BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi hormon tiroid Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon tiroid. Setiap folikel terdiri dari dua tipe sel yang mengelilingi inti koloid. Dua tipe sel tersebut adalah follicular cells yang merupakan kandungan utama folikel dan calcitonin-secreting parafollicular foli C cells, yang berasal dari neurogenik. Letak kedua sel ini saling berselang satu dengan lainnya. Folikel dibatasi oleh basal membran yang berfungsi untuk memisahkan struktur folikel dari pembuluh darah sekitar, pembuluh limfa, serta nervus terminal.11 Hormon tiroid disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid dan akan mengalami proses aktivasi dan inaktivasi oleh tahapan monoiodinasi pada target jaringan. Metabolisme dimulai dengan pemecahan hormon tiroksin (T4) menjadi hormon triiodothyronine (T3) melalui outer ring deiodination (ORD) atau metabolit inaktif yaitu reverse triiodothyronine (rT3) melalui inner ring deiodination (IRD). Hormon triiodothyronine mengalami inaktivasi oleh IRD menjadi diiodothyronine. Hormon tiroksin dan T3 dimetabolisme oleh konjugasi grup phenolic hydroxyl dengan sulphate dan glucuronic acid.12 Hormon tiroid mencetuskan termogenesis, air, dan transpor ion, metabolisme asam amino dan lemak, serta meningkatkan proses turnover. Hormon tiroid juga memperkuat kerja katekolamin, hal ini tampak pada pertumbuhan dan berbagai macam jaringan seperti otak dan tulang. Hormon tiroid juga ditransport ke dalam sel dan memulai aksinya dengan jalan 4 Universitas Sumatera Utara mengikatkan reseptor pada intinya. Hormon triiodothyronine berikatan dengan reseptor hormon tiroid 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan T4.12,13 Gambar 2.1. Regulasi hormon tiroid11 2.2.Hipotiroidisme sebagai salah satu bentuk gangguan fungsi tiroid Hipotiroidisme merupakan gangguan metabolisme hormon tiroid yang ditandai dengan defisiensi aktivitas maupun produksi hormon tiroid. Hipotiroidisme merupakan bentuk gangguan hormonal yang sering dijumpai pada anak. Pada keadaan hipotiroidisme primer dijumpai produksi TSH yang sangat tinggi. Pada hipotiroidisme sekunder dijumpai produksi hormon TSH yang rendah, sedangkan hipotiroidisme tersier produksi hormon Thyrothropin Releasing Hormone (TRH) sangat rendah.13 Penyebab hipotiroidisme primer ada beberapa, diantaranya tiroiditis limfositik kronik, penyakit Hashimoto, abnormalitas kongenital, defisiensi iodine, pemberian obat-obatan seperti Universitas Sumatera Utara antitiroid dan anti epilepsi. Penyebab hipotiroidisme sekunder dan tersier adalah abnormalitas kongenital dan didapat seperti tumor di hipotalamus dan hipofisis, terapi untuk keganasan, pembedahan, dan radiasi.11 Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan nilai TSH merupakan tes awal yang baik untuk meilhat adanya hipotiroidisme primer. Apabila nilai TSH meningkat, maka pengukuran fT4 diperlukan untuk membedakan bentuk kompensasi ataupun murni. Dikatakan kompensasi apabila dijumpai nilai fT4 normal atau hipotiroidisme primer murni bila nilai fT4 rendah. Pengukuran kadar TSH kurang berperan pada hipotiroidisme sekunder atau tersier, dimana pada kasus ini, dijumpai adanya penurunan kadar fT4.13,14 2.3. Epilepsi Epilepsi merupakan suatu kondisi klinis di bidang neurologi yang bersifat kronis dengan karakteristik adanya serangan paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa penyebab, akibat lepas muatan listrik di neuron otak.15 Serangan yang terjadi dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, motorik atau sensoris, yang sembuh secara spontan namun dapat berulang dalam waktu lebih dari 24 jam dan biasanya kondisi penderita adalah normal setelah serangan.15,16 Bangkitan kejang pada epilepsi harus terbukti tidak memiliki kaitan dengan demam, trauma akut pada otak, dan infeksi.15 Klasifikasi epilepsi secara garis besar terbagi menjadi dua jenis yaitu epilepsi parsial yang berarti adanya aktivasi inisial pada salah satu hemisfer serebral, dan epilepsi general yaitu bila dijumpai keterlibatan dua hemisfer.16 Universitas Sumatera Utara Penegakan diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis yaitu dijumpai kejang dua kali atau lebih tanpa provokasi dan ditegakkan dengan pemeriksaan Electroencephalography (EEG). Penggunakan brain imaging secara tunggal tidak dapat menegakkan epilepsi.15,16 2.4. Asam valproat sebagai obat anti epilepsi Prinsip pemakaian obat antiepilepsi adalah tercapainya keadaan bebas kejang setelah pemberian obat antiepilepsi dengan dosis minimal, dengan efek samping sangat sedikit atau bahkan tidak ada.17 Selain itu, pemberian obat antiepilepsi pada anak sangat berbeda dalam farmakokinetik, dimana pada anak memiliki perbedaan besar dalam hal absorpsi dan eliminasi obat antiepilepsi.18 Dengan pemahaman yang baik mengenai efek samping masing-masing obat, dan mempertimbangkan farmakokinetik tersebut membantu klinisi untuk memberikan resep yang rasional.17,18 Asam valproat dengan struktur 2-propylpentanoic acid merupakan obat antiepilepsi dengan spektrum luas. Asam valproat bersifat larut dalam air, dan sangat higroskopis. Asam valproat diindikasikan pada hampir semua tipe epilepsi, seperti absence, kejang tonik klonik, kejang mioklonik, spasme infantile, serta kejang parsial.19,20 Pada sebuah studi didapatkan bahwa asam valproat merupakan pilihan utama pada penderita epilepsi usia sekolah karena penggunaan asam valproat jarang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kognitif.21 Selain itu, kelebihan asam valproat juga memiliki potensi rendah dalam menimbulkan eksaserbasi kejang.22 Kadar serum terapeutik Universitas Sumatera Utara asam valproat adalah 50 mg/L sampai dengan 100 mg/L.23 Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa pada konsentrasi asam valproat dalam serum dibawah 50 µg/mL kejang sudah terkontrol pada 60 % kasus.22 Gambar 2.2. Rumus kimia dari asam valproat22 Beberapa efek samping yang terjadi akibat pemberian asam valproat selalu dikaitkan dengan kadarnya dalam serum.22,23 Namun demikian, kadar serum belum terbukti berhubungan dengan besar dosis yang diberikan.23,24 2.4.1 Farmakokinetik Sediaan dari asam valproat adalah intravena, oral yaitu tablet enteric coated, sirup, serta supositoria. Farmakokinetik asam valproat pada anak berbeda dengan orang dewasa, yaitu dengan bioavaibilitas lebih dari 90%, waktu untuk mencapai level puncak adalah bervariasi, bergantung pada sediaan yaitu 0.5 sampai 1 jam untuk sirup, 0.5 sampai 2 jam untuk kapsul, 1 sampai 6 jam untuk sediaan enteric coated, dan 3 sampai 6 jam untuk sediaan sprinkle capsule. Volume distribusi 0.16 L per kg, dengan distribusi yang lebih luas dibandingkan dengan obat antiepilepsi lainnya, yaitu sekitar 70% sampai dengan 93% berikatan dengan protein serum.17 Mekanisme kerja asam valproat adalah glukoronidasi, ß-oxidation pada mitokondria, dan oksidasi melalui sitokrom P-450.19 Metabolit aktif dari asam valproat yaitu 2-ene-valproic acid dan 4-ene-valproic acid menimbulkan Universitas Sumatera Utara efek antikonvulsan. Eliminasi dari asam valproat berlangsung lebih singkat. Pada masa bayi berlangsung antara 17 sampai dengan 40 jam, namun memasuki usia bayi dan anak akan menurun yaitu 3 sampai 20 jam.23 2.4.2 Farmakodinamik Beberapa bukti menunjukan adanya kontrol yang baik terhadap kejang dengan pemberian obat dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Namun hal tersebut juga disertai dengan peningkatan risiko efek samping akibat penggunaan obat dengan dosis yang lebih tinggi. Toleransi juga terjadi pada penggunaan asam valproat melalui berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme yang terjadi adalah up regulation dan down regulation dari tempat ikatan reseptor, disamping itu toleransi juga didapatkan melalui adaptasi, yaitu apabila digunakan secara kronik, maka efek samping yang timbul pada masa awal akan menghilang.19,23 2.5. Patofisiologi terjadinya gangguan fungsi tiroid akibat pemberian asam valproat Beberapa penelitian membuktikan adanya gangguan fungsi tiroid dalam penggunaan asam valproat.25,26 Namun pada studi lain, dijumpai efek yang bersifat kontroversial terhadap gangguan fungsi tiroid pada penggunaan asam valproat, dimana tidak dijumpai hubungan antara gangguan fungsi tiroid dengan penggunaan asam valproat dibandingkan dengan penggunaan obat antiepilepsi lain seperti karbamazepin dan fenitoin.27 Universitas Sumatera Utara Dibandingkan dengan penggunaan karbamazepin atau fenitoin yang dikaitkan dengan proses enzim hepatik, mekanisme asam valproat dalam menimbulkan gangguan fungsi tiroid belum jelas.8 Mekanisme utama yang diduga menyebabkan gangguan fungsi tiroid adalah stimulasi γ-aminobutyric acid (GABA) terhadap struktur asam valproat. Stimulasi GABA menyebabkan inhibisi sekresi somatostatin yang berperan sebagai inhibitor Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Adanya defisiensi somatostatin menyebabkan produksi TSH meningkat.27 Mekanisme lain yang diduga menyebabkan gangguan fungsi tiroid adalah defisiensi zink dan selenium.6,28 Kelenjar tiroid memiliki kandungan selenoprotein yang diantaranya terdiri dari glutathione peroxidase, 5’deiodinase, dan thioredoxine reductase. Ketiga selenoprotein ini berperan dalam sintesis hormon tiroid. Defisiensi selenium menyebabkan hipotiroidisme disebabkan oleh penurunan 5’-deiodinase.9 Penurunan 5’deiodinase menyebabkan gangguan perubahan T4 menjadi T3, sehingga nilai T3 rendah dan menyebabkan peningkatan nilai TSH.6,28 Sebagai tambahan, defisiensi selenium juga menyebabkan produksi glutathione peroxidase menurun, sehingga produksi oksigen reaktif dan hydrogen peroksidase lebih banyak, dan hal ini turut berperan dalam menyebabkan kerusakan kelenjar tiroid. Zink berperan penting dalam metabolisme hormon tiroid yaitu terlibat dalam ikatan T3 dengan reseptor nukleusnya dan mempengaruhi kerja TRH.29 Dengan demikian dapat dijelaskan keterlibatan jaras ekstratiroid pada metabolisme hormon tiroid lebih memungkinkan dalam Universitas Sumatera Utara mekanisme terjadinya gangguan fungsi tiroid pada penggunaan asam valproat dibandingkan dengan aksis hipotalamus hipofisis.6 Selain adanya defisiensi zink dan selenium, pada sebuah studi dijumpai adanya defisiensi copper (Cu) pada penggunaan asam valproat juga menyebabkan gangguan serum hormon tiroid.30 2.6. Faktor risiko terjadinya gangguan fungsi tiroid pada penggunaan asam valproat Beberapa faktor risiko yang diduga berperan dalam mekanisme terjadinya gangguan fungsi tiroid adalah usia anak yang lebih muda, penggunaan asam valproat antara 6 sampai dengan 24 bulan, dan metode penggunaan asam valproat yang digunakan sebagai politerapi dengan obat-obatan lain.6 Pada sebuah penelitian yang membandingkan dua kelompok yang menggunakan asam valproat, didapatkan kelompok yang lebih sering mengalami gangguan hipotiroid subklinik adalah lama penggunaan 6 bulan sampai 24 bulan.8 Demikian juga pada anak dengan usia dibawah empat tahun, didapatkan kecenderungan untuk mengalami hipotiroidisme subklinik dibandingkan dengan anak dengan usia diatas empat tahun.6,8 Pada anak yang lebih besar, serta pada penggunaan asam valproat dalam waktu yang lebih lama, yaitu lebih dari 2 tahun risiko untuk terjadinya gangguan fungsi tiroid lebih sedikit. Hal ini diduga akibat mekanisme adaptasi terhadap fungsi tiroid pada anak dengan usia yang lebih besar serta pada Universitas Sumatera Utara penggunaan obat lebih dari 24 bulan. Mekanisme tersebut melindungi dirinya dari efek samping obat terhadap fungsi tiroid.6,28 Adanya peningkatan risiko terjadinya gangguan fungsi tiroid pada penggunaan asam valproat juga dihubungkan dengan kadar serum. Pada sebuah studi juga didapatkan kecenderungan penggunaan dosis yang lebih tinggi pada kelompok yang mengalami hipotiroidisme subklinik dibandingkan dengan kelompok dengan fungsi tiroid yang normal, yaitu didapatkan kadar 60 sampai 130 µg/mL.6 Pada sebuah studi dilakukan pemeriksaan T4, FT4, T3, FT3, rT3, Thyroid Peroxidase Antibodies (TPO-Ab), dan iodine urin pada pertama kali penggunaan dan enam bulan setelah pemakaian asam valproat. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan hanya nilai TSH yang mengalami perubahan yang bermakna, sedangkan pemeriksaan laboratorium yang lain tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Namun demikian, dikatakan bahwa gangguan fungsi tiroid pada penggunaan asam valproat tidak bersifat menetap dimana apabila pengobatan telah dihentikan, maka fungsi tiroid akan kembali normal yang ditandai dengan penurunan nilai TSH.31 2.7. Manifestasi Klinis Gangguan Fungsi Tiroid Pada Penderita Epilepsi Dengan Penggunaan Asam Valproat Manifestasi klinis yang lazim dijumpai gangguan fungsi tiroid pada pemakaian asam valproat adalah hipotiroidisme subklinik dimana terjadi peningkatan nilai TSH namun nilai T3, T4 atau fT3, dan fT4 normal.28 Dari kasus Universitas Sumatera Utara hipotiroidisme subklinik tersebut, hanya 30 % kasus yang bergejala yang menunjukkan adanya defisiensi hormon tiroid dengan hasil laboratorium tersebut.8 Apabila dijumpai peningkatan kadar hormon TSH, sebaiknya dilakukan pengulangan 2 minggu kemudian. Apabila dijumpai hasilnya tetap meningkat, maka dapat ditegakan diagnosis hipotiroidisme subklinik.32 Beberapa gejala yang sering timbul adalah pertumbuhan terganggu, gangguan prestasi di sekolah, konstipasi, intoleransi terhadap cuaca dingin, kulit kering, rambut mudah dicabut, dan perkembangan pubertas terlambat.28 Kondisi klinis lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah risiko terjadinya gangguan kardiovaskular yaitu aterosklerosis, yang berhubungan dengan hiperlipidemia yang diakibatkan oleh gangguan regulasi lipoprotein akibat gangguan fungsi tiroid, sehingga dapat menginduksi perubahan komposisi, konsentrasi, dan ukuran dari High-Density Lipoprotein (HDL).9 Pada penggunaan asam valproat dapat timbul efek samping lain seperti gangguan fungsi hati, trombositopenia, dan obesitas. Pada sebuah studi dikatakan kadar serum asam valproat secara signifikan berhubungan dengan edema, rambut rontok, trombositopenia, nyeri abdomen.22 Skrining gangguan fungsi tiroid dapat dideteksi dengan cara melihat faktor risiko dan adanya klinis yang dapat memperberat kemungkinan terjadinya gangguan fungsi tiroid. Skrining terutama dilakukan pada usia yang lebih muda yaitu dibawah empat tahun serta lama penggunaan lebih dari enam bulan.8 Manajemen hipotiroidisme subklinik hingga saat ini belum memiliki standar pengobatan yang pasti.10 Beberapa studi menganjurkan untuk Universitas Sumatera Utara melakukan pemeriksaan antibodi antitiroid, untuk menyingkirkan adanya tiroiditis Hashimoto.32 Pilihan terapi untuk hipotiroidisme subklinik dilakukan bila dijumpai keadaan overt hypothyroidism yaitu dengan pemberian Sodium Levotiroksin (NaLT4). Dosis NaLT4 diberikan sesuai dengan usia anak tersebut.13 Tabel 2.1 Dosis Sodium Levotiroksin (NaLT4) yang dianjurkan pada pengobatan hipotiroidisme13 Usia 0-3 bulan 3-6 bulan 6-10 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun >12 tahun NaLT4(µg/kg) 8 -10 7-10 6-8 4-6 3-5 3-4 Peningkatan nilai TSH dengan nilai T4 yang normal dengan dua kali pemeriksaan Hipotiroidisme subklinik Nilai TSH > 10 µU Nilai TSH 5 - 10 µU Cek antibodi antitiroid (+) Terapi NaLevotiroksin Antibodi antitiroid (+) atau manifestasi klinis (+) Antibodi antitiroid (-) atau manifestasi klinis (-) Pertimbangkan terapi Evaluasi setiap 6 bulan (-) manifestasi klinis (+) Gambar 2. 3. Tatalaksana hipotiroidisme subklinik32 Universitas Sumatera Utara 2.8. Kerangka Konseptual Epilepsi Idiopatik Penggunaan obat anti epilepsi Asam Valproat -Carbamazepine -Fenitoin -Fenobarbital Enzyme Inducing Defisiensi zink dan selenium Usia pertama Actvity Stimulasi γ-aminobutyric acid (GABA) Lama penggunaan Monoterapi/ politerapi Dosis Gangguan fungsi tiroid Peningkatan nilai TSH dengan nilai T3 dan T4 normal : yang diamati dalam penelitian Hipotiroidisme subklinik Gambar 2.4. Kerangka Konseptual Universitas Sumatera Utara