uji efek ekstrak daun kersen - Universitas Muhammadiyah Surakarta

advertisement
UJI EFEK EKSTRAK DAUN KERSEN (MUNTINGIA CALABURA L)
TERHADAP KADAR ALANINE AMINOTRANSFERASE (ALT) PADA
TIKUS YANG DIINDUKSI ASETAMINOFEN
NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana Kedokteran
Diajukan Oleh :
Wahhab Rofiq Hakim
J500090018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
ABSTRAK
Wahhab Rofiq Hakim, J500090018, 2012. Uji Efek Ekstrak Daun Kersen
(Muntingia Calabura L) Terhadap Kadar Alanine Aminotransferase (ALT)
pada Tikus yang diinduksi Asetaminofen.
Latar Belakang : Daun Kersen (Muntingia Calabura L) merupakan tanaman
yang banyak dijumpai di masyarakat diketahui berkhasiat sebagai hepatoprotektor
dan mengandung antioksidan (flavonoid) yang berfungsi untuk melindungi sel-sel
dan organ hati dari radikal bebas.
Tujuan Penelitian : Mengetahui efek ekstrak daun kersen terhadap kadar ALT
pada tikus yang diinduksi asetaminofen.
Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik, rancangan penelitian pretest posttest with control group design. Sampel 24 tikus putih jantan dibagi secara
random menjadi 4 kelompok masing-masing 6 ekor. Kelompok kontrol
(asetaminofen 1440 mg/200 g), kelompok perlakuan 1 (Ekstrak daun kersen 42
mg/200 g + Asetaminofen 1440 mg/200 g), kelompok perlakuan 2 (Ekstrak daun
kersen 84 mg/200 g + Asetaminofen 1440 mg/200 g), dan kelompok perlakuan 3
(Ekstrak daun kersen 168 mg/200 g + Asetaminofen 1440 mg/200 g). Hasil setiap
kelompok dihitung dengan uji Oneway ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Post
Hoc.
Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil uji ANOVA kelompok postest diperoleh
nilai probabilitas signifikan p = 0,004 dengan demikian p < 0,05 maka pada 4
kelompok tersebut terdapat perbedaan kadar ALT secara bermakna. Kemudian
dilanjutkan dengan uji LSD untuk mengetahui perbandingan tiap kelompok dan
diperoleh hasil kelompok K - P1, K - P2, dan P2 - P3 terdapat perbedaan yang
bermakna (p < 0,05). Sedangkan perbedaan yang tidak bermakna terdapat pada
kelompok K - P3, P1 - P2, dan P1 - P3 (p > 0,05).
Kesimpulan : Pemberian ekstrak daun kersen dosis 42 mg/200 gram BB dan 84
mg/200 gram BB dapat menghambat kenaikan kadar enzim ALT pada tikus yang
diinduksi asetaminofen
Kata Kunci : Ekstrak daun kersen, kadar ALT, asetaminofen
ABSTRACT
Wahhab Rofiq Hakim, J500090018, 2012. Effects Test Cherry Leaf Extract
(Muntingia Calabura L) Against Levels Of Alanine Aminotransferase (ALT)
On Acetaminophen-Induced Rats.
Background : Cherry leaves (Muntingia Calabura L) was known in the
community as hepatoprotektor nutritious and contains antioksidan (flavonoids)
that can protect the cells and liver from free radicals.
Objective : To know the effect of cherry leaf extract on the ALT levels in
acetaminophen-induced rats.
Methodology : Experimental laboratory, research design was pretest - posttest
design with control group. Twenty four of male white rats was divided randomly
into four groups, each group consist of six rats. Those groups were group control
(Acetaminophen 1440 mg/200 g), the treatment group 1 (Cherry leaf extract 42
mg/200 g + Acetaminophen 1440 mg/200 g), the treatment groups 2 (Cherry leaf
extract 84 mg/200 g + Acetaminophen 1440 mg/200 g), and the treatment groups
3 (Cherry leaf extract 168 mg/200 g + Acetaminophen 1440 mg/200 g). The
results of each group was calculated by Oneway ANOVA test, followed by Post
Hoc test.
Results : ANOVA test results was obtained by the group posttest probability
value p = 0,004 (p <0.05) then in 4 groups are significant differences in the levels
of ALT. Then proceed with the LSD test to compare each group and the results
obtained K - P1, K - P2, and P2 - P3 there was a significant difference (p <0.05).
While no significant differences found in the K - P3, P1 - P2, and P1 - P3 (p>
0.05).
Conclusions : Cherry leaf extract dose of 42 mg/200 g and 84 mg/200 g can
prevent increased levels of the enzyme ALT in acetaminophen-induced rats
Keywords : Cherry leaf extract, ALT levels, acetaminophen
PENDAHULUAN
Sejak lama manusia menggunakan tanaman untuk mencegah, mengurangi
dan menyembuhkan dari penyakit tertentu (Sari, 2006). WHO merekomendasikan
penggunaan tanaman obat dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan
dan pengobatan penyakit (WHO, 2003). Salah satu tanaman yang dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman obat adalah kersen (Muntingia calabura L.). Daun
kersen berkhasiat sebagai obat batuk dan peluruh dahak, buah yang telah masak
dapat digunakan untuk sakit kuning. Cheng et al (2006) dan Zakaria et al (2007)
melaporkan bahwa kersen yang mengandung flavonoid mempunyai khasiat
hipotensi, antinosiseptik, antioksidan, antiproliferatif dan antimikroba melalui
isolasi
staphylococcus.
Manusia
mempunyai
sistem
perlindungan
antioksidan yang sangat canggih dan komplek yang melibatkan berbagai
komponen, baik endogen dan eksogen yang berfungsi secara interaktif dan sinergi
untuk menetralisir radikal bebas (Pervical M. 1998).
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan mempunyai tingkat
regenerasi yang tinggi (Guyton, 2007). Gangguan hepar dapat menaikan kadar
ALT hingga lima kali lipat dari normal (Bayupurnama, 2009). Pemeriksaan kimia
darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati antara lain : 1). Peningkatan
enzim aminotransferase, AST dan ALT; 2). Peningkatan fosfatase alkali dan γ GT
(γ glutamil transpeptidase); 3). Produksi urea, albumin dan faktor pembekuan.
Kadar ALT dalam serum menjadi petunjuk yang lebih sensitif ke arah kerusakan
hati (Amirudin, 2009).
Salah satu agen hepatotoksik yaitu asetaminofen. Penelitian dari Larson et
al. (2005) menyebutkan bahwa dari tahun 1998 hingga 2003, asetaminofen adalah
penyebab utama kegagalan hati akut di Amerika Serikat, dengan etiologi 48% dari
overdosis asetaminofen (131 dari 275 kasus). Asetaminofen merupakan obat
bebas, akibatnya obat tersebut sering dikonsumsi dalam dosis berlebihan sampai
mencapai dosis toksik yang ditandai dengan kenaikan kadar ALT dan AST, laktat
dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta pemanjangan masa protrombin
(Hartono et al., 2005).
Sebuah penelitian dari Haki (2009) dengan memberi ekstrak daun kersen
pada mencit yang telah diinduksi carbon tetrachloride (CCL4) menyebutkan
bahwa ekstrak daun kersen dapat menurunkan enzim ALT mencit meskipun
belum mencapai nilai normal. Penelitian tentang kersen di Indonesia masih sangat
sedikit terutama sebagai antioksidan berupa flavonoid di dalam daun kersen dalam
mekanisme hepatooprotektor maka penulis ingin mengetahui apakah ada
pengaruh ekstrak daun kersen terhadap aktivitas kadar ALT pada tikus putih
akibat pemberian asetaminofen.
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui efek hepatoprotektor ekstrak
daun kersen terhadap kadar ALT pada tikus yang diinduksi asetaminofen. Manfaat
Penelitian yaitu Memberikan tambahan pengetahuan dan menjelaskan bukti
empiris pengaruh pemberian ekstrak daun kersen terhadap kadar ALT pada tikus
yang diinduksi asetaminofen
LANDASAN TEORI
1. Kersen
Kersen atau talok (kerukup siam di negara Malaysia) adalah nama
sejenis pohon dan buahnya yang kecil dan manis, batang tegak dan bulat, daun
tunggal (Warintek, 2011). Nutrisi tanaman kersen per 100 g adalah ai, protein,
lemak, serat, kalsium, fosfor, karoten, vitamin B1, B2, B3 dan C. Kandungan
senyawa aktif tanaman kersen adalah ester, alcohol, flavonoid, sesquiterpenoid
dan derifat furan. Manfaat tanaman kersen adalah sebagai obat batuk, obat
sakit kepala, antiinflamasi, antioksidan, antikanker, antinosiseptik, antibakteri
dan kardioprotektif (Lim, 2012). Secara kualitatif diketahui bahwa senyawa
yang dominan dalam daun kersen adalah flavonoid yang menunjukkan
aktivitas antioksidan (Zakaria et al, 2007).
Senyawa flavonoid diduga sangat bermanfaat dalam makanan karena
berupa senyawa fenolik, senyawa ini yang bersifat antioksidan kuat. Flavonoid
memiliki kemampuan untuk menghilangkan dan secara efektif ‘menyapu’
spesies pengoksida yang merusak (Heinrich M, 2009). Aktivitas antioksidatif
daun kersen (Muntingia calabura L.) yang mengandung flavonoid melalui
mekanisme sebagai berikut:
a. Menangkap langsung radikal bebas (direct radical scavenging)
b. Mengikat nitrit oksida
c. Menghambat xanthin oksidase
d. Imobilisasi leukosit
e. Interaksi dengan sistem enzim lainnya (Middleton et al, 2000, Nijveldt et
al, 2001).
2. Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, menyumbang sekitar 2 %
berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Fungsi
hati dibagi menjadi 3 macam yaitu : fungsi pembentukan dan ekskresi
empedu, fungsi metabolic dan fungsi imunologi (Amirudin, 2009).
Sedangkan tes fungsi hati digunakan untuk mendeteksi kelainan hati,
menentukan diagnosis, mengetahui berat ringan penyakit, mengikuti
perjalanan penyakit dan menilai hasil pengobatan. Tes – tes untuk menentukan
kelainan hati ada 3, antara lain : ALT dan AST, Fosfatase alkali dan GGT, dan
Lain-lain (Amirudin, 2009).
3. Asetaminofen
Asetaminofen mempunyai nama kimia N-asetil-paminofenol atau
dengan rumus kimia C8H9NO2.Asetaminofen mempunyai derivat yang sama
dengan fenasetin yaitu derivat para amino (Wilmana and Gan, 2011).
Asetaminofen diabsorpsi dalam saluran cerna dan mencapai puncak dalam
konsentrasi darah dalam 30 sampai 60 menit. Waktu paruh asetaminofen
adalah 2-3 jam (Katzung, 2004).
Dosis lazim oral asetaminofen adalah sebesar 325-1000 mg. Dosis
total harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Pada orang dewasa,
hepatotoksisitas terjadi setelah penggunaan asetaminofen dosis tunggal 10-15
g (150-250 mg/kg BB), dosis 20-25 g atau lebih kemungkinan dapat
menyebabkan kematian (Goodman and Gilman, 2004).
Pada dosis terapi, 90% asetaminofen akan terkonjugasi dengan
glukoronat membentuk suatu metabolit yang tidak beracun dan sekitar 5%
akan dimetabolisme oleh sitokrom P450 membentuk suatu metabolit beracun,
N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQ1) sehingga terjadi terbentuknya
radikal bebas superoksida (O2-) dan peningkatan penggunaan glutation untuk
mendetoksifikasi NAPQ1 diakhiri dengan menipisnya cadangan glutation
dalam hati mengakibatkan kerentanan sel-sel hati terhadap cedera oleh
oksidan dan terjadinya stres oksidatif (Rowden et al, 2005, Maser et al, 2002.
Ojo et al., 2006). Peroksidasi lipid merupakan suatu proses autokatalisis yang
mengakibatkan kematian sel. Produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh
adalah malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kematian sel akibat
proses oksidasi berlebihan dalam membran sel (Mayes, 2008; Winarsi,
2007). Gambaran klinik kelainan hati akibat dosis asetaminofen yang
berlebihan : nyeri pada ulu hati, mual, perut panas, kadang muntah-muntah,
ikterus dan teraba hati yang kenyal kadang transaminase biasanya sangat
tinggi (Hadi, 2002).
4. Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah
adalah tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara
sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan
cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara
lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan
panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga
relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm (Malole dan Pramono, 1989).
Hipotesis
H0 : Pemberian ekstrak daun kersen tidak dapat menghambat peningkatan
kadar enzim ALT pada tikus yang diinduksi asetaminofen.
H1 : Pemberian ekstrak daun kersen dapat menghambat peningkatan kadar
enzim ALT pada tikus yang diinduksi asetaminofen.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan
rancangan penelitian pretest - posttest with control group design. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Subyek penelitian berupa daun kersen (Muntingia
calabura L.). Daun diperoleh dari daerah Kasreman, Geneng, Ngawi, Jawa Timur.
Obyek penelitian berupa tikus (Rattus norvegicus) putih jantan, strain Wistar,
berat badan 150-200 gram, dan berumur 2-3 bulan. Pengambilan sampel
dilakukan secara purposive sampling Penentuan besar sampel tiap kelompok
dihitung berdasarkan rumus Federer yang didapatkan hasil yaitu 6 ekor tikus
perkelompok. Teknik pengelompokan dilakukan secara random. Hewan uji coba
dibagi menjadi 4 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok
perlakuan dan masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus.
Kriteria restriksi terdiri dari kriteria inklusi (tikus putih jantan galur wistar,
sehat dan mempunyai aktifitas normal, umur kurang lebih 2-3 bulan, berat badan
antara 150-200 gram) dan kriteria eksklusi (tikus mati saat penelitian berlangsung,
tikus menderita sakit saat penelitian berlangsung). Identifikasi variabel terdiri dari
variabel bebas : ekstrak daun kersen (skala rasio),variabel terikat : enzim alt tikus
(skala rasio), variabel luar : dapat dikendalikan (jenis makanan dan minuman,
jenis kelamin, suhu udara, berat badan, dan umur) dan tidak dapat dikendalikan
(kondisi awal hati tikus dan kondisi psikologis tikus, dan variasi genetic). Alat
yang digunakan di penelitian ini : kandang tikus 4 buah, tabung reaksi dan rak
kecil, timbangan, tabung mikrokapiler, canula dan spuit injeksi, gelas ukur dan
pengaduk, alat sentrifugasi, sonde lambung. Bahan yang digunakan : larutan
asetaminofen, ekstrak daun kersen, makanan hewan percobaan berupa pellet dan
aquadest.
Cara Kerja
Langkah I : Tikus percobaan diadaptasikan dulu selama 3 hari. Langkah II : Tikus
diambil darahnya sebanyak 1 ml melalui ekor selanjutnya dilakukan pengukuran
kadar enzim ALT. Langkah III : Daun kersen diambil kemudian dicuci dan
dibilas selanjutnya dikeringkan selama 3 hari dengan suhu rata-rata 40oC
selanjutnya diserbukkan lalu direndam dengan pelarut etanol 70 % kemudian
diuapkan sehingga didapatkan ekstrak daun kersen. Langkah IV : Dosis
hepatotoksik asetaminofen pada manusia adalah 10-15 g. pada penelitian ini
menggunakan 10 gram dan dikonversi ke dalam dosis tikus. Hasilnya 180 mg/200
g dengan volume pemberian yaitu 2,5 ml. Langkah V : dalam penelitian ini
peneliti menggunakan tiga variasi dosis bertingkat yaitu 28 mg/200 g, 56 mg/200
g, dan 84 mg/200 g. Langkah VI : pemberian ekstrak daun kersen (hari 1-12).
Kelompok kontrol diberikan diet standar dan aquadest, kelompok perlakuan 1
diberikan diet standar dan ekstrak daun kersen sebesar 28 mg/200 g per oral.
Kelompok perlakuan 2 diberikan diet standar dan ekstrak daun kersen sebesar 56
mg/200 g per oral, kelompok perlakuan 3 diberikan diet standar dan ekstrak daun
kersen sebesar 84 mg/200 g per oral. Langkah VII : Pemberian asetaminofen dosis
toksik (hari 11-12). Kelompok kontrol diberikan diet standar dan asetaminofen
dosis toksik 180 mg/200 g per oral, kelompok perlakuan 1 diberikan diet standar
dan asetaminofen dosis toksik 180 mg/200 g per oral, kelompok perlakuan 2
diberikan diet standar dan asetaminofen dosis toksik 180 mg/200 g per oral,
kelompok perlakuan 3 diberikan diet standar dan asetaminofen dosis toksik 180
mg/200 g per oral. Langkah VIII : Tikus diambil darahnya sebanyak 1 ml melalui
ekor selanjutnya dilakukan pengukuran kadar enzim ALT. Langkah IX :
Membandingkan kadar ALT antar kelompok.
HASIL PENELITIAN
1. Determinasi
Determinasi tanaman dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam
pengambilan tanaman. Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium
Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan (FKIP) Universitas
Muhammadiyah Surakarta (Steenis, 2005; Tjitrosoepomo, 1988).
2. Randemen
Rendemen ekstrak dihitung dengan cara membandingkan jumlah
ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan. Didapatkan
dengan hasil 1 gram daun kersen kering = 0,06 gram ekstrak kental.
3. Hasil uji orientasi efek hepatoprotektor
Tabel 3 Hasil Uji Orientasi Dosis Efek Hepatoprotektor
Hewan uji
kadar ALT
Pretest
Posttest
45
82
Kontrol positif (asetaminofen 1440 mg/200 g BB)
Ekstrak Daun Kersen dosis 56 mg/200 g BB +
5
15
asetaminofen 1440 mg/200 g BB
Ekstrak Daun Kersen dosis 84 mg/200 g BB +
5
10
asetaminofen 1440 mg/200 g BB
Dari uji orientasi didapatkan dosis ekstrak yang paling berefek adalah
dosis 82 mg/200 g BB dan selanjutnya untuk penelitian digunakanlah variasi
dosis 42 mg/200 g BB, 84 mg/200 g BB, dan 168 mg/200 g BB.
4. Hasil uji efek hepatoprotektor
Tabel 4 Hasil uji efek hepatoprotektor
Kadar ALT
Kelompok
Pretest Posttest
Kontrol (asetaminofen 1440 mg/200 g BB)
Perlakuan 1 (Ekstrak daun kersen 42 mg/200 g BB +
Asetaminofen 1440 mg/200 g BB)
Perlakuan 2 (Ekstrak daun kersen 84 mg/200 g BB +
Asetaminofen 1440 mg/200 g BB)
Perlakuan 3 (Ekstrak daun kersen 168 mg/200 g BB +
Asetaminofen 1440 mg/200 g BB)
40
34
39
33
37
26
40
28
37
24
44
21
42
33
34
37
35
32
59
37
28
22
29
54
57
54
59
56
36
44
34
46
37
37
32
42
37
34
17
16
48
44
50
30
43
54
5. Analisis data
Uji statistik yang digunakan yaitu : uji statistik shapiro-wilk, uji statistic
test of homogenecity of variance, uji statistik one-way anova, uji statistic lsd
(least significant difference).
6. Hasil analisis statistik
Hasil analisis Saphiro-Wilk didapatkan p = 0,344. Nilai p tersebut > 0,05
maka dapat disimpulkan bahwa distribusi data yang ada normal. Hasil uji Test
of Homogenecity of Variance pada keempat kelompok menunjukkan p =
0,388 dapat disimpulkan bahwa varian data yang ada homogen.
Tabel 5 Hasil uji ANOVA Kelompok Pretest
Kelompok
N
Mean
sig
Kontrol
5
36.6 ± 3.05
Perlakuan 1
6
33.16 ± 8.25
0.923
Perlakuan 2
6
33.66 ± 6.97
Perlakuan 3
6
34.5 ± 12.97
Hasil uji ANOVA didapatkan kadar pretest ALT tidak berbeda secara
bermakna dengan p = 0,923 (>0,05).
Tabel 6 Hasil uji ANOVA Kelompok Posttest
Kelompok
N
Mean
sig
Kontrol
5
51.4 ± 10.5
Perlakuan 1
6
39 ± 4.81
0.004
Perlakuan 2
6
29.66 ± 10.74
Perlakuan 3
6
44.83 ± 8.30
Hasil uji ANOVA didapatkan kadar pretest ALT berbeda secara
bermakna dengan p = 0, 004 (< 0,05).
Tabel 7 Hasil Uji LSD Kelompok Posttest
Kelompok
P
Keterangan
K - P1
0.032
Perbedaan bermakna
K - P2
0.001
Perbedaan bermakna
K - P3
0.234
Perbedaan tidak bermakna
P1 - P2
0.083
Perbedaan tidak bermakna
P1 - P3
0.266
Perbedaan tidak bermakna
P2 - P3
Perbedaan bermakna
0.008
Dari data dapat dilihat bahwa perbandingan antara kelompok K - P1, K P2, dan P2 - P3 terdapat perbedaan yang signifikan. Sedangkan perbedaan
yang tidak signifikan terdapat pada kelompok K - P3, P1 - P2, dan P1 - P3.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini menggunakan empat kelompok yaitu kelompok
kontrol, kelompok perlakuan 1, 2, dan 3. Ketiga dosis ekstrak tersebut didapatkan
dari uji orientasi, dimana didapatkan dosis 1 = 42 mg/200g BB, dosis 2 = 84
mg/200g BB, dan dosis 3 = 168 mg/200g BB. Pengukuran kadar ALT pada darah
tikus dilakukan pada hari pertama. Hal dijadikan sebagai kadar ALT tanpa
perlakuan. Hasil uji ANOVA terhadap kadar ALT tikus putih sebelum perlakuan
(pretest) menunjukan tidak adanya perbedaan yang bermakna pada semua
kelompok (p = 0,923) sehingga dapat diketahui bahwa terdapat keseragaman
kadar ALT darah tikus putih keempat kelompok.
Dengan analisis varian satu arah (one way ANOVA) menggunakan α =
95% didapatkan p < 0,05 yang menunjukkan bahwa rata-rata perubahan kadar
enzim ALT keempat kelompok berbeda nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemberian perlakuan dengan ekstrak daun kersen dapat mempengaruhi kadar
enzim ALT, serta pada peningkatan pemberian konsentrasi ekstrak daun kersen
memberikan hambatan kadar enzim ALT yang fluktuatif. Pengaruh kadar enzim
ALT terbesar dicapai oleh kelompok tikus yang mendapat perlakuan ekstrak daun
kersen perlakuan 2 yaitu 29.66 ± 10.74.
Pada kelompok kontrol bertujuan untuk melihat efek kenaikan kadar ALT
setelah pemberian asetaminofen untuk dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Pada kelompok perlakuan 1 didapatkan kadar rata-rata enzim ALT Perlakuan 1
adalah 39 ± 4.81 lebih rendah dari pada kelompok kontrol dengan kadar rata-rata
enzim ALT adalah 51.4 ± 10.5. Berdasarkan data statistik menunjukkan ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok K dengan P1 (p = 0,032). Dengan
demikian ekstrak daun kersen dosis 42 mg/200 gram BB dapat menghambat
kenaikan kadar enzim ALT.
Pada kelompok perlakuan 2 didapatkan kadar rata-rata enzim ALT
Perlakuan 2 adalah 29.66 ± 10.74 lebih rendah dari pada kelompok kontrol
dengan kadar rata-rata enzim ALT adalah 51.4 ± 10.5. Hasil ini jauh lebih rendah
dibandingkan pada kelompok perlakuan 1 (39 ± 4.81). Hasil uji statistik antara K
dengan P2 (p = 0.001) dan P2 dengan P3 (p = 0.008) menunjukkan perbedaan
yang bermakna, tetapi jika dibandingkan antara kelompok P1 dengan P2 (p =
0.083) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Dengan demikian ekstrak
daun kersen dosis 84 mg/200 gram BB dapat menghambat kenaikan kadar enzim
ALT.
Pada kelompok perlakuan 3 didapatkan hasil uji statistik antara kelompok
K dengan P3 (p = 0.234) dan P1 dengan P3 (p = 0.266) menunjukkan perbedaan
yang tidak bermakna, tetapi jika dibandingkan antara kelompok P2 dengan P3 (p
= 0,008) menunjukkan perbedaan yang bermakna. Dengan demikian ekstrak daun
kersen dosis 168 mg/200 gram BB dapat menghambat kenaikan kadar enzim
ALT, tetapi tidak signifikan.
Hasil uji statistik antara kelompok K dengan P3 menunjukkan adanya
hambatan kenaikan kadar enzim ALT tetapi tidak bermakna, tetapi antara
kelompok kelompok K dengan P1 dan K dengan P2 menunjukkan hambatan yang
bermakna terhadap kenaikan kadar ALT. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak daun kersen memperlihatkan efek sebagai hepatoprotektor yaitu dapat
melindungi terhadap kerusakan jaringan hati yang diinduksi dengan asetaminofen,
namun efek hepatoprotektor bersifat fluktuatif sesuai dosis. Kehadiran ALT dalam
plasma pada kadar tinggi memberi dugaan pada perlukaan hepatoseluler atau
inflamasi yang diakibatkan pemberian asetaminofen dosis toksik. Daun kersen
mengandung flavonoid sebagai antioksidan yang mampu mencegah dan
menghambat efek toksik asetaminofen melalui pengikatan radikal bebas dan
dekomposisi peroksida lipid. (Zakaria et al, 2007)
Sebagian besar asetaminofen mengalami konjugasi di hepar dengan asam
glukoronat (60%) dan asam sulfat (35%) membentuk metabolit yang tidak aktif
yang diekskresikan ke dalam urin. Sementara sebagian kecil asetaminofen (5%)
dihidroksilasi oleh sitokrom P-450 membentuk N-acetyl-p-benzoquinone
(NAPQI) yang merupakan metabolit berbahaya. Pada dosis normal metabolit ini
bereaksi dengan gugus sulfohidril glutation membentuk asam merkapturik yang
non toksik. Namun pada dosis toksik, jalur sulfat dan glukoronat sudah tersaturasi,
dan banyak asetaminofen bebas yang langsung menuju jalur sitokrom P450 dan
memproduksi NAPQI sebagai hasilnya. Sementara suplai glutation dari hepatosit
sudah tidak mencukupi lagi untuk menginaktifasi NAPQI, akibatnya NAPQI
bebas berikatan dan membentuk ikatan kovalen dengan molekul membran sel
yaitu grup sulfhidril protein hepar. Metabolit toksik ini menyebabkan cedera pada
hepatosit, sehingga enzim-enzim intraseluler hepar tercurah dan meningkat
kadarnya dalam darah melebihi nilai normal (Paramita, 2007).
Menurut penelitian Zakaria et al (2007) dan Heinrich (2009), daun kersen
mengandung senyawa flavonoid yang bermanfaat dalam makanan karena berupa
senyawa fenolik, senyawa ini yang bersifat antioksidan kuat. Pada penelitian Haki
(2009), penggunaan ekstrak daun kersen dosis 4 mg / 20 gram BB dan dosis 8 mg/
20 gram BB pada mencit yang diinduksi CCL4 belum dapat menghambat kenaikan
kadar ALT secara optimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Paramita (2007),
pemberian asetaminofen dosis 1200 mg/200 gram BB pada tikus mampu
menaikan kadar ALT dengan nilai rata-rata 84,92±7,45.
KESIMPULAN
Pemberian ekstrak daun kersen dosis 42 mg/200 gram BB dan 84 mg/200
gram BB dapat menghambat kenaikan kadar enzim ALT pada tikus yang
diinduksi asetaminofen.
Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan dosis yang lebih
bervariasi, sehingga dapat diketahui dosis yang lebih efektif dalam
mengurangi kerusakan sel hepar.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan waktu penelitian yang lebih
lama, sehingga diketahui waktu terapi yang cukup dan diperoleh hasil
yang maksimal.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek ekstrak daun kersen
dalam mengurangi hepatotoksisitas dengan menggunakan parameter lain,
misalnya dengan memeriksa gambaran histologis sel hepar dan sebagainya.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat- zat aktif lain di dalam
daun kersen dan manfaatnya bagi tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin R., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fisiologi dan Biokimia hati.
Edisi V. Jakarta. Interna Publishing. Hal : 627
Arif T. Q. M., 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu kesehatan.
Surakarta. UNS press. Hal : 63
Bayupurnama P., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Hepatotoksisitas Imbas
Obat. Edisi V. Jakarta. Interna Publishing. Hal : 708
Bower W.A., Johns M., Margolis, H.S., Williams I.T., Bell B., 2007. Populationbased surveillance for acute liver failure. Am.J.Gastroenterol. 102:2459-63.
Cheng D. S., Chen J. J., Hsinn H. L., 2006. Activation of Nitric Oxide Signaling
Pathway Mediates Hypotensive Effect of Muntingia calabura L. Leaf
Extract. The American Journal of Chinese Medicine. 34 (5):857–72
Goodman L.S., Gilman A., 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi X. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal : 683-4
Guyton A.C., Hall J.E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi XI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Hal : 902-4
Hadi S., 2002. Gastroenterology. Edisi ketujuh. Bandung: Penerbit P.T. Alumni
Bandung. Hal : 656
Haki M., 2009. Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia Calabura L.) terhadap
Aktivitas Enzim SGPT pada Mencit yang diinduksi Karbon Tetraklorida.
Skripsi . Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Hartono, Nurwati I., Ikasari F., Wiryanto. 2005. Effects of turmeric extract
(Curcuma domestica Val.) on the increase of SGOT and SGPT level in the
mice (Rattusnorvegicus) due to the acetaminophen administration.
Biofarmasi. 3 (2):57 – 60
Heinrich M., Barner J., Gibbons S., Williamson E.M., 2009, Farmakognosi dan
Fitoterapi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal : 82-3
Imaeda A. I., Watanabe A., Sohail A. S., Mahmood S., et al. 2009.
Acetaminophen-induced hepatotoxicity in mice is dependent on Tlr9 and the
Nalp3 inflammasome. The Journal of Clinical Investigation. Volume 119
(2) : 246
Katzung B.G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik, Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku III, sixth
edition. Jakarta. Penerbit Salemba Medika. Hal : 485
Larson A.M., Polson J., Fontana R.J., Davern T.J., Lalani E., Lee W.M. et al.
2005. Acute Liver Failure Study Group (ALFSG). Acetaminophen-induced
acute liver failure: results of a United States multicenter, prospective study.
Hepatology. 42(6):1364-72.
Lim T.K., 2012. Edible Medicinal and Non-Medicinal Plant. London New York.
Springer Dordrecht Heidelberg. Hal : 489-91
Malole M.B.M., Pramono C.S.U., 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan
di Laboratorium. Bogor : PAU Pangan dan Gizi, IPB
Mayes P. A. 2003. Biokimia Harper : Struktur dan Fungsi Vitamin larut-Lipid.
Edisi XXV. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal : 618-9
Ngatidjan, 1991. Petunjuk Laboratorium : Metode Laboratorium Dalam
Toksikologi. Yogyakarta: FK UGM. Hal : 94
Middleton E., Kandaswami C., Theoharides T. C., 2000. The Effects of Plant
Flavonoids on Mammalian Cells : Implications for Inflammation, Heart
Disease, and Cancer. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. 52:673–751
Nijveldt R. J., Nood E., Hoorn D. E. C., et al, 2001. Flavonoids: a review of
probable mechanisms of action and potential applications. Am J Clin Nutr.
74:418–25
Paramita P. P., 2007. Kadar Serum Aspartat Aminotransferase Dan Alanin
minotransferase Pada Tikus Wistar Setelah Pemberian Asetaminofen Per
Oral Berbagai Dosis. karya tulis ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang
Pervical M. 1998. Antioxidant. Clinical Nutrition Insights (NUT). 031:96 Rev.
10/98
Rosalina I., 2010. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. Hal : 334
Rowden A. K., Noevell J., Eldridge D. L., Kirk M. A., 2005. Update on
Acetaminophen Toxicity. Med. Clin. N. Am. 89 : 1145-59
Sari L.O.R.K., 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan
Manfaat dan Keamanan. Majalah Ilmu Kefarmasian UI. 03:01 – 07
Tjitrosoepomo, G. 1988. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta:
UGM Press
Van Steenis, C.G.G.J. 2005. Flora. Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Warintek,
Muntingia
Calabura
L,
http://www.warintek.ristek.go.id/
pangan_kesehatan/tanaman_obat/depkes/3-077.pdf. (Maret 2012)
WHO,
2003,
Traditional
medicine,
http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs134/en/. (Juni 2012)
Wilmana P. F., Gan S., 2011. Farmakologi dan Terapi : analgesic-antipiretik,
analgesic antiinflamasi nonsteroid, dan obat gangguan sendi lainnya.
Jakarta. Badan penerbit FKUI. Hal : 237-8
Zakaria Z. A., Mohamed A. M., Jamil N. S. M., et al, 2011. In Vitro
Antiproliferative and Antioxidant Activities of the Extracts of Muntingia
Calabura Leaves. The America Jurnal of Chinese medicine. 39 (1):183-200
Zakaria Z. A., Mohd N. A., Hazalin N., et al, 2007. Antinociceptive, antiinflammatory and antipyretic effects of Muntingia calabura aqueous extract
in animal models. J. Nat. Med. 61:443-8.
Zakaria Z. A, Safarul Mustapha S., Sulaiman M. R., et al, 2005. The
Antinociceptive Action of Aqueous Extract from Muntingia calabura
Leaves The Role of Opioid Receptors. Med Princ Pract. 16:130–6
Zakaria Z. A., Sufian A. S., Ramasamy K., et al, 2010. In vitro antimicrobial
activity of Muntingia calabura. African Journal of Microbiology Research. 4
(4):304-8
Download