PENGARUH PEMBERIAN METHYLPREDNISOLONE® TERHADAP ADHESI PERITONEUM SECARA MIKROSKOPIK PASCA LAPAROTOMI PADA TIKUS PUTIH Penelitian untuk Proposal Disusun Oleh : Zulfadly NIM. S561308006 Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan adhesi peritonium merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah operasi laparotomi. Angka kejadian adhesi peritonium pasca laparotomi berkisar antara 67% hingga 93%. Adhesi peritonium merupakan penyebab morbiditas yang tinggi pasca tindakan pembedahan meskipun bertahun-tahun kemudian setelah tindakan awal pembedahan. Empat puluh persen kasus obstruksi disebabkan oleh adhesi peritonium. Adhesi peritonium juga dapat menyebabkan nyeri panggul kronik pada 20%-50% kasus (Arung,2011) Adhesi intraperitoneal merupakan suatu perlengketan fibrosa yang abnormal di antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum visceral maupun antara peritoneum visceral dengan parietal. Adhesi intraperitoneal pasca operasi merupakan kejadian yang sering dijumpai dan menjadi morbiditas serta mortalitas bagi pasien. Kebanyakan kejadian adhesi intraperitoneal disebabkan oleh operasi sebelumnya, didapatkan proses adhesi yang meningkat satu sampai sepuluh kali pada pasien pasca operasi intraabdomen.( Jacocks A,2006) Pembentukan adhesi peritoneum merupakan proses yang kompleks, dan etiologi proses terjadinya belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya adhesi antara lain : 1) trauma operasi, 2) iskemia jaringan, 3) infeksi, darah, 4) benda asing iritatif (Pados et all, 2013). Mekanisme yang mendasari terjadinya adhesi peritonium belum diketahui secara jelas. Patogenesis dari pembentukan adhesi dapat dipengaruhi oleh tiga faktor utama; 2 (I) Inhibisi dari sistem fibrinolitik dan degradasi matrix extraseluler, (II) induksi dari respon inflamasi, dan (III) hipoksia jaringan (Pismensky, 2011). Penggunaan cairan normal saline pencuci peritoneum saat operasi banyak digunakan. Normal saline bahkan sering digunakan sebagai cairan bagi kelompok kontrol pada banyak penelitian. Pada penelitian Philips dan Dudley didapatkan peningkatan kejadian adhesi pada penggunaan cairan pencuci normal saline. Dimana dapat menginisiasi terjadinya fibrosis pada peritoneum yang berakibat terjadinya adhesi (Breborowicz, 2005; Winckiewicz, 2007). Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Yang termasuk golongan glukokortikoid sintetik adalah deksametason, prednison, methylprednisolone, triamsinolon dan betametason. Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. (Chorousus,2001) B. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian methylprednisolone terhadap adhesi peritoneum pasca laparatomi pada tikus ? 3 C. Tujuan penelitian Mengetahui Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian methylprednisolone terhadap adhesi peritoneum pasca laparatomi pada tikus ? D. Manfaat Penelitian Untuk menambah pengetahuan apakah methylprednisolone® dapat mengurangi terjadinya adhesi peritoneum. 4 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Adhesi Peritoneal Adhesi peritoneal adalah jaringan fibrous abnormal antara permukaan peritoneum yang berdampingan dan dapat menyebabkan gangguan gerakan dan pasase usus. 5. Adhesi dapat terjadi setelah operasi ( post operative adhesion), kongenital dan setelah inflammasi ( post inflammatory ), adhesi pascaoperasi merupakan penyebab terbanyak yaitu sebesar 75% dan terjadi pada usus halus. (Ray, 2011). Trauma jaringan selama operasi, proses inflammasi, sisa darah, bakteri dan jaringan nekrotik memang akan memicu sel-sel mesotel memproduksi eksudat yang kaya fibrin dan menyebabkan terbentuknya adhesi fibrinous. Akan tetapi cepatnya pembentukan adhesi fibrinous dalam waktu beberapa jam setelah ini karena peritoneum memiliki daya penyembuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan penyembuhan luka biasa.( Zinner, 2007) Fibrin-fibrin ini dapat diabsorpsi secara komplit, sehingga rongga peritoneal menjadi bersih kembali atau dapat diorganisasi dengan tumbuhnya fibroblast yang membentuk adhesi fibrous yang menetap. Adhesi fibrous dapat terjadi karena 3 situasi sebagai hasil dari pembedahan abdomen yaitu (Lorenz, 2007): 1. Aposisi dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan. Keadaan ini sudah dibuktikan pada percobaan binatang tikus yang dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan ternyata meningkatkan adhesi sampai 80%. 5 2. Keadaan iskemia jaringan. Hal ini dapat terjadi karena proses patologis intraabdomen, atau karena penjahitan ataupun devaskularisasi. 3. Adanya benda asing dalam rongga peritoneal,misalnya benang, bedak pada sarung tangan, bubuk antibiotika dan material sintetik lainnya. Ada beberapa teori mengenai pembentukan adhesi. Teori paling awal yaitu teoriprimitif yang menyebutkan adanya trauma pada peritoneum maka terjadi penyembuhansehingga pada akhirnya terbentuk adhesi. (Lorenz, 2007): Teori berikutnya yaitu teori klasik yang menyebutkan adanya stimulus yang menyebabkan pembentukan adhesi seperti trauma, infeksi dan iskemia. Stimulus ini akan menciptakan respons inflammasi intraperitoneal akut dan akan menghasilkan eksudat yang kaya fibrin. Dengan peritoneum yang intak, maka adhesi fibrinous akan dihambat dan fibrin akan diresorpsi. Bila terdapat peritoneum yang tidak sehat maka adhesi fibrinous ini akan menetap dan diorganisasi. (Ellis,1999) Teori yang dianut sekarang adalah modifikasi teori klasik yaitu stimulus yang berbeda terhadap peritoneum menciptakan derajat yang berbeda terhadap penurunan kadar Plasminogen Activator Activity(PAA). Penurunan level PAA ini akan menyebabkan organisasi dari adhesi fibrinous sehingga terbentuk adhesi. (Ellis,1999) 6 Gambar 1. Modifikasi dari Teori Klasik Terbentuknya Adhesi Pascaoperasi8 Inti dari patofisiologi adhesi pascaoperasi adalah keseimbangan dinamis antara pembentukan fibrin dan fibrinolysis. Dengan kadar PAA yang menurun maka kadarplasminogen menjadi plasmin akan menurun, sehingga mengakibatkan aktivitas fibrinolitik menurun. (Ellis,1999) Fibrin dapat terbentuk dalam waktu 10 menit dan organisasi dimulai dengan migrasi dari fibroblast dalam waktu 3 hari pertama. Fibroblast akan membentuk prekollagen lalu selanjutnya menjadi serabut kollagen serta akhirnya membentuk serabut elastik. Pembentukan adhesi yang komplit selesai dalam waktu 10 hari. 7 Gambar 2. Histiogenesis dari Adhesi Pascaoperasi8 Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan prostaglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk membunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik secara anatomi dan fisiologi(Arung et all, 2011). Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka. Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan membantu membersihkan jaringan yang mati. Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF β) yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesothelium untuk menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk antara 8 48 sampai 72 jam pasca laparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi proliferasi sel endotel pada proses neovaskularisasi, proses re-epitelisasi jaringan peritoneum(Liakakos et all,2001). Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesothelium secara komplek. Bila fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel mesothelium akan tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan ke enam akan menurun dan pada hari ke delapan sel mesothelium akan menutupi luka dan beregenerasi secara komplek. Bila sistem fibrinolisis tersebut gagal dalam melisis jaringan ikat fibrin maka terbentuk jaringan ikat yang persisten(Pados,2013). Gambar 2.2. Perkembangan waktu terjadinya adhesi Derajat adhesi digunakan untuk menilai tingkat keparahan adhesi, berguna untuk penelitian dan klinis. Derajat ini dinilai baik secara makroskopis maupun mikroskopis(Nohuz et all,2014). Derajat adhesi secara makroskopis dibagi menjadi sebagai berikut: 9 Tabel 2.1. Derajat adhesi menurut Majusi klasifikasi (Ircorucu et all,2009) Skor Derajat 0 Tidak ada perlekatan 1 Filmy adhesi Deskripsi diperlukan pembedahan tumpul yang lembut, untuk pembebasan adhesi 2 Mild adhesi Diperlukan pembedahan tumpul agresif untuk membebaskan adhesi 3 Moderat adhesi Pembedahan tajam diperlukan untuk membebaskan adhesi 4 Severe adhesi Diperlukan diseksi untuk membebaskan adhesi, tidak dapat dihindari kerusakan organ Sedangkan derajat adhesi secara mikroskopik, dapat dibagi menjadi sebagai berikut : Tabel 2.2. Derajat adhesi (Ersoy R,2007) Skor 0 Derajat Absence Deskripsi Tidak didapatkan sel – sel inflamasi (0%) pada lokasi perlekatan 1 Mild inflamasi sel – sel Didapatkan inflamasi (1-15%) perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan 2 Moderate inflamasi Didapatkan sel – sel inflamasi (16-49%) perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan 3 Severe inflamasi Didapatkan sel - sel inflamasi (50-100%) persepuluh lapang pandang pada lokasi perlekatan 10 Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sejak lima dekade terakhir, adhesi yang permanen dapat dicegah dengan menggunakan teknik pembedahan yang baik. Teknik bedah yang harus dilakukan untuk mencegah adhesi adalah sebagai berikut(Liakakos et all,2001) : 1. Minimalisasi cedera jaringan, peritoneum sangat mudah mengalami cedera, sehingga mengakibatkan kerusakan pada lapisan sel mesotel dan merusak jaringan ikat dibawahnya sehingga akan menimbulkan aktivitas fibrinolisis. Hemostasis yang baik, penanganan jaringan secara gentle, mempertahankan kelembaban dengan memakai kasa lembab dan menghindari kasa kering, akan dapat meminimalkan cedera pada peritoneum. 2. Jahitan peritoneum, berbagai penelitian menunjukkan bahwa penjahitan peritoneum akan menginduksi terbentuknya adhesi. Penjahitan dan graft peritoneum akan mengakibatkan iskhemi, mengganggu vaskularisasi, mengakibatkan nekrosis, sehingga akan mengakibatkan turunnya aktivitas fibrinolisis pada tempat itu dan membentuk adhesi permanen. Penggunaan benang yang non reaktif dan halus juga akan mengurangi efek benda asing pada peritoneum. 3. Hindari benda asing dan jaringan nekrotik, hadirnya benda asing akan meningkatkan reaksi inflamasi yang bertambah sehingga terbentuk suatu granuloma dan terjadinya adhesi bertambah tebal. Jaringan nekrotik akan merangsang proses migrasi sel-sel neutrophil dan pelepasan mediator lainnya, dan pada akhirnya proses inflamasi akan berlanjut dan aktifitas fibrinolisis dihambat. 11 4. Mencegah timbulnya infeksi melalui tindakan asepsis dan antiseptik, serta antibiotika profilaksis, adanya proses infeksi yang berlanjut pada peritoneum akan terus merangsang proses inflamasi pada sintesis kolagen, dan aktifitas fibrinolisis akan dihambat, sehingga terjadi adhesi yang permanen. 5. Hindari ileus paralitik berlarut pasca bedah, usahakan peristaltik usus cepat kembali, karena dengan bergeraknya usus melalui proses peristaltik dan aktifitas fibrinolisis, adhesi yang temporer akan segera mengalami lisis karena kontak antara permukaan serosa tidak terlalu lama. Berbagai teknik tersebut dapat lebih baik dicapai dengan bedah laparoskopik. Teknik operasi terbuka dibandingkan laparoskopi mempunyai peranan penting terhadap kejadian adhesi peritoneum. Insiden adhesi peritoneum pada operasi kholesistektomi terbuka sebesar 7,1%, dibandingkan dengan laparoskopi yang hanya 0,2%. Pada bedah laparoskopik luka operasi jauh berkurang, manipulasi jaringan lebih terbatas, kekeringan jaringan terhindarkan, penggunaan benda asing sangat minimal, sarung tangan tidak digunakan di dalam rongga peritoneum, dan pemulihan pasien lebih cepat sehingga mobilisasi pasien menjadi lebih cepat pula. Secara keseluruhan teknik operasi laparoskopi menurunkan angka kejadian adhesi peritoneum(Pados,2013). Mekanisme untuk mengurangi pembentukan adhesi adalah : 1. Pencegahan deposisi dari fibrin, antara lain dengan penggunaan antikoagulan seperti sodium sitrat, heparin, dikumarol dan dextran atau aprotinin. Anti koagulan akan mencegah terbentuknya bekuan dan pembentukan fibrin. Namun penggunaan anti koagulan ini dapat mengakibatkan perdarahan dan memperlambat penyembuhan luka(Mashhadi et all,2008). Sebuah penelitian melaporkan penggunaan Heparin dosis 12 rendah (2500/5000 UI) sebagai irigasi intra peritoneal tidak mengurangi adhesi secara bermakna(Liakakos et all,2001). 2. Menghilangkan eksudat fibrin dari rongga peritoneum, fase awal terbentuknya adhesi adalah perlengketan organ visceral yang berdekatan karena eksudat fibrin. Untuk mencegah terjadinya organisasi eksudat fibrin sehingga menjadi permanen, digunakan agen-agen fibrinolitik. Agen fibrinolitik bekerja secara langsung dengan mengurangi massa fibrin dan secara tidak langsung dengan merangsang aktivitas plasminogen activator. Beberapa contoh agen fibrinolitik ini adalah fibrinolisin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, kimotripsin, tripsin pepsin dan plasminogen aktivator. Penggunaan recombinant tissue Plasminogen Activator (rtPA) dalam penelitian binatang, dapat mengurangi terjadinya adhesi. Evans dkk(1993), dalam penelitiannya membuktikan walaupun rtPA akan mencegah ataupun memodifikasi pembentukan adhesi intraabdomen, sangat bergantung pada dosis pemakaian. 3. Pencegahan proliferasi fibroblast, pencegahan fibroblast dapat dicegah oleh agen antiinflamasi seprti kortikosteroid, NSAID (tolmetin, ibuprofen, indometasin, ketorolak), antihistamin (prometazin) progesteron, Ca bloker dan kolkisin. Mekanisme kerja secara umum untuk menghambat sintesis dan aktivasi prostaglandin, permeabilitas vaskular mengurangi dan agregasi menghambat platelet, aktivitas menurunkan sel-sel PMN, meningkatkan fungsi makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan menstabilkan lisosom. NSAID meningkatkan produksi IL-10 yang 13 mengaktifkan proses fibrinolitik, menghambat neovaskularisasi, mengurangi migrasi dan proliferasi fibroblast serta produksi kolagen sehingga deposit fibrin yang terbentuk dapat lisis dan mencegah terbentuknya adhesi fibrosa yang permanen(Liakakos et all,2001). 4. Pemisahan mekanik, barier antiadhesi ada 2 jenis; barier cairan makro molekul dan barier mekanik. Barier ideal adalah aman dan efektif, tidak merangsang reaksi inflamasi, non imunologik, bertahan selama fase remesotelialisasi, tidak perlu dijahit, aktif dalam lingkungan berdarah, biodegradasinya sempurna, tidak mempengaruhi proses penyembuhan luka, tidak meningkatkan infeksi atau menyebabkan adhesi. Contoh barier mekanik cairan; RL, dextran 70, asam hyaluronat, HA-PBS/ aseprocoat, dan karboksi metil selulosa. Sedangkan contoh barier padat yaitu transplant peritoneal autologous, insidensi, luasnya dan beratnya adhesi pasca bedah dibandingkan PTFE (Goretex), oxidizex-regenerated cellulosa (Interceed), dan HA CMC(Seprafilm)( Emre et all,2009). Secara uji klinis multisenter di Amerika Serikat menunjukkan bahwa asam hyaluronat secara signifikan aman dan efektif untuk menurunkan dengan standar teknik pembedahan mutakhir.(Yildiz et al,2011). 2. Natrium Klorida (NaCl) Natrium Klorida adalah garam yang paling berperan penting dalam salinitas laut dan dalam cairan ekstraseluler dari banyak organisme multiselular. Garam sangat umum digunakan sebagai bumbu masakan dan pengawet. Natrium Klorida adalah garam yang 14 berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih. NaCl dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkohol. NaCl juga merupakan senyawa natrium yang berlimpah di alam. Cairan NaCl 0,9% atau sering disebut normal saline merupakan larutan isotonis, sangat banyak digunakan secara luas dibidang medis diantaranya dapat digunakan secara intravena untuk menyediakan cairan untuk merehidrasi pasien ataupun menyediakan cairan harian dan kebutuhan garam yang mungkin tidak dapat dipenuhi secara oral dan cairan pembilas dan pencuci pada luka. Mengandung sodium dan chloride dengan konsentrasi masing-masing 155 mmol/L. Keasaman (pH) dari cairan ini antara 5,5 sampai 6,5 dimana dibawah pH normal tubuh manusia yaitu 7,3-7,4. Normal saline sering digunakan untuk mencuci peritoneum saat pembedahan. Didapatkan peningkatan kejadian adhesi pada penelitian sebelumnya dengan hewan coba tikus. Terjadi penebalan jaringan submesothelial dengan neovascularisasi.(Breborowicz, 2005). Natrium Klorida digunakan dalam proses kimia untuk skala besar produksi senyawa yang mengandung Sodium atau Khlor. Sejak akhir abad ke-19, pada waktu proses elektrolisis secara besar-besaran diperkenalkan, telah dapat dibuat bermacammacam senyawa dengan bahan baku NaCl, misalnya Natrium Hidroksida, Asam Klorida, Natrium Karbonat, Natrium Sulfate dan senyawa-senyawa lainnya. Natrium Klorida merupakan cairan kristaloid yang dapat digunakan sebagai barier mekanik cairan untuk mencegah adhesi. Penyerapan air dan elektrolit dari cavum peritoneal sangat cepat, rata-rata 30-50 ml/jam. Isoosmolar NaCl diabsorbsi dalam kurang dari 24 jam. Proses remesotelialisasi peritoneal memerlukan waktu 5-8 hari sehingga larutan kristaloid akan sudah terabsorbsi sebelum proses deposisi fibrin dan pembentukan adhesi selesai. Penelitian menunjukkan rerata pembentukan adhesi sekitar 15 80% pada pasien yang diberikan irigasi kristaloid. Jumlah cairan yang berlebihan pada rongga peritoneal setelah operasi akan mengakibatkan rasio phagosit-bakteri sehingga mengurangi kemampuan untuk mengeliminasi infeksi. Meninggalkan sejumlah besar cairan kristaloid intra-peritoneal akan merugikan pasien pasca bedah.(Liakakos et all,2001) Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi Natrium Klorida 9,0 gram dengan osmolalitas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl 154 mEq/l(Breborowicz,2005). Natrium Klorida 0,9% adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh, karena alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari Natrium Klorida. Normal saline aman digunakan untuk kondisi apapun. Natrium Klorida mempunyai Na Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Breborowicz,2005). Natrium Klorida tersedia dalam beberapa kemasan, yang paling sering digunakan Natrium Klorida 0,9%. Ini adalah konsentrasi normal dari Natrium Klorida dan untuk alasan ini Natrium Klorida disebut juga normal saline. Natrium Klorida 0,9% merupakan larutan isotonik aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat. Cairan isotonik adalah suatu cairan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang sama(tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel. Dikarenakan tidak ada perbedaan gradien antara ekstrasel dan intrasel maka tidak terjadi pergerakan jaringan molekul yang melewati membran sel. Pergerakan molekul terjadi secara difusi 16 pada dua arah dengan kecepatan yang sama sehingga sel tidak mengalami kehilangan ataupun kelebihan cairan(Halperin & Goldstein,2009). Cairan kristaloid tidak menurunkan kejadian adhesi pasca operasi pada penelitian yang dilakukan Wiseman,1999. Penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa normal saline menurunkan viabilitas dan aktivitas fibrinolisis sel mesothel peritoneum sehingga disimpulkan bahwa normal saline merupakan faktor predisposisi terbentuknya adhesi peritoneum (Winckiewicz et all,2007). Selain itu ada penelitian lain juga yang membuktikan bahwa normal saline dapat mengakibatkan disfungsi dari sel mesothelial sehingga mempercepat terbentuknya adhesi peritoneum (Cwalinski et all,2015). 3. Methylprednisolone Methylprednisolone adalah kortikosteroid. Mekanisme kerja dari methylprednisolone adalah sebagai Kortikosteroid hormon reseptor agonist . Methylprednisolone adalah glukokortioid turunan prednisolon yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Methylprednisolone adalah suatu glukokortikoid sintetik dan diabsorpsi secara cepat melalui saluran pencernaan. Methylprednisolone merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. (Chorousus,2001) Methylprednisolone nama kimianya 21-(acetyloxy)-11, 17-dihydroxy-6-methyl,(6(alpha), 11(beta)) pregna-1,4-diene-3, 20-dione. Methylprednisolone merupakan serbuk kristalin berwarna putih, tidak berbau, meleleh pada 215° dengan sedikit penguraian. Larut dalam dioksan, sedikit larut dalam aseton, etanol, metanol, kloroform, 17 dan sedikit sekali larut dalam eter. Methylprednisolone praktis tidak larut dalam air. (Chorousus,2001) Methylprednisolone diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian dosis oral.Konsentrasi puncak setelah pemberian oral di plasma dicapai dalam waktu maksimal sekitar 1,5-2,3 jam. Bioavabilitas absolut methylprednisolone pada subyek sehat yang normal umumnya tinggi (82% sampai 89%) setelah pemberian oral. Ini artinya rata-rata konsentrasi puncak yang dicapai adalah 1,1 – 2,2 jam. (Chorousus,2001) Methylprednisolone secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh dan digambarkan oleh model 2-kompartemen. Volume rata-rata distribusi pada 34 sukarelawan dewasa berkisar 41- 61,5 L. Methylprednisolone didistribusikan secara luas kedalam jaringan, melintasi penghalang darah-otak, penghalang plasenta, dan disekresi dalam ASI. Volume yang tampak jelas dari distribusi adalah sekitar 1,4 L/kg. Protein plasma mengikat methylprednisolone pada manusia adalah sekitar 77%. Methylprednisolone di metabolisme inaktif di hati, yang utama 20α- hydroxymethylprednisolone and 20βhydroxymethylprednisolone. Metabolisme di hati terutama melalui enzim P3A4 enzyme. Methylprednisolone, seperti banyak substrat P3A4, juga dapat menjadi substrat untuk ATP- binding cassette (ABC) protein transport pglikoprotein, mempengaruhi distribusi jaringan dan interaksi dengan obat lain. (Miller,2003) Waktu paruh eliminasi total methylprednisolone adalah sekitar 1,8- 5,2 jam. Jumlah pembersihan sekitar 5 sampai 6 mL/ menit/ kg. Setelah pemberian IV dari radiolabelled 6- methylprednisolone untuk enam pasien kanker, 75% di ekskresikan di 18 urin setelah 96 jam dan 9% di feses selama 5 hari 20% dari dosis total di ekskresikan dalam empedu. (Chorousus,2001) Methylprednisolone merupakan kortikosteroid dengan lama kerja sedang/intermediate, yang termasuk kategori adrenokortikoid dan mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresan. (Chorousus,2001) Sebagai adrenokortikoid, methylprednisolone berdifusi melewati membran dan membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit). (Schimmer, 2001) Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Methylprednisolone juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat 19 (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi. (Schimmer, 2001) Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Methylprednisolone juga menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran, konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.Dosis awal pada dewasa dari methylprednisolone dapat bermacam-macam dari 4 mg – 48 mg per hari, dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit diberikan bersamaan dengan makanan.Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg/kgbb .Dosis dapat diulangi setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. (Chorousus,2001). Mekanisme kerja Methylprednisolone® untuk mengurangi pembentukan adhesi adalah dengan mencegah proliferasi fibroblast dengan cara menghambat sintesis dan aktivasi prostaglandin, mengurangi aggregasi platelet, menurunkan permeabilitas vaskular dan menghambat aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan menstabilkan lisosom (Chorousus,2001). Kirdak et al meneliti efektifitas methylprednisolon dengan dosis berbeda dalam mencegah adhesi peritoneal pada tikus. Didapatkan bahwa tidak ada perbedaan 20 efektifitas pemberian methylprednisolon secara topical dengan dosis yang berbeda untuk mencegah pembentukan adhesi peritoneal (Arung et all,2011). 21 B. Kerangka Teori Laparatomi NaCl 0,9 % Isotonik , TGF β meningkat , t-PA ditekan -Paparan benda asing -Iskemia -Trauma peritoneum -Infeksi abdominal Reaksi inflamasi Methylprednisolone IM menghambat sintesis dan aktivasi prostaglandin, Reaksi inflamasi penurunan aktivitas fibrinolisis Proliferasi Fibroblast menurun Neovaskularisasi, bertambahnya jaringan fibrosa Re laparotomi Adhesi << Adhesi >> 22 Keterangan Bagan Kerangka Teori Adhesi intra peritoneal merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah operasi laparotomi. Trauma pada peritoneum mengakibatkan hilangnya sel mesothelium peritoneum sehingga menimbulkan reaksi inflamasi sebagai respon tubuh dan meningkatkan pemeabilitas pembuluh darah pada area tersebut, hal ini menyebabkan terjadinya eksudasi dari sel-sel inflamasi yang mengawali terbentuknya matriks fibrin, yang menghubungkan kedua permukaan peritoneal yang cedera (Arung et all,2001) Infeksi intraabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut, diverticulitis, cholecystitis), trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar), cedera panas (kauterisasi), iskemia (termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan mukosa, devaskularisasi), paparan benda-benda asing (bubuk tepung dari sarung tangan, serat-serat jaringan, atau potongan benang) dan lain-lain (Ellis,1982). Setelah terjadinya pembentukan jaringan ikat fibrin, fibrinolisis akan memecah jaringan ikat tersebut. Normal saline mempunyai efek dalam penurunan aktivitas fibrinolisin dan terbentuknya neovaskularisasi serta mengakibatkan bertambahnya jaringan fibrosa sehingga merangsang pembentukan adhesi peritoneum(Halperin & Goldstein ,2009). ` Methylprednisolone® mengurangi pembentukan adhesi dengan mencegah proliferasi fibroblast dengan cara menghambat sintesis dan aktivasi prostaglandin, mengurangi aggregasi platelet, menurunkan permeabilitas vaskular dan menghambat aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan menstabilkan lisosom (Chorousus ,2001). 23 C. Hipotesis Penelitian Terdapat pengaruh pemberian Methylprednisolone pada pembentukan adhesi peritonium secara mikroskopis pada hewan coba tikus wistar pasca laparotomi. 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian adalah di laboratorium ilmu dasar histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret .Waktu penelitian dari bulan januari 2017 – Maret 2017. B. Jenis penelitian Penelitian eksperimental laboratorik, menggunakan rancangan penelitian post test only control group design. C. Populasi Penelitian Sampel penelitian ini adalah tikus putih strain wistar dengan umur 9-12 minggu, berat 200-300g. Dipilih tikus jantan supaya tidak terpengaruh hormonal dan kehamilan. Penelitian pada usia 9-12 minggu karena tikus masih dalam usia dewasa muda dan respon imunologis akan cepat terlihat. D. Sampel dan Teknik Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan sistem random, bila subjek tersebut sudah disesuaikan dengan kriteria restriksi 25 E. Besar Sampel Besar sampel dihitung dengan rumus Frederer, sebagai berikut : (n - 1) (k - 1) ≥ 15 n : Besar sampel yang diperlukan k : jumlah kelompok perlakuan Maka diperoleh besar sampel untuk penelitian ini sebesar ( n -1) (k -1) ≥ 15 ( n -1) (2-1) ≥ 15 n = 16 Besar sampel adalah 16 sampel F. Kriteria Restriksi 1. Kriteria Inklusi a. Tikus putih strain wistar jantan usia 9-12 minggu (berat 200-300g) b. Tidak ada abnormalitas anatomis yang tampak c. Tidak ada tanda-tanda infeksi sebelumnya 2. Kriteria Ekslusi a. Cedera usus atau organ pada saat laparotomi b. Tikus putih mati saat penelitian G. Identifikasi Variabel 1. Variabel Bebas : Methylprednisolone® a. Nilai Variasi Methylprednisolone® adalah Methylprednisolone®mempunyai nama kimia 21- (acetyloxy)-11, 17-dihydroxy-6-methyl-,(6(alpha), 11(beta)) pregna-1,4-diene-3, 20dione. Methylprednisolone® merupakan serbukkristalin berwarna putih, tidak berbau, 26 meleleh pada 215° dengan sedikit penguraian. Larutdalam dioksan, sedikit larut dalam aseton, etanol, metanol, kloroform, dan sedikit sekali larutdalam eter. Methylprednisolone praktis tidak larut dalam air. Sediaan Methylprednisolone® injeksi vial 125 mg dengan pelarut 2 ml. b. Pengukuran data - Skala : Nominal dikotomik 2. Variabel Terikat : Adhesi intra peritoneal a. Definisi adhesi intra peritoneal adhesi intra peritoneal adalah perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal diantara permukaan yang berdekatan, antara peritoneum viserale dengan peritoneum parietale. b. Nilai variasi Derajat adhesi (Ersoy R,2007) Skor 0 Derajat Absence Deskripsi Tidak didapatkan sel – sel inflamasi (0%) pada lokasi perlekatan 1 Mild inflamasi sel – sel Didapatkan inflamasi (1-15%) perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan 2 Moderate inflamasi Didapatkan sel – sel inflamasi (16-49%) perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan 3 Severe inflamasi Didapatkan sel - sel inflamasi (50-100%) persepuluh lapang pandang pada lokasi perlekatan 27 c. Pengukuran Data - Skala : ordinal H. Instrument Penilaian adhesi intra peritoneum dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop. I. Alur Penelitian Randominisasi Kriteria Eksklusi : Cedera usus atau organ pada saat laparotomi Tikus putih sakit atau mati saat penelitian Tikus putih strain wistar jantan usia 9-12 minggu (berat 200300g), tidak ada abnormalitas anatomis, tidak ada tanda-tanda infeksi laparotomi Kelompok B: Pencucian normal saline intra peritoneal Kelompok A : Pencucian normal saline intra peritoneal Methylprednisolone® IM 5 hari 14 hari 14 hari Re laparotomi Adhesi intra peritoneal mikroskopik 28 Hewan coba dilakukan pemilihan secara random. Masing-masing hewan coba ditempatkan pada kandang individu, diberi makan dan minum secara ad libitum. Semua hewan coba diobservasi selama satu minggu untuk diadaptasikan terhadap makan dan lingkungannya juga untuk memastikan kesehatannya. Selanjutnya pada minggu ke dua dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A dilakukan pencucian menggunakan normal saline dan kelompok B dilakukan pencucian menggunakan normalsaline dan methylprednisolone® IM. Dengan pembiusan menggunakan ketamin intra muskular dosis 5-10 mg/KgBB. Tindakan dilakukan secara aseptik dengan menggunakan instrument steril. Lakukan desinfeksi dengan memakai povidon iodine 10% dan alkohol 70%. Kemudian dilakukan insisi media sepanjang 1 cm diperdalam sehingga menembus peritoneum, peritoneum dibuka kemudian dilakukan pemberian intra abdomen pada kelompok A pencucian menggunakan normal saline sebanyak 5 ml kemudian ditutup lapis demi lapis dengan menjahit peritoneum dengan benang multifilament absorbable 3.0 dan kulit dengan nonabdorbable 2.0. pada kelompok B pencucian menggunakan normal saline 5 ml dan methylpednisolone® IM 30 mg/kgBB selama 5 hari kemudian ditutup lapis demi lapis dengan menjahit peritoneum dengan benang multifilament absorbable 3.0 dan kulit dengan nonabsorbable 2.0. Setelah 14 hari dilakukan laparotomi untuk melakukan pemeriksaan terhadap adanya adhesi intraperitoneum. Dilakukan laparotomi setelah 14 hari atas dasar tahapan penyembuhan peritoneum yang terjadi dalam 10 hari jadi laparotomi dilakukan setelah terjadi penyembuhan peritoneum. Sebelumnya tikus percobaan dilakukan euthanasia 29 dengan menggunakan halotan per inhalasi. Dilanjutkan eksisi pada daerah adhesi kemudian direndam dalam larutan formaldehid buffer 10% selama 10 jam. Setelah itu dibuat blok parafin , tindakan selanjutnya dilakukan potongan terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide dan dilakukan pengecatan dengan hematoksilin dan eosin (HE). Setelah diwarnai dinilai dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan 400x untuk evaluasi histopatologinya oleh dua orang patolog. I. Analisa Statistik Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik non parametrik Uji Mann Withey untuk membandingkan perbedaan derajat adhesi peritoneum secara mikroskopik diantara kedua kelompok perlakuan ( α = 0,05) . J. Etika penelitian Penelitian ini dilakukan setelah adanya persetujuan dari komite etik. Semua eksperimental dan perlakuan hewan coba berdasarkan kepada etika percobaan pada hewan coba(Ridwan,2013). 30 DAFTAR PUSTAKA Akerberg D, Grunditz C, Monika PB, Isaksson K, Andersson R., (2012) : The influence on abdominal adhesions and inflammation in rabbits after exposure to differently charged polypeptides: Scientific Research. J.Biomedical Science and Engineering; 5: 432-38. http://dx.doi:10.4236/jbise.2012.58055 Tanggal Akses 30/08/2015 Arung W, Maurisse M, Detry O., (2011) : Pathophysiology and prevention of post operative peritoneal adhesions. World J Gastroenterol : 4545-53 Aysan E, Basak F, Kinaci E, Yanar H, Coskun H., (2007) : Experimental adhesion model: Effect of viscosities of fluids put in the peritoneal cavity on preventing peritoneal adhesions: Exp.Anim 5 : 349-53 Breborowicz A and Oreopoulos DG., (2005) : Is normal saline harmful to the peritoneum?., International Society for Peritoneal Dialysis;25 : S67-S70. http://www.pdiconnect.com Tanggal Akses 30/08/2015 Cheong YC, Laird SM, Li TC, Ledger WL, Cooke ID.,(2001) : Peritoneal healing and adhesion formation/reformation :European Society of Human Reproduction and Embryology: 6: 556-66 Tanggal Akses 30/08/2015 Chorousus GP, Margioris AN. Adrenocorticosteroids and Adrenocortical Antagonists. In: Katzung BG, editor. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: Lange Medical Books, 2001: 660-676 Cwalinski J, Staniszewski R, Baum E, Mackowiak B, Breborowicz A., (2015) : Normal saline may promote formation of peritoneal adhesions: Int J Clin Exp Med :6:8823-34. www.ijcem.com Tanggal Akses 30/08/2015 Coccolini et all., (2013) : Peritoneal Adhesion Index (PAI): Proposal of score for the “ignored iceberg” of medicine and surgery. World Journal of Emergency Surgery 8:6 http://www.wjes.org/content/8/1/6 Tanggal Akses 30/08/2015 Ellis H, Moran BJ, Thompson JN, Parker MC, Wilson MS, Menzies D, McGuire A, Lower AM, Hawthorn RJ, O’Brien F, et al. Adhesion-related hospital readmissions after abdominal and pelvic surgery: a retrospective cohort study. Lancet. 1999;353:1476–1480. 31 Emre, Akin M, Isikgonul I, Yuksel O, Anadol AZ, Cifter C., (2009) : Comparison of intraperitoneal honey and sodium hyaluronate carboxy methil cellulose (Seprafim) for the prevention of post operative intra abdominal adhesions: Clinics :64(4) : 363-8 Ersoy R, Celik A, Yilmaz O, et all, (2007) : The effects of irbesartan and spironolactone in prevention of peritoneal fibrosis in rats : Peritoneal Dialysis International : 27 : 424-31 Tanggal Akses 26/02/2016 Evans DM, McAcree K, Guyton DP, Hawkins N, Stakleff K , (1993) : Dose dependency and wound healing aspects of the use of tissue plasminogen activator in the prevention of intra abdominal adhesions : Br J Surg : 85 : 1153-6 Faridah V., (2013) : Pengaruh irigasi intraabdomen dengan NaCl hangat terhadap perubahan suhu tubuh pada pasien operasi sectio caesarea dengan spinal anestesi di instalasi bedah sentral rumah sakit muhammadiyah lamongan : Surya : XV : 66-74 Gravenstein D., (1997) : Transurethral resection of the prostate (TURP) syndrome : a review of the pathophysiology and management : Anesth Analg : 84: 438-46 Halperin M and Goldstein M., (2009) : Fluid, electrolyte and acid-base physiology : A problem based approach. Philadelphia : Saunders; 110-25 Hellebrekers BWJ and Kooistra T., (2011) : Pathogenesis of postoperative adhesion formation : British Journal of Surgery : 98 : 1503-16. www.bjs.co.uk Holtz G., (1980) : Prevention of post operative adhesions. J Reprod Med : 24 : 141-6 Irkorucu O, Ferahkose Z, Memis L,Ekinci O, Akin M., (2009) : Reduction of Postsurgical Adhesions in a rat model : a comparative study :Clinics 2009; 64(2) : 143-8 Tanggal Akses 21/10/2015 Jacocks A, Talavera F, Grosso MA, Zamboni P, Geibel J, editors. Intestinal adhesion. Available in: http://www.emedecine.com/med/topic2822.htm.Last Updated: April 12, 2006. 32 Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL., (2001) : Peritoneal adhesions : Etiology, pathophysiology, and clinical significance : Recent Advances in Prevention and Management : Dig Surg : 18: 260-73. www.karger.com/journals/dsu Tanggal Akses 30/08/2015 Livingstone EH. Ileus Obstruction. In: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, et al, editors. Surgery Basic Science and Clinical Evidence. 1st ed. New York: Springer-Verlag;2001. p.492-496 Lorenz E, Zuhlke H, Lange R, Savvas V. Pathophysiology and Classification of Adhesion. Dalam : Peritoneal Adhesions. 1st edition. Springer-Verlag. Berlin. Chapter 1.4: 29-33, 2007 Mashhadi MTR , Shojaian R, Tabatabaee A, Arian AA., (2008) : Effects of peritoneal exposure to povidon iodine, heparin and saline in post surgical adhesion in rats : Journal of Research in Medical Sciences : 3: 135-40. www.mui.ac.ir Tanggal Akses 30/08/2015 Miller AH, Spencer RL, Trestman RL, Kim C, Mc Ewen BS, Stein M. Adrenal Steroid Receptor Activation In Vivo and Immune Function. Am J Physiol 2003; 261: E126 – E131. Nohuz E,Alabound M,Darcha C, Alloui A,Cuvilier BA,Jacquetin B., (2014) : Effectiveness of Hyalobarrier and seprafilm to prevent polypropylene mesh shrinkage : Int Urogynaecol J . DOI10.1007/s00192-014-2357-2 Tanggal Akses 21/10/2015 Pados G , Makedos A, Tarlatzia B., (2013) : Adhesion prevention strategies in laparoscopy surgery : Intech Open Science : 49-72. http://dx.doi.org/10.5772/52694 Purnomo B., (2003) : Hiperplasi prostat., dasar-dasar urologi ed 2 : 69-85 Ray NF, Denton WG, Thamer M, Henderson SC, Perry S. Abdominal adhesiolysis : inpatient care and expenditures in the United States in 1994. Journal of American College of Surgery. 2011; 186:1-9 Ridwan E, (2013) : Ethical use of animals in medical research : J Indin Med Assoc : 63 : 112-6 Tanggal Akses 26/02/2016 Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic Hormone; Adrenocortical Steroids And Their Synthetic Analogs;Inhibitor Of Synthesis And Actions Of Adrenocortical 33 Hormones. In: Hardman JG, Limbird LE, Gilman GA,editors. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basic of Theurapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 1649-1677. . Shiou SC , Lin AT, Chen K, Chang L., (2006) : Hemolysis in transurethral resection of the prostate using distilled water as the irrigant. Elsevier. J Chin Med Assoc : 6 : 270-5 Tanggal Akses 06/06/2014 Stricker B, Blanco J, Fox HE., (1994) : The gynecology contribution to intestinal obstruction in females . J Am Coll Surg : 178 : 617-20 Tillaart, Busard MPH, Trimbos JBMZ., (2009) : The use of distilled water in the achievement of local hemostasis during surgery .,Springer. Gynaecol Surg :6:255-9 . http://dx.doi.org/10.1007/s10397-008-0464-0 Tanggal Akses 30/08/2015 Usman F . Zahari A, Eryati D, Kam E., (2005) : Efek pemberian interleukin-10 dan ketorolac tromethamine terhadap peningkatan sel t-helper penghasil interleukin-10 dalam darah paska laparotomi : Majalah kedokteran andalas : vol 29 : 17-26 Winckiewicz M , Polubinska A, Staniszewski R, Breborowicz A., (2007) : Effects of saline and other peritoneal lavage solutions on the morphology and fuction of in vitro mesothelial cells : Polski Przeglad Chirurgiczny : 8: 540-7 . http://dx.doi.org/10.2478/v10035-007-0084-9 Tanggal Akses 30/08/2015 Witmann.D and Walker A.P., (1994) :Peritonitis and intra abdominal infection : in Grawhill Me Ed Principles of Surgery : 2: 1425-60 Yidiz, Topaloglu S, Avsar FM, Sakcak I, Sulu B, Avsar AF.,(2011) : The effects of anti adhesive low molecular weight na- hyaluronate and octreotide on tissue strength : Adv Clin Exp Med : 20 : 711-5 Zinner & Ashley. Bowel Obstruction. Dalam : Maingot’s Abdominal Operations. 11th, edition. The Mc Graw-Hill Companies.New York. Chapter 17 , 2007: 1301-1351 34