ii. tinjauan pustaka

advertisement
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Business Cycle
Sepanjang sejarah, pertumbuhan ekonomi kerap diganggu oleh penurunan
output. Meski berlangsung dalam periode yang relatif singkat, penurunan PDB
biasanya diiringi oleh peningkatan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Oleh
karena itu pemerintah mencoba untuk menstabilisasi perilaku makroekonomi
melalui kebijakan ekonomi.
Burns dan Mitchell (1946) mendefinisikan business cycle sebagai fluktuasi
yang terjadi pada kegiatan perekonomian agregat suatu negara, berulang tapi tidak
terjadi secara periodik, lebih rincinya sebagai berikut:
“Business cycles are a type of fluctuation found in the aggregate economic
activity of nations that organize their work mainly in business enterprises: a
cycle consists of expansions occurring at about the same time in many economic
activities, followed by similarly general recessions, contractions, and revivals
which merge into the expansion phase of the next cycle; this sequence of
changes is recurrent but not periodic; in duration business cycles vary from
more than one year to ten or twelve years …”.
Lucas (1976) mendefinisikan business cycle sebagai fluktuasi berulang
output dan pengangguran disekitar trend. Menurut Prescott (1998), kuncinya
adalah pada comovement diantara time series ekonomi.
Menurut Diebold dan Rudebusch (1994), definisi Burns dan Mitchell diatas
mencakup dua unsur. Pertama adalah peran comovement diantara variabelvariabel ekonomi dalam penentuan titik balik atau turning point dari business
cycle. Hal ini menjadi isu utama dalam metodologi mereka. Burns dan Mitchell
menggunakan ratusan series seperti output, suku bunga dan sebagainya. Mereka
mengelompokkan turning point series tersebut sehingga dapat ditentukan tanggal
titik balik keseluruhan business cycle. Dari metode tersebut dapat diketahui indeks
komposit leading, coincident dan lagging. Kedua adalah membagi business cycles
menjadi fase-fase yang berbeda yaitu memperlakukan ekspansi berbeda dengan
kontraksi.
14
Dalam jangka panjang PDB cenderung terus meningkat. Namun dalam
jangka pendek PDB fluktuatif, naik dan turun, karena ada kekauan dalam harga
dan upah (Makin 2002).
Sumber: Makin, 2002
Gambar 4 Business Cycle
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara business cycle dengan trend PDB.
Pola puncak atau peak dan lembah atau trough dalam kegiatan makroekonomi
disebut sebagai business cycle. Ketika PDB turun yaitu ketika PDB bergerak dari
peak menuju ke trough, maka perekonomian mengalami resesi atau kontraksi.
Untuk praktisnya, perekonomian dikatakan dalam kondisi resesi jika PDB turun
lebih dari dua triwulan berturut-turut. Ketika PDB bergerak dari trough menuju ke
peak maka perekonomian berada dalam fase pemulihan atau recovery atau dalam
periode ekspansi. Pemulihan yang terlalu kuat dikatakan sebagai overheating.
Satu siklus penuh dalam aktivitas perekonomian agregat bisa diukur dari satu
lembah ke lembah berikutnya atau dari satu puncak ke puncak lainnya (Makin
2002). Jarak antara puncak dan garis trend yang bersesuaian merupakan deviasi
siklus dari trend jangka panjangnya.
2.2
Teori Business Cycle
Studi business cycle dikelompokkan menjadi tiga teori yaitu Real Business
Cycle, New Keynesian Business Cycle dan Monetary Business Cycle. Menurut
Saphiro dan Watson (1988), esensi dari teori Keynesian bahwa dalam jangka
pendek, kesediaan agen untuk menyerap output dalam perekonomian menentukan
kuantitas output yang diproduksi. Dalam teori ini, guncangan terhadap aggregat
demand akan menggerakkan perekonomian menjauh dari level output naturalnya
15
secara sementara dimana level output natural ditentukan oleh stok kapital, tenaga
kerja dan teknologi dalam keseimbangan jangka panjangnya.
Dilain pihak, teori klasik dan neo klasik tidak membenarkan kemungkinan
bahwa output bisa terdeviasi dari keseimbangan jangka panjangnya kecuali dalam
periode yang sangat singkat. Dalam teori ini harga dan tingkat pengembalian
menyesuaikan dengan cepat sehingga perubahan dalam aggregat demand tidak
menyebabkan perubahan output. Teori ini menjadi landasan kajian Real Business
Cycle (RBC) dimana variabel nominal tidak bisa memengaruhi variabel riil.
Sedangkan kaum monetaris berpendapat bahwa satu-satunya faktor yang dapat
memengaruhi output adalah faktor moneter.
Dalam penelitian ini digunakan teori New Keynesian. Mazhab New
Keynesian berkembang sebagai respon atas kritik New Classical terhadap
Keynesian tradisional. New Keynesian menambahkan pondasi mikroekonomi
dalam teori ekonomi Keynesian tradisional. Asumsi mazhab New Keynesian
adalah rumahtangga dan perusahaan berekspektasi secara rasional. Selain itu,
terjadi kegagalan pasar bahwa terjadi persaingan tidak sempurna dalam harga dan
penentuan upah sehingga menjelaskan mengapa harga-harga dan upah menjadi
kaku yang artinya tidak menyesuaikan secara cepat perubahan dalam kondisi
perekonomian. Kegagalan pasar dan kekakuan upah tersebut menyebabkan
makroekonomi tidak dapat mencapai tingkat full employment. Oleh karena itu
perlu intervensi pemerintah berupa kebijakan fiskal dan intervensi melalui
kebijakan moneter oleh bank sentral agar tercapai kinerja ekonomi yang lebih
efisien dibandingkan yang dicapai ketika perekonomian diserahkan semua kepada
pasar atau laisses faire.
Nominal rigidities atau kekakuan harga dan upah ini yang menjadi fokus
model New Keynesian. Harga lambat menyesuaikan karena ada menu cost yaitu
biaya kecil yang harus dibayar untuk menyesuaikan harga nominal seperti biaya
membuat katalog, daftar harga atau harga menu. Nominal rigidities inilah yang
menyebabkan fluktuasi jangka pendek dari variabel-variabel riil. Ketika harga
output kaku dalam jangka pendek maka guncangan nominal seperti ekspansi
moneter yaitu peningkatan jumlah uang beredar akan meningkatkan harga output
dengan proporsi yang relatif lebih kecil dibandingkan perubahan uang beredar.
16
Hal ini menyebabkan upah riil turun akibatnya permintaan tenaga kerja meningkat
sehingga lebih banyak output yang dihasilkan. Oleh karena itu, intervensi otoritas
moneter dengan ekspansi moneter dapat menimbulkan fluktuasi jangka pendek
pada variabel riil seperti output dan tenaga kerja.
Teori New Keynesian menyatakan bahwa fluktuasi ekonomi makro
disebabkan oleh fluktuasi pada permintaan agregat dan penawaran agregat.
Intinya bahwa guncangan nominal dapat memengaruhi variabel riil akibat adanya
kekakuan harga dan upah nominal serta kegagalan pasar.
Pemerintah maupun otoritas moneter membuat suatu kebijakan dengan
tujuan meredam fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Ketika
perekonomian menghadapi masa resesi maka diperlukan kebijakan yang ekspansif
yang mampu membawa perekonomian keluar dari resesi. Sedangkan ketika
perekonomian sedang overheating maka perlu dilakukan kebijakan yang
kontraktif untuk meredam inflasi. Agar berdampak pada level mikro, maka
kebijakan makro yang dibuat haruslah mempertimbangkan kondisi mikro yang
sesuai dengan realita. Kondisi mikro dengan asumsi pasar persaingan sempurna,
harga yang sangat fleksibel, pergerakan sumber daya yang sempurna dan tidak
terjadi eksternalitas, tidak sesuai dengan realita. Sehingga yang cocok dengan
realita adalah mazhab New Keynesian (Siregar 2009). Oleh karena itu, kajian
business cycle pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka New
Keynesian. Selain itu, hasil penelitian sebelumnya seperti Siregar dan Ward
(2000) dan Supriana (2004) juga membuktikan bahwa fluktuasi ekonomi atau
business cycle dapat dijelaskan secara lebih baik oleh model yang berlandaskan
teori New Keynesian.
2.3
Model Business Cycle New Keynesian Indonesia
IS-LM merupakan salah satu model makroekonomi dasar (Blanchard &
Fisher 1993). Model IS-LM Keynesian menunjukkan bahwa fluktuasi ekonomi
yaitu deviasi PDB dari trend-nya disebabkan oleh berbagai penyebab potensial
seperti guncangan terhadap konsumsi rumahtangga, perubahan kebijakan fiskal
dan moneter, guncangan terhadap permintaan investasi dan perubahan fungsi
permintaan uang. Menurut teori New Keynesian, selain permintaan agregat,
penawaran agregat juga menjadi penyebab fluktuasi.
17
Dalam perekonomian terbuka, model IS-LM Keynesian disebut Model
Mundell-Flemming, dikembangkan oleh Robert Mundell dan Marcus Fleming
pada awal tahun 1960-an. Model ini mengasumsikan tingkat harga domestik dan
asing adalah tetap, barang domestik dan asing tidak bersubstitusi sempurna tetapi
aset domestik dan asing bersubstitusi sempurna serta menghasilkan ekspektasi
return yang sama. Negara adalah small open economy sehingga variabel luar
negeri adalah given dan tidak terpengaruh oleh tindakannya (Mankiw 1993).
2.3.1 Sisi Permintaan
Kurva IS atau investment equal saving menunjukkan hubungan antara suku
bunga domestik dengan pendapatan nasional. Kondisi dasar agar ekuilibrium di
pasar barang dan jasa di perekonomian yaitu:
total pengeluaran (C + I + G + NX) = total pendapatan nasional (Y)
sehingga dapat ditulis menjadi:
Y = C + I + G + NX
(1)
dimana:
C
=
I
=
Konsumsi, merupakan fungsi dari pendapatan atau 𝐢 = 𝑐(π‘Œ)
r
=
Suku bunga riil, dimana r = suku bunga nominal (𝑖) - ekspektasi
Investasi, merupakan fungsi dari suku bunga riil atau 𝐼 = 𝐼(π‘Ÿ)
inflasi (πœ‹ 𝑒 ) atau ditulis menjadi: π‘Ÿ = 𝑖 − πœ‹ 𝑒 . Diasumsikan di
G
=
jangka pendek πœ‹ 𝑒 = 0 maka: π‘Ÿ = 𝑖
Kebijakan fiskal atau pengeluaran pemerintah, merupakan variabel
eksogen
NX
=
Net ekspor, merupakan selisih antara ekspor dan impor.
Menurut Makin (2002), dalam model Mundell-Fleming dasar,
perubahan kurs nominal menyebabkan perubahan yang ekuivalen
dengan kurs riil karena ada asumsi bahwa harga domestik (𝑃) dan
harga asing (𝑃′ ) adalah fixed dalam jangka pendek. Perubahan daya
saing ini akan memengaruhi aliran ekspor dan impor. Membaiknya
daya saing akan meningkatkan ekspor dan menurunkan impor
sehingga meningkatkan net ekspor. Oleh karena itu fungsi net
ekspor menjadi:
18
𝑆𝑃 ′
𝑁𝑋 = 𝑁𝑋( 𝑃 , π‘Œ ∗ )
dimana
𝑆
adalah
kurs
nominal,
yang
didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata uang
domestik. Diasumsikan pendapatan dunia (π‘Œ ∗ ) tetap dan tidak
masuk dalam model.
Persamaan (1) dapat ditulis kembali menjadi:
𝑆𝑃 ′
π‘Œ = 𝐢(π‘Œπ‘– ) + 𝐼(𝑖) + 𝐺̅ + 𝑁𝑋 οΏ½ 𝑃 οΏ½
π‘Œ = 𝐴 �𝑖, π‘Œπ‘– ,
𝑆𝑃 ′
𝑃
, 𝐺̅ οΏ½
Equilibrium condition menyatakan bahwa pendapatan sama dengan output maka:
π‘Œπ‘– = π‘Œ, maka selanjutnya digunakan notasi π‘Œ. Persamaan diatas ditulis sebagai
berikut:
π‘Œ = 𝐴 �𝑖,
dimana:
πœ•π΄
πœ•π‘–
𝑆𝑃 ′
𝑃
, 𝐺̅ οΏ½
(2)
< 0. Kenaikan suku bunga menyebabkan penurunan investasi sehingga
menurunkan output.
πœ•π΄
𝑆𝑃′
)
𝑃
πœ•(
> 0 . Depresiasi kurs riil menyebabkan kenaikan net ekspor sehingga
meningkatkan output.
Keseimbangan di pasar uang ditunjukkan oleh kurva LM atau liquidity
preference equals money. Diasumsikan tidak ada substitusi mata uang, maka
permintaan uang riil atau preferensi likuiditas residen dinyatakan dalam bentuk
sebagai berikut:
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖, π‘Œ)
(3)
dimana:
𝑀
= permintaan uang riil agregat
𝑃
i
= suku bunga nominal
Y
= output riil atau pendapatan
Jumlah uang yang diminta dalam perekonomian tergantung dari suku bunga
nominal dan pendapatan. Makin tinggi suku bunga nominal maka makin besar
opportunity cost memegang aset dalam bentuk uang yang tidak menghasilkan
19
bunga sehingga
πœ•πΏ
πœ•π‘–
< 0. Makin tinggi pendapatan maka makin besar belanja dalam
perekonomian sehingga kebutuhan uang untuk melakukan transaksi sehari-hari
πœ•πΏ
makin meningkat sehingga πœ•π‘Œ > 0.
Money supply, 𝑀 𝑠 , ditentukan secara independen oleh bank sentral. Suku
bunga keseimbangan ditentukan dari keseimbangan di pasar uang yaitu antara
permintaan uang dan penawaran uang.
Dalam perekonomian terbuka untuk small economy, suku bunga domestik
sama dengan suku bunga dunia (𝑖 ∗ ) atau ditulis sebagai 𝑖 = 𝑖 ∗ . Tindakan domestik
tidak dapat memengaruhi perekonomian dunia sehingga suku bunga dunia given
atau ditetapkan sebagai eksogenous dalam model. Suku bunga domestik tidak lagi
menyeimbangkan tabungan domestik dan investasi domestik. Karena asumsi
perfect capital mobility, maka residen domestik selalu memiliki akses penuh pada
pasar keuangan dunia. Oleh karena itu, ketika tabungan domestik lebih rendah
dari investasi domestik, residen suatu negara dapat meminjam dari Rest of the
World (ROW) dengan suku bunga sebesar 𝑖 ∗ . Begitu juga ketika investasi
domestik lebih rendah dari tabungan domestik maka residen domestik dapat
menginvestasikan dananya di luar negeri atau meminjamkannya ke ROW dengan
suku bunga sebesar 𝑖 ∗ .
Perekonomian dalam keseimbangan jika IS = LM. Permintaan barang dan
jasa tergantung oleh pendapatan, kurs riil dan kebijakan fiskal. Depresiasi riil
diasumsikan meningkatkan permintaan agregat. Dengan tingkat harga tetap maka
ekspektasi inflasi πœ‹ 𝑒 = 0. Penentuan kurs dalam keseimbangan statis ketika kurs
konstan (𝑑𝑆/𝑑𝑑) = (𝑑𝑆/𝑑𝑑)∗ = 0. Jika kurs konstan maka suku bunga domestik
harus sama dengan suku bunga asing. Sehingga keseimbangan perekonomian
dicirikan oleh:
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖 ∗ , π‘Œ) dan π‘Œ = 𝐴 �𝑖 ∗ ,
𝑆𝑃 ′
𝑃
, 𝐺̅ οΏ½
2.3.1.1 Suku Bunga Amerika Serikat
Aliran modal sensitif terhadap perubahan ekspektasi investor termasuk
perubahan ekspektasi kurs. Jika investor berekspektasi di masa depan suatu mata
uang akan jatuh maka mereka akan segera menjual aset finansial dengan
20
denominasi mata uang tersebut untuk menghindari kerugian modal (Makin 2002).
Hubungan antara ekspektasi kurs dengan suku bunga domestik dan suku bunga
asing dikenal dengan Uncover Interest Parity (UIP) yang dirumuskan sebagai:
𝑖 − 𝑖∗ =
dimana:
𝑆𝑒
𝑆
πœ•π‘†
𝑆 𝑒 = ( πœ•π‘‘ )𝑒 , merupakan ekspektasi depresiasi kurs di masa akan datang, yang
ekspektasinya dibentuk saat ini.
𝑆′ =
𝑆𝑒
𝑆
.
Pada kondisi ekuilibrium, perbedaan suku bunga nominal kedua negara
sama dengan ekspektasi depresiasi kurs oleh investor. Ketika UIP terjadi, investor
residen indifferent antara memegang bond domestik atau bond asing meski suku
bunga asing lebih tinggi dari suku domestik. Implikasi penting lainnya dari
adanya UIP ini adalah perbedaan suku bunga domestik dan asing yang
terobservasi merupakan ukuran ekspektasi apresiasi atau depresiasi kurs nominal.
Akibatnya, jika suku bunga domestik lebih tinggi dari suku bunga asing, tidak
menyatakan bahwa kondisi ini akan menguntungkan bagi perekonomian domestik
dalam arti biaya pinjaman asing lebih rendah sehingga akan meningkatkan
pinjaman dengan denominasi mata uang asing. Oleh karena itu terjadi depresiasi
setelah pelarian pinjaman ke asing terjadi dan menghilangkan manfaat rendahnya
suku bunga pinjaman dengan denominasi mata uang asing (Makin 2002).
Karena Indonesia merupakan small open economy maka suku bunga dunia
given dan diasumsikan ditentukan hanya oleh guncangan eksogen seperti
kebijakan moneter dunia sehingga 𝑖 ∗ = β„Ž(πœ€π‘– ∗ ). Dimana πœ€π‘– ∗ adalah shock kebijakan
moneter dunia. Apabila kebijakan moneter dunia kontraksi maka suku bunga
dunia meningkat sehingga
πœ•β„Ž
πœ•πœ€π‘–∗
> 0.
Besarnya peran perekonomian Amerika Serikat terhadap perekonomian
dunia maka suku bunga dunia didekati dengan suku bunga Amerika Serikat yang
berubah karena kebijakan moneter The Fed. Sehingga fungsi suku bunga AS
adalah sebagai berikut:
𝑖 ∗ = β„Ž(πœ€π‘– ∗ )
(4)
21
2.3.1.2 Permintaan Uang Riil
Dengan asumsi UIP terpenuhi maka untuk menghitung substitusi mata
uang, maka kita dapat memasukkan 𝑖 ∗ atau 𝑆 ′ . Karena 𝑆 ′ tidak diketahui maka
yang dimasukkan dalam persamaan money demand adalah S. Persamaan money
demand menjadi
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖, π‘Œ, 𝑆).
Depresiasi mata uang domestik akan menurunkan permintaan akan mata
uang domestik sehingga
πœ•πΏ
πœ•π‘†
< 0. Diasumsikan bahwa perubahan preferensi yang
berkaitan dengan resiko memegang mata uang adalah konstan di jangka pendek.
Menurut Blanchard dan Fisher (1989), harga adalah fixed. Mengkonstankan harga
di jangka pendek berimplikasi bahwa
πœ•πΏ
πœ•π‘†
πœ•πΏ
= πœ•π‘„, sehingga suku bunga domestik
sama dengan suku bunga asing. 𝑄 merupakan kurs riil. Sehingga fungsi money
demand menjadi
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖, π‘Œ, 𝑄).
Selain itu diasumsikan juga bahwa fluktuasi money demand disebabkan oleh
guncangan variabel itu sendiri (πœ€π‘š/𝑝 ) dimana
money demand jangka pendek:
𝑀
𝑃
πœ•πΏ
πœ•πœ€π‘š/𝑝
= 𝐿′(𝑖, π‘Œ, 𝑄, πœ€π‘š/𝑝 )
> 0. Oleh karena itu, fungsi
(5)
2.3.1.3 Kurs Riil
Persamaan IS (2) dinyatakan dalam kurs riil:
𝑄 = π‘ž(π‘Œ, 𝑖 ∗ )
Hubungan output dengan kurs bisa positif maupun negatif tergantung sumber
kenaikan output dari investasi atau net ekspor. Jika kenaikan output berasal dari
kenaikan investasi maka kenaikan investasi tersebut akan meningkatkan suku
bunga domestik sehingga dengan UIP maka akan terjadi apresiasi mata uang
domestik sehingga
πœ•π‘ž
πœ•π‘Œ
< 0. Jika kenaikan output berasal dari kenaikan net ekspor
πœ•π‘ž
maka mata uang akan terdepresiasi sehingga πœ•π‘Œ > 0.
Hubungan suku bunga dunia dengan kurs riil adalah positif. Yaitu jika suku
bunga dunia meningkat maka akan terjadi penurunan investasi sehingga supply
πœ•π‘ž
mata uang domestik meningkat dan kursnya terdepresiasi sehingga πœ•π‘– ∗ > 0.
22
Selain itu, fluktuasi kurs juga disebabkan oleh guncangan pada spending
balance dimana guncangan yang memperburuk spending balance berarti
mendepresiasi kurs atau ditulis
pendek menjadi:
πœ•π‘ž
πœ•πœ€π‘„
> 0. Oleh karena itu, persamaan kurs jangka
𝑄 = π‘ž′(π‘Œ, 𝑖 ∗ , πœ€π‘„ )
(6)
2.3.1.4 Suku Bunga Domestik
Persamaan LM (3) dinyatakan dalam suku bunga maka:
𝑀
𝑖 = 𝑖( 𝑃 , π‘Œ)
Karena harga adalah kaku di jangka pendek, maka untuk membedakan guncangan
permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter domestik terhadap suku bunga
𝑀
domestik maka permintaan uang riil ( 𝑃 ) tidak dimasukkan dalam persamaan suku
bunga domestik.
Berdasarkan relasi UIP, maka suku bunga domestik dipengaruhi oleh suku
bunga Amerika Serikat dan apresiasi atau depresiasi kurs, sehingga suku bunga
Amerika Serikat dan kurs dimasukkan dalam persamaan suku bunga domestik.
Oleh karena itu, persamaan suku bunga domestik menjadi:
𝑖 = 𝑖(𝑖 ∗ , π‘Œ, 𝑄, πœ€π‘– )
(7)
dimana:
πœ•π‘–
πœ•π‘– ∗
> 0, kenaikan suku bunga Amerika Serikat akan memicu kenaikan suku
bunga domestik.
πœ•π‘–
πœ•π‘Œ
> 0 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ < 0 tergantung apakah otoritas moneter mengakomodasi kenaikan
real money balance akibat kenaikan output atau tidak.
πœ•π‘–
πœ•π‘„
> 0 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ < 0 tergantung apakah otoritas moneter mengakomodasi apresiasi
atau depresiasi kurs riil atau tidak.
πœ•π‘–
πœ•πœ€π‘–
> 0 adalah kebijakan moneter kontraksi yang menyebabkan kenaikan suku
bunga domestik.
2.3.2 Sisi Penawaran
Sisi penawaran ditunjukkan oleh fungsi agregat supply (AS). Menurut
Mankiw (1999), kenaikan harga minyak dunia (π‘ƒπ‘œ ∗ ) merupakan salah satu
23
guncangan penawaran. Selain itu, guncangan terhadap penawaran agregat
disebabkan oleh guncangannya sendiri atau disebut sebagai supply shock (πœ€π‘¦ ).
Sehingga persamaan output jangka pendek:
π‘Œ = 𝑦(π‘ƒπ‘œ ∗ , πœ€π‘¦ )
(8)
dimana:
πœ•π‘¦
πœ•π‘ƒπ‘œ ∗
< 0, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan biaya input
perusahaan sehingga menjadi disinsentif bagi pengusaha untuk menaikkan output.
πœ•π‘¦
πœ•πœ€π‘¦
2.4
> 0, guncangan output yang favorable akan meningkatkan output.
Studi Empiris
2.4.1 Studi Business Cycle
Kajian-kajian business cycle modern menelaah pengaruh relatif dari setiap
guncangan eksogen misalnya mana yang lebih penting pengaruh guncangan
moneter atau guncangan fiskal lalu bagaimana respon dinamis variabel-variabel
endogen terhadap setiap guncangan eksogen (Siregar 2009).
Shapiro dan Watson (1988) meneliti sumber-sumber fluktuasi business
cycle Amerika Serikat. Mereka mengidentifikasi bahwa hanya guncangan
penawaran yang dapat memengaruhi output di jangka panjang seperti guncangan
teknologi, harga minyak dan tenaga kerja. Modelnya dibangun berdasarkan model
pertumbuhan neoklasik dimana pergerakan jangka panjang dalam output
seluruhnya disebabkan oleh perubahan secara eksogen dalam input tenaga kerja
dan kemajuan teknologi. Dalam jangka pendek, output mungkin terdeviasi dari
nilai steady state jangka panjangnya. Deviasi tersebut mungkin berasal dari
guncangan terhadap level permanen input tenaga kerja dan teknologi yang
memicu transisi dari satu steady state ke steady state lainnya atau juga bisa
berasal dari guncangan permintaan. Sehingga pergerakan output bisa disebabkan
oleh tiga sumber yaitu guncangan penawaran berupa guncangan tenaga kerja dan
guncangan teknologi serta guncangan permintaan.
Guncangan penawaran tenaga kerja dan teknologi dalam penelitian Shapiro
dan Watson
didefinisikan sebagai guncangan penawaran dan memiliki efek
permanen terhadap level output sedangkan guncangan permintaan memiliki efek
24
sementara. Variabel yang digunakan dalam model adalah total jam kerja, output,
inflasi, suku bunga nominal dan harga minyak riil. Berdasarkan hasil Forecast
Error Variance Decompositions (FEVD) ditemukan bahwa fluktuasi output
utamanya banyak dijelaskan oleh guncangan penawaran tenaga kerja, selain juga
dijelaskan oleh guncangan teknologi di seluruh horizon waktu. Guncangan
permintaan hanya mampu menjelaskan variabilitas output di jangka pendek.
Sedangkan guncangan penawaran lainnya yaitu harga minyak tidak berperan
penting dalam fluktuasi output dan variabel makroekonomi lainnya di seluruh
horizon waktu. Guncangan permintaan dominan dalam menjelaskan fluktuasi
suku bunga nominal dan riil, harga serta inflasi.
Rapach (1998) menilai relatif pentingnya guncangan pada Aggregat
Demand (AD) dan guncangan pada Aggregat Supply (AS) terhadap fluktuasi
output Amerika Serikat. Variabel yang digunakan adalah real spending, PDB dan
money supply. Rapach menggunakan metode SVAR dimana guncangan
diidentifikasi melalui restriksi struktural jangka panjang berdasar Natural Rate
Hypothesis. Rapach menemukan bahwa guncangan permintaan dan guncangan
penawaran paling berperan terhadap fluktuasi PDB, sedangkan guncangan
moneter sedikit peranannya.
Berdasarkan
analisis
Impulse
Response
Functions
(IRF),
Rapach
menemukan bahwa guncangan penawaran mampu meningkatkan output di jangka
pendek dan jangka panjang. Temuan ini sesuai dengan restriksi yang dibangun
bahwa guncangan penawaran adalah satu-satunya guncangan yang memengaruhi
output di jangka panjang. Respon variabel lainnya atas guncangan penawaran
ditemukan tidak signifikan. Guncangan permintaan (IS) hanya meningkatkan
output di jangka pendek, sesuai dengan restriksi bahwa output kembali ke level
naturalnya di jangka panjang. Suku bunga nominal dan suku bunga riil merespon
guncangan tersebut lebih tinggi dibanding tingkat sebelum guncangan sehingga
menurunkan permintaan uang riil. Bank sentral meresponnya dengan menurunkan
money supply di jangka pendek untuk mengendalikan inflasi. Guncangan money
demand meningkatkan money supply dan permintaan uang riil.
Dari hasil penelitiannya, Rapach menemukan bahwa respon terhadap
guncangan money supply sesuai dengan transmisi moneter yaitu kenaikan money
25
supply menyebabkan kenaikan ekspektasi inflasi, sedangkan respon suku bunga
nominal tidak signifikan sehingga suku bunga riil menjadi lebih rendah dibanding
tingkat sebelum guncangan. Hal ini mendorong peningkatan output. Namun
sejalan dengan waktu, suku bunga riil meningkat untuk kembali ke level sebelum
guncangan begitu pula output yang menurun responnya menuju level sebelum
guncangan (sesuai dengan restriksi). Hal ini menurunkan permintaan uang riil
karena meningkatnya opportunity cost memegang uang. Berdasarkan analisis
FEVD ditemukan bahwa fluktuasi output dominan dijelaskan oleh guncangan IS
di jangka pendek dan guncangan penawaran di jangka panjang. Sedangkan
guncangan money supply dan money demand tidak berperan penting dalam
variabilitas output. Temuan Rapach menolak pandangan monetaris yang
mengklaim bahwa guncangan kebijakan moneter menggerakkan fluktuasi output,
sekaligus mendukung Keynesian dalam hal peran guncangan IS.
Blanchard
dan
Quah
(1988)
mempelajari
dinamika
output
dan
pengangguran atas guncangan aggregate demand dan aggregate supply. Menurut
mereka, level output di jangka panjang ditentukan oleh guncangan penawaran
seperti guncangan teknologi dan guncangan penawaran tenaga kerja. Variabel
yang digunakan yaitu PDB, pengangguran, tingkat produktivitas, harga, upah
nominal dan money supply. Mereka berpendapat bahwa fluktuasi dalam GNP
diakibatkan oleh dua jenis guncangan yaitu guncangan yang memiliki pengaruh
permanen terhadap output disebut guncangan penawaran dan guncangan yang
memiliki pengaruh tidak permanen terhadap output disebut guncangan
permintaan. Karena ada nominal rigidities, guncangan permintaan memiliki efek
jangka pendek atau sementara terhadap output dan pengangguran. Efek ini akan
menghilang sejalan dengan waktu. Dalam jangka panjang, hanya guncangan
penawaran yang memengaruhi output atau memiliki dampak yang permanen.
Berkembangnya
debat
mengenai
apakah
model
Keynesian
dapat
menjelaskan perekonomian direspon Gali (1992) dengan mengevaluasi validitas
model IS-LM dan Kurva Phillips dalam menjelaskan perekonomian Amerika
Serikat setelah Perang Dunia. Gali menggunakan variabel PDB, money supply,
suku bunga Amerika Serikat jangka pendek yaitu T-Bills 3 months dan IHK.
Dalam studinya, Gali mengkombinasikan restriksi jangka pendek dan jangka
26
panjang. Guncangan permintaan direstriksi tidak punya efek pada PDB di jangka
panjang sama halnya dengan restriksi yang dibangun oleh Blanchard dan Quah
(1988). Restriksi jangka pendek digunakan untuk memisahkan guncangan IS dari
guncangan moneter dimana guncangan moneter direstriksi tidak memiliki efek
contemporaneous terhadap output. Artinya output tidak merespon guncangan
moneter dalam triwulan yang sama atau ada lag respon.
Berdasarkan analisis FEVD, Gali menemukan bahwa selain guncangan
penawaran yang mendominasi fluktuasi PDB di seluruh horizon waktu, ternyata
guncangan IS mampu menjelaskan fluktuasi PDB di jangka pendek. Sedangkan
guncangan money supply dan money demand tidak berperan penting bagi fluktuasi
output di jangka pendek dan jangka panjang. Hasil IRF mengungkap bahwa
guncangan IS yang positif hanya sementara efeknya bagi PDB, namun permanen
bagi permintaan uang riil, suku bunga nominal (positif), inflasi (positif) dan
pertumbuhan uang. Guncangan money supply awalnya menaikkan permintaan
uang riil karena harga sulit menyesuaikan. Dengan output yang tetap (karena
direstriksi tidak langsung merespon) maka likuiditas yang tinggi menurunkan
suku bunga baik nominal maupun riil. Setelah itu output baru merespon
rendahnya suku bunga dengan peningkatan output. Seiring dengan kenaikan
output maka inflasi dan suku bunga nominal ikut naik (sesuai dengan kurva
Phillips dan kurva LM). Di jangka panjang, output dan suku bunga riil turun
kembali ke level sebelum guncangan tapi suku bunga nominal, inflasi dan
pertumbuhan uang merespon permanen dan mencapai level steady state baru yang
lebih tinggi sehingga permintaan uang riil menjadi lebih rendah di jangka panjang.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada bukti empiris yang mendukung
model IS-LM-Kurva Phillips dapat menjelaskan perekonomian AS setelah perang
dunia, dimana respon dinamis perekonomian terhadap berbagai tipe guncangan
sesuai dengan prediksi kerangka kerja IS-LM-Kurva Phillips.
Siregar (2001) melakukan penelitian business cycle di New Zealand dengan
membandingkan ketiga teori dalam business cycle yaitu Real Business Cycle, New
Keynesian Business Cycle dan Monetary Business Cycle. Siregar menggunakan
SVAR terkointegrasi dan menemukan bahwa New Keynesian Business Cycle
adalah yang paling sesuai bagi perekonomian New Zealand, dimana seluruh
27
estimasi parameternya sesuai dengan arah yang diharapkan dan dinamika respon
IRF konsisten dengan teori New Keynesian. Selain itu, restriksi jangka pendek
yang diterapkan ternyata didukung oleh data. Temuan penelitian ini yaitu
guncangan
permintaan
ditemukan
sama
pentingnya
dengan
guncangan
penawaran. Guncangan permintaan terpenting adalah guncangan kurs riil yang
didefinisikan sebagai guncangan kebijakan fiskal. Selain penting bagi fluktuasi
kurs riil, guncangan kebijakan fiskal juga berperan penting dalam fluktuasi
permintaan uang dan suku bunga domestik. Guncangan penawaran berupa
guncangan teknologi mampu menjelaskan fluktuasi output, kurs riil, suku bunga
domestik, jam kerja dan permintaan uang.
Temuan lain dari penelitian Siregar yaitu guncangan permintaan uang hanya
penting bagi fluktuasi permintaan uang, sedangkan guncangan kebijakan moneter
(suku bunga domestik) penting dalam fluktuasi suku bunga domestik dan
permintaan uang. Guncangan eksternal khususnya suku bunga dunia ditemukan
penting dalam menjelaskan fluktuasi pengangguran, permintaan uang, kurs riil
dan output.
Cheng (2003) mempelajari dampak fluktuasi money supply sebagai ukuran
kebijakan moneter, defisit anggaran sebagai ukuran kebijakan fiskal dan
pembentukan modal domestik terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia Dalam
penelitiannya
tersebut,
Cheng
menggunakan
metode
VECM.
Temuan
penelitiannya adalah fluktuasi PDB riil selain dominan dijelaskan oleh
guncangannya sendiri juga banyak dijelaskan oleh guncangan kebijakan moneter
yang makin mendominasi di jangka panjang. Guncangan kebijakan fiskal ikut
berperan dalam menjelaskan fluktuasi PDB namun dengan peran yang lebih kecil,
sedangkan guncangan pembentukan modal tetap bruto tidak penting bagi fluktuasi
PDB riil Malaysia. Sehingga kebijakan pemerintah utamanya otoritas moneter
memainkan peran sangat penting dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi
Malaysia. Dari hasil IRF diketahui bahwa guncangan money supply dan
pembentukan modal direspon positif oleh pertumbuhan ekonomi sedangkan
guncangan defisit anggaran direspon negatif.
Siregar dan Ward (2000) meneliti peran guncangan Aggregat Demand
dalam menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Mereka menggunakan
28
metode SVAR yang dikombinasikan dengan kointegrasi dan menerapkan restriksi
jangka pendek dan jangka panjang. Variabel yang digunakan adalah money
supply, kurs nominal, suku bunga jangka pendek domestik, PDB, IHK Indonesia,
IHK Amerika Serikat serta suku bunga jangka pendek Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil FEVD ditemukan bahwa guncangan kurs tidak hanya menjadi
penentu utama fluktuasi kurs di seluruh horizon waktu namun juga variabilitas
output baik di jangka pendek maupun jangka panjang, serta juga dominan dalam
menjelaskan fluktuasi suku bunga domestik dan permintaan uang riil. Sedangkan
guncangan penawaran memainkan peran penting dalam variabilitas output di
jangka pendek dan jangka panjang serta fluktuasi jangka pendek real money
balance. Selain itu ditemukan bahwa guncangan suku bunga dunia hanya berperan
penting dalam menjelaskan variabilitas jangka panjang permintaan uang riil.
Guncangan money supply dan money demand tidak mampu menjelaskan fluktuasi
output di seluruh horizon waktu, namun hanya berperan bagi fluktuasi dirinya
sendiri masing-masing.
Hasil IRF dalam penelitian Siregar dan Ward menemukan bahwa guncangan
eksternal berupa guncangan suku bunga AS tidak berdampak signifikan bagi
perekonomian domestik. Guncangan penawaran hanya direspon permanen oleh
output. Guncangan yang memperburuk spending balance berdampak permanen
bagi turunnya output dan terdepresiasinya kurs riil. Respon permintaan uang riil
atas guncangan permintaan uang hanya signifikan dalam jangka pendek
sedangkan makroekonomi domestik lainnya tidak merespon guncangan ini secara
signifikan. Respon yang sama ditunjukkan oleh makroekonomi domestik atas
guncangan suku bunga domestik dimana respon signifikan hanya oleh suku bunga
domestik di jangka pendek.
Supriana (2004) mengkaji business cycle Indonesia dari sisi permintaan
menggunakan variabel suku bunga jangka pendek Amerika Serikat, PDB, kurs,
permintaan uang, defisit anggaran, suku bunga domestik serta investasi. Metode
yang digunakan adalah VECM. Supriana menemukan bahwa guncangan yang
dapat menjelaskan dinamika business cycle Indonesia dalam jangka pendek dan
jangka panjang adalah guncangan kurs, sedangkan guncangan output hanya dapat
menjelaskan fluktuasi jangka pendek. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa
29
guncangan fiskal dan moneter tidak mampu menjelaskan variabilitas PDB dan
kurs Indonesia.
2.4.2 Studi Fluktuasi Harga Minyak Dunia
Nordhaus (2007) menyatakan bahwa kenaikan harga minyak dunia setelah
tahun 2000 direspon berbeda oleh perekonomian dibanding respon pada tahun
1970-an. Invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2002 dipercaya mampu
menurunkan supply minyak dunia sehingga memicu kenaikan harga minyak
dunia. Namun kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata tidak banyak
mengkontraksi perekonomian dimana PDB tetap mampu tumbuh positif dan
inflasi moderat. Pada era 1970-an, guncangan harga minyak dunia disebabkan
oleh konflik di Timur Tengah seperti perang Arab Israel tahun 1973, revolusi Iran
di tahun 1978, invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Guncangan-guncangan tersebut
mampu
memicu
resesi
perekonomian
global,
berbeda
dengan
respon
makroekonomi pada era 2000-an.
Hamilton (2009) meneliti kesamaan dan perbedaan guncangan harga
minyak pada tahun 2007-2008 dibandingkan dengan guncangan harga minyak era
1970-an dengan melihat penyebab dan dampaknya bagi perekonomian.
Guncangan harga minyak era 1970-an lebih banyak dikontribusi oleh gangguan
fisik seperti penurunan supply, sedangkan kenaikan harga minyak di tahun 20072008 lebih karena kenaikan permintaan padahal produksi tetap. Dampak bagi
perekonomian atas guncangan harga minyak pada era 1970-an ternyata buruk
yaitu inflasi yang tinggi dan PDB terkontraksi dalam. Namun bagi perekonomian
saat ini, guncangan harga minyak pada tahun 2007-2008 lalu tidak menyebabkan
resesi perekonomian, dimana inflasi moderat dan pertumbuhan ekonomi tetap
positif.
Blanchard dan Gali (2010) berusaha mengungkap alasan mengapa
guncangan harga minyak dunia berbeda efeknya bagi perekonomian pada era
1970-an dan 2000-an. Pada era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia
menyebabkan stagflasi dan tingginya angka pengangguran, sedangkan pada era
2000-an, gucangan harga minyak dunia tidak banyak menjelaskan fluktuasi
perekonomian
dimana
inflasi
dan
pertumbuhan
ekonomi
tetap
terjaga
kestabilannya. Mereka membagi periode penelitian menjadi dua periode waktu
30
yaitu sebelum tahun 1984 dan setelah tahun 1984. Metode SVAR digunakan untuk
mengidentifikasi guncangan harga minyak.
Analisis IRF sebelum periode 1984 pada penelitian Blanchard dan Gali
menunjukkan
bahwa
dampak
guncangan
harga
minyak
dunia
adalah
terkontraksinya PDB yang mencapai minus 75% dibanding level sebelum
guncangan setelah triwulan ke-11, begitu juga dengan respon tertinggi inflasi yang
mencapai 75% melebihi tingkat sebelum ada guncangan. IRF pada periode setelah
1984 menunjukkan bahwa dampak bagi PDB masih negatif namun jauh lebih
kecil dibanding respon sebelum 1984. PDB terkontraksi 25% dan stabil setelah
triwulan ke-7 setelah guncangan, sedangkan inflasi hanya meningkat 25%. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kekakuan upah riil sepanjang waktu, meningkatnya
kredibilitas otoritas moneter dalam menjaga inflasi serta turunnya kontribusi
minyak dalam PDB.
Purwanti (2011) melakukan studi mengenai dampak guncangan harga
minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara
ASEAN+3. Metode analisis yang digunakan adalah First Difference-Generalized
Method of Moments (FD-GMM). Temuannya yaitu
kenaikan laju perubahan
harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan inflasi karena umumnya
negara-negara ASEAN+3 tidak melakukan subsidi harga bahan bakar. Selain itu,
ternyata kenaikan laju perubahan harga minyak juga signifikan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
2.5
Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai visi Indonesia di tahun 2025, dimana Indonesia diharapkan
menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia, maka diperlukan stabilitas dalam
perekonomian. Namun berbagai peristiwa baik eksternal maupun domestik dapat
mengganggu
kestabilan
perekonomian
sehingga
dapat
mempertinggi
pengangguran dan kemiskinan.
Peristiwa ekternal yang dicakup adalah fluktuasi harga minyak dunia serta
fluktuasi suku bunga Amerika Serikat, sedangkan peristiwa domestik adalah
kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral, guncangan kurs riil, guncangan
permintaan uang serta favorable shock dalam penawaran. Ketika terjadi
guncangan yang memperburuk perekonomian maka kebijakan yang tepat
31
diperlukan untuk membawa perekonomian keluar dari resesi serta mampu
meredam fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian.
Untuk mencapai Visi Indonesia 2025
diperlukan stabilitas perekonomian
Kondisi eksternal:
Krisis moneter 1998,
krisis keuangan
global, kenaikan
harga minyak dunia
Kondisi internal:
Intervensi pemerintah
melalui kebijakan
ekonomi
Guncangan eksternal:
- Penawaran: harga
minyak dunia
- Permintaan: suku
bunga Amerika
Serikat
Guncangan domestik:
- Penawaran: output
- Permintaan: kurs
riil, permintaan uang
dan kebijakan
moneter domestik
Masalah:
Berbagai peristiwa (eksternal dan domestik) dapat
mengganggu stabilitas perekonomian nasional.
Perlu diketahui sumber guncangan utama bagi
fluktuasi makroekonomi Indonesia
Kerangka kerja
New Keynesian
(harga kaku di
jangka pendek)
Kajian Business Cycle
New Keynesian
Implikasi Kebijakan
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian
Namun perilaku harga adalah berbeda menurut horizon waktu. Harga dan
upah nominal di jangka pendek adalah kaku sedangkan di jangka panjang
fleksibel, sehingga kebijakan ekonomi bisa memiliki dampak yang berbeda
menurut horizon waktu ini. Oleh karena itu dilakukan penelitian business cycle
yang mempertimbangkan kekakuan harga di jangka pendek. Model business cycle
32
yang dibangun dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka kerja New
Keynesian.
Diharapkan sumber guncangan utama bagi perekonomian Indonesia dapat
teridentifikasi serta diketahui bagaimana dinamika respon makroekonomi
Indonesia atas berbagai guncangan yang terjadi. Kerangka pemikiran yang
digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 5.
Download