan diperoleh senyawa
yang memang benar-benar diinginkan dalam bentuk yang lebih murni, sehingga
dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Cukup banyak metode-metode pemisahan yang
telah digunakan antara lain partisi pelarut, kromatografi, teknik aliran balik
(Countercurrent), kromatografi cair, elektroforesis kapiler, kromatografi cair
16
superkritis, kromatografi gas, distilasi vakum, presipitasi dan kristalisasi (Van
Beek, 1999). Proses pemisahan partisi pelarut merupakan teknik pemisahan tahap
awal yang paling umum dilakukan karena beberapa pertimbangan antara lain tidak
membutuhkan peralatan khusus, kapasitas yang lebih besar, proses penggandaan
skala mudah, pelarut dapat disesuaikan dengan senyawa yang akan dipisahkan,
relatif lebih cepat dan konsumsi pelarut lebih sedikit.
2.13
Zat Antimikroba
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Fardiaz (1987) menyatakan
bahwa zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik, atau
menghambat germinasi spora bakteri.
Zat antibakteri (antibacterial agent) banyak digunakan dalam produkproduk kosmetik dan rumah tangga karena senyawa ini memberikan efek
bakterisida dan bakteriostatik selama penggunaan. Fungsi lain dari zat antibakteri
adalah untuk melindungi produk selama penyimpanan dengan menyediakan efek
pengawetan melawan bakteri. Dengan mempertimbangkan jenis mikroba lain
selain bakteri seperti kapang dan khamir, maka digunakan istilah antimikroba
(Siquet dan Devleeschouwer 2001).
Zat antimikroba (antimicrobial agent) banyak digunakan dalam formulasi
produk seperti sabun batang, sabun cair, cairan pencuci tangan, deodoran dan
antiperspiran, produk-produk perawatan mulut seperti pasta gigi dan pencuci
kumur (cairan pencuci mulut) serta produk pencuci peralatan rumah tangga.
Sabun batang antibakteri mengandung triclocarbon (TCC) sebagai komponen
aktifnya, sedang sabun cair diformulasikan dengan triclosan hingga maksimal 1%.
Produk-produk
alumunium
deodoran
atau
dan
kombinasi
antiperspiran
menggunakan
zirkonium-alumunium
seperti
garam-garam
Al-Zi-Tri/tetra
chlorydex glycinate sebagai komponen aktif. Sedangkan komponen aktif utama
yang digunakan dalam pasta gigi dan cairan pencuci mulut adalah triclosan,
klorheksidin dan juga alkohol. Produk-produk pencuci piring (dishwashing
17
product) banyak menggunakan triclosan, minyak atsiri dan senyawa-senyawa lain
(Siquet and Devleeschouwer 2001).
Beberapa persyaratan zat antimikroba dalam fungsi pengawetan produk
kosmetik menurut Siquet and Devleeschouwer (2001) adalah sebagai berikut:
 Compatible dengan komponen lain dalam formula produk
 Dapat mempertahankan khasiat dalam jangka waktu lama
 Bersifat non toksik bagi konsumen.
 Memiliki koefisien partisi air-minyak yang bagus
 Tidak terinaktivasi oleh faktor-faktor luar ( pH, kondisi proses)
 Perlu diperhatikan juga kelarutan dan volatilitasnya
Menurut Pelczar et al. (1993), aktivitas antimikroba dimiliki senyawasenyawa kimia tertentu seperti fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen,
logam berat, detergen, dan senyawa amonium kuartener. Masing-masing senyawa
memiliki mekanisme khusus dalam menghambat atau membunuh mikroba.
Senyawa fenol dan senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan
mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahanbahan intraseluler serta dapat mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti
enzim. Alkohol akan mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dan
membran sel mikroba; halogen yang terdiri dari iodium, klor, dan bromin dapat
mengoksidasi dan merusak organel penting dari sel mikroba, sedangkan logam
akan menginaktifkan protein seluler. Deterjen akan merusak membran sitoplasma
dan menyebabkan kebocoran bahan intraseluler, sedangkan senyawa amonium
kuarterner akan mendenaturasi protein, mengganggu proses metabolisme dan
merusak membran sitoplasma.
Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara
meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan
protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang
bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam
amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar
mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada
konsentrasi yang sangat rendah (Prindle 1983). Senyawa fenol mampu
18
memutuskan ikatan peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah
menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel
dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein
dan fospolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara
hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya
kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan
biosintesa enzim – enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme.
2.14
Zat Antioksidan
Senyawa antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat
oksidasi di dalam bahan khususnya senyawa lipid. Antioksidan harus mampu
menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam
oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell 1990).
Autooksidasi merupakan reaksi rantai radikal bebas yang mekanismenya
diawali oleh proses inisiasi yang menyebabkan lepasnya gugus H, sehingga
membentuk radikal lemak. Tahap selanjutnya adalah propagasi yaitu radikal
lemak bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksida yang
selanjutnya dapat bereaksi kembali dengan lemak tak jenuh sehingga terbentuk
hidroperoksida dan radikal lemak yang dapat bereaksi kembali dengan oksigen
untuk membentuk radikal peroksida dan begitu seterusnya (Wong 1989). Reaksi
oksidasi lemak dapat dipercepat oleh cahaya, panas, peroksida lemak atau
hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin
seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksigenase
(Winarno 2002).
Antioksidan dapat memperlambat atau mencegah reaksi oksidasi lipid
dengan
beberapa
mekanisme,
dimana
mekanisme
ini
dijadikan
dasar
pengelompokan antioksidan. Antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan
primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer dapat memecah rantai dan
mendonorkan atom hidrogennya ke radikal lemak dan radikal turunannya
sehingga menjadi stabil. Antioksidan sekunder dapat memperlambat laju
autooksidasi antara lain dengan mekanisme pengikatan ion metal, penangkapan
19
oksigen, pemecahan hidroperoksida menjadi non radikal, penyerapan radiasi
ultraviolet atau pendeaktifan oksigen singlet (Gordon 1990).
Antioksidan primer pada umumnya merupakan senyawa fenolik seperti
tokoferol dan alkil gallat. Aktivitas antioksidan senyawa fenolik ditentukan oleh
substituennya (Maslarova 2001). Adapun Gordon (1990) dan Jadhav (1996)
menyatakan bahwa aktivitas antioksidan senyawa fenolik tergantung pada
konsentrasi. Pada konsentrasi tinggi, antioksidan fenolik dapat bersifat sebagai
prooksidan yang disebabkan oleh keterlibatan senyawa fenolik tersebut dalam
menginisiasi reaksi oksidasi.
Contoh antioksidan sekunder antara lain asam askorbat, askorbil palmitat,
asam eritrobat serta natrium eritrobat. Senyawa-senyawa tersebut berperan
sebagai oxygen scavenger, yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen dan
menghilangkannya dari sistem (Gordon 1990). Contoh lain antioksidan sekunder
adalah asam sitrat, asam amino, asam etilendiaminatetra asetat (EDTA) yang
mampu mengkelat logam. Ketiga senyawa yang terakhir sering disebut sebagai
antioksidan sinergis karena mampu meningkatkan peran antioksidan fenolik
namun memiliki aktivitas yang kecil ketika digunakan sendiri.
Antioksidan dikelompokkan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu
antioksidan sintetik yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia dan antioksidan
alami yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami. Butil hidroksi anisol
(BHA), butil hidroksi toluen (BHT), tert butil hidroksi quinon (TBHQ), propil
galat dan tokoferol merupakan antioksidan sintetik yang penggunaannya sudah
sangat luas dan tersebar di seluruh dunia (Buck 1991).
Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian
dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dsb. Menurut Pratt dan
Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umum terkandung dalam antioksidan
alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavanol,
isoflavon, flavon, katekin, dan flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol dan
asam organik polifungsi. Tokoferol merupakan antioksidan alami yang telah
diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial.
Empat kelompok senyawa yang tergolong antioksidan alami yang sangat
penting adalah vitamin E, vitamin C, senyawa tiol dan flavanoid. Vitamin
20
merupakan antioksidan yang paling banyak diaplikasikan pada produk-produk
topikal (Weber et al. 2001). Formulasi antioksidan tersebut dalam produk
kosmetik dinyatakan dapat memberikan perlindungan, melembabkan dan dapat
melawan penuaan kulit (Burke 2006).
Termasuk dalam kelompok antioksidan alami adalah senyawa produk
reaksi Maillard. Nakamura et al. (1992) menyatakan bahwa adanya konjugasi
ovalbumin dengan dekstran atau galaktomanan melalui reaksi Maillard antara
gugus amino bebas dalam protein dan gugus karbonil pereduksi dalam
polisakarida dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal bebas oleh
ovalbumin. Aktivitas antioksidan dalam sistem asam linoleat juga ditunjukkan
oleh produk reaksi Maillard hasil pemanasan campuran lisin dan madu (Antony et
al. 2000), sedangkan Yoshimura et al. (1997) melaporkan aktivitas penghambatan
radikal bebas dari produk reaksi Maillard hasil pemanasan glukosa-glisin.
BHT dan BHA merupakan antioksidan sintetik yang umum digunakan
dalam produk kosmetik (pelembab, produk riasan, pewangi) sebagai antioksidan
dan pengawet. Lebih lanjut dinyatakan bahwa BHA bersifat toksik bagi sistem
imun, sedangkan BHT kemungkinan bersifat toksik bagi kulit, paru-paru, hati
serta sistem imun. Meskipun demikian CIR (Cosmetic Ingredient Review) untuk
produk personal care menyatakan bahan tersebut aman untuk formulasi kosmetik
(Steinberg 2010).
2.15
Sifat Toksisitas
Toksisitas suatu bahan adalah kapasitas suatu bahan untuk menciderai
suatu organisme hidup. Informasi toksisitas suatu bahan dapat diperoleh dengan
mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan,
pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan
kultur sel dari mamalia di laboratorium, dan pemaparan bahan kimia terhadap
manusia.
Uji toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi 2 golongan, yaitu toksisitas
umum dan toksisitas khusus. Uji toksisitas umum meliputi berbagai pengujian
yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada
hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, sub akut
21
atau subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi,
karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan reproduksi serta toksisitas kulit dan
mata serta perilaku (Loomis 1978).
Uji toksisitas akut yang berhubungan dengan kulit (acute dermal toxicity
testing) dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efek-efek lokal,
terutama iritasi dan korosi pada kulit (Barile 2007). Metode umum yang
digunakan adalah Draize Skin Test. Draize skin test pertama kali dipublikasikan
oleh Draize et al. (1944) yang merupakan kajian kuantitatif iritasi kulit sebagai
panduan untuk keamanan produk. Draize et al. (1944) mendefinisikan iritant lokal
utama sebagai senyawa yang menghasilkan reaksi radang kulit. Proses peradangan
yang tergolong sebagai iritasi kulit dicirikan dengan adanya edema (akumulasi
cairan di bawah kulit dan ruang interstisial) dan erythema (kemerahan kulit akibat
peningkatan aliran darah lokal).
Kajian iritasi kulit dirancang untuk meniru pemaparan pada manusia dan
biasa dilakukan pada kelinci. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan nilai indek
iritasi kulit/PDII (Primary Dermal Irritation Index) dari suatu bahan. Klasifikasi
potensi iritasi kulit disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Klasifikasi potensi iritasi kulit
Klasifikasi PDII
Skor
Non iritasi
0,0
Iritasi diabaikan/lemah
>0,0- 0,5
Iritasi ringan
>0,5- 2,5
Iritasi moderat/sedang
>2,5- 5,0
Iritasi parah/berat
>5,0- 8,0
Sumber : Auletta (2004) di dalam Barile (2007)
Irritant Contact Dermatitis (ICD) merupakan suatu reaksi kulit yang
dihasilkan karena terpaparnya kulit dengan iritant. Reaksi kulit ini bersifat sangat
komplek, yang tergantung pada faktor-faktor endogenous maupun eksogenous
seperti faktor genetik individu, sifat dari bahan pengiritasi (irritant) serta faktor
lingkungan. Ketika senyawa iritant kontak dengan kulit akan timbul reaksi non
spesifik yang mengganggu fungsi perlindungan kulit, menyebabkan kerusakan
selular dari lapisan epidermis secara langsung yang berakibat pada pelepasan
22
senyawa-senyawa mediator peradangan. Potensi iritasi kulit dipengaruhi oleh sifat
fisik iritant seperti pKa yang merupakan konstanta disosiasi asam (Mailbach dan
Watkins 2009). pKa digunakan untuk memprediksi potensi iritasi kulit akut untuk
senyawa asam dan basa. Asam dengan pKa kurang dari 4 dan basa dengan pKa
lebih dari 8 sangat bersifat iritasi/irritative (Hogan 2009).
Hogan (2009) mendefinisikan ICD sebagai reaksi peradangan kulit yang
ditunjukkan dengan erythema, edema dan pembentukan kerak. ICD merupakan
respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia secara langsung yang
melepaskan mediator-mediator peradangan yang kebanyakan berasal dari sel-sel
epidermis. Senyawa yang bersifat korosif akan menyebabkan kematian sel
epidermis secara langsung. Perubahan-perubahan patofisiologi yang teridentifikasi
dari ICD meliputi : terganggunya lapisan pelindung kulit, perubahan sel epidermis
dan pelepasan sitokin.
Banyak senyawa-senyawa kimia dengan konsentrasi dan waktu pemaparan
yang cukup dapat menyebabkan iritasi kulit. Iritant kulit yang bersifat ringan/low
grade antara lain sabun, detergen dan air. Sedangkan pelarut dapat menyebabkan
iritasi kulit lain, yaitu dengan menghilangkan minyak dan lemak esensial pada
kulit yang meningkatkan kehilangan air dan menyebabkan kulit menjadi lebih
rentan terhadap irritant (Hogan 2009).
Komponen dalam kosmetik yang berpotensi mengiritasi kulit antara lain
zat pengawet (zat antimikroba), antioksidan, pewangi, pewarna dan pelindung
UV. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut sering berada dalam
formula kosmetik dalam jumlah kecil dan tidak mempengaruhi keseluruhan
potensi iritasi dari produk akhir. Komponen tersebut lebih sering diperhatikan
karena reaksi alergi (Barel 2001).
2.16
Sifat Alergenitas
Secara umum alergi adalah suatu reaksi kekebalan yang menyimpang/
berubah yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Alergi adalah
respon imun sekunder yang disebabkan adanya zat atau senyawa tertentu yang
dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan (Bellanti 1978). Zat atau senyawa
yang dapat menimbulkan alergi disebut dengan alergen.
23
Alergi dapat dikelompokkan berdasarkan organ yang diserang (alergi kulit,
hidung, mata), berdasarkan sumber alergen (alergi makanan, protein hewan,
getah) maupun berdasarkan gejala/respon alergi yang ditimbulkan (Ring 2005).
Berdasarkan respon alergi, dikenal rhinitis, asma, anaphylaxis, alergi makanan
dan alergi kulit. Rhinitis dicirikan dengan bersin-bersin, pembengkakan lokal
saluran pernafasan, keluar cairan dan iritasi hidung yang disebabkan oleh
terhirupnya alergen. Asma dicirikan oleh sesak nafas karena penyempitan saluran
pernafasan yang disebabkan oleh aktivasi mastosit pada saluran pernafasan bagian
bawah oleh alergen yang terhirup. Alergi kulit dicirikan dengan urtikaria akut dan
eksim yang ditandai dengan kemerahan dan pembengkakan kulit akibat alergen
memasuki kulit baik melalui gigitan serangga, kontak langsung maupun melalui
darah (obat atau makanan yang tertelan). Alergi kulit dapat disebabkan oleh
terpaparnya kulit pada obat atau senyawa-senyawa kimia tertentu (Barile 2007).
Goossens (2001) menyatakan bahwa penggunaan produk kosmetik pada
kulit dapat menyebabkan beberapa reaksi seperti iritasi, fototoksik, alergi kontak
dan fotokontak juga urtikaria kontak. Alergi kontak terhadap produk kosmetik
dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor
antara
lain
frekuensi
penggunaan,
komposisi/formula produk, konsentrasi kandungan bahan/komposisi, penggunaan
ingredient kosmetik tertentu pada obat-obatan, senyawa-senyawa penguat
penetrasi produk, lokasi penggunaan produk, kondisi kulit, waktu kontak dan
frekuensi peggunaan dan efek kumulatif.
Barel (2001) mengklasifikasikan efek yang tidak diinginkan dari kosmetik
akibat ingredient tertentu menjadi 7 kategori, yaitu 1) iritasi dan urtikaria kontak,
2) alergi kontak, 3) reaksi fotosensitif, 4) acnegenesis dan comedogenesis, 5)
perubahan warna kulit dan appendages, 6) efek samping sistemik dan 7) efek
samping lokal lainnya. Alergi kontak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang
dimediasi oleh sistem imun.
Beberapa penyakit hipersensitivitas kulit antara lain urtikaria, penyakit
bulosa, vaskulitis, dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak alergi
merupakan hipersensitivitas lambat yang dipacu oleh sel T yang diawali oleh
antigen yang dipresentasikan sel Langerhans di epidermis yang selanjutnya
24
dibawa ke kelenjar getah bening regional dan mensensitasi limfosit. Sejumlah
bahan kimia dapat menginduksi reaksi ini (Baratawidjaja 2006).
Dermatitis kontak alergi sering disebut juga dengan sensitisasi kulit.
Reaksi sensitisasi kulit muncul dari respon imun terhadap protein kulit yang telah
dimodifikasi oleh suatu kovalen dari bahan kimia reaktif dengan berat molekul
rendah. Proses ini terjadi dalam 2 tahap yaitu induksi dan elisitasi. Pada tahap
induksi, sistem imun akan bereaksi dengan senyawa kimia yang berpenetrasi
dalam kulit yaitu dengan memperbanyak sel T yang mampu mengenali dan
merespon terhadap senyawa kimia tersebut. Sedangkan pada tahap elisitasi,
paparan terhadap bahan kimia akan menimbulkan peradangan kulit yang dikaitkan
dengan dermatitis kontak alergi (Basketter 2008).
Menurut Barile (2007), respon reaksi sensitisasi kulit memerlukan
minimal 24-72 jam, dan reaksi dikarakterisasi sebagai jenis hipersensitivitas
tertunda tipe IV. Respon berkisar dari iritasi ringan yang menimbulkan eritema
dan indurasi, hingga munculnya eksim, kulit terbakar hingga kulit pecah.
Pengujian alergi melibatkan uji invivo dan invitro (Arshad et al. 2005).
Yang termasuk uji invivo adalah tes kulit, yang umum dilakukan karena cukup
cepat, dapat diandalkan dan relatif murah. Terdapat tiga tipe tes kulit yang umum
dilakukan, yaitu:
1. Skin Prick Test (SPT)
SPT dilakukan dengan meletakkan 1 tetes cairan yang mengandung
allergen di atas kulit, dan rangkaian garukan atau tusukan jarum dilakukan
sehingga cairan dapat memasuki kulit. Perubahan positif pada kulit seperti
terbentuk warna merah, melebarnya area garukan/gatal menunjukkan
bahwa seseorang bersifat alergi terhadap allergen.
2. Intradermal Test (IT)
Intradermal test dilakukan ketika dihasilkan reaksi negative dari SPT, akan
tetapi senyawa/larutan tersebut tetap dianggap allergen bagi manusia. IT
bersifat lebih sensitif dibanding SPT, tetapi sering menunjukkan reaksi
positif terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala alergi. Pada
Intradermal test ini, larutan disuntikkan ke dalam kulit.
25
3. Skin Patch Test
Pada pengujian ini, larutan allergen diletakkan dalam bantalan/alas yang
kemudian ditepukkan pada kulit selama 24-72 jam. Pengujian ini
digunakan untuk mendeteksi alergi kulit yang disebut dengan contact
dermatitis. Patch Testing sangat bermanfaat untuk menganalisis contact
allergic dermatitis yang disebabkan oleh logam nickel, pengawet kosmetik
maupun berbagai macam tanaman.
Yang termasuk uji invitro antara lain pengukuran total IgE serum, IgE
spesifik alergen, pengukuran total eosinofil darah, level triptase sel mastosit,
pelepasan histamin dll. Pengukuran IgE spesifik umum dilakukan untuk
mengkonfirmasi status alergi dan mengidentifikasi alergen tertentu.
IgE merupakan salah satu jenis dari lima kelompok antibodi yang
diproduksi manusia (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE). Menurut Baratawidjaja (2006)
IgE memiliki sifat utama dalam pengerahan agen antimikroba dan berperan pada
gejala alergi atopi. IgE mudah diikat sel mastosit, basofil dan eusinofil karena
pada permukaanya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. Dalam keadaan
normal IgE terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah pada serum yaitu 17450 nm/ml dan hanya sebagian kecil dari sel plasma dalam tubuh yang
membentuknya (Roitt 1990).
IgE berperan dalam reaksi alergi. Hawrylowicz dan O’Garra (2005)
menggambarkan mekanisme alergi sebagai berikut. Ketika seseorang terpapar
dengan alergen untuk pertama kalinya, maka IgE yang spesifik terhadap alergen
tersebut akan diproduksi oleh sel B dengan bantuan sel T. IgE tersebut terikat
pada sel mastosit dan basofil karena pada sel-sel tersebut terdapat reseptor untuk
fraksi Fc dari IgE. Pada pemaparan selanjutnya, alergen akan berikatan dengan
IgE yang menyebabkan cross linking dari dua molekul IgE yang berdekatan.
Adanya pengikatan dengan allergen/antigen ini menyebabkan degranulasi sel
basofil dan sel mastosit yang akan melepaskan histamin dan mediator lain seperti
leukotrien, sitokin dan faktor kemotaksis yang dapat menyebabkan perubahan
permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos dan produksi lendir (Gambar 4).
26
Gambar 4 Mekanisme alergi (Hawrylowicz dan O’Garra 2005)
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA, EIA) merupakan salah satu
uji in vitro alergi yang umum digunakan saat ini karena cukup sederhana dan tidak
menggunakan radioaktif. Prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen dengan
antibodi (Ag-Ab) yang kemudian keberadaan komplek tersebut dideteksi dengan
antibodi yang telah dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase
horseradish (HRP), fosfatase alkaline (AP), urease, β-galaktosidase dan oksidase
glucose. Tahapan umum metode ELISA meliputi penempelan Ag atau Ab pada
fase padat, penambahan konjugat Ab-enzim dan diakhiri dengan penambahan
substrat (Suryadi et al. 2009)
2.17
Produk Krim dan Pengawet pada Produk Kosmetik
Menurut Depkes RI (1995), produk krim adalah sediaan setengah padat
mengandung satu atau lebih zat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai. Menurut Schmitt (1996), umumnya produk krim berbentuk o/w dengan
fasa minyak dan humektan yang lebih banyak dari produk lotion. Krim terdiri dari
15-40% fasa minyak dan 5-15% fasa humektan, dengan karakteristik
penampakannya hampir sama dengan produk lotion.
Sediaan kosmetik berupa cream bervariasi. Yang umum digunakan adalah
cream malam yang digunakan pada malam hari, cream penyejuk yang digunakan
27
pada siang hari dan berfungsi untuk memberikan kelembutan dan kesan dingin di
kulit, cream dasar bedak yang dapat membantu agar bedak tidak mudah luntur,
cream tangan dan badan untuk mencegah kekeringan pada kulit serta cream
pembersih untuk membersihkan atau menghapus kotoran dari wajah yang
disebabkan oleh debu ataupun sisa tata rias. Menurut Mitsui (1997), cream
berfungsi melindungi kulit dari perubahan cuaca, radiasi ultraviolet dan membuat
kulit tampak indah dan sehat. Untuk melindungi kulit dari radiasi ultraviolet
dikenal sunscreen cream (krim tabir surya).
Sebagaimana produk lotion, produk krim juga disusun oleh komponenkomponen emulsifier (pengemulsi), humektan, emolien, bahan aktif, dan air.
Komponen bahan pengawet dan pewangi juga penting untuk ditambahkan, namun
harus stabil pada suhu, pencahayaan dan kelembaban. Penambahan bahan
pengawet pada skin lotion adalah sebesar 0.1-0.2% (Schmitt 1996). Pengawet
yang digunakan sebagai tambahan pada produk menyebabkan mikroba tidak dapat
tumbuh karena memiliki sifat antimikroba. Pengawet juga harus ditambahkan
pada suhu yang tepat pada saat pembuatan, yaitu antara 35-45oC agar tidak
merusak bahan aktif dalam pengawet tersebut. Pengawet yang baik memiliki
persyaratan yaitu efektif mencegah tumbuhnya berbagai macam mikroorganisme
yang menyebabkan penguraian bahan, dapat larut dalam berbagai konsentrasi
yang digunakan dan tidak menimbulkan bahaya (racun) secara internal dan
eksternal pada kulit.
Menurut O’Lenick dan Siltech (2010), pengawet pada kosmetik
ditambahkan dengan dua tujuan. Pertama untuk menghentikan mikroba yang
menyebabkan kerusakan produk, dan kedua adalah menghentikan pertumbuhan
mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Mikroba yang dapat menginfeksi
formula produk meliputi bakteri, jamur dan khamir. Bakteri seperti Psedomonas
dapat menyebabkan semua jenis masalah kesehatan seperti infeksi mata dan kulit.
Khamir Candida albicans dapat menyebabkan sariawan dan beberapa bakteri
menyebabkan produk menjadi berbau busuk, dan warna berubah atau dengan kata
lain terjadi kerusakan produk. Beberapa jenis pengawet yang umum digunakan
pada produk kosmetik antara lain: paraben, donor formaldehyde, turunan fenol,
quats, alkohol, isothiazolones, asam organik dan lain-lain.
Download