BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh Orang Tua
2.1.1
Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan
oleh anak, secara negatif maupun positif (Petranto, 2007). Lingkungan,
pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan
akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh karena
itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang
keliru dan negatif atau lingkungan yang kurang mendukung, cenderung
mempunyai konsep diri yang negatif (Rifanto, 2010).
Menurut Gunarsa (2002) dalam Suwono (2008), orang tua mempunyai peran yang
sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh
bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan
akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada dalam masyarakat dan pola asuh merupakan sikap orang
tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.
Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak.
Pola asuh juga berpengaruh terhadap keberhasilan keluarga dalam mentransfer
10
11
nilai-nilai agama, kebaikan, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pola asuh pada anak meliputi interaksi antara orang tua dan anak dalam
pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis (Fathi, 2011).
2.1.2
Tipe Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind dalam Santrock (2007) mengemukakan empat macam pola
asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh
demokratis, pola asuh permisif, dan pola asuh penelantaran (laissez faire).
a.
Pola asuh otoriter
Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha membentuk,
mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan
serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja,
tradisi, tidak saling memberi dan menerima komunikasi verbal. Orang tua kadangkadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman. Orang tua otoriter tidak
menyadari pentingnya mengahrgai pendapat anak. Mereka tidak menyadari bahwa
mendengarkan pendapat anak bisa mendorong kepercayaan diri dan kemandirian
anak dalam berpikir, dan dapat diarahkan untuk mencapai standar moral yang
internal (memiliki kesadaran moral) melalui diskusi (Widyarini, 2009).
Pada pola asuh otoriter, orang tualah yang menentukan semuanya. Orang tua
menganggap semua yang mereka katakan adalah yang paling benar dan baik.
Anak dianggap tak tahu apa-apa. Orang tua tak pernah mendorong anak untuk
mandiri dan mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan
12
anak. Orang tua hanya mengatakan apa yang harus/tidak dilakukan dan tak
menjelaskan mengapa hal itu harus/tidak dilakukan (Senjaya, 2011). Pola asuh
otoriter ditandai apabila orang tua melakukan aturan-aturan baku, berupa
pelanggaran-pelanggaran yang kadang tidak masuk akal dan sering kali
mengorbankan otonomi anak. Dengan pola asuh otoriter, hubungan orang tua dan
anak akan terlihat kaku (PsikologID, 2013).
b. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis menggunakan penjelasan mengapa sesuatu boleh atau tidak
boleh dilakukan. Orang tua terbuka untuk berdiskusi dengan anak. Orang tua
melihat anak sebagai individu yang patut didengar, dihargai, dan diberi
kesempatan (Senjaya, 2011). Pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya
ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka
membuat semacam aturan-aturan yang disepakati bersama. Orang tua yang
demokratis mencoba mengargai kemampuan anak secara langsung (PsikologID,
2013).
Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha mengarahkan anaknya
secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi
yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari
tiap-tiap permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu,
mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan
anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak
dan orang tua, memperkuat standar-standar perilaku. Orang tua tidak mengambil
13
posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata
(Widyarini, 2009).
c. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif cenderung membiarkan anak berkembang dengan sendirinya.
Orang tua memberikan rambu-rambu apapun kepada anak, yang ada hanyalah
rambu-rambu dari lingkungan (Senjaya, 2011). Pola asuh permisif ditandai
dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku
sesuai dengan keinginan anak. Orang tua cenderung bersikap mengalah, menuruti
semua keinginan, melindungi secara berlebihan, serta memberikan atau memenuhi
semua keinginan anak secara berlebihan (PsikologID, 2013).
Orang tua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan
bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan
perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada
anak, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak
mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan,
tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan (Widyarini, 2009). Pola asuh permisif atau
serba membolehkan adalah salah satu pola asuh yang paling banyak diterapkan di
tengah-tengah keluarga. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh para orang
tua yang menerapkan pola asuh permisif terhadap anak-anak remaja mereka
adalah kurangnya waktu untuk mengawasi anak-anak remaja mereka karena
kesibukan sehari-hari dan berbagai alasan lainnya. Kenyataan membuktikan
bahwa para remaja yang dibesarkan dengan disiplin dan bimbingan yang
14
konsisten jauh lebih unggul dan berhasil dalam banyak hal daripada remaja yang
bertumbuh dalam suasana serba membolehkan (permisif) (Surbakti, 2009).
d. Pola asuh penelantaran (laissez faire)
Kegiatan pola asuh ini merupakan pola asuh yang paling buruk dibandingkan
kegiatan pola asuh yang lain. Jenis pola asuh ini tidak memiliki kontrol orang tua
sama sekali. Orang tua cenderung menolak keberadaan anak dan tidak memiliki
cukup waktu bersama anak karena orang tua sendiri memiliki banyak masalah.
Orang tua sama sekali tidak mengurus anak dan respon anak cenderung sadis.
Orang tua merespon anak dengan cara memenuhi kebutuhan anak berupa
makanan atau minuman namun tidak berusaha ke hal-hal yang bersifat jangka
panjang, seperti aturan pekerjaan rumah dan standar tingkah laku. Anak dari
kegiatan pola asuh seperti ini cenderung terbatas secara akademis dan sosial (Judy
et all, 2012).
Menurut Hauck (1993) dalam Putra (2012), pada pola asuh ini anak dipandang
sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat
bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya
mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya
diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh
tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh laissez faire membuat anak merasa boleh
berbuat sekehendak hatinya. Anak memang memiliki rasa percaya yang lebih
besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah. Tapi juga akan
15
lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah
di sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial yang harus dipatuhinya.
Penulis berkesimpulan membedakan empat macam tipe pola asuh, yaitu pola asuh
otoriter dimana orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai
mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya
serta cenderung mengekang keinginan anak; pola asuh demokratis dimana orang
tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak; pola asuh
permisif dimana orang tua cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak
tanpa memberikan kontrol sama sekali; dan pola asuh laissez faire dimana orang
tua sama sekali tidak mengontrol anak-anaknya.
2.1.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua memiliki cara dan kemampuan yang berbeda dalam mengasuh
anaknya, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang dimiliki oleh orang tua akan mempengaruhi kesiapan orang tua
dalam melakukan kegiatan pengasuhan. Pendidikan diartikan sebagai pengaruh
lingkungan atas individu untuk menghasilkan berbagai macam perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut dapat bersifat tetap atau permanen didalam
keebiasaan tingkah laku, pikiran, dan sikap (Putra, 2012).
16
b. Budaya
Kebanyakan orang tua mempelajari praktek pengasuhan dari orang tua mereka
sendiri. Sebagian praktek tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka
tinggalkan (Santrock, 2007).
c. Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan orang tua
seperti halnya dalam perkembangan anak. Faktor lingkungan yang sangat
berpengaruh dalam pola ash ini adalah keluarga, dimana dikatakan bahwa
keluarga merupakan konstanta tetap dalam kehidupan anak. Anak seringkali
mengamati perilaku orang lain kemudian menjadi ciri kebiasaan atau
kepribadannya (Putra, 2012).
2.1.4
Karakteristik Remaja Dalam Kaitannya Dengan Tipe Pola Asuh
Orang Tua
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.
Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan
perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuakn orang tua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya.
Sedangkan pengertian pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk
interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan pengasuhan yang berarti
orang tua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2008). Orang
tua sebagai pendidik yang pertama dan utama pada masa usia dini dapat
mewujudkan perilaku atau tindakan yang memberikan manfaat bagi tumbuh
17
kembang remaja. Pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan remaja
adalah pendidikan dari keluarga khususnya pada pola asuh yang diterapkan orang
tua (Niami, 2009).
Karakteristik remaja dalam kaitannya dengan tipe pola asuh orang tua otoriter
akan menghasilkan karakteristik remaja yang penakut, pendiam, tertutup, tidak
berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah,
cemas dan menarik diri. Karakteristik remaja dalam kaitannya dengan tipe pola
asuh orang tua demokratis akan menghasilkan karakteristik remaja yang mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif
terhadap orang-orang lain. Karakteristik remaja dalam kaitannya dengan tipe pola
asuh orang tua permisif akan menghasilkan karakteristik remaja yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya
diri, dan kurang matang secara sosial (Petranto, 2007). Menurut Danny & Irwanto
dalam Putra (2012) karakteristik remaja dalam kaitannya dengan tipe pola asuh
orang tua laissez faire akan menghasilkan karakteristik remaja yang cenderung
nakal, manja, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
Remaja yang manja tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat
penyesuaian terhadap tingkah laku mereka. Ketika mereka kecewa mereka
menjadi gusar, penuh kebencian, dan bahkan marah-marah.
18
2.1.5
Dampak Tipe Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind dalam Putra (2012) dari hasil penelitiannya menemukan
bahwa teknik-teknik pola asuh demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan
kepercayaan diri mampu mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat
keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang
bertanggung jawab.
Meuler dalam Sujata (2010) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa anakanak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri
adanya sikap menunggu dan menyerahkan segala-galanya pada pengasuhnya.
Baldin dalam Sujata (2010) menemukan bahwa dalam penelitiannya dengan
membandingkan keluarga yang melakukan pola asuh demokratis dengan otoriter
terhadap anaknya, bahwa pola asuh dari orang tua demokratis menimbulkan ciriciri berinisiatif, berani, lebih giat dan lebih bertujuan. Orang tua yang bersikap
sangat otoriter menyebabkan semakin berkurangnya ketidaktaatan anak, bersikap
menunggu, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan
menunjukkan ciri-ciri takut.
Menurut Hurlock dalam Putra (2012) pada dasarnya, setiap tipe pola asuh orang
tua mempunyai kekurangan dan kelebihan sehingga dalam kenyataannya orang
tua akan memberlakukan tipe pola asuh demokratis, atau pada waktu-waktu
tertentu orang tua akan bersikap otoriter dan ada saatnya orang tua bersikap halus
dan ada saatnya pula orang tua bersikap keras. Hal ini tergantung dari situasi dan
kondisi yang sedang dihadapi.
19
2.1.6
Instrumen Pengukuran Tipe Pola Asuh Orang Tua
Baumrind dalam Judy et al (2012) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam
tipe pola asuh orang tua, sehingga dibuatlah sejumlah pernyataan yang terdiri dari
10 pernyataan untuk mengidentifikasi tipe pola asuh yang kita lakukan pada anak.
Pernyataan itu terbagi menjadi 2 kategori, yatu kategori hubungan dan bimbingan.
Berdasarkan nilai total pengisian angket pada kategori hubungan dan bimbingan,
akan didapatkan nilai perkiraan berdasarkan tabel yang ada yang mewakili
gambaran pola asuh orang tua kepada anaknya. Orang tua melakukannya dengan
menyilang jawaban yang terbagi menjadi empat kategori (selalu nilainya 4, sering
nilainya 2, jarang nilainya 3, dan tidak pernah nilainya 1) sesuai dengan
kehidupan orang tua sehari-hari mulai dari pernyataan nomor 1 hingga 10. Semua
nilai pada soal nomor 1, 3, 5, 7, dan 9 ditambahkan untuk menentukan nilai pada
kategori hubungan dan nilai yang diperoleh pada kategori hubungan itu dilingkari
dari kiri sampai kanan yang mewakili nilai jawaban orang tua pada hubungan.
Semua nilai ditambahkan pada soal nomor 2, 4, 6, 8, dan 10 untuk menentukan
nilai pada kategori bimbingan dan nilai yang diperoleh orang tua pada kategori
bimbingan itu dilingkari pada nilai yang sesuai dari atas sampai bawah yang
mewakili nilai orang tua pada kategori bimbingan. Untuk lebih jelasnya instrumen
pengukuran pola asuh orang tua dapat dilihat pada gambar berikut.
20
Gambar 1 Instrumen Pengukuran Tipe Pola Asuh Orang Tua
Bimbingan
Tinggi
20
19
18
17
Otoriter
Demokratis
16
15
14
13
Hubungan
12
Rendah 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
11
10
9
8
Laissez
Permisif
7
Faire
6
5
4
Rendah
Tinggi
Keterangan:
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa titik dimana kedua nilai
(hubungan dan bimbingan) berpotongan, maka pada perpotongan itu akan
diketahui tipe pola asuh orang tua kepada anaknya.
21
2.2 Perilaku Mencoba Merokok Pada Remaja Putra
2.2.1
Pengertian Remaja
Remaja atau adolesens merupakan periode perkembangan selama individu
mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya
antara usia 13 sampai 20 tahun. Istilah adolesens biasanya menunjukkan maturasi
psikologis individu ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi
mungkin dapat terjadi (Potter dan Perry, 2005). Masa remaja atau masa adolesensi
adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu.
Masa ini merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang
ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial
(Soetjiningsih, dkk, 2004).
Masa remaja merupakan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional
yang cepat pada anak laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki
dewasa dan pada anak perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi wanita
dewasa (Wong dkk, 2009). Masa remaja merupakan usia dimana anak tidak lagi
merasa di bawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat,
mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.
Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi yang khas dari
cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan
sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas umum dari periode
perkembangan (Ali dan Asrori, 2012).
22
Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpukan bahwa remaja adalah masa
transisi dari anak-anak menuju dewasa antara usia 13 sampai 20 tahun yang
berhubungan dengan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional
yang cepat pada anak laki-laki menjadi laki-laki dewasa dan pada anak perempuan
menjadi wanita dewasa.
2.2.2
Perkembangan Remaja
Beberapa istilah umumnya digunakan dalam menerangkan tahap pertumbuhan
dan perkembangan remaja. Pubertas adalah proses kematangan, hormonal dan
pertumbuhan yang terjadi ketika organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan
karakteristik seks sekunder mulai muncul. Proses ini umumnya dibagi dalam tiga
tahap, yaitu: prapubertas, yaitu periode sekitar 2 tahun sebelum pubertas ketika
anak pertama kali mengalami perubahan fisik yang menandakan kematangan
seksual; pubertas, merupakan titik pencapaian kematangan seksual, ditandai
dengan dengan keluarnya darah menstruasi pertama kali pada remaja putri
sedangkan pada remaja putra, indikasi kematangan seksualnya kurang jelas; dan
pascapubertas, merupakan periode 1 sampai 2 tahun setelah pubertas, ketika
pertumbuhan tulang telah lengkap dan fungsi reproduksi terbentuk dengan cukup
baik (Wong, dkk, 2009).
Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu memang berubah sesuai perkembangan
zaman. Ditinjau dari segi pubertas, 100 tahun terakhir usia remaja putri
mendapatkan haid pertama semakin berkurang dari 17,5 tahun menjadi 12 tahun,
demikian pula remaja putra. Kebanyakan orang menggolongkan remaja dari usia
23
12-24 tahun dan beberapa literatur yang menyebutkan 15-24 tahun. Hal yang
terpenting adalah seseorang mengalami perubahan pesat dalam hidupnya di
berbagai aspek (Efendi & Makhfudli, 2009).
Menurut Sarwono (2011), proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga
tahap perkembangan remaja:
a.
Remaja awal atau early adolescent (12-14 tahun)
Seorang remaja pada tahap ini masih tidak mengerti akan perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat
tertarik pada lawan jenis. Kepekaan yang berlebih ini ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit
dimengerti dan dimengerti orang dewasa.
b.
Remaja madya atau middle adolescent (15-17 tahun)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan temannya. Remaja senang jika banyak
teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu mencintai diri
sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu
remaja berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana
peduli atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis,
idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria biasanya membebaskan diri
dari oedipus complex (perasan cinta pada ibu sendiri pada masa anak-anak)
dengan mempererat hubungan dengan teman-temannya.
24
c. Remaja akhir atau late adolescent (18-20 tahun)
Tahap ini adalah masa menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian
lima hal yaitu:
1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan
dalam pengalaman-pengalaman baru.
3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum.
2.2.3
Perilaku Mencoba Merokok Remaja
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan, yang
dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung yang timbul karena adanya
stimulus dan respons (Sunaryo, 2004). Setelah melewati masa kanak-kanak (usia
6-12 tahun) yang relatif tenang, masa remaja ditandai dengan kehidupan emosi
yang lebih bergejolak. Remaja mulai melonggarkan ikatan emosional dengan
kedua orang tuanya walaupun secara finansial remaja menyadari bahwa dirinya
masih bergantung kepada orang tuanya. Melonggarnya ikatan emosional dengan
orang tua memang diperlukan dalam rangka membentuk identitas diri seseorang.
Pada saat itu, remaja mulai meninggalkan sebagian aturan, nilai atau norma yang
berlaku di rumah orang tuanya dan mulai mencari niai baru dalam kehidupan
25
pertemanan dengan teman sebayanya. Aturan tidak boleh merokok di rumah mulai
ditinggalkan. Agar diakui sebagai manusia yang telah dewasa, karena perilaku
merokok sering dianggap sebagai lambang kedewasaan (Joewana, 2005).
Perilaku mencoba merokok remaja mencakup tiga domain, yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya
mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behaviour) (Sunaryo,
2004). Menurut Rogers dalam Sunaryo (2004) sebelum seseorang mengadopsi
perilaku, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan
(Akronim AIETA), yaitu:
1) Awareness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus.
2) Interest (tetarik), individu mulai tertarik pada stimulus.
3) Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbang-nimbang tentang
baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Pada proses ketiga ini
subjek sudah memiliki sikap yang lebih baik lagi.
4) Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru.
5) Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
sikap, dan kesadarannya terhadap stimulus.
Menurut Sunaryo (2004), tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif,
mencakup 6 tingkatan, yaitu:
26
a) Tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat
mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah ia dapat menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.
b) Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan
dengan benar tentang objek yang diketahui. Ukuran bahwa seseorang paham
tentang sesuatu dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.
c) Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus,
metode dalam situasi nyata.
d) Analisis, artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam
bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut
dan masih terkait satu sama lain
e) Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan dalam menyusun
formulasi baru dari formulasi yang ada. Ukuran kemampuan adalah seseorang
dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori
atau rumusan yang telah ada.
f) Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek.
Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.
Menurut Wawan dan Dewi (2010), pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
1) Baik
: hasil presentasi 76%-100%
27
2) Cukup
: hasil presentasi 56%-75%
3) Kurang
: hasil presentasi <56%
Pengetahuan merupakan berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan
akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah
dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencoba merokok
untuk pertama kalinya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk,
dampak, dan rasa rokok tersebut (Purba, 2009).
b. Sikap
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik
yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup
tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap
stimulus tertentu (Sunaryo, 2004).
Menurut Azwar (2000) dalam Wawan dan Dewi (2011), struktur sikap terdiri atas
tiga komponen yang saling menunjang, yaitu:
1) Komponen kognitif yaitu representasi apa yang dipercayai oleh individu
pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan, ide dan konsep terhadap
suatu objek.
2) Komponen afektif yaitu perasaan yang menyangkut aspek emosional atau
evaluasi terhadap objek.
28
3) Komponen konatif yaitu aspek kecendurangan berperilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang.
Menurut Jenny (2012), proses kognitif dapat terjadi pada saat individu
memperoleh informasi mengenai objek sikap. Proses kognitif ini dapat terjadi
melalui pengalaman langsung, sebagai contoh pada saat individu mencoba rokok
untuk pertama kali kemudian merasakan kenikmatannya atau pengalaman tidak
langsung yang diperoleh dengan cara menonton iklan rokok yang memperlihatkan
bintang iklan terlihat gagah, jantan, dan glamour di televisi. Rasa nikmat yang
diperoleh tersebut menyebabkan individu atau remaja bersikap positif terhadap
perilaku mencoba merokok.
c. Praktik/Tindakan
Teori tindakan adalah salah satu pendekatan yang sangat berpengaruh dalam ilmuilmu sosial. Sedangkan praktik atau tindakan adalah mekanisme dari suatu
pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan
suatu tindakan (Hardiman, 2008). Hubungan tindakan atau perilaku merokok
sehubungan dengan penyakit yaitu terkait dengan pencegahan dan pengobatan
penyakit misalnya tidak mencoba berperilaku merokok meskipun orang tua atau
teman merokok.
29
Menurut Notoatmodjo (2007) tindakan memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
1) Persepsi (perception) yaitu praktik tingkat pertama yaitu mengenal dan
memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2) Respon terpimpin (guided response) merupakan indikator praktik tingkat dua
yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh.
3) Mekanisme (mechanism) yaitu praktik tingkat tiga apabila seseorang telah
dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan.
4) Adaptasi (adaptation) yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dan dilakukan dengan baik.
2.2.4
Tahap Perilaku Merokok
Menurut Leventhal dan Clearly dalam Fuadah (2011) menyatakan bahwa terdapat
empat perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:
a. Tahap prepatory.
Tahap prepatory adalah ketika seseorang mendapatkan gambaran yang
menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat atau hasil
bacaan yang dapat menimbulkan minat untuk merokok.
b. Tahap initiation.
Tahap initiation adalah tahap perintisan apakah seseorang akan meneruskan
atau tidak terhadap perilaku merokok.
30
c. Tahap becoming a smoker.
Tahap becoming a smoker adalah ketika seseorang telah menghisap rokok
sebanyak empat batang per hari.
d. Tahap maintenance of smoking
Tahap maintenance of smoking yaitu tahap dimana perokok telah menjadi
salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self regulating) yang dilakukan
untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
2.2.5
Tipe Perilaku Merokok
Menurut Smet (1994) dalam Nasution (2007), mengklasifikasikan tiga tipe
perilaku merokok menurut berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap, yaitu:
a. Perokok berat
: seseorang menghisap rokok 15 batang rokok dalam sehari.
b. Perokok sedang
: perokok yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari.
c. Perokok ringan
: perokok yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.
Menurut Silvan dan Tomkins dalam Fuadah (2011), terdapat empat tipe perilaku
merokok berdasarkan management of affect theory, yaitu:
a. Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan positif.
Terdapat tiga sub tipe perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan positif, yaitu:
1) Pleasure relaxation.
Perilaku merokok hanya menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah
didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.
2) Simulation to pick them up.
Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
31
3) Pleasure of handling the cigarette.
Kenikmatan yang diperoleh dari memegang rokok.
b. Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan negatif.
Banyak orang yang berperilaku merokok untuk mengurangi perasaan negatif
dalam dirinya. Mereka menghisap rokok agar terhindar dari perasaan yang tidak
enak, misalnya merokok apabila marah, cemas, dan gelisah.
c. Perilaku merokok yang adiktif.
Perokok yang sudah adiksi akan menambah dosis rokok yang dihisap setiap efek
rokok yang telah dihisapnya berkurang.
d. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan.
Perokok menggunakan rokok sama sekali bukan untuk mengendalikan perasaan
mereka, tetapi karena merokok sudah menjadi kebiasaan.
2.2.6
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Mencoba Merokok
Remaja
Salah satu perilaku menyimpang pada remaja adalah kenakalan remaja
(delinkuensi), yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja dalam
rangka mencari identitas diri dengan keinginan mencoba-coba sesuatu yang baru.
Niat semula hanya mencoba dan tindakan yang dilakukan tergolong
penyimpangan tanpa sedikit pun niat jahat yang dilakukan, salah satunya adalah
perilaku mencoba merokok (Soeroso, 2008).
32
Perilaku mencoba merokok biasanya mulai dilakukan selama masa kanak-kanak
dan masa remaja. Sejumlah studi menegaskan bahwa jumlah remaja yang mulai
merokok meningkat tajam setelah usia 10 tahun dan mencapai puncaknya pada
usia 13 sampai 14 tahun. Siswa yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih
muda, lebih cenderung menjadi perokok berat dan merokok secara teratur
daripada siswa yang mulai merokok pada usia yang lebih tua (Santrock, 2003).
Program kesehatan tradisional sering kali berhasil dalam mendidik remaja
mengenai konsekuensi kesehatan jangka panjang yang diakibatkan oleh merokok
namun tidak berpengaruh banyak pada tingkah laku merokok pada remaja.
Kebutuhan akan intervensi yang efektif telah mempengaruhi para peneliti untuk
berfokus pada faktor-faktor yang membuat remaja berisiko tinggi untuk merokok
nantinya, terutama tekanan sosial dari teman sebaya, anggota keluarga, dan media
(Santrock, 2003).
Menurut Susanti (2008) faktor-faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku
mencoba merokok, yaitu:
a. Pengaruh Orang Tua
Pola asuh orang tua dapat mempengaruhi emosi dan kepribadian anak yang
berakibat pada pola perilaku anak. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak,
secara negatif maupun positif (Susanti, 2008). Seseorang yang berasal dari
keluarga yang konservetif (keluarga yang menjaga dan memperhatikan anakanaknya) lebih sulit untuk terlibat dengan rokok. Sedangkan seseorang yang
berasal dari keluarga permisif (keluarga yang tidak terlalu menjaga anaknya dan
menerima perilaku anak) cenderung akan mudah untuk terlibat dengan rokok.
33
Dalam Journal of Consumer Affairs, Aliyah (2011) menyebutkan bahwa orang tua
perokok akan berpengaruh dalam mendorong anak mereka untuk menjadi perokok
pemula di usia mahasiswa. Diperkirakan pengaruh orang tua ini akan
meningkatkan keungkinan merokok 1,5 kali pada anak lelaki dan 3,3 kali lebih
besar pada anak perempuan.
b. Pengaruh Teman Sebaya
Seorang remaja biasanya suka berkumpul dengan teman-temannya yang
mempunyai karakter atau kebiasaan yang hampir sama. Apabila seorang remaja
mempunyai komunitas teman-teman merokok maka kemungkinan besar remaja
tersebut juga akan terpengaruh merokok. Awalnya mungkin remaja tersebut hanya
ingin mencoba karena bujukan teman atau sebagai bentuk solidaritas, lamakelamaan perilaku ini dapat menjadi kebiasaan karena nikotin dalam rokok
mempunyai efek membuat kecanduan bagi pemakainya (Susanti, 2008).
Menurut Mu’tadin (2002) dalam Fuadah (2012), kajian telah menunjukkan bahwa
mahasiswa yang masih tergolong remaja mempunyai kawan-kawan yang merokok
adalah lebih mungkin merokok berbanding dengan yang sebaliknya. Banyak
orang terdorong menjadi perokok pemula karena untuk menyesuaikan diri pada
sebuah komunitas pergaulan. Rokok membuat mereka merasa lebih diterima oleh
banyak orang. Dari fakta tersebut ada 2 kemungkinan yang terjadi, pertama
mahasiswa tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman
mahasiswa tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka
semua menjadi perokok. Di antara perokok terdapat 87% sekurang-kurangnya
mempunyai satu atau lebih sahabat yang perokok (Widianti, 2009).
34
c. Faktor Kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan
diri dari rasa sakit dan kebosanan. Secara kepribadian, kondisi mental yang
sedang menurun seperti stres, gelisah, takut, kecewa, dan putus asa sering
mendorong orang untuk menghisap asap rokok. Mereka merasa lebih tenang dan
lebih mudah melewati masa-masa sulit setelah merokok (Mu’tadin dalam Fuadah
(2012).
Menurut Mu’tadin (2002) dalam Fuadah (2012) juga menyatakan bahwa memang
tak bisa dipungkiri bahwa ada 2 hal dari rokok yang memberi efek tenang, yaitu
nikotin dan isapan rokok. Dalam dosis yang tertentu, asupan nikotin akan
merangsang produksi dopamine (hormon penenang) di otak. Namun, ini hanya
terjadi sesaat dan akan berbalik menjadi efek buruk bagi kesehatan secara
permanen. Ditambah lagi, sebuah literatur menyebutkan bahwa gerakan bibir
menghisap dan menghembuskan lagi asap rokok memberi efek tenang secara
psikis. Gerakan ini dianalisiskan seperti gerak refleks seseorang saat menghela
nafas untuk menenangkan dirinya saat menghadapi masalah.
Tipe kepribadian setiap individu baik introvert maupun ekstrovert akan
mempengaruhi perilaku merokok. Dalam fenomena sosial dapat kita lihat bahwa
orang yang ekstrovert, perilaku merokoknya sering kali diawali sebagai aktivitas
sosialisasinya yang memungkinkan mereka berada di area pergaulan dengan
banyak orang. Akan tetapi orang yang bertipe kepribadian introvert memulai
perilaku merokok cenderung disebabkan karena keadaan stress pribadinya atau
karena faktor internal dalam dirinya. Tempat yang digunakan untuk merokok pun
35
cenderung bersifat pribadi, misalnya di ruang pribadi dalam kantornya ataupun di
kamar (Fitri, 2008).
d. Pengaruh Iklan
Tema ilkan rokok selalu menampilkan pesan positif seperti bergaya, peduli, dan
setia kawan. Efek kultifasi memberikan kesan bahwa televisi mempunyai dampak
yang sangat kuat pada diri individu. Bahkan orang-orang yang terkena efek ini
menganggap bahwa lingkungan di sekitar sama seperti yang tergambar dalam
media televisi. Berdasarkan penelitian Universitas Muhammadiyah Prof Dr.
Hamka dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), iklan rokok merupakan
salah satu penyebab meningkatnya jumlah perokok di Indonesia (Candra, 2008).
Iklan pada dasarnya bersifat membujuk pemirsa yang pada akhirnya akan
mendorong munculnya hasrat untuk membeli. Iklan sering kali menyesatkan.
Iklan di media masa dan elektronik memberitakan gambaran bahwa merokok
merupakan lambang kedewasaan. Remaja yang emosinya masih labil dan belum
dapat berfikir matang mudah terpengaruh dan mengikuti perilaku seperti iklan
(Warto, 2007).
2.2.7
Dampak Perilaku Mencoba Merokok
Perilaku merokok mempunyai dampak bermacam-macam bagi perokok. Menurut
Ogden (2000) dalam Fuadah (2012), perilaku merokok mempunyai dua dampak,
yaitu dampak positif dan dampak negatif.
36
a) Dampak Positif
Merokok menimbulkan dampak positif yang sangat sedikit bagi kesehatan.
Graham dalam Ogden (2000) menyatakan bahwa perokok mengatakan bahwa
dengan merokok dapat menghasilkan mood positif dan dapat membantu individu
menghadapi keadaan-keadaan yang sulit. Smet (1994) mengatakan bahwa
keuntungan merokok (terutama bagi perokok) yaitu mengurangi ketegangan,
membantu konsentrasi, dukungan sosial, dan menyenangkan.
b) Dampak Negatif
Merokok dapat menyebabkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap
kesehatan (Ogden, 2000). Menurut Sitepoe (2001), berbagai penyakit yang dapat
dipicu karena merokok dimulai dari penyakit di kepala sampai dengan penyakit di
telapak kaki. Penyakit-penyakit tersebut antara lain penyakit kardiovaskular,
neoplasma (kanker), penyakit saluran pernafasan, peningkatan tekanan darah,
memperpendek umur, penurunan fertilitas dan nafsu seksual, sakit maag,
gangguan pembuluh darah, kulit menjadi kering, pucat dan keriput.
Berdasarkan hasil penelitian BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional) (2007) disebutkan bahwa di Indonesia rokok menyebabkan
9,8% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema pada tahun 2001.
Merokok juga merupakan penyebab dari sekitar 5% stroke di Indonesia, dan pada
pria meningkatkan risiko impotensi sebesar 50%. Seorang bukan perokok yang
menikah dengan perokok mempunyai risiko kanker paru sebesar 20-30% lebih
tinggi daripada mereka yang pasangannya bukan perokok dan juga risiko
mendapatkan penyakit jantung.
37
Terpaparnya remaja dengan asap rokok akan meningkatkan risiko asma, penyakit
telinga tengah, pneumonia, batuk, infeksi saluran pernafasan atas, menurunkan
kadar kolesterol HDL, dan penyakit jantung koroner. Bila terpapar asap rokok
mulai usia sebelum 10 tahun akan meningkatkan risiko leukemia dan limfoma
(Soetjiningsih, 2004).
2.3 Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Merokok
Remaja Putra
Menurut Gerungan dalam Sukanta (2007) pola asuh orang tua merupakan caracara dan sikap-sikap orang tua dalam melaksanakan peranannya terhadap anggota
keluarga yang berpengaruh besar terhadap kehidupan setiap individu yang
menjadi anggota keluarganya. Hal ini senada dengan pendapat Suanthara dalam
Sukanta (2007) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua pada dasarnya
merupakan model atau cara orang tua memberikan pendidikan kepada anaknya di
dalam keluarga. Dalam pelaksanaan fungsi pendidikan ini setiap orang tua
menerapkan cara atau model tertentu sesuai dengan harapan orang tua terhadap
perilaku anak.
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua yang selalu menekan, tidak
memberikan kebebasan pada anak untuk berpendapat akan membuat anak
tertekan, marah dan kesal kepada orang tuanya, akan tetapi anak tidak berani
mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskan kepada hal lain berupa
perilaku merokok. Mengasuh anak secara demokratis lebih baik dari otoriter dan
38
permisif. Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memberikan
bimbingan yang sesuai dengan perkembangan anak (Agus, 2012).
Parker (2005) mengemukakan bahwa sikap otonomi terkait adanya kontrol yang
berlebihan dari orang tua sehingga jangkauan anak untuk memutuskan sesuatu
yang menyangkut dirinya sendiri menjadi sangat terbatas. Ketika orang tua berdiri
terlalu jauh dibelakang dan melepaskan tanggung jawabnya untuk memberikan
perhatian yang semestinya, anak-anak dapat menyalahgunakan tanggung jawab
dan kontrol yang diberikan kepada mereka. Oleh sebab itu diperlukan adanya
pengkajian ulang dan pengamatan terhadap perkembangan dan kondisi anak
sehingga orang tua tidak terlalu menekan ataupun terlalu melepas tanggung
jawabnya sebagai proses upaya meningkatkan perkembangan kemandirian anakanaknya.
Agus (2012) mengemukakan bahwa pola asuh permisif yang cenderung
memberikan kebebasan pada anak untuk berbuat apa saja, dapat berpotensi
membuat anak menjadi bingung dan salah arah dalam berperilaku. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kharie, Pondaag, dan Lolong (2014), didapatkan
hasil bahwa presentasi anak laki-laki usia 15-17 tahun yang berperilaku merokok
tertinggi yaitu perilaku merokok berat. Jenis pola asuh yang paling banyak
diterapkan oleh orang tua pada anak lai-laki usia 15-17 tahun, yaitu pola asuh
permisif.
Metode pengendalian yang memaksa, baik secara fisik maupun verbal bersifat
mengganggu dan seringkali secara sewenang-wenang berdasarkan tingkah laku
orang tua. Perilaku mengendalikan yang dilakukan dengan cara tidak memberi
39
kasih sayang mungkin cara yang efektif, namun hal tersebut membuat anak-anak
merasa tidak aman, cemas, dan pasrah terlepas dari keinginannya sendiri untuk
dapat diterima oleh orang tua mereka. Metode ini cukup efektif untuk jangka
pendek namun jarang berhasil untuk jangka panjang karena fokusnya adalah pada
akibat-akibat perilaku eksternal daripada nilai-nilai yang dianut (Baumrind dalam
Judy et all, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Blokland, Hale, Meeus &
Engels (2006) dalam jurnal yang berjudul Parental Support and Control and
Early Adolescent Smoking: A Longitudinal Study didapatkan hasil yang
menunjukkan data longitudinal yang dikumpulkan setiap enam bulan selama
setahun di Belanda antara 1.012 remaja (rata-rata 12–13 tahun) kelas satu sekolah
menegah, diketahui bahwa pengawasan dan kontrol orang tua yang rendah secara
signifikan menginisiasi remaja untuk merokok. Sedangkan dukungan dan
pengawasan orang tua yang baik tidak memprediksikan terjadinya peningkatan
merokok pada remaja. Selain itu, ditemukan bahwa orang tua yang merokok
berperan penting dalam kelanjutan merokok pada remaja. Temuan ini
menunjukkan pentingnya gaya/pola pengasuhan merokok pada remaja dan temuan
ini terkait dengan implementasi program pencegahan merokok.
Download