11 11 Vol. 62, No. 1, Januari-April l 2013, Hal. 11-16 | ISSN 0024-9548 Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik (Sex determination using histological and DNA analysis in forensic odontology) Kharlina Syafitri1, Elza Auerkari2 dan Winoto Suhartono2 1 Mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar-Forensik Kedokteran Gigi Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia Jakarta - Indonesia 2 Korespondensi (correspondence): Kharlina Syafitri, Mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Gigi Dasar-Forensik Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jl. Salemba Raya No. 4, Jakarta Pusat, Indonesia. E-mail: [email protected] ABSTRACT Background: Identification in forensic science is an effort to help investigators to determine the person’s identity. Human identification is an individual character recognition based on the unique physical characteristics. Sex determination is one of a biological identity in forensic science conducted as an initial step of identification because it can determine the following other identification method. Sex determination can be done in various ways. Common methods of sex identification in odontology forensic such as morphological and measurement characteristics of teeth, histological examination, and DNA analysis from teeth. Purpose: This article discusses about sex determination methods through histological examination and DNA analysis. Review: Histological examination for sex determination can be done through presence of Barr body and Y-body. DNA analysis for sex determination using Amelogenin, SRY and Y-STRs. Conclusion: Each of these methods have its own accuracy and weakness. Selection of the method depends on the conditions found at the scenes or type of disaster that occurs. Combination of existing methods will increase the accuracy in establishing the identification of individuals. Key words: Sex determination, forensic odontology, Barr body, DNA analysis PENDAHULUAN Identifikasi atau pengenalan identitas seseorang pada awalnya berkembang untuk kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya penyelesaian permasalahan kriminal. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan masalah sosial, identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan yang berhubungan dengan pelbagai kasus sipil, seperti kecelakaan baik di darat, laut, maupun udara, kasus terorisme, bencana alam, dan lain sebagainya. Pada kasus-kasus seperti ini, tidak jarang terjadi kesulitan dalam melakukan identifikasi korban karena kerusakan yang membuat sulit untuk dikenali jenazah. Proses identifikasi menjadi penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab suatu kematian, namun juga upaya untuk memberikan ketenangan psikologis pada keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.1 Identifikasi individu dapat dilakukan melalui beberapa parameter, yaitu identifikasi usia, ras dan jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama yang penting dilakukan dalam proses identifikasi forensik karena dapat menentukan 50% probabilitas kecocokan dalam identifikasi individu serta dapat mempengaruhi Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013 12 beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan tinggi tubuh individu.2 Identifikasi jenis kelamin dalam ruang lingkup antropologi dan kedokteran gigi forensik dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang dapat dilakukan antara lain melalui metode karakteristik morfologi, metode morfometrik (pengukuran), pemeriksaan histologis, serta pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun gigi.3,4 Pada kasus-kasus tertentu, tulang tidak dapat memberikan hasil identifikasi yang optimal, lain halnya dengan gigi. Gigi digunakan sebagai media identifikasi karena gigi merupakan bagian tubuh yang paling keras dan secara kimiawi merupakan jaringan paling stabil dan paling tahan terhadap degradasi dan dekomposisi, sehingga membuat gigi dapat bertahan untuk periode yang lama dibandingkan dengan jaringan tubuh lainnya. Gigi juga memiliki ketahanan terhadap temperatur yang tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasi pada korban terbakar. Hal ini disebabkan sedikitnya jaringan organik yang dikandungnya, terutama lapisan enamel, yang merupakan jaringan paling keras pada tubuh manusia.5-9 Metode karakteristik morfologi maupun morfometrik merupakan metode penentuan jenis kelamin yang paling sederhana, namun umumnya lebih bersifat subjektif dan membutuhkan data berbasis populasi untuk dapat diterapkan dalam identifikasi individual. 10 Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemeriksaan dengan metode analisis lain yang dapat memberikan hasil yang lebih objektif dan akurat dalam penentuan jenis kelamin seseorang. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas metode pemeriksaan jenis kelamin lain melalui gigi yaitu secara histologis dan analisis DNA. Metode identifikasi jenis kelamin melalui gigi ada beberapa metode dan identifikasi jenis kelamin melalui gigi (Tabel 1). Metode identifikasi jenis kelamin histologis Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin dapat dideteksi dengan melihat keberadaan kromatin seks yaitu; kromatin-X dan kromatin-Y. Pada tahun 1949, Barr dan Bertam menemukan perbedaan diantara keduanya. Mereka menemukan adanya kondensasi kromatin yang berukuran kecil pada inti sel dari sel saraf kucing betina tetapi tidak dimiliki oleh sel-sel kucing jantan.11 Penemuan tersebut dinamakan sesuai dengan nama penemunya yaitu Barr body. Pada manusia, kondensasi kromatin ini juga dapat ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa rongga mulut, biopsi sel kulit, darah, tulang rawan, akar batang rambut dan pulpa gigi.3, 12 Barr body dapat ditemukan pada sekitar 40% sel wanita sedangkan pada sel pria tidak memiliki Barr body sehingga disebut kromatin negatif. Kromatin Y dapat diteliti di dalam sel selama masa interfase dengan memberikan pewarnaan Quinacrine mustard, dimana dengan pewarnaan tersebut keberadaan kromatin Y akan berfluoresensi lebih terang dan dengan kehadirannya dapat secara konklusif mengindikasikan kromosom Y dan jenis kelamin positif sebagai pria.3, 13 Tabel 1. Metode Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Gigi Gigi Karakteristik Morfologi Indikator Outline bentuk gigi Lapisan enamel dan dentin z Bentuk lengkung rahang z Servikoinsisal dan mesiodistal Gambar 1. Kromatin X (Barr body) pada pulpa.13 Ukuran mesiodistal Ukuran bukolingual z Indeks kaninus Metode identifikasi jenis kelamin analisis DNA z z Karakteristik Morfometrik z z Pemeriksaan Histologis z z Analisin DNA Barr-body → kromatin X Y-body → kromatin Y Gen Amelogenin Gen SRY z Y-STRs z z Secara umum teknologi DNA dimanfaatkan untuk identifikasi personal, pelacakan hubungan genetik dan pelacakan sumber biologis. Analisis DNA juga digunakan untuk kepentingan antropologi serta pemetaan genetik. 14 Molekul DNA merupakan polimer stabil yang tersusun oleh Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013 Gambar 2. Kromatin Y (Y body) pada pulpa.8 subunit yang disebut nukleotida, dan pada manusia membentuk 22 pasang kromosom autosomal dan satu pasang kromosom seks, yaitu kromosom X dan kromosom Y.15 Penentuan jenis kelamin dengan metode ini memiliki tingkat akurasi yang lebih baik, namun memerlukan biaya yang lebih mahal dan prosedur yang lebih rumit. Molekul DNA merupakan pilihan untuk analisis forensik sebab bersifat stabil dan sensitif. Salah satu teknik biologi molekuler yang digunakan adalah penentuan jenis kelamin dengan polymerase chain rections (PCR). PCR dapat membantu menggandakan penanda identifikasi bahkan dengan sampel yang sangat sedikit.16 Beberapa penanda tipe jenis kelamin yang digunakan pada identifikasi berbasis DNA diantaranya yaitu amelogenin, SRY dan Y-STRs.17-19 Amelogenin Amelogenin merupakan protein utama pada pembentukan enamel pada gigi manusia yang dikode oleh gen yang berlokasi pada kromosom seks AMELX (Xp22.1-Xp22.3) dan AMELY (Yp11.2). Gen amelogenin memiliki perbedaan baik dalam ukuran maupun sekuennya, namun gen ini juga memiliki bagian homolog yang memungkinkan untuk dilakukan amplifikasi secara simultan menggunakan sepasang primer tunggal. Variasi perbedaan panjang intron pertama pada gen amelogenin X-Y homolog (AMELX dan AMELY) dimanfaatkan untuk analisis penentuan jenis kelamin dalam bidang forensik, analisis arkeologi dan analisis prenatal. Gen AMEL pada wanita berlokasi pada kedua kromosom X dan homozigot (46, XX). Pada pria gen AMEL hadir pada kedua kromosom X dan Y namun heterozigot (46, XY).17, 20 Beberapa variasi tes amelogenin telah dipublikasikan. Metode yang paling sering 13 digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Sullivan dkk. Teknik ini membagi fragmen X dan Y pada 106 bp dan 112 bp. Produk amplifikasi dengan metode ini dapat diidentifikasi setelah proses elektroforesis kapiler, pyrosequencing, serta gel poliakrilamid agarose.21-23 Protokol lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan AMELX dan AMELY yaitu protokol yang di desain oleh Nakahori dkk. protokol ini membagi produk 977 bp (AMELX) dan 790 bp (AMELY) yang dapat dengan mudah dipisahkan menggunakan elektroforesis gel agarose. Pengujian terhadap gen AMEL dapat dilakukan dengan cepat, lebih akurat, dan memerlukan kuantitas sampel yang kecil.24 Amelogenesis dapat berkaitan dengan ukuran gigi, kromosom Y mempengaruhi pembentukan enamel dan dentin sedangkan kromosom X mempengaruhi pembentukan mahkota terbatas pada enamel.6 Hal ini menjelaskan bahwa mahkota gigi pada pria lebih besar daripada wanita akibat periode waktu amelogenesis pada pria lebih lama dibandingkan pada wanita.25 Sex-determining region (SRY) Sex-determining region (SRY) merupakan gen yang berperan dalam perkembangan karakteristik pria. Gen SRY berlokasi pada lengan pendek (p) kromosom Y pada posisi 11.3. Terdiri dari satu ekson yang mengkode 204 asam amino. SRY pada kromosom Y menyebabkan embrio berkembang sebagai pria. Deteksi rangkaian SRY akan membedakan sampel DNA pria dari sampel DNA wanita.17 Penelitian terbaru dalam aplikasi analisis SRY yaitu pemeriksaan menggunakan sel epitel yang diekstraksi dari akrilik gigi tiruan sebagai sampel DNA untuk determinasi jenis kelamin. Peneliti tersebut melaporkan bahwa sampel yang diteliti berhasil dalam deteksi dan kuantifikasi DNA.24 Kromosom-Y marker (Y-STRs) Y-STRs adalah short tandem repeat yang ditemukan pada kromosom-Y spesifik merupakan gen koding yang ditemukan pada lengan pendek kromosom Y, yang penting terhadap determinasi jenis kelamin pria, spermatogenesis, dan fungsi lain terkait dengan pria. Y-STRs bersifat polimorfik diantara pria yang tidak berkaitan dan diturunkan melalui garis paternal. Pada dasarnya, ayah mewariskan profil Y-STRs DNA mereka pada keturunan laki-laki, dari generasi ke generasi, tanpa 14 Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013 perubahan profil (pembatasan mutasi). KromosomY DNA hadir dalam satu salinan per sel dan hanya pada laki-laki.17, 26 PEMBAHASAN Berbagai metode yang dapat dilakukan untuk membantu proses identifikasi telah banyak dikembangkan khususnya dalam usaha penentuan jenis kelamin baik untuk orang hidup maupun pada korban jiwa. Gigi dan tulang adalah bagian tubuh yang menggambarkan karakteristik jenis kelamin seseorang dan merupakan bagian tubuh yang keras dan tahan lama, khususnya pada gigi yang juga tahan terhadap suhu yang tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai alat untuk menegakkan identifikasi individu. Hal terpenting yang harus dilakukan sebelum melakukan identifikasi pada gigi maupun pada tulang adalah menentukan terlebih dahulu apakah gigi dan tulang tersebut berasal dari manusia atau hewan, karena beberapa bentuk dan ukuran gigi dan tulang hewan mirip dengan bentuk dan ukuran gigi dan tulang manusia. Penentuan jenis kelamin melalui gigi dapat dilakukan melalui metode visualisasi gigi, pengukuran gigi, histologis dan pemeriksaan DNA.27, 28 Pemilihan metode analisis bergantung pada kondisi korban atau jenazah, jenis bencana yang terjadi, serta ketersediaan sampel dan alat yang digunakan untuk pengujian. Barr body merupakan suatu gambaran badan kecil yang dapat menimbulkan bintik berwarna dengan pewarnaan inti sel. Barr body hadir dalam jumlah yang banyak pada inti sel yang berasal dari wanita namun tidak ada pada inti sel pria. Ukurannya berdiameter sekitar 1µ dengan perkiraan rerata 0.7x1.2 µ, baik pada inti sel mukosa bukal dan pada beberapa jaringan manusia. Barr body umumnya terletak di bagian tepi inti sel. Namun, dapat juga ditemukan di bagian lain dalam inti sel walaupun jarang terjadi.11 Penelitian terhadap kromatin inti sel mamalia menunjukkan heterokromatin yang seringkali ditemukan pada sel wanita namun tidak pada sel pria. Gumpalan kromatin ini adalah kromatin seks dan merupakan satu dari pasangan kromosom X yang terlihat pada sel wanita selama interfase. Kromosom X tetap bergelung rapat dan tampak selama interfase, sementara kromosom X lainnya terurai dan tidak tampak. Pada pria memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y sebagai penentu kelamin, kromosom X tidak bergelung oleh karena itu tidak tampak adanya kromosom seks.29 Hal ini pertama sekali dikemukakan oleh seorang ahli genetika dari Inggris, Mary F. Lyon. Lyon mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau hiperkromatinisasi sehingga secara genetik menjadi tidak aktif.11 Hipotesis tersebut berkaitan dengan jumlah kromatin seks yang muncul pada inti sel. Umumnya, jumlah maksimum Barr body per inti sel pada setiap organisme atau setiap jaringan normal adalah 0 atau 1, berkaitan pada kariotipe yang terdiri dari satu atau dua kromosom X. Namun, sel yang memiliki Barr body lebih dari satu dapat ditemui dan ini berarti ada dua atau lebih kromosom seks yang hadir pada kariotipe. Hal ini biasa ditemukan pada kelainan genetik seperti sindrom Turner’s (45, XO), sindrom Trisomi atau XXX (47,XXX), sindrom Tetrasomi atau sindrom XXXX (48, XXXX) pada wanita dan sindrom klinefelter (47, XXY), sindrom XYY (47, XYY) pada pria.11, 29 Banyaknya Barr body yang yang muncul sama dengan jumlah kromosom X dikurangi satu. Pada wanita normal akan memiliki sebuah Barr body pada inti sel karena memiliki dua kromosom X, sedangkan pada pria tidak memiliki Barr body karena kromatin X-nya hanya satu. Demikian halnya pada pria dan wanita yang memiliki kelainan genetik, jumlah Barr body yang muncul bergantung pada jumlah kromosom X yang dimilikinya. Pria dengan kelainan kromosom seks, misalnya penderita sindrom Klineferter (47, XXY) akan memiliki sebuah Barrbody yang seharusnya tidak dimiliki oleh pria normal karena penderita sindrom tersebut memiliki dua kromosom X.11, 29 Identifikasi jenis kelamin ini sangat bermanfaat pada kasus pemalsuan identitas yang sering terjadi di bidang olahraga. Beberapa kasus pernah terjadi pada atlet-atlet olahraga dibidang atletik, dimana atlet yang secara genetik adalah pria tapi bertanding sebagai wanita karena memiliki ciri fisik seperti wanita. Untuk mengantisipasi tindak kecurangan seperti itu, pada beberapa turnamen olahraga dilakukan verifikasi jenis kelamin melalui pemeriksaan histologis dari apusan jaringan pipi bagian dalam. Pemeriksaan ini cepat, murah dan dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak.24, 30 Metode terbaru dalam usaha identifikasi individu adalah dengan menggunakan analisis DNA. Beberapa penanda tipe jenis kelamin pada analisis DNA adalah gen amelogenin, SRY, dan YSTRs. Beberapa peneliti menyatakan bahwa SRY dan Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013 Y-STRs merupakan rujukan standar baku emas (gold standard) dalam penentuan jenis kelamin individu. Kelebihan metode ini dibandingkan metode lainnya adalah lebih akurat, sensitif, dan lebih stabil jika dibandingkan dengan metode lainnya, namun memerlukan teknik yang lebih rumit, biaya dan peralatan yang mahal, serta kontaminasi pada sampel dapat mempengaruhi akurasi hasil pemeriksaan. Metode analisis Y-STRs sangat berguna dalam pemeriksaan bukti pada korban kekerasan seksual, dapat diambil dari apusan vagina, yang mengandung baik DNA pria maupun wanita. Penanda genetik STRs pada kromosom Y dapat digunakan untuk mendapatkan profil genetik donor laki-laki (tunggal dan ataupun lebih dari satu) dalam campuran cairan tubuh dari laki-laki dan wanita. Dalam kasus campuran, ketika konsentrasi dari donor perempuan sangat tinggi dibandingkan dengan kontributor lakilaki, standar analisis autosomal STR mungkin gagal untuk mendeteksi profil DNA donor laki-laki. Jika hal ini terjadi, analisis Y-STR dapat digunakan untuk menargetkan kromosom Y, dan DNA dari kontributor perempuan diabaikan. Analisis Y-STRs juga sangat berguna dalam khususnya ketika lebih dari satu pelaku pria. Pola campuran pria pada barang bukti dapat mengidentifikasi pria-pria pelaku yang bertanggung-jawab terhadap kasus pelecehan tersebut.17 Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan melalui pemeriksaan histologis dan analisis DNA. Pemeriksaan histologis dapat dilakukan dengan melihat keberadaan kromatin seks. Kromatin X (Barr body) adalah kromatin seks yang terdapat pada sel wanita, sedangkan kromatin X (Y body) adalah kromatin seks yang hanya dimiliki oleh pria. Metode ini sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar namun aplikasinya terbatas terutama pada kasus dengan kerusakan jaringan yang parah. Identifikasi jenis kelamin melalui analisis DNA umumnya dilakukan dengan pemeriksaan gen amelogenin pada kromosom seks. Walaupun tekniknya sulit dan memerlukan biaya yang tinggi, teknik analsis DNA merupakan teknik yang stabil, sensitif serta memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Variasi lain penanda jenis kelamin yang menggunakan identifikasi berbasis DNA diantaranya adalah gen SRY dan metode analisis YSTRs. Penerapan metode yang akan dilakukan harus sesuai dengan kondisi yang ditemukan pada tempat kejadian ataupun jenis musibah yang terjadi, karena 15 akan mempengaruhi keakuratan pemeriksaan. Pemilihan metode identifikasi yang tepat tentu dapat memudahkan proses identifikasi individu. Kombinasi metode pemeriksaan dapat meningkatkan akurasi dalam menegakkan identifikasi individu, tidak hanya dalam penentuan jenis kelamin tapi juga untuk penentuan variabel pemeriksaan lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Prawestiningtyas E, Algozi AM. Forensic identification based on both primary and secondary examination priority in victim identifiers on two different mass disaster cases. Jurnal Kedokteran Brawijaya 2009; XXV(2): 87-94. 2. Eboh D. A dimorphic study of maxillary first molar crown dimensions of Urbohos in Abraka, SouthSouthern Nigeria. J Morphol Sci 2012; 29(2): 96-100. 3. Das N, Gorea RK, Gargi J, Singh JR. Sex determination from pulpal tissue. JIAM 2004; 26(2): 50-53. 4. Gomez FM. Sexual dimorphism in human teeth from dental morphology and dimensions: a dental anthropology viewpoint. In: Moriyama H, editor. Sexual dimorphism. InTech, open access book; 2013. p. 97-124. 5. Sonika V, Harshaminder K, Madhushankari GS, A Sri Kennath JA. Sexual dimorphism in the permanent maxillary first molar: a study of the haryana population (India). J Forensic Odontostomatol 2011; 29(1): 37-43. 6. Omar A, Azab S. Applicability of determination of gender from odontometric measurements of canine teeth in a sample of adult egyptian population. CDJ 2009; 25(2): 167-80. 7. Staka G, Bimbashi V. Sexual dimorphism in permanent maxillary canines. Int J Pharm Bio Sci 2013; 4(2): 927-32. 8. Veeraraghavan G, Lingappa A, Shankara SP. Determination of sex from tooth pulp tissue. Libyan J Med 2010; 5: 5084. 9. Lakhanpal M, Gupta N, Rao NC, Vashisth S. Tooth dimension variations as a gender determinant in permanent maxillary teeth. JSM Dent 2013; 1(1): 1014. 10. Glinka J, Artaria MD, Koesbardiati T. Metode pengukuran manusia. Surabaya: Airlangga University Press; 2008. h. 55-9. 11. Ursula M. Sex chromatin. J Med Genet 1964; I: 50-73. 12. Suazo G, Roa HI, Cantin LM. Sex Chromatin in dental pulp. Performance of diagnosis test and gold standard generation. Int J Morphol 2010; 28(4): 1093-96. 13. Suazo G, Flores A, Roa HI. Sex determination of observation of barr body in teeth subjected to high temperatures. Int J Morphol 2011; 29(1): 199-203. 14. Atmadja DS, Untoro E. Peranan analisis DNA pada penanganan kasus forensik. In: Idries AM, Tjiptomartono AL, editors. Penerapan ilmu 16 Syafitri dkk. : Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik Jurnal PDGI 62 (1) Hal. 11-16 © 2013 kedokteran forensik dalam proses penyelidikan. 2 ed. Jakarta: CV Sagung Seto; 2011. h. 224-33. 15. George R, Donald PM, Nagraj SM, Idiculla JJ, Ismail RH. The impact of chimerism in DNA-based forensic sex determination analysis. Malays J Med Sci 2013; 20(1): 75-9. 16. Butler JM. Advanced topics in forensic DNA typing: methodology. Maryland, USA: Elsevier Inc; 2012. p. 69-90. 17. Renjith G, Donald PM, Kumbargere S. The impact of chimerism in DNA-based forensic sex determination analysis. Malays J Med Sci 2013; 20(1): 75-9. 18. Reddy AV, Sriram G, Saraswathi TR, Sivapathasundharam B. Isolation of epithelial cells from tooth brush and gender identification by amplification of SRY gene. J Forensic Dent Sci 2011; 3: 27-32. 19. Muruganandhan J, Sivakumar G. Practical aspect of DNA-based forensic studies in dentistry. J Forensic Dent Sci 2011; 3: 38-45. 20. Mannucci A, Sullivan KM, Ivanov PL, Gill P. Forensic application of rapid and quantitative DNA sex test by amplification of the X-Y homologous gene amelogenin. Int J Leg Med 1994; 106: 190-93. 21. Sullivan KM, Mannucci A, Kimpton CP, Gill P. A rapid and quantitative DNA sex test: fluorescene-based PCR analysis of X-Y homologous gene amelogenin. Biotechniques 1993; 15(4): 636-41. 22. Tschentscher F, Frey UH, Bajanowski T. Amelogenin sex determination by pyrosequencing of short PCR products. Int J Legal Med 2008; 122: 333-35. 23. Tozzo P, Giuliodori A, Corato S, Ponzano E. Deletion of amelogenin Y-locus in forensics: Literature revision and description of a novel method for sex confirmation. J Forensic Leg Med 2013; 20:387-91. 24. Muruganandhan J, Sivakumar G. Practical aspects of DNA-based forensic studies in dentistry. J Forensic Dental Sci 2011; 3(1): 38-45. 25. Parekh DH, Patel SV, Zalawadia AZ, Patel SM. Odontometric study of maxillary canine teeth to establish sexual dimorphism in gujarat population. Int J Med Res 2012; 3(3): 1935-37. 26. Ferreira I. Sequence variation of the Amelogenin gene on the Y-chromosome [South African: North-West University; 2010. p. 8-17. 27. Joseph AP, Harish RK, Rajeesh Mohammed PK, Vinod Kumar RB. How reliable is sex differentiation from teeth measurements. OMPJ 2013; 4(1): 289-92. 28. Hemanth M, Vidya M, Nandaprasad, Karkera BV. Sex determination using dental tissue. Medico-legal update 2008; 8(2): 7-12. 29. Elrod SL, Stansfield WD. Schaum’s outlines genetika. 4 ed. Indonesia: Penerbit Erlangga; 2007. h. 162-5. 30. Tucker R, Collins M. The science and management of sex verification in sport. SAJM 2009; 21(4): 147-50.