II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas. L) Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini merupakan tanaman semak atau pohon yang tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh pada area dengan curah hujan rendah sampai tinggi (200-1500 mm per tahun). Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah dan saat ini banyak dibudidayakan di Amerika Selatan dan Tengah, Asia Tenggara, India dan Afrika (Gubitz et al. 1999). Jarak pagar berpotensi untuk memperbaiki lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup penduduk pedesaan di negara tropis karena pemanfaatannya yang sangat beragam. Tanaman ini dapat digunakan untuk mencegah atau mengontrol erosi, reklamasi lahan, meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai tanaman pagar. Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah. Bagian-bagian tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al. 2006): 2.1.1. Daun Daun tanaman jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5. Daun tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas dan bawah lebih pucat dibanding permukaan atas. Daunnya lebar dan berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang 5-15 cm. Helai daunnya bertoreh, berlekuk, dan ujungnya meruncing. Tulang daun menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama. Daunnya dihubungkan dengan tangkai daun. Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. 2.1.2. Bunga Bunga tanaman jarak pagar adalah bunga majemuk berbentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu (putik dan benang sari dalam satu tanaman). Bunga betina 4-5 kali lebih banyak dari bunga jantan. Bunga jantan maupun bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan yang tumbuh di ujung batang atau ketiak daun. Bunganya mempunyai 5 kelopak berbentuk bulat telur dengan panjang kurang lebih 4 mm. Benang sari mengumpul pada pangkal dan berwarna kuning. Tangkai putik pendek berwarna hijau dan kepala putik 6 melengkung keluar berwarna kuning. Bunganya mempunyai 5 mahkota berwarna keunguan. Setiap tandan terdapat lebih dari 15 bunga. Jarak pagar termasuk tanaman monoecious dan bunganya uniseksual. Kadang kala muncul bunga hermaprodit yang berbentuk cawan berwarna hijau kekuningan. 2.1.3. Buah Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah berwarna hijau ketika muda dan berubah menjadi hijau kekuningan dan coklat atau kehitaman ketika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga dalam setiap buah terdapat 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna cokelat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 35-45% dan beracun. Tanaman Jarak Pagar Buah masak Bunga Biji jarak Gambar 1 Tanaman dan bagian tanaman jarak pagar 7 Biji jarak pagar dapat dipisahkan bagian kernel dan cangkang. Bagian kernel mencapai 60-62.7% bagian biji. Komposisi kimia kernel dan cangkang biji jarak pagar varietas Cape Verde disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Komposisi kimia kernel dan cangkang biji jarak pagar Keterangan Kernel biji jarak Cangkang biji jarak Kandungan bahan kering (bk, %) 96.6 90.3 Protein kasar (bk, %) 22.2 4.3 Lemak (bk, %) 57.8 0.7 Abu (bk, %) 3.6 6.0 Neutral detergent fiber (bk, %) 3.8* 83.9 Acid detergent fiber (bk, %) 3.0* 74.6 * Acid detergent lignin (bk, %) 0.2 45.1 * Dihitung dari nilai yang diperoleh dari sampel bebas lemak Sumber : Makkar et al. (1998) 2.10 Komposisi Kimia Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas. L) Daun, ranting, batang, akar serta biji jarak mengandung berbagai macam senyawa kimia, beberapa diantaranya merupakan senyawa-senyawa aktif. Senyawa kimia yang terisolasi dari bagian daun dan ranting jarak pagar meliputi cyclic triterpene stigmasterol, stigmast-5-en-3β,7β-diol, stigmast-5-en-3β,7α-diol, cholest-5-en-3β,7β-diol, cholest-5-en-3β,7α-diol, campesterol, β-sitosterol, 7keto- β-sitosterol. Selain itu, bagian daun dan ranting mengandung senyawa flavanoid apigenin, vitexin dan isovitexin (Neuwinger 1994). Senyawa kimia yang diisolasi dari bagian batang tanaman jarak pagar antara lain friedelin, epi-friedelinol, tetracyclic triterpene ester jatrocurcin dan scopoletin methyl ester. Senyawa β-amyrin, β-sitosterol dan juga taraxerol didapatkan terkandung pada bagian kulit batang tanaman jarak, sedangkan bagian akar mengandung β-sitosterol, β-D-glucoside, mermesin, propacin, curculathyranes A dan B dan juga curcusones A-D. Lebih lanjut, diterpenoid jatrophol dan jatrpholone A dan B, coumarin tomentin, coumerin-lignan jatrophin dan juga taraxerol juga ditemukan pada akar (Naengchomnong et al. 1994). Bagian biji jarak merupakan bagian yang paling banyak dikaji mengandung senyawa aktif. Biji jarak (physic nut, purging nut) memiliki bobot 0.75 g dan 8 daging buah mengandung protein 27-32% dan minyak 58-60%. Makkar et al. (1998) melaporkan adanya total fenol serta tannin pada kernel dan cangkang biji beberapa varietas jarak pagar (Cape verde, Nicaragua, Ife-Nigeria). Pada bungkil jarak pagar (meal) ditemukan adanya aktivitas tripsin inhibitor, lektin, saponin, juga phytat, sedangkan ester forbol ditemukan pada bagian kernel jarak. Senyawa curcin dan ester forbol yang merupakan senyawa racun dan antinutrisi paling banyak ditemukan pada bagian biji. Komponen toksik utama pada bungkil jarak adalah hemaglutinin bernama curcin. Curcin menghambat sintesis protein in vitro. Senyawa toksik lain adalah lektin (51-102 mg bungkil/ml uji produksi hemaglutinasi), fitat (8.9-10.1%), saponin (2.0-3.4% ekuivalen diosgenin) dan inhibitor tripsin (21.1-26.5 mg tripsin dihambat/gram bungkil kering). Penelitian terhadap berbagai varietas jarak di Meksiko menunjukkan kandungan tripsin inhibitor 33.1-36.4 mg tripsin/gram bungkil kering, fitat 8.5-9.3% ekuivalen asam fitat, saponin 2.1-2.9% dan lektin 0.35-1.46 mg/ml sampel dibutuhkan untuk aglutinasi (Martinez-Herrera et al. 2006). Menurut Aregheore et al. (2003) komponen toksik dan iritan pada biji jarak adalah β-D-glycoside dari sitosterol, curcin (lektin), flavonoid vitexin, isovitexin dan 12-deoxyl-16-hydroxyphorbol (ester forbol). Lektin dan inhibitor tripsin dapat dikurangi dengan pemanasan 121oC, 25 menit (Aderibigbe et al. 1997), fitat sedikit berkurang dengan iradiasi 10 kGy, sementara ester forbol bersifat stabil dan tahan terhadap suhu penyangraian sampai 160oC, 30 menit, akan tetapi perlakuan kimia dapat mengurangi kandungannya (Makkar dan Becker 1997). Ester forbol merupakan ester dari tiglian diterpen. Komponen penting dari kelompok senyawa ini adalah tiglian, suatu diterpen tetrasiklik yang memiliki gugus alkohol. Hidroksilasi senyawa ini dengan berbagai posisi dan jenis asam melalui ikatan ester menghasilkan sejumlah besar senyawa yang disebut ester forbol (Goel et al. 2007) (Gambar 2). Terdapat dua kelompok forbol yaitu α dan β yang dibedakan berdasarkan gugus OH pada cincin C. Yang termasuk β phorbol aktif yaitu TPA (4ß-12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dan PDBU (4ßphorbol-12,13-dibutyrate). 9 Ester forbol bersifat mengaktifkan protein kinase C (PKC) yaitu enzim kunci pada penghantaran sinyal dan proses pertumbuhan kebanyakan sel dan jaringan. Interaksi yang berlanjut antara ester forbol dengan PKC menyebabkan respon mitogenik dan pembentukan tumor. Ester forbol juga menyebabkan meningkatnya proliferasi sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit, inflamasi, produksi prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986, diacu dalam Evans 1986). Tiglian Forbol Gambar 2 Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA) (Evans 1986) Ester forbol telah diidentifikasi sebagai senyawa racun utama pada jarak pagar. Kandungan ester forbol pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi oleh varietas. Makkar et al. (1998) malaporkan kandungan ester forbol untuk empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang diperoleh dari Nicaragua mengandung ester forbol paling tinggi yaitu 2.7 mg/g kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mg/g kernel. Makkar et al. (1998) juga menemukan bahwa biji dari buah muda (belum matang) mengandung senyawa ester forbol yang lebih tinggi. Senyawa ester forbol secara alami ditemukan pada tanaman famili Euphorbiaceae dan Thymelaeaceae. Beberapa tanaman yang dilaporkan mengandung senyawa toksik ester forbol adalah Sapium indicum, S. japonicum, 10 Euphorbia frankiana, E. cocrulescence, E. ticulli, Croton spareiflorus, C. tigilium, C.ciliatoglandulifer, Jatropha curcas, Excoecaria agallocha, dan Homalanthus nutans (Beutler et al. 1989). Haas et al. (2002) telah melaporkan 6 jenis ester forbol dalam minyak jarak pagar, dimana semua senyawa memiliki bagian diterpen yang sama yaitu 12-deoxy-16-hydroxyphorbol. Makkar dan Becker (2009) melaporkan distribusi senyawa ester forbol pada tanaman jarak pagar (Tabel 2). Kernel biji jarak pagar mengandung senyawa ester forbol tertinggi yaitu 2-6 mg/g sampel kering, sedangkan konsentrasi terendah ditemukan pada kayu tanaman jarak pagar (0,09 mg/g sampel kering). Adapun pada getah tanaman jarak tidak terdeteksi senyawa tersebut. Tabel 2 Kandungan ester forbol pada beberapa bagian tanaman jarak pagar Bagian tanaman Ester forbol (mg/g sampel kering)* Kernel 2,00 – 6,00 Daun 1,83 – 2,75 Batang 0,78 – 0,99 Bunga 1,39 – 1,83 Bud (tunas) 1,18 – 2,10 Akar 0,55 Getah tidak terdeteksi Kulit (bagian luar, coklat) 0,39 Kulit (bagian dalam, hijau) 3,08 Kayu 0,09 * equivalent dengan phorbol 12 myristate 13 acetate Sumber : Makkar dan Becker (2009) Ekstraksi pelarut merupakan cara yang banyak digunakan untuk menghilangkan senyawa ester forbol pada jarak pagar. Perlakukan panas yang diikuti dengan ekstraksi pelarut untuk menghilangkan senyawa ester forbol dapat mengeliminasi banyak senyawa beracun dan antinutrisi pada varietas jarak yang beracun (Makkar dan Becker 1997). Perlakukan panas yang dikombinasikan dengan perlakukan kimia dengan NaOH dan natrium hipoklorit dapat menurunkan kandungan ester forbol hingga 75%. Kajian deasidifikasi minyak jarak dengan NaOH dan KOH dan proses bleaching dengan beberapa bahan dapat mengurangi ester forbol hingga 55%, dan proses degumming dan deodorisasi dapat menurunkan kadar ester forbol menjadi lebih rendah (Hass dan Mittelbach 2000). 11 Selain cara fisik dan kimia, penggunaan larva Hyles euphorbiae dapat memetabolisme 70-90% ester forbol (Hundsdoerfer et al. 2005). Selain itu enzim liver carboxylesterase dari tikus juga dapat mendetoksifikasi senyawa forbol (Mentlein 1986). Selain memiliki efek negatif pada manusia dan hewan, senyawa ester forbol juga memiliki sifat-sifat yang bermanfaat. Beberapa senyawa forbol alami mampu menghambat tumor, menghambat replikasi virus (HIV) dan memiliki aktivitas antileukemic yang potensial sebagai obat kanker darah. Dilaporkan bahwa TPA merupakan satu-satunya penghambat potensial HIV-1 yang diinduksi CPEs (cytopathic effects ) dengan nilai IC100 0.48 ng/ml. TPA juga dapat menghasilkan perubahan struktur pada parasit Leishmania amazonensis pada konsentrasi 20 ng/ml (Chan-Bacab dan Pe˜na-Rodr´ıguez 2001). Senyawa ester forbol bertanggung jawab terhadap reaksi iritasi kulit, inflamasi (peradangan) dan pembentukan tumor. Mekanisme peradangan yang disebabkan oleh senyawa ester forbol disajikan pada Gambar 3. Ester forbol Pelepasan histamin Perubahan pembuluh darah Aktivasi integrin pada leukosit Pelepasan interleukin (IL-2) Pelepasan protease, sitokin dan aktivasi NADPH oksidase Kebocoran plasma Migrasi sel transendothelial Ekspansi klonal Kerusakan jaringan Bengkak, panas, kemerahan Rasa sakit Gambar 3 Respon peradangan yang diakibatkan oleh senyawa ester forbol (Goel et al. 2007) Senyawa ester forbol dapat menyebabkan beberapa reaksi ketika masuk ke dalam jaringan, antara lain yaitu pelepasan histamin, aktivasi integrin pada leukosit, pelepasan interleukin (IL-2) dan pelepasan protease, sitokin dan aktivasi NADPH oksidase. Pelepasan histamin menyebabkan vascular remodelling yang 12 diikuti dengan pelepasan plasma yang bisa mengakibatkan tumor, kemerahan dan rasa panas. Aktivasi integrin pada leukosit menyebabkan migrasi sel transendotelial, sedangkan pelepasan interleukin (IL-2) menyebabkan ekspansi klonal. Adapun pelepasan protease, sitokin dan aktivasi NADPH oksidase menyebabkan kerusakan jaringan yang akhirnya menyebabkan rasa sakit (Goel et al. 2007). Sebagai promotor tumor, senyawa ester forbol sendiri tidak menyebabkan tumor, akan tetapi memicu pertumbuhan tumor bagi sel/jaringan yang telah terpapar dengan senyawa karsinogen pada dosis tertentu ataupun yang telah mengalami mutasi. Dengan kata lain senyawa ester forbol merupakan kokarsinogen. Sifat ko-karsinogen ini menjadi jelas dengan adanya penelitian Berenblum (1941), diacu dalam Goel et al. (2007), yang mendapatkan bahwa minyak croton (Croton tiglium) dapat meningkatkan pembentukan tumor ketika diaplikasikan pada kulit tikus bersamaan ataupun terpisah dengan aplikasi dosis subefektif karsinogen hydrocarbon 3,4-bezpyrene. Lebih lanjut, Berebblum and Shubik (1947), diacu dalam Goel et al. (2007) mendapatkan bahwa peningkatan produksi tumor hanya terlihat ketika minyak croton diaplikasikan setelah aplikasi karsinogen, bukan sebelumnya. 2.11 Senyawa Metabolit Sekunder pada Tanaman Senyawa metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa kimia pada tanaman yang distribusinya sangat beragam dari tanaman satu dengan yang lain. Beberapa senyawa metabolit sekunder tersebut memiliki penting pada tanaman antara lain sebagai zat pertumbuhan tanaman, komponen pigmen dan bau pada bunga, zat antiherbivora, zat antifungi, serta membantu proses simbiosis dengan tanaman tertentu (Harborne 1999). Terdapat tiga kelas utama senyawa metabolit sekunder yaitu senyawa terpenoid, alkaloid dan senyawa metabolit mengandung nitrogen lainnya serta kelas senyawa fenolik. Terpenoid dicirikan oleh biosintesis awal yang berasal dari isopentenil pirofosfat dan sifat lipofilik yang dimiliki oleh senyawa tersebut. Senyawa terpenoid terbentuk dari satuan isoprene, dan dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah sat uan isoprenenya yaitu dari dua unit 13 (C10) hingga delapan unit (C40). Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpen yang lebih sukar menguap (C20) sampai ke senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne 1999). Sifat umum senyawa terpenoid adalah larut dalam lemak, dan pada tanaman sebagian besar terdapat pada bagian sitoplasma sel, sebagian kecil terdapat dalam sel kelenjar khusus permukaan daun, daun dan daun bunga. Ekstraksi terpenoid dari jaringan tanaman dilakukan menggunakan eter minyak bumi, eter atau kloroform serta dapat dipisahkan secara kromatografi menggunakan pelarut-pelarut tersebut. Senyawa terpenoid umumnya tidak berwarna kecuali senyawa karotenoid (Harborne 1987). Salah satu golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah triterpenoid. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit gangguan kulit, berfungsi sebagai antifungi, insektisida, antibakteri atau virus (Robinson 1995). Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (Harborne 1987). Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol ( - sitosterol), stigmasterol, dan kampesterol. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne 1987). Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai dasar untuk pembuatan obat. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berikatan dengan gula, senyawa ini memiliki pengaruh biologis yang menguntungkan yaitu bersifat sebagai hipokolesterolemik dan antikarsinogen serta dapat meningkatkan sistem imun (Meskin et al. 2002). Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah pelepasan protein dan enzim dari dalam sel (Zablotowicz et al. 1996). 14 Alkaloid adalah senyawa metabolit tanaman mengandung nitrogen yang paling umum. Alkaloid merupakan senyawa organik basa yang mengandung atom nitrogen pada strukturnya sebagai bagian dari sistem siklik. Keberadaan senyawa alkaloid pada tanaman tingkat tinggi sebagai senyawa metabolit sekunder cukup terbatas. Hal ini berkaitan dengan senyawa nitrogen sebagai penyusun senyawa alkaloid yang umumnya terbatas pada tanaman (Harborne 1999). Senyawa fenol meliputi beragam senyawa yang memiliki ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih grup hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya senyawa fenol sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida. Flavanoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol. Selain itu fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah yang besar. Lignin, melanin dan tannin yang merupakan polimer penting dalam tumbuhan adalah senyawa fenolik. Kadang-kadang senyawa fenolik dijumpai pada protein, alkaloid dan diantara terpenoid (Harborne 1987). Harborne (1999) mengklasifikasikan senyawa-senyawa fenol menjadi beberapa kelas meliputi 1) senyawa fenol sederhana, benzoquinones, 2) Asam hidroksibenzoat, 3) Acetophenon, asam fenil asetat, 4) Asam hidroksisinamat, fenilpropanoid yang terdiri dari kaumarin, isokaumarin, kromone dan kromene, 5) Naptoquinon, 6) Xanthon, 7) Stilben, antraquinon, 8) flavanoid dan isoflavanoid, 9) lignan dan neolignan, 10) Biflavanoid, 11) lignin dan 12) Tanin terkondensasi (flavolan atau proantosianidin). Flavanoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol. 2.12 Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Aktif Proses ekstraksi dan isolasi senyawa metabolit sekunder dari tanaman dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yang dapat dibagi menjadi 4 jenis berdasarkan mediumnya yaitu cairan, aliran superkritis, uap dan gas. Ektraksi pelarut merupakan cara yang paling umum dan banyak digunakan, dimana secara teknis dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi soxhlet (Van Beek, 1999). Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Perkolasi 15 merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga senyawa organik akan terbawa oleh pelarut. Teknik perkolasi hanya efektif untuk senyawa yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Sokletisasi merupakan proses ekstraksi menggunakan soxhlet yang disertai dengan pemanasan. Teknik ini akan menghemat pelarut karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel dan cocok untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas (Briger 1969). Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa dalam bahan. Pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan semua golongan senyawa metabolit sekunder (Briger 1969). Daftar pelarut yang umum digunakan diurut berdasarkan tingkat kepolaran disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Tingkat kepolaran beberapa jenis pelarut Pelarut Heksan Toluen Etil eter Diklorometan Kloroform Etil asetat Butanon (metil etil keton) Aseton Metanol Air Sumber : Houghton and Raman (1998) Indek kepolaran 0,1 2,4 2,8 3,1 4,1 4,4 4,7 5,1 5,1 10,2 Proses separasi/pemisahan umum dilakukan setelah diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berbagai macam senyawa baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Dengan proses pemisahan tersebut akan diperoleh senyawa yang memang benar-benar diinginkan dalam bentuk yang lebih murni, sehingga dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Cukup banyak metode-metode pemisahan yang telah digunakan antara lain partisi pelarut, kromatografi, teknik aliran balik (Countercurrent), kromatografi cair, elektroforesis kapiler, kromatografi cair 16 superkritis, kromatografi gas, distilasi vakum, presipitasi dan kristalisasi (Van Beek, 1999). Proses pemisahan partisi pelarut merupakan teknik pemisahan tahap awal yang paling umum dilakukan karena beberapa pertimbangan antara lain tidak membutuhkan peralatan khusus, kapasitas yang lebih besar, proses penggandaan skala mudah, pelarut dapat disesuaikan dengan senyawa yang akan dipisahkan, relatif lebih cepat dan konsumsi pelarut lebih sedikit. 2.13 Zat Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Fardiaz (1987) menyatakan bahwa zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik, atau menghambat germinasi spora bakteri. Zat antibakteri (antibacterial agent) banyak digunakan dalam produkproduk kosmetik dan rumah tangga karena senyawa ini memberikan efek bakterisida dan bakteriostatik selama penggunaan. Fungsi lain dari zat antibakteri adalah untuk melindungi produk selama penyimpanan dengan menyediakan efek pengawetan melawan bakteri. Dengan mempertimbangkan jenis mikroba lain selain bakteri seperti kapang dan khamir, maka digunakan istilah antimikroba (Siquet dan Devleeschouwer 2001). Zat antimikroba (antimicrobial agent) banyak digunakan dalam formulasi produk seperti sabun batang, sabun cair, cairan pencuci tangan, deodoran dan antiperspiran, produk-produk perawatan mulut seperti pasta gigi dan pencuci kumur (cairan pencuci mulut) serta produk pencuci peralatan rumah tangga. Sabun batang antibakteri mengandung triclocarbon (TCC) sebagai komponen aktifnya, sedang sabun cair diformulasikan dengan triclosan hingga maksimal 1%. Produk-produk alumunium deodoran atau dan kombinasi antiperspiran menggunakan zirkonium-alumunium seperti garam-garam Al-Zi-Tri/tetra chlorydex glycinate sebagai komponen aktif. Sedangkan komponen aktif utama yang digunakan dalam pasta gigi dan cairan pencuci mulut adalah triclosan, klorheksidin dan juga alkohol. Produk-produk pencuci piring (dishwashing 17 product) banyak menggunakan triclosan, minyak atsiri dan senyawa-senyawa lain (Siquet and Devleeschouwer 2001). Beberapa persyaratan zat antimikroba dalam fungsi pengawetan produk kosmetik menurut Siquet and Devleeschouwer (2001) adalah sebagai berikut: Compatible dengan komponen lain dalam formula produk Dapat mempertahankan khasiat dalam jangka waktu lama Bersifat non toksik bagi konsumen. Memiliki koefisien partisi air-minyak yang bagus Tidak terinaktivasi oleh faktor-faktor luar ( pH, kondisi proses) Perlu diperhatikan juga kelarutan dan volatilitasnya Menurut Pelczar et al. (1993), aktivitas antimikroba dimiliki senyawasenyawa kimia tertentu seperti fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa amonium kuartener. Masing-masing senyawa memiliki mekanisme khusus dalam menghambat atau membunuh mikroba. Senyawa fenol dan senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahanbahan intraseluler serta dapat mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. Alkohol akan mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dan membran sel mikroba; halogen yang terdiri dari iodium, klor, dan bromin dapat mengoksidasi dan merusak organel penting dari sel mikroba, sedangkan logam akan menginaktifkan protein seluler. Deterjen akan merusak membran sitoplasma dan menyebabkan kebocoran bahan intraseluler, sedangkan senyawa amonium kuarterner akan mendenaturasi protein, mengganggu proses metabolisme dan merusak membran sitoplasma. Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Prindle 1983). Senyawa fenol mampu 18 memutuskan ikatan peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fospolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim – enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme. 2.14 Zat Antioksidan Senyawa antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di dalam bahan khususnya senyawa lipid. Antioksidan harus mampu menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell 1990). Autooksidasi merupakan reaksi rantai radikal bebas yang mekanismenya diawali oleh proses inisiasi yang menyebabkan lepasnya gugus H, sehingga membentuk radikal lemak. Tahap selanjutnya adalah propagasi yaitu radikal lemak bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksida yang selanjutnya dapat bereaksi kembali dengan lemak tak jenuh sehingga terbentuk hidroperoksida dan radikal lemak yang dapat bereaksi kembali dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksida dan begitu seterusnya (Wong 1989). Reaksi oksidasi lemak dapat dipercepat oleh cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksigenase (Winarno 2002). Antioksidan dapat memperlambat atau mencegah reaksi oksidasi lipid dengan beberapa mekanisme, dimana mekanisme ini dijadikan dasar pengelompokan antioksidan. Antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer dapat memecah rantai dan mendonorkan atom hidrogennya ke radikal lemak dan radikal turunannya sehingga menjadi stabil. Antioksidan sekunder dapat memperlambat laju autooksidasi antara lain dengan mekanisme pengikatan ion metal, penangkapan 19 oksigen, pemecahan hidroperoksida menjadi non radikal, penyerapan radiasi ultraviolet atau pendeaktifan oksigen singlet (Gordon 1990). Antioksidan primer pada umumnya merupakan senyawa fenolik seperti tokoferol dan alkil gallat. Aktivitas antioksidan senyawa fenolik ditentukan oleh substituennya (Maslarova 2001). Adapun Gordon (1990) dan Jadhav (1996) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan senyawa fenolik tergantung pada konsentrasi. Pada konsentrasi tinggi, antioksidan fenolik dapat bersifat sebagai prooksidan yang disebabkan oleh keterlibatan senyawa fenolik tersebut dalam menginisiasi reaksi oksidasi. Contoh antioksidan sekunder antara lain asam askorbat, askorbil palmitat, asam eritrobat serta natrium eritrobat. Senyawa-senyawa tersebut berperan sebagai oxygen scavenger, yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen dan menghilangkannya dari sistem (Gordon 1990). Contoh lain antioksidan sekunder adalah asam sitrat, asam amino, asam etilendiaminatetra asetat (EDTA) yang mampu mengkelat logam. Ketiga senyawa yang terakhir sering disebut sebagai antioksidan sinergis karena mampu meningkatkan peran antioksidan fenolik namun memiliki aktivitas yang kecil ketika digunakan sendiri. Antioksidan dikelompokkan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan sintetik yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia dan antioksidan alami yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami. Butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), tert butil hidroksi quinon (TBHQ), propil galat dan tokoferol merupakan antioksidan sintetik yang penggunaannya sudah sangat luas dan tersebar di seluruh dunia (Buck 1991). Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dsb. Menurut Pratt dan Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umum terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavanol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol dan asam organik polifungsi. Tokoferol merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial. Empat kelompok senyawa yang tergolong antioksidan alami yang sangat penting adalah vitamin E, vitamin C, senyawa tiol dan flavanoid. Vitamin 20 merupakan antioksidan yang paling banyak diaplikasikan pada produk-produk topikal (Weber et al. 2001). Formulasi antioksidan tersebut dalam produk kosmetik dinyatakan dapat memberikan perlindungan, melembabkan dan dapat melawan penuaan kulit (Burke 2006). Termasuk dalam kelompok antioksidan alami adalah senyawa produk reaksi Maillard. Nakamura et al. (1992) menyatakan bahwa adanya konjugasi ovalbumin dengan dekstran atau galaktomanan melalui reaksi Maillard antara gugus amino bebas dalam protein dan gugus karbonil pereduksi dalam polisakarida dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal bebas oleh ovalbumin. Aktivitas antioksidan dalam sistem asam linoleat juga ditunjukkan oleh produk reaksi Maillard hasil pemanasan campuran lisin dan madu (Antony et al. 2000), sedangkan Yoshimura et al. (1997) melaporkan aktivitas penghambatan radikal bebas dari produk reaksi Maillard hasil pemanasan glukosa-glisin. BHT dan BHA merupakan antioksidan sintetik yang umum digunakan dalam produk kosmetik (pelembab, produk riasan, pewangi) sebagai antioksidan dan pengawet. Lebih lanjut dinyatakan bahwa BHA bersifat toksik bagi sistem imun, sedangkan BHT kemungkinan bersifat toksik bagi kulit, paru-paru, hati serta sistem imun. Meskipun demikian CIR (Cosmetic Ingredient Review) untuk produk personal care menyatakan bahan tersebut aman untuk formulasi kosmetik (Steinberg 2010). 2.15 Sifat Toksisitas Toksisitas suatu bahan adalah kapasitas suatu bahan untuk menciderai suatu organisme hidup. Informasi toksisitas suatu bahan dapat diperoleh dengan mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel dari mamalia di laboratorium, dan pemaparan bahan kimia terhadap manusia. Uji toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi 2 golongan, yaitu toksisitas umum dan toksisitas khusus. Uji toksisitas umum meliputi berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, sub akut 21 atau subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan reproduksi serta toksisitas kulit dan mata serta perilaku (Loomis 1978). Uji toksisitas akut yang berhubungan dengan kulit (acute dermal toxicity testing) dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efek-efek lokal, terutama iritasi dan korosi pada kulit (Barile 2007). Metode umum yang digunakan adalah Draize Skin Test. Draize skin test pertama kali dipublikasikan oleh Draize et al. (1944) yang merupakan kajian kuantitatif iritasi kulit sebagai panduan untuk keamanan produk. Draize et al. (1944) mendefinisikan iritant lokal utama sebagai senyawa yang menghasilkan reaksi radang kulit. Proses peradangan yang tergolong sebagai iritasi kulit dicirikan dengan adanya edema (akumulasi cairan di bawah kulit dan ruang interstisial) dan erythema (kemerahan kulit akibat peningkatan aliran darah lokal). Kajian iritasi kulit dirancang untuk meniru pemaparan pada manusia dan biasa dilakukan pada kelinci. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan nilai indek iritasi kulit/PDII (Primary Dermal Irritation Index) dari suatu bahan. Klasifikasi potensi iritasi kulit disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Klasifikasi potensi iritasi kulit Klasifikasi PDII Skor Non iritasi 0,0 Iritasi diabaikan/lemah >0,0- 0,5 Iritasi ringan >0,5- 2,5 Iritasi moderat/sedang >2,5- 5,0 Iritasi parah/berat >5,0- 8,0 Sumber : Auletta (2004) di dalam Barile (2007) Irritant Contact Dermatitis (ICD) merupakan suatu reaksi kulit yang dihasilkan karena terpaparnya kulit dengan iritant. Reaksi kulit ini bersifat sangat komplek, yang tergantung pada faktor-faktor endogenous maupun eksogenous seperti faktor genetik individu, sifat dari bahan pengiritasi (irritant) serta faktor lingkungan. Ketika senyawa iritant kontak dengan kulit akan timbul reaksi non spesifik yang mengganggu fungsi perlindungan kulit, menyebabkan kerusakan selular dari lapisan epidermis secara langsung yang berakibat pada pelepasan 22 senyawa-senyawa mediator peradangan. Potensi iritasi kulit dipengaruhi oleh sifat fisik iritant seperti pKa yang merupakan konstanta disosiasi asam (Mailbach dan Watkins 2009). pKa digunakan untuk memprediksi potensi iritasi kulit akut untuk senyawa asam dan basa. Asam dengan pKa kurang dari 4 dan basa dengan pKa lebih dari 8 sangat bersifat iritasi/irritative (Hogan 2009). Hogan (2009) mendefinisikan ICD sebagai reaksi peradangan kulit yang ditunjukkan dengan erythema, edema dan pembentukan kerak. ICD merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia secara langsung yang melepaskan mediator-mediator peradangan yang kebanyakan berasal dari sel-sel epidermis. Senyawa yang bersifat korosif akan menyebabkan kematian sel epidermis secara langsung. Perubahan-perubahan patofisiologi yang teridentifikasi dari ICD meliputi : terganggunya lapisan pelindung kulit, perubahan sel epidermis dan pelepasan sitokin. Banyak senyawa-senyawa kimia dengan konsentrasi dan waktu pemaparan yang cukup dapat menyebabkan iritasi kulit. Iritant kulit yang bersifat ringan/low grade antara lain sabun, detergen dan air. Sedangkan pelarut dapat menyebabkan iritasi kulit lain, yaitu dengan menghilangkan minyak dan lemak esensial pada kulit yang meningkatkan kehilangan air dan menyebabkan kulit menjadi lebih rentan terhadap irritant (Hogan 2009). Komponen dalam kosmetik yang berpotensi mengiritasi kulit antara lain zat pengawet (zat antimikroba), antioksidan, pewangi, pewarna dan pelindung UV. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut sering berada dalam formula kosmetik dalam jumlah kecil dan tidak mempengaruhi keseluruhan potensi iritasi dari produk akhir. Komponen tersebut lebih sering diperhatikan karena reaksi alergi (Barel 2001). 2.16 Sifat Alergenitas Secara umum alergi adalah suatu reaksi kekebalan yang menyimpang/ berubah yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Alergi adalah respon imun sekunder yang disebabkan adanya zat atau senyawa tertentu yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan (Bellanti 1978). Zat atau senyawa yang dapat menimbulkan alergi disebut dengan alergen. 23 Alergi dapat dikelompokkan berdasarkan organ yang diserang (alergi kulit, hidung, mata), berdasarkan sumber alergen (alergi makanan, protein hewan, getah) maupun berdasarkan gejala/respon alergi yang ditimbulkan (Ring 2005). Berdasarkan respon alergi, dikenal rhinitis, asma, anaphylaxis, alergi makanan dan alergi kulit. Rhinitis dicirikan dengan bersin-bersin, pembengkakan lokal saluran pernafasan, keluar cairan dan iritasi hidung yang disebabkan oleh terhirupnya alergen. Asma dicirikan oleh sesak nafas karena penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh aktivasi mastosit pada saluran pernafasan bagian bawah oleh alergen yang terhirup. Alergi kulit dicirikan dengan urtikaria akut dan eksim yang ditandai dengan kemerahan dan pembengkakan kulit akibat alergen memasuki kulit baik melalui gigitan serangga, kontak langsung maupun melalui darah (obat atau makanan yang tertelan). Alergi kulit dapat disebabkan oleh terpaparnya kulit pada obat atau senyawa-senyawa kimia tertentu (Barile 2007). Goossens (2001) menyatakan bahwa penggunaan produk kosmetik pada kulit dapat menyebabkan beberapa reaksi seperti iritasi, fototoksik, alergi kontak dan fotokontak juga urtikaria kontak. Alergi kontak terhadap produk kosmetik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain frekuensi penggunaan, komposisi/formula produk, konsentrasi kandungan bahan/komposisi, penggunaan ingredient kosmetik tertentu pada obat-obatan, senyawa-senyawa penguat penetrasi produk, lokasi penggunaan produk, kondisi kulit, waktu kontak dan frekuensi peggunaan dan efek kumulatif. Barel (2001) mengklasifikasikan efek yang tidak diinginkan dari kosmetik akibat ingredient tertentu menjadi 7 kategori, yaitu 1) iritasi dan urtikaria kontak, 2) alergi kontak, 3) reaksi fotosensitif, 4) acnegenesis dan comedogenesis, 5) perubahan warna kulit dan appendages, 6) efek samping sistemik dan 7) efek samping lokal lainnya. Alergi kontak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang dimediasi oleh sistem imun. Beberapa penyakit hipersensitivitas kulit antara lain urtikaria, penyakit bulosa, vaskulitis, dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak alergi merupakan hipersensitivitas lambat yang dipacu oleh sel T yang diawali oleh antigen yang dipresentasikan sel Langerhans di epidermis yang selanjutnya 24 dibawa ke kelenjar getah bening regional dan mensensitasi limfosit. Sejumlah bahan kimia dapat menginduksi reaksi ini (Baratawidjaja 2006). Dermatitis kontak alergi sering disebut juga dengan sensitisasi kulit. Reaksi sensitisasi kulit muncul dari respon imun terhadap protein kulit yang telah dimodifikasi oleh suatu kovalen dari bahan kimia reaktif dengan berat molekul rendah. Proses ini terjadi dalam 2 tahap yaitu induksi dan elisitasi. Pada tahap induksi, sistem imun akan bereaksi dengan senyawa kimia yang berpenetrasi dalam kulit yaitu dengan memperbanyak sel T yang mampu mengenali dan merespon terhadap senyawa kimia tersebut. Sedangkan pada tahap elisitasi, paparan terhadap bahan kimia akan menimbulkan peradangan kulit yang dikaitkan dengan dermatitis kontak alergi (Basketter 2008). Menurut Barile (2007), respon reaksi sensitisasi kulit memerlukan minimal 24-72 jam, dan reaksi dikarakterisasi sebagai jenis hipersensitivitas tertunda tipe IV. Respon berkisar dari iritasi ringan yang menimbulkan eritema dan indurasi, hingga munculnya eksim, kulit terbakar hingga kulit pecah. Pengujian alergi melibatkan uji invivo dan invitro (Arshad et al. 2005). Yang termasuk uji invivo adalah tes kulit, yang umum dilakukan karena cukup cepat, dapat diandalkan dan relatif murah. Terdapat tiga tipe tes kulit yang umum dilakukan, yaitu: 1. Skin Prick Test (SPT) SPT dilakukan dengan meletakkan 1 tetes cairan yang mengandung allergen di atas kulit, dan rangkaian garukan atau tusukan jarum dilakukan sehingga cairan dapat memasuki kulit. Perubahan positif pada kulit seperti terbentuk warna merah, melebarnya area garukan/gatal menunjukkan bahwa seseorang bersifat alergi terhadap allergen. 2. Intradermal Test (IT) Intradermal test dilakukan ketika dihasilkan reaksi negative dari SPT, akan tetapi senyawa/larutan tersebut tetap dianggap allergen bagi manusia. IT bersifat lebih sensitif dibanding SPT, tetapi sering menunjukkan reaksi positif terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala alergi. Pada Intradermal test ini, larutan disuntikkan ke dalam kulit. 25 3. Skin Patch Test Pada pengujian ini, larutan allergen diletakkan dalam bantalan/alas yang kemudian ditepukkan pada kulit selama 24-72 jam. Pengujian ini digunakan untuk mendeteksi alergi kulit yang disebut dengan contact dermatitis. Patch Testing sangat bermanfaat untuk menganalisis contact allergic dermatitis yang disebabkan oleh logam nickel, pengawet kosmetik maupun berbagai macam tanaman. Yang termasuk uji invitro antara lain pengukuran total IgE serum, IgE spesifik alergen, pengukuran total eosinofil darah, level triptase sel mastosit, pelepasan histamin dll. Pengukuran IgE spesifik umum dilakukan untuk mengkonfirmasi status alergi dan mengidentifikasi alergen tertentu. IgE merupakan salah satu jenis dari lima kelompok antibodi yang diproduksi manusia (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE). Menurut Baratawidjaja (2006) IgE memiliki sifat utama dalam pengerahan agen antimikroba dan berperan pada gejala alergi atopi. IgE mudah diikat sel mastosit, basofil dan eusinofil karena pada permukaanya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. Dalam keadaan normal IgE terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah pada serum yaitu 17450 nm/ml dan hanya sebagian kecil dari sel plasma dalam tubuh yang membentuknya (Roitt 1990). IgE berperan dalam reaksi alergi. Hawrylowicz dan O’Garra (2005) menggambarkan mekanisme alergi sebagai berikut. Ketika seseorang terpapar dengan alergen untuk pertama kalinya, maka IgE yang spesifik terhadap alergen tersebut akan diproduksi oleh sel B dengan bantuan sel T. IgE tersebut terikat pada sel mastosit dan basofil karena pada sel-sel tersebut terdapat reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. Pada pemaparan selanjutnya, alergen akan berikatan dengan IgE yang menyebabkan cross linking dari dua molekul IgE yang berdekatan. Adanya pengikatan dengan allergen/antigen ini menyebabkan degranulasi sel basofil dan sel mastosit yang akan melepaskan histamin dan mediator lain seperti leukotrien, sitokin dan faktor kemotaksis yang dapat menyebabkan perubahan permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos dan produksi lendir (Gambar 4). 26 Gambar 4 Mekanisme alergi (Hawrylowicz dan O’Garra 2005) Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA, EIA) merupakan salah satu uji in vitro alergi yang umum digunakan saat ini karena cukup sederhana dan tidak menggunakan radioaktif. Prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen dengan antibodi (Ag-Ab) yang kemudian keberadaan komplek tersebut dideteksi dengan antibodi yang telah dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase horseradish (HRP), fosfatase alkaline (AP), urease, β-galaktosidase dan oksidase glucose. Tahapan umum metode ELISA meliputi penempelan Ag atau Ab pada fase padat, penambahan konjugat Ab-enzim dan diakhiri dengan penambahan substrat (Suryadi et al. 2009) 2.17 Produk Krim dan Pengawet pada Produk Kosmetik Menurut Depkes RI (1995), produk krim adalah sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih zat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Menurut Schmitt (1996), umumnya produk krim berbentuk o/w dengan fasa minyak dan humektan yang lebih banyak dari produk lotion. Krim terdiri dari 15-40% fasa minyak dan 5-15% fasa humektan, dengan karakteristik penampakannya hampir sama dengan produk lotion. Sediaan kosmetik berupa cream bervariasi. Yang umum digunakan adalah cream malam yang digunakan pada malam hari, cream penyejuk yang digunakan 27 pada siang hari dan berfungsi untuk memberikan kelembutan dan kesan dingin di kulit, cream dasar bedak yang dapat membantu agar bedak tidak mudah luntur, cream tangan dan badan untuk mencegah kekeringan pada kulit serta cream pembersih untuk membersihkan atau menghapus kotoran dari wajah yang disebabkan oleh debu ataupun sisa tata rias. Menurut Mitsui (1997), cream berfungsi melindungi kulit dari perubahan cuaca, radiasi ultraviolet dan membuat kulit tampak indah dan sehat. Untuk melindungi kulit dari radiasi ultraviolet dikenal sunscreen cream (krim tabir surya). Sebagaimana produk lotion, produk krim juga disusun oleh komponenkomponen emulsifier (pengemulsi), humektan, emolien, bahan aktif, dan air. Komponen bahan pengawet dan pewangi juga penting untuk ditambahkan, namun harus stabil pada suhu, pencahayaan dan kelembaban. Penambahan bahan pengawet pada skin lotion adalah sebesar 0.1-0.2% (Schmitt 1996). Pengawet yang digunakan sebagai tambahan pada produk menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh karena memiliki sifat antimikroba. Pengawet juga harus ditambahkan pada suhu yang tepat pada saat pembuatan, yaitu antara 35-45oC agar tidak merusak bahan aktif dalam pengawet tersebut. Pengawet yang baik memiliki persyaratan yaitu efektif mencegah tumbuhnya berbagai macam mikroorganisme yang menyebabkan penguraian bahan, dapat larut dalam berbagai konsentrasi yang digunakan dan tidak menimbulkan bahaya (racun) secara internal dan eksternal pada kulit. Menurut O’Lenick dan Siltech (2010), pengawet pada kosmetik ditambahkan dengan dua tujuan. Pertama untuk menghentikan mikroba yang menyebabkan kerusakan produk, dan kedua adalah menghentikan pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Mikroba yang dapat menginfeksi formula produk meliputi bakteri, jamur dan khamir. Bakteri seperti Psedomonas dapat menyebabkan semua jenis masalah kesehatan seperti infeksi mata dan kulit. Khamir Candida albicans dapat menyebabkan sariawan dan beberapa bakteri menyebabkan produk menjadi berbau busuk, dan warna berubah atau dengan kata lain terjadi kerusakan produk. Beberapa jenis pengawet yang umum digunakan pada produk kosmetik antara lain: paraben, donor formaldehyde, turunan fenol, quats, alkohol, isothiazolones, asam organik dan lain-lain.