MENGENAL PENYAKIT-PENYAKIT MENULAR PENTING PADA BURUNG UNTA (Struthio camelus) DARMINTO dan SJAMSUL BAHRI Balai Penelitian Vetedner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 PENDAHULUAN Dengan berdirinya beberapa peternakan burung unta di Jawa Barat (Kabupaten Bogor dan Sukabumi) dan di Nusa Tenggara Timur, kini komoditi peternakan Indonesia bertambah satu lagi . Meskipun di Indonesia burung unta merupakan komoditi peternakan baru, namun burung tersebut telah lama diternakkan di .beberapa negara seperti Zimbabwe (FOGGIN, 1995), Australia (DALE, 1995 ; ALLEN, 1995), Afrika Selatan (ERASMUS, 1995) dan Amerika Serikat (WADE, 1995) . Hadirnya komoditi baru tersebut menjadi tantangan bagi para ahli peternakan di Indonesia, terutama untuk mempelajari segala aspek yang berkenaan dengan peternakan burung unta, seperti breeding, nutrisi, manajemen dan penyakit . Namun di sisi lain tampak bahwa burung unta relatif mahal, sehingga kegiatan penelitian pada burung unta relatif sedikit, akibatnya informasi tentang peternakan burung unta pun sangat terbatas . Beberapa artikel tentang burung unta telah diterbitkan di majalah peternakan (SUTAWI, 1997 ; DHARMOJONO, 1997) dan ini merupakan perbendaharaan kita yang berharga dalam hal informasi mengenai burung unta . Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyajikan informasi mengenai penyakit-penyakit menular penting pada burung unta, yang diharapkan dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan pembaca . BURUNG UNTA Burung unta (Struthio camelus), yang juga populer dengan sebutan "ostrich" (Bhs . Inggris), merupakan salah satu anggota dari ke lompok burung berukuran besar yang dikenal dengan nama "ratite" (BLACK, 1995 ; ERASMUS, 1995) . Selain burung unta, anggota ratite lainnya meliputi : Emu (Dromaius novaehollandiae), Rhea (Rhea americana dan Pteroanemia 22 pennata), Kasuari (Casuarius casuarius, C. unappendiculatus dan C. bennetti) dan Kiwi (Apteryx spp.) . Dari kelompok burung-burung besar tadi, yang ukurannya paling besar adalah burung unta dimana burung yang terakhir ini dapat mencapai berat 200 kg dan berdiri dengan tinggi 3 meter (BLACK, 1995) . Menutut BLACK (1995), semua burung unta termasuk dalam satu spesies yang disebut Struthio camelus. Dalam spesies tersebut terda pat 4 subspesies yang terdiri dari (a) Struthio camelus camelus (North African red-necked ostrich), (b) Struthio camelus massaicus (East African red-necked ostrich), (c) Struthio camelus molybdophanes (Somali blue-necked ostrich) dan (d) Struthio camelus australis (South African blue-necked ostrich) . Burung unta yang telah diternakkan (domesticated ostrich) saat ini sering disebut burung unta "African BLACK" atau "Cape Feather" dan ini merupakan varitas, bukan subspesies, yang dihasilkan dari persilangan antara subspesies . Varitas burung unta tersebut umumnya memiliki leher warns biru, ukurannya lebih pendek dan memiliki kualitas bulu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan burung unta liar (BLACK, 1985) . KONTRIBUSI VETERINER DALAM PETERNAKAN BURUNG UNTA Meskipun burung unta berukuran besar, namun seperti burung lainnya, burung unta pun tidak bebas dari serangan penyakit, baik penyakit menular (transmissible diseases atau infectious diseases) maupun penyakit yang tidak menular (non-infectious diseases) . Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, mikoplasma, klamidia, bakteri, jamur dan parasit (protozoa, cacing, kutu) . Sedangkan penyakit tidak menular disebabkan oleh berbagai faktor di luar mikroorganisme, seperti defisiensi vitamin WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th. 1998 atau mineral, gangguan hormonal, trauma, "splayed leg", dan keracunan. Baik penyakit menular maupun tidak menular dapat menyebabkan gangguan pada peternakan burung unta, bahkan juga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Dalam aspek kesehatan burung unta, peranan bidang veteriner sangat penting . Menurut HUCHZERMEYER (1994), bidang veteriner dalam kaitannya dengan peternakan burung unta memiliki kontribusi strategis dalam beberapa aspek sebagai berikut 1 . Aspek ekonomi Banyak penyakit burung unta yang merugikan, sehingga perlu diatasi dengan jalan mencegah terjadinya penyakit atau untuk penyakit ter tentu, burung yang sakit dapat diobati . Tanpa kontribusi bidang veteriner dalam hal preventif, diagnosis dan pengendalian penyakit, usaha peternakan burung unta tidak mungkin dapat meraih keuntungan . Peternakan burung unta disarankan untuk rnenggunakan jasa bidang veteriner agar dapat mengatasi permasalahan kesehatan hewan dan menjalin kerjasama dengan laboratorium diagnostik veteriner . Profesi veteriner juga diperlukan dalam hal mengevaluasi kesehatan stok burung unta yang akan dibeli untuk menghindari pembelian burung yang sakit, sehingga menghindari penyebaran penyakit ke dalam peternakan . 2. Kesejahteraan hewan Kesejahteraan hewan (animal welfare) merupakan inti dari etik veteriner yang seharusnya juga menjadi perhatian peternak, karena burung unta yang mendapatkan perlakuan tidak wajar dan burung unta yang mengalami stres akan lebih rentan terhadap penyakit . Penerapan etik kesejahteraan hewan ini harus tercermin dalam kegiatan peternakan sehari-hari, penanganan dan transportasi burung serta pada saat panen bulu dan pemotongan burung . 3. Keselamatan manusia Keselamatan manusia (human safety) dalam kaitannya dengan peternakan burung unta meliputi keselamatan fisik dari para pekerja yang menangani burung unta dewasa yang mampu menendang dengan keras dan dapat menyebabkan kerusakan yang kadang-kadang parah (parah tulang dan lain-lain) . Selain keselamatan fisik, masalah human safety yang perlu lebih mendapatkan perhatian adalah adanya penyakit burung unta yang dapat menular ke manusia. Dalam Tabel 1 dapat dilihat daftar penyakit-penyakit burung unta yang dapat menular ke manusia lengkap dengan agen penyebab dan cara penularannya . Penularan ke manusia dapat terjadi pada saat kontak dengan burung unta sehat maupun burung sakit atau pada saat menangani daging burung atau mengkonsumsi daging burung . Oleh sebab itu aspek higienis dari pemotongan burung dan penanganan dagingnya juga menjadi tanggung jawab profesi veteriner . Tabel 1 . Penyakit zoonosis yang dapat menular dari burung unta ke manusia No Nama Penyakit Penyebab Cara penularan 1 Crimean-Congo Haemorrhagic Fever Virus Melalui vektor : Kutu 2 Eastern Equine Encephalitis Virus Melalui vektor Nyamuk 3 Salmonellosis Bakteri Melalui rantai makanan 4 Anthrax Bakteri Melalui makanan dan kontak 5 Mycobacteriosis Bakteri Melalui jalur pernafasan clan pencernaan 6 Chlamydiosis Chlamydia Melalui jalur pernafasan 7 Campylobacteriosis Bakteri Belum jelas, mungkin melalui jalur pencernaan (oral) Sumber : HUCHZERMEYER (1994) 4. Aspek Legalisasi Legalisasi dalam praktek veteriner di sini berkaitan dengan pemakaian obat-obatan atau bahan biologik (vaksin dan lain-lain) untuk bu rung unta, khususnya tentang registrasinya . Tidak semua obat untuk unggas dapat digunakan untuk burung unta . Sebaliknya obat hewan yang terdaftar untuk burung unta mungkin masih sangat terbatas atau bahkan belum ada . Berbeda dengan negara Afrika 'Selatan dimana peternakan burung unta telah lama establish, maka di negara itu sudah mempunyai registrasi obat-obat hewan untuk digunakan pada burung unta . Oleh sebab itu tersedianya obat hewan dan bahan biologik yang sesuai, 23 DARMINTo dan SJAmsuL BAHRI : aman dan efektif untuk Indonesia adalah menjadi profesi veteriner. Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio camelus) burung unta di tanggung jawab 5 . Penelitian Penelitian veteriner pada burung unta sangat terbatas, namun peranannya sangat penting untuk mengenal dan memberi gambaran tentang adanya penyakit baru, memperbaiki / menyempurnakan pengetahuan dari penyakit yang telah ada misalnya dalam hal diagnostik, pengobatan dan pencegahan penyakit, termasuk pengembangan vaksin yang spesifik untuk penyakit-penyakit pada burung unta . PENYAKIT MENULAR PADA BURUNG UNTA Seperti disebutkan di atas, bahwa penyakit menular disebabkan oleh mikroorganisme yang dapat berupa virus, mikoplasma, klamidia, bakteri, parasit maupun jamur . Burung unta akan menderita penyakit jika burung tersebut terinfeksi oleh salah satu atau campuran dari beberapa agen penyebab tersebut . Sumber infeksi untuk burung unta dapat berupa burung unta lainnya, khususnya burung yang lebih tua umurnya, karena burung tua da pat menjadi "reservoir" untuk virus, bakteri maupun parasit. Oleh sebab itu sangat penting bagi peternakan burung unta yang intensif untuk memisah-misahkan kandang burung unta menurut kelompok umur dan menyediakan pekerja khusus untuk masing-masing kelompok umur . Pembelian burung unta untuk diternakkan dengan tanpa mengevaluasi status kesehatannya lebih dulu, juga merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit ke dalam peternakan . Sebagai contoh dari keadaan ini adalah terjadinya wabah penyakit "avian influenza" dan "megabacterial gastritis" pada peternakan burung unta di Afrika Selatan (HUCHZERMEYER, 1994) . Sumber infeksi penting lainnya untuk burung unta adalah unggas piaraan (domestic poultry) . Jenis-jenis penyakit unggas yang da pat ditularkan ke burung unta beserta agen penyebab dan cara penularannya dapat dilihat pada Tabel 2. Oleh sebab itu dalam peternakan burung unta seharusnya tidak boleh ada unggas lain yang berkeliaran di sekitar kandang. Disamping itu, mendirikan peternakan burung unta 24 baru yang berdekatan dengan peternakan ayam juga tidak dianjurkan . Manusia dapat menjadi karier pasif untuk penularan penyakit ke burung unta, oleh sebab itu pengunjung dapat berperan sebagai penyebar penyakit dari satu peternakan ke peternakan lainnya . Penyakit tertentu seperti "salmonellosis" dapat dibawa oleh tikus atau lalat. Sementara itu beberapa penyakit lain, seperti yang tertera dalam Tabel 3, ditularkan melalui vektor yang dapat berupa nyamuk, kutu maupun lalat. Oleh sebab itu program higienis peternakan harus mencakup pengendalian tikus dan serangga . Tabel 2. Penyakit unggas yang dapat menular ke burung unta No Nama Penyakit Penyebab Cara penularan 1 Newcastle Disease Virus Melalui jalur pernafasan dan pencernaan 2 Avian Influenza Virus Melalui jalur pernafasan dan pencernaan 3 Fowlpox Virus Melalui vektor mekanik : Nyamuk 4 Infeksi Bakteri gram negatif Bakteri Melalui saluran pencernaan (pakan atau air minum yang terkontaminasi) 5 Ulcerative enteritis Bakteri Melalui saluran pencernaan 6 Chlamydiosis Chlamydia Melalui saluran pernafasan 7 Aegyptianellosis Bakteri Melalui vektor : Kutu 8 Histomoniasis Protozoa Melalui saluran pencernaan 9 Campylobacteriosis Bakteri Belum jelas, mungkin melalui saluran pencernaan Sumber HUCHZERMEYER (1994) Adakalanya penyakit muncul dengan manifestasi yang komplek disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor seperti infeksi oleh virus, bakteri, keadaan fisik (terlalu panas atau dingin), stres, keturunan dan malnutrisi . Menurut HUCHZERMEYER (1994), terdapat empat macam sindrom penyakit dengan manifestasi komplek pada burung unta muda yakni enteritis, WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998 penyakit pernafasan, kerusakan pada kaki dan stasis lambung . Berikut adalah uraian singkat tentang penyakit-penyakit menular penting yang umum terdapat pada burung unta Tabel 3. Penyakit-penyakit yang cara penularannya melalui vektor No . Nama Penyakit Penyebab Vektor 1 Fowlpox Virus Nyamuk 2 Crimean-Congo haemorrhagic fever Virus Kutu Eastern equine encephalitis Virus Nyamuk 4 Wesselbron Disease Virus Nyamuk 5 Aegyptianellosis Bakteri Kutu Leucocytozoonosis Protozoa Lalat 7 Malaria Protozoa Nyamuk 8 Filariasis Cacing 3 6 Nyamuk Sumber : HUCHZERMEYER (1994) A. PENYAKIT VIRAL Penyakit viral adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus . Virus adalah mikroorganisme yang sangat kecil, hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron, dan hanya dapat memperbanyak diri dalam sel-sel hidup . Diagnosis penyakit viral umumnya didasarkan pada isolasi virus. Virus-virus burung unta, yang berasal dari ayam, dapat ditumbuhkan pada embrio ayam dan diidentifikasi dengan serum standar. Namun untuk mengisolasi virus-virus yang spesifik menyerang burung unta memerlukan sel-sel atau embrio burung unta untuk mengisolasinya . Hingga kini belum ada obat untuk penyakit viral, oleh sebab itu penanggulangan terhadap penyakit viral ini hanya dapat dilakukan dengan pencegahan melalui vaksinasi serta peningkatan higienis peternakan termasuk pengendalian vektor . Berikut ini adalah uraian beberapa penyakit viral penting pada burung unta dan cara pengendaliannya 1 . Newcastle disease Newcatle disease (ND) disebabkan oleh 1 (PMV-1) avian paramyxovirus serotipe (ALEXANDER, 1890) . Penyakit ini sudah lama di- ketahui menyerang unggas terutama ayam . Serangan ND pada burung unta, pada awalnya diketahui pada tahun 1966 ketika penyakit ini menyerang dan mematikan dua ekor burung unta milik pertunjukkan sirkus di Italia (HUCHZERMEYER, 1994). Kemudian pada tahun 1954, ND menyerang burung unta di kebun binatang di Maroko dan pads tahun 1963, ND dilaporkan menyerang burung unta di kebun binatang di Jerman (]-IUCHZERMEYER, 1994) . Wabah ND yang menyerang peternakan burung unta dilaporkan terjadi di Israel pada tahun 1989 (SAMBERG et al., 1989). Pada wabah ini ND menyerang 46 ekor burung unta berumur antara 5-9 bulan dan menyebabkan kematian burung unta sebanyak 13 ekor dalam waktu 3 minggu . Gejala klinis utamanya berupa kelainan syaraf seperti kehilangan keseimbangan, tidak mampu berdiri dan bahkan paralisis total . Pada stadium lanjut tampak gejala tortikolis. Pada burung yang mati terdapat kelainan patologi berupa perdarahan titik pada jantung dan pembesaran hati . Tidak ditemukan kelainan histopatologi pada otak, hati, limpa, jantung dan ginjal . Isolasi virus ND hanya berhasil dilakukan dari otak seekor burung . Burung yang sembuh dari penyakit memiliki titer antibodi tinggi yakni rata-rata 4,4 (log2) pada 17 hari setelah gejala penyakit muncul dan 8 (log2) setelah 44 hari dari munculnya penyakit . Wabah ND pada burung unta baru-baru ini juga muncul di Afrika Selatan . Menurut informasi dari "internet" (Ostriches On Line ostrich@ostrichesonline .com) kantor berita Reuter pada tanggal 25 Agustus 1996 melaporkan terjadinya wabah ND besar-besaran di Afrika Selatan dimana 60 peternakan burung unta dinyatakan dalam pengawasan karantina, sehingga dagingnya tidak bisa diekspor ke Eropah untuk sementara waktu . Dengan demikian ND merugikan peternakan burung unta, bukan saja karena menyebabkan sakit dan kematian, namun juga dapat menyebabkan ditolaknya ekspor . Di Indonesia, ND merupakan penyakit endemik dan penting pada unggas . Virus ND yang umumnya galur velogenik atau ganas (DARMINTO dan RONOHARDJO, 1996) bersirkulasi di lingkungan dan menyebabkan wabah yang dapat terjadi setiap saat sepanjang tahun (DARMINTO, 1995 ; DARMINTO et al., 1993), dapat merupakan ancaman yang potensial bagi peternakan burung unta . Dalam suatu percoba. an di laboratorium, DARMINTO dan BAHRI (1997) 25 DARMINTo dan SJAMSm BAHRI : Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio camelus) melaporkan bahwa burung unta peka terhadap virus ND velogenik isolat lokal. Dari sejumlah burung unta muda umur 5- 6 minggu yang diinfeksi dengan virus ND velogenik isolat lokal galur Ita, separuhnya (50%) memperlihatkan gejala sakit ND clan mati beberapa hari setelah gejala klinis muncul . Sisanya (50% lagi) tidak sakit, tetapi dari saluran pernafasannya dapat dideteksi adanya ekskresi virus ND velogenik sampai akhir percobaan . Lebih jauh dari itu, DARMINTo et al. (1998) juga menunjukkan bahwa virus yang diekskresikan tersebut dapat menulari burung unta rentan yang ada di sekitarnya . Dari data tersebut terlihat bahwa burung unta yang terinfeksi ND akan menjadi karier clan dapat menjadi sumber infeksi bagi burung unta sehat di sekitarnya . Oleh sebab itu dimana saja peternakan burung unta didirikan, pengendalian terhadap ND harus mendapatkan prioritas utama. Sementara itu, data juga menunjukkan bahwa pengendalian ND yang efektif dapat dilakukan dengan vaksinasi. Karena umumnya vaksin ND yang beredar di Indonesia digunakan untuk ayam, sehingga dosis vaksin tersebut juga diatur sedemikian rupa sehingga efektif untuk mengebalkan ayam . Pengalaman lapang menunjukkan bahwa satu dosis untuk ayam tidak efektif untuk satu ekor burung unta . Oleh sebab itu perlu dipelajari dosis yang efektif dari vaksin ND untuk burung unta . DARMINTo et al. (1998) menunjukkan bahwa vaksinasi ND pada burung unta dengan galur La Sota menggunakan dosis 109 EID50 yang diaplikasikan secara simultan antara tetes mata clan suntikan intramuskular dapat melindungi burung unta dari serangan ND . 2. Influenza unggas Influenza unggas disebabkan oleh virus Influenza-A yang termasuk dalam kelompok Myxovirus. Wabah penyakit ini di Afrika Selatan umumnya menyerang burung unta muda ditandai dengan depresi, pengeluaran eksudat dari mata clan warna urin yang kehijauan . Pada beberapa kelompok kematian mencapai 60% . Keparahan penyakit umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder dari bakteri Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus clan jamur Aspergillus fumigatus (HUCHZERMEYER, 1994) . 3. Cacar unggas Penyakit ini disebabkan oleh pox virus clan umumnya penyakit ini ditularkan secara meka- 26 nis oleh nyamuk . Di Afrika Selatan penyakit ini umumnya muncul pada musim panas/summer (HUCHZERMEYER, 1994), karena pada musim itulah populasi nyamuk sangat tinggi . Untuk kondisi Indonesia yang beriklim tropis, penyakit ini dapat muncul di setiap waktu clan akan berfluktuasi seiring dengan dinamika populasi nyamuk . Cacar bentuk kering umumnya berupa benjolan kecil berisi cairan yang kemudian pecah menjadi keropeng di daerah kepala, terutama sekitas mata, sehingga mengganggu penglihatan yang berakibat burung sulit mematuk makanan . Pada cacar bentuk basah (diphthery), keropeng dapat terjadi dalam rongga mulut, faring . clan laring yang menyebabkan burung sulit bernafas clan akhirnya mati jika tidak tertolong . 4. Crimean-Congo haemorrhagic fever Penyakit ini disebabkan oleh Nairovirus dari famili Bunyaviridae (SHEPHERD et al., 1987), endemik di Afrika Selatan clan ditularkan melalui gigitan kutu (HUCHZERMEYER, 1994) . Sebenarnya penyakit ini bukan penyakit burung unta, tetapi penyakit manusia . Burung unta yang terinfeksi oleh virus penyebab penyakit ini tidak sakit, namun dapat membentuk antibodi terhadap virus penyakit tersebut, sehingga antibodi terhadap Crimean-Congo haemorrhagic fever dapat dideteksi dari serum darah burung unta terinfeksi (SHEPHERD et al ., 1987) . Virus penyebab penyakit ini disebarkan oleh kutu, terutama dari genus Hyalomma sop . Manusia tertular penyakit ini melalui gigitan kutu pada saat menangani pemotongan burung unta . Pada manusia penyakit ini menimbulkan demam berdarah yang parah clan sering kali berakibat fatal . Crimean-Congo haemorrhagic fever merupakan penyakit yang memiliki aspek kesehatan masyarakat sangat penting yang perlu menda patkan perhatian utama dalam peternakan burung unta untuk menjamin keselamatan pekerjanya. Selama ini Indonesia masih bebas dari penyakit tersebut clan perlu dipertahankan status bebasnya dengan memilih ternak yang tidak me ngandung antibodi terhadap penyakit tersebut yang dapat diimpor ke Indonesia clan dengan perlakuan tertentu sedemikian rupa, sehingga burung unta yang diimpor ke Indonesia juga bebas dari kutu . WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998 5 . Eastern equine enchephalitis Penyakit ini disebabkan oleh alpha virus dari famili Togaviridae (WESTAWAY et al ., 1985) dan ditularkan melalui nyamuk sebagai vektor nya . Penyakit ini menimbulkan gangguan syaraf yang parah pada kuda dan manusia, sedangkan burung unta dapat berperan sebagai "reservoir" virus penyebabnya (HUCHZERMEYER, 1994), sehingga dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia . Infeksi penyakit ini pada burung emu muda dan dewasa pernah terjadi di Louisiana, USA yang menyebabkan kematian burung dalam jumlah banyak ditandai dengan depresi, diare berdarah, namun tidak memperlihatkan adanya gejala syaraf (TULLY et al ., 1992) . Pada burung yang mati ditemukan perubahan patologi berupa enteritis hemoragik dan perdarahan titik pada subserosa . Dari pemeriksaan histopatologi ditemukan kelainan berupa "necrotic vasculitis" pada limpa dan pada bagian lamina propria dari usus . Dalam suatu eksperimen, virus penyebab penyakit Eastern Equine Enchephalitis (EEE) digunakan untuk menginfeksi ayam pedaging umur 2 minggu . Ayam-ayam tersebut menderita sakit dengan gejala depresi parah, destensi abdominal dan terhambatnya pertumbuhan badan . Tingkat kematian ayam-ayam tersebut mencapai 80% (Guy et al., 1994) . Penyakit ini perlu mendapatkan perhatian pada peternakan burung unta di Indonesia karena dapat menular ke manusia dan kuda . Sejauh ini penyakit tersebut tidak ditemukan di Afrika Selatan (HUCHZERMEYER, 1994) yang merupakan salah satu negara penghasil burung unta, namun dilaporkan di USA (TULLY et al., 1992) . Penyakit ini pun belum pernah ditemukan di Indonesia, sehingga mempertahankan status Indonesia bebas penyakit Eastern Equine Enchephalitis (EEE) merupakan hal yang sangat esensial dengan jalan mengimpor burung unta yang bebas EEE (negatif antibodi terhadap EEE) . 6 . Coronaviral enteritis Penyakit ini disebabkan oleh coronavirus dan menyebabkan kematian pada anak-anak burung unta di USA ditandai dengan kerusakan pada saluran pencernaan burung (FRANK dan CARPENTER, 1992) . 7. Penyakit viral lainnya Beberapa penyakit viral telah dilaporkan menginfeksi burung unta baik berdasarkan iso- Iasi virus maupun serologi, namun beberapa diantaranya belum banyak diungkapkan tingkat kepentingannya . Borna disease diduga sebagai penyebab paresis pada anak-anak burung unta di Israel (WEISMAN et al., 1993), sementara itu Wesselsbron disease pernah dilaporkan menyerang burung unta yang didasarkan pada isolasi flavivirus dari beberapa anak burung unta yang mati akibat penyakit ini . Disamping itu Roevirus juga pernah dilaporkan berhasil diisolasi dari anak burung unta (JENSEN et al., 1992) . Sementara itu, dalam suatu survei serologi pada burung unta di Zimbabwe (CADMAN et al., 1994) berhasil dideteksi adanya antibodi terhadap beberapa penyakit viral antara lain : turkey rhinotracheitis virus, infectious bursal disease virus, avian encephalomyelitis virus, reticuloendotheliosis virus, infectious bronchitis dan avian leucosis virus . Hal ini mengisyaratkan bahwa burung unta yang disurvei tadi pernah terinfeksi oleh virus-virus tersebut . B . PENYAKIT BAKTERIAL Penyakit bakterial adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri . Diagnosis penyakit ini dapat didasarkan pada gejala klinis, pemeriksa an patologis, demonstrasi bakteri dengan pewarnaan di bawah mikroskop dan isolasi bakteri dengan pemupukan pada agar . Umumnya penyakit bakterial dapat diobati dengan obat antibakteri seperti antibiotika dan sulfonamida, namun dalam pengobatari perlu mempertimbangkan dengan masak mengenai dosis, cara aplikasi, jenis obat dan masa tenggangnya, sehingga obat dapat berfungsi dengan efektif, namun tetap aman . Berikut adalah penyakit bakterial penting 1 . Enteritis oleh infeksi bakteri Gram negatif dan septicemia Enteritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif dan keadaan septisemia sering ditemukan pada anak burung unta yang masih muda dengan gejala diare dan depresi serta dehidrasi pada kaki (BRUNING, 1973) . Salmonella spp., Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa adalah agen infektif utamanya (HUCHZERMEYER, 1994) . Hati mungkin mengalami pembengkakan dan mungkin memperlihatkan adanya banyak bercak-bercak nekrosis . Infeksi yang disertai dengan Pseudomonas aeruginosa akan memperlihatkan 27 DARMINTo dan SJAMSm BAHRI : Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio camelus) adanya radang kantong hawa (airsaculitis), sementara itu infeksi yang melibatkan kuman Escherichia coli biasanya akan diikuti gejala septisemia . Kasus kolibasilosis pada seekor burung unta umur 10 tahun dilaporkan oleh RAO et al. (1981) . Dalam diagnosis, penentuan serotipe Salmonella dan E. coli sangat perlu untuk dilakukan . Disamping itu, karena semakin meningkatnya kasus resistensi bakteri terhadap antibiotika, maka uji antibiogram terhadap isolat mutlak dilakukan untuk mencapai pengobatan yang efektif . Salmonellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia . Infeksi pada manusia terjadi sebagai akibat dari mengkon sumsi produk ternak yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Oleh sebab itu disamping peternakan burung unta harus bebas salmonellosis, tempat pemotongan burung tersebut harus dikelola sehigienis mungkin sehingga dapat mencegah terkontaminasinya produk burung unta oleh kuman Salmonella . 2. Enterotoksemia Penyakit ini disebabkan oleh toksin dari Clostridium perfringens. Burung yang menderita penyakit ini memperlihatkan gejala kelemahan secara umum dan kadang-kadang timbul diare (HUCHZERMEYER, 1994) dan penyakit ini sering berakibat pada kematian. Sering kali penyakit ini muncul pada saat burung mendapatkan stres seperti baru ditransportasikan . Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin toksoid yang mengandung toksin dari kuman Clostridium perfringens . Namun vaksin yang digunakan di luar negeri, terutama di Afrika Selatan, mengandung toksin kuman Clostridium perfringens tipe B dan D (HUCHZERMEYER, 1994) . Sedangkan untuk kasus-kasus enterotoksemia pada ternak di Indonesia umumnya disebabkan oleh toksin dari kuman Clostridium perfringens tipe A (WORRALL et al ., 1987 ; NATALIA et al., 1996) . Oleh sebab itu pemakaian vaksin enterotoksemia asal impor untuk burung unta yang diternakkan di Indonesia mungkin tidak efektif . 3. Anthrax Penyakit anthrax disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis telah lama diketahui menye- rang burung unta. Pertama kalinya penyakit anthrax pada burung unta dilaporkan oleh HENNING pada tahun 1894, kemudian dilaporkan 28 kembali oleh ROBERTSON pada tahun 1908, serta deskripsi secara terperinci mengenai anthrax pada burung unta dilaporkan oleh THEILER pada tahun 1912 (WARD dan GALLAGHER, 1926) . Terdapat dua bentuk anthrax pada burung unta yakni bentuk per-akut yang ditandai dengan mati mendadak tanpa gejala lebih dulu dan bentuk demam yang ditandai dengan temperatur tinggi, tidak mau makan dan memperlihatkan gejala sakit secara umum . Kedua bentuk tersebut dapat terjadi secara bersamaan dalam satu peternakan (HUCHZERMEYER, 1994). Burung yang mengalami sakit bentuk demam dapat mati, namun umumnya sembuh setelah beberapa hari (WARD dan GALLAGHER, 1926; HUCHZERMEYER, 1994) . Umumnya pada burung unta, bakteri B. anthracis tidak dapat ditemukan dalam preparat usap darah (HUCHZERMEYER, 1994), oleh sebab itu diagnosis sebaiknya didasarkan pada isolasi bakteri melalui pemupukan dalam agar dan uji biologik sebagaimana yang diuraikan oleh HARDJOUTOMO dan POERWADIKARTA (1995) . Anthrax dapat menular ke manusia melalui kontak dengan burung terserang anthrax, menangani produk burung yang terkontaminasi kuman anthrax misalnya di tempat pemotongan dan mengkonsumsi daging burung yang terinfeksi anthrax. Pada manusia anthrax dapat berbentuk luka-luka pada kulit (anthrax lokal), namun bila infeksi melalui makanan akan terjadi anthrax intestinal yang menyebabkan rasa nyeri parah, muntah-muntah, , kejang, kolaps dan akhirnya mati (HARDJOUTOMO dan POERWADIKARTA, 1,995) . 4. Mycobacteriosis Mycobacteriosis pada burung umumnya disebabkan oleh kuman Mycobacterium avium. Infeksi umumnya melalui saluran pencernaan dan umumnya kuman kemudian dilokalisasi pada hati dalam bentuk nodul-nodul kecil, keras dan berwarna putih (HUCHZERMEYER, 1994) . Perjalanan penyakitnya kronis, umumnya burung yang terserang mengalami penurunan berat badan hingga menderita kekurusan . Pada manusia, mycobacteriosis lebih populer disebut tuberculosis dan penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang berarti dapat menular dari ternak (misalnya sapi) ke manusia dan sebaliknya . HUCHZERMEYER (1994) memasukkan penyakit mycobateriosis pada burung unta sebagai penyakit yang dapat menular ke manusia (Tabel 1) . WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th . 1998 5. Chlamidiosis Penyakit ini disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Wabah penyakit ini pads burung unta muda di Afrika Selatan banyak menimbulkan kematian (HUCHZERMEYER, 1994), namun sebaliknya di Amerika Utara penyakit ini pernah dilaporkan menginfeksi hanya pada seekor anak burung unta (JENSEN et al., 1992) . Penularan penyakit ini ke manusia juga pernah dilaporkan dari taman burung di Perancis (HUCHZERMEYER, 1994) . 6. Campylobacteriosis Campylobacteriosis disebabkan oleh kuman Campylobacter jejuni dilaporkan menyebabkan wabah pada peternakan burung unta di Israel dengan tingkat kematian mencapai 40% ditandai dengan depresi, tidak mau makan, urine berwarna hijau clan dehidrasi . Kelainan patologi penyakit ini mirip dengan kasus "virionic hepatitis" pada unggas (HUCHZERMEYER, 1994) . Lebih lanjut HUCHZERMEYER (1994) mengelompokkan penyakit ini sebagai penyakit yang dapat menular ke manusia (Tabel 1) . 7. Penyakit bakterial lainnya Kuman Pseudomonas aeruginosa, Pasteurella haemolitica, Bordetella avium, Haemophilus spp. dan Mikoplasma sering kali berhasil diisolasi dari burung unta muda yang menderita infeksi saluran pernafasan bagian atas (JENSEN et al., 1992 ; HUCHZERMEYER, 1994) . Penyakit "Aegyptianellosis" yang disebabkan oleh Aegyptianella pullorum (suatu mikro organisme semacam rikettsia) merupakan penyakit unggas yang sering terdapat pada peternakan ayam buras di Afrika Selatan diketahui dapat menular ke anak burung unta menyebabkan demam clan akhirnya mati (HUCHZERMEYER, 1994). Kuman Streptococcus viridans bersamaan dengan Corynebacterium pyogenes sering ditemukan sebagai penyebab faringitis pada burung unta . Sedangkan kuman Erysipelotrix rusiopathiae pernah diisolasi dari burung unta yang mati di kebun binatang di Paris clan Jerman . Sementara itu kuman Pasteurella multocida dilaporkan sebagai penyebab wabah penyakit dengan gejala septisemia pada burung unta di kebun binatang di Jerman clan Nigeria (HUCHZERMEYER, 1994). C . PENYAKIT MIKOTIK Penyakit yang disebabkan oleh jamur (mikosis) telah lama diketahui menjadi permasalahan pada peternakan burung unta (WARD dan GALLAGHER, 1926) . Umumnya infeksi oleh jamur jarang menular dari satu burung ke burung unta lainnya, tetapi biasanya burung terinfeksi dari pertumbuhan jamur yang ada di sekitarnya, terutama dari makanan yang berjamur (HUCHZERMEYER, 1994) . Menurut HUCHZERMEYER (1994) terdapat tiga bentuk infeksi jamur pada burung unta seperti pada uraian di bawah ini 1 . Mikosis pernafasan Infeksi jamur pada saluran pernafasan sering kali menjadi permasalahan pada anakanak burung unta yang mengalami kondisi bu ruk seperti pada malnutrisi . Jamur Aspergillus spp menyebabkan lesi-lesi bernodul pada trakhea, paru-paru dan kantong haws . Sedangkan Nocardial granulomata pernah didiagnosis sebagai penyebab "granulomatous airsaculitis" . Suatu kasus "mikotik rinitis" yang disebabkan oleh jamur Aspergillus spp dan menyebabkan kematian pada burung unta dewasa umur 2 tahun pernah dilaporkan oleh FITZGERALD dan MOISAN (1995) . 2. Mikosis lambung Infeksi oleh jamur Candida spp dapat menyebabkan radang pada proventrikulus (proventrikulitis) . Sedangkan jamur Mucor spp dan Rhizopus oryzae yang merupakan anggota kelompok jamur "Zygomycetes" juga pernah dilaporkan sebagai penyebab wabah mikosis lambung yang dikenal dengan "gastric zygomycosis" . Penyakit yang terakhir ini ditandai dengan terjadinya peradangan pada proventrikulus dan vetrikulus (proventrikulitis dan ventrikulitis) dari burung unta (JEFFREY et al., 1994) . 3. Mikosis kulit Infeksi jamur pada kulit menyebabkan peradangan kulit yang disebut mikotik dermatitis . Renyakit ini pernah dilaporkan terjadi pada bu rung unta muda di Alberta, Kanada ditandai dengan terbentuknya lesi-lesi kasar di daerah sekitar mata dan kemungkinan disebabkan oleh jamur TrichopHyton sp (ONDERKA dan DOORNENBAL, 1992) . 29 DARMlNTo dan SJAMSUL BAHRI Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio camelus) D. PENYAKIT PARASITER Burung unta juga dilaporkan peka terhadap infestasi oleh berbagai agen parasit seperti protozoa, cacing clan ektoparasit . 1 . Parasit Darah Leococytozoon struthionis dan Plasmodium struthionis merupakan parasit darah yang umum ditemukan pada burung unta . L. struthionis umum ditemukan pada anak burung unta di Afrika Selatan yang berumur kurang dari 6 bulan' clan ditularkan oleh lalat (blackflies) dari genus Simuflum spp. Meskipun parasit ini dipercaya tidak ganas (BENNETT et al ., 1992), namun dalam kondisi tertentu megaloschizon dari parasit ini dapat menyebabkan "kematian tinggi pada anak burung unta umur 3 minggu dengan gejala peradangan pada urat daging jantung (myocardium) (HUCHZERMEYER, 1994) . Pada fase parasitemia dari parasit ini, burung unta memperlihatkan gejala anemia yang jelas, karena banyak sel-sel darah merah yang diinfeksi oleh gametocyte parasit ini yang kemudian sel-sel darah merah tersebut dihancurkan oleh mekanisme respon kekebalan tubuh (HUCHZERMEYER, 1994) . Sedangkan invasi oleh malaria (Plasmodium struthionis) umumnya tidak disertai gejala klinis penyakit . 2. Koksidiosis Koksidiosis pada burung unta yang disebabkan oleh lsospora struthionis pernah terjadi pada burung unta yang dipelihara di kebun binatang di Rusia. Sedangkan Koksidiosis yang disebabkan oleh Eimeria spp pernah dilaporkan terjadi pada burung unta di Amerika Utara (JENSEN et al., 1992 ; WADE, 1995) . Menurut HUCHZERMEYER (1994) koksidiosis dari ayam tidak menular ke burung unta, namun lonophore suatu jenis koksidiostat yang aman bagi ayam dan sering digunakan sebagai obat pemacu pertumbuhan pada ruminansia, tidak aman (bersifat racun) bagi burung unta . Burung unta yang diberi obat tersebut mengalami kelumpuhan, ataksia clan akhirnya mati (HUCHZERMEYER, 1994) . 3. Infestasi cacing Cacing Libyostrongylus douglassi merupakan cacing pengisap darah dalam lambung (proventrikulus dan empela) yang menyebabkan reaksi peradangan parah pada lambung dan 30 anemia pada burung unta muda . Berbagai cacing dari famili Filariae dapat ditemukan dalam paru-paru burung unta misalnya Paronchocerca strutthionus, Versternema struthionis, Dicheilonema spicularia clan Struthiofilaria megalocephala . Namun kejadian serangan cacing paru-paru ini sangat jarang . Sedangkan cacing pita yang berhabitat pada usus halus burung unta bernama Houttuynia struthionis . Di Florida, Amerika Serikat, pernah dilaporkan adanya infestasi cacing mata (eye flukes) oleh cacing trematoda yang bernama Philophthalmus gralli . Cacing mata tersebut ditemukan dalam katong konjungtiva dari burung unta yang berumur 5 bulan dengan gejala peradangan parah pada selaput konjungtiva (GREVE clan HARRISON, 1980) . 4. Ektoparasit Burung unta dapat menjadi induk semang dari berbagai ektoparasit (HUCHZERMEYER, 1994), terutama burung-burung yang dipelihara dengan merumput di tanah lapang . Berbagai ektoparasit yang, sering ditemukan pada burung unta di Afrika Selatan antara lain : (1) Kutu Amblyomma spp, Hyalomma spp, Rhipicephalus spp, Argas spp, Otobius spp, (2) Lalat Struthiobosca struthionis clan Simulium spp serta (3) Nyamuk seperti Culicoides spp. Serangan ektoparasit dalam jumlah banyak misalnya oleh kutu Ambyomma spp dilaporkan dapat menyebabkan paralisis (BURGER, 1992) . Umumnya infestasi ektoparasit pada burung unta dikendalikan dengan penyemprotan insektisida golongan organofosfat BURGER, 1992) . KESIMPULAN Dari urain di atas, terlihat bahwa diterimanya burung unta sebagai komoditi peternakan baru di Indonesia, menjadi tantangan bagi ahli peternakan Indonesia untuk mempelajari semua aspek yang berkaitan dengan peternakan burung tersebut, seperti pemuliabiakan (breeding), nutrisi, manajemen clan kesehatan . Sebagaimana spesies burung lainnya, burung unta ternyata juga rentan terhadap berbagai macam penyakit menular yang disebabkan oleh virus, bakteri, mikoplasma, klamidia, parasit dan jamur. Mempelajari penyakit menular pada burung unta sangat penting, bukan saja berguna untuk mengatasi masalah kesehatan hewan burung unta itu sendiri, tetapi juga WARTAZOA Vol. 7 No . 1 Th . 1998 berguna untuk menjaga kesehatan karyawan pekerjanya dan konsumen produknya, karena beberapa penyakit menular tersebut bersifat zoonosis yang dapat menular kepada manusia . Beberapa penyakit zoonosis penting seperti Crimean-Congo haemorrhagic fever dan Eastern equine encephalitis memang belum pernah ada di Indonesia . Oleh sebab itu status bebas Indonesia terhadap kedua penyakit tersebut perlu dipertahankan dengan hanya mengimpor burung unta yang benar-benar bebas dari penyakit tersebut untuk diternakkan di Indonesia . Akhirnya penulis berharapan agar informasi ini dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan pembaca, khususnya bagi yang tertarik pada pengembangan peternakan burung unta . DAFTAR PUSTAKA ALEXANDER, D .J . 1990 . Avianparamyxoviridae . Recent development. Veterinary Microbiology, 23 : 103-114. ALLEN, G. 1995 . Ostrich facility design . Proceeding of the fifth Australian Ostrich Association Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast, Queensland, Australia . pp . 5-10 . BENNETT, G.F ., F.W . HUCHZERMEYER, W.P . BURGER and R.A . FARLE. 1992 . The leucocytozoidae of South Africant birds. Ostrich, 03 : 83-85 . BLACK, D. 1995 . The anatomy and physiology of the ostrich. Proceeding of the fifth Australian Ostrich Association Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast, Queensland, Australia. pp . 11-14. BRUNING, D. 1973 . Breeding and rearing rheas in captivity. International Zoo Year Book, 13 : 163173 . BURGER, W.P . 1992 . Role of management in the epidemiology of disease: therapeutic approaches in the sick birds. Proceeding of the South Africant Veterinary Association . Biennial National Congress . pp . 141-143 . CADMAN, H .F ., P.J .KELLY, R. ZHOU and F. DAVELAAR. 1994 . A survey using ELISA for antibodies against poultry patogens in ostrich from Zimbabwe . Avian Diseases, 38 : 621-625 . DALE, C. 1995 . The Australian ostrich industry-no gamble . Proceeding of the fifth Australian Ostrich Association Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast, Queensland, Australia . pp . 121-122. DARMINTO . 1995 . Diagnosis, Epidemiology and Control of two major avian viral respiratory diseases in Indonesia: Infectious bronchitis and Newcastle disease. PhD thesis . James Cook University of North Queensland, Australia . DARMINTO dan P. RONOHARDJO . 1996 . Karakterisasi isolat-isolat virus Newcastle disease asal wilayah timur Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 12-13 Maret 1996 . Balai Penelitian Veteriner . pp . 104-113. DARMINTO clan S. BAHRI. 1997 . Studi kepekaan burung unta (Struthio camelus) terhadap virus Newcastle disease galur velogenik isolat lokal. Jurnal Ilmu Ternak clan Veteriner, 2(4) : 250257 . DARMINTO, P.W. DANIELS and P. RONOHARDJO .1993 . Studies on the epidemiology of Newcastle disease in eastern Indonesia by serology and characterization of viral isolates using panels of monoclonal antibodies . Penyakit Hewan, 25(46) : 67-75 . DARMINTO, S. BAHRI dan N . SURYANA . 1998 . Transmisi virus Newcastle disease galur velogenik pada burung unta (Struthio camelus) clan pencegahannya dengan vaksinasi . Makalah disampaikan dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner, 18-19 Februari 1998 di Balai Penelitian Veteriner, Bogor. DHARMOJONO . 1997 . Burung unta, penyakitnya? Infovet, 042: 44-45 . apa saja ERASMUS, J. and E. DE V. 1995 . Ostrich Odyssey : A Guide to Ostrich Farming in South Africa . Published by J and R ERASMUS, 44pp . Nylstroom, South Africa . FITZGERALD, S.D . and P. G . MOISON . 1995 . Mycoti c Rhinitis in an ostrich. Avian Diseases, 39 : 194196 . FOGGIN, C.M . 1995 . The ostrich industry in Zimbabwe . Proceeding of the fifth Australian Ostrich Association Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast, Queensland, Australia. pp . 61-68 . FRANK, R.K . and J.W . CARPENTER. 1992 . COronavi r~ I enteritis in an ostrich (Struthio camelus) chick. Journal of Zoo ans wildlive Medicine, 23 : 103107. GREVE, J.H . and G .J . HARRISON . 1990 . Conjunctiviti s caused by eye fluke in captive-reared ostriches. Journal of the American Veterinary Medical Association, 177: 909-910 . Guy, J .S ., J. BARNER and L.G . SMITH. 1994 . Experimental infection of young broiler chickens with Eastrn Equine Encephalitis virus . and Highland J virus . Avian Diseases, 38 :572-582, 31 DARMiNTo dan SJAmsuL BAHRI : Mengenal Penyakit-Penyakit Menular Penting pada Burung Unta (Struthio camelus) HARDJOUTOMO, S dan M . B. POERWADIKARTA . 1995 . Antraks. Petunjuk Teknis Penyakit Hewan . Balai Penelitian Veteriner. pp . 1-7 . HUCHZERMEYER, F.W . 1994 . Ostrich Diseases . Onderstepoort Veterinary Institute, South Africa . 122 pp . JEFFREY, J.S ., R.P. CHIN, H .L . SHIVAPRASAD, C.U . METEVER and R. DROUAL . 1994 . Proventriculitis and ventriculitis associated with zygomycosis in ostrich chicks . Avian Diseases, 38 : 630-634. JENSEN, J.M ., J.H . JOHNSON and S.T . WEINER . 1992 . management of Husbandry and medical ostriches, emus and rheas. Wildlife and exotic animal teleconsultants, College Station, Texas . NATALIA, L., SUDARISMAN dan M. DARODJAT . 1996 . Pencegahan enterotoksemia pada sapi yang ditransportasikan antar pulau . Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 2(1) : 54-59. ONDERKA, D.K . and E.C . DOORNENBAL . 1992 . Mycoti c dermatitis in ostriches. Canadian Veterinary Journal, 33 : 547-548 . SAMBERG, Y., D.U . HADASH, B. PERELMAN and M . MEROZ. 1989 . Newcastle disease in ostrich (Struthio camelus) : Field case and experimental infection. Avian Pathology, 18 : 221-226. SHEPHERD, A.J ., R. SWANEPOEL, P.A . LEMAN and S.P . SHEPHERD . 1987 . Fiel d and laboratory investigation of Crimean-Congo haemorrhagic fever virus (Nairovirus family Bunyaviridae) infection in birds. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and the Hygiene, 81 : 1004-1007. SUTAWI, M .P . 1997 . Mengenal Infovet, 043 : 37 . Burung Unta 2. TULLY, T.N ., S.M . SHANE, R.P . POSTON, J.J . ENGLAND, C.C . VICE, D.Y . CHO and B. PANIGRAHY. 1992 . Eastern Equine Encephalitis in a flock of emus (Dromaius novaehollandiae) . Avian Diseases, 36 : 808-812 . WADE, J .R . 1995 . Chick rearing principles . Proceeding of the fifth Australian Ostrich Association Conference, 4-6th August 1995, Gold Coast, Queensland, Australia. pp . 25-27. WARD, A.R . and B.A . GALLAGHER. 1926 . Diseases of domesticated birds. The Macmillan Company, New York . Chapter XVIII, pp . 226-241 . WESTAWAY, E.G ., M .A . BRINTON, S.Y . GAIDAMOVICH, M.C . HORZINEK, and A. IGAASHI. 1985 . Togaviridae . Intervirology, 24 : 125-139. WORRALL, E.E ., L.NATALIA, P. RONOHARDJO, TARMUJI and S. PARTOUTOMO . 1987 . Enterotoxaemia in water buffaloes caused by Clostridium perfringens type A. Veterinary Record, 121 : 278-279. WEISMAN, Y ., M. MALKINSON, S. PERL, S. MACHANY, A. LUBLIN and E. ASHASH . 1993 . Paresis in young ostriches. Veterinary Record, 132: 284 .