MANAJEMEN NYERI

advertisement
MANAJEMEN NYERI
Kata kunci :
1. Nyeri dapat digolongkan berdasarkan patofisiologi (nyeri nosiseptif dan nyeri
neuropati), etiologi (nyeri post operasi, nyeri akibat kanker), atau daerah yang
terkena ( nyeri kepala, low back pain).
2. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi reseptor nosiseptif
perifer terutama reseptor yang menerima stimulus bahaya (noxious stimuli).
Nyeri neuropati disebabkan oleh trauma atau abnormalitas susunan saraf tepi
atau susunan saraf pusat yang didapat.
3. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus bahaya (noxious
stimuli) yang berkaitan dengan trauma, proses penyakit, atau fungsi otot /
viscera yang abnormal. Nyeri akut hampir selalu merupakan nyeri nosiseptif.
4. Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melebihi normal pada penyakit
akut atau setelah waktu penyembuhan; periode ini dapat bervariasi dari 1
sampai 6 bulan. Nyeri kronik dapat termasuk nyeri nosiseptif, neuropati atau
campuran.
5. Modulasi nyeri terjadi di nosiseptif perifer, medula spinalis, atau struktur
supraspinal. Selain dapat menghambat (supresi), modulasi juga dapat
memfasilitasi (memperburuk) nyeri.
6. Nyeri akut sedang sampai berat, tanpa melihat lokasinya, dapat mempengaruhi
fungsi organ di sekitarnya dan dapat berpengaruh buruk terhadap morbiditas
dan mortalitas post operasi.
7. Blokade neural dengan anestesi lokal dapat bermanfaat untuk menggambarkan
mekanisme nyeri, tapi yang lebih penting adalah peran utamanya dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran saraf simpatis
dan jalurnya dapat dievaluasi.
8. Antidepresan biasanya paling berguna untuk pasien nyeri neuropati seperti
neuralgia post herpetic dan neuropati diabetika. Antidepresan menunjukkan
efek analgetik pada dosis di bawah dosis yang dibutuhkan untuk efek
antidepresan.
1
9. Antikonvulsan bermanfaat untuk pasien dengan nyeri neuropati, khususnya
neuralgia trigeminal dan neuropati diabetika.
10. Stimulasi medulla spinalis paling efektif untuk nyeri neuropati. Mekanisme
yang diajukan termasuk aktivasi sistem modulasi yang descenden dan inhibisi
efek simpatis. Indikasinya adalah nyeri yang diperantarai oleh saraf simpatis,
lesi medula spinalis dengan nyeri segmental, phantom limb pain, nyeri
iskemik ekstremitas bawah yang berkaitan dengan penyakit vaskuler perifer,
dan arachnoiditis adhesif.
11. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan analgetik memiliki keefektifan
biaya yang menghasilkan efek analgesik lebih nyata dan kepuasan pasien yang
tinggi. Konsumsi total obat lebih sedikit dibanding injeksi intramuskuler.
Penggunaan infus masih kontroversial.
12. Pemberian campuran anestesi lokal dengan opioid secara neuroaksial
(terutama epidural) adalah teknik sempurna untuk mengelola nyeri post
operasi abdomen, pelvic, thorak, dan orthopedi di ekstremitas bawah. Pasien
lebih terjaga fungsi paru-parunya sehingga lebih cepat mendapat ambulatori
dan manfaat terapi/rehabilitasi yang lebih awal. Resiko trombosis vena post
operasi lebih kecil.
13. Efek samping paling serius dari opioid intratekal atau epidural tergantung
dosis, berupa depresi napas yang terlambat. Kebanyakan kasus depresi napas
serius terjadi pada pasien yang mendapat opioid parenteral bersamaan dengan
sedative. Pasien tua dan dengan gejala sleep apnea mudah terkena dan perlu
dikurangi dosisnya.
14. Ketergantungan fisik terjadi pada pasien dengan dosis opioid tinggi dalam
jangka waktu lama. Gejala ketergantungan (withdrawal phenomenon) dapat
dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid.
15. Faktor pencetus multipel dapat merangsang nyeri simpatis dimana sering salah
diagnosis. Pasien sering merespon berlebihan terhadap blok simpatis.
Mungkin sekali angka penyembuhannya tinggi (lebih dari 90%) jika
pengobatan diberikan dalam 1 bulan dari munculnya gejala dan berkurang
sejalan dengan waktu.
2
Nyeri-gejala paling sering yang membawa pasien datang berobat- hampir
selalu sebagai manifestasi proses patofisiologi. Berbagai rencana pengobatan
untuk mengatasi nyeri harus langsung menuju penyakit yang mendasarinya.
Pasien biasanya dirujuk dokter puskesmas ke spesialis ketika diagnosis telah
ditegakkan dan pengobatan penyakit yang mendasari dimulai. Perkecualian untuk
pasien dengan nyeri kronik dimana penyebabnya tidak jelas melalui anamnesis;
tidak termasuk penyakit serius dan mengancam jiwa.
Istilah
“manajemen
nyeri”
pada
umumnya
digunakan
di
bidang
anestesiologi, tapi penggunaannya terbatas pada manajemen nyeri di luar kamar
operasi. Secara luas dibagi menjadi manajemen nyeri akut dan kronik. Bentuk
primer pada pemulihan pasien dari operasi atau penyakit akut di rumah sakit
dimana di kemudian hari termasuk bermacam-macam kelompok pasien di luar
golongan. Sayangnya, perbedaannya tipis sekali karena terjadi overlap, sebagai
contoh adalah pasien kanker yang sering mendapat manajemen nyeri jangka lama
dan jangka pendek, baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
Praktek penanganan nyeri tidak hanya terbatas pada anesthesiologist, tapi
juga praktisi lain seperti dokter (internis, onkologis, dan neurologist) dan bukan
dokter (psikolog, chiropraktor, akupunturis, hipnotis). Pendekatan paling efektif
adalah pendekatan multidisiplin, dimana pasien diperiksa oleh dokter (case
manager) yang memimpin pemeriksaan awal dan merencanakan pengobatan, siap
melayani dan menjadi sumber bagi spesialis lain. Terlebih lagi, case manager dan
konsultan-konsultan bertemu secara teratur di konferensi formal untuk
mendiskusikan pasien. Klinik khusus nyeri cenderung merupakan suatu sindrom
atau orientasi modalitas. Bentuk spesialisasi yaitu nyeri punggung kronik, nyeri
kepala, disfungsi sendi temporomandibular, yang akhir-akhir ini ditawarkan
adalah akupuntur, blok saraf, hipnosis, dan biofeedback.
Anestesiologist
diajarkan
manajemen
nyeri
untuk
mengkoordinasi
penanganan nyeri multidisiplin karena keragaman pasien mulai dari pembedahan,
obstetrik, pediatrik, sampai sub spesialisasi, seperti keahlian farmakologi dan
penerapan neuroanatomi, termasuk penggunaan blokade saraf tepi dan pusat.
3
Definisi dan Klasifikasi Nyeri
Seperti rasa sadar, persepsi nyeri normal tergantung neuron khusus yang
berfungsi sebagai reseptor, mendeteksi stimulus, kemudian ditransduksi dan
menyampaikan ke sistem saraf pusat. Sensasi sering digambarkan sebagai
protopatik (noxious) atau epikritik (non-noxious). Sensasi epikritik (panas,
tekanan, proprioseptif, dan perbedaan suhu) ditandai dengan ambang reseptor
rendah dan umumnya oleh serabut saraf myelin besar. Sebaliknya, sensasi
protopatik (nyeri) dikarenakan ambang reseptor tinggi dan diperantarai oleh
serabut saraf kecil, sedikit myelin (Aδ) dan tidak bermielin (C).
Apakah nyeri itu?
Nyeri tidak hanya perasaan sensoris tapi juga pengalaman. International
Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai ‘pengalaman
sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan potensial
kerusakan jaringan atau trauma, atau menggambarkan istilah berbagai kerusakan’.
Definisi tersebut mengakui hubungan antara obyektifitas, fisiologi nyeri,
subyektifitas, emosional, serta kondisi kejiwaan. Respon terhadap nyeri dapat
sangat bervariasi pada tiap orang, pada orang yang sama di lain waktu.
Istilah nosiseptif berasal dari kata noci (kerusakan atau luka) digunakan
untuk menggambarkan saraf hanya merespon trauma atau stimulus berbahaya.
Semua nosiseptif menyebabkan nyeri tapi tidak semua nyeri berasal dari
nosiseptif. Banyak rasa nyeri tidak ada stimulus nosiseptif. Oleh karena itu, secara
klinis nyeri dibagi menjadi 2 kategori; 1. nyeri akut, nosiseptif, 2. nyeri kronik,
dapat nosiseptif tapi kondisi kejiwaan dan kebiasaan sering berperan penting.
Tabel
18-1
menerangkan
istilah-istilah
yang
sering
digunakan
untuk
mendeskripsikan nyeri.
Nyeri juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi (nosiseptif atau
neuropati), etiologi (post operasi atau kanker), atau daerah yang terkena (nyeri
kepala, low back pain). Klasifikasi berguna untuk pemilihan modalitas dan terapi
medikamentosa. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau perangsangan
4
saraf nosiseptif perifer, khususnya reseptor yang mentransduksi stimulus bahaya.
Nyeri neuropati disebabkan oleh luka atau abnormalitas saraf pusat atau tepi.
A. Nyeri Akut
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh stimulus
bahaya yang berkaitan dengan luka, proses penyakit, atau abnormalitas fungsi otot
atau viscera. Biasanya bersifat nosiseptif. Nyeri nosiseptif mendeteksi,
melokalisir, dan membatasi kerusakan jaringan. 4 proses fisiologi yang terlibat
yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Tipe ini berhubungan dengan
stres neuroendokrin yang sesuai intensitas. Bentuk-bentuk paling sering adalah
post traumatik, post operasi, nyeri obstetri, nyeri yang berkaitan dengan penyakit
akut seperti infark miokard, pankreatitis, dan renal calculi. Sebagian besar sembuh
sendiri atau membaik dengan pengobatan dalam beberapa hari atau minggu.
Ketika nyeri tidak membaik karena gangguan penyembuhan dan terapi tidak
adekuat, nyeri menjadi kronik. 2 tipe nyeri nosiseptif yaitu somatis dan visceral
dibedakan berdasarkan asal dan gambaran klinis.
1. Nyeri Somatis
Nyeri somatis dapat dibagi lagi menjadi superficial dan profunda.
Nyeri somatik superficial berkaitan dengan input nosiseptif kulit, jaringan
subkutan, dan membran mukosa. Nyeri ini ditandai dengan lokasi dan
diskripsi seperti tersayat, tertusuk, berdenyut, atau sensasi terbakar.
Nyeri somatik profunda berasal dari otot, tendo, sendi, atau tulang.
Tidak seperti nyeri superficial, nyeri ini biasanya tumpul, kualitas nyeri dan
lokasi kurang jelas. Gambaran klinis baik intensitas maupun durasi stimulus
mempengaruhi derajat lokalisasi. Sebagai contoh, nyeri karena trauma kecil
di sendi elbow (siku) akan terlokalisir di siku, tapi trauma berat atau trauma
yang terus menerus akan menyebabkan nyeri di seluruh lengan.
2. Nyeri Viscera
Nyeri viscera berkaitan dengan proses penyakit atau abnormalitas
fungsi dari organ internal atau yang meliputinya (misal pleura parietal,
perikardium, peritoneum). 4 sub tipe : nyeri viscera sesungguhnya, nyeri
parietal, nyeri alih viscera, dan nyeri alih parietal. Nyeri viscera
5
sesungguhnya bersifat tumpul, difus, dan biasanya di linea mediana. Sering
berkaitan dengan abnormalitas aktivitas simpatis atau parasimpatis sehingga
menyebabkan nausea, vomitus, berkeringat, dan perubahan tekanan darah
dan nadi. Nyeri parietal bersifat tajam dan sering digambarkan sebagai
sensasi ditikam di area sekitar organ atau beralih ke tempat lain. Fenomena
nyeri viscera dan parietal beralih ke kutan karena pola perkembangan
embriologi dan migrasi jaringan, konvergensi input aferen viscera dan
somatis ke sistem saraf pusat. Nyeri yang berhubungan dengan proses
penyakit melibatkan peritoneum atau pleura di atas diafragma sentral akan
nyeri alih ke leher dan bahu, dimana penyakit yang mempengaruhi
permukaan parietal dari tepi diafragma akan nyeri alih ke dada atau dinding
perut atas.
B. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melebihi normal pada
penyakit akut atau setelah waktu penyembuhan; periode ini dapat bervariasi
dari 1 sampai 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropati atau
campuran. Yang membedakan adalah keadaan psikologi atau faktor
lingkungan yang sering berperan penting. Pasien dengan nyeri kronik sering
tanpa atau sedikit mengalami respon terhadap tekanan neuroendokrin,
gangguan tidur dan afektif (mood) yang mencolok. Nyeri neuropati bersifat
paroksismal, sensasi terbakar dan berhubungan dengan hiperpatia. Ketika
nyeri dihubungkan dengan kehilangan input sensori (misal amputasi) ke
sistem saraf pusat maka disebut ’deafferentation pain’. Jika saraf simpatis
dominan, maka sering disebut nyeri simpatis.
Bentuk nyeri kronik paling sering adalah nyeri yang berkaitan dengan
gangguan muskuloskeletal, gangguan viscera kronik, lesi saraf perifer, batang
saraf, dan ganglia dorsalis (termasuk neuropati diabetika, causalgia, phantom
limb pain, dan neuralgia postherpetik), lesi sistem saraf pusat (stroke, trauma
medula spinalis, multipel sklerosis), dan nyeri karena kanker. Nyeri karena
gangguan muskuloskeletal (misal artritis reumatoid dan osteoartritis) bersifat
nosiseptif sedangkan nyeri akibat lesi saraf perifer atau sentral bersifat
6
neuropati. Nyeri karena beberapa gangguan, misalnya kanker, low back pain
kronik (khususnya setelah operasi) bersifat campuran. Beberapa klinisi
menggunakan istilah nyeri jinak kronik ketika nyeri tidak disebabkan oleh
kanker. Hal ini mengecilkan hati karena nyeri tidak pernah jinak dari
anamnesis pasien tanpa memandang penyebabnya.
ANATOMI DAN FISIOLOGI NOSISEPTIF
Mekanisme Nyeri
Untuk mempermudah ilustrasi, nyeri dikonduksi di 3 jalur neuron yang
mentransmisi stimulus bahaya dari perifer menuju cortex cerebri (gambar 18-1).
Neuron aferen primer terletak di dorsal ganglia pada foramina vertebralis di setiap
ruas medula spinalis. Setiap neuron mempunyai akson tunggal yang bercabang,
satunya menginervasi jaringan perifer dan lainnya masuk ke dorsal vertebra. Di
dorsal vertebra, neuron aferen primer bersinapsis dengan neuron sekunder yaitu
akson yang melalui linea mediana dan naik melalui traktus spinotalamikus
kontralateral menuju thalamus. Neuron sekunder bersinap di nukleus thalamikus
dengan neuron tersier yang mengirim proyeksi melalui kapsula interna dan corona
radiata menuju girus postsentralis di kortek cerebri.
Neuron Primer
Mayoritas neuron primer berada dari ujung proksimal akson sampai medulla
spinalis melalui dorsal batang spinal (sensoris) di tiap vertebra cervical, thorakal,
lumbalis dan sakralis. Serabut saraf aferen tak bermielin masuk medulla spinalis
melalui medulla spinalis ventralis (motorik), berdasar observasi dimana beberapa
pasien tetap merasa nyeri meski telah transeksi medulla spinalis dorsalis
(rhizotomi) dan terjadi nyeri setelah stimulasi medulla spinalis ventralis. Akson
neuron primer bersinapsis dengan interneuron, saraf simpatis, dan motor neuron
medulla spinalis ventralis.
Nyeri dari kepala dibawa oleh nervus trigeminal (V), facial (VII),
glosofaringeal (IX), dan vagal (X). Ganglion gasserian terdiri dari sel bodi saraf
sensoris optalmikus, maksilaris, dan mandibular, bagian dari nervus trigeminal.
Sel bodi neuron aferen primer nervus facialis terletak di ganglion genikulatum
dimana nervus glosofaringeal dan ganglion petrosa berada di atasnya, nervus
7
vagal terletak di ganglion jugularis (somatik) dan ganglion nodusum (visceral).
Akson proksimal memproses neuron primer di ganglia tersebut dan mencapai
nukleus brain stem melalui nervus cranialis yang masing-masing bersinaps
dengan neuron sekunder di nukleus brain stem.
Neuron Sekunder.
Ketika serabut aferen memasuki medulla spinalis, mereka dipisahkan
berdasarkan ukuran, serabut besar bermielin di medial sedangkan serabut kecil
tidak bermielin di lateral. Rasa nyeri dapat naik atau turun 1 sampai 3 segmen
tractus dorsolateralis medula spinalis sebelum bersinapsis dengan neuron
sekunder di substansi grisea (gray area) pada ipsilateral ganglion dorsalis. Mereka
berhubungan dengan neuron sekunder melalui interneuron.
Substansia grisea medulla spinalis dibagi oleh Rexed menjadi 10 lamina
(gambar 18-3 dan tabel 18-3). 9 lamina pertama yang dibangun dari medula
spinalis dorsalis menerima semua aktivitas neural aferen dan menunjukkan lokasi
modulasi nyeri melalui mekanisme neural. Neuron sekunder adalah neuron
nosiseptif spesifik atau wide dynamic range (WDR). Neuron nosiseptif spesifik
hanya menerima rangsangan bahaya tapi neuron WDR juga menerima input
rangsang aferen non-noxious dari Aß, Aδ, dan serabut C. Neuron nosiseptif
spesifik tersusun secara somatotopikal di lamina I dan mempunyai ciri tersendiri.
Daerah reseptor somatik biasanya tenang dan hanya berespon terhadap rangsang
bahaya tingkat tinggi, kurang baik menyandikan intensitas rangsang. Neuron
WDR adalah tipe sel paling banyak di medula spinalis dorsalis. Meskipun
ditemukan di luar medulla spinalis dorsalis, neuron WDR paling banyak di lamina
V. Selama rangsang berulang, neuron WDR ditandai dengan peningkatan
loncatan/tembakan secara eksponen (memutar), bahkan dengan intensitas
rangsang yang sama. Mereka juga memiliki area reseptor yang lebih luas
dibanding neuron spesifik nosiseptif.
Kebanyakan serabut C nosiseptif berjalan kolateral atau berhenti di neuron
sekunder lamina I dan II, serta sedikit yang menuju lamina V. Sebaliknya, serabut
nosiseptif Aδ terutama bersinap di lamina I dan V, serta sedikit di lamina X.
Lamina I merespon primer terhadap stimulus nosiseptif berbahaya dari jaringan
8
somatik kutaneus dan jaringan di bawahnya. Lamina II juga disebut substansia
gelatinosa terdiri dari berbagai interneuron dan dipercayai berperan penting dalam
memproses dan memodulasi input nosiseptif dari nosiseptor kutaneus. Lamina II
diperhatikan karena diduga sebagai tempat utama aktivasi oleh opioid. Lamina III
dan IV memperoleh input sensoris non nosiseptif. Lamina VIII dan IX menyusun
medula spinalis anterior (motorik). Lamina VII disebut columna intermediolateral
dan tersusun atas sel bodi preganglionik saraf simpatis.
Aferen visceral berakhir di lamina V dan sedikit di lamina I. Kedua lamina
tersebut menunjukkan poin konvergensi sentral antara input somatik dan visceral.
Lamina V respon terhadap input sensoris bahaya dan bukan bahaya serta
menerima nyeri aferen somatis dan visceral. Fenomena konvergensi antara input
sensoris somatik dan visceral bermanifestasi secara klinis sebagai nyeri alih (tabel
18-2). Dibanding serabut somatis, serabut nosiseptif visceral lebih sedikit, lebih
tersebar luas, mengaktivasi sejumlah neuron spinal secara proporsional, dan tidak
tersusun secara somatotopikal.
A. Traktus Spinothalamikus
Akson neuron sekunder menyilang linea mediana mendekati tingkatan mereka
(di komisura anterior) ke sisi kontralateral medula spinalis sebelum
membentuk traktus spinotalamikus dan mengirim serabut saraf menuju
thalamus, formatio retikularis, nukleus raphe magnus, dan periaqueductal
gray. Traktus spinothalamikus, yang dianggap sebagai jalur nyeri utama,
terbentang anterolateral dari area putih medula spinalis (gambar 18-4). Traktus
yang ascenden dapat dibagi menjadi 2 menjadi traktus lateral dan traktus
medial. Traktus spinothalamikus lateralis (neospinothalamikus) memproyeksi
terutama ke nukleus posterolateral ventral thalamus dan membawa perbedaan
aspek nyeri seperti lokasi, intensitas, dan durasi. Traktus spinothalamikus
medial (paleospinothalamikus) menuju thalamus medial dan bertanggung
jawab memperantarai persepsi nyeri sebagai emosional yang tidak
menyenangkan dan autonom. Beberapa saraf spinothalamicus juga menuju
periaqueduktus gray dan mungkin hubungan penting antara jalur ascenden
dan descenden. Serabut kolateral memproyeksi ke sistem aktivasi retikular dan
9
hipothalamus yang bertanggung jawab terhadap timbulnya respon terhadap
nyeri.
B. Jalur Nyeri Alternatif
Sebagai sensasi epikritik, serabut nyeri ascenden secara difus, ipsilateral, dan
kontralateral; oleh karena itu beberapa pasien tetap merasa nyeri setelah
mengalami ablasi traktus spinothalamikus kontralateral. Jalur nyeri ascending
lain juga penting. Traktus spinoretikuler diperkirakan memperantarai
timbulnya respon otonom terhadap nyeri. Traktus spinomesencephali penting
untuk mengaktifasi antinosiseptif, jalur descenden, karena memiliki proyeksi
di periaqueduktus gray. Traktus spinohipothalamikus dan spinotelencephali
mengaktifasi
hipotalamus
dan
membangkitkan
emosional.
Traktus
spinocervical ascenden tidak menyilang nukleus cervikal lateral yang
membawa ke thalamus kontralateral. Traktus ini sepertinya jalur alternatif
nyeri yang utama. Akhirnya, beberapa saraf di columna dorsalis (yang
terutama membawa rangsangan ringan dan propioseptif) merespon nyeri,
mereka naik secara medial dan ipsilateral.
C. Integrasi dengan Saraf Simpatis dan Sistem Motoris
Aferen somatis dan visceral berintegrasi dengan motorik skeletal dan sistem
simpatis di medula spinalis, brain stem, dan pusat yang lebih tinggi. Neuron
aferen medula spinalis dorsalis bersinaps langsung dan tidak langsung dengan
motor neuron medula spinalis anterior. Sinaps ini bertanggung jawab terhadap
reflek otot baik normal maupun abnormal, yang berkaitan dengan nyeri. Pada
tingkatan yang sama, sinaps antara neuron nosiseptif aferen dan neuron
simpatis di columna intermediolateralis menyebabkan reflek simpatis
sehingga terjadi vasokonstriksi, spasme otot halus, dan pelepasan katekolamin
baik lokal maupun dari medula adrenal.
Neuron Tersier
Neuron tersier terletak di thalamus dan menuju area somatosensori I dan II di
girus postsentralis pada korteks parietal dan dinding superior sulcus lateralis
cerebri. Persepsi dan perbedaan lokasi nyeri berada di area kortikal. Sebagian
besar neuron berasal dari nukleus thalamikus lateral menuju korteks
10
somatosensori primer, sedangkan yang dari nukleus intralaminar dan medial
menuju girus cinguli anterior, memperantarai penderitaan dan emosional karena
nyeri.
FISIOLOGI NOSISEPTIF
1.
Nosiseptor
Nosiseptor ditandai dengan nilai ambang tinggi untuk aktivasi dan
menyusun intensitas stimulasi dengan meningkatkan jumlah discharge sesuai
derajat. Stimulus berulang ditunjukkan dengan adaptasi, sensitisasi, dan
discharge yang terlambat.
Rangsang noxious dibagi menjadi 2 komponen : tajam, cepat diketahui
lokasinya dengan baik (nyeri primer) yang dibawa dengan cepat (0,1 detik)
oleh serabut Aδ (diuji oleh pinprick) dan nyeri tumpul, onset lama dan sering
kurang diketahui lokasinya (nyeri sekunder) yang dibawa oleh serabut C.
Sensasi epikritik ditranduksi oleh organ akhir khusus di neuron aferen
(korpuskel pacini untuk sentuhan). Sebaliknya, sensasi protopatik ditransduksi
oleh akhiran saraf bebas.
Nosiseptor pada umumnya merupakan akhiran saraf bebas yang merasakan
panas, kerusakan jaringan mekanis dan kimiawi. Tipe nosiseptor yaitu (1)
mekanonosiseptor yang berespon terhadap cubitan atau tusukan, (2) nosiseptor
diam yang hanya berespon jika terdapat inflamasi, (3) nosiseptor mekanik
polimodal. Tipe terakhir paling banyak dijumpai dan berespon terhadap tekanan
yang berlebihan, suhu yang ekstrem ( >42 0 C dan <180 C), dan alogen (nyeri
menghasilkan substansi-substansi). Minimal 2 reseptor nosiseptor (saluran ion
di akhiran saraf) sudah diketahui yaitu VR-1 dan VRL1. keduanya merespon
terhadap suhu tinggi. Alogen termasuk bradikinin, histamin, serotonin
(5hidroksitriptamin atau 5-HT), H+, K+, beberapa prostaglandin dan mungkin
adenosin trifosfat. Capsaicin merangsang reseptor VR1. Nosiseptor polimodal
lambat beradaptasi terhadap tekanan yang kuat dan sensitisasi panas.
Nosiseptor Cutaneus
Nosiseptor terdapat di jaringan somatik dan visceral. Neuron aferen primer
mencapai jaringan melalui saraf spinal somatik, simpatis, atau parasimpatis.
11
Nosiseptor somatik termasuk kulit (kutaneus) dan jaringan dalam (otot, tendo,
fascia, dan tulang) sedang nosiseptor viscera di organ dalam. Kornea dan pulpa
gigi sangat unik, mereka secara khusus diinervasi oleh nosiseptif Aδ dan serabut
C.
Nosiseptor Somatik Dalam
Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif terhadap rangsang noxious dibanding
nosiseptor kutaneus tapi mudah tersensitisasi oleh inflamasi. Nyeri yang timbul
dari nosiseptor ini bersifat tumpul dan kurang diketahui letaknya. Nosiseptor
spesifik terletak di otot dan kapsul sendi, mereka merespon terhadap rangsangan
mekanis, suhu, dan kimiawi.
Nosiseptor Visceral
Organ viscera umumnya tidak sensitif yang banyak mengandung nosiseptor
diam. Beberapa organ mempunyai nosiseptor spesifik seperti jantung, paru-paru,
testis, dan kantong empedu. Organ lainnya seperti intestinum diinervasi oleh
nosiseptor polimodal yang merespon dengan spasme otot halus, iskemia, dan
inflamasi (alogen). Reseptor ini umumnya tidak merespon terhadap sayatan,
terbakar atau kerusakan yang terjadi selama operasi. Beberapa organ seperti
otak kekurangan nosiseptor tapi mening otak menutupi kebutuhan nosiseptor.
Seperti nosiseptor somatik, di viscera adalah akhiran saraf bebas dari neuron
aferen primer dimana sel bodi tersebar di medula spinalis dorsalis. Serabut
aferen secara teratur berjalan dengan saraf eferen simpatis untuk mencapai
viscera. Aktifitas aferen memasuki medula spinalis antara T1 sampai L2.
Serabut C nosiseptor dari esofagus, laring, dan trakea berjalan dengan nervus
vagus masuk nukleus solitarius di brain stem. Serabut nyeri aferen dari kandung
kemih, prostat, rektum, servik, uretra, dan genetalia menuju medula spinalis
melalui saraf parasimpatis S2-S4. Serabut neuron aferen viscera primer masuk
medula spinalis dan bersinapsis lebih difus dengan serabut tunggal, sering
bersinaps dengan dermatom multipel dan menyilang ke medulla spinalis dorsalis
kontralateral.
12
2.
Mediator kimiawi nyeri
Fungsi beberapa neuropeptida dan asam amino eksitatori adalah sebagai
neurotransmiter untuk neuron aferen yang mendapat rangsang nyeri (tabel 184). Neuron terdiri dari lebih dari 1 nuerotransmiter yang dilepas secara simultan.
Peptida paling penting adalah substansi P (sP) dan calcitonin yang berhubungan
dengan peptide (CGRP). Glutamat adalah asam amino eksitatori paling penting.
Substansi P adalah 11 peptida asam amino yang disintesis dan dilepas oleh
neuron primer perifer dan medula spinalis dorsalis. Substansi P adalah salah satu
dari 9 peptida tachykinin yang berbagi rangkaian karboksil asam amino.
Substansi P juga ditemukan di bagian lain dari sistem nervus dan intestinum,
transmisi nyeri melalui aktivasi reseptor NK-1. Di perifer, neuron sP berjalan
kolateral yang hampir berdekatan dengan pembuluh darah, kelenjar keringat,
folikel rambut, dan sel mast di dermis. Substansi P merangsang nosiseptor,
degranulasi histamin dari sel mast dan 5 HT dari platelet dan vasodilatator poten
serta penarik leukosit. Substansia P melepas neuron juga menginervasi viscera
dan kolateral ke ganglia simpatis paravertebralis, stimulasi kuat dari viscera,
oleh karena itu dapat menyebabkan langsung discharge simpatis postganglionik.
Opioid dan reseptor adrenergik-a2 ditemukan di atau dekat akhiran nervus
perifer tak bermielin. Meskipun secara fisiologis belum jelas, sekarang
dilakukan analgesia dengan opioid terutama jika terdapat inflamasi.
3.
Modulasi nyeri
Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor, di medula spinalis, atau di
supra spinal. Modulasi dapat menghambat (inhibisi) atau merangsang
(mempercepat) terjadinya nyeri.
Modulasi Perifer
Nosiseptor dan neuronnya menunjukkan sensitisasi setelah mengalami rangsang
berulang. Sensitisasi dapat bermanifestasi sebagai sebuah respon tinggi terhadap
rangsang bahaya atau kemampuan reaksi yang baru saja diperoleh ke jangkauan
stimulus yang lebih luas termasuk stimulus bukan bahaya.
13
A. Hiperalgesia primer.
Sensitisasi
nosiseptor
menurunkan
nilai
ambang,
peningkatan
frekuensi respon terhadap intensitas stimulus yang sama, penurunan waktu
respon, dan kemunculan spontan bahkan setelah penghentian rangsang
(afterdischarge). Sensitisasi biasa terjadi akibat luka dan terkena panas.
Hiperalgesia primer diperantarai dengan pelepasan alogen dari kerusakan
jaringan. Histamin dilepas oleh sel mast, basofil, dan platelet sedangkan
serotonin dilepaskan oleh sel mast dan platelet. Bradikinin dilepaskan dari
kerusakan jaringan setelah aktifasi faktor XII. Bradikinin mengaktifasi
akhiran saraf bebas melalui reseptor spesifik (B1 dan B2).
Prostaglandin diproduksi setelah kerusakan jaringan melalui aksi
fosfolipase A2 pada fosfolipid yang dilepas dari membran sel untuk
membentuk asam arakidonat. Jalur siklooksigenase berubah menjadi
endoperoksida yang ditrasformasi menjadi prostasiklin dan prostaglandin E2
(PGE2). PGE 2 secara langsung mengaktifasi akhiran saraf bebas, dimana
prostasiklin menyebabkan bradikinin berlimpah. Jalur lipoksigenase
merubah asam arakidonat menjadi komponen hidroperoksida yang
kemudian diubah menjadi leukotrien. Obat-obat farmakologi seperti asam
asetil salisilat (ASA atau aspirin), asetaminofen, dan obat antiinflamasi non
steroid (NSAID) mempunyai efek analgetik karena inhibisi COX. Efek
analgetik kortikosteroid karena menghambat produksi prostaglandin melalui
blokade aktifasi fosfolipase A2.
B. Hiperalgesi Sekunder
Inflamasi neurogenik juga disebut hiperalgesia sekunder berperan
penting pada sensitisasi perifer karena trauma. Hal tersebut bermanifestasi
sebagai trias respon yaitu memerah di sekitar tempat luka, edem jaringan
lokal, dan sensitisasi stimulus bahaya. Hiperalgesia sekunder berkaitan
dengan pelepasan antidromik sP (dan mungkin CGRP) dari akson kolateral
neuron aferen primer. Substansi P menghasilkan histamin dan 5HT,
vasodilatasi pembuluh darah, edem jaringan, dan menginduksi pembentukan
leukotrien. Respon saraf (1) disebabkan oleh stimulasi antidromik nervus
14
sensori, (2) tidak ditemukan pada kulit yang tidak diinervasi, dan (3)
dikurangi oleh injeksi anestesi lokal seperti lidokain. Capsaicin berasal dari
Hungarian Red Pepper, degranulasi dan deplesi sP. Jika digunakan topikal,
capsaicin mengurangi inflamasi neurogenik dan bermanfaat bagi pasien
neuralgia post herpetik.
Modulasi Sentral
A. Fasilitasi
Sedikitnya 3 mekanisme sensitisasi pusat di medula spinalis :
1. Penghentian dan sensitisasi neuron sekunder. Neuron WDR meningkatkan
frekuensi pelepasan substansi dengan stimuli ulangan yang sama, substansi
yang lebih bertahan lama bahkan setelah input saraf C aferen dihentikan.
2. Perluasan daerah reseptor. Neuron medula spinalis dorsalis meningkatkan
daerah reseptif seperti neuron yang berdekatan menjadi resposif terhadap
stimuli (baik bahaya maupun tidak) yang sebelumnya tidak responsif.
3. Hipereksitabilitas reflek fleksi. Peningkatan reflek fleksi terjadi ipsilateral
dan kontralateral.
Mediator neurokimiawi sensitisasi pusat antara lain adalah sP, CGRP,
peptida intestinal vasoaktif (VIP), kolesistokinin(CCK), angotensin, dan
galanin, seperti asam amino eksitatori L-Glutamat dan L-aspartat. Mediator
tersebut merangsang perubahan eksitabilitas membran dengan berinteraksi
dengan protein G-reseptor membran di neuron, mengaktifasi pembawa
sekunder intraseluler, yang mengubah protein fosforilat. Mekanisme yang
biasa terjadi adalah peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. (gambar
18-5)
Glutamat dan aspartat berperan penting dalam penghentian melalui
aktivasi mekanisme reseptor N-metil D aspartat (NMDA) dan non NMDA.
Asam amino ini diduga bertanggung jawab terhadap induksi dan
maintenance sensitisasi sentral. Aktifasi reseptor NMDA meningkatkan
konsentrasi kalsium intraseluler di neuron spinal dan mengaktifasi
fosfolipase C (PLC). Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler
15
mengaktifasi
fosfolipase
A2
(PLA2),
mengkatalisis
perubahan
fosfatidilkolin (PC) menjadi asam arakidonat (AA), dan menginduksi
pembentukan
prostaglandin.
Fosfolipase
C
mengkatalisis
hidrolisis
fosfatidilinositol 4,5 bifosfat (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan
diasilgliserol (DAG) yang berfungsi sebagai pembawa sekunder; DAG
mengaktifasi protein kinase C (PKC).
Aktifasi reseptor NMDA juga menginduksi sintetase nitrit okside
sehingga
terbentuk
nitrit
okside.
Prostaglandin
dan
nitrit
okside
memfasilitasi pelepasan asam amino eksitator di medula spinalis. Inhibitor
COX seperti ASA dan NSAID juga menunjukkan efek analgetik di medula
spinalis.
B. Inhibisi
Transmisi input nosiseptif di medula spinalis dapat dihambat oleh
aktifitas medula spinalis segmental seperti aktifitas neural descenden dari
supraspinalis.
1.
Inhibisi segmental
Sensitisasi serabut aferen besar oleh sensasi epikritik menghambat
neuron WDR dan aktifitas traktus spinotalamikus. Aktivasi stimulus
bahaya di bagian tubuh yang tidak berhubungan menghambat neuron
WDR di tingkat lain, misalnya nyeri di suatu bagian tubuh akan
menghambat nyeri di bagian lain. Keduanya mendukung teori ’gate’
bahwa nyeri diproses di medula spinalis.
Glisin dan asam γ aminobutirit (GABA) adalah asam amino yang
berfungsi sebagai neurotransmiter inhibitor. Mereka berperan penting
dalam inhibisi segmental nyeri di medula spinalis. Antagonis glisin dan
GABA memfasilitasi neuron WDR dan menyebabkan terjadinya alodinia
dan hiperestesia. Ada 2 tipe reseptor GABA : GABA A, agonisnya
muscimol, GABAB dimana baclofen sebagai agonis. Inhibisi segmental
diperantarai oleh aktifitas reseptor GABAB yang meningkatkan konduksi
K+ menyeberangi membran sel. Fungsi reseptor GABAA sebagai saluran
K+ yang meningkatkan konduksi Cl- melewati membran sel. Benzodiazepin
16
mempercepat aksi ini. Aktivasi reseptor glisin juga meningkatkan
konduksi Cl- melewati membran sel neuron. Striknin dan tetanus toxoid
adalah antagonis reseptor glisin. Aksi glisin lebih komplek dibanding
GABA karena juga mempunyai efek fasilitator pada reseptor NMDA.
Adenosin memodulasi aktifitas nosiseptif di medula spinalis dorsalis.
Sedikitnya 2 reseptor yang diketahui yaitu A1 (menghambat adenilsiklase)
dan A2 (menstimulasi adenilsiklase). Reseptor A1 memperantarai aksi
antinosiseptif adenosin. Metilxantin dapat mengembalikan efek ini melalui
inhibisi fosfodiesterase.
2.
Inhibisi supraspinal
Beberapa struktur supraspinal mengirim serabut saraf menuju medula
spinalis untuk menghambat nyeri di medula spinalis dorsalis. Tempat
penting asal dari jalur descenden ini adalah periaqueduktus gray, formatio
retikularis,
dan
nukleus
raphe
magnus
(NRM).
Stimulasi
area
periaqueduktus gray di otak tengah menyebabkan analgesia umum pada
manusia. Akson traktus ini berpresinap di neuron aferen primer dan post
sinap di neuron sekunder (atau interneuron). Jalur ini memperantarai
antinosiseptif melalui mekanisme reseptor α2 adrenergik, serotoninergik,
dan opiat (μ, δ, dan κ). Peran monoamin pada inhibisi nyeri menjelaskan
efek analgetik dari antidepresan yang memblok reuptake katekolamin dan
serotonin. Aktivitas reseptor tersebut (yang berpasangan dengan protein G)
mengaktifasi pembawa sekunder intraseluler, membuka saluran K + dan
menghambat peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Inhibisi jalur adrenergik berasal dari daerah periaqueduktus gray dan
formatio retikularis. Norepinefrin memperantarai aksi tersebut melalui
aktivasi presinap atau reseptor α2 postsinap. Inhibisi descenden dari
periaqueduktus gray pertama menuju ke NRM dan formatio retikularis
medularis; serabut serotonik dari NRM lalu inhibisi ke neuron medula
spinalis dorsalis melalui funikulus dorsolateral.
Sistem opiat endogen (khususnya NRM dan formatio retikularis)
melalui metionin enkefalin, leusin enkefalin, dan β enderpin yang
17
berantagonis dengan naloxone. Opioid ini mempunyai neuron aferen
primer presinap dan inhibisi pelepasan sP. Juga tampak menyebabkan
inhibisi post sinaptik. Opioid eksogen beraksi di post sinap pada neuron
sekunder atau interneuron di substansia gelatinosa.
4.
Preemptif Analgesia
Kepentingan modulasi nosiseptif pusat dan perifer diperkuat oleh konsep ‘
preemptif analgesia’ pada pasien yang menjalani operasi. Dapat melibatkan
infiltrasi luka dengan anestesi lokal, blokade neural pusat, atau pemberian dosis
opioid NSAID atau ketamin yang efektif. Bukti penelitian menunjukkan bahwa
preemptif analgesia dapat memperkecil sensitisasi pusat atau perifer terhadap
nyeri secara efektif. Beberapa penelitian gagal melakukan preemptif analgesia
pada manusia, penelitian lain dilaporkan adanya pengurangan kebutuhan
analgetik post operasi yang signifikan pada pasien yang menerima preemptif
analgesia.
PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK
Nyeri kronik dapat disebabkan oleh kombinasi mekanisme perifer, sentral dan
psikologi. Sensitisasi nosiseptor berperan penting pada nyeri karena sebab perifer
seperti gangguan muskuloskeletal dan viscera kronik.
Nyeri neuropati melibatkan mekanisme perifer-sentral dan mekanisme neural
sentral yang komplek dan umumnya berhubungan dengan lesi parsial atau total
dari nervus perifer, dorsal batang ganglia, batang saraf, atau pusat lainnya (tabel
18-5). Mekanisme perifer termasuk discharge spontan, sensitisasi reseptor
terhadap rangsang mekanis, suhu, dan kimiawi; regulasi ulang dari reseptor
adrenergik. inflamasi neural juga terjadi. Pemberian anestesi lokal dan
antikonvulsan menekan letusan sensitisasi spontan atau neuron traumatik. Telah
dilaporkan efikasi obat seperti lidokain, mexiletine, dan karbamazepin pada pasien
dengan nyeri neuropatik. Mekanisme sentral termasuk kehilangan inhibisi
segmental, penghentian neuron WDR, discharge spontan pada neuron deaferen,
dan reorganisasi hubungan saraf.
Sistem saraf simpatis berperan penting pada beberapa pasien dengan
mekanisme perifer-sentral dan sentral. Efikasi blokade saraf simpatis pada
18
beberapa pasien mendukung konsep nyeri yang diperantarai oleh simpatis.
Gangguan nyeri yang sering berespon terhadap blok simpatis termasuk distropi
reflek simpatis, sindrom deaferen karena avulsi atau amputasi saraf, dan neuralgia
postherpetik. Aktifitas simpatis yang tinggi menyebabkan vasokonstriksi, edema,
dan hiperalgesia gagal merespon panas dan fase eritematous pada beberapa
pasien. Penelitian klinis dan eksperimen tidak mendukung teori transmisi ephatik
antara serabut saraf nyeri dengan serabut simpatis demielinisasi.
Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang sebagai satu-satunya
mekanisme nyeri kronik tapi biasa berkaitan dengan mekanisme lain (tabel 18-6).
Pasien dengan nyeri psikogenik ditandai dengan nyeri yang berhubungan dengan
cemas hebat, rasa takut kehilangan organ tubuh, dan khilangan cinta sehingga
cemas dinyatakan sebagai nyeri.
Respon sistemik terhadap nyeri
Nyeri akut
Nyeri akut berhubungan dengan respon gangguan neuroendokrin yang sesuai
dengan intensitas nyeri. Mekanisme nyeri diperantarai oleh saraf eferen telah
didiskusikan sebelumnya. Saraf eferen diperantarai saraf simpatis dan sistem
endokrin. Aktifasi simpatis meningkatkan impuls simpatis eferen ke seluruh
viscera dan melepas katekolamin dari medula adrenal. Respon hormonal
disebabkan oleh peningkatan simpatis dan reflek hipotalamus.
Operasi minor atau superficial tidak didapatkan atau ada stres ringan, operasi
abdomen dan thorak menyebabkan stres berat. Nyeri karena operasi abdomen dan
thorak atau trauma berefek langsung pada fungsi pernafasan. Imobilisasi atau tirah
baring karena nyeri perifer dapat berpengaruh secar tidak langsung terhadap
pernafasan karena fungsi hematologi. Nyeri akut sedang sampai berat, tidak
tergantung lokasi, dapat mempengaruhi fungsi setiap organ di sekitar dan
berpengaruh buruk pada morbditas dan mortalitas post operasi. Penatalaksanaan
nyeri post operasi yang efektif tidak hanya ramah tapi juga aspek yang sangat
penting dalam perawatan post operasi.
1. Efek kardiovaskuler
19
Efek kardiovaskuler sering timbul, di antaranya adalah hipertensi, takikardi,
mempertinggi iritabilitas miokardial, dan peningkatan resistensi vaskuler
sistemik. Output kardia meningkat pada orang normal tapi menurun pada
pasien dengan fungsi ventrikuler terganggu. Karena kebutuhan oksigen oleh
miokardium meningkat, nyeri dapat mempercepat timbulnya
iskemi
miokardium.
2. Efek pernafasan
Peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh dan produksi CO2 mengharuskan
peningkatan ventilasi per menit. Peningkatan kerja pernafasan terutama pada
pasien dengan kelainan paru. Nyeri karena insisi thoracal atau abdomen lebih
membahayakan fungsi paru karena melindungi(melingkupi) paru. Penurunan
pergerakan dinding dada mengurangi volume tidal dan kapasitas residual
fungsional yang menyebabkan atelektasis, shunting intrapulmoner, hipoksemi,
dan hipoventilasi. Penurunan kapasitas vital manghalangi batuk dan
pengeluaran sekret. Tergantung letak nyeri, tirah baring lama atau imobilisasi
dapat menyebabkan perubahan yang sama pada fungsi paru.
3. Efek gastrointestinal dan urinaria
Mempertinggi aktifitas simpatis meningkatkan tonus sfingter dan menurunkan
motilitas gastrointestinal dan urinaria sehingga terjadi ileus dan retensi urin
yang kemudian terjadi hipersekresi asam lambung yang dapat menyebabkan
ulserasi dan bersama-sama dengan penurunan motilitas berpotensi menjadi
faktor predisposisi aspirasi pulmoner berat. Terjadi nausea, vomitus, dan
konstipasi. Abdomen yang besar mempercepat pengurangan volume paru dan
disfungsi paru.
4. Efek endokrin
Respon hormonal terhadap stres adalah hormon katabolik meningkat
(katekolamin, kortisol, dan glukagon) dan menurunkan hormon anabolik
(insulin dan testosteron). Pasien mengalami keseimbangan nitrogen negatif,
intoleransi karbohidrat, dan peningkatan lipolisis. Peningkatan kortisol
bersama dengan peningkatan renin aldosteron, angotensin dan hormon
20
antidiuretik menyebabkan terjadinya retensi natrium, retensi air, dan perluasan
sekunder ruang ekstraseluler.
5. Efek hematologi
Stres meningkatkan adhesivitas platelet, mengurangi fibrinolisis, dan
hiperkoagulabilitas.
6. Efek imun
Respon stres berupa leukositosis dengan limfopeni dan menekan sistem
retikuloendotelial yang kemudian dapat terjadi infeksi.
7. Keadaan umum
Reaksi paling umum terhadap nyeri akut adalah ansietas. Gangguan tidur juga
khas ketika nyeri berlangsung lama, biasa terjadi pada orang depresi.
Beberapa pasien bereaksi dengan marah yang biasanya langsung tertuju ke
dokter.
Nyeri Kronik
Tidak terdapat respon tekanan neuroendokrin pada kebanyakan pasien dengan
nyeri kronik. Respon stres umumnya hanya terdapat pada pasien nyeri hebat
berulang karena mekanisme perifer (nosiseptif) dan pasien dengan mekanisme
sentral prominen seperti nyeri yang berhubungan dengan paraplegi. Sering terjadi
gangguan tidur dan afektif terutama pada pasien depresi. Banyak pasien
mengalami perubahan nafsu makan yang mencolok (meningkat atau menurun)
dan tekanan dalam hubungan sosial.
PEMERIKSAAN PASIEN DENGAN NYERI
Klinisi pertama kali harus membedakan antara nyeri akut dengan nyeri kronik.
Penanganan nyeri akut adalah medikamentosa seedangkan penanganan nyeri
kronik ditambah dengan penyelidikan. Pasien dengan nyeri post operasi
membutuhkan sedikit pemeriksaan dibanding pasien dengan riwayat sakit tulang
belakang kronis (10 tahun) yang sudah mendapat terapi bermacam-macam. Hanya
dibutuhkan riwayat dan pemeriksaan yang berhubungan termasuk pemeriksaan
keparahan nyeri secara kuantitas, yang membutuhkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang hati-hati, mengingat terapi yang pernah didapat, dan pemeriksaan
kondisi psikologis dan sosiologik.
21
Pemeriksaan pertama penting baik dari klinisi maupun anamnesis pasien.
Untuk kegunaan diagnostik, pemeriksaan membantu klinisi menjelaskan secara
simpatik kepada pasien. Pertanyaan tertulis dapat memperoleh informasi yang
berharga tentang asal nyeri, onset, durasi, pengobatan dan medikasi sebelumnya.
Diagram berguna dalam menentukan pola penyebaran. Pertanyaan tertulis
membantu mengetahui efek nyeri pada fungsi organ, aktifitas harian, dan interaksi
sosial dan dapat memberikan pandangan tentang peringanan nyeri. Pemeriksaan
fisik dapat mengetahui keadaan sistem muskuloskeletal dan neurologi.
Pemeriksaan radiologi kadang dibutuhkan yaitu foto polos, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI), atau scan tulang. Pemeriksaan
radiologi dapat mendeteksi trauma yang tidak diketahui sebelumnya, tumor, atau
penyakit tulang metabolik. MRI berguna khususnya untuk mengetahui keadaan
jaringan lunak dan dapat menunjukkan kompresi saraf.
Pengukuran Nyeri
Pengukuran derajat nysecara kuantitatif membantu menentukan intervensi
terapeutik dan mengevaluasi efikasi pengobatan. Ini adalah suatu perubahan
karena nyeri merupakan pengalaman subyektif yang dipengaruhi oleh keadaan
psikologis, budaya, dan variabel lain. Dibutuhkan definisi yang jelas karena nyeri
digambarkan sebagai kerusakan jaringan/organ tubuh atau reaksi emosi. Skala
deskriptif dibagi menjadi ringan, sedang/moderate, dan berat. Skala angka verbal
tidak kontinu dan umumnya tidak memuaskan.
Skala angka, skala wajah, skala analog visual (VAS), dan McGill Pain
Questionnaire(MPQ) sering digunakan. Pada skala angka, 0menunjukkan tidak
ada nyeri dan 10 untuk nyeri paling parah. Skala wajah lebih bermanfat bagi
pasien yang sulit berkomunikasi. Pasien disuruh melakukan bermacam-macam
ekspresi wajah dari tersenyum (tanpa nyeri) sampai ekspresi tak bahagia karena
kesakitan. VAS adalah 10cm garis horisontal yang berlabel ’no pain’ di satu sisi
dan ”worst pain imaginable’ di ujung yang lain. VAS mudah, efisien, dan metode
dengan pengabur minimal yang berkorelasi baik dengan metode lainnya.
MPQ adalah checklist kata yang mendeskripsikan gejala. Tidak seperti metode
lain yang menganggap nyeri tidak berdimensi dan mendiskripsikan nyeri tapi
22
bukan kualitas, MPQ menggambarkan nyeri dlam 3 dimensi : (1). Deskriminatif
sensori (jalur nosiseptif), (2) motifasional-afektif (struktur limbik dan retikuler),
dan (3) evaluasi kognitif (korteks serebri). MPQ terdiri dari 20 set kata diskriptif
yang dibagi menjadi 4 kelompok utama yaitu (1) 10 sensori, (2) 5 afektif,(3) 1
evaluasi, dan (4)miscelaneous. Pasien memilih set yang sesuai nyerinya dan
bergantian hingga mendapat set yang menggambarkan nyerinya. Kata-kata tiap
kelompok diberi peringkat sesuai keparahan nyeri. Angka indeks nyeri
berdasarkan kata-kata yang dipilih, skore juga dianalisis di tiap dimensi (sensori,
afektif, evaluasi, dan miscelaneous). MPQ tersedia dan dapat dilakukan dalam 515 menit. Pemilihan kata deskriptif yang menggambarkan nyeri berkorelasi
dengan sindrom nyeri dan dapat berguna dalam penegakan diagnosis. Sayangnya,
cemas tingkat tinggi dan gangguan psikologi dapat tidak jelas dengan kapasitas
deskriptif MPQ.
Pemeriksaan Psikologi
Pemeriksaan psikologi paling berguna ketika pemeriksaan medis gagal
menunjukkan penyebab nyeri yang jelas atau ketika intensitas nyeri tidak sesuai
proporsi penyakit atau luka. Pemeriksaan ini membantu menemukan kondisi
psikologis dan faktor kebiasaan. Tes yang paling sering dipakai adalah Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI) dan Beck Depression Inventory.
MMPI terdiri dari 566 item pertanyaan benar-salah untuk mengetahui
kepribadian pasien pada 10 skala klinis. 3 skala validitas membantu mengetahui
pasien yang sengaja menyembunyikan karakter atau mengubah hasil. Perlu dicatat
bahwa perbedaan budaya dapat mempengaruhi skore.terlebih lagi, tes ini panjang
dan pasien menemukan pertanyaan yang menghina. MMPI digunakan untuk
mengkonfirmasi kesan klinis dengan faktor psikologi, tapi tidak dapat
membedakan nyeri organik atau nyeri fungsional.
Depresi sering terjadi pada pasien dengan nyeri kronik. Sering sulit
memutuskan kontribusi depresi terhadap nyeri. Beck Depression Inventory
bermanfaat untuk mengidentifikasi pasien dengan depresi berat.
Beberapa tes berkembang untuk menilai keterbatasan fungsi dan kerusakan
(disabilitas). Termasuk di antaranya adalah Multidimensional Pain Inventory
23
(MPI), Medical Outcomes Survey 36 item Short Form (SF-36), Pain Disability
Index(PDI), dan Oswestry Disability Questionnaire.
Gangguan emosional biasa berkaitan dengan keluhan nyeri kronik, dan nyeri
kronik sering menyebabkan gangguan psikologi dengan berbagai derajat. Nyeri
dan gangguan emosional perlu diterapi. Gangguan emosional yang perlu terapi
langsung pada gangguan emosi terdapat pada tabel 18-7.
Elektromiografi dan Penelitian Konduksi Saraf
Elektromiografi dan penelitian konduksi saraf, yang saling melengkapi
bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sindrom, sindrom radikuler, trauma saraf,
dan polineuropati. Mereka dapat membedakan gangguan neurogenik dengan
miogenik. Pola abnormalitas dapat terletak antara lesi sampai medula spinalis,
batang saraf, pleksus, saraf perifer. Mereka juga berguna untuk menyingkirkan
nyeri organik saat diduga adanya nyeri psikogenik atau sindrom fungsional.
Elektromiografi menggunakan elektroda jarum untuk merekam potensi otot
pasien. Potensi otot dicatat pertama kali ketika otot istirahat dan kemudian pasien
diminta untuk menggerakan otot. Penemuan abnormal digambarkan dengan
adanya denervasi termasuk insersi potensial persisten, adanya gelombang tajam,
aktifitas fibrilasi atau fasikulasi. Potensial aksi unit motorik trifasik
normal
terlihat pada pergerakan otot yang volunter. Anormalitas otot menyebabkan
perubahan amplitudo dan durasi menjadi potensial aksi polifasik.
Pemeriksaan konduksi saraf perifer menggunakan stimulasi supramaksimal
pada motorik atau saraf sensorimotorik campuran, dimana potensial otot direkam
di atas otot yang tepat. Waktu antara onset timulasi dengan onset potensial otot
(latensi) diukur dari konduksi saraf motorik tercepat. Amplitudo menunjukkan
jumlah unit motorik fungsional dimana durasi reflek bergantung kecepatan
konduksi saraf. Kecepatan konduksi diperoleh dari stimulasi saraf dari 2 titik dan
perbandingan latensi. Ketika nervus sensori diperiksa, saraf dirangsang dan
dicatat potensial aksinya (konduksi antidromik).
Pemeriksaan konduksi saraf membedakan mononeuropati (karena trauma,
kompresi)
dan
polineuropati.
Gangguan
sistemik
dapat
menimbulkan
abnormalitas yag tersebar dan simetris atau acak (mononeuropati multipel).
24
Polineuropati mungkin berhubungan dengan kehilangan akson, demielinisasi, atau
keduanya. Demielinisasi neuropati konduksinya lambat dan mengacaukan
potensial aksi dan latensi memanjang. Neuropati aksonal menurunkan amplitudo
potensial aksi dengan kecepatan konduksi saraf yang terjaga. Toksin, genetik,
trauma, dan penyakit iskemi menyebabkan kehilangan aksonal yang dapat
diturunkan dan penyakit autoimun menyebabkan demielinisasi. Neuropati diabetik
sering terjadi dengan kehilangan aksonal dan demielinisasi.
Diagnostik dan Blokade Neural Terapeutik
Blokade neural dengan anestesi lokal dapat bremanfat untuk menggambarkan
mekanisme nyeri tapi yang lebih penting adalah hal tersebut berperan utama pada
penanganan pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran sistem simpatis dan
jalurnya dapat diperiksa. Meskipun penggunaan blokade neural berbeda antara
mekanisme somatik dan mekanisme simpatis perlu dipertanyakan, teknik ini dapat
mengetahui pasien dengan respon plasebo dan mereka dengan mekanisme
psikologi. Pada pasien terpilih, blokade neural permanen dapat cocok.
Efikasi blokade neural rupanya karena interaksi aktivitas nosiseptif aferen.
Blokade aferen dan eferen menimbulkan reflek abnormal (simpatis dan otot
skeletal). Nyeri berkurang karena farmakologi dalam hitungan jam (atau kadang
minggu). Pemilihan jenis blok tergantung lokasi nyeri, mekanisme perkiraan, dan
keahlian klinisi. Anestesi lokal dapat digunakan secara lokal (infiltrasi), atau di
nervus perifer, pleksus somatik, ganglion simpatis, atau batang saraf. Juga dapat
digunakan secara sentral di neuraksis. Anestesi spinal dan epidural dijelaskan
dalam bab 16, blok saraf somatik yang biasa digunakan untuk pembedahan
dijelaskan dalam bab 17.
BLOK SOMATIK
Blok Nervus Trigeminal
A. Indikasi
2 indikasi prinsip adalah neuralgia trigeminal dan nyeri kanker yang keras
di wajah. Tergantung lokasinya, anestesi dilakukan di ganglia Gasserian, salah
satu kelompok utama (opthalmikus, maksilaris, atau mandibula) atau salah
satu dari cabangnya.
25
B. Anatomi
Percabangan nervus cranialis V berasal dari brain stem dan bergabung
membentuk ganglion gasserian sensoris berbentuk bulan sabit di cavum
Meckel. Kebanyakan ganglion masuk di selaput dural. 3 subdivisi nervus
trigeminal dari ganglia dan keluar dari cranium secara terpisah. Opthalmikus
masuk orbita melalui fisura orbitalis superior. Bagian maksilaris keluar dari
cranium melalui foramen rotundum lalu masuk foramen pterigopalatina yang
kemudian bercabang-cabang. Nervus mandibularis keluar melalui foramen
ovale, setelah bercabang ke anterior yang terutama motorik untuk mastikasi
dan ke posterior yang bercabang menjadi cabang sensoris. (gambar 18-6A)
C. Teknik
1. Blok Ganglion Gasserian
Untuk menjalankan prosedur, perlu panduan radiologi. Pendekatan
anterolateral sering digunakan. Masukkan jarum G22 8-10cm kira-kira
3cm lateral ke sudut mulut di atas molar kedua atas. Pendekatan
posteromedial dan sudut superior dilakukan dimana jarum lurus dengan
pupil di permukaan anterior dan dengan arkus zigomatikus media di
lateral. Tanpa memasuki mulut, jarum harus melalui ramus mandibula dan
maksila, lateral ke prosesus pterigoideus untuk masuk cranium melalui
foramen ovale. Setelah aspirasi tidak ada cairan serebrospinal dan darah,
diinjeksikan 2 ml obat anestesi.
2. Blokade Nervus Opthalmikus dan cabang-cabangnya
Untuk menghindari keratitis, opthalmikus sendiri tidak diblok jadi
hanya cabang supraoptik. Nervus secara mudah ditemukan dan diblok
dengan 2 ml anestesi lokal di takik supraoptika yang terletak di penonjolan
supraoptik di atas pupil. Cabang supratroklear juga dapat diblok dengan
1ml anestesi lokal di sudut mediosuperior penonjolan orbita.
3. Blokade Nervus Maksilaris dan cabang-cabangnya
Dengan mulut pasien sedikit terbuka, masukkan jarum G 22 8-10 cm
ke arcus zigomaticus dan incisura mandibula (Gambar 18-6 D). Setelah
kontak dengan lamina lateralis processus pterigoideus (sekitar kedalaman
26
4 cm), jarum sebagian ditarik mundur, dengan agak membentuk sudut
keatas depan arahkan untuk masuk ke fossa pterigopalatina. Anestesi (46ml) diinjeksikan. Nervus maksilaris dan ganglia pterigopalatina
dianestesi
dengan
cara
teknik
ini.
Ganglion
pterigopalatina
(sphenopalatina) dan nervus etmoid anterior dapat dianestesi secara
transmukosa dengan anestesi topikal melalui hidung; aplikator kapas
dibasahi dengan anestesi lokal (lidokain atau kokain) lalu dimasukan
sepanjang
dinding
medial
cavum
nasi
menuju
daerah
recessus
sphenopalatina.
Cabang infraorbital berjalan melalui foramen infraorbital yang dapat
diblok dengan 2ml anestesi. Foramen ini kurang lebih 2cm di bawah orbita
dan biasanya berada 2cm lateral dari jarum yang masuk ke ala nasi dan
langsung ke superior, posterior, dan sedikit ke lateral.
4. Blokade Nervus Mandibularis dan cabang-cabangnya
Dilakukan pada pasien dengan mulut sedikit terbuka, jarum G22
dimasukan 8-10 cm di antara arkus zigomatikus dengan mandibula.
Setelah kontak dengan lamina lateralis processus pterigoideus, jarum
sedikit dibelokkan ke superior dan posterior menuju telinga. Anestesi (4-6
ml) diinjeksikan.
Nervus lingual dan mandibular inferior cabang nervus mandibularis
dapat diblok secara intraoral menggunakan jarum G22 10cm. Pasien
diminta membuka mulut maksimal dan takik coronoid dipalpasi dengan
jari telunjuk. Jarum dimasukkan di tingkat yang sama (kira 1cm di atas
permukaan
molar
terakhir),
medial
jari tapi
lateral
dari plika
pterigomandibular. Dimasukan ke posterior 1,5-2cm sepanjang sisi medial
ramus mandibular, berkontak dengan tulang. Kedua nervus biasanya
diblok setelah injeksi 2-3 ml anestesi lokal.
Bagian akhir nervus alveolar inferior diblok jika muncul dari
foramen mentalis di linea mediana mandibula hanya di bawah sudut
mulut. Anestesi lokal (2ml) diinjeksikan atau jarum dimasukkan ke
foramen.
27
D. Komplikasi
Komplikasi anestesi ganglion gasseri adalah kecelakaan injeksi
intravaskuler, injeksi subarahnoid, horner’s sindrom, dan blok motorik otot
mastikasi. Perdarahan serius paling banyak pada blokade nervus maksilaris.
Nervus fasialis tidak sengaja terblokir saat blokade nervus mandibula.
PENGELOLAAN NYERI
Blok Saraf Fasial
A. INDIKASI
Blokade saraf fasial kadang diindikasikan untuk menghilangkan kontraksi
spastic dari otot-otot muka dan untuk terapi herpes zoster yang mengenai
saraf ini.Prosedur ini juga digunakan untuk operasi mata.
B. ANATOMI
Saraf-saraf fasial dari kranium melewati foramen stylomastoid,tempat
dimana untuk memblok. Komponen sensori kecil memberi sensasi
khusus(rasa) pada dua pertiga lidah dan sensasi umum pada membran
timpani,meatus auditus eksterna,palatum molle dan sebagian faring.
C. TEKNIK
Titik injeksi pada anterior prosesus mastoid,dibawah meatus auditus
eksterna,dan pada pertengahan ramus mandibula.Serabut sarafnya terletak
kira-kira sedalam 1-2cm dan diblok dengan 2-3ml local anestesi dibawah
prosesus stylomastoideus.
D.KOMPLIKASI
Jika jarum yang dimasukan terlalu dalam melewati batas tulang styloid,
saraf glosofaringeal dan saraf vagus ikut diblok. Aspirasi hati-hati penting
karena sebelah proximal saraf fasial adalah arteri carotis dan vena jugularis
interna.
BLOK GLOSOPHARYNGEAL
A. INDIKASI
Blok saraf glosofaringeal digunakan untuk pasien dengan nyeri karena
keganasan pada dasar lidah,epiglottis dan tonsil palatine.Juga bisa
digunakan untuk menghilangkan neuralgia glossopharingeal dari neuralgia
trigeminal dan neuralgia genikulatum.
B. ANATOMI
28
Serabut saraf berasal dari kranium lewat foramen jugularis media dari
prosesus styloideus dan berjalan secara anteromedial mensarafi sepertiga
posterior lidah, otot pharyngeal dan mukosa. Nervus vagus dan spinal
aksesori juga keluar dari kranium melewati foramen jugularis dan turun
sepanjang nervus glosopharingeal,arteri karotis dan vena jugularis interna
dekat dengan struktur ini.
C. TEKNIK
Untuk blok dipakai 2ml local anestesi menggunakan jarum 5cm ukuranG22
dimasukan pada posterior dari angulus mandibula.Dalamnya saraf kira-kira
3-4cm dengan menggunakan nerve stimulator bisa membetulkan letak
jarum. Pendekatan alternative dari titik tengah antara prosesus mastoid dan
angulus mandibula sampai prosesus styloideus. Saraf terletak di anterior
prosesus stylioideus.
D.KOMPLIKASI
Komplikasinya dysfagia dan blok vagal menyebabkan paralysis plika
vokalis ipsilateral dan takikardi. Blok pada saraf accessory dan saraf
hypoglossal meyebabkan paralysis ipsilateral otot trapezius dan lidah.
Aspirasi hati-hati sangat pentig untuk mencegah injeksi ke intravaskuler.
BLOK SARAF OCCIPITALIS
A. INDIKASI
Blok saraf occipitalis berguna sebagai diagnostic dan terapi pada pasien
dengan
occipital headache dan neuralgia.
B. ANATOMI
Saraf occipitalis terbesar berasal dari rami primer dorsal dari saraf spinalC2
dan C3, dimana saraf occipital yang sedikit berasal dari rami ventral pada
akar yang sama.
C. TEKNIK
Saraf occipital besar diblok dengan 5ml zat anestesi kira-kira 3cm lateral
dari occipital prominen pada garis nuchal superior; nervus terletak pada
medial arteri occipital,tempat dimana mudah dipalpasi.Saraf yang sedikit
diblok dengan 2-3 ml zat anestesi kira-kira 2-3 lebih kelateral dari garis
nucha.
D. KOMPLIKASI
Jarang, dapat terjadi masuk ke intravaskuler.
BLOK SARAF FRENIKUS
A. INDIKASI
29
Blok saraf frenikus kadang dipakai untuk menghilangkan nyeri karena
tekanan diafragma. Dapat juga digunakan pada pasien dengan hiccup
(singulasi)
B. ANATOMI
Saraf frenikus berasal dari cabang saraf C3-C5 batas lateral dari otot
scalenus anterior.
C. TEKNIK
Saraf diblok pada titik 3cm diatas clavikula;sebelah lateral dari batas
posterior sternokleidomastoideus dan diatas otot scalenus anterior. Zat
anestesi 5-10ml dimasukan.
D. KOMPLIKASI
Sebagai tambahan bila masuk intravaskuler, dapat membahayakan paru
pada pasien dengan penyakit paru atau trauma paru. Blok saraf frenikus
bilateral terus menerus sebaiknya dihindari.
BLOK SARAF SUPRASKAPULER
A. INDIKASI
Blok ini dipakai untuk keadaan nyeri berasal dari punggung/shoulder
(paling banyak karena arthritis dab bursitis)
B ANATOMI
Saraf supraskapuler adalah saraf utama pada sendi bahu/shoulder joint. Ini
barasal dari pleksus brakhialis (C4-6) dan melewati batas atas scapula pada
titik masuk ke fosa suprascapuler.
B. TEKNIK
Saraf diblok dengan 5ml zat anestesi pada titik supraspinal tempat
pertemuan lateral dan medial batas ketiga scapular superior.
Tempatmasukny jarum yang benar ditandai dengan parestesi atau
menggunakan nerve stimulator.
C. KOMPLIKASI
Pneumothoraks mungkin terjadi bila jarum masuk terlalu jauh keanterior.
Paralisis otot supraspinatus dan infraspinatus dapat sebagai penyulit.
BLOK SARAF PARAVERTEBRAL SERVIKAL
A. INDIKASI
Blok paravertebral selektif pada level servikal dapat digunakan sebagai
diagnostic dan terapi untuk kanker pasien dengan nyeri berasal dari vertebra
cervikalis atau bahu/shoulder.
B. ANATOMI
30
Saraf spinal cervical berjalan pada sulkus prosesus transverses dapat
dipalpasi pada banyak orang. Catatannya sebaliknya dengan saraf spinal
thoraks dan lumbar, saraf spinal cervical keluar diatas level vertebra
masing-masing.
C. TEKNIK
Pendekatan lateral umumnya digunakan untuk blok C2-7. Pasien diminta
untuk menengok kepala berlawanan sisi dari posisi duduk. Garis ini
digambar diantara prosesus mastoid dan tuberkel Chassaignacs. Zat anestesi
2ml menggunakan jarum 5cm G22 sepanjang garis parallel 0,5 cm posterior
garis pertama. Karena prosesus transverses dari C2 biasanya sulit dipalpasi,
injeksi ditempatkan 1,5cm dekat prosesus mastoideus.Prosesus transverses
lain biasanya spatium 1,5cm dan kedalaman 2,5-3cm. Fluoroskopi
digunakan untuk mengidentifikasi level vertebra selama blok diagnostic.
D. KOMPLIKASI
Intratekal tak disengaja, anestesi subdura dan epidural pada level secara
cepat menyebabkan paralysis respiratori dan hipotensi. Injeksi bahkan dosis
kecil anestesi local masuk ke arteri vertebra menyebabkan kejang dan
pusing. Komplikasi lain adalah sindrom Horner’s,sebaik blok saraf frenikus
dan laryngeal recuren.
BLOK SARAF PARAVERTEBRAL THORAKALIS
A. INDIKASI
Tidak seperti blok saraf intercostali, blok saraf paravertebral thorakalis
menganestesi kedua ramus dorsalis dan ventral dari saraf spinal.Ini
digunakan untuk pasien dengan nyeri asal dari vertebra thorakalis, rongga
dada atau dinding abdomen termasuk fraktur kompresi,fraktur costa
proksimal dan herpes zoster akut. Teknik ini digunakan untuk memblok
segmen thoraks atas karena scapula dapat mengganggu dengan teknik
intercosta pada level ini.
B. ANATOMI
Masing-masing akar saraf thoraks berasal dari canalis spinalis sebelah
inferior dari prosesus transverses sesuai segman spinal.
C. TEKNIK
Blok ini dapat dipakai pada pasien dengan posisi pronasi atau lateral.Jarum
spinal ukuran G22 5-8cm dengan pembatas biasa digunakan. Dengan teknik
klasik,jarum dimasukan 4-5cm lateral dari midline prosesus spinosus level
atas. Jarum diarahkan keanterior dan medial dengan sudut 45odengan garis
midsagital dan masuk sampai mengenaiprosesus transverses dari level yang
diinginkan. Jarum kemudian ditarik perlahan dan dimasukan kembali ke
bawah prosesus transverses. Tanda yang dapat diatur pada jarum digunakan
tanda kedalaman prosesus spinosus ;yaitu jarum ditarik dan dimasukan
31
sebaiknya tidak melebihi 2cm dari tanda ini.Secara normal zat anestesi
dimasukan 5ml tiap segmen.
Teknik alternatiflain dengan resiko pneumothoraks yaitu memasukan lebih
kemedial dan teknik loss of resisten mirip anestesi epidural. Jarum
dimasukan pada garis sagital 1,5cm dari midline pada segmen diatas
prosesus spinosus dan dilanjutkan sampai menyentuh lateral tepi lamina
segmen yang akan diblok. Kemudian ditarik sampai posisi subcutaneous
dan dimasukan 0,5 lebih lateral tapi masih pada garis sagital;saat jarum
dimasukan menembus ligamentum cototransversus superior sebelah lateral
dan inferior dari prosesus transverses. Posisi yang benar ditandai dengan
loss of resisten dengan salin dimasukan ke ligamentum costotransversum.
D. KOMPLIKASI
Komplikasi umumnya adalah pneumothoraks;yang lain trauma subarahnoid,
subdura, epidural dan injeksi intravaskuler.Blok simpatis dan hipotensi
dapat terjadi bila banyak segmen diblok dengan jumlah besar zat
anestesi.Gambaran radiology dapat membantu terjadinya pneumothoraks.
BLOK SARAF SOMATIK LUMBAR PARAVERTEBRAL
A. INDIKASI
Blok paravertebral pada level ini berguna untuk mengevaluasi nyeri karena
keterlibatan saraf spinal atau lumbar spinal.
B. ANATOMI
Saraf spinal lumbar masuk ke kompartemen psoas segera setelah keluar dari
foramina intervertebra dekat prosesus transverses. Kompartemen ini
dibentuk oleh fasia psoas bagian anterior, bagian posterior fasia quadratus
lumborum, dan sisi medial oleh corpus vertebralis.
C. TEKNIK
Pendekatan pada saraf spinal lumbar sama denganblok paravetebral thoraks.
Dengan sebuah jarum 8cm ukuran G22. Konfirmasi dengan radiografi datap
membantu menunjukan level yang benar. Untuk blok diagnostic,hanya 2ml
zat anestesi local dimasukan ke satu level,karena volume yang lebih banyak
dapat memblok lebih dari satu level.5 ml zat anestesi digunakan untuk blok
terapetik dan bahkan volume yang besar(25ml) pada L3 dan menyebabkan
blok somatic dan simpatis lengkap pada saraf lumbar.
D. KOMPLIKASI
Komplikasi
secara
primer
tidak
subarahnoid,subdura dan epidural.
sengaja
BLOK FACET DAN CABANG MEDIAL LUMBAR
A. INDIKASI
32
menjadi
anestesi
Blok ini ditujukan kelumbar facet (zygopophyseal) penyakit sendi pada
nyeri punggung. Kortikosteroid umumnya dimasukan dengan zat anestesi
jika teknik intraartikuler jadi pilihan.
B. ANATOMI
Setiap sendi facet diinervasi oleh cabang medial dari bagian utama posterior
saraf spinal dan dibawah sendi. Jadi,tiap sendi dua atau lebih saraf spinal
yang berdekatan.Setiap cabang medial menyebrang batas atas prosesus
transverses dibawahnya berjalan pada alur antara akar prosesus transverses
dan prosesus artikuler superior.
C. TEKNIK
Blok ini dilakukan dengan bantuan fluoroskopi dengan posisi pasien
pronasi. Dengan pandangan posterior oblique 30o dapat melihat sendi
facet.Dengan menggunakan jarum 6-8cm ukuran G22,dimasukan 5-6 lateral
dari prosesus spinosus dari level yang diinginkan dan diarahkan secara
medial menuju batas atas akar prosesus transverses;1-1,5 ml anestesi local
dimasukan untuk memblok cabang medial bagian posterior dari saraf spinal.
Secara alternative, anestesi local dengan atau tanpa kortikosteroid secara
langsung dimasukan ke dalam sendi. Posisi pasien pronasi dengan sedikit
obliqe(dengan menempatkan bantal dekat puncak iliaka anterior pada sisi
tersebut.) untuk identifikasi ruang sendi dengan fluroskopi. Tempat jarum
yang benar sebaiknya dikonfirmasi dengan injeksi 0,5ml radiokontras
sebelum injeksi anestesi local(2ml).
D. KOMPLIKASI
Injeksi dalam lapisan dura pada blok subarahnoid,dimana akar saraf spinal
mengakibatkan blok motorik dan sensorik.Karena sendi mempunyai volume
1-2ml,injeksi yang lebih banyak akan menyebabkan rupture kapsul sendi.
BLOK SARAF TRANS-SACRAL
A. INDIKASI
Teknik ini berguna untuk diagnosis dan terapi nyeri pelvis dan perineal.
Blok saraf spinal S1 dapat membantu untuk nyeri panggul.
B. ANATOMI
Lima pasang saraf spinal sacralis dan satu pasang saraf coccigeal menurun
ke kanalis sacralis, membentuk cauda equine. Sacral 5 dan saraf coccigeal
keluar melalui hiatus sacralis.
C. TEKNIK
Dengan posisi pasien pronasi,foramina sacralis diidentifikasi dengan sebuah
jarum sepanjang garis 1,5cm medial ke vertebra iliaca superior posterior dan
1,5cm lateral dari cornu sacralis ipsilateral.Posisi yang benar dengan
masuknya jarum kedalam foramen sacralis posterior dan biasanya menjadi
partestesia. Akar saraf S1 biasanya 1,5 diatas level vertebra iliaka superior
33
posterior sepanjang garis imajiner. 2ml anestesi local.Dua ml anestesi local
diinjeksikan untuk blok diagnosa dan 5ml digunak untuk blok terapi.
Blokade saraf S5 dan saraf coccigeal dapat dikerjakan dengan injeksi pada
hiatus sacralis.
D. KOMPLIKASI
Komplikasi jarang tapi biasanya kerusakan saraf dan masuk keintravaskuler.
BLOK SARAF PUDENDAL
A. INDIKASI
Blok saraf pudendal berguna untuk evaluasi pasien dengan nyeri perineal.
B. ANATOMI
Saraf pudendal berasal dari vertebra sacralis 2-4 dan berjalan antara
ligamentum sacrospinosus dan ligamentum sacrotiberous untuk mencapai
perineum.
C. TEKNIK
Blok ini biasanya dilakukan secara transperineal dengan posisi
lithotomic.Injeksi 5-10 ml zat anestesi dibawa keluar secara perkutaneus
sebelah posterior vertebra ischial pada ligamentum secrospinosus. Vertebra
ischial dapat dipalpasi melalui transrektal atau transvaginal. Petunjuk
khusus biasanya dengan pendekatan transvaginal.
D. KOMPLIKASI
Blok sciatic dan injeksi ke intravaskuler.
BLOK SIMPATIS
Blok simpatis bisa dilakukan dengan teknik bervariasi yaitu; blok
subarahnoid,epidural juga paravertebral.Sayangnya, pendekatan ini biasanya
memblok serabut simpatis dan somatic.Masalah dengan teknik epidural dan
spinal akan dibahas dibawah ini. Teknik berikut ini adalah memblok saraf
simpatis dan dapat digunakan memastikan peranan system simpatis pada
nyeri pasien yang mungkin membutuhkan terapi jangka panjang. Indikasi
paling sering nyeri visceral karena distrophi reflek simpatis,herpetic
neuralgia akut, nyeri postherpetic dan penyakit vaskuler perifer. Blok
simpatis pada daerah tertentu ditandai dengan tidak berubahnya sensasi
somatic tapi hilangnya tonus simpatis dengan terjadinya aliran darah
cutaneus meningkat dan temperature meningkat. Tes lain dengan hilangnya
sensasi kulit(simpatogalvanik) dan respon berkeringat(tes ninhidrin,cobalt
blue,start tes)diikuti rangsangan nyeri.
BLOK SERVIKOTHORACIC (STELATE)
A. INDIKASI
Blok ini sering digunakan pada pasien dengan nyeri kepala, leher,lengan dan
nyeri dada atas. Biasanya dijalarkan sebagai blok stelat tapi nyatanya blok
34
thorak atas sebaik ganglia servikal. Injeksi dengan jumlah besar zat anestesi
(>10ml) sering memblok kebawah sampai ganglia T5. Blok stelat digunakan
untuk gangguan vasospastik pada ekstremitas atas.
B. ANATOMI
Inervasi simpatis pada kepala,leher dan sebagaian lengan diberikan dari
ganglia servikal,paling luas adalah ganglion stelat. Ini biasanya menunjukan
fusi dari cervical bawah dan ganglia thoraks pertama. Banyak inervasi
simpatis pada lengan sebaik semua inervasi organ thoraks diberikan dari
ganglia thoraks atas lima. Suplai simpatis ke lengan pada beberapa orang
juga berasal dari T2-3 melalui saraf terpisah secara anatomi(saraf Kuntz)
dimana bergabung dengan pleksus brakhialis tinggi pada axilla saraf ini
ditinggalkan dengan blok stelat tapi bukan blok axiller. Titik injeksinya pada
level stelat,dimana posterior menuju asal arteri vertebra dari arteri
subklavia, anterior dari otot colli longus dan iga pertama, anterilateral dari
fasia prevertebra dan medial dari muskulus scalenus.
C. TEKNIK
Teknik paratrakeal umum digunakan. Dengan kepala pasien ekstensi,
dengan jarum 4-5cm G22 dimasukan kedaerah medial dari otot
sternokleidomastoideus dibawah level kartilago cricoid pada level prosesus
transverses C6 atau C7(3-5 diatas clavikula). Tangan bebas sebaiknya
digunakan untuk memisahkan otot bersama dengan lapisan carotis untuk
memasukan jarum. Jarum selanjutnya menuju prosesus transverses dan
dimajukan 2-3 mm untuk injeksi.Aspirasi dilakukan pada 2 bidang sebelum
tes dose 1ml untuk mencegah masuk ke intravaskuler(masuk ke arteri
subklavia atau arteri vertebra)atau injeksi subarahnoid masuk ke lapisan
dura. Seluruh zat anestesi 10-15 ml dimasukan.
Tempat yang benar dari jarum biasanya dipastikan dengan naiknya
temperature kulit pada lengan ipsilateral dan mulai syndrome Horner. Yaitu
ptosis ipsilateral,miosis,enoftalmus.kongesti nasal dan anhidrosis pada leher
dan muka.
D. KOMPLIKASI
Selain masuk ke intravaskuler dan subarahnoid,komplikasi lain adalah
hematom,pneumothoraks,anestesi epidural,blok pleksus brakhialis,serak
karena blok pada saraf laryngeal rekuren,dan jarang osteitis atau
mediastenitis karena lubang esophageal.
BLOK RANTAI SIMPATIS THORAKS
Ganglia simpatis thoraks berjalan lateral dari corpus vertebralis dan anterior
akar saraf spinal,tapi blok ini secara umum tidak dipakai karena resiko
pneumothoraks.
BLOK PLEKSUS CELIACA
A. INDIKASI
35
Blok celiaca diindikasikan pada pasien dengan nyeri dari organ
abdomen,perttumbuhan keganasan abdomen. Teknik ini biasanya juga blok
rantai simpatis lumbar.
B. ANATOMI
Ganglia celiaca bervriasi dari jumlah(1-5),bentuk dan posisi. Mereka secara
umum dikelompokan pada level corpus vertebra L1,posterior dari vena
cava kanan,lateral dari aorta dikiri dan posterior dari pancreas.
C. TEKNIK
Pasien diposisikan pronasi dan dengan jarum 15cm G22 zat anestesi
dimasukan dari sisi kiri atau secara bilateral. Dengan petunjuk fluroskopi
atau CT dengan radiokontras akan meningkatan kesuksesan ,menurunkan
jumlah yang dibutuhka,dan menurunkan terjadinya komplikasi. Tiap jarum
dimasukan 3-8cm dari midline pada daerah inferior dari prosesus spinosus
dariVL1,membuat sudut 10-40o. Jarum melewati bagian bawah costa 12
dan sebaiknya diposisikan anterior dari VL1 dari lateral radiogram dan
dekat midline dari corpus vertebra yang sama di anterioposterior. Bila
menggunakan CT, ujung jarum sebaiknya dating dari anterolateral dar aorta
pada level antara arteri mesenterika superior dan arteri celiaca.
D. KOMPLIKASI
Komplikasi umumnya hipotensi postural,dimana karena bloknya terlalu
banya pada rantai simpatis lumbar. Injeksi pada vena cava banyak
mengakibatkan reaksi sistemik yang berat daripada injeksi pada intraaorta.
Komplikasi
lebih
sedikit
adalah
pneumothoraks,perdarahan
retroperitoneal,trauma ginjal atau pancreas atau tapi jarangparaplegi(karena
trauma arteri lumbar dari Adamkiewicz)
BLOK SARAF SPLANGNIKUS
Meskipun mirip dengan blok saraf pleksus celiaca,teknik ini lebih banyak
disukai oleh beberapa praktisi karena seperti blok rantai simpatis lumbar
dan membutuhkan sedikit zat anestesi, Tiga kelompok saraf splangnikus
(mayor,minor
dan
least)
berasal dari ganglia simpatis thoraks 7 pada tiap sisi turun sepanjang corpus
vertebra berhubungn dengan ganglia celiaca. Jarum dimasukan 6-7cm dari
midline prosesus spinosus VT11 bawah dan dengan petunjuk flouroskopi
menuju permukaan anterolateral VT12. Zat anestesi 10ml dimasukan pada
tiap sisi.Jarum sebaiknya mengenai corpus vertebra sekali untuk mencegah
pneumothoraks. Selain Pneumothoraks,komplikasi lain hipotensi karena
trauma pada vena azigos pada sebelah kanan dan vena hemiazigos dan
duktus thoraksik pada sebelah kiri.
BLOK SIMPATIS LUMBAR
A. INDIKASI
36
Blok simpatis lumbar diindikasikan untuk nyeri yang melibatkan pelvis atau
ekstremitas bawah, dan kemungkinan pada pasien dengan penyakit vaskuler.
B. ANATOMI
Rantai simpatis lumbar terdiri dari 3-5 ganglia dan terusan dari rantai
thoraks juga menyuplai serabut simpatis ke pleksus pelvis dan ganglia.
Gangkia rantai simpatis lumbar berjalan lebih anteromedial dari corpus
vertebra daripada ganglia thoraks dan sebelah anterior dari otot dan fasia
psoas. Rantai lumbar biasanya berada di posterior vena cava kanan tapi
sebelah lateral dari aorta disebelah kiri.
C. TEKNIK
Teknik 2 jarum pada level VL2 dan VL4 sering dipakai dengan posisi pasien
pronasi atau lateral. Jarum dimasukan daerah atas prosesus spinosus dan
diarahkan keatas atau lateral dariprosesus transverses vertebra( tergantung
pada jarak dari midline).Dengan petunjuk fluoroskopi radiokontras dapat
lebih berhasil dan mengurangi komplikasi.
D. KOMPLIKASI
Komplikasinya masuk keintravaskuler(masuk ke vena cava,aorta dan
pembuluh darah lumbar) dan blok saraf somatic dari pleksus lumbar.
BLOK PLEKSUS HYPOGASTRIK
A. INDIKASI
Prosedur ini diindikasikan untuk nyeri berasal dari pelvis dan tidak
berkurang dengan blok lumbar dan epidural caudal. Pleksus hypogastrik
berisi serabut sensoris viscera yang melintas medulla spinalis bawah. Blok
ini biasanya cocok untuk pasien dengan kanker servik,uterus,vesika
urinaria,prostate atau rectum.Blok ini juga efektif untuk wanita dengan
nyeri kronis nonmalignant pelvis.
B. ANATOMI
Pleksus hipogastrik tidak hanya berisi serabut postganglionic dari rantai
simpatis lumbar,juga serabut sensori viscera dari servik,uterus vesika
urinaria,prostate dan rectum. Pleksus hipogastrik superior biasanya berjalan
sebelah kiri dari midline pada corpus vertebra L5 dan dekat bifurcation
aorta.Serabut dari pleksus ini dibagi menjadi cabang kiri dan kanan dan
turun ke organ pelvis melalui hipogastrik inferior kanan dan kiri dan pleksus
pelvis. Pleksus hypogastrik inferior mendapat serabut preganglionik
parasimpatis dari akar saraf spinal S2-4.
C. TEKNIK
Pasien diposisikan pronas, dan jarum dengan ukuran 15cm dimasukan 7cm
lateral dari spatium intervertebralis L4-5.Jarum diarahkan secara medial dan
caudal dengan sudut 45o dengan petunjuk fluoroskopi dimana melewati
prosesus transverses L5.Pada posisi akhir, jarum sebaiknya melebihi discus
37
intervertebralis L5 dan S1 dan1cm ke corpus vertebra arah anteroposterior.
Injeksi radiokontras untuk konfirmasi posisi jarum yang benar pada ruang
retroperitoneal;zat anetstesi 8-10 diinjeksikan.
D. KOMPLIKASI
Komplikasinya injeksi keintravaskuler dan dysfungsi sal pncernaan dan
vesika urinaria sementara.
BLOK GANGLIA IMPAR
A. INDIKASI
Blok ini efektif untuk pasien dengan nyeri menetap viscera atau simpatis
pada daerah perineal.
B. ANATOMI
Ganglion impar (ganglion Walther) paling banyak bagian caudal dari sifat
simpatis. Dua yang paling rendah ganglia simpatis pelvis sering membentuk
satu ganglion di midline anterior dari os coccigeus.
C. TEKNIK
Pasien diposisikan lateral dekubitus atauposisi lithotomic. Dengan pasien
posisi lateral dekubitus,jasrum G22 8-10 cm ujung jarum diarahkan lewat
ligamentum anococcigeal atas ke sebuah posisi sehingga anterior dari oc
coccigeus. Dengan memakai jari kerektum dapat membantu jarum tetap
midline dan keluar dinding rectum. Pendekatan alternative dengan memakai
jarum lurus dengan posis pasien lithotomic;jarum lurus dapat digunakan
pada posisi ini karena kelengkungan os coccigeus dikurangi..Setelah
dikonfirmasi mengenai posisi yang benar dengan radiokontras, maka 4-6 ml
zat anestesi liokal diinjeksikan.
D. KOMPLIKASI
Tidak ada laporan komplikasi,tapi mungkin masuk ke intravaskuler dan
mungkin disfungsi sementara saluran pencernaan dan vesika urinaria.
BLOK SIMPATIS REGIONAL INTRAVENA
Suatu blok Bier menggunakan guanethidin (20-40mg) dapat secara selektif
mencegah inervasi simpatis dari ekstremitas. Sepuluh mm lidokain 0,5%
dapat juga ditambahkan untuk mencegah rasa terbakar. Sebuah torniket
ditempatkan sebelah atas dari ekstremitas dan biasanya dipompa kurang dari
20 menit.Guanethidin menyebabkan deplesi norepinefrin dan mencegah
reuptake pada neuron postganglionic terminal. Blok simpatis selektif
berlangsung 3-7 hari. Pelepasan torniket sebelum waktunya dapat
menyebabkan hipotensi,bradikardi,edema,diare dan nausea. Reserpin (11,5mg) dan bretelium(5mg/kg) dapat digunakan. Blok simpatis regional
intravena adalah alternative yang aman pada pasien dengan gangguan
hemostatik.
BLOK NEURAL DEFERENSIAL
38
Blok neural secara anatomi atau farmakologi dapat dianjurkan sebagai
metode untuk mencegah nyeri somatic,simpatis dan mekanisme nyeri
psikogenik. Pendekatan farmakologi dapat diandalkan mengurangi
sensitifitas serabut saraf dengan anestesi local. Serabut saraf simpatis
preganglionik dilaporkan banyak yang sensitive, diikuti dengan nyeri (C dan
A ),serabut somatosensori (A ) ,danterakhir serabut motorik (A ). Dengan
menggunakan perbedaan konsentrasi anestesi local,mungkin dapat memblok
selektif tipe serabut tertentu sementara tetap menjaga fungsi serabut lain.
Disini tantanganya adalah konsentrasi zat anestesi yang dibutuhkan untuk
blok dapat bervariasi pada beberapa pasien dan berhasilnya blok anestesi
tergantung tidak hanya pada ukuran serabut tapi lamanya kontak dan
frekuensi rangsang yang dicapai. Banyak ahli yang telah meninggalkan cara
ini.
Blok ganglion stelat dapat digunakan untuk blok serabut simpatis
kepala,leher dan lengan. Pleksus celiaca, pleksus hipogastrik dan blok
simpatis paravertebral lumbar dapat digunakan untuk memblok simpatis
abdomen,pelvis dan kaki. Akar saraf selektif, intercostals, pleksus
cervical,pleksus brachial atau blok pleksus lumbosakral dapat digunakan
untuk blok saraf somatic.
Blok epidural dapat dipakai untuk nyeri thoraks dimana teknik blok
simpatis membawa resiko pneumothoraks. Setelah injeksi epidural, pasien
harus dinilai hilangnya nyeri, tanda-tanda blok simpatis(menurunya tekanan
darah), sensasi pinprick dan cahaya dan fungsi motorik. Bila nyeri hilang
setelah injeksi salin, pasien tersebut mempunyai nyeri psikogenik (biasanya
efek dalam dan lama )atau efek placebo (biasanya singkat). Bila nyeri hilang
dengan adanya tanda-tanda blok simpatis, mungkin ini karena serabut
simpatis.Bila nyeri hilang hanya diikuti blok somstosensoris,mungkin
diperantarai serabut somatic. Terakhir,bila nyeri tetap bahkan setelah blok
motorik,nyeri tersebut nyeri central(suprspinal) atau psikogenik.
Kerugian dari teknik farmakologi ini adalah waktunya yang lama.
Beberapa ahli menggunakan teknik modifikasi dua injeksi;injeksi placebo
diikuti dengan konsentrasi maksimal (chloroprokain 2% atau epidural
lidokain 2%). Pasien masih dievaluasi setelah injeksi,tapi nyeri
dihubungkan dengan pulihnya fungsi motorik,sensorik dan simpatis.
CRYONEUROLISIS DAN ABLASI RADIOFREKUENSI
Ablasi radiofreuensi perkutaneus menghasilkan panas dengan aliran arus
dari electrode aktif dimana dibentuk di ujung jarum khusus. Jarum
diposisikan oleh flouroskopi. Rangsang listrik (rangsang motorik 2Hz dan
50hz untuk rangsang sensorik) melalui electrode dan pengukuran
keseimbangan ablasi juga membantu konfirmasi letak yang benar. Tergatung
lokasi blok,panasnya temperature dibangkitkan electrode sesuai control (6090o selama 1-3menit) untuk ablasi saraf tanpa menyebabkan kerusakan
jaringan luas. Ablasi radiofrekuensi umu digunakan untuk rhizotomi
trigeminal dan ryzotomi cabang medial (facet). Ini juga digunakanuntuk
39
ryzotomi akar dorsal dan simpatektomi lumbar.Nyeri hilang biasanya 3-12
bulan.
Cryoanalgesia dapat menghasilkan nerolisis temporer untuk beberapa
minggu sampai bulan dengan jaringan pembekuan dan pencairan. Suhu pada
ujung cryoprobe secara cepat mengeluarkan gas( carbin dioksida atau nitros
oksida) pada tekanan tinggi diikuti perluasan. Ujung probe,dimana dapat
mencapai suhu -50—70oC, melalui cateter G16-12. Rangsang listrik (2-5Hz
untuk rangsang motorik dan 50-100 Hz untuk rangsang sensorik) membantu
konfirmasi letak probe yang benar. Dua atau lebih dua menit siklus
pembekuean dan pencairan biasanya diberikan. Cryoanalgesi umum dipakai
sampai blok saraf perifer yang lama. Ini kadang-kadang berguna untuk nyeri
postthorakotomi.
BLOK NEUROLITIK ALKOHOL DAN FENOL
Blok neurolitik diindikasikan untuk pasien dengan nyeri kanker intractable
yang berat. Ini digunakan kadang-kadang untuk pasiendengan neuralgia
yang sering kambuh dan jarang pada pasien dengan penyakit vaskuler
perifer. Blok ini sangat menibulkan morbiditas,maka pasien harus hati-hati
diseleksi. Sebagai tambahan, blok ini tidak permanent, karena nyeri
berulang atau nyeri baru (central) pada beberapa pasien dalam bebrapa
minggu sampai bebrapa bulan. Kerusaka temporer dari serabut saraf atu
ganglia dapat ditanggulangi dengan injeksi alcohol atau fenol. Agen ini
tidak selektif, mengenai visceral,sensorik dan serabut motorik secara
seimbang. Ethyl alcohol(50-100%) menyebabkan ekstraksi membrane
fosfolipid dan presipitasi lipoprotein pada axon dan sel Schwann,dimana
fenol(6-12%) dapat mengkoagulasi protein. Alkohol dapat menyebabkan
nyeri hebat saat injeksi. Untuk blok saraf perifer,alcohol diberikan tanpa
pengenceran , tapi untuk blok simpatis dengan sejumlah cairan yang
banyak,diberikan dengan perbandinagan 1:1 dengan bupivakain. Phenol
tidak nyeri saat injeksi dengan pengencer aqua (6-8%) atau dalam
gliserol;cairan fenol 12% dapat disiapkan untuk radiokontras.
Dengan sedikit blok diagnostic dengan cairan anestesi local sebaikanya
dipakai sebelum teknik neurolitik diberikan.Ini untuk konfirmasi jalur nyeri
yang terlibat dan menentukan potensial efikasi dari blok neurolitik. Anestesi
local sebaiknya diberikan lagi dengan cepat setelah agen neurolitik.
Tambahan lagi, fluoroskopi (atauCT) denagn radiokontras sebaiknya
dipakai kalau memungkinkan. Selama injeksi agen neurolitik jarum harus
bersih dari udara dan salin untuk mencegah kerusakan struktur superficial.
Teknik neurolitik paling sering untuk pleksus celiaca, rantai simpatis
lumbar, pleksus hipogastrik,dan blok ganglion impar pada pasien kanker
digunakan untuk saraf cranial dan somatikatau bahkan blok neural aksial.
Beberapa ahli lebih suka alcohol untuk blok pleksus celiaca tapi fenol untuk
blok simpatis lumbar. Dengan teknik subarahnoid neurolitik, sejumlah
sedikit zatini (0,1ml) diinjeksikan, dan pasien dengani hati-hati diposisikan
dengan cairan local pada level yang diinginkan dan dibatasi pada daerah
40
dorsalis. Alkohol adalah hipobarik,sedangkan fenol dalam gliserin adalah
hiperbarik.
INTERVENSI FARMAKOLOGI
Intervensi farmakologi pada menejemen nyeri termasuk COX inhibitor,
opioid, antidepresan, agen neuroleptik, antikonvulsan, kortikosteroid, dan
terap sistemik dengan anestesi local. COX inhibitor akan dibahas untuk
menejemen nyeri postoperative. Opioid, dimana digunakan untuk nyeri
sedang sampai berat dan nyeri kanker akan dibahas pada bab 8.
ANTIDEPRESAN
Agen ini menunjukan efek analgesi, diman terjadi pada dosis lebih rendah
daripada yang dibutuhkan untuk kerja antidepresan. Aksi keduanya
memblok reuptake serotonin presinaptik,norepinefrin atau keduanya. Agen
trisiklik yanglama menimbulkan analgesi yang efektif daripada selectif
serotonin reuptake inhibition (SSRI). Sebaliknya SSRI menimbulkan efek
andidepresan lebih banyak. Antidepresan secara umum lebih berguna untuk
pasien dengan nyeri neuropati missal, neuralgia postherpetika dan neuropati
diabetika. Zat ini mempotensiasi aksi opioid dan sering menimbulkan
gambaran pola tidur yang normal.
Agen yang tersedia dibedakan berdsar efek samping ,dimana ada efek
muskarinik, seperti mulut kering(xerostomia),kegaglan akomodasi
visual,retensi urin, dan konstipasi;efek antihistaminic (H1 dan H2) seperti
sedasi dan peningkatan pH lambung, blok alfa adrenergic menghasilkan
hipotensi ortostatik dan efek quinidin like, sering dengan amitriptilin.
Semua agen dimetabolisme hepar pada first pass dan protein binding yang
tinggi. Paling banyak lipophilik dan mempunyai volume distribusi yang
besar. Eliminasi waktu paruh bervariasi antara 1-4 hari dan mempunyai
metabolit yang aktif.
ANTIKONVUKSAN
Antikonvulsan ditemukan yang sangat berguna pada pasien dengan nyeri
neuropati, sering trigeminal neuralgia dan neuropati diabetika. Blok agen ini
voltage gate dengan saluran sodium dan dapat menekan keluarnya neural
secara spontan dimana mempunyai peranan utama pada gangguan ini.
Gabapentin mempunyai efek keuntungan yang unik. Ini juga telah
dibuktikan untuk terapi ajuvan untuk pasien nyeri postoperative. Agen yang
sering dipakai adalah, fenotoin,carbamazepin,asam valproat,clonazepame,
dan gabapentin. Lamotrigin dan topiramat juga efektif. Semuanya
mempunyai protein binding yang tinggi dan relative waktu paruh yang
panjang. Karbamazepin mempunyai absorbsi lambat dan tidak dapat
diprediksi, dimana membutuhkan monitor level darah untuk efikasi yang
optimal.
NEUROLEPTIK
41
Beberapa ahli menemukan neuroleptik berguna untuk pasien dengan nyeri
neuropati refrakter. Neuroleptik lebih berguna untuk pasien yang ditandai
dengan agitasi atau gejala psikotik. Paling sering dipakai; fluphenazil,
haloperidol, chlorpomazin, dan perphenazin. Aksi terapinya dengan adanya
blockade resepor dopminergik pada tempat mesolimbik. Beruntung, aksi
yang sama jalur algostriatal dapat menghasilakan efek samping
ekstrapiramidal yang tidak diinginkan,seperti mask like fasies, jalan
meloncat, rigiditas cogwheel dan bradikinesia. Beberapa pasien timbul
reaksi distonik akut seperti crisis oculogirik,dan tortikolis. Efek samping
yang lama adalah akhatisia (restlessness yang ekstrem) dan diskinesia tardiv
(gerakan choreoathetoid yang tidak disadari dari lidah,bibir,instabilitas
leher). Seperti antidepresan, banyak dari obat ini bersifat antihistaminic,
antimuskarinik, dan efek bloking alfa adrenergic.
KORTIKOSTEROID
Glukokortikoid telah lama digunakan pada menejemen nyeri karena efek
antiinlamasi dan kemungkinan efek analgesi. Bisa diberikan dengan
topical,oral, atau parenteral ( inravena, subkutaneus, intrabursali,
intraartikuler epidural)Dosis yang banyak atau pemberian yang lama
menyebabkan efek samping yang nyata. Aktifitas efek glukokortikoid
menyebebkan hipertensi, hiperglikemi, peningkatan kemungkinan infeksi,
peptic ulcer, osteoporesis, nekrosis aseptic dari caput femur, myopati
proksimal,katarak dan jarang, protosis. Pasien juga dapat timbul gambaran
syndrome Chusings yang khas. Aktifitas hasil mineralokortikoid
menyebabkan retensi sodium dan hipokalemia dan dapat mencetuskan
gagal jantung kongestif.
ANESTESI LOKAL SISTEMIK
Obat anestesi local kadang-kadang digunakan secara sistemik pada pasien
dengan nyeri neuropati. Menghasilkan sedasi dan analgesi sentral,
analgesinya sering lebih luas dari profil farmakokinetiknya dan memcah
siklus nyeri. Yang sering digunakan adalah lidokain, prokain, dan
klorprokain. Lidokain diberikan dengan infuse lebih dari 5-30 menit untuk
total 1-5 mg/kg. Prokain 200-400 mg dapat diberikan intravena dengan lama
aksi 1-2 jam,sedangkan kloroprokain ( 1% ) dalam infuse dengan rata-rata
1mg/kg/menit total 10-20mg/kg. Monitoring melalui EKG,tekanan darah,
respirasi, dan status mental, peralatan resusitasi penuh sebaiknya disiapkan
segera mungkin. Tanda-tanda toksisitas seperti, tinnitus, slurring, sedasi
yang berlebihan atau nistagmus lambat, infuse yang berhenti.
Pasien yang tidak respon antikonvulsan tapi respon respon anestesi local
intravena mungkin mempunyai keuntungan dari terapi antiaritmia oral
kronik. Methylxantin(150-300 mg tiap 6-8 jam) sering dipakai.
AGEN ALFAADRENERGIK
Efek utama dari alfa2 adrenergik agonis pada aktivasi jalur inhibitori
penurunan di dorsal horn. Epidural dan intratekal dari agonis
42
alfa2adrenergik sering efektik untuk nyeri neuropatikdan toleransi terhadap
opioid.
TOKSIN BOTULINUM
Injeksi toksin botulinum telah digunakan untuk terapi kondisi nyeri
berhubungan dengan otot skeletal. Penelitian menyokong penggunaan
toksin botulinum pada terapi dengan kondisi yang berhubungan dengan
kontraksi otot involunter(mis. Dystonia fokal dan spastisitas). Beberapa ahli
telah menggunakan obat ini untuk terapi headaches dan sindrom myofasial.
Toksin botulinum memblok asetikholin yang dilkeluarkan pada sinap akhir
saraf motorik tapi bukan serabut saraf sensorik.Mekanisme yang mendorong
analgesi adalah aliran darah local diperbaiki, spasme otot hilang, dan
hilangnya kompresi otot dari serabut saraf.
TAMBAHAN TERAPI
INTERVENSI PSIKOLOGI
Teknik ini paling efektif dilakukan oleh ahli psikolog atau ahli psikiatri.
Termasuk terapi kognitif, terapi perilaku, teknik biofeedback dan relaksasi
dan hypnosis. Intervensi kognitif berdasarkan asumsi perilaku pasien
terhadap nyeri dapat menimbulkan nyeri. Perilaku maladaptive
menimbulkan kontribusi penderitaan dan disability. Pasien diajarkan
ketrampilan untuk menanggulangi nyeri mereka secara individu atau
kelompok. Paling banyak teknik yang dipakai pengalihan perhatian . Terapi
perilaku berdasarkan premis bahwa perilaku pasien dengan nyeri kronik
ditandai dengan kosekuensi perilaku. Penguatan positif (missal sesuai
perhatian dari suami/istri) cenderung menambah nyeri dimana penguata
negative menurunkan perilaku nyeri. Seorang terapis mengidentifikasi
perilaku nyeri yang tidak sehat dan mencoba memanipulasi penguatan ;tipe
intervensi ini memrlukan kerjasama anggota keluarga dan petugas medis.
Teknik relaksasi mengajarkan pasien untuk mengubah respon gerakan dan
meningkatkan tonus simpatis berhubungan dengan nyeri. Secara umum
teknik yang digunakan latihan relaksasi otot progresif.Biofeedback dan
hypnosis adalah intervensi yang hampir berhubungan. Semua bentuk
feedback berdasarkan prinsip bahwa pasien dapat diajari control parameter
fisiologi yang tidak disadari. Suatu kecakapan , pasien dapat mengontrol
factor fisiologi s(mis. Tekanan otot) yang menyebabkan nyeri dapat hilang
dengan respon relaksasi, dan dapat lebih efektif menerapkan ketrampilan
penanggulangan. Paling sering digunakan parameter fisiologis adalah
tekanan otot( elektromyografik biofeedback) dan temperature (thermal
biofeedback). Keefektifan hypnosis bervariasi masing-masing individu.
Teknik hypnosis mengajarkan pasien untuk mengubah persepsi nyeri
dengan mengalihkan pada sensasi lain , mekolakalisir nyeri pada satu sisi
lain, memisahkan diri mereka sendiri dari pengalaman nyeri dengan
membayangkan. Pasien dengan kronik headache dan gangguan
musculoskeletal lebih berhasil dengan teknik relaksasi ini.
43
TERAPI FISIK
Panas dan dingin dapat menghilangkan nyeri dengan mengurangi spasme
otot. Sebagia tambahan panas menurunkan aliran darah dan dingin
menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan edema jaringan. Aksi
analgesia dari panas dan dingin juga dapat diterangkan dengan gate theory
dari proses nyeri
Modalitas panas superficial termasuk konduktif ( hot packs,paraffin
baths,fluidoterapi) convektif(hydroterapi) dan taknik radiasi (infrared).
Teknik untuk menerapkan dalamnya panas termasuk ultrasound diatermia
microwave dan shortwave.; modalitas ini lebih efektif untuk menanggulangi
nyeri sendi dalam dan otot. Dingin efektif untuk nyeri berhubungan dengan
trauma akut dan edema. Bila diterapkan selektif dingin dapat
menghilangkan spasme otot. Caranya dengan mengambil bentuk cold
packs , pijat es, atao vapocoolant spray (ethyl klorid atau floromethan).
Latihan sebaikanya bertahap dari program rehabilitasi untuk nyeri kronik.
Program latihan bertahap mencegah kekakuan sendi,atropi otot, dan
kontraktur semuanya menyebabkan nyeri [ada [pasien dan ketidak
mampuan fungsional.
ACUPUNCTURE
Akupuntur dapat berguna untuk pasien dengan nyeri kronik, sering nyeri
dengan gangguan musculoskeletal kronik dan headache. Teknik ini dengan
memasukan jarum kedalam kulit secara anatomi yang disebut meridian.
Rangsangan jarum setelah masuk dalam bentuk memutar atau dari arus
listrik sedang. Titik masuknya jarum berbeda dengan anatomi konvensional
dari system saraf. Meskipun literature ilmiah mempelajari mekanisme dan
aksi akupuntur dan peranany dalam mejemen nyeri masih perdebatan,
banyak penalitian menyarankan rangsang akupuntur menimbulkan opioid
endogenus karena efek ini dapat diantagonis dengan nalokson.
STIMULASI LISTRIK
Rangsang listrik pada system saraf dapat menghasilkan analgesia pada
pasien dengan nyeri akut dan kronik. Arus listrik dapat diberikan
perkutaneus,secara epidural atau electrode yang ditanam dalam system saraf
pusat.
STIMULASI TRANSKUTANEUS
Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) digunakan untuk
memproduksi analgesia dengan rangsangan besar pada serabut saraf
afferent. Ini mempunyai peranan untuk pasien dengan nyeri akut ringan
sampai sedang dan dengan low back pain kronik, arthritis dan nyeri
neuropati. Gate theory nyeri mengatakan input aferen dari serabut epicritic
besar berkompetisi dengan serabut nyeri yang lebih kecil. Teori alternative
menambahkan bahwa pada simulasi yang tinggi ,TENS menyebabkan blok
konduksi pada serabut nyeri kecil afferent. Dengan TENS konvensional ,
44
electrode diletakan pada dermatom yang sama sesuai nyeri dan dirangsang
secara periodic arus listrik dari sumber (biasanya selama 30menit beberapa
kali dalam sehari). Arus listrik 10-30mA dengan pulsasi lebar 50-80us pada
frekuensi 80-100 Hz . Banyak pasien yang refrakter dengan TENS
konvensional respon dengan TENS frekuensi rendah (akupuntur like
TENS)dimana distimulasi dengan pulsasi lebar >200us frekuensi <10
Hz(untuk 5-15 menit). Tidak seperti TENS konvensional, stimulasi
frekuensi rendah dapat direverse dengan nalokson, menyokong adanya
opioid endogenus.
STIMULASI MEDULA SPINALIS (SCS)
Teknik ini juga disebut dorsal column stimulation karena dapat
menghasilkan analgesia secara langsung pada serabut besar A B pada
kolumna dorsalis dari medulla spinalis. Mekanismenya dengan aktivasi
sstem modulating dan inhibisi aliran keluar simpatis.Stimulasi medulla
spinalis sangat efektif untuk nyeri neuropati.Indikasi yang disetujui nyeri
diperantarai simpatis, nyeri karena lesimedula spinalis dengan lokasi
segmental, nyeri tungkai, nyeri ekstremitas bawah iskemia karena penyakit
vaskuler periferdan arahnoiditis adhesive.
Elektrode secara temporer diletakan epidural dan dihubungkan generator
eksternal untuk mengevaluasi efikasi pada pasien 5-7 hari percobaan. Jika
respon didapatkan, system ditanam penuh ; electrode epidural permanent
biasanya ditempatkan perkutaneus, dan dihubungkan dengan generator
subkutaneus. Sayangnya, efikasi dari teknik ini menurun karena waktu pada
beberapa pasien. Komplikasinya infeksi,migrasi dan kerusakan lead.
STIMULASI INTRASEREBRAL
Stimulasi otak dalam dapat dipakai untuk nyeri kanker dan jarang untuk
nyeri neuropati karena proses nonmalignansi. Elektrode dapat ditanam
secara stereotactically masuk periaquaductal dan daerah grea periventrikuler
untuk nyeri neuropati. Elektrode ditanam masuk kedalam nuclei thalamik
sensorik spesifik.Komplikasi yang serius adalah perdarahan intracranial dan
infesl
NYERI POSTOPERATIV
Konsep “preemtif “ analgesia menyebutkan bahwa menejemen nyeri paling
bagus dimulai dari preoperative. Banyak penelitian menyebutkan bahwa
teknik anestesi juga menurunkan stress neuroendokrin, respon pembedahan
dan nyeri. Teknik anestesi regional dimana sebuah cateter diletakan sebelah
kiri juga analgesia post operatif. Anestesi epidural dan intercostals dapat
ditambahkan untuk membantu fungsi respirasi pada operasi abdomen atas
dan operasi thoraks.Epidural dan mungkin anestesi spinal menurunkan
thromboemboli selama operasi panggul dan mengurangi hipercoagulation
yang mengikuti prosedur vaskuler.
45
Kontrol nyeri post operatif secara umum dikelola oleh ahli anestesi, karena
menguasai anestesi regional juga ahli farmakologi untuk analgesi. Modalitas
analgesi postoperative termasuk analgesi parenteral,oral blok saraf perifer,
blok neuroaksial,opioid intraspinal sebaik teknik tambahan seperti TENS
dan terapi fisik. Seleksi teknik analgesi secara umum berdasarkan 3 faktor;
pasien,prosedur,dan setting (pasien rawat jalan atau rawat inap)
PASIEN RAWAT JALAN
1. Analgesik oral
Banyak pasien mempunyai nyeri ringan sampai sedang diterapi dengan
COX inhibisi peroral, opioid atau kombinasi. Pasien yang tidak dapat intake
peroral atau nyeri berat memerlukan perawatan opname dikeluarkanm dari
prosedur.
INHIBITOR CYCLOOKSIGENASE
Analgesik nonopioid oral adalah salisilat,asetilamin dan NSAID. Agen ini
menghambat sintesis prostaglandin (COX) dan mempunyai variasi
analgesi,antipiretik,dan
antiinflamasi.Asetaminophen
mempunyai
antiinflamasi yang kurang. Analgesi selama blockade sintesis
prostaglandin,dimana input nociceptiv diperkuat dan sensitisasi. Banyak
tipe nyeri, seringnya nyeri bedah ortopedi dan gynekologi, respon sangat
baik terhadap agen ini,menunjukan peranan penting prostaglandin. Inhibitor
COX mempunyai aksi penting perifer dan system saraf pusat.Aksi analgesi
dibatasi oleh efek samping dan toksisitas pada dosis yang tinggi. Ada 2 tipe
COX. COX1 ada dalam tubuh dan tersebar dalam tubuh, tapi COX2 muncul
bila ada proses inflamasi. Inhibitor selektif COX2 seperti
celecoxib,mempunyai
toksisitas
rendah,terutama
efek
samping
gastrointestinal. Tambahan lagi, inhibitor COX2 tdak mengganggu agregasi
platelet. Sayangnya, beberapa inhibitor COX2 (rofecoxib dan lainnya)
meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskuler.
Semua agen ini diabsorbsi bagus secara enteral. Makanan menunda absorbsi
tapi tidak mempunyai efek pada bioavailabilitas. Karena sebagian besar
mengikat protein tinggi (>80%),agen ini dapat diganti obat-obatan dengan
ikatan tinggi lain seperti warfarin. Semua melewati metabolisme hepar dan
diekskresi lewat ginjal. Dosis sebaiknya diturunkan pada pasien dengan
kerusakan hepar dan ginjal.
Acetaminophen mempunyai efek samping paling sedikit tapi hepatotoksin
pada dosis sangat tinggi. Isoniazid,zidovudin dan barbiturate dapat
mempotensiasi toksisitas asetaminophen. Aspirin dan NSAID paling sering
meyebabkan asam lambung,nyeri perut seperti terbakar, nausea dan
dyspepsia; beberapa pasien dapat timbul ulserasi pada mukosa
gaster,dimana muncul selama inhibisi prostaglandin dan sekresi bikarbonat.
Efek samping lain adalah dizziness,headache dan drowsiness. Dengan
perkecualian asetaminohen dan inhibitor COX2,semua inhibitor COX
menyebabkan disfungsi platelet. Aspirin mengandung asetilat mencegah
46
ikatan platelet 1-2 minggu,sedangkan efek antiplatelet karena NSAID
reversible dan mempunyai waktu paruh 24-96 jam. ASA dan NSAID dapat
mengeksaserbasi bronkospasme pada pasien dengan triad of nasal,polip,
rhinitis dan asma. ASA sebaikny tidak digunakan pada anak-anak dengan
varicella atau influenza karena menyebabkan sindrom Reye. Terakhir,
NSAID menyebabkan insufisiensi renal akut dan nekrosis papiler renal,
terutama pada pasien dengan penyakit disfungsi renal.
OPIOID
Nyeri postoperative sedang sebaiknya diterapi dengan opioid oral sesuai
permintaan (PRN) atau sesuai jadwal. Biasanya dikombinasi dengan
inhibitor COX oral,terapi kombinasi meningkatkan analgesia dan
mengurangi efek samping. Agen yang sering dipakai adalah
codein,oksikodon,dan hidrokodon. Agen ini diabsorbsi baik, tapi
metabolisme hepar terbatas. Seperti opioid lain, ini juga melewati
biotransformasi hepar dan konjugasi sebelum dikeluarkan lewat ginjal.
Codein ditransformasikan oleh hepar menjadi morpin. Efek samping obat
opioid oral mirip opioid sistemik, bila diresepkan secara tetap, pelembut
atau laxative dapat diberikan.Tramadol adalah bentuk sintetik dari opioid
oral dapat memblok reuptake neuronal norepinefrin dan serotonin. Ini
menimbulkan efikasi yang sama seperti kombinasi antara codein dan
asetaminophen tapi, tidak seperti yang lain, terdapat depresi respirasi yang
kurang dan efek pengosongan lambung yang sedikit.
2. ANESTESI LOKAL INFILTRASI
Infiltrasi langsung pad tempat incise atau blok dengan anestesi local adalah
mudah dan cara yang aman untuk menghilangkan nyeri postoperative. Blok
ileoinguinal dan femoral dapat dipakai untuk prosedur hernia repair dan
hernia scrotalis dan blok penis untuk sircumsisi. Zat anestesi local seperti
bupivakain bisa digunakan. Analgesi sering melebihi durasi farmakokinetik
dari zat anestesi local. Ini menyebabkan zat anestesi local lebih disukai
untuk pembedahan untuk analgesi preemtif.
Injeksi intraartikuler dengan anestesi local,opioid atau kombinasinya efektif
untuk prosedur artroskopi.
PASIEN RAWAT INAP
Sebagian pasien rawat inap dengan nyeri postoperative ringan samapi berat
memrlukan zat analgesic parenteral atau blok neural dengan local anestesi
pada 1-6 hari pertama setelah pembedahan. Satu dari pasien dapat dicoba
intake oral dan menurunkan intensitas nyeri,oral analgesic dapat dicoba.
Analgesik parenteral yaitu NSAID (ketorolak),opioid,dan ketamin.
Ketorolak dapat diberikan subcutaneous,intramuskuler, sedangkan opioid
dapat diberikan secara subkutaneus, intramuskuler, intravena atau
intraspinal. Sediaan opioid transdermal tidak direkomendasikan untuk nyeri
postoperative karena meningkatkan resiko depresi respirasi.
1. OPIOID
47
Analgesi opioid diberikan pada level darah tertentu pada pasien untuk
pemberian intensitas nyeri. Pasien dengan nyeri berat terus diberikan sampai
zat analgesi mencapai level tertentu diatas dimana pengalaman analgesi
pasien dan beratnya nyeri secepatnya dihilangkan. Titik tangkapnya adalah
sesuai dengan minimum efektif analgesic consentration (MEAC). Sedikit
zat yang meningkatkan hasil dengan efek analgesi yang besar.
INJEKSI INTRAMUSKULER DAN SUBKUTANEUS
Dua rute yang sering dipakai karena injeksinya nyeri dan level dalam darah
tidak dapat diprediksi. Pasien mengeluh adalah biasa karena lambatnya
reaksi obat dan dosis yang tidak benar. Siklussedasi, analgesi, dan analgesi
yang inadekuat adalah umum terjadi.
OBAT INTRAVENA
Obat lewat intravena memecahkan masalah dengan absorbsi yang tidak
dapat diprediksi. Keseimbangan optimal antara analgesi yang adekuat,
sedasi, dan deprsei nafas dapat untuk menentukan apakah diberikan sering,
intermiten, oipoid dosis kecil (morfin 1-2 mg). Bagaimanapu obat sudah
diseleksi,karena redistribusi obat, durasi aksi pendek ditemukan sampai
beberapa dosis yan diberikan, level darah adekuat dapat dipertahankan
dengan infuse kontinyu. Sayangnya, teknik ini membutuhkan kerja ekstra
dan memerlukan monitoring ketat untuk depresi nafas. Ini memerlukan
tindakan tertentu, intensive care, dan unit onkologi khusus.
PASIEN DENGAN KONTROL ANALGESIA
Dengan menggunakan teknologi computer,pasien dapat diberikan control
analgesi (PCA). Dengan menekan tombol, pasien dengan mudah mengatur
dosis opioid sesuai permintaan sendiri secara intravena (atau intraspinal).
Program dokter dengan pompa infuse untuk dosis tertentu,interval minimum
antara dosis (periode libur) dan jumlah opioid maksimal dapat diberikan
pada periode pemberian (biasanya 1-4 jam); infuse basal diberikan secara
simultan. Bila PCA diberkan pertama, dosis awal opioid harus diberikan staf
medis atau tergantung setting, pasien dapat memberikan sendiri pada jam
pertama. Bila morphin PCA intravena dipakai untuk bedah mayor, pasien
dewasa membutuhkan 2-3 mg/jam pada 24-48 jam dan 1-2 mg/jam pada 3672 jam berikutnya.
Penelitian menunjukan bahwa PCA adalah teknik cost efektif yang
menghasilkan analgesi superior dengan pasien sangat memuaskan. Sebagai
tambahan konsumsi obat total rendah, dibandingkan dengan injeksi
intramuskuler. Pasien dapat diberi tambahan obat analgesi sesuai beratnya
nyeri , bervariasi tergantung aktivitas dan waktu. PCA memerlukan
pengertian dan kerjasama pasien , inilah batas digunakan untuk pasien muda
dan pasien bingung.
Sebagai tambahan keamanan obat melalui computer, keamanan PCA
berdasarkan prinsip bahwa pasien menjadi sangat mengantuk, dia tidak
dapat memencet tombol untuk penggunaan opioid. Orang lain (seperti
48
anggota keluarga atau perawat) sebaiknya tidak menekan tombol untuk
pasien. Penggunaan infuse basal masih controversial. Dokter yang
menganjurkan infuse basal untuk mencegah level obat analgesic dari
penurunan jika pasien tidur, dapat diperkirakan, pasien kemudian bangun
saat nyeri berat. Dokter lain berargumen bahwa karena tingginya variasi
farmakokinetik pada pasien dan kadang-kadang menurun cepat, infuse basal
mungkin lebih banyak menghasilkan depresi nafas. Faktor tambahan
berkaitan dengan depresi nafas yang luas membutuhka nalokson selama
pemberian PCA yaitu infuse basal,usia lanjut, dan hipovolumi. Pasien yang
mempunyai keuntungan dari infuse basal kontinyu membutuhkan sejumlah
besar opioid. Konsumsi 24 jam,dapat diberikan infuse basal 30-50%. Jadi,
pasien dengan konsumsi 60mg morphin perhari dapat dengan aman
diberikan infuse basal 1-1,5 mg/jam.
Efek samping yang sering dari opioid adalah nausea, muntah, itching dan
ileus. Hampir semua overdosis opioid yang dikaitkan dengan PCA
mempunyai program yang tidak benar. Aliran sejumlah besar opioid ke
pasien lewat intravena(selama rusaknya system) adalah jarang tapi
menimbulkan masalah serius dengan system yang lebih tua, pada system
terbaru, perubahan desain dan katup dapat mengatasi hal ini. Malfungsi
mekanik dari PCA telah dilaporkan, tapi jarang terjadi.
2. BLOK SARAF PERIFER
Blok saraf intercostals,interpleura,pleksus brachial dan femoral dapat
menghasilkan analgesi yang bagus. Teknik kateter secara intermiten atu
infuse kontinyu dar anestesi local (bupivakain 0,125% atau ropivakain
0,125 %) yang dapat memberikan analgesi selama 3-5 hari postoperative.
3. BLOK NEUROAKSIAL CENTRAL DAN OPIOID INTRASPINAL
Pemberian zat anestesi local opioid secara neuroaksial(terutama epidural)
merupakan teknik yang bagus untuk menejemen nyeri postoperative setelah
prosedur ortopedi,abdominal, pelvis,dan thoraks. Pasien mempunyai fungsi
pulmoner yang baik, dapat dibawa dan berhasil pada terapi fisik awal.
Sebagai tambahan, pasien mempunyai resiko rendah trombosis vena
postoperative.
Injeksi neuraxial singleshot (subarahnoid atau epidural) zat anestesi
local,opioid atau kombinasinya dapat digunakan untuk preemtif analgesi
dan analgesi saat operasi. Teknik ini bagaimanapun, sangay efektif dengan
kateter sebelah kiri untuk infuse kontinyus atau intermiten. Epidural kateter
sering digunakan karena sindrom cauda equine dilaporkan dengan kateter
subarahnoid.
ZAT ANESTESI LOKAL
Cairan anestesi local dapat menghasilkan analgesi yang bagus,tapi
menhasilkan blockade motorik dan simpatis. Bentuk ini menyebabkan
hipotensi dan terbatas. Kelarutan zat anestesilokal dapat menghasilkan blok
motorik kecil. Agen yang sering dipakai adalah bupivakain dan ropivakain
49
0,125-0,25%. Derajat infuse berbeda tiap pasien tai secara umum tergantung
level ujung kateter pada dermatom incisi. Dengan penempatan kateter yang
optimal, infuse 5-10ml/jam dapat menghasilkan analgsi yang memuaskan.
OPIOID
Aksi opioid analgesi spinal dibicarakan dibawah ini. Morfin intratekal 0,20,4 mg menghasilkan analgesi untuk 4-24jam. Morfin epidural 3-5 mg sama
efektifnya dan lebih banyak digunakan.Morphin dengan formulasi
liposomal extended release (depodur) menghasilkan analgesi selama 48 jam.
Ini telah dipakai hanya untuk pemberian epidural lumbar setelah artroplasti
panggul (15mg),bedah abdominal bawah (10-15 mg). Pemberian
denganepdural dan intratekal penetrasi opiate dalm medulla spinalis
tergantung waktu dan konsentrasi. Pemberian epidural dengan agen
hidrofilik(seperti morfin) menghasilkan analgesi lebih rendah daripada agen
lipofilik (seperti fentanyl). Yang terakhir dapat menghasilkan efek
segmental dan sebaiknya digunakan hany bila ujung kateter dekat dengan
dermatom incisi. Level darah sistemik dari fentanyl selama epidural hamper
sama dengan pemberian intravena.Efikasi dari pemberian alfentanyl
epidural dan kemungkinan sufentanil timbul hamper sama selama absorbsi
sistemik.
Agen hidrophilik menyebar kesegala arah tergantung waktu,jadi injeksi
morfin lumbar rendah dapat menghasilkan analgesi yang baik untuk thoraks
dan prosedur abdomen atas. Faktor-faktor penting yang berparan meliputi
tempat ujung kateter relative dekat incise dan usia pasien. Semakin dekat
ujung kateter dengan dermatom incise, semakin sedikit jumlah opioid yang
dibutuhkan. Pasien lebih tua memutuhka sedikit opiate. Jika morfin epidural
dipakai sebagai analgesic tunggal dengan infuse kontinyu (0,1mg/ml), bolus
3-5 mg diberikan diikuti dengan 0,1-0,7 mg/jam. Teknik bolus intermiten
dapat digunakan, tapi infuse kontinyu menurunkan efek samping seperti
retensi urin dan itching.
Fentanyl secara umum sering dipakai sebagai agen lipofilik dan diberikan
3-10ug/ml cairan 5-10ml/jam.
ZAT ANESTESI LOKAL DAN CAMPURAN OPIOID
Meskipun opioid intraspinal tunggal dapat menghasilkan analgesia yang
baik, banyak pengalaman pasien membuktikan efek samping tergantung
dosis,terutama opioid larut dalam lemak. Jika cairan anestesi local
dikombinasikan dengan opioid, sinergi yang nyata didapatkan. Bupivakain
0,0625-0,125%(atau ropivakain 0,1-0,2%) dikombinasi dengan morphin
0,1mg/ml (atau fentanyl 5ug/ml) menghasilkan analgesi yang baik dengan
kebutuhan obat yang sedikit dan sedikit efek samping.Tambahan dosis kecil
epinefrin (2ug/ml) meningkatkan dan memperpanjang analgesi epidural dan
mungkin menurunkan absorbsi sistemik dari opioid lipofilik (mis fentanyl).
Tambahan dosis kecil clonidin meningkatkan dan memperpanjang analgesi
tapi juga meningkatkan kejadian hipotensi dan bradikardi.
50
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasinya penolakan pasien, coagulopati,atau abnormalitas platelet
dan adanya infeksi atau tumor pada tempat tusukan. Adanya infeksi sistemik
hanya kontraindikasi relative jika tidak ada bakteremia . Penempatn kateter
intraspinal pada pasien dengan heparinisasi intraoperatif masih controversial
karena kemungkinan hematom epidural. Kejadian yang ada menunjukan
resiko yang kecil bila kateter ditempatkan dengan atraumatic selama
heparinisasi dan dipindah hanya setelah koagulasi normal.
EFEK SAMPING OPIOID INTRASPINAL
Efek samping yang sangat serius dari epidural dan intratekal opioid
tergantung dosis,depresi nafas lambat.Difusi opioid memasukan cairan
serebrospinal dan migrasi ke dalam medula pusat respiratori. Depresi pada
kurve CO2 adalah khas; Harga PaCO2 tertinggi 40s atau kurang dari 50s
jarang bahkan sadar penuh dan pasien terjaga. Kejadian depresi nafas lebih
tinggi intratekal darpada setelah pemberian epidural. Depresi nafas awal
(dengan 1-2 jam) dapat dilihat dengan opioid epidural dan diharapkan
selama uptake sistemikmelalui pembuluh darah spinal. Tejadinya depresi
nafas membutuhkan nalokson yang rendah(0,1%) dengan opiod epidural.
Banyak kasusdepresi nafas serius terjadi pada pasien yang diberi opioid
parenteral atau sedative. Pasien tua membutuhkan dosis yang dikurangi.
Semua pasien membutuhkan pengawasan khusus,umumnya membutuhkan
intensive care atau unit desain perawatan khusus. Kontroversi terjadi pada
pengawasan yang optimal. Pulse oksimetri dan monitor apnea digunakan
tapi bukan untuk mengganti peranan pengawasan perawat. Perubahan pada
pulsasi terbaca terlambat setelah alarm dan monitor nafas menghasilkan
alarm false positif. Sedasi berlebihan merupakan indicator yang baik untuk
deprsei nafas. Penurunan respirasi rate juga membantu tapi tidak terlalu
dipercaya karena obstuksi dapat menyebabkan kematian selama apnea.
Protokol sebaiknya dilakukan pada staf perawatan untuk menurunkan atau
menghentikan infuse opiate atau bahkan nalokson untu depresi nafas yang
berat. Jumlah nalokson diberikan sebaiknya sesuai dengan kepentingan
situasi klinis. Tanda depresi nafas sebaiknya dapat diterapi dengan dosis
besar nalokson (0,4mg). Infus nalokson kontinyu mungkin penting karena
waktu paruh nalokson lebih pendek daripada opioid itu. Dosis kecil
nalokson(0,04mg tambahan) mungkin mereverse depresi nafas tapi tidak
analgesinya. Deksafarm intravena (0,75-1 mg/ kg diikuti 1-2 mg/menit, juga
dapat digunakan sebagai pengukuran . Yang terakhir ini dapat mereverse
depresi nafas tanpa dengan analgesinya.
Efek samping umumnya gatal, mual, retensi urin,sedasi dan ileus.
Hidromorphon kurang disukai daripada morfin karena pruritus dan nausea.
Insiden pruritus lebih dari 30 %,sedangkan retensi urin dilaporkan 10-100%.
Efek samping yang sama terdapat pada parenteral opioid. Mekanisme
pruritus kurang begitu dipahami tapi tidak berhubungan dengan hstamin
release. Dosis kecil nalokson (0,04mg)telah dilaporkan untuk mereverse
51
pruritus tanpa reversing analgesia. Antihistamin seperti difenhidramin atau
hidroksidin juga dapat digunakan untuk gatal tapi menyebabkab sedasi.
Vomitus dan mual dapat diberikanmetoklopram(5-10mg),scopolami
transdermal, droperidol (0,625-1,35) atau ondansetron (4-6mg). Retensi urin
tidak masalah,karena pasien terpasang urin kateter untuk beberapa hari
postoperative.
AGEN LAIN
Butorphanol epidural dapat menghasilkan analgesi yang baik (2-3
jam)dengan pruritus kecil tapi sedasi dalam mungkin efek sampingnya.
Clonidin epidural menunjukan analgesi yang efektif tapi tidak berhubungan
denganhiporensi dan bradikardi. Terbaru, agonis alfa adrenerjik seperti
dexmedetomidin,yang mungkin digunakan dengan efek samping sedikit.
NYERI KANKER
Kira-kira 19 juta orang didunia mempunyai pengalaman nyeri kanker tiap
tahun. Ini 40-80% menderita dari nyeri sedang sampai berat. Nyeri ini
karena lesi kanker itu sendiri,metastasenya komlikasinya seperti kompresi
neural atau infeksi,terapi,atau factor-faktor yang total tidak berhubungan.
Manafer nyeri harus mempunyai pemahaman yang baik tentang
kanker,gradenya,penyakit metastase dan terapinya.
Nyeri kanker dapat diberi analgesi oral pada beberapa pasien. WHO
merekomendasikan 3 langkah (1) analgesi nonopioid seperti
aspirin,asetaminofen atau NSAID untuk nyeri ringan (2) oral opioid lemah
(codein dan oxicodon)untuk nyeri sedang dan (3) opioid kuat (morfin dan
hidromorfon) untuk nyeri berat. Terapi parenteral penting untuk nyeri
berulang dan bila pasien tidak dapat diberi oral atau absorbsi yang jelek.
Meskipun agen diseleksi, terapi obat sebaiknya dengan jadwal waktu yang
tepat daripada PRN.Inhibitor COX dan opioid oral kurang poten akan
dibicarakan dibawah. Terapi obat ajuvan, terutama antidepresan dan
modalitas lain sebaiknya juga diberikan bebas pada pasien kanker.
TERAPI OPIOID ORAL
Nyeri kanker ringan sampai sedang biasanya diterapi dengan morfin
immediate release (mis morfin cair,Roxanol,10-30mg tiap 1-4jam). Preparat
ini mempunyai waktu paruh 2-4 jam. Permintaan pasien harian ditentukan,
dosis yang sama diberikan dalam bentuk morfin sustained release(MS
Contin atau Oramorph SR) diberikan setiap 8-12 jam Preparatimmediate
release kemudian digunakan hanya untuk melwan nyeri (PRN). Fentanil
oral transmukosa lozenges (Actif 200-1600ug) dapat juga diberikan untuk
melawan nyeri. Sedasi dalam dapat diterapi dengan dextroampetamin atau
methylpenidate 5 mg pagi dan siang. Sebagian pasien membutuhkan
pencahar seperti docusat sodium, senna,cascara,magnesium sitrat,susu
magnesia atau laktulosa. Mual diterapi dengan transdermal
skopolamin,meclizin oral atau metoklopramid.
52
Hidromorphon (Dilaudid) adalah alternative yang baik untuk
morfin,terutama untuk pasien tua dan dengan kerusakan renal. Metadon
dilaporkan mempunyai waktu paruh 15-30 jam durasi klinis lebih singkat
dan variable (biasanya 6-8 jam). Pasien yang mempunyai tuleransi obat
membutuhkan dosis tambahan opioid rumatan untuk menimbulkan feel
analgesic yang sama. Toleransi psikologik, ditandai dengan perubahab
perilaku terhadap obat tertentu jarang pada pasien kanker. Toleransi terjadi
pada derajat perbedaan tiap orang dan hasil dari efek yang diinginkan
seperti sedasi dalam,mual,dan depresi nafas. Sayangnya, banyak pasien
mengeluh konstipasi. Ketergantungan fisik terjadi pada semua pasien
dengan dosis besar opioid untuk periode lama. Fenomena withdrawal dapat
dipercepat dengan pemberian antagonis opioid. Penggunanaan antagonis
opioid yang tidak melewat blood brain barrier seperti methylaltrexon dan
alvimopan dapat membantu menurukan masalah efek samping sistemik
tanpa mengurangi efek analgesinya.
TRANSDERMAL ANALGESIA
Fentanil transdermal adalah alternative yang baik untuk morfin sustain
release, terutama bila pemberian oral tidak memungkinkan. Sediaan patch
disusun sebagai cadangan obat yang diserap oleh kulit dengan membrane
mikropous dan polimer adesiv. Fentanil jumlah sangat besar (10mg)
menyebabkan tekanan yang besar untuk difusi transdermal. Rintangan
utama untuk absorbsi adalah stratum korneum. Rute Transdermal
menghindari metabolisme hepar first pass. Fentanil transdermal patch
tersedia 25,50,75 dan 100 ug/jam untuk 2-3 hari. Patch yang paling besar
seimbang dengan 60 mg/hr morfin intravena.
Keuntungan utama dari cara ini adalah onset yang lambat dan dosis cepat
berubah sesuai dengan perubahan kebutuhan. Level fentanil darah
meningkat dan mencapai flat selama 12-18 jam rata-rata konsentrasi 1,1,5
dan 2 ng/ml untuk 50,75 dan 100 patch. Variabel antarpasien yang besar
menghasilkan perubahan range 50-200ug/jam. Aksi dermis sebagai
cadangan kedua bahkan setelah patch dilepas, fentanil diabsorbsi terus
sampai beberapa jam.
TERAPI PARENTERAL
Nyeri kanker yang tidak terkontrol berat membutuhkan perubahan bentuk
pemberian dari oral ke parenteral atau opioid interspinal. Bila karakter nyeri
berubah nyata, ini penting untuk direevaluasi perkembangan penyakit
pasien. Banyak terapi pengganti seperti bedah paliatif,radiasi atau
kemoterapi
dapat membantu.
Pembedahan
dapat
mengurangi
tumor,kompresi atau memfiksasi fraktur. Terapi hormonal sebaiknya
dilkukan bila mungkin. Teknik neurilitik sebaiknya juga dilibatkan bila
tidak ada yang cocok.
Terapi opioid parenteral biasanya lebih suka diberikan infuse intravena
kontinyu tapi dapat juga diberikan subkutaneus dengan wing needle. Infus
53
portable modern mempunyai kemampuan PCA untuk pasien yang mengatur
terapi sendiri melawan nyeri.
OPIOID INTERSPINAL
Penggunaan opioid intraspinal adalah alternative yang baik untuk pasien
yang tidak hilang dengan teknik lain atau karena efek samping yang banyak.
Opioid melalui epidural dan subarahnoid menghilangkan nyeri dengan dosis
rendah dan sedikit efek samping. Teknik infuse kontinyu menurunkan
kebutuhan obat (disbanding dengan bolus intermiten), efek samping
minimal dan menurunkan oklusi kateter. Aktivitas myoklonik mungkin
jarang ditemukan dengan morfin atau hydromorfon intratekal.
Kateter intratekal atau epidural dapat ditempatkan secara perkutaneus
atau ditanam untuk mendapat analgesi efektif lama. Kateter epidural dapat
dilepaskan dari pompa sehingga dapat dibawa pasien. Suatu kateter
temporer harus dimasukan obat pertama untuk teknik efikasi. Penempatan
yang benar dari kateter sebaiknya dipandu fluoroskopi dan radiokontras.
Kateter intratekal yang dapat ditanam lengkap dengan program eksternal
dapat digunakan untuk oinfus ,hanya mahal. Pompa yang ditanam sebagai
cadangan secara periodic diisi ulang secara perkutaneus,penambahan injeksi
dalam kateter secara langsung. Sistem intratekal yang dapat ditanam paling
cocok untuk pasien dengan kemungkinan hidup beberapa bulan, sedangkan
kateter epiduraltembus cocok untuk pasien yang mempunyai kemungkinan
hidup hanya beberapa minggu. Bentuk masa infalamsi pada ujung kateter
bisa terjadi dan menurunkan efikasinya.
Masalah besar dengan opioid intraspinal adalah toleransi. Fenomena
lambat secara umum, toleransi timbul cepat pada banyak pasien. Pada
keadaan ini,terapi ajuvan harus diberikan, yaitu local anestesi yang
intermiten atau campuran opioid dan anestesi local ( bupivakain atau
ropivakain 2-24 mg/hari) klonidin intratekal atau epidural (2-4ug/kg/jam
atau 48-800 ug/hr) atau agonis GABA baclofen intratekal. Klonidin
terutama dipakai untuk nyeri neuropati. Dalam dosis besar ini menyebabkan
hipotensi dan bradikardi.
Komplikasinya termasuk infeksi kulit dan abses epidural. Infeksi
superficial dapat diturunkan dengan menggunakan cuff silver impregnated.
Komplikasi lain hematom,dungkin onset cepat atau lambat (hari).
Penggunan teknik spinal invasive mempunyai komplikasi terhadap tekanan
intracranial(dari lesi masa) dan koagulopati. Ratio factor resiko harus
dipertimbangkan pada pasien terminal endstate.
TEKNIK NEUROLITIK
Blok Neurolitik pleksus celiaca sangat efektif untuk pasien dengan
pertumbuhan keganasan intraabdomen,terutama kanker pancreas. Blok
neurolitik simpatis lumbar,pleksus hipogastrik atau ganglion impar dapat
digunakan untuk keganasan daerah pelvis. Blok neurolitik intercostals dapat
membantu pasien dengan metastase costa. Pada pasien dengan nyeri pelvis
54
refrakter, saddle blok neurolitik dapat mengurangi nyeri,bagaimanapun,
disfungsi vesika urinaria dan saluran cerna dikecualikan. Karena morbiditas
yang tinggi pada blok neurolitik(disfungsi somato sensori dan motorik),blok
ini sebaiknya digunakan hanya dengan pertimbangan hati-hati.Prosedur
neurodestruktif seperti pada adenolisis pituitary dan cordotomi dapat
digunakan pada pasien terminal. Beberapa center menambahkan stimulasi
otak dalam.
SINDROM NYERI
SINDROM ENTRAPMEN
Neuropati entrapment secara umum melibatkan saraf sensoris,motorik atau
campuran. Kompresi neural dapat terjadi dimana jalan saraf secara anatomi
dekat bagian ini. Faktor genetic dan makrotrauma repetitive sering sebagai
penyebab;tenosynovitis yang berdekatan sering bertanggung jawab. Bila
saraf sensoris terkena, pasien mengeluh nyeri dan matirasa daerah distal dari
tempat entrapmen; kadang-kadang pasien mengeluh nyeri yang dijalarkan
proksimal dari tempat entrapmen. Entrapmen dari saraf sciatik(sindrom
piriformis)dapat mirip penyakit herniasi intervertebral. Entrapmen dari saraf
motorik menghasilkan kelemahan otot yang diinervasinya. Bahkan
entrapmen yang “asli”saraf motorik dapat menghasilkan nyeri yang tidak
jelas mungkin berasal dari saraf aferen dari otot dan sendi. Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan elektromyografi dan percobaan konduksi saraf. Blok
neural saraf dengan anestesilokal,dengan atau tanpa kortikosteroid untuk
diagnostic dan menghilangkan nyeri temporer. Terapi simtomatik dengan
analgesi oral dan imobilisasi temporer,bila cocok. Perkembangan reflek
simpatis dystropi membutuhkan blok simpatis. Gejala-gejala refrakter
membutuhkan bedah dekompresi.
NYERI MYOFASIAL
Syndrom myofasial adalah gangguan umum ditandai dengan nyeri
otot,spasme otot,kekakuan, kelemahan, dan kadang-kadang disfungsi
otonomik.Pasien mempunyai daerah berlainan (trigger point) ditandai nyeri
pada satu atau lebih otot atau berkaitan dengan jaringan ikat. Palpasi pada
otot tersebut,mengikat pada trigger point. Tanda-tanda disfungsi
otonomik(vasokonstriksi atau piloereksi) pada lembaran otot mungkin ada.
Nyeri secara karakteristik menyebar pada daerah tersebut dan mengikuti
dermatom.
Trauma berat atau mikrotrauma repetitive mempunyai peranan penting
dalam timbulnya sindrom myofasial. Trigger point berkembang diikuti
trauma akut;rangsang pada trigger poin aktif ini menghasilkan nyeri dan
berikutnya spasme otot memperpanjang nyeri. Bila episode akut ini
surut,trigger poin menjadi laten (lembut,tapi tidak nyeri)hanya direaktivasi
pada waktu nanti dengan stress berikutnya. Patofisiologinya kurang
dimengerti, tapi trigger poin adalah daerah iskemia local dimana
berkembang karena spasme vaskuler atau spasme otot.
55
Diagnosis sindrom myofasial didapat dengan karakter nyeri dan palpasi
pada daerah trigger poin. Sindrom ini umumnya menghasilkkan trigger poin
di levator scapula, masseter, quadratus lumborum dan gluteus medius.Dua
yang terakhir menghasilkan low back pain dan sebaiknya dipertimbangkan
pada semua pasien dengan nyeri pinggul belakang,selain itu, trigger poin
gluteal dapat mirip radikulopati S1.Meskipun nyeri myofasial dapat kembali
spontantanpa sekuele, banyak pasien terus mempunyai trigger poin. Bila
trigger poin aktif, terapinya diarahkan kembalinya elastisitas dan
panjangnya otot. Anakgesi diberikan di trigger poin (1-3ml) dengan anestesi
local. Cooling topical dengan vapocoolant, etylalkohol atau spray
florokarbon (fluoromethan) dapat untuk merelaksasi otot dan pijat
(peregangan dan spray) dan terapi ultrasound. Etylklorid lebih disukai
dibandingkan fluorocarbon yang merusak lapisan atas ozon. Terapi fisik
penting untuk perawatan gerakan otot.Biofeedback mungkin berguna untuk
pasien ini.
LOW BACK PAIN DAN SINDROM YANG MENYERTAINYA
Nyeri punggung adalah keluhan umum yang menjadi penyebab utama
mangkirnya kerja di seluruh dunia. Strain lumbosakral,penyakit degeneratif
discus dan sindrom myofasial adalah penyebab utama low back pain dengan
atau
tanpa
nyeri
tungkai.
Penyebabnya
bisa
congenital,
traumatic,degeneratif,peradangan,psikologis atau keganasan. Tambahan
lagi,back pain bisa menyertai proses abdomen dan pelvis,terutama penyakit
struktur retroperitoneal (pancreas,ginjal, ureter,aorta, dan tumor), uterus dan
adnexa, prostate dan rectosigmoid. Gangguan pada panggul mirip gangguan
ini. Tanda Patrick positif dapat membantu identifikasi gangguan
panggul(hip).Tanda ini meliputi nyeri panggul,tumit ipsilateral pada lutut
kontralateral dan paha ipsilateral. Ini juga dinamakan suatu
akronim,FABERE(sign)
karena
gerakan
tungkai
meliputi
fleksi,abduksi,eksternal rotasi,dan ekstensi.
1. ANATOMI PUNGGUNG
Punggung(back) digambarkan anterior dan posterior. Komponen anterior
terdiri dari corpus vertebralis silindrikal yang merupakan interkoneksi
dengan discus intervertebralis dan disokong oleh ligamentum longitudinal
posterior dan anterior. Elemen anterior adalah tempat tulang yang perluasan
dari berasal dari tiap corpus vertebralis,termasuk dua pedikel, dua prosesus
tranversus, dua lamina dan prosesus spinosus. Transversus dan prosesus
spinosus merupakan titik pemisahan untuk otot untuk gerakan dan
perlindungan kolumna spinalis. Vertebra yang dekat secara posterior oleh
dua sendi faset,menyebabkan banyak gerakan.
Struktur spinal diinervasi oleh cabang sinuvertebralis dan saraf spinal rami
posterior. Saraf sinuvertebralis muncul sebelum saraf spinal terbagi jadi
rami anterior dan posterior dan masuk kembali ke foramen intervertebralis
untuk menginervasi ligamentum longitudinal posterior, fbrosus annulus
posterior,periosteum,pembuluh darah epidural dan dura. Struktur paraspinal
56
disuplai oleh ramus primer posterior. Tiap sendi faset diinervasi oleh cabang
medial dari rami posterior primer dari saraf spinal diatas dan dibawah sendi.
Sesuai akar saraf spinal lumbar keluar dari dural sac, turun 1-2 cm secara
lateral sebelum keluar dari foramina intervertebralis,jadi,akar saraf
L5meninggalkan dural sac pada leveldiskus L4-5 (tempat sering
kompresi)tapi meninggalkan lapisan kanal spinal pedikel L5 yang
berlawanan dengan discus L5-S1.
2. SPRAIN/STRAIN
SENDI
PARAVERTEBRAL
LUMBOSAKRAL
DAN
OTOT
Kira-kira 80-90% dari low back pain yang menyertai strain dan sprain
dikaitkan dengan angkat barang berat,jatuh atau tiba-tiba ada gerakan
abnormal dari vertebra. Istilah sprain digunakan bila nyeri dikaitkan dengan
trauma akut, sedangkan strain digunakan bila nyeri lebih krons dan
dikaitkan dengan trauma minor repetitive.
Trauma otot paravertebra dan ligamentum menghasilkan reflek spasme
otot,yang
dihubungkan dengan trigger poin. Nyeri biasanya tumpul dan
sakit dan jarang menyebar ke bawah sampai pantat atau panggul. Sprain
adalah proses benign self limited dan dapat berlangsung 1-2 minggu. Terapi
simptomatik diberi analgesi oral dan istirahat.
Sendi sacroiliaca terutama yang mudah trauma rotasional. Trauma akut dan
kronis menyebabkan subluksasi sendi. Nyeri berasal dari sendi yang secara
karakteristik disepanjang posterior ilium dan menyebarke bawah panggul
dan paha posterior sampai lutut. Diagnosis dilakukan dengan kelembutan
saat palpasidan kompresi sendi ini. Hilangnya nyeri setelah injeksi sendi
dengan anestesi local(3ml) adalah diagnostic dan terapi. Peranan injeksi
steroid intraartikuler tidak ditegakan.
3. PENYAKIT DEGENERATI DISKUS
Diskus interverbralis kurang lebih 1/3 dari berat kolumna spinalis. Bagian
tengah ini oleh material gelatinus. Material degeratif ini dan menjadi fibritik
dengan bertambahnya umur dan trauma. Nukleus pulposus dikelilingi oleh
annulus fibrotik yang lebih tipis diposterior dan diikat superior dan inferior
dengan plat kartilagenus.Nyeri disk (diskogenik)mempunyai mekanisme
utama (1)protusion atau extrussi dari nucleus pulposus posterior atau (2)
hilangnya
tingginya
discus,
akibat
formasi
reaktifuntuk
bonyspurs(osteofit)dari lingkaran corpus vertebralis diatas dan dibawah
discus. Penyakit discus degeneratif sering mengenai vertebral lumbar karena
ditemukan gerakan besar dan ligamentum longitudinal yang tipis L2-5.
HERNIA DISKUS
Kelemahan dan degeneratif dari annulus fibrosus dan ligamentum
longitudinal dapat menyebabkan hernia nucleus pulposus posterior ke dalam
spinal . 90 % hernia discus terjadi antaraL5-S1 atau L4-L5. Gejalanya
57
biasanya timbul diikuti trauma flexi dan mungkin karena;(1)bulging,
(2)protusi, (3) ekstrusi discus. Hernia discus biasanya terjadi posterolateral
dan sering menekan akar saraf terdekat,menghasilkan nyeri yang dijalarkan
sepanjang dermatom (radikulopati). Istilah sciatica kadang digunakan
karena compresi akar saraf lumbar bawah menghasilkan nyeri sepanjang
saraf sciatika. Bila material discus dikeluarkan sepanjang annulus fibrosus
dan ligamentum longitudinal posterior bebas fragmen menjadi mendesak
kanalis spinalis atau foramina intervertebralis, nyeri mungkin karena reaksi
kimiawi dari glikoprotein yang dikeluarkan discus. Kurang umum
pembesaran discus atau fragmen besar keluar posterocentral,menekan cauda
equine.pada dura sac,pada pasien ini untuk nyeri bilateral, retensi urin atau
kadang inkontinensial feca..
Onset nyeri disk secara khusus dikaitkan dengan angkat barang berat.
Nyeri berkurang dengan ikatan,pengankatan, duduk yang lama atau sesuatu
yang mnyebabkan peningkatan tekanan abdomen, seperti bersin,batuk atau
penekanan. Matirasa atau lemah adalah indikatif radikulopti.Pembesaran
discus sampai ligamentum longitudinal posterior juga mengakibatkan low
back pain yang menyebar ke panggul dan pantat.Dengan posisi pasien
supine dan lutut extensi maksimam, tungkai bawah
Gambaran radiografi vertebra lumbal biasanya tersedia anteriorposterior,lateral,dan oblique. Bone scan juga membantu pada pasien dengan
pertumbuhan keganasan. Meskipun banyak modalitas sensitif mendeteksi
hernia discus dengan MRI, teknologi ini tidak menunjukan akurasi detail
tulang seperti CT Scan. Gambaran Radiologi sebaiknya dihubungkan
dengan gejala, karena lebih dari 30-40% pasien asimptomatik mempunyai
abnormalitas CTscan atau MRI.CTscan myelografi paling sensitive untuk
mengevaluasi kompresi saraf yang terjadi. Discografi dilakukan bila nyeri
tidak sesuai dengan gambaran klinisnya. Teknik ini terdapat tiga lembar
data; nukleogram, pengukuran tekanan discus, nyeri yang sesuai.
Nukleogram menunjukan lokasi dan perluasan discus dan kerusakanya.
Nyeri dikaitkan dengan tekanan 15-50 psi dipertimbangkan secara umum
adanya factor mekanik. Nyeri yang sesuai akan tampak bila nukleogram
menghasilkan nyeri pasien.
Riwayat alamiah biasanyan jinak dan durasi nyerinya kurang dari 2 bulan.
Lebih dar 75%
pasien yang diterapi non bedah, bahkan sudah
radikulopati, mempunyai komplit atau hampir total hilang nyerinya. Tujuan
dari terapi sebaiknya untuk menyingkirkan nyeri, merehabilitasi pasien
untuk bekerja kembali,dan menyarankan fitness. Back pain akut karena
hernia discus diterapi dengan bed rset total 3 hari dan dengan obat analgesi.
Istirahat total menghasilkan surutnya trauma akut. NSAID sangat berguna.
Penggunaan jangka pendek opioid diindikasikan untuk pasien dengan nyeri
berat. Setelah gejala akut mereda, pasien sebaiknya mengikuti terapi “back
school” agar mendapat fitness punggung. Termasuk terapi fisik panas dan
dingin dan pijat. Bedah dekompresi sebaiknya ditujukan untuk pasien
dengan nyeri refrakter,tapi percobaan dengan steroid epidural merupakan
58
pertimbangan pertama. Untuk pilihan pasien,laminektomi mempercepat
kesembuhan dan menurunkan insiden kekambuhan.
Bila gejala menetap selama 3 bulan, nyeri kemungkinan kronik dan
membutuhkan pendekatan multidisiplin. Terapi fifsik menjadi komponen
penting untuk rehabilitasi. NSAID dan antidepresan juga membantu. Bila
nyeri diskogenik menetap selama 6 bulan, terapi elektrotermal discus
(IDET) perlu dipertimbangkan untuk pasien muda(<55 tahun) dengan discus
yang terkena single. Kriteria lain termasuk ketinggian discus (>50%), defek
anuler posterior dan tidak ada stenosis spinal. Teknik yang melibatkan
fluoroskopi perkutaneus denga probe khusus ke discus tersebut
menggunakan kanul G17. Probe ini kemudian digulung pada daerah yang
terkena dan dipanaskan. Panas menyebabkan discus dan munkkin saraf
akhir koagulasi (serabut C). komplikasinya trauma akar saraf (selama
memasukan dengan jarum,cauda equine, herniasi discus, dan bocornya
cateter.
STEROID EPIDURAL
Injeksi steroid epidural paling efektif untuk menghilangkan nyeri yang
berhubungan dengan kompresi akar saraf. Penelitian patologi menunjukan
seringnya terdapat peradangan setelah hernia discus. Pertimbangan klinis
muncul berkaitan dengan resolusi edema akar saraf. Injeksi steroid epidural
jelas dengan local anestesi. Injeksi ini paling efektif diberikan dalam waktu
2 minggu dari mulai onset nyeri sehingga meringankan kompresi neural dan
iritasi.Penelitian jangka panjang menunjukan kegagalan pada pasien lebih
dari 3 bulan.
Dua agen steroid yang sering dipakai adalah prednisolon asetat (4080mg)dan triamsinolon diasetat (40-80mg). Steroid diinjeksikan dengan
larutan salin atau anestesi local dengan jumlah dengan volume 6-10 ml atau
10-20 ml untuk injeksi lumbal dan caudal. Injeksi terusan opioid tidak
memberi keuntungan. Injeksi dengan anesrtesi local selama masuknya
steroid membantu pasien dari spasme otot, tapi dengan resiko komplikasi
intravaskuler,intratekal dan subdura. Anestsi local menghilangkan nyeri
sampai efek antiinflamasi dari sterid muncul, bias any 12-48 jam. Nyeri
sering timbul saat ineksi. Injeksi steroid epidural pasling efektif bila ada
trauma didaerah tersebut. Hanya injeksi tunggal yang diberikan bila untuk
menghilangkan nyeri. Bila tidak ada respon. Injeksi kedua diberikan dengan
2-4 minggu kemudian. Dosis besar dan lebih sering akan meningkatkan
resiko supresi adrenal dan efek samping sistemik. Banyak Praktisi nyeri
menggunakan fluoroskopi untuk injeksi epidural dan konfirmasi tempat
dengan radiokontras (epidurogram). Injeksi steroid epidural transforaminal
dilaporkan lebih efektif daripada teknik epidural standart. Jarum diarahkan
dengan panduan fluoroskopi masuk ke foramen dari akar saraf tersebut dan
kontras diinjeksikan untuk konfirmasi sebelum dimasukan steroid
keepidural tadi.
59
Injeksi caudal lebih disukai pada pasien dengan bedah punggung, karena
scaring dan distorsi sering membuat injeksi epidural lumal lebih sulit,
sayangnya, migrasi steroid ke epidural kurang optimal. Injeksi subarahnoid
tidak direkomendasikan karena etylen glikol telah berimplikas arahnoiditis
adesif setelah injeksi subarahnoid. Komplikasi lain meningitis aseptic,
cryptococal,dan tuberculosis.
STENOSIS SPINAL
Degenerasi nucleus pulposus menurunkan tingginya discus dan
mengakibatkan bentuk osteofit (spondilosis) pada lingkaran corpus vertebra
dan ligamentum spinal, mengakibatkan penyempitan foramina
intervertebralis dan saluranspinal. Kompresi neural dapat menyebabkan
radikulopati mirip hernia discus. Formatio osteofit ekstensif dapat
mengkompresi akar saraf dan menyebabkan nyeri bilateral. Bila
pertumbuhan ini mengganggu cauda equine, istilah stenosis spinal dipakai.
Stenosis spinal adalah penyakit usia lanjut. Back pain biasanya menyebar
ke kedua pantat,paha dan tungkai. Secara karakteristik jelek dengan latihan
dan dihilangkan dengan istirahat, terutama duduk dengan fiksasi vertebra.
Istilah pseudoclaudikatio kadang dipakai. Diagnosis disarankan dengan
adanya kelainan klinis dan konfirmasi MRI,CT San atau vertebra dengan
myelografi. Elektromyeografi dan evoked potensial somatosensoris dapat
dipakai mengevaluasi neurological.
Terapi konservatif dan steroid epidural secara umu mempunyai peran
terbatas. Pasien dengan stenosis ringan sampai berat dan gejala radikuler
mungkin mengubtungkan dengan steroid epidural. Gejala berat adalah
indikasi
untuk
dekompresi,
pseudoclaudicatio
biasanya
sementara,sedangkan nyeri punggung ini biasanya menetap.
4. SINDROM FASET
Banyak pasien mengeluh nyeri secara primer berhubungan dengan
perubahan degeneratif pada sendi faset(zygapofisial). Nyeri cenderung pada
midline dan menyebar turun kebelakang daera gluteal,paha,dan lutut;
spasme otot ada. Hiperekstensi dan rotasi lateral vertebra biasanya
mengeksaserbasi nyeri. Diagnosis disarankan dengan radiograf oblique atau
CT Scan vertebra dan dikonfirmasi dengan hilangnya nyeri setelah injeksi
intraartikuler anestesi local pada sendi tersebut atau blok cabang tengah dari
ramus posterior saraf spinal yang menginervasi. Penelitian jangka panjang
menyokong blok saraf cabang medial lebih efektif daripada injeksi faset
join. Rhizotomi cabang medial bisa menghasilkananalgesi jangka lama
untuk penyakit sendi faset pada vertebra lumbal dan cervical.
5. ABNORMALITAS KONGENITAL
Abnormalitas congenital dari punggung sering asimtomatis dan gejala sisa.
Abnormalitas vertebra menyebabkan pronasi pasien nyeri punggung dan
60
progresif deformitas lain. Anomali yang umum yaitu sacralisasi dar
L5(corpus vertebra berfusi ke sacrum), lumbalisasi S1 (berfungsi sebagai
lumbal 6),spondylosis (defek tulang tumbuh antara pedikel dan lamina ) dan
spondylolistesis (corpus vertebra,pedikel dan sendi facet superior secara
anterior menjadi elemen posterior,umumnya pada L5). Diagnosis dengan
radiografi. Fusi spinal penting pada pasien dengan gejala progresif dan
instabilitas spinal.
6. TUMOR
Tumor spinal pada pasien lebih muda dari 50 tahun umumnya
jinak,sedangkan
pada
usia
tua
biasanya
ganas.
Carsinoma
mamae,pulmo,prostate,renal, gastrointestinal dan tyroid,limpoma dan
multiple myeloma sering metastase ke vertebra lumbal. Nyeri bersifat
konstan dan dengan kelemahan yang dilokalisasi pada vertebra yang
terlibat. Dstruksi tulang atau neural atau kompresi vaskuler menghasilkan
nyeri. Tumor intratekal dan intradural dapat timbul seperti herniasi discus
dan secara cepat dan progresif menjadi paralysis flaccid. Tempat primer
dapat asimtomatis atau terabaikan. Diagnosis dibuat dengan radiografi dan
scan tulang. Tergantung tipe tumor, kortikosteroid,radiasi atau bedah
dekompresi (dengan stabilisasi) dapat diindikasikan.
7. INFEKSI
Infeksi bakteri pada vertebra biasanya menyerang corpus dan bisa menjadi
pyogenik seperti organisme tuberkulosa. Pasien ,terutama dengan
tuberculosis spinal, ditemukan kronik back pain tanpa demam atau
leukositosis. Sebaliknya, abses epidural menunjukan gejala akut dengan
nyeri,demam dan leukositosis, evakuasi urgen dan terapi antibiotic penting
untuk mencegah progresifitas menjadi paralysis flaksid.
8. ARTRITIDES
Ankilosing spondilitis adalah gangguan familial dengan ditandai antigen
histokompatibility HLA-B27. Khasnya dengan low back pain di pagi hari
kaku pada usia muda. Nyerinya insideus dan mungkin bangkit karena
aktivitas. Setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun, nyeri dengan
gerakan progresif dari vertebra. Diagnosis awal sulit pada penyakit ini, tapi
adanya radiografi dengan sacroilitis biasanya muncul. Sesuai dengan
perkembangan penyakitnya, vertebra menjadi “Bamboo like” secara
radiografi. Beberapa pasien timbul arthritis dar hip dan shoulder sesuai
denganmanifestasi peradangan ekstraartikuler. Terapinya dengan diarahkan
pada fungsional postur. NSAID terutama indometasin adalah analgesic
terbaik dan menurunkan kekakuan pada pagi hari.
Pasien dengan sindrom Reiters, arthritis psoriatic atau penyakit peradangan
saluran cerna juga menunjukan adanya low back pain, tapi manifestasi
extraspinal sering lebih menonjol. Artritis rematoid biasanya kecuali
vertebra untuk sendi apophiseal dari vertebra cervikalis.
NYERI NEUROPATI
61
Nyeri neuropati yaitu nyeri yang dikaitkan neuropati diabetika, causalgia,
tungkai lumpuh, neuralgia postherpetik, trauma medulla spinalis, stroke,dan
multiple scerotik. Nyeri kanker dan low back pain kronis mungkin lebih
menonjol komponen neuropatinya. Nyeri neuropati cenderung ke proksimal
dan kadang-kadang tajam dengan kualitas terbakar dan biasanya
berhubungan dengan hiperpatia. Mekanisme nyeri neuropati dibahas pada
bab awal.
Karena sering sulit mengetahui tipe nyeri ini, modalitas terapi multiple
adalah penting. Terapi mungkin berupa anticonvulsant (mis. Gabapentin),
antidepresan (amitriptilin), antiaritmia (mexiletin),alfa 2adrenergik agonis
(klonidin), agen topical (lidokain atai capsaisin) dan analgesic (NSAID dan
opioid). Opioid spinal Sangat efektif untuk beberapa pasien. Blok simpastis
efektif untuk gangguan tertentu. Stimulasi medulaspinalis mungkin efektif
untuk pasien yang tidak toleran atau respon terhadap terapi lain.
NEUROPATI DIABETIKA
Neoropati diabetika paling sering ditemukan nyeri neuropati dalam praktek
dan penyebab utama morbiditas. Patofisiologinya kurang dimengerti tapi
mungkin berhubungan dengan mikroangiopati dan hiperglikemia kronik
menyebabkan aktivasi metabolic abnormal dan protein glikation. Banyak
sindrom Neuropati diabetik dikenali dan lebih dari satu pada pasien. Ini
mungkin simetris (umumnya),fokal,atau multifokal mengeni saraf
peripheral (sensoris dan motorik,kranialis atau saraf otonomik.
Sindrom yang paling umum adalah polineuropati perifer,yang
mengakibatkan
matirasa
simetrik
(distribusi
“stocking
and
glove”),parestesi,dyesestesi dan nyeri intensitasnya bervariasi, sering jelek
pada malam hari. Kehilangan persepsi mungkin sulit berjalan dan deficit
sensoris bisa menyebabkan trauma. Mononeuropati menyerang saraf
individu menyebabkan drop foot atau wrist atau cranial nerve palsy.
Mononeuropati secara khas mempunyai onset mendadak dan reversible,
untuk beberapa minggu. Radiculopati, menyerang dermatomsensoris juga
bisa terjadi. Neuropati otonomik mengenai tarctus gastrointestinal
menyebabkan diare, pengosongan lambung lambat dan motilitas
esophageal. Hipotensi ortostatik dan bentuk lain disfungsi otonom umum
terjadi.
Terapi neuropati diabetika tidak hanya simptomatik tapi juga diarahkan
untun control glukosa darah yang optimal untuk membantu mencegah atau
memperlambat progresifitas. Asetaminophen dan NSAID biasanya tidak
efektif untuk nyeri sedang sampai berat. Terapi dengan pharmakologi
primer dan sulit serta membuat frustasi. Pasien jadi toleran dan adiksi
terhadap opioid. Obat-obat ajuvan mempunyai peran utama. Kombinasi obat
antiepileptic (mis.gabapentin) dan trisiklik antidepresan (amitriptilin) bisa
efektif dipakai. Tramadol berguna untuk analgesi, mekanismenya
unik,potensial abusenya rendah.
62
NYERI MAINTAINED SIMPATIS
Nyeri ini penjalaran dari kelompok nyeri neuropati dimana system saraf
mempunyai peranan penting. Trigger multiple dapat mencetuskan nyeri ini,
seringnya terabaikan dan misdiagnosis. Istilah “complex regional pain
syndrome”(CRPS) umumnya untuk istilah ini dan sindrom yang
berhubungan dengan ini. Dua Sindrom yang sering adalah distropi simpatis
refleks (RSD atau CRPS tipe I) dan causalgia (CRPS II).
A. DYSTROPI SIMPATIS REFLEKS (CRPS TIPE I)
Bentuk ini nyeri maintained secara khas mengenai ekstremitas dan diikuti
trauma minor secara relative. Kejadian umum yang mengawali yaitu
trauma,(kontusi,benturan,atau laserasi).pembedahan,sprain,fraktur atau
dislokasi. Mungkin dengan release carpal tunnel, fasciotomi palmar atau
artroplasti. Trauma kadang-kadang terjadi.Sindrom yang mirip dengan rasa
terbakar, neuralgia postherpetika, multiple sklerotik,neuropati diabetika,
infark myokard,stroke, kanker, hernia discus intervertebralis dan penyakit
sendi degeneratif. Tiga fase ini dapat diidentifikasi. Scan tulang menunjukan
meningkatnya uptake pada sendi kecil selama fase akut,termografi
menunjukan hiperemisi asimetrik. Meskipun nyeri bisa hilang spontan,
banyak pasien yang menjadi disabilitas fungsional berat.
B. CAUSALGIA (CRPS TIPE II)
Causalgia, yang berarti nyeri seperti terbakar, secara khas dengan
kecepatan tinggi
(mis. Gunshot) trauma pada saraf besar. Nyerinya
sering medium onset dan dikaitkan dengan alodynia,hiperpatia dan
disfungsi vasomotor dan sudomotor. Semuanya meningkatkan tonus
simpatis seperti takut,cemas,berisik,silau membangkitkan nyeri. Sindrom ini
mempunyai progresi bervariasi dari hari sampai bulan. Causalgia seringnya
mengenai pleksus brakhialis dan bagian tibialis dari saraf sciatic pada
ekstremitas bawah. Awalnya pasien mengalami nyeri dramatis dari blockade
simpatis.
TERAPI
Pasien sering respon secara dramatis terhadap blok simpatis,tapi terapi harus
multidisipliner untuk menghindari disabilitas fungsionan dan psikologi.
Terapi fisik memainkan peranan central. Banyak pasien kembali spontan
normal, tapi tanpa terapi, sebagiab pasien menjadi disabilitas fungsional dan
irreversible. Blok simpatis sama efektifnya. Blok ini sebaiknya diteruskan
sampai responnya flat dan pengobatan diakhiri. Blok simpatis memfasilitasi
terapi fisik yang biasanya dengan gerakan aktif tanpa beban. Sebagian
pasien membutuhkan 3-7 kali blok.Hasil pengobatan akan tinggi(lebih 90%)
bila diterapi awal 1 bulan gejala dan menurun sesuai waktu. Banyak pasien
berhasil dengan TENS. Rangsangan Kolumna dorsalis(medulla spinalis)
efektif untuk beberapa pasien dengan gejala lama. Bloker alfa adrenergic
oral, seperti phenoxybenzamin atau prazosin,klonidin,antikonvulsan dan
63
antidepresan juga bermanfaat. Bedah Simpatektomi untuk kasus kronis
sering kurang memuaskan karena hanya menghilangkan sementara.
HERPES ZOSTER AKUT DAN NEURALGIA POSTHERPETIKA
Herpes zoster akut menunjukan reaktivasi dari virus varicella zoster. Pada
tahap awal masa anak-anak terinfeksi (chickenpox), virus menginfeksi
ganglia dorsalis, dimana tinggal laten sampai reaktivasi. Penyakit ini
ditandai rash vesikuler,rash dermatom yang disertai nyeri berat. Dermatom
T3-L3 aer terjadi pada semua umur tapi sering pada orang tua.Gangguan ini
self limited pada usia muda(<50 th). Terapi utama dukungan obat analgesi
oral dan acyclovir oral,famciclovir atau valacyclovir. Terapi Antivirus
menurunkan durasi rash dan cepat sembuh. Pasien yang
immunocompromised dengan infeksi tersebar membutuhkan terapi
acyclovir intravena.
Pasien tua mungkin terus merasakan nyeri radikuler, bahkan setelah rash
sembuh. Insiden neuralgia postherpetika (PHN) diperkirakan 50% pada
pasien lebih tua dari 50 tahun. Tambahan lagi PHN sering sulit diterapi.
Kortikosteroid peroral selama infeksi akut menurunkan inside PHN,tapi
masih controversial. Kortikosteroid meningkatkan diseminasi pada pasien
imunodefisiensi. Blok simpatis selama herpes zoster akut menghasilkan
analgesi yang baik dan juga dilaporkan menurunkan insiden PHN. Terakhir
mendorong bahwa PHN diperantarai saraf simpatis. Penelitian menunjukan
bila blok simpatis diberikan pada 2 bulan setelah rash,PHN akan sembuh
pada 80%pasien. Walapun neuralgia sudah dihilangkan, blok simpatis
umumnya tidak efektif. Andidepresan, antikonvulsan, opioid dan TENS
berguna untuk beberapa pasien. Penggunaan patch lidokain 5% (lidoderm
700mg) pada daerah nyeri dapat membantu pasien, mungkin karena
penurunan sensitisasi perifer dan reseptor.
HEADACHE
Headache adalah keluhan utama hampir pada semua orang selama periode
hidupnya. Pada kasus besar, headache tidak mencerminkan latar belakang
penyakit dan tidak dijumpai atau jadi berat pada pasien yang mempunyai
perhatian terhadap medis. Bagaimanapun juga, seperti nyeri lain, dokter
harus selalu mempertimbangkan kemungkinan latar belakang gangguannya.
Seorang dokter sebaiknya menggabungkan gejala-gejala atau temuan klinis
untuk menyokong latar belakang patologi.Gangguan dimana keluhan
utamanya headache akan dibahas dibawah. Ada beberapa variabilitas pada
presentasi klinis dan overlap pada simtomatologi pada sindrom headache,
terutama anatra tension headache dan migraine headache.
TENSION HEADACHE
Tension headache secara klasik digambarkan nyeri seperti ada ikatan kuat
atau tidak nyaman seringnya dikaitkan dengan ikatan pada otot-otot
leher.Headache bisa frontalis,temporalis atau occipialis lebih sering bilateral
daripada unilateral. Intensitas nyeri khasnya bersifat gradual dan
64
fluktuatif,beberapa jam samai bebeapa hari. Ini dikaitkan dengan stress
emosional atau depresi. Terapinya simtomatik dengan NSAID.
MIGRAIN HEADACHE
Migrain headache digambarkan secara khas dengan trobing dan pounding
dan sering disertai fotofobia.scotomata,mual,muntah dan disfungsi
neurologist
sementara(aura).
Yang
terakhir,mungkin
sensoris,motorik,visual,atau olfaktorius. Migrain klasik dengan definisi,
diawali aura,dimana pada migraine yang umum tidak ada. Nnnnnnnnyeri
biasanya unilateral tapi dapat bilateral dengan lokasi frontotemporal dan
berlangsung 4-72 jam. Migrain primer mengenai anak-anak(kedua jenis
kelamin)dan dewasa muda (dominant perempuan). Riwayat keluarga sering
didapatkan. Provokasi tes dengan bau, makanan (mis anggur
merah ),menses dan deprivasi tidur. Tidur yang khusus dapat
menghilangkan headache Mekanismenya kompleks dan mungkin ada
disfungsi nucleus trigeminal,vasomotor,otonomik(system stem brain
serotinergik). Terapinya abortif(menghentikan serangan) dan prophilaktik.
Terapi
abortif
cepat
termasuk
oksigen,sumatriptan
(6mg
subcutaneous),dyhidroergotamin(1mg IM atau subkutaneus),intravena
lidokain (100mg), buthorpanol nasal (1-2 mg) dan blok sphenopalatin. Obat
lain, nasal spray zolmitriptan, dyhidroergotamin nasal spray atau serotonin
5-HT
reseptor
agonis
oral
(almotriptan),frovatriptan,naratriptan,rizatriptan,eletriptan
atau
sumatriptan). Terapi prophilactik dengan beta adrenergic bloker,calcium
chanel bloker,asam valproat dan amitriptilin.
CLUSTER HEADACHE
Cluster headache secara klasik unilateral dan periorbital terjadi cluster satu
sampai tiga serangan dalam sehari periode 4-8 minggu. Nyeri digambarkan
seperti panas,sensasi drilling dimana pasien jadi terbangun saat tidur.
Berlangsung 30-120menit. Remisinya setahun sekali. Mata merah,air mata
menetes,pilek hidung,dan ptosis (sindrom horner) adalah temuan klasik.
Headache berlangsung episodic tapi jadi kronik tanpa remisi. Cluster
headache utamanya mengenai laki-laki(90%).Terapi abortif yaitu oksigen
dan blok sfenopalatin. Terapi prophilaktik dengan lithium dan prednisone
jangka pendek dan verapamil.
ARTRITIS TEMPORAL
Artritis temporal adalah gangguan peradangan arteri ekstrakranial.
Headache terjadi bilateral atau unilateral, tumpul dan membosankan dan
lokasinya daerah temporal pada kira-kira 50% pasien. Nyerinya berlangsung
beberapa jam dan sesekali dan jelek pada malam hari dan cuaca dingin.
Lunaknya kulit kepala biasanya ada. Artritis temporal adalah gangguan yang
umum terjadi [pada usia tua (>55th dengan insiden 1 dalam 10000 pertahun
dengan dominant wanita. Polymyalgia rematik, demam,dan berat badab
turun juga ada. Diagnosis awal penting karena tanpa terapi progresif
65
menjadi buta karena melibatkan arteri optalmikus. Terapi Kortikosteroid
sangat efektif. Biopsi arteri temporal dapat untuk konfirmasi.
NEURALGIA TRIGEMINAL
Nyeri pada neuralgia trigeminal (tic doloreux)unilateral secara klasik,
biasanya lokasi di V2atau V3 distribusi saraf trigeminal. Ini mempunyai
shock elektrik kedua lebih 2 menit dan sering dicetuskan dengantrigger area
dengan cabang saraf yang terkena. Spasme otot fasial ada. Ini menyerang
usia pertengahan dan pasien tua dengan perbandingan 2:1 perempuan dan
laki-laki. Pada banyak pasien mengalami iritasi dari pembuluh darah yang
berkelok di fossa posterior. Obat pilihannya adalah carbamazepin. Phenitoin
atau baclofen bisa ditambahkan, terutama pada pasien yang tidak toleran
dengan dosis permintaan carbamazepin. Terapi invasive untuk pasien yang
tidak toleran dengan terapi obat termasuk injeksi gliserol atau ablation
radiofrekuensi ganglion gasserian dan microsurgical dekompresi dari saraf
trigeminal (prosedur Jannetta)
DISKUSI KASUS;
ANALGESI SETELAH BEDAH THORACOABDOMINAL
Seorang laki-laki 21 th dikirim ke recovery room setelah operasi diseksi
limphonodi thoracoabdominal kanan karena pertumbuhan keganasan testis.
Incisinya melebar dari costa 8 sampai pubis dan terdapat thorakostomi
kanan(chest tube). Dia terpasang kateter epidural untuk terapi nyeri post
operatif. Sayangnya penempatan kateter sangat sulit karena gemuk dan tidak
koperatif. Dia sudah ekstubasi dan sadar dari anestesianya dan nyeri berat
dicatatan respirasinya 35X/menit. Sejumlah 10 mg morfin diberkan
intravena sebelum keluhan nyeri dan jadi sangat mengantuk.
Sementara itu pasien mendapat 50% oksigen dengan face mask, PaO258
mmHg,PaCO2 53 mmHg;pH 7,25 dan HCO3-21 mEq. Gambaran paru
bersih postoperative.
Mengapa pada Pasien Ini Menejemen Nyeri Sangat Penting?
Pasien ini mempunyai resiko tinggi komplikasi paru karena gemuk dan
incise yang luas thoracoabdominal. Dia tidak bisa ambil nafas dalam atau
batuk secara efektif dan cenderung hipoksemia dan asidosis respiratorik.
Faktanya, status respirasinya tidak baik., endotrakheal intubasi dengan
control respirasi ventilator perlu dipertimbangkan. Foto thoraks sangat
membantu mengetahui residual pneumothoraks kanan, hematothorak atau
atelektasis lobaris yang bisa menjelaskan status respirasinya. Penjelasan
temuan ini
nyeri inadekuat hilang dengan kombinasi opioid dan
mencetuskan depresi nafas. Hipoksemia menyebabkan mikroatelektase dan
capasitas residual fungsional rendah,dimana hipoventilasi disebabkan
splinting dari nyeri incisional efek residual dari zat anestesi(termasuk
opioid) dan morfin postoperative. Jelasnya, analgesi opioid yang sempurna
tidak didapatkan tanpa depresi nafas dan tidur dalam.
66
Apakah Ada Tambahan Obat Lain Untuk Nyeri pada Pasien Agar lebih
Optimal?
Opioid intravena tambahan akan menyebabkan depresi nafas dan ini
dihindari (kecuali direintubasi). Opioid intratekal mungkin relative analgesi
cepat pada bagian incise abdomen tapi membutuhkan beberapa jam untuk
analgesianya;teknik ini juga mencetuskan depresi nafas.
Ketorolac intravena dapat ditambahkan tanpa mendepresi nafas menurunkan
kebutuhan
opioid.
Penggunaan
ketorolac
secepatnya
setelah
diseksi,bagaimanapun juga berbahaya karena efek antiplatelet dan resiko
perdarahan posoperatif.
Ketamin dosis rendah (10-20mg/jam) adalah analgesi poten dan tidak
mendepresi nafas. Pada dosis tinggi, menyebabkan sdeasi dalam dan efek
psikotomimetik. Meskipun infuse ketamin merupakan option baik, sedasi
dalam perlu diperhatikan.
Blok intercosta multiple dapat diberikan sebagai analgesi poten untuk incise
thoraksik dan diindikasikan untuk pasien ini. 4-5 mm bupivakain 0,25 %
dapat dipakai sesuai level dermatom yang cocok.Tambahan lagi, karena
pasien sudah ada chest tube,resiko pnemothoraks minimal. Teknik yang
hampir sama untuk analgesi pada obesitas adalah analgesi intrapleura.
Apakah Analgesi Intrapleura?
Teknik ini diberikan analgesi pada dinding dada dan abdomen atas.
Penempatan kateter dalam jaringan dinding dada untuk memasukan anestesi
local pada beberapa saraf intercosta. Istilah intrapleura dan interpleura
dapat terbalik tapi yang terakhir lebih disukai.
Apakah Dasar Anatomi Analgesi interpleura?
Posterior space interkostal mempunyai 3 lapisan;lapisan otot, membrane
intercosta posterior(aponeurosis otot intercosta interna)dan otot intimus
intercostalis (bagian dari kelompok otot tranversus thoraksis,yang terusan
dari transversusu abdominis). Sarasf intercosta berjalan antara membrane
intercostals posterior dan otot intimus intercostals. Sedangkan membrane
intercostals posterior membentuk komplit lapisan barier otot intercostals
eksterna, otot intimus intercostals tidak komplit dan bebas dilewati cairan
masuk ke space subpleura.Jadi analgesi interpleura dapat diberikan dengan
kateter dalam ke otot intercostalis interna tapi superficial dari pleura parietal
atau antara lapisan viscera dan parietal dari pleura. Pada kasus ini, anestesi
local diinjeksikan dekat saraf intercosta. Jumlah saraf yang terkena
tergantung level dari kateter,volume zat anestesi dan efek grafitasi.
BAGAIMANA ANESTESI INTERPLEURA DILAKUKAN?
Kateter single epidural biasanya jarumTuohy antara level T6 dan T8. Jarum
dimasukan antara 8cm lateral dari posterior midline dan posterior garis
axilaris.Kemudian jalan ke daerah inferior costa dan terus ke posisi dalam
membrane posterior intercosta lapisan costa,atau antara space parietal dan
67
viscera. Pertama kali, bunyi pop melawan jarum masuk ke membrane
intercostals posterior. Pada kedua kalinya,teknik loss of resistence dapat
digunakan untuk identifikasi cavum pleura. Kateter dimasukan 3-6cm dari
ujumg jarum dan difiksasi setelah jarum ditarik. Anestesi local (20-25
ml,biasanya 0,25% bupivakain)diinjeksikan. Rata-rata durasinya sekitar 7
jam (antara 2-18 jam) Konsentrasi puncak plasma\anestesi local terjadi 1520 menit setelah injeksi. Penambahan epinefrin pada larutan bupivakain
menurunkan dan memperlama konsentrasi dalam plasma. Infus kontinyu
juga bisa dilakukan denga rata-rata 0,125 ml/kg/jam
APAKAH ADA INDIKASI LAIN UNTUK ANALGESI INTERPLEURA?
Analgesi interpleura sangat efektif untuk pasien dengan multiple fraktur
costa dan yang akan dilakukan cholesistektomi. Teknik ini juga dapat
digunakan untuk nyeri dinding dada karena kanker herpes zoster akut dan
neuralgia postherpetika.
APAKAH BAHAYANYA ANESTHESI INTERPLEURA?
Pneumothoraks adalah resiko nyata bila chest tube tidak sedia ditempat.
Blok simpatis unilateral mungkin dilakukan dan dapat menghasilkan
sindromhorner. Hematom dinding dada pernah terjadi. Absorbsi sistemik
nyata, konsentrasi plasma tinggi dari anestesi local dapat ditemukan dengan
infuse kontinyu, terutama setelah 2 hari. Untungnya, laporan klinis dari
toksisitas sistemik jarang (kejang). Kadang-kadang, anestesi local dapat
menyebar ke ruang epidural.
68
Download