efektifitas perawatan donor split thicknes skin graft secara

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN METHYLPREDNISOLONE®
TERHADAP ADHESI PERITONEUM SECARA MIKROSKOPIK
PASCA LAPAROTOMI PADA TIKUS PUTIH
Penelitian untuk Proposal
Disusun Oleh :
Zulfadly
NIM. S561308006
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/
RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan adhesi peritonium merupakan komplikasi yang sering terjadi
setelah operasi laparotomi. Angka kejadian adhesi peritonium pasca laparotomi berkisar
antara 67% hingga 93%. Adhesi peritonium merupakan penyebab morbiditas yang
tinggi pasca tindakan pembedahan meskipun bertahun-tahun kemudian setelah tindakan
awal pembedahan. Empat puluh persen kasus obstruksi disebabkan oleh adhesi
peritonium. Adhesi peritonium juga dapat menyebabkan nyeri panggul kronik pada
20%-50% kasus (Arung,2011)
Adhesi intraperitoneal merupakan suatu perlengketan fibrosa yang abnormal di
antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum visceral maupun
antara peritoneum visceral dengan parietal. Adhesi intraperitoneal pasca operasi
merupakan kejadian yang sering dijumpai dan menjadi morbiditas serta mortalitas bagi
pasien. Kebanyakan kejadian adhesi intraperitoneal disebabkan oleh operasi
sebelumnya, didapatkan proses adhesi yang meningkat satu sampai sepuluh kali pada
pasien pasca operasi intraabdomen.( Jacocks A,2006)
Pembentukan adhesi peritoneum merupakan proses yang kompleks, dan etiologi
proses terjadinya belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor resiko yang
dapat memicu terjadinya adhesi antara lain : 1) trauma operasi, 2) iskemia jaringan, 3)
infeksi, darah, 4) benda asing iritatif (Pados et all, 2013).
Mekanisme yang mendasari terjadinya adhesi peritonium belum diketahui secara
jelas. Patogenesis dari pembentukan adhesi dapat dipengaruhi oleh tiga faktor utama;
2
(I) Inhibisi dari sistem fibrinolitik dan degradasi matrix extraseluler, (II) induksi dari
respon inflamasi, dan (III) hipoksia jaringan (Pismensky, 2011).
Penggunaan cairan normal saline pencuci peritoneum saat operasi banyak
digunakan. Normal saline bahkan sering digunakan sebagai cairan bagi kelompok
kontrol pada banyak penelitian. Pada penelitian Philips dan Dudley didapatkan
peningkatan kejadian adhesi pada penggunaan cairan pencuci normal saline. Dimana
dapat menginisiasi terjadinya fibrosis pada peritoneum yang berakibat terjadinya adhesi
(Breborowicz, 2005; Winckiewicz, 2007).
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis
yang sangat luas. Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Yang termasuk golongan glukokortikoid sintetik
adalah deksametason, prednison, methylprednisolone, triamsinolon dan betametason.
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi,
karena
itu
menurunkan
gejala
inflamasi
tanpa
dipengaruhi
penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit
pada lokasi inflamasi. (Chorousus,2001)
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian methylprednisolone terhadap adhesi
peritoneum pasca laparatomi pada tikus ?
3
C. Tujuan penelitian
Mengetahui Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian methylprednisolone
terhadap adhesi peritoneum pasca laparatomi pada tikus ?
D. Manfaat Penelitian
Untuk menambah pengetahuan apakah methylprednisolone® dapat mengurangi
terjadinya adhesi peritoneum.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Adhesi Peritoneal
Adhesi peritoneal adalah jaringan fibrous abnormal antara permukaan
peritoneum yang berdampingan dan dapat menyebabkan gangguan gerakan dan pasase
usus. 5. Adhesi dapat terjadi setelah operasi ( post operative adhesion), kongenital dan
setelah inflammasi ( post inflammatory ), adhesi pascaoperasi merupakan penyebab
terbanyak yaitu sebesar 75% dan terjadi pada usus halus. (Ray, 2011).
Trauma jaringan selama operasi, proses inflammasi, sisa darah, bakteri dan
jaringan nekrotik memang akan memicu sel-sel mesotel memproduksi eksudat yang
kaya fibrin dan menyebabkan terbentuknya adhesi fibrinous. Akan tetapi cepatnya
pembentukan adhesi fibrinous dalam waktu beberapa jam setelah ini karena peritoneum
memiliki daya penyembuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan penyembuhan luka
biasa.( Zinner, 2007)
Fibrin-fibrin ini dapat diabsorpsi secara komplit, sehingga rongga peritoneal
menjadi bersih kembali atau dapat diorganisasi dengan tumbuhnya fibroblast yang
membentuk adhesi fibrous yang menetap. Adhesi fibrous dapat terjadi karena 3 situasi
sebagai hasil dari pembedahan abdomen yaitu (Lorenz, 2007):
1. Aposisi dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan. Keadaan ini
sudah dibuktikan pada percobaan binatang tikus yang dua permukaan organ yang
peritoneumnya dilepaskan ternyata meningkatkan adhesi sampai 80%.
5
2. Keadaan iskemia jaringan. Hal ini dapat terjadi karena proses patologis
intraabdomen, atau karena penjahitan ataupun devaskularisasi.
3. Adanya benda asing dalam rongga peritoneal,misalnya benang, bedak pada
sarung tangan, bubuk antibiotika dan material sintetik lainnya.
Ada beberapa teori mengenai pembentukan adhesi. Teori paling awal yaitu
teoriprimitif yang menyebutkan adanya trauma pada peritoneum maka terjadi
penyembuhansehingga pada akhirnya terbentuk adhesi. (Lorenz, 2007):
Teori berikutnya yaitu teori klasik yang menyebutkan adanya stimulus yang
menyebabkan pembentukan adhesi seperti trauma, infeksi dan iskemia. Stimulus ini akan
menciptakan respons inflammasi intraperitoneal akut dan akan menghasilkan eksudat yang
kaya fibrin. Dengan peritoneum yang intak, maka adhesi fibrinous akan dihambat dan
fibrin akan diresorpsi. Bila terdapat peritoneum yang tidak sehat maka adhesi fibrinous
ini akan menetap dan diorganisasi. (Ellis,1999)
Teori yang dianut sekarang adalah modifikasi teori klasik yaitu stimulus yang
berbeda terhadap peritoneum menciptakan derajat yang berbeda terhadap penurunan
kadar Plasminogen Activator Activity(PAA). Penurunan level PAA ini akan
menyebabkan organisasi dari adhesi fibrinous sehingga terbentuk adhesi. (Ellis,1999)
6
Gambar 1. Modifikasi dari Teori Klasik Terbentuknya Adhesi Pascaoperasi8
Inti dari patofisiologi adhesi pascaoperasi adalah keseimbangan dinamis antara
pembentukan fibrin dan fibrinolysis. Dengan kadar PAA yang menurun maka
kadarplasminogen menjadi plasmin akan menurun, sehingga mengakibatkan aktivitas
fibrinolitik menurun. (Ellis,1999)
Fibrin dapat terbentuk dalam waktu 10 menit dan organisasi dimulai dengan
migrasi dari fibroblast dalam waktu 3 hari pertama. Fibroblast akan membentuk
prekollagen lalu selanjutnya menjadi serabut kollagen serta akhirnya membentuk
serabut elastik. Pembentukan adhesi yang komplit selesai dalam waktu 10 hari.
7
Gambar 2. Histiogenesis dari Adhesi Pascaoperasi8
Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan reaksi inflamasi
sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan prostaglandin dan diaktifkan
komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel mast, basofil, platelet, sel endothelial
limfosit dan leukosit. Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamin,
serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif
untuk membunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik
secara anatomi dan fisiologi(Arung et all, 2011). Histamin menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya
fibrinogen ke dalam rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah
luka. Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan
membantu membersihkan jaringan yang mati. Makrofag mensekresikan Transforming
Growth Factor Beta (TGF β) yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel
mesothelium untuk menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk
lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk antara
8
48 sampai 72 jam pasca laparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan
proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi proliferasi sel endotel pada proses
neovaskularisasi, proses re-epitelisasi jaringan peritoneum(Liakakos et all,2001).
Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat pada hari
kedelapan setelah regenerasi sel mesothelium secara komplek. Bila fibrinolisis
berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel mesothelium akan tumbuh
di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan ke
enam akan menurun dan pada hari ke delapan sel mesothelium akan menutupi luka dan
beregenerasi secara komplek. Bila sistem fibrinolisis tersebut gagal dalam melisis
jaringan ikat fibrin maka terbentuk jaringan ikat yang persisten(Pados,2013).
Gambar 2.2. Perkembangan waktu terjadinya adhesi
Derajat adhesi digunakan untuk menilai tingkat keparahan adhesi, berguna untuk
penelitian dan klinis. Derajat ini dinilai baik secara makroskopis maupun
mikroskopis(Nohuz et all,2014). Derajat adhesi secara makroskopis dibagi menjadi
sebagai berikut:
9
Tabel 2.1. Derajat adhesi menurut Majusi klasifikasi (Ircorucu et all,2009)
Skor
Derajat
0
Tidak ada perlekatan
1
Filmy adhesi
Deskripsi
diperlukan pembedahan tumpul yang lembut, untuk
pembebasan adhesi
2
Mild adhesi
Diperlukan pembedahan tumpul agresif untuk
membebaskan adhesi
3
Moderat adhesi
Pembedahan tajam diperlukan untuk membebaskan
adhesi
4
Severe adhesi
Diperlukan diseksi untuk membebaskan adhesi,
tidak dapat dihindari kerusakan organ
Sedangkan derajat adhesi secara mikroskopik, dapat dibagi menjadi sebagai
berikut :
Tabel 2.2. Derajat adhesi (Ersoy R,2007)
Skor
0
Derajat
Absence
Deskripsi
Tidak didapatkan sel – sel inflamasi (0%) pada
lokasi perlekatan
1
Mild inflamasi
sel – sel
Didapatkan
inflamasi
(1-15%)
perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan
2
Moderate inflamasi
Didapatkan sel – sel
inflamasi
(16-49%)
perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan
3
Severe inflamasi
Didapatkan
sel - sel inflamasi
(50-100%)
persepuluh lapang pandang pada lokasi perlekatan
10
Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sejak
lima dekade terakhir, adhesi yang permanen dapat dicegah dengan menggunakan teknik
pembedahan yang baik. Teknik bedah yang harus dilakukan untuk mencegah adhesi
adalah sebagai berikut(Liakakos et all,2001) :
1. Minimalisasi cedera jaringan, peritoneum sangat mudah mengalami cedera,
sehingga mengakibatkan kerusakan pada lapisan sel mesotel dan merusak
jaringan ikat dibawahnya sehingga akan menimbulkan aktivitas fibrinolisis.
Hemostasis yang baik, penanganan jaringan secara gentle, mempertahankan
kelembaban dengan memakai kasa lembab dan menghindari kasa kering,
akan dapat meminimalkan cedera pada peritoneum.
2. Jahitan peritoneum, berbagai penelitian menunjukkan bahwa penjahitan
peritoneum akan menginduksi terbentuknya adhesi. Penjahitan dan graft
peritoneum akan mengakibatkan iskhemi, mengganggu vaskularisasi,
mengakibatkan nekrosis, sehingga akan mengakibatkan turunnya aktivitas
fibrinolisis pada tempat itu dan membentuk adhesi permanen. Penggunaan
benang yang non reaktif dan halus juga akan mengurangi efek benda asing
pada peritoneum.
3. Hindari benda asing dan jaringan nekrotik, hadirnya benda asing akan
meningkatkan reaksi inflamasi yang bertambah sehingga terbentuk suatu
granuloma dan terjadinya adhesi bertambah tebal. Jaringan nekrotik akan
merangsang proses migrasi sel-sel neutrophil dan pelepasan mediator
lainnya, dan pada akhirnya proses inflamasi akan berlanjut dan aktifitas
fibrinolisis dihambat.
11
4. Mencegah timbulnya infeksi melalui tindakan asepsis dan antiseptik, serta
antibiotika profilaksis, adanya proses infeksi yang berlanjut pada peritoneum
akan terus merangsang proses inflamasi pada sintesis kolagen, dan aktifitas
fibrinolisis akan dihambat, sehingga terjadi adhesi yang permanen.
5. Hindari ileus paralitik berlarut pasca bedah, usahakan peristaltik usus cepat
kembali, karena dengan bergeraknya usus melalui proses peristaltik dan
aktifitas fibrinolisis, adhesi yang temporer akan segera mengalami lisis
karena kontak antara permukaan serosa tidak terlalu lama.
Berbagai teknik tersebut dapat lebih baik dicapai dengan bedah laparoskopik.
Teknik operasi terbuka dibandingkan laparoskopi mempunyai peranan penting terhadap
kejadian adhesi peritoneum. Insiden adhesi peritoneum pada operasi kholesistektomi
terbuka sebesar 7,1%, dibandingkan dengan laparoskopi yang hanya 0,2%. Pada bedah
laparoskopik luka operasi jauh berkurang, manipulasi jaringan lebih terbatas,
kekeringan jaringan terhindarkan, penggunaan benda asing sangat minimal, sarung
tangan tidak digunakan di dalam rongga peritoneum, dan pemulihan pasien lebih cepat
sehingga mobilisasi pasien menjadi lebih cepat pula. Secara keseluruhan teknik operasi
laparoskopi menurunkan angka kejadian adhesi peritoneum(Pados,2013).
Mekanisme untuk mengurangi pembentukan adhesi adalah :
1. Pencegahan deposisi dari fibrin, antara lain dengan penggunaan antikoagulan seperti sodium sitrat, heparin, dikumarol dan dextran atau
aprotinin. Anti koagulan akan mencegah terbentuknya bekuan dan
pembentukan fibrin.
Namun penggunaan anti koagulan ini dapat
mengakibatkan perdarahan dan memperlambat penyembuhan luka(Mashhadi
et all,2008). Sebuah penelitian melaporkan penggunaan Heparin dosis
12
rendah (2500/5000 UI) sebagai irigasi intra peritoneal tidak mengurangi
adhesi secara bermakna(Liakakos et all,2001).
2. Menghilangkan eksudat fibrin dari rongga peritoneum, fase awal
terbentuknya adhesi adalah perlengketan organ visceral yang berdekatan
karena eksudat fibrin. Untuk mencegah terjadinya organisasi eksudat fibrin
sehingga menjadi permanen, digunakan agen-agen fibrinolitik. Agen
fibrinolitik bekerja secara langsung dengan mengurangi massa fibrin dan
secara tidak langsung dengan merangsang aktivitas plasminogen activator.
Beberapa contoh agen fibrinolitik ini adalah fibrinolisin, streptokinase,
urokinase, hyaluronidase, kimotripsin, tripsin pepsin dan plasminogen
aktivator. Penggunaan recombinant tissue Plasminogen Activator (rtPA)
dalam penelitian binatang, dapat mengurangi terjadinya adhesi. Evans
dkk(1993), dalam penelitiannya membuktikan walaupun rtPA akan
mencegah ataupun memodifikasi pembentukan adhesi intraabdomen, sangat
bergantung pada dosis pemakaian.
3. Pencegahan proliferasi fibroblast, pencegahan fibroblast dapat dicegah oleh
agen antiinflamasi seprti kortikosteroid, NSAID (tolmetin, ibuprofen,
indometasin, ketorolak), antihistamin (prometazin) progesteron, Ca bloker
dan kolkisin. Mekanisme kerja secara umum untuk menghambat sintesis dan
aktivasi
prostaglandin,
permeabilitas
vaskular
mengurangi
dan
agregasi
menghambat
platelet,
aktivitas
menurunkan
sel-sel
PMN,
meningkatkan fungsi makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi
inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan
menstabilkan lisosom. NSAID meningkatkan produksi IL-10 yang
13
mengaktifkan proses fibrinolitik, menghambat neovaskularisasi, mengurangi
migrasi dan proliferasi fibroblast serta produksi kolagen sehingga deposit
fibrin yang terbentuk dapat lisis dan mencegah terbentuknya adhesi fibrosa
yang permanen(Liakakos et all,2001).
4. Pemisahan mekanik, barier antiadhesi ada 2 jenis; barier cairan makro
molekul dan barier mekanik. Barier ideal adalah aman dan efektif, tidak
merangsang reaksi inflamasi, non imunologik, bertahan selama fase
remesotelialisasi, tidak perlu dijahit, aktif dalam lingkungan berdarah,
biodegradasinya sempurna, tidak mempengaruhi proses penyembuhan luka,
tidak meningkatkan infeksi atau menyebabkan adhesi. Contoh barier
mekanik cairan; RL, dextran 70, asam hyaluronat, HA-PBS/ aseprocoat, dan
karboksi metil selulosa. Sedangkan contoh barier padat yaitu transplant
peritoneal autologous, insidensi, luasnya dan beratnya adhesi pasca bedah
dibandingkan PTFE (Goretex), oxidizex-regenerated cellulosa (Interceed),
dan HA CMC(Seprafilm)( Emre et all,2009). Secara uji klinis multisenter di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa asam hyaluronat secara signifikan
aman dan efektif untuk menurunkan dengan standar teknik pembedahan
mutakhir.(Yildiz et al,2011).
2. Natrium Klorida (NaCl)
Natrium Klorida adalah garam yang paling berperan penting dalam salinitas laut
dan dalam cairan ekstraseluler dari banyak organisme multiselular. Garam sangat umum
digunakan sebagai bumbu masakan dan pengawet. Natrium Klorida adalah garam yang
14
berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih. NaCl dapat larut dalam air tetapi tidak
larut dalam alkohol. NaCl juga merupakan senyawa natrium yang berlimpah di alam.
Cairan NaCl 0,9% atau sering disebut normal saline merupakan larutan isotonis,
sangat banyak digunakan secara luas dibidang medis diantaranya dapat digunakan
secara intravena untuk menyediakan cairan untuk merehidrasi pasien ataupun
menyediakan cairan harian dan kebutuhan garam yang mungkin tidak dapat dipenuhi
secara oral dan cairan pembilas dan pencuci pada luka. Mengandung sodium dan
chloride dengan konsentrasi masing-masing 155 mmol/L. Keasaman (pH) dari cairan
ini antara 5,5 sampai 6,5 dimana dibawah pH normal tubuh manusia yaitu 7,3-7,4.
Normal saline sering digunakan
untuk mencuci peritoneum saat pembedahan.
Didapatkan peningkatan kejadian adhesi pada penelitian sebelumnya dengan hewan
coba
tikus.
Terjadi
penebalan
jaringan
submesothelial
dengan
neovascularisasi.(Breborowicz, 2005).
Natrium Klorida digunakan dalam proses kimia untuk skala besar produksi
senyawa yang mengandung Sodium atau Khlor. Sejak akhir abad ke-19, pada waktu
proses elektrolisis secara besar-besaran diperkenalkan, telah dapat dibuat bermacammacam senyawa dengan bahan baku NaCl, misalnya Natrium Hidroksida, Asam
Klorida, Natrium Karbonat, Natrium Sulfate dan senyawa-senyawa lainnya.
Natrium Klorida merupakan cairan kristaloid yang dapat digunakan sebagai
barier mekanik cairan untuk mencegah adhesi. Penyerapan air dan elektrolit dari cavum
peritoneal sangat cepat, rata-rata 30-50 ml/jam. Isoosmolar NaCl diabsorbsi dalam
kurang dari 24 jam. Proses remesotelialisasi peritoneal memerlukan waktu 5-8 hari
sehingga larutan kristaloid akan sudah terabsorbsi sebelum proses deposisi fibrin dan
pembentukan adhesi selesai. Penelitian menunjukkan rerata pembentukan adhesi sekitar
15
80% pada pasien yang diberikan irigasi kristaloid. Jumlah cairan yang berlebihan pada
rongga peritoneal setelah operasi akan mengakibatkan rasio phagosit-bakteri sehingga
mengurangi kemampuan untuk mengeliminasi infeksi. Meninggalkan sejumlah besar
cairan kristaloid intra-peritoneal akan merugikan pasien pasca bedah.(Liakakos et
all,2001)
Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang
bersifat fisiologis, non toksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai
komposisi Natrium Klorida 9,0 gram dengan osmolalitas 308 mOsm/l setara dengan
ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl 154 mEq/l(Breborowicz,2005).
Natrium Klorida 0,9% adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh,
karena alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari Natrium Klorida. Normal saline
aman digunakan untuk kondisi apapun. Natrium Klorida mempunyai Na Cl yang sama
seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Breborowicz,2005).
Natrium Klorida tersedia dalam beberapa kemasan, yang paling sering digunakan
Natrium Klorida 0,9%. Ini adalah konsentrasi normal dari Natrium Klorida dan untuk
alasan ini Natrium Klorida disebut juga normal saline. Natrium Klorida 0,9%
merupakan larutan isotonik aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi
jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka
menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat.
Cairan isotonik adalah suatu cairan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut
yang sama(tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel. Dikarenakan
tidak ada perbedaan gradien antara ekstrasel dan intrasel maka tidak terjadi pergerakan
jaringan molekul yang melewati membran sel. Pergerakan molekul terjadi secara difusi
16
pada dua arah dengan kecepatan yang sama sehingga sel tidak mengalami kehilangan
ataupun kelebihan cairan(Halperin & Goldstein,2009).
Cairan kristaloid tidak menurunkan kejadian adhesi pasca operasi pada
penelitian yang dilakukan Wiseman,1999. Penelitian lain yang telah dilakukan
sebelumnya membuktikan bahwa normal saline menurunkan viabilitas dan aktivitas
fibrinolisis sel mesothel peritoneum sehingga disimpulkan bahwa normal saline
merupakan faktor predisposisi terbentuknya adhesi peritoneum (Winckiewicz et
all,2007).
Selain itu ada penelitian lain juga yang membuktikan bahwa normal saline dapat
mengakibatkan disfungsi dari sel mesothelial sehingga mempercepat terbentuknya
adhesi peritoneum (Cwalinski et all,2015).
3. Methylprednisolone
Methylprednisolone
adalah
kortikosteroid.
Mekanisme
kerja
dari
methylprednisolone adalah sebagai Kortikosteroid hormon reseptor agonist .
Methylprednisolone adalah glukokortioid turunan prednisolon yang mempunyai efek
kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Methylprednisolone adalah
suatu glukokortikoid sintetik dan diabsorpsi secara cepat melalui saluran pencernaan.
Methylprednisolone merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk
kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. (Chorousus,2001)
Methylprednisolone nama kimianya 21-(acetyloxy)-11, 17-dihydroxy-6-methyl,(6(alpha), 11(beta)) pregna-1,4-diene-3, 20-dione. Methylprednisolone merupakan
serbuk kristalin berwarna putih, tidak berbau, meleleh pada 215° dengan sedikit
penguraian. Larut dalam dioksan, sedikit larut dalam aseton, etanol, metanol, kloroform,
17
dan sedikit sekali larut dalam eter. Methylprednisolone praktis tidak larut dalam air.
(Chorousus,2001)
Methylprednisolone
diabsorpsi
dengan
cepat
setelah
pemberian
dosis
oral.Konsentrasi puncak setelah pemberian oral di plasma dicapai dalam waktu
maksimal sekitar 1,5-2,3 jam. Bioavabilitas absolut methylprednisolone pada subyek
sehat yang normal umumnya tinggi (82% sampai 89%) setelah pemberian oral. Ini
artinya rata-rata konsentrasi puncak yang dicapai adalah 1,1 – 2,2 jam.
(Chorousus,2001)
Methylprednisolone secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh dan
digambarkan oleh model 2-kompartemen. Volume rata-rata distribusi pada 34
sukarelawan dewasa berkisar 41- 61,5 L. Methylprednisolone didistribusikan secara
luas kedalam jaringan, melintasi penghalang darah-otak, penghalang plasenta, dan
disekresi dalam ASI. Volume yang tampak jelas dari distribusi adalah sekitar 1,4 L/kg.
Protein plasma mengikat methylprednisolone pada manusia adalah sekitar 77%.
Methylprednisolone
di
metabolisme
inaktif
di
hati,
yang
utama
20α-
hydroxymethylprednisolone and 20βhydroxymethylprednisolone. Metabolisme di hati
terutama melalui enzim P3A4 enzyme. Methylprednisolone, seperti banyak substrat
P3A4, juga dapat menjadi substrat untuk ATP- binding cassette (ABC) protein
transport pglikoprotein, mempengaruhi distribusi jaringan dan interaksi dengan obat
lain. (Miller,2003)
Waktu paruh eliminasi total methylprednisolone adalah sekitar 1,8- 5,2 jam.
Jumlah pembersihan sekitar 5 sampai 6 mL/ menit/ kg. Setelah pemberian IV dari
radiolabelled 6- methylprednisolone untuk enam pasien kanker, 75% di ekskresikan di
18
urin setelah 96 jam dan 9% di feses selama 5 hari 20% dari dosis total di ekskresikan
dalam empedu. (Chorousus,2001)
Methylprednisolone
merupakan
kortikosteroid
dengan
lama
kerja
sedang/intermediate, yang termasuk kategori adrenokortikoid dan mempunyai efek
antiinflamasi dan imunosupresan. (Chorousus,2001)
Sebagai adrenokortikoid, methylprednisolone berdifusi melewati membran dan
membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian
memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA
(mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab
pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan perekaman
mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit). (Schimmer, 2001)
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses
inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit
pada lokasi inflamasi. Methylprednisolone juga menghambat fagositosis, pelepasan
enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi.
Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya
melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag:
reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan
leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi
leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor
fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan
hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat
19
(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat
mempengaruhi efek antiinflamasi. (Schimmer, 2001)
Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi
kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas
tertunda) reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi
respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit),
monosit, dan eosinofil. Methylprednisolone juga menurunkan ikatan immunoglobulin
ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin,
sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi perluasan respon immun
primer. Glukokortikoid juga dapat menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar
membran, konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.Dosis awal pada
dewasa dari methylprednisolone dapat bermacam-macam dari 4 mg – 48 mg per hari,
dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit diberikan bersamaan dengan
makanan.Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg/kgbb .Dosis dapat diulangi
setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. (Chorousus,2001).
Mekanisme kerja Methylprednisolone® untuk mengurangi pembentukan adhesi
adalah dengan mencegah proliferasi fibroblast dengan cara menghambat sintesis dan
aktivasi prostaglandin, mengurangi aggregasi platelet,
menurunkan permeabilitas
vaskular dan menghambat aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi makrofag
sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan
dan pelepasan histamin dan menstabilkan lisosom (Chorousus,2001).
Kirdak et al meneliti efektifitas methylprednisolon dengan dosis berbeda dalam
mencegah adhesi peritoneal pada tikus. Didapatkan bahwa tidak ada perbedaan
20
efektifitas pemberian methylprednisolon secara topical dengan dosis yang berbeda
untuk mencegah pembentukan adhesi peritoneal (Arung et all,2011).
21
B. Kerangka Teori
Laparatomi
NaCl 0,9 %
Isotonik , TGF β
meningkat , t-PA
ditekan
-Paparan benda asing
-Iskemia
-Trauma peritoneum
-Infeksi abdominal
Reaksi inflamasi
Methylprednisolone IM
menghambat sintesis dan aktivasi
prostaglandin,
Reaksi inflamasi
penurunan aktivitas
fibrinolisis
Proliferasi Fibroblast
menurun
Neovaskularisasi,
bertambahnya
jaringan fibrosa
Re laparotomi
Adhesi <<
Adhesi >>
22
Keterangan Bagan Kerangka Teori
Adhesi intra peritoneal merupakan komplikasi yang sering terjadi setelah operasi
laparotomi. Trauma pada peritoneum mengakibatkan hilangnya sel mesothelium
peritoneum sehingga menimbulkan reaksi inflamasi sebagai respon tubuh dan
meningkatkan pemeabilitas pembuluh darah pada area tersebut, hal ini menyebabkan
terjadinya eksudasi dari sel-sel inflamasi yang mengawali terbentuknya matriks fibrin,
yang menghubungkan kedua permukaan peritoneal yang cedera (Arung et all,2001)
Infeksi intraabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut, diverticulitis,
cholecystitis), trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar), cedera panas
(kauterisasi), iskemia (termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar, kauterisasi,
kekeringan mukosa, devaskularisasi), paparan benda-benda asing (bubuk tepung dari
sarung tangan, serat-serat jaringan, atau potongan benang) dan lain-lain (Ellis,1982).
Setelah terjadinya pembentukan jaringan ikat fibrin, fibrinolisis akan memecah
jaringan ikat tersebut. Normal saline mempunyai efek dalam penurunan aktivitas
fibrinolisin dan terbentuknya neovaskularisasi serta mengakibatkan bertambahnya
jaringan fibrosa sehingga merangsang pembentukan adhesi peritoneum(Halperin &
Goldstein ,2009).
`
Methylprednisolone® mengurangi pembentukan adhesi dengan mencegah
proliferasi fibroblast dengan cara menghambat sintesis dan aktivasi prostaglandin,
mengurangi aggregasi platelet, menurunkan permeabilitas vaskular dan menghambat
aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi makrofag sebagai fagosit, pengurangan
sekresi inhibitor plasminogen, mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan
menstabilkan lisosom (Chorousus ,2001).
23
C. Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh pemberian Methylprednisolone pada pembentukan adhesi
peritonium secara mikroskopis pada hewan coba tikus wistar pasca laparotomi.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian adalah di laboratorium ilmu dasar histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret .Waktu penelitian dari bulan januari 2017 –
Maret 2017.
B. Jenis penelitian
Penelitian eksperimental laboratorik, menggunakan rancangan penelitian post
test only control group design.
C. Populasi Penelitian
Sampel penelitian ini adalah tikus putih strain wistar dengan umur 9-12 minggu,
berat 200-300g. Dipilih tikus jantan supaya tidak terpengaruh hormonal dan kehamilan.
Penelitian pada usia 9-12 minggu karena tikus masih dalam usia dewasa muda dan
respon imunologis akan cepat terlihat.
D. Sampel dan Teknik Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan sistem random,
bila subjek tersebut sudah disesuaikan dengan kriteria restriksi
25
E. Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus Frederer, sebagai berikut :
(n - 1) (k - 1) ≥ 15
n
: Besar sampel yang diperlukan
k
: jumlah kelompok perlakuan
Maka diperoleh besar sampel untuk penelitian ini sebesar
( n -1) (k -1) ≥ 15
( n -1) (2-1) ≥ 15
n = 16
Besar sampel adalah 16 sampel
F. Kriteria Restriksi
1. Kriteria Inklusi
a. Tikus putih strain wistar jantan usia 9-12 minggu (berat 200-300g)
b. Tidak ada abnormalitas anatomis yang tampak
c. Tidak ada tanda-tanda infeksi sebelumnya
2. Kriteria Ekslusi
a. Cedera usus atau organ pada saat laparotomi
b. Tikus putih mati saat penelitian
G. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas : Methylprednisolone®
a. Nilai Variasi
Methylprednisolone®
adalah
Methylprednisolone®mempunyai
nama
kimia
21-
(acetyloxy)-11, 17-dihydroxy-6-methyl-,(6(alpha), 11(beta)) pregna-1,4-diene-3, 20dione. Methylprednisolone® merupakan serbukkristalin berwarna putih, tidak berbau,
26
meleleh pada 215° dengan sedikit penguraian. Larutdalam dioksan, sedikit larut dalam
aseton,
etanol,
metanol,
kloroform,
dan
sedikit
sekali
larutdalam
eter.
Methylprednisolone praktis tidak larut dalam air. Sediaan Methylprednisolone® injeksi
vial 125 mg dengan pelarut 2 ml.
b. Pengukuran data
-
Skala : Nominal dikotomik
2. Variabel Terikat : Adhesi intra peritoneal
a. Definisi adhesi intra peritoneal
adhesi intra peritoneal adalah perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal
diantara permukaan yang berdekatan, antara peritoneum viserale dengan peritoneum
parietale.
b. Nilai variasi
Derajat adhesi (Ersoy R,2007)
Skor
0
Derajat
Absence
Deskripsi
Tidak didapatkan sel – sel inflamasi (0%) pada
lokasi perlekatan
1
Mild inflamasi
sel – sel
Didapatkan
inflamasi
(1-15%)
perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan
2
Moderate inflamasi
Didapatkan sel – sel
inflamasi
(16-49%)
perseluruh lapang pandang pada lokasi perlekatan
3
Severe inflamasi
Didapatkan
sel - sel inflamasi
(50-100%)
persepuluh lapang pandang pada lokasi perlekatan
27
c. Pengukuran Data
-
Skala : ordinal
H. Instrument
Penilaian adhesi intra peritoneum dilakukan dengan menggunakan alat
mikroskop.
I. Alur Penelitian
Randominisasi
Kriteria Eksklusi :
Cedera usus atau organ
pada saat laparotomi
Tikus putih sakit atau
mati saat penelitian
Tikus putih strain wistar jantan
usia 9-12 minggu (berat 200300g), tidak ada abnormalitas
anatomis, tidak ada tanda-tanda
infeksi
laparotomi
Kelompok B:
Pencucian normal saline
intra peritoneal
Kelompok A :
Pencucian normal saline intra
peritoneal
Methylprednisolone® IM 5 hari
14 hari
14 hari
Re laparotomi
Adhesi intra peritoneal
mikroskopik
28
Hewan coba dilakukan pemilihan secara random. Masing-masing hewan coba
ditempatkan pada kandang individu, diberi makan dan minum secara ad libitum. Semua
hewan coba diobservasi selama satu minggu untuk diadaptasikan terhadap makan dan
lingkungannya juga untuk memastikan kesehatannya. Selanjutnya pada minggu ke dua
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A dilakukan pencucian menggunakan normal
saline dan kelompok B dilakukan pencucian menggunakan normalsaline dan
methylprednisolone® IM. Dengan pembiusan menggunakan ketamin intra muskular
dosis 5-10 mg/KgBB. Tindakan dilakukan secara aseptik dengan menggunakan
instrument steril. Lakukan desinfeksi dengan memakai povidon iodine 10% dan alkohol
70%.
Kemudian dilakukan insisi media sepanjang 1 cm diperdalam sehingga
menembus peritoneum, peritoneum dibuka kemudian dilakukan pemberian intra
abdomen pada kelompok A pencucian menggunakan normal saline sebanyak 5 ml
kemudian ditutup lapis demi lapis dengan menjahit peritoneum dengan benang
multifilament absorbable 3.0 dan kulit dengan nonabdorbable 2.0. pada kelompok B
pencucian menggunakan normal saline 5 ml dan methylpednisolone® IM 30 mg/kgBB
selama 5 hari kemudian ditutup lapis demi lapis dengan menjahit peritoneum dengan
benang multifilament absorbable 3.0 dan kulit dengan nonabsorbable 2.0.
Setelah 14 hari dilakukan laparotomi untuk melakukan pemeriksaan terhadap
adanya adhesi intraperitoneum. Dilakukan laparotomi setelah 14 hari atas dasar tahapan
penyembuhan peritoneum yang terjadi dalam 10 hari jadi laparotomi dilakukan setelah
terjadi penyembuhan peritoneum. Sebelumnya tikus percobaan dilakukan euthanasia
29
dengan menggunakan halotan per inhalasi. Dilanjutkan eksisi pada daerah adhesi
kemudian direndam dalam larutan formaldehid buffer 10% selama 10 jam. Setelah itu
dibuat blok parafin , tindakan selanjutnya dilakukan potongan terhadap blok parafin
tersebut untuk dibuat slide dan dilakukan pengecatan dengan hematoksilin dan eosin
(HE). Setelah diwarnai dinilai dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan
400x untuk evaluasi histopatologinya oleh dua orang patolog.
I. Analisa Statistik
Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik non parametrik Uji
Mann Withey
untuk membandingkan perbedaan derajat adhesi peritoneum secara
mikroskopik diantara kedua kelompok perlakuan ( α = 0,05) .
J. Etika penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah adanya persetujuan dari komite etik. Semua
eksperimental dan perlakuan hewan coba berdasarkan kepada etika percobaan pada
hewan coba(Ridwan,2013).
30
DAFTAR PUSTAKA
Akerberg D, Grunditz C, Monika PB, Isaksson K, Andersson R., (2012) : The influence
on abdominal adhesions and inflammation in rabbits after exposure to
differently charged polypeptides: Scientific Research. J.Biomedical Science
and Engineering; 5: 432-38. http://dx.doi:10.4236/jbise.2012.58055 Tanggal
Akses 30/08/2015
Arung W, Maurisse M, Detry O., (2011) : Pathophysiology and prevention of post
operative peritoneal adhesions. World J Gastroenterol : 4545-53
Aysan E, Basak F, Kinaci E, Yanar H, Coskun H., (2007) : Experimental adhesion
model: Effect of viscosities of fluids put in the peritoneal cavity on preventing
peritoneal adhesions: Exp.Anim 5 : 349-53
Breborowicz A and Oreopoulos DG., (2005) : Is normal saline harmful to the
peritoneum?., International Society for Peritoneal Dialysis;25 : S67-S70.
http://www.pdiconnect.com Tanggal Akses 30/08/2015
Cheong YC, Laird SM, Li TC, Ledger WL, Cooke ID.,(2001) : Peritoneal healing and
adhesion formation/reformation :European Society of Human Reproduction
and Embryology: 6: 556-66 Tanggal Akses 30/08/2015
Chorousus GP, Margioris AN. Adrenocorticosteroids and Adrenocortical Antagonists.
In: Katzung BG, editor. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York:
Lange Medical Books, 2001: 660-676
Cwalinski J, Staniszewski R, Baum E, Mackowiak B, Breborowicz A., (2015) : Normal
saline may promote formation of peritoneal adhesions: Int J Clin Exp Med
:6:8823-34. www.ijcem.com Tanggal Akses 30/08/2015
Coccolini et all., (2013) : Peritoneal Adhesion Index (PAI): Proposal of score for the
“ignored iceberg” of medicine and surgery. World Journal of Emergency
Surgery 8:6 http://www.wjes.org/content/8/1/6 Tanggal Akses 30/08/2015
Ellis H, Moran BJ, Thompson JN, Parker MC, Wilson MS, Menzies D, McGuire A,
Lower AM, Hawthorn RJ, O’Brien F, et al. Adhesion-related hospital
readmissions after abdominal and pelvic surgery: a retrospective cohort
study. Lancet. 1999;353:1476–1480.
31
Emre, Akin M, Isikgonul I, Yuksel O, Anadol AZ, Cifter C., (2009) : Comparison of
intraperitoneal honey and sodium hyaluronate carboxy methil cellulose
(Seprafim) for the prevention of post operative intra abdominal adhesions:
Clinics :64(4) : 363-8
Ersoy R, Celik A, Yilmaz O, et all, (2007) : The effects of irbesartan and
spironolactone in prevention of peritoneal fibrosis in rats : Peritoneal Dialysis
International : 27 : 424-31 Tanggal Akses 26/02/2016
Evans DM, McAcree K, Guyton DP, Hawkins N, Stakleff K , (1993) : Dose dependency
and wound healing aspects of the use of tissue plasminogen activator in the
prevention of intra abdominal adhesions : Br J Surg : 85 : 1153-6
Faridah V., (2013) : Pengaruh irigasi intraabdomen dengan NaCl hangat terhadap
perubahan suhu tubuh pada pasien operasi sectio caesarea dengan spinal
anestesi di instalasi bedah sentral rumah sakit muhammadiyah lamongan :
Surya : XV : 66-74
Gravenstein D., (1997) : Transurethral resection of the prostate (TURP) syndrome : a
review of the pathophysiology and management : Anesth Analg : 84: 438-46
Halperin M and Goldstein M., (2009) : Fluid, electrolyte and acid-base physiology : A
problem based approach. Philadelphia : Saunders; 110-25
Hellebrekers BWJ and Kooistra T., (2011) : Pathogenesis of postoperative adhesion
formation : British Journal of Surgery : 98 : 1503-16. www.bjs.co.uk
Holtz G., (1980) : Prevention of post operative adhesions. J Reprod Med : 24 : 141-6
Irkorucu O, Ferahkose Z, Memis L,Ekinci O, Akin M., (2009) : Reduction of
Postsurgical Adhesions in a rat model : a comparative study :Clinics 2009;
64(2) : 143-8 Tanggal Akses 21/10/2015
Jacocks A, Talavera F, Grosso MA, Zamboni P, Geibel J, editors. Intestinal adhesion.
Available in: http://www.emedecine.com/med/topic2822.htm.Last Updated:
April 12, 2006.
32
Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL., (2001) : Peritoneal
adhesions : Etiology, pathophysiology, and clinical significance : Recent
Advances in Prevention and Management : Dig Surg : 18: 260-73.
www.karger.com/journals/dsu Tanggal Akses 30/08/2015
Livingstone EH. Ileus Obstruction. In: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, et al,
editors. Surgery Basic Science and Clinical Evidence. 1st ed. New York:
Springer-Verlag;2001. p.492-496
Lorenz E, Zuhlke H, Lange R, Savvas V. Pathophysiology and Classification of
Adhesion. Dalam : Peritoneal Adhesions. 1st edition. Springer-Verlag. Berlin.
Chapter 1.4: 29-33, 2007
Mashhadi MTR , Shojaian R, Tabatabaee A, Arian AA., (2008) : Effects of peritoneal
exposure to povidon iodine, heparin and saline in post surgical adhesion in
rats : Journal of Research in Medical Sciences : 3: 135-40. www.mui.ac.ir
Tanggal Akses 30/08/2015
Miller AH, Spencer RL, Trestman RL, Kim C, Mc Ewen BS, Stein M. Adrenal Steroid
Receptor Activation In Vivo and Immune Function. Am J Physiol 2003; 261:
E126 – E131.
Nohuz E,Alabound M,Darcha C, Alloui A,Cuvilier BA,Jacquetin B., (2014) :
Effectiveness of Hyalobarrier and seprafilm to prevent polypropylene mesh
shrinkage : Int Urogynaecol J . DOI10.1007/s00192-014-2357-2 Tanggal
Akses 21/10/2015
Pados G , Makedos A, Tarlatzia B., (2013) : Adhesion prevention strategies in
laparoscopy
surgery
:
Intech
Open
Science
:
49-72.
http://dx.doi.org/10.5772/52694
Purnomo B., (2003) : Hiperplasi prostat., dasar-dasar urologi ed 2 : 69-85
Ray NF, Denton WG, Thamer M, Henderson SC, Perry S. Abdominal adhesiolysis :
inpatient care and expenditures in the United States in 1994. Journal of American
College of Surgery. 2011; 186:1-9
Ridwan E, (2013) : Ethical use of animals in medical research : J Indin Med Assoc : 63
: 112-6 Tanggal Akses 26/02/2016
Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic Hormone; Adrenocortical Steroids And
Their Synthetic Analogs;Inhibitor Of Synthesis And Actions Of Adrenocortical
33
Hormones. In: Hardman JG, Limbird LE, Gilman GA,editors. Goodman &
Gilman’s The Pharmacological Basic of Theurapeutics. 10th ed. New York:
McGraw-Hill, 2001: 1649-1677.
.
Shiou SC , Lin AT, Chen K, Chang L., (2006) : Hemolysis in transurethral resection of
the prostate using distilled water as the irrigant. Elsevier. J Chin Med Assoc :
6 : 270-5 Tanggal Akses 06/06/2014
Stricker B, Blanco J, Fox HE., (1994) : The gynecology contribution to intestinal
obstruction in females . J Am Coll Surg : 178 : 617-20
Tillaart, Busard MPH, Trimbos JBMZ., (2009) : The use of distilled water in the
achievement of local hemostasis during surgery .,Springer. Gynaecol Surg
:6:255-9 . http://dx.doi.org/10.1007/s10397-008-0464-0
Tanggal Akses
30/08/2015
Usman F . Zahari A, Eryati D, Kam E., (2005) : Efek pemberian interleukin-10 dan
ketorolac tromethamine terhadap peningkatan sel t-helper penghasil
interleukin-10 dalam darah paska laparotomi : Majalah kedokteran andalas :
vol 29 : 17-26
Winckiewicz M , Polubinska A, Staniszewski R, Breborowicz A., (2007) : Effects of
saline and other peritoneal lavage solutions on the morphology and fuction of
in vitro mesothelial cells : Polski Przeglad Chirurgiczny : 8: 540-7 .
http://dx.doi.org/10.2478/v10035-007-0084-9 Tanggal Akses 30/08/2015
Witmann.D and Walker A.P., (1994) :Peritonitis and intra abdominal infection : in
Grawhill Me Ed Principles of Surgery : 2: 1425-60
Yidiz, Topaloglu S, Avsar FM, Sakcak I, Sulu B, Avsar AF.,(2011) : The effects of anti
adhesive low molecular weight na- hyaluronate and octreotide on tissue
strength : Adv Clin Exp Med : 20 : 711-5
Zinner & Ashley. Bowel Obstruction. Dalam : Maingot’s Abdominal Operations. 11th,
edition. The Mc Graw-Hill Companies.New York. Chapter 17 , 2007: 1301-1351
34
Download