PENDAHULUAN Dengan berdirinya beberapa peternakan burung

advertisement
MENGENAL PENYAKIT-PENYAKIT MENULAR PENTING PADA BURUNG UNTA
(Struthio camelus)
DARMINTO dan SJAMSUL BAHRI
Balai Penelitian Vetedner
Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114
PENDAHULUAN
Dengan berdirinya beberapa peternakan
burung unta di Jawa Barat (Kabupaten Bogor
dan Sukabumi) dan di Nusa Tenggara Timur,
kini komoditi peternakan Indonesia bertambah
satu lagi . Meskipun di Indonesia burung unta
merupakan komoditi peternakan baru, namun
burung tersebut telah lama diternakkan di .beberapa negara seperti Zimbabwe (FOGGIN, 1995),
Australia (DALE, 1995 ; ALLEN, 1995), Afrika
Selatan (ERASMUS, 1995) dan Amerika Serikat
(WADE, 1995) .
Hadirnya komoditi baru tersebut menjadi
tantangan
bagi
para
ahli
peternakan
di
Indonesia, terutama untuk mempelajari segala
aspek yang berkenaan dengan peternakan burung unta, seperti breeding, nutrisi, manajemen
dan penyakit . Namun di sisi lain tampak bahwa
burung unta relatif mahal, sehingga kegiatan penelitian pada burung unta relatif sedikit, akibatnya informasi tentang peternakan burung unta
pun sangat terbatas . Beberapa artikel tentang
burung unta telah diterbitkan di majalah peternakan (SUTAWI, 1997 ; DHARMOJONO, 1997) dan
ini merupakan perbendaharaan kita yang berharga dalam hal informasi mengenai burung unta .
Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyajikan informasi mengenai penyakit-penyakit menular penting pada burung unta, yang
diharapkan dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan pembaca .
BURUNG UNTA
Burung unta (Struthio camelus), yang juga
populer
dengan
sebutan
"ostrich"
(Bhs .
Inggris), merupakan salah satu anggota dari ke
lompok burung berukuran besar yang dikenal
dengan nama "ratite" (BLACK, 1995 ; ERASMUS,
1995) . Selain burung unta, anggota ratite lainnya meliputi : Emu (Dromaius novaehollandiae),
Rhea
(Rhea
americana
dan
Pteroanemia
22
pennata), Kasuari (Casuarius casuarius, C.
unappendiculatus dan C. bennetti) dan Kiwi
(Apteryx spp.) . Dari kelompok burung-burung
besar tadi, yang ukurannya paling besar adalah
burung unta dimana burung yang terakhir ini dapat mencapai berat 200 kg dan berdiri dengan
tinggi 3 meter (BLACK, 1995) .
Menutut BLACK (1995), semua burung unta
termasuk dalam satu spesies yang disebut
Struthio camelus. Dalam spesies tersebut terda
pat 4 subspesies yang terdiri dari (a) Struthio
camelus camelus (North African red-necked
ostrich), (b) Struthio camelus massaicus (East
African
red-necked
ostrich),
(c)
Struthio
camelus molybdophanes (Somali blue-necked
ostrich) dan (d) Struthio camelus australis
(South African blue-necked ostrich) .
Burung
unta
yang
telah
diternakkan
(domesticated ostrich) saat ini sering disebut
burung unta "African BLACK" atau "Cape
Feather" dan ini merupakan varitas, bukan subspesies, yang dihasilkan dari persilangan antara
subspesies . Varitas burung unta tersebut
umumnya memiliki leher warns biru, ukurannya
lebih pendek dan memiliki kualitas bulu yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan burung
unta liar (BLACK, 1985) .
KONTRIBUSI VETERINER DALAM
PETERNAKAN BURUNG UNTA
Meskipun burung unta berukuran besar, namun seperti burung lainnya, burung unta pun tidak bebas dari serangan penyakit, baik penyakit
menular (transmissible diseases atau infectious
diseases) maupun penyakit yang tidak menular
(non-infectious diseases) .
Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus,
mikoplasma, klamidia, bakteri, jamur dan parasit
(protozoa, cacing, kutu) . Sedangkan penyakit tidak menular disebabkan oleh berbagai faktor di
luar mikroorganisme, seperti defisiensi vitamin
WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th. 1998
atau mineral, gangguan hormonal, trauma,
"splayed leg", dan keracunan. Baik penyakit
menular maupun tidak menular dapat menyebabkan gangguan pada peternakan burung
unta, bahkan juga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Dalam aspek kesehatan burung unta, peranan bidang veteriner sangat penting . Menurut
HUCHZERMEYER (1994), bidang veteriner dalam
kaitannya dengan peternakan burung unta memiliki kontribusi strategis dalam beberapa aspek
sebagai berikut
1 . Aspek ekonomi
Banyak penyakit burung unta yang merugikan, sehingga perlu diatasi dengan jalan mencegah terjadinya penyakit atau untuk penyakit ter
tentu, burung yang sakit dapat diobati . Tanpa
kontribusi bidang veteriner dalam hal preventif,
diagnosis dan pengendalian penyakit, usaha peternakan burung unta tidak mungkin dapat
meraih keuntungan . Peternakan burung unta disarankan untuk rnenggunakan jasa bidang
veteriner agar dapat mengatasi permasalahan
kesehatan hewan dan menjalin kerjasama
dengan laboratorium diagnostik veteriner .
Profesi veteriner juga diperlukan dalam hal
mengevaluasi kesehatan stok burung unta yang
akan dibeli untuk menghindari pembelian burung
yang sakit, sehingga menghindari penyebaran
penyakit ke dalam peternakan .
2. Kesejahteraan hewan
Kesejahteraan hewan (animal welfare) merupakan inti dari etik veteriner yang seharusnya
juga menjadi perhatian peternak, karena burung
unta yang mendapatkan perlakuan tidak wajar
dan burung unta yang mengalami stres akan
lebih rentan terhadap penyakit . Penerapan etik
kesejahteraan hewan ini harus tercermin dalam
kegiatan peternakan sehari-hari, penanganan
dan transportasi burung serta pada saat panen
bulu dan pemotongan burung .
3. Keselamatan manusia
Keselamatan manusia (human safety) dalam
kaitannya dengan peternakan burung unta meliputi keselamatan fisik dari para pekerja yang
menangani burung unta dewasa yang mampu
menendang dengan keras dan dapat menyebabkan kerusakan yang kadang-kadang parah
(parah tulang dan lain-lain) .
Selain keselamatan fisik, masalah human
safety yang perlu lebih mendapatkan perhatian
adalah adanya penyakit burung unta yang dapat
menular ke manusia. Dalam Tabel 1 dapat dilihat daftar penyakit-penyakit burung unta yang
dapat menular ke manusia lengkap dengan agen
penyebab dan cara penularannya . Penularan ke
manusia dapat terjadi pada saat kontak dengan
burung unta sehat maupun burung sakit atau
pada saat menangani daging burung atau mengkonsumsi daging burung . Oleh sebab itu aspek
higienis dari pemotongan burung dan penanganan dagingnya juga menjadi tanggung jawab profesi veteriner .
Tabel 1 . Penyakit zoonosis yang dapat menular
dari burung unta ke manusia
No
Nama Penyakit
Penyebab
Cara penularan
1
Crimean-Congo
Haemorrhagic Fever
Virus
Melalui vektor :
Kutu
2
Eastern Equine
Encephalitis
Virus
Melalui vektor
Nyamuk
3
Salmonellosis
Bakteri
Melalui rantai
makanan
4
Anthrax
Bakteri
Melalui
makanan dan
kontak
5
Mycobacteriosis
Bakteri
Melalui jalur
pernafasan clan
pencernaan
6
Chlamydiosis
Chlamydia
Melalui jalur
pernafasan
7
Campylobacteriosis
Bakteri
Belum jelas,
mungkin melalui
jalur
pencernaan
(oral)
Sumber : HUCHZERMEYER (1994)
4. Aspek Legalisasi
Legalisasi dalam praktek veteriner di sini
berkaitan dengan pemakaian obat-obatan atau
bahan biologik (vaksin dan lain-lain) untuk bu
rung unta, khususnya tentang registrasinya .
Tidak semua
obat
untuk unggas
dapat
digunakan untuk burung unta . Sebaliknya obat
hewan yang terdaftar untuk burung unta mungkin masih sangat terbatas atau bahkan belum
ada . Berbeda dengan negara Afrika 'Selatan dimana peternakan burung unta telah lama
establish, maka di negara itu sudah mempunyai
registrasi obat-obat hewan untuk digunakan
pada burung unta . Oleh sebab itu tersedianya
obat hewan dan bahan biologik yang sesuai,
23
DARMINTo
dan SJAmsuL
BAHRI :
aman dan efektif untuk
Indonesia adalah menjadi
profesi veteriner.
Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio
camelus)
burung unta di
tanggung jawab
5 . Penelitian
Penelitian veteriner pada burung unta sangat terbatas, namun peranannya sangat penting untuk mengenal dan memberi gambaran
tentang adanya penyakit baru, memperbaiki /
menyempurnakan pengetahuan dari penyakit
yang telah ada misalnya dalam hal diagnostik,
pengobatan dan pencegahan penyakit, termasuk pengembangan vaksin yang spesifik untuk
penyakit-penyakit pada burung unta .
PENYAKIT MENULAR PADA BURUNG UNTA
Seperti disebutkan di atas, bahwa penyakit
menular disebabkan oleh mikroorganisme yang
dapat berupa virus, mikoplasma, klamidia,
bakteri, parasit maupun jamur . Burung unta
akan menderita penyakit jika burung tersebut
terinfeksi oleh salah satu atau campuran dari
beberapa agen penyebab tersebut .
Sumber infeksi untuk burung unta dapat
berupa burung unta lainnya, khususnya burung
yang lebih tua umurnya, karena burung tua da
pat menjadi "reservoir" untuk virus, bakteri
maupun parasit. Oleh sebab itu sangat penting
bagi peternakan burung unta yang intensif
untuk memisah-misahkan kandang burung unta
menurut kelompok umur dan menyediakan pekerja khusus untuk masing-masing kelompok
umur .
Pembelian burung unta untuk diternakkan
dengan tanpa mengevaluasi status kesehatannya lebih dulu, juga merupakan faktor penting
dalam penyebaran penyakit ke dalam peternakan . Sebagai contoh dari keadaan ini adalah terjadinya wabah penyakit "avian influenza" dan
"megabacterial gastritis" pada peternakan burung unta di Afrika Selatan (HUCHZERMEYER,
1994) .
Sumber infeksi penting lainnya untuk burung unta adalah unggas piaraan (domestic
poultry) . Jenis-jenis penyakit unggas yang da
pat ditularkan ke burung unta beserta agen penyebab dan cara penularannya dapat dilihat
pada Tabel 2. Oleh sebab itu dalam peternakan
burung unta seharusnya tidak boleh ada unggas
lain yang berkeliaran di sekitar kandang. Disamping itu, mendirikan peternakan burung unta
24
baru yang berdekatan dengan peternakan ayam
juga tidak dianjurkan .
Manusia dapat menjadi karier pasif untuk
penularan penyakit ke burung unta, oleh sebab
itu
pengunjung
dapat
berperan
sebagai
penyebar penyakit dari satu peternakan ke peternakan lainnya . Penyakit tertentu seperti
"salmonellosis" dapat dibawa oleh tikus atau
lalat. Sementara itu beberapa penyakit lain,
seperti yang tertera dalam Tabel 3, ditularkan
melalui vektor yang dapat berupa nyamuk, kutu
maupun lalat. Oleh sebab itu program higienis
peternakan harus mencakup pengendalian tikus
dan serangga .
Tabel 2. Penyakit unggas yang dapat menular
ke burung unta
No
Nama Penyakit
Penyebab
Cara penularan
1
Newcastle Disease
Virus
Melalui jalur
pernafasan dan
pencernaan
2
Avian Influenza
Virus
Melalui jalur
pernafasan dan
pencernaan
3
Fowlpox
Virus
Melalui vektor
mekanik :
Nyamuk
4
Infeksi Bakteri gram
negatif
Bakteri
Melalui saluran
pencernaan
(pakan atau air
minum yang
terkontaminasi)
5
Ulcerative enteritis
Bakteri
Melalui saluran
pencernaan
6
Chlamydiosis
Chlamydia
Melalui saluran
pernafasan
7
Aegyptianellosis
Bakteri
Melalui vektor :
Kutu
8
Histomoniasis
Protozoa
Melalui saluran
pencernaan
9
Campylobacteriosis
Bakteri
Belum jelas,
mungkin melalui
saluran
pencernaan
Sumber
HUCHZERMEYER (1994)
Adakalanya
penyakit
muncul
dengan
manifestasi yang komplek disebabkan oleh
kombinasi beberapa faktor seperti infeksi oleh
virus, bakteri, keadaan fisik (terlalu panas atau
dingin),
stres,
keturunan
dan malnutrisi .
Menurut HUCHZERMEYER (1994), terdapat empat
macam sindrom penyakit dengan manifestasi
komplek pada burung unta muda yakni enteritis,
WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998
penyakit pernafasan, kerusakan pada kaki dan
stasis lambung .
Berikut adalah uraian singkat tentang
penyakit-penyakit menular penting yang umum
terdapat pada burung unta
Tabel 3. Penyakit-penyakit yang cara penularannya melalui vektor
No .
Nama Penyakit
Penyebab
Vektor
1
Fowlpox
Virus
Nyamuk
2
Crimean-Congo
haemorrhagic fever
Virus
Kutu
Eastern equine
encephalitis
Virus
Nyamuk
4
Wesselbron Disease
Virus
Nyamuk
5
Aegyptianellosis
Bakteri
Kutu
Leucocytozoonosis
Protozoa
Lalat
7
Malaria
Protozoa
Nyamuk
8
Filariasis
Cacing
3
6
Nyamuk
Sumber : HUCHZERMEYER (1994)
A. PENYAKIT VIRAL
Penyakit viral adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus . Virus adalah mikroorganisme yang sangat kecil, hanya dapat dilihat
dengan mikroskop elektron, dan hanya dapat
memperbanyak diri dalam sel-sel hidup . Diagnosis penyakit viral umumnya didasarkan pada
isolasi virus. Virus-virus burung unta, yang berasal dari ayam, dapat ditumbuhkan pada embrio
ayam dan diidentifikasi dengan serum standar.
Namun untuk mengisolasi virus-virus yang spesifik menyerang burung unta memerlukan sel-sel
atau embrio burung unta untuk mengisolasinya .
Hingga kini belum ada obat untuk penyakit
viral, oleh sebab itu penanggulangan terhadap
penyakit viral ini hanya dapat dilakukan dengan
pencegahan melalui vaksinasi serta peningkatan
higienis peternakan termasuk pengendalian
vektor .
Berikut ini adalah uraian beberapa penyakit
viral penting pada burung unta dan cara pengendaliannya
1 . Newcastle disease
Newcatle disease (ND) disebabkan oleh
1
(PMV-1)
avian paramyxovirus serotipe
(ALEXANDER, 1890) . Penyakit ini sudah lama di-
ketahui menyerang unggas terutama ayam .
Serangan ND pada burung unta, pada awalnya
diketahui pada tahun 1966 ketika penyakit ini
menyerang dan mematikan dua ekor burung
unta
milik
pertunjukkan
sirkus
di
Italia
(HUCHZERMEYER, 1994). Kemudian pada tahun
1954, ND menyerang burung unta di kebun
binatang di Maroko dan pads tahun 1963, ND
dilaporkan menyerang burung unta di kebun
binatang di Jerman (]-IUCHZERMEYER, 1994) .
Wabah ND yang menyerang peternakan
burung unta dilaporkan terjadi di Israel pada
tahun 1989 (SAMBERG et al., 1989). Pada
wabah ini ND menyerang 46 ekor burung unta
berumur antara 5-9 bulan dan menyebabkan
kematian burung unta sebanyak 13 ekor dalam
waktu 3 minggu . Gejala klinis utamanya berupa
kelainan syaraf seperti kehilangan keseimbangan, tidak mampu berdiri dan bahkan paralisis
total . Pada stadium lanjut tampak gejala tortikolis. Pada burung yang mati terdapat kelainan
patologi berupa perdarahan titik pada jantung
dan pembesaran hati . Tidak ditemukan kelainan
histopatologi pada otak, hati, limpa, jantung
dan ginjal . Isolasi virus ND hanya berhasil dilakukan dari otak seekor burung . Burung yang
sembuh dari penyakit memiliki titer antibodi
tinggi yakni rata-rata 4,4 (log2) pada 17 hari
setelah gejala penyakit muncul dan 8 (log2)
setelah 44 hari dari munculnya penyakit .
Wabah ND pada burung unta baru-baru ini
juga muncul di Afrika Selatan . Menurut informasi dari "internet" (Ostriches On Line
ostrich@ostrichesonline .com)
kantor
berita
Reuter pada tanggal 25 Agustus 1996 melaporkan terjadinya wabah ND besar-besaran di
Afrika Selatan dimana 60 peternakan burung
unta dinyatakan dalam pengawasan karantina,
sehingga dagingnya tidak bisa diekspor ke
Eropah untuk sementara waktu . Dengan demikian ND merugikan peternakan burung unta,
bukan saja karena menyebabkan sakit dan kematian, namun juga dapat menyebabkan ditolaknya ekspor .
Di Indonesia, ND merupakan penyakit endemik dan penting pada unggas . Virus ND yang
umumnya galur velogenik atau ganas (DARMINTO
dan RONOHARDJO, 1996) bersirkulasi di lingkungan dan menyebabkan wabah yang dapat
terjadi setiap saat sepanjang tahun (DARMINTO,
1995 ;
DARMINTO
et
al.,
1993),
dapat
merupakan ancaman yang
potensial
bagi
peternakan burung unta . Dalam suatu percoba.
an di laboratorium, DARMINTO dan BAHRI (1997)
25
DARMINTo dan SJAMSm BAHRI : Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio
camelus)
melaporkan bahwa burung unta peka terhadap
virus ND velogenik isolat lokal. Dari sejumlah
burung unta muda umur 5- 6 minggu yang
diinfeksi dengan virus ND velogenik isolat lokal
galur Ita, separuhnya (50%) memperlihatkan
gejala sakit ND clan mati beberapa hari setelah
gejala klinis muncul . Sisanya (50% lagi) tidak
sakit, tetapi dari saluran pernafasannya dapat
dideteksi adanya ekskresi virus ND velogenik
sampai akhir percobaan . Lebih jauh dari itu,
DARMINTo et al. (1998) juga menunjukkan bahwa virus yang diekskresikan tersebut dapat
menulari burung unta rentan yang ada di sekitarnya . Dari data tersebut terlihat bahwa burung
unta yang terinfeksi ND akan menjadi karier clan
dapat menjadi sumber infeksi bagi burung unta
sehat di sekitarnya . Oleh sebab itu dimana saja
peternakan burung unta didirikan, pengendalian
terhadap ND harus mendapatkan prioritas
utama. Sementara itu, data juga menunjukkan
bahwa pengendalian ND yang efektif dapat
dilakukan dengan vaksinasi. Karena umumnya
vaksin ND yang beredar di Indonesia digunakan
untuk ayam, sehingga dosis vaksin tersebut
juga diatur sedemikian rupa sehingga efektif
untuk mengebalkan ayam . Pengalaman lapang
menunjukkan bahwa satu dosis untuk ayam
tidak efektif untuk satu ekor burung unta . Oleh
sebab itu perlu dipelajari dosis yang efektif dari
vaksin ND untuk burung unta . DARMINTo et al.
(1998) menunjukkan bahwa vaksinasi ND pada
burung unta dengan galur La Sota menggunakan dosis 109 EID50 yang diaplikasikan secara
simultan antara tetes mata clan suntikan intramuskular dapat melindungi burung unta dari
serangan ND .
2. Influenza unggas
Influenza unggas disebabkan oleh virus
Influenza-A yang termasuk dalam kelompok
Myxovirus. Wabah penyakit ini di Afrika Selatan
umumnya menyerang burung unta muda ditandai dengan depresi, pengeluaran eksudat dari
mata clan warna urin yang kehijauan . Pada
beberapa kelompok kematian mencapai 60% .
Keparahan penyakit umumnya disebabkan oleh
infeksi sekunder dari bakteri Escherichia coli,
Pseudomonas
aeruginosa,
Staphylococcus
aureus
clan
jamur Aspergillus
fumigatus
(HUCHZERMEYER, 1994) .
3. Cacar unggas
Penyakit ini disebabkan oleh pox virus clan
umumnya penyakit ini ditularkan secara meka-
26
nis oleh nyamuk . Di Afrika Selatan penyakit ini
umumnya muncul pada musim panas/summer
(HUCHZERMEYER, 1994), karena pada musim itulah populasi nyamuk sangat tinggi . Untuk kondisi Indonesia yang beriklim tropis, penyakit ini
dapat muncul di setiap waktu clan akan berfluktuasi seiring dengan dinamika populasi nyamuk .
Cacar bentuk kering umumnya berupa benjolan kecil berisi cairan yang kemudian pecah
menjadi keropeng di daerah kepala, terutama
sekitas mata, sehingga mengganggu penglihatan yang berakibat burung sulit mematuk makanan . Pada cacar bentuk basah (diphthery),
keropeng dapat terjadi dalam rongga mulut,
faring . clan laring yang menyebabkan burung
sulit bernafas clan akhirnya mati jika tidak
tertolong .
4. Crimean-Congo haemorrhagic fever
Penyakit ini disebabkan oleh Nairovirus dari
famili Bunyaviridae (SHEPHERD et al., 1987),
endemik di Afrika Selatan clan ditularkan melalui
gigitan kutu (HUCHZERMEYER, 1994) . Sebenarnya
penyakit ini bukan penyakit burung unta, tetapi
penyakit manusia . Burung unta yang terinfeksi
oleh virus penyebab penyakit ini tidak sakit,
namun dapat membentuk antibodi terhadap
virus penyakit tersebut, sehingga antibodi
terhadap Crimean-Congo haemorrhagic fever
dapat dideteksi dari serum darah burung unta
terinfeksi (SHEPHERD et al ., 1987) . Virus penyebab penyakit ini disebarkan oleh kutu, terutama
dari genus Hyalomma sop . Manusia tertular
penyakit ini melalui gigitan kutu pada saat menangani pemotongan
burung
unta .
Pada
manusia penyakit ini menimbulkan demam berdarah yang parah clan sering kali berakibat fatal .
Crimean-Congo haemorrhagic fever merupakan penyakit yang memiliki aspek kesehatan
masyarakat sangat penting yang perlu menda
patkan perhatian utama dalam peternakan burung unta untuk menjamin keselamatan pekerjanya.
Selama ini Indonesia masih bebas dari penyakit tersebut clan perlu dipertahankan status
bebasnya dengan memilih ternak yang tidak me
ngandung antibodi terhadap penyakit tersebut
yang dapat diimpor ke Indonesia clan dengan
perlakuan tertentu sedemikian rupa, sehingga
burung unta yang diimpor ke Indonesia juga bebas dari kutu .
WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998
5 . Eastern equine enchephalitis
Penyakit ini disebabkan oleh alpha virus
dari famili Togaviridae (WESTAWAY et al ., 1985)
dan ditularkan melalui nyamuk sebagai vektor
nya . Penyakit ini menimbulkan gangguan syaraf
yang parah pada kuda dan manusia, sedangkan
burung unta dapat berperan sebagai "reservoir"
virus
penyebabnya
(HUCHZERMEYER,
1994),
sehingga dapat menjadi sumber infeksi bagi
manusia . Infeksi penyakit ini pada burung emu
muda dan dewasa pernah terjadi di Louisiana,
USA yang menyebabkan kematian burung dalam jumlah banyak ditandai dengan depresi,
diare berdarah, namun tidak memperlihatkan
adanya gejala syaraf (TULLY et al ., 1992) . Pada
burung yang mati ditemukan perubahan patologi berupa enteritis hemoragik dan perdarahan
titik pada subserosa . Dari pemeriksaan histopatologi ditemukan kelainan berupa "necrotic
vasculitis" pada limpa dan pada bagian lamina
propria dari usus .
Dalam suatu eksperimen, virus penyebab
penyakit Eastern Equine Enchephalitis (EEE)
digunakan untuk menginfeksi ayam pedaging
umur 2 minggu . Ayam-ayam tersebut menderita
sakit dengan gejala depresi parah, destensi
abdominal
dan
terhambatnya
pertumbuhan
badan . Tingkat kematian ayam-ayam tersebut
mencapai 80% (Guy et al., 1994) .
Penyakit ini perlu mendapatkan perhatian
pada peternakan burung unta di Indonesia karena dapat menular ke manusia dan kuda . Sejauh
ini penyakit tersebut tidak ditemukan di Afrika
Selatan (HUCHZERMEYER, 1994) yang merupakan
salah satu negara penghasil burung unta,
namun dilaporkan di USA (TULLY et al., 1992) .
Penyakit ini pun belum pernah ditemukan di
Indonesia, sehingga mempertahankan status
Indonesia
bebas
penyakit
Eastern
Equine
Enchephalitis (EEE) merupakan hal yang sangat
esensial dengan jalan mengimpor burung unta
yang bebas EEE (negatif antibodi terhadap EEE) .
6 . Coronaviral enteritis
Penyakit ini disebabkan oleh coronavirus
dan menyebabkan kematian pada anak-anak burung unta di USA ditandai dengan kerusakan
pada saluran pencernaan burung (FRANK dan
CARPENTER, 1992) .
7. Penyakit viral lainnya
Beberapa penyakit viral telah dilaporkan
menginfeksi burung unta baik berdasarkan iso-
Iasi virus maupun serologi, namun beberapa
diantaranya belum banyak diungkapkan tingkat
kepentingannya . Borna disease diduga sebagai
penyebab paresis pada anak-anak burung unta
di Israel (WEISMAN et al., 1993), sementara itu
Wesselsbron disease pernah dilaporkan menyerang burung unta yang didasarkan pada isolasi
flavivirus dari beberapa anak burung unta yang
mati akibat penyakit ini . Disamping itu Roevirus
juga pernah dilaporkan berhasil diisolasi dari
anak burung unta (JENSEN et al., 1992) . Sementara itu, dalam suatu survei serologi pada burung unta di Zimbabwe (CADMAN et al., 1994)
berhasil dideteksi adanya antibodi terhadap
beberapa penyakit viral antara lain : turkey
rhinotracheitis virus, infectious bursal disease
virus,
avian
encephalomyelitis
virus,
reticuloendotheliosis virus, infectious bronchitis
dan avian leucosis virus . Hal ini mengisyaratkan
bahwa burung unta yang disurvei tadi pernah
terinfeksi oleh virus-virus tersebut .
B . PENYAKIT BAKTERIAL
Penyakit bakterial adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri . Diagnosis penyakit ini
dapat didasarkan pada gejala klinis, pemeriksa
an patologis, demonstrasi bakteri dengan pewarnaan di bawah mikroskop dan isolasi bakteri
dengan pemupukan pada agar . Umumnya penyakit bakterial dapat diobati dengan obat
antibakteri seperti antibiotika dan sulfonamida,
namun dalam pengobatari perlu mempertimbangkan dengan masak mengenai dosis, cara
aplikasi, jenis obat dan masa tenggangnya,
sehingga obat dapat berfungsi dengan efektif,
namun tetap aman . Berikut adalah penyakit
bakterial penting
1 . Enteritis oleh infeksi bakteri Gram negatif
dan septicemia
Enteritis
yang
disebabkan
oleh
infeksi
bakteri gram negatif dan keadaan septisemia
sering ditemukan pada anak burung unta yang
masih muda dengan gejala diare dan depresi
serta dehidrasi pada kaki (BRUNING,
1973) .
Salmonella
spp.,
Escherichia
coli,
dan
Pseudomonas aeruginosa adalah agen infektif
utamanya (HUCHZERMEYER, 1994) . Hati mungkin
mengalami pembengkakan dan mungkin memperlihatkan
adanya
banyak
bercak-bercak
nekrosis .
Infeksi
yang
disertai
dengan
Pseudomonas aeruginosa akan memperlihatkan
27
DARMINTo
dan SJAMSm
BAHRI :
Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio
camelus)
adanya radang kantong hawa (airsaculitis),
sementara itu infeksi yang melibatkan kuman
Escherichia coli biasanya akan diikuti gejala
septisemia . Kasus kolibasilosis pada seekor
burung unta umur 10 tahun dilaporkan oleh RAO
et al. (1981) . Dalam diagnosis, penentuan
serotipe Salmonella dan E. coli sangat perlu
untuk dilakukan . Disamping itu, karena semakin
meningkatnya kasus resistensi bakteri terhadap
antibiotika, maka uji antibiogram terhadap isolat
mutlak dilakukan untuk mencapai pengobatan
yang efektif .
Salmonellosis merupakan penyakit zoonosis
yang dapat menular ke manusia . Infeksi pada
manusia terjadi sebagai akibat dari mengkon
sumsi produk ternak yang terkontaminasi oleh
bakteri tersebut. Oleh sebab itu disamping
peternakan
burung
unta
harus
bebas
salmonellosis, tempat pemotongan burung tersebut harus dikelola sehigienis mungkin sehingga dapat mencegah terkontaminasinya produk
burung unta oleh kuman Salmonella .
2. Enterotoksemia
Penyakit ini disebabkan oleh toksin dari
Clostridium perfringens. Burung yang menderita
penyakit ini memperlihatkan gejala kelemahan
secara umum dan kadang-kadang timbul diare
(HUCHZERMEYER, 1994) dan penyakit ini sering
berakibat pada kematian. Sering kali penyakit ini
muncul pada saat burung mendapatkan stres
seperti baru ditransportasikan . Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan
vaksinasi dengan vaksin toksoid yang mengandung toksin dari kuman Clostridium perfringens .
Namun vaksin yang digunakan di luar negeri,
terutama di Afrika Selatan, mengandung toksin
kuman Clostridium perfringens tipe B dan D
(HUCHZERMEYER,
1994) .
Sedangkan
untuk
kasus-kasus enterotoksemia pada ternak di
Indonesia umumnya disebabkan oleh toksin dari
kuman Clostridium perfringens tipe A (WORRALL
et al ., 1987 ; NATALIA et al., 1996) . Oleh sebab
itu pemakaian vaksin enterotoksemia asal impor
untuk burung unta yang diternakkan di
Indonesia mungkin tidak efektif .
3. Anthrax
Penyakit anthrax disebabkan oleh kuman
Bacillus anthracis telah lama diketahui menye-
rang burung unta. Pertama kalinya penyakit
anthrax pada burung unta dilaporkan oleh
HENNING pada tahun 1894, kemudian dilaporkan
28
kembali oleh ROBERTSON pada tahun 1908, serta
deskripsi secara terperinci mengenai anthrax
pada burung unta dilaporkan oleh THEILER pada
tahun 1912 (WARD dan GALLAGHER, 1926) .
Terdapat dua bentuk anthrax pada burung
unta yakni bentuk per-akut yang ditandai
dengan mati mendadak tanpa gejala lebih dulu
dan bentuk demam yang ditandai dengan temperatur tinggi, tidak mau makan dan memperlihatkan gejala sakit secara umum . Kedua bentuk tersebut dapat terjadi secara bersamaan
dalam satu peternakan (HUCHZERMEYER, 1994).
Burung yang mengalami sakit bentuk demam
dapat mati, namun umumnya sembuh setelah
beberapa hari (WARD dan GALLAGHER, 1926;
HUCHZERMEYER, 1994) . Umumnya pada burung
unta, bakteri B. anthracis tidak dapat ditemukan
dalam preparat usap darah (HUCHZERMEYER,
1994), oleh sebab itu diagnosis sebaiknya
didasarkan
pada
isolasi
bakteri
melalui
pemupukan dalam agar dan uji biologik
sebagaimana yang diuraikan oleh HARDJOUTOMO
dan POERWADIKARTA (1995) .
Anthrax dapat menular ke manusia melalui
kontak dengan burung terserang anthrax, menangani produk burung yang terkontaminasi
kuman anthrax misalnya di tempat pemotongan
dan mengkonsumsi daging burung yang terinfeksi anthrax. Pada manusia anthrax dapat berbentuk luka-luka pada kulit (anthrax lokal),
namun bila infeksi melalui makanan akan terjadi
anthrax intestinal yang menyebabkan rasa nyeri
parah, muntah-muntah, , kejang, kolaps dan
akhirnya
mati
(HARDJOUTOMO
dan
POERWADIKARTA, 1,995) .
4. Mycobacteriosis
Mycobacteriosis pada burung umumnya
disebabkan oleh kuman Mycobacterium avium.
Infeksi umumnya melalui saluran pencernaan
dan umumnya kuman kemudian dilokalisasi
pada hati dalam bentuk nodul-nodul kecil, keras
dan berwarna putih (HUCHZERMEYER, 1994) .
Perjalanan penyakitnya kronis, umumnya burung yang terserang mengalami penurunan
berat badan hingga menderita kekurusan . Pada
manusia, mycobacteriosis lebih populer disebut
tuberculosis dan penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang berarti dapat menular dari
ternak (misalnya sapi) ke manusia dan sebaliknya .
HUCHZERMEYER
(1994)
memasukkan
penyakit mycobateriosis pada burung unta
sebagai penyakit yang dapat menular ke
manusia (Tabel 1) .
WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th . 1998
5. Chlamidiosis
Penyakit ini disebabkan oleh Chlamydia
psittaci. Wabah penyakit ini pads burung unta
muda di Afrika Selatan banyak menimbulkan
kematian (HUCHZERMEYER, 1994), namun sebaliknya di Amerika Utara penyakit ini pernah dilaporkan menginfeksi hanya pada seekor anak
burung unta (JENSEN et al., 1992) . Penularan
penyakit ini ke manusia juga pernah dilaporkan
dari taman burung di Perancis (HUCHZERMEYER,
1994) .
6. Campylobacteriosis
Campylobacteriosis disebabkan oleh kuman
Campylobacter jejuni dilaporkan menyebabkan
wabah pada peternakan burung unta di Israel
dengan tingkat kematian mencapai 40% ditandai dengan depresi, tidak mau makan, urine
berwarna hijau clan dehidrasi . Kelainan patologi
penyakit ini mirip dengan kasus "virionic
hepatitis" pada unggas (HUCHZERMEYER, 1994) .
Lebih lanjut HUCHZERMEYER (1994) mengelompokkan penyakit ini sebagai penyakit yang dapat menular ke manusia (Tabel 1) .
7. Penyakit bakterial lainnya
Kuman
Pseudomonas
aeruginosa,
Pasteurella
haemolitica,
Bordetella
avium,
Haemophilus spp. dan Mikoplasma sering kali
berhasil diisolasi dari burung unta muda yang
menderita infeksi saluran pernafasan bagian
atas (JENSEN et al., 1992 ; HUCHZERMEYER,
1994) . Penyakit "Aegyptianellosis" yang disebabkan oleh Aegyptianella pullorum (suatu
mikro organisme semacam rikettsia) merupakan
penyakit unggas yang sering terdapat pada
peternakan ayam buras di Afrika Selatan
diketahui dapat menular ke anak burung unta
menyebabkan demam clan akhirnya
mati
(HUCHZERMEYER, 1994).
Kuman Streptococcus viridans bersamaan
dengan
Corynebacterium pyogenes
sering
ditemukan sebagai penyebab faringitis pada
burung unta . Sedangkan kuman Erysipelotrix
rusiopathiae pernah diisolasi dari burung unta
yang mati di kebun binatang di Paris clan
Jerman . Sementara itu kuman Pasteurella
multocida dilaporkan sebagai penyebab wabah
penyakit dengan gejala septisemia pada burung
unta di kebun binatang di Jerman clan Nigeria
(HUCHZERMEYER, 1994).
C . PENYAKIT MIKOTIK
Penyakit yang disebabkan oleh jamur
(mikosis) telah lama diketahui menjadi permasalahan pada peternakan burung unta (WARD dan
GALLAGHER, 1926) . Umumnya infeksi oleh jamur
jarang menular dari satu burung ke burung unta
lainnya, tetapi biasanya burung terinfeksi dari
pertumbuhan jamur yang ada di sekitarnya,
terutama
dari
makanan
yang
berjamur
(HUCHZERMEYER, 1994) . Menurut HUCHZERMEYER
(1994) terdapat tiga bentuk infeksi jamur pada
burung unta seperti pada uraian di bawah ini
1 . Mikosis pernafasan
Infeksi jamur pada saluran pernafasan
sering kali menjadi permasalahan pada anakanak burung unta yang mengalami kondisi bu
ruk seperti pada malnutrisi . Jamur Aspergillus
spp menyebabkan lesi-lesi bernodul pada
trakhea, paru-paru dan kantong haws . Sedangkan Nocardial granulomata pernah didiagnosis
sebagai penyebab "granulomatous airsaculitis" .
Suatu kasus "mikotik rinitis" yang disebabkan
oleh jamur Aspergillus spp dan menyebabkan
kematian pada burung unta dewasa umur 2
tahun pernah dilaporkan oleh FITZGERALD dan
MOISAN (1995) .
2. Mikosis lambung
Infeksi oleh jamur Candida spp dapat
menyebabkan
radang
pada
proventrikulus
(proventrikulitis) . Sedangkan jamur Mucor spp
dan Rhizopus oryzae yang merupakan anggota
kelompok jamur "Zygomycetes" juga pernah
dilaporkan sebagai penyebab wabah mikosis
lambung
yang
dikenal
dengan
"gastric
zygomycosis" . Penyakit yang terakhir ini ditandai dengan terjadinya peradangan pada proventrikulus dan vetrikulus (proventrikulitis dan
ventrikulitis) dari burung unta (JEFFREY et al.,
1994) .
3. Mikosis kulit
Infeksi jamur pada kulit menyebabkan peradangan kulit yang disebut mikotik dermatitis .
Renyakit ini pernah dilaporkan terjadi pada bu
rung unta muda di Alberta, Kanada ditandai
dengan terbentuknya lesi-lesi kasar di daerah
sekitar mata dan kemungkinan disebabkan oleh
jamur
TrichopHyton
sp
(ONDERKA
dan
DOORNENBAL, 1992) .
29
DARMlNTo
dan SJAMSUL
BAHRI
Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio
camelus)
D. PENYAKIT PARASITER
Burung unta juga dilaporkan peka terhadap
infestasi oleh berbagai agen parasit seperti
protozoa, cacing clan ektoparasit .
1 . Parasit Darah
Leococytozoon struthionis dan Plasmodium
struthionis merupakan parasit darah yang umum
ditemukan pada burung unta . L. struthionis
umum ditemukan pada anak burung unta di
Afrika Selatan yang berumur kurang dari 6
bulan' clan ditularkan oleh lalat (blackflies) dari
genus Simuflum spp. Meskipun parasit ini
dipercaya tidak ganas (BENNETT et al ., 1992),
namun dalam kondisi tertentu megaloschizon
dari parasit ini dapat menyebabkan "kematian
tinggi pada anak burung unta umur 3 minggu
dengan gejala peradangan pada urat daging
jantung (myocardium) (HUCHZERMEYER, 1994) .
Pada fase parasitemia dari parasit ini, burung
unta memperlihatkan gejala anemia yang jelas,
karena banyak sel-sel darah merah yang
diinfeksi oleh gametocyte parasit ini yang
kemudian sel-sel darah merah tersebut dihancurkan oleh mekanisme respon kekebalan tubuh
(HUCHZERMEYER, 1994) . Sedangkan invasi oleh
malaria (Plasmodium struthionis) umumnya
tidak disertai gejala klinis penyakit .
2. Koksidiosis
Koksidiosis
pada
burung
unta
yang
disebabkan oleh lsospora struthionis pernah
terjadi pada burung unta yang dipelihara di
kebun binatang di Rusia. Sedangkan Koksidiosis
yang disebabkan oleh Eimeria spp pernah
dilaporkan terjadi pada burung unta di Amerika
Utara (JENSEN et al., 1992 ; WADE, 1995) .
Menurut HUCHZERMEYER (1994) koksidiosis dari
ayam tidak menular ke burung unta, namun
lonophore suatu jenis koksidiostat yang aman
bagi ayam dan sering digunakan sebagai obat
pemacu pertumbuhan pada ruminansia, tidak
aman (bersifat racun) bagi burung unta . Burung
unta yang diberi obat tersebut mengalami
kelumpuhan,
ataksia
clan
akhirnya
mati
(HUCHZERMEYER, 1994) .
3. Infestasi cacing
Cacing Libyostrongylus douglassi merupakan cacing pengisap darah dalam lambung
(proventrikulus dan empela) yang menyebabkan
reaksi peradangan parah pada lambung dan
30
anemia pada burung unta muda . Berbagai
cacing dari famili Filariae dapat ditemukan
dalam
paru-paru
burung
unta
misalnya
Paronchocerca
strutthionus,
Versternema
struthionis,
Dicheilonema
spicularia
clan
Struthiofilaria megalocephala . Namun kejadian
serangan cacing paru-paru ini sangat jarang .
Sedangkan cacing pita yang berhabitat pada
usus halus burung unta bernama Houttuynia
struthionis . Di Florida, Amerika Serikat, pernah
dilaporkan adanya infestasi cacing mata (eye
flukes) oleh cacing trematoda yang bernama
Philophthalmus gralli . Cacing mata tersebut
ditemukan dalam katong konjungtiva dari burung unta yang berumur 5 bulan dengan gejala
peradangan parah pada selaput konjungtiva
(GREVE clan HARRISON, 1980) .
4. Ektoparasit
Burung unta dapat menjadi induk semang
dari
berbagai
ektoparasit
(HUCHZERMEYER,
1994), terutama burung-burung yang dipelihara
dengan merumput di tanah lapang . Berbagai
ektoparasit yang, sering ditemukan pada burung
unta di Afrika Selatan antara lain : (1) Kutu
Amblyomma spp, Hyalomma spp, Rhipicephalus
spp, Argas spp, Otobius spp, (2) Lalat
Struthiobosca struthionis clan Simulium spp
serta (3) Nyamuk seperti Culicoides spp.
Serangan ektoparasit dalam jumlah banyak
misalnya oleh kutu Ambyomma spp dilaporkan
dapat menyebabkan paralisis (BURGER, 1992) .
Umumnya infestasi ektoparasit pada burung
unta dikendalikan dengan penyemprotan insektisida golongan organofosfat BURGER, 1992) .
KESIMPULAN
Dari urain di atas, terlihat bahwa diterimanya burung unta sebagai komoditi peternakan
baru di Indonesia, menjadi tantangan bagi ahli
peternakan Indonesia untuk mempelajari semua
aspek yang berkaitan dengan peternakan burung tersebut, seperti pemuliabiakan (breeding),
nutrisi, manajemen clan kesehatan . Sebagaimana spesies burung lainnya, burung unta
ternyata juga rentan terhadap berbagai macam
penyakit menular yang disebabkan oleh virus,
bakteri, mikoplasma, klamidia, parasit dan
jamur. Mempelajari penyakit menular pada
burung unta sangat penting, bukan saja berguna untuk mengatasi masalah kesehatan
hewan burung unta itu sendiri, tetapi juga
WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998
berguna untuk menjaga kesehatan karyawan
pekerjanya dan konsumen produknya, karena
beberapa penyakit menular tersebut bersifat
zoonosis yang dapat menular kepada manusia .
Beberapa penyakit zoonosis penting seperti
Crimean-Congo haemorrhagic fever dan Eastern
equine encephalitis memang belum pernah ada
di Indonesia . Oleh sebab itu status bebas
Indonesia terhadap kedua penyakit tersebut
perlu dipertahankan dengan hanya mengimpor
burung unta yang benar-benar bebas dari penyakit tersebut untuk diternakkan di Indonesia .
Akhirnya penulis berharapan agar informasi ini
dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan
pembaca, khususnya bagi yang tertarik pada
pengembangan peternakan burung unta .
DAFTAR PUSTAKA
ALEXANDER,
D .J .
1990 .
Avianparamyxoviridae .
Recent development. Veterinary Microbiology,
23 : 103-114.
ALLEN, G. 1995 . Ostrich facility design . Proceeding of
the
fifth
Australian
Ostrich
Association
Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast,
Queensland, Australia . pp . 5-10 .
BENNETT, G.F ., F.W . HUCHZERMEYER, W.P . BURGER and
R.A . FARLE. 1992 . The leucocytozoidae of South
Africant birds. Ostrich, 03 : 83-85 .
BLACK, D. 1995 . The anatomy and physiology of the
ostrich. Proceeding of the fifth Australian Ostrich
Association Conference, 4-6th August 1995,
Gold Coast, Queensland, Australia. pp . 11-14.
BRUNING, D. 1973 . Breeding and rearing rheas in
captivity. International Zoo Year Book, 13 : 163173 .
BURGER, W.P . 1992 . Role of management in the
epidemiology of disease: therapeutic approaches
in the sick birds. Proceeding of the South
Africant
Veterinary
Association .
Biennial
National Congress . pp . 141-143 .
CADMAN, H .F ., P.J .KELLY, R. ZHOU and F. DAVELAAR.
1994 . A survey using ELISA for antibodies
against poultry patogens in ostrich from
Zimbabwe . Avian Diseases, 38 : 621-625 .
DALE, C. 1995 . The Australian ostrich industry-no
gamble . Proceeding of the fifth Australian
Ostrich Association Conference, 4-6th August
1995, Gold Coast, Queensland, Australia . pp .
121-122.
DARMINTO .
1995 . Diagnosis, Epidemiology and
Control of two major avian viral respiratory
diseases in Indonesia: Infectious bronchitis and
Newcastle disease. PhD thesis . James Cook
University of North Queensland, Australia .
DARMINTO dan P. RONOHARDJO . 1996 . Karakterisasi
isolat-isolat virus Newcastle disease asal wilayah
timur Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Nasional
Bidang Veteriner, 12-13 Maret 1996 . Balai
Penelitian Veteriner . pp . 104-113.
DARMINTO clan S. BAHRI. 1997 . Studi kepekaan burung
unta
(Struthio
camelus)
terhadap
virus
Newcastle disease galur velogenik isolat lokal.
Jurnal Ilmu Ternak clan Veteriner, 2(4) : 250257 .
DARMINTO, P.W. DANIELS and P. RONOHARDJO .1993 .
Studies on the epidemiology of
Newcastle
disease in eastern Indonesia by serology and
characterization of viral isolates using panels of
monoclonal antibodies . Penyakit Hewan, 25(46) :
67-75 .
DARMINTO, S. BAHRI dan N . SURYANA . 1998 . Transmisi
virus Newcastle disease galur velogenik pada
burung
unta
(Struthio
camelus)
clan
pencegahannya dengan vaksinasi . Makalah
disampaikan dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Veteriner, 18-19 Februari 1998 di Balai
Penelitian Veteriner, Bogor.
DHARMOJONO .
1997 . Burung unta,
penyakitnya? Infovet, 042: 44-45 .
apa
saja
ERASMUS, J. and E. DE V. 1995 . Ostrich Odyssey : A
Guide to Ostrich Farming in South Africa .
Published by J and R
ERASMUS, 44pp .
Nylstroom, South Africa .
FITZGERALD, S.D . and P. G . MOISON . 1995 . Mycoti c
Rhinitis in an ostrich. Avian Diseases, 39 : 194196 .
FOGGIN, C.M . 1995 . The ostrich industry in
Zimbabwe . Proceeding of the fifth Australian
Ostrich Association Conference, 4-6th August
1995, Gold Coast, Queensland, Australia. pp .
61-68 .
FRANK, R.K . and J.W . CARPENTER. 1992 . COronavi r~ I
enteritis in an ostrich (Struthio camelus) chick.
Journal of Zoo ans wildlive Medicine, 23 : 103107.
GREVE, J.H . and G .J . HARRISON . 1990 . Conjunctiviti s
caused by eye fluke in captive-reared ostriches.
Journal of the American Veterinary Medical
Association, 177: 909-910 .
Guy,
J .S ., J. BARNER and L.G . SMITH. 1994 .
Experimental infection of young broiler chickens
with Eastrn Equine Encephalitis virus . and
Highland J virus . Avian Diseases, 38 :572-582,
31
DARMiNTo dan SJAmsuL BAHRI : Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio
camelus)
HARDJOUTOMO, S dan M . B. POERWADIKARTA . 1995 .
Antraks. Petunjuk Teknis Penyakit Hewan . Balai
Penelitian Veteriner. pp . 1-7 .
HUCHZERMEYER,
F.W .
1994 . Ostrich Diseases .
Onderstepoort Veterinary Institute, South Africa .
122 pp .
JEFFREY, J.S ., R.P. CHIN, H .L . SHIVAPRASAD, C.U .
METEVER and R. DROUAL . 1994 . Proventriculitis
and ventriculitis associated with zygomycosis in
ostrich chicks . Avian Diseases, 38 : 630-634.
JENSEN, J.M ., J.H . JOHNSON and S.T . WEINER . 1992 .
management
of
Husbandry and medical
ostriches, emus and rheas. Wildlife and exotic
animal teleconsultants, College Station, Texas .
NATALIA, L., SUDARISMAN dan M. DARODJAT . 1996 .
Pencegahan enterotoksemia pada sapi yang
ditransportasikan antar pulau . Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner, 2(1) : 54-59.
ONDERKA, D.K . and E.C . DOORNENBAL . 1992 . Mycoti c
dermatitis in ostriches. Canadian Veterinary
Journal, 33 : 547-548 .
SAMBERG, Y., D.U . HADASH, B. PERELMAN and M .
MEROZ. 1989 . Newcastle disease in ostrich
(Struthio camelus) : Field case and experimental
infection. Avian Pathology, 18 : 221-226.
SHEPHERD, A.J ., R. SWANEPOEL, P.A . LEMAN and S.P .
SHEPHERD .
1987 .
Fiel d
and
laboratory
investigation of Crimean-Congo haemorrhagic
fever virus (Nairovirus family Bunyaviridae)
infection in birds. Transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and the Hygiene,
81 : 1004-1007.
SUTAWI, M .P . 1997 . Mengenal
Infovet, 043 : 37 .
Burung
Unta
2.
TULLY, T.N ., S.M . SHANE, R.P . POSTON, J.J . ENGLAND,
C.C . VICE, D.Y . CHO and B. PANIGRAHY. 1992 .
Eastern Equine Encephalitis in a flock of emus
(Dromaius novaehollandiae) . Avian Diseases, 36 :
808-812 .
WADE, J .R . 1995 . Chick rearing principles . Proceeding
of the fifth Australian Ostrich Association
Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast,
Queensland, Australia. pp . 25-27.
WARD, A.R . and B.A . GALLAGHER. 1926 . Diseases of
domesticated birds. The Macmillan Company,
New York . Chapter XVIII, pp . 226-241 .
WESTAWAY, E.G ., M .A . BRINTON, S.Y . GAIDAMOVICH,
M.C .
HORZINEK,
and A.
IGAASHI.
1985 .
Togaviridae . Intervirology, 24 : 125-139.
WORRALL, E.E ., L.NATALIA, P. RONOHARDJO, TARMUJI
and S. PARTOUTOMO . 1987 . Enterotoxaemia in
water
buffaloes
caused
by
Clostridium
perfringens type A. Veterinary Record, 121 :
278-279.
WEISMAN, Y ., M. MALKINSON, S. PERL, S. MACHANY, A.
LUBLIN and E. ASHASH . 1993 . Paresis in young
ostriches. Veterinary Record, 132: 284 .
Download