MANAJEMEN NYERI Kata kunci : 1. Nyeri dapat digolongkan berdasarkan patofisiologi (nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati), etiologi (nyeri post operasi, nyeri akibat kanker), atau daerah yang terkena ( nyeri kepala, low back pain). 2. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi reseptor nosiseptif perifer terutama reseptor yang menerima stimulus bahaya (noxious stimuli). Nyeri neuropati disebabkan oleh trauma atau abnormalitas susunan saraf tepi atau susunan saraf pusat yang didapat. 3. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus bahaya (noxious stimuli) yang berkaitan dengan trauma, proses penyakit, atau fungsi otot / viscera yang abnormal. Nyeri akut hampir selalu merupakan nyeri nosiseptif. 4. Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melebihi normal pada penyakit akut atau setelah waktu penyembuhan; periode ini dapat bervariasi dari 1 sampai 6 bulan. Nyeri kronik dapat termasuk nyeri nosiseptif, neuropati atau campuran. 5. Modulasi nyeri terjadi di nosiseptif perifer, medula spinalis, atau struktur supraspinal. Selain dapat menghambat (supresi), modulasi juga dapat memfasilitasi (memperburuk) nyeri. 6. Nyeri akut sedang sampai berat, tanpa melihat lokasinya, dapat mempengaruhi fungsi organ di sekitarnya dan dapat berpengaruh buruk terhadap morbiditas dan mortalitas post operasi. 7. Blokade neural dengan anestesi lokal dapat bermanfaat untuk menggambarkan mekanisme nyeri, tapi yang lebih penting adalah peran utamanya dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran saraf simpatis dan jalurnya dapat dievaluasi. 8. Antidepresan biasanya paling berguna untuk pasien nyeri neuropati seperti neuralgia post herpetic dan neuropati diabetika. Antidepresan menunjukkan efek analgetik pada dosis di bawah dosis yang dibutuhkan untuk efek antidepresan. 1 9. Antikonvulsan bermanfaat untuk pasien dengan nyeri neuropati, khususnya neuralgia trigeminal dan neuropati diabetika. 10. Stimulasi medulla spinalis paling efektif untuk nyeri neuropati. Mekanisme yang diajukan termasuk aktivasi sistem modulasi yang descenden dan inhibisi efek simpatis. Indikasinya adalah nyeri yang diperantarai oleh saraf simpatis, lesi medula spinalis dengan nyeri segmental, phantom limb pain, nyeri iskemik ekstremitas bawah yang berkaitan dengan penyakit vaskuler perifer, dan arachnoiditis adhesif. 11. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan analgetik memiliki keefektifan biaya yang menghasilkan efek analgesik lebih nyata dan kepuasan pasien yang tinggi. Konsumsi total obat lebih sedikit dibanding injeksi intramuskuler. Penggunaan infus masih kontroversial. 12. Pemberian campuran anestesi lokal dengan opioid secara neuroaksial (terutama epidural) adalah teknik sempurna untuk mengelola nyeri post operasi abdomen, pelvic, thorak, dan orthopedi di ekstremitas bawah. Pasien lebih terjaga fungsi paru-parunya sehingga lebih cepat mendapat ambulatori dan manfaat terapi/rehabilitasi yang lebih awal. Resiko trombosis vena post operasi lebih kecil. 13. Efek samping paling serius dari opioid intratekal atau epidural tergantung dosis, berupa depresi napas yang terlambat. Kebanyakan kasus depresi napas serius terjadi pada pasien yang mendapat opioid parenteral bersamaan dengan sedative. Pasien tua dan dengan gejala sleep apnea mudah terkena dan perlu dikurangi dosisnya. 14. Ketergantungan fisik terjadi pada pasien dengan dosis opioid tinggi dalam jangka waktu lama. Gejala ketergantungan (withdrawal phenomenon) dapat dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid. 15. Faktor pencetus multipel dapat merangsang nyeri simpatis dimana sering salah diagnosis. Pasien sering merespon berlebihan terhadap blok simpatis. Mungkin sekali angka penyembuhannya tinggi (lebih dari 90%) jika pengobatan diberikan dalam 1 bulan dari munculnya gejala dan berkurang sejalan dengan waktu. 2 Nyeri-gejala paling sering yang membawa pasien datang berobat- hampir selalu sebagai manifestasi proses patofisiologi. Berbagai rencana pengobatan untuk mengatasi nyeri harus langsung menuju penyakit yang mendasarinya. Pasien biasanya dirujuk dokter puskesmas ke spesialis ketika diagnosis telah ditegakkan dan pengobatan penyakit yang mendasari dimulai. Perkecualian untuk pasien dengan nyeri kronik dimana penyebabnya tidak jelas melalui anamnesis; tidak termasuk penyakit serius dan mengancam jiwa. Istilah “manajemen nyeri” pada umumnya digunakan di bidang anestesiologi, tapi penggunaannya terbatas pada manajemen nyeri di luar kamar operasi. Secara luas dibagi menjadi manajemen nyeri akut dan kronik. Bentuk primer pada pemulihan pasien dari operasi atau penyakit akut di rumah sakit dimana di kemudian hari termasuk bermacam-macam kelompok pasien di luar golongan. Sayangnya, perbedaannya tipis sekali karena terjadi overlap, sebagai contoh adalah pasien kanker yang sering mendapat manajemen nyeri jangka lama dan jangka pendek, baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Praktek penanganan nyeri tidak hanya terbatas pada anesthesiologist, tapi juga praktisi lain seperti dokter (internis, onkologis, dan neurologist) dan bukan dokter (psikolog, chiropraktor, akupunturis, hipnotis). Pendekatan paling efektif adalah pendekatan multidisiplin, dimana pasien diperiksa oleh dokter (case manager) yang memimpin pemeriksaan awal dan merencanakan pengobatan, siap melayani dan menjadi sumber bagi spesialis lain. Terlebih lagi, case manager dan konsultan-konsultan bertemu secara teratur di konferensi formal untuk mendiskusikan pasien. Klinik khusus nyeri cenderung merupakan suatu sindrom atau orientasi modalitas. Bentuk spesialisasi yaitu nyeri punggung kronik, nyeri kepala, disfungsi sendi temporomandibular, yang akhir-akhir ini ditawarkan adalah akupuntur, blok saraf, hipnosis, dan biofeedback. Anestesiologist diajarkan manajemen nyeri untuk mengkoordinasi penanganan nyeri multidisiplin karena keragaman pasien mulai dari pembedahan, obstetrik, pediatrik, sampai sub spesialisasi, seperti keahlian farmakologi dan penerapan neuroanatomi, termasuk penggunaan blokade saraf tepi dan pusat. 3 Definisi dan Klasifikasi Nyeri Seperti rasa sadar, persepsi nyeri normal tergantung neuron khusus yang berfungsi sebagai reseptor, mendeteksi stimulus, kemudian ditransduksi dan menyampaikan ke sistem saraf pusat. Sensasi sering digambarkan sebagai protopatik (noxious) atau epikritik (non-noxious). Sensasi epikritik (panas, tekanan, proprioseptif, dan perbedaan suhu) ditandai dengan ambang reseptor rendah dan umumnya oleh serabut saraf myelin besar. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) dikarenakan ambang reseptor tinggi dan diperantarai oleh serabut saraf kecil, sedikit myelin (Aδ) dan tidak bermielin (C). Apakah nyeri itu? Nyeri tidak hanya perasaan sensoris tapi juga pengalaman. International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai ‘pengalaman sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan potensial kerusakan jaringan atau trauma, atau menggambarkan istilah berbagai kerusakan’. Definisi tersebut mengakui hubungan antara obyektifitas, fisiologi nyeri, subyektifitas, emosional, serta kondisi kejiwaan. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi pada tiap orang, pada orang yang sama di lain waktu. Istilah nosiseptif berasal dari kata noci (kerusakan atau luka) digunakan untuk menggambarkan saraf hanya merespon trauma atau stimulus berbahaya. Semua nosiseptif menyebabkan nyeri tapi tidak semua nyeri berasal dari nosiseptif. Banyak rasa nyeri tidak ada stimulus nosiseptif. Oleh karena itu, secara klinis nyeri dibagi menjadi 2 kategori; 1. nyeri akut, nosiseptif, 2. nyeri kronik, dapat nosiseptif tapi kondisi kejiwaan dan kebiasaan sering berperan penting. Tabel 18-1 menerangkan istilah-istilah yang sering digunakan untuk mendeskripsikan nyeri. Nyeri juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi (nosiseptif atau neuropati), etiologi (post operasi atau kanker), atau daerah yang terkena (nyeri kepala, low back pain). Klasifikasi berguna untuk pemilihan modalitas dan terapi medikamentosa. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau perangsangan 4 saraf nosiseptif perifer, khususnya reseptor yang mentransduksi stimulus bahaya. Nyeri neuropati disebabkan oleh luka atau abnormalitas saraf pusat atau tepi. A. Nyeri Akut Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh stimulus bahaya yang berkaitan dengan luka, proses penyakit, atau abnormalitas fungsi otot atau viscera. Biasanya bersifat nosiseptif. Nyeri nosiseptif mendeteksi, melokalisir, dan membatasi kerusakan jaringan. 4 proses fisiologi yang terlibat yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Tipe ini berhubungan dengan stres neuroendokrin yang sesuai intensitas. Bentuk-bentuk paling sering adalah post traumatik, post operasi, nyeri obstetri, nyeri yang berkaitan dengan penyakit akut seperti infark miokard, pankreatitis, dan renal calculi. Sebagian besar sembuh sendiri atau membaik dengan pengobatan dalam beberapa hari atau minggu. Ketika nyeri tidak membaik karena gangguan penyembuhan dan terapi tidak adekuat, nyeri menjadi kronik. 2 tipe nyeri nosiseptif yaitu somatis dan visceral dibedakan berdasarkan asal dan gambaran klinis. 1. Nyeri Somatis Nyeri somatis dapat dibagi lagi menjadi superficial dan profunda. Nyeri somatik superficial berkaitan dengan input nosiseptif kulit, jaringan subkutan, dan membran mukosa. Nyeri ini ditandai dengan lokasi dan diskripsi seperti tersayat, tertusuk, berdenyut, atau sensasi terbakar. Nyeri somatik profunda berasal dari otot, tendo, sendi, atau tulang. Tidak seperti nyeri superficial, nyeri ini biasanya tumpul, kualitas nyeri dan lokasi kurang jelas. Gambaran klinis baik intensitas maupun durasi stimulus mempengaruhi derajat lokalisasi. Sebagai contoh, nyeri karena trauma kecil di sendi elbow (siku) akan terlokalisir di siku, tapi trauma berat atau trauma yang terus menerus akan menyebabkan nyeri di seluruh lengan. 2. Nyeri Viscera Nyeri viscera berkaitan dengan proses penyakit atau abnormalitas fungsi dari organ internal atau yang meliputinya (misal pleura parietal, perikardium, peritoneum). 4 sub tipe : nyeri viscera sesungguhnya, nyeri parietal, nyeri alih viscera, dan nyeri alih parietal. Nyeri viscera 5 sesungguhnya bersifat tumpul, difus, dan biasanya di linea mediana. Sering berkaitan dengan abnormalitas aktivitas simpatis atau parasimpatis sehingga menyebabkan nausea, vomitus, berkeringat, dan perubahan tekanan darah dan nadi. Nyeri parietal bersifat tajam dan sering digambarkan sebagai sensasi ditikam di area sekitar organ atau beralih ke tempat lain. Fenomena nyeri viscera dan parietal beralih ke kutan karena pola perkembangan embriologi dan migrasi jaringan, konvergensi input aferen viscera dan somatis ke sistem saraf pusat. Nyeri yang berhubungan dengan proses penyakit melibatkan peritoneum atau pleura di atas diafragma sentral akan nyeri alih ke leher dan bahu, dimana penyakit yang mempengaruhi permukaan parietal dari tepi diafragma akan nyeri alih ke dada atau dinding perut atas. B. Nyeri Kronik Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melebihi normal pada penyakit akut atau setelah waktu penyembuhan; periode ini dapat bervariasi dari 1 sampai 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropati atau campuran. Yang membedakan adalah keadaan psikologi atau faktor lingkungan yang sering berperan penting. Pasien dengan nyeri kronik sering tanpa atau sedikit mengalami respon terhadap tekanan neuroendokrin, gangguan tidur dan afektif (mood) yang mencolok. Nyeri neuropati bersifat paroksismal, sensasi terbakar dan berhubungan dengan hiperpatia. Ketika nyeri dihubungkan dengan kehilangan input sensori (misal amputasi) ke sistem saraf pusat maka disebut ’deafferentation pain’. Jika saraf simpatis dominan, maka sering disebut nyeri simpatis. Bentuk nyeri kronik paling sering adalah nyeri yang berkaitan dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan viscera kronik, lesi saraf perifer, batang saraf, dan ganglia dorsalis (termasuk neuropati diabetika, causalgia, phantom limb pain, dan neuralgia postherpetik), lesi sistem saraf pusat (stroke, trauma medula spinalis, multipel sklerosis), dan nyeri karena kanker. Nyeri karena gangguan muskuloskeletal (misal artritis reumatoid dan osteoartritis) bersifat nosiseptif sedangkan nyeri akibat lesi saraf perifer atau sentral bersifat 6 neuropati. Nyeri karena beberapa gangguan, misalnya kanker, low back pain kronik (khususnya setelah operasi) bersifat campuran. Beberapa klinisi menggunakan istilah nyeri jinak kronik ketika nyeri tidak disebabkan oleh kanker. Hal ini mengecilkan hati karena nyeri tidak pernah jinak dari anamnesis pasien tanpa memandang penyebabnya. ANATOMI DAN FISIOLOGI NOSISEPTIF Mekanisme Nyeri Untuk mempermudah ilustrasi, nyeri dikonduksi di 3 jalur neuron yang mentransmisi stimulus bahaya dari perifer menuju cortex cerebri (gambar 18-1). Neuron aferen primer terletak di dorsal ganglia pada foramina vertebralis di setiap ruas medula spinalis. Setiap neuron mempunyai akson tunggal yang bercabang, satunya menginervasi jaringan perifer dan lainnya masuk ke dorsal vertebra. Di dorsal vertebra, neuron aferen primer bersinapsis dengan neuron sekunder yaitu akson yang melalui linea mediana dan naik melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju thalamus. Neuron sekunder bersinap di nukleus thalamikus dengan neuron tersier yang mengirim proyeksi melalui kapsula interna dan corona radiata menuju girus postsentralis di kortek cerebri. Neuron Primer Mayoritas neuron primer berada dari ujung proksimal akson sampai medulla spinalis melalui dorsal batang spinal (sensoris) di tiap vertebra cervical, thorakal, lumbalis dan sakralis. Serabut saraf aferen tak bermielin masuk medulla spinalis melalui medulla spinalis ventralis (motorik), berdasar observasi dimana beberapa pasien tetap merasa nyeri meski telah transeksi medulla spinalis dorsalis (rhizotomi) dan terjadi nyeri setelah stimulasi medulla spinalis ventralis. Akson neuron primer bersinapsis dengan interneuron, saraf simpatis, dan motor neuron medulla spinalis ventralis. Nyeri dari kepala dibawa oleh nervus trigeminal (V), facial (VII), glosofaringeal (IX), dan vagal (X). Ganglion gasserian terdiri dari sel bodi saraf sensoris optalmikus, maksilaris, dan mandibular, bagian dari nervus trigeminal. Sel bodi neuron aferen primer nervus facialis terletak di ganglion genikulatum dimana nervus glosofaringeal dan ganglion petrosa berada di atasnya, nervus 7 vagal terletak di ganglion jugularis (somatik) dan ganglion nodusum (visceral). Akson proksimal memproses neuron primer di ganglia tersebut dan mencapai nukleus brain stem melalui nervus cranialis yang masing-masing bersinaps dengan neuron sekunder di nukleus brain stem. Neuron Sekunder. Ketika serabut aferen memasuki medulla spinalis, mereka dipisahkan berdasarkan ukuran, serabut besar bermielin di medial sedangkan serabut kecil tidak bermielin di lateral. Rasa nyeri dapat naik atau turun 1 sampai 3 segmen tractus dorsolateralis medula spinalis sebelum bersinapsis dengan neuron sekunder di substansi grisea (gray area) pada ipsilateral ganglion dorsalis. Mereka berhubungan dengan neuron sekunder melalui interneuron. Substansia grisea medulla spinalis dibagi oleh Rexed menjadi 10 lamina (gambar 18-3 dan tabel 18-3). 9 lamina pertama yang dibangun dari medula spinalis dorsalis menerima semua aktivitas neural aferen dan menunjukkan lokasi modulasi nyeri melalui mekanisme neural. Neuron sekunder adalah neuron nosiseptif spesifik atau wide dynamic range (WDR). Neuron nosiseptif spesifik hanya menerima rangsangan bahaya tapi neuron WDR juga menerima input rangsang aferen non-noxious dari Aß, Aδ, dan serabut C. Neuron nosiseptif spesifik tersusun secara somatotopikal di lamina I dan mempunyai ciri tersendiri. Daerah reseptor somatik biasanya tenang dan hanya berespon terhadap rangsang bahaya tingkat tinggi, kurang baik menyandikan intensitas rangsang. Neuron WDR adalah tipe sel paling banyak di medula spinalis dorsalis. Meskipun ditemukan di luar medulla spinalis dorsalis, neuron WDR paling banyak di lamina V. Selama rangsang berulang, neuron WDR ditandai dengan peningkatan loncatan/tembakan secara eksponen (memutar), bahkan dengan intensitas rangsang yang sama. Mereka juga memiliki area reseptor yang lebih luas dibanding neuron spesifik nosiseptif. Kebanyakan serabut C nosiseptif berjalan kolateral atau berhenti di neuron sekunder lamina I dan II, serta sedikit yang menuju lamina V. Sebaliknya, serabut nosiseptif Aδ terutama bersinap di lamina I dan V, serta sedikit di lamina X. Lamina I merespon primer terhadap stimulus nosiseptif berbahaya dari jaringan 8 somatik kutaneus dan jaringan di bawahnya. Lamina II juga disebut substansia gelatinosa terdiri dari berbagai interneuron dan dipercayai berperan penting dalam memproses dan memodulasi input nosiseptif dari nosiseptor kutaneus. Lamina II diperhatikan karena diduga sebagai tempat utama aktivasi oleh opioid. Lamina III dan IV memperoleh input sensoris non nosiseptif. Lamina VIII dan IX menyusun medula spinalis anterior (motorik). Lamina VII disebut columna intermediolateral dan tersusun atas sel bodi preganglionik saraf simpatis. Aferen visceral berakhir di lamina V dan sedikit di lamina I. Kedua lamina tersebut menunjukkan poin konvergensi sentral antara input somatik dan visceral. Lamina V respon terhadap input sensoris bahaya dan bukan bahaya serta menerima nyeri aferen somatis dan visceral. Fenomena konvergensi antara input sensoris somatik dan visceral bermanifestasi secara klinis sebagai nyeri alih (tabel 18-2). Dibanding serabut somatis, serabut nosiseptif visceral lebih sedikit, lebih tersebar luas, mengaktivasi sejumlah neuron spinal secara proporsional, dan tidak tersusun secara somatotopikal. A. Traktus Spinothalamikus Akson neuron sekunder menyilang linea mediana mendekati tingkatan mereka (di komisura anterior) ke sisi kontralateral medula spinalis sebelum membentuk traktus spinotalamikus dan mengirim serabut saraf menuju thalamus, formatio retikularis, nukleus raphe magnus, dan periaqueductal gray. Traktus spinothalamikus, yang dianggap sebagai jalur nyeri utama, terbentang anterolateral dari area putih medula spinalis (gambar 18-4). Traktus yang ascenden dapat dibagi menjadi 2 menjadi traktus lateral dan traktus medial. Traktus spinothalamikus lateralis (neospinothalamikus) memproyeksi terutama ke nukleus posterolateral ventral thalamus dan membawa perbedaan aspek nyeri seperti lokasi, intensitas, dan durasi. Traktus spinothalamikus medial (paleospinothalamikus) menuju thalamus medial dan bertanggung jawab memperantarai persepsi nyeri sebagai emosional yang tidak menyenangkan dan autonom. Beberapa saraf spinothalamicus juga menuju periaqueduktus gray dan mungkin hubungan penting antara jalur ascenden dan descenden. Serabut kolateral memproyeksi ke sistem aktivasi retikular dan 9 hipothalamus yang bertanggung jawab terhadap timbulnya respon terhadap nyeri. B. Jalur Nyeri Alternatif Sebagai sensasi epikritik, serabut nyeri ascenden secara difus, ipsilateral, dan kontralateral; oleh karena itu beberapa pasien tetap merasa nyeri setelah mengalami ablasi traktus spinothalamikus kontralateral. Jalur nyeri ascending lain juga penting. Traktus spinoretikuler diperkirakan memperantarai timbulnya respon otonom terhadap nyeri. Traktus spinomesencephali penting untuk mengaktifasi antinosiseptif, jalur descenden, karena memiliki proyeksi di periaqueduktus gray. Traktus spinohipothalamikus dan spinotelencephali mengaktifasi hipotalamus dan membangkitkan emosional. Traktus spinocervical ascenden tidak menyilang nukleus cervikal lateral yang membawa ke thalamus kontralateral. Traktus ini sepertinya jalur alternatif nyeri yang utama. Akhirnya, beberapa saraf di columna dorsalis (yang terutama membawa rangsangan ringan dan propioseptif) merespon nyeri, mereka naik secara medial dan ipsilateral. C. Integrasi dengan Saraf Simpatis dan Sistem Motoris Aferen somatis dan visceral berintegrasi dengan motorik skeletal dan sistem simpatis di medula spinalis, brain stem, dan pusat yang lebih tinggi. Neuron aferen medula spinalis dorsalis bersinaps langsung dan tidak langsung dengan motor neuron medula spinalis anterior. Sinaps ini bertanggung jawab terhadap reflek otot baik normal maupun abnormal, yang berkaitan dengan nyeri. Pada tingkatan yang sama, sinaps antara neuron nosiseptif aferen dan neuron simpatis di columna intermediolateralis menyebabkan reflek simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi, spasme otot halus, dan pelepasan katekolamin baik lokal maupun dari medula adrenal. Neuron Tersier Neuron tersier terletak di thalamus dan menuju area somatosensori I dan II di girus postsentralis pada korteks parietal dan dinding superior sulcus lateralis cerebri. Persepsi dan perbedaan lokasi nyeri berada di area kortikal. Sebagian besar neuron berasal dari nukleus thalamikus lateral menuju korteks 10 somatosensori primer, sedangkan yang dari nukleus intralaminar dan medial menuju girus cinguli anterior, memperantarai penderitaan dan emosional karena nyeri. FISIOLOGI NOSISEPTIF 1. Nosiseptor Nosiseptor ditandai dengan nilai ambang tinggi untuk aktivasi dan menyusun intensitas stimulasi dengan meningkatkan jumlah discharge sesuai derajat. Stimulus berulang ditunjukkan dengan adaptasi, sensitisasi, dan discharge yang terlambat. Rangsang noxious dibagi menjadi 2 komponen : tajam, cepat diketahui lokasinya dengan baik (nyeri primer) yang dibawa dengan cepat (0,1 detik) oleh serabut Aδ (diuji oleh pinprick) dan nyeri tumpul, onset lama dan sering kurang diketahui lokasinya (nyeri sekunder) yang dibawa oleh serabut C. Sensasi epikritik ditranduksi oleh organ akhir khusus di neuron aferen (korpuskel pacini untuk sentuhan). Sebaliknya, sensasi protopatik ditransduksi oleh akhiran saraf bebas. Nosiseptor pada umumnya merupakan akhiran saraf bebas yang merasakan panas, kerusakan jaringan mekanis dan kimiawi. Tipe nosiseptor yaitu (1) mekanonosiseptor yang berespon terhadap cubitan atau tusukan, (2) nosiseptor diam yang hanya berespon jika terdapat inflamasi, (3) nosiseptor mekanik polimodal. Tipe terakhir paling banyak dijumpai dan berespon terhadap tekanan yang berlebihan, suhu yang ekstrem ( >42 0 C dan <180 C), dan alogen (nyeri menghasilkan substansi-substansi). Minimal 2 reseptor nosiseptor (saluran ion di akhiran saraf) sudah diketahui yaitu VR-1 dan VRL1. keduanya merespon terhadap suhu tinggi. Alogen termasuk bradikinin, histamin, serotonin (5hidroksitriptamin atau 5-HT), H+, K+, beberapa prostaglandin dan mungkin adenosin trifosfat. Capsaicin merangsang reseptor VR1. Nosiseptor polimodal lambat beradaptasi terhadap tekanan yang kuat dan sensitisasi panas. Nosiseptor Cutaneus Nosiseptor terdapat di jaringan somatik dan visceral. Neuron aferen primer mencapai jaringan melalui saraf spinal somatik, simpatis, atau parasimpatis. 11 Nosiseptor somatik termasuk kulit (kutaneus) dan jaringan dalam (otot, tendo, fascia, dan tulang) sedang nosiseptor viscera di organ dalam. Kornea dan pulpa gigi sangat unik, mereka secara khusus diinervasi oleh nosiseptif Aδ dan serabut C. Nosiseptor Somatik Dalam Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif terhadap rangsang noxious dibanding nosiseptor kutaneus tapi mudah tersensitisasi oleh inflamasi. Nyeri yang timbul dari nosiseptor ini bersifat tumpul dan kurang diketahui letaknya. Nosiseptor spesifik terletak di otot dan kapsul sendi, mereka merespon terhadap rangsangan mekanis, suhu, dan kimiawi. Nosiseptor Visceral Organ viscera umumnya tidak sensitif yang banyak mengandung nosiseptor diam. Beberapa organ mempunyai nosiseptor spesifik seperti jantung, paru-paru, testis, dan kantong empedu. Organ lainnya seperti intestinum diinervasi oleh nosiseptor polimodal yang merespon dengan spasme otot halus, iskemia, dan inflamasi (alogen). Reseptor ini umumnya tidak merespon terhadap sayatan, terbakar atau kerusakan yang terjadi selama operasi. Beberapa organ seperti otak kekurangan nosiseptor tapi mening otak menutupi kebutuhan nosiseptor. Seperti nosiseptor somatik, di viscera adalah akhiran saraf bebas dari neuron aferen primer dimana sel bodi tersebar di medula spinalis dorsalis. Serabut aferen secara teratur berjalan dengan saraf eferen simpatis untuk mencapai viscera. Aktifitas aferen memasuki medula spinalis antara T1 sampai L2. Serabut C nosiseptor dari esofagus, laring, dan trakea berjalan dengan nervus vagus masuk nukleus solitarius di brain stem. Serabut nyeri aferen dari kandung kemih, prostat, rektum, servik, uretra, dan genetalia menuju medula spinalis melalui saraf parasimpatis S2-S4. Serabut neuron aferen viscera primer masuk medula spinalis dan bersinapsis lebih difus dengan serabut tunggal, sering bersinaps dengan dermatom multipel dan menyilang ke medulla spinalis dorsalis kontralateral. 12 2. Mediator kimiawi nyeri Fungsi beberapa neuropeptida dan asam amino eksitatori adalah sebagai neurotransmiter untuk neuron aferen yang mendapat rangsang nyeri (tabel 184). Neuron terdiri dari lebih dari 1 nuerotransmiter yang dilepas secara simultan. Peptida paling penting adalah substansi P (sP) dan calcitonin yang berhubungan dengan peptide (CGRP). Glutamat adalah asam amino eksitatori paling penting. Substansi P adalah 11 peptida asam amino yang disintesis dan dilepas oleh neuron primer perifer dan medula spinalis dorsalis. Substansi P adalah salah satu dari 9 peptida tachykinin yang berbagi rangkaian karboksil asam amino. Substansi P juga ditemukan di bagian lain dari sistem nervus dan intestinum, transmisi nyeri melalui aktivasi reseptor NK-1. Di perifer, neuron sP berjalan kolateral yang hampir berdekatan dengan pembuluh darah, kelenjar keringat, folikel rambut, dan sel mast di dermis. Substansi P merangsang nosiseptor, degranulasi histamin dari sel mast dan 5 HT dari platelet dan vasodilatator poten serta penarik leukosit. Substansia P melepas neuron juga menginervasi viscera dan kolateral ke ganglia simpatis paravertebralis, stimulasi kuat dari viscera, oleh karena itu dapat menyebabkan langsung discharge simpatis postganglionik. Opioid dan reseptor adrenergik-a2 ditemukan di atau dekat akhiran nervus perifer tak bermielin. Meskipun secara fisiologis belum jelas, sekarang dilakukan analgesia dengan opioid terutama jika terdapat inflamasi. 3. Modulasi nyeri Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor, di medula spinalis, atau di supra spinal. Modulasi dapat menghambat (inhibisi) atau merangsang (mempercepat) terjadinya nyeri. Modulasi Perifer Nosiseptor dan neuronnya menunjukkan sensitisasi setelah mengalami rangsang berulang. Sensitisasi dapat bermanifestasi sebagai sebuah respon tinggi terhadap rangsang bahaya atau kemampuan reaksi yang baru saja diperoleh ke jangkauan stimulus yang lebih luas termasuk stimulus bukan bahaya. 13 A. Hiperalgesia primer. Sensitisasi nosiseptor menurunkan nilai ambang, peningkatan frekuensi respon terhadap intensitas stimulus yang sama, penurunan waktu respon, dan kemunculan spontan bahkan setelah penghentian rangsang (afterdischarge). Sensitisasi biasa terjadi akibat luka dan terkena panas. Hiperalgesia primer diperantarai dengan pelepasan alogen dari kerusakan jaringan. Histamin dilepas oleh sel mast, basofil, dan platelet sedangkan serotonin dilepaskan oleh sel mast dan platelet. Bradikinin dilepaskan dari kerusakan jaringan setelah aktifasi faktor XII. Bradikinin mengaktifasi akhiran saraf bebas melalui reseptor spesifik (B1 dan B2). Prostaglandin diproduksi setelah kerusakan jaringan melalui aksi fosfolipase A2 pada fosfolipid yang dilepas dari membran sel untuk membentuk asam arakidonat. Jalur siklooksigenase berubah menjadi endoperoksida yang ditrasformasi menjadi prostasiklin dan prostaglandin E2 (PGE2). PGE 2 secara langsung mengaktifasi akhiran saraf bebas, dimana prostasiklin menyebabkan bradikinin berlimpah. Jalur lipoksigenase merubah asam arakidonat menjadi komponen hidroperoksida yang kemudian diubah menjadi leukotrien. Obat-obat farmakologi seperti asam asetil salisilat (ASA atau aspirin), asetaminofen, dan obat antiinflamasi non steroid (NSAID) mempunyai efek analgetik karena inhibisi COX. Efek analgetik kortikosteroid karena menghambat produksi prostaglandin melalui blokade aktifasi fosfolipase A2. B. Hiperalgesi Sekunder Inflamasi neurogenik juga disebut hiperalgesia sekunder berperan penting pada sensitisasi perifer karena trauma. Hal tersebut bermanifestasi sebagai trias respon yaitu memerah di sekitar tempat luka, edem jaringan lokal, dan sensitisasi stimulus bahaya. Hiperalgesia sekunder berkaitan dengan pelepasan antidromik sP (dan mungkin CGRP) dari akson kolateral neuron aferen primer. Substansi P menghasilkan histamin dan 5HT, vasodilatasi pembuluh darah, edem jaringan, dan menginduksi pembentukan leukotrien. Respon saraf (1) disebabkan oleh stimulasi antidromik nervus 14 sensori, (2) tidak ditemukan pada kulit yang tidak diinervasi, dan (3) dikurangi oleh injeksi anestesi lokal seperti lidokain. Capsaicin berasal dari Hungarian Red Pepper, degranulasi dan deplesi sP. Jika digunakan topikal, capsaicin mengurangi inflamasi neurogenik dan bermanfaat bagi pasien neuralgia post herpetik. Modulasi Sentral A. Fasilitasi Sedikitnya 3 mekanisme sensitisasi pusat di medula spinalis : 1. Penghentian dan sensitisasi neuron sekunder. Neuron WDR meningkatkan frekuensi pelepasan substansi dengan stimuli ulangan yang sama, substansi yang lebih bertahan lama bahkan setelah input saraf C aferen dihentikan. 2. Perluasan daerah reseptor. Neuron medula spinalis dorsalis meningkatkan daerah reseptif seperti neuron yang berdekatan menjadi resposif terhadap stimuli (baik bahaya maupun tidak) yang sebelumnya tidak responsif. 3. Hipereksitabilitas reflek fleksi. Peningkatan reflek fleksi terjadi ipsilateral dan kontralateral. Mediator neurokimiawi sensitisasi pusat antara lain adalah sP, CGRP, peptida intestinal vasoaktif (VIP), kolesistokinin(CCK), angotensin, dan galanin, seperti asam amino eksitatori L-Glutamat dan L-aspartat. Mediator tersebut merangsang perubahan eksitabilitas membran dengan berinteraksi dengan protein G-reseptor membran di neuron, mengaktifasi pembawa sekunder intraseluler, yang mengubah protein fosforilat. Mekanisme yang biasa terjadi adalah peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. (gambar 18-5) Glutamat dan aspartat berperan penting dalam penghentian melalui aktivasi mekanisme reseptor N-metil D aspartat (NMDA) dan non NMDA. Asam amino ini diduga bertanggung jawab terhadap induksi dan maintenance sensitisasi sentral. Aktifasi reseptor NMDA meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler di neuron spinal dan mengaktifasi fosfolipase C (PLC). Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler 15 mengaktifasi fosfolipase A2 (PLA2), mengkatalisis perubahan fosfatidilkolin (PC) menjadi asam arakidonat (AA), dan menginduksi pembentukan prostaglandin. Fosfolipase C mengkatalisis hidrolisis fosfatidilinositol 4,5 bifosfat (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG) yang berfungsi sebagai pembawa sekunder; DAG mengaktifasi protein kinase C (PKC). Aktifasi reseptor NMDA juga menginduksi sintetase nitrit okside sehingga terbentuk nitrit okside. Prostaglandin dan nitrit okside memfasilitasi pelepasan asam amino eksitator di medula spinalis. Inhibitor COX seperti ASA dan NSAID juga menunjukkan efek analgetik di medula spinalis. B. Inhibisi Transmisi input nosiseptif di medula spinalis dapat dihambat oleh aktifitas medula spinalis segmental seperti aktifitas neural descenden dari supraspinalis. 1. Inhibisi segmental Sensitisasi serabut aferen besar oleh sensasi epikritik menghambat neuron WDR dan aktifitas traktus spinotalamikus. Aktivasi stimulus bahaya di bagian tubuh yang tidak berhubungan menghambat neuron WDR di tingkat lain, misalnya nyeri di suatu bagian tubuh akan menghambat nyeri di bagian lain. Keduanya mendukung teori ’gate’ bahwa nyeri diproses di medula spinalis. Glisin dan asam γ aminobutirit (GABA) adalah asam amino yang berfungsi sebagai neurotransmiter inhibitor. Mereka berperan penting dalam inhibisi segmental nyeri di medula spinalis. Antagonis glisin dan GABA memfasilitasi neuron WDR dan menyebabkan terjadinya alodinia dan hiperestesia. Ada 2 tipe reseptor GABA : GABA A, agonisnya muscimol, GABAB dimana baclofen sebagai agonis. Inhibisi segmental diperantarai oleh aktifitas reseptor GABAB yang meningkatkan konduksi K+ menyeberangi membran sel. Fungsi reseptor GABAA sebagai saluran K+ yang meningkatkan konduksi Cl- melewati membran sel. Benzodiazepin 16 mempercepat aksi ini. Aktivasi reseptor glisin juga meningkatkan konduksi Cl- melewati membran sel neuron. Striknin dan tetanus toxoid adalah antagonis reseptor glisin. Aksi glisin lebih komplek dibanding GABA karena juga mempunyai efek fasilitator pada reseptor NMDA. Adenosin memodulasi aktifitas nosiseptif di medula spinalis dorsalis. Sedikitnya 2 reseptor yang diketahui yaitu A1 (menghambat adenilsiklase) dan A2 (menstimulasi adenilsiklase). Reseptor A1 memperantarai aksi antinosiseptif adenosin. Metilxantin dapat mengembalikan efek ini melalui inhibisi fosfodiesterase. 2. Inhibisi supraspinal Beberapa struktur supraspinal mengirim serabut saraf menuju medula spinalis untuk menghambat nyeri di medula spinalis dorsalis. Tempat penting asal dari jalur descenden ini adalah periaqueduktus gray, formatio retikularis, dan nukleus raphe magnus (NRM). Stimulasi area periaqueduktus gray di otak tengah menyebabkan analgesia umum pada manusia. Akson traktus ini berpresinap di neuron aferen primer dan post sinap di neuron sekunder (atau interneuron). Jalur ini memperantarai antinosiseptif melalui mekanisme reseptor α2 adrenergik, serotoninergik, dan opiat (μ, δ, dan κ). Peran monoamin pada inhibisi nyeri menjelaskan efek analgetik dari antidepresan yang memblok reuptake katekolamin dan serotonin. Aktivitas reseptor tersebut (yang berpasangan dengan protein G) mengaktifasi pembawa sekunder intraseluler, membuka saluran K + dan menghambat peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Inhibisi jalur adrenergik berasal dari daerah periaqueduktus gray dan formatio retikularis. Norepinefrin memperantarai aksi tersebut melalui aktivasi presinap atau reseptor α2 postsinap. Inhibisi descenden dari periaqueduktus gray pertama menuju ke NRM dan formatio retikularis medularis; serabut serotonik dari NRM lalu inhibisi ke neuron medula spinalis dorsalis melalui funikulus dorsolateral. Sistem opiat endogen (khususnya NRM dan formatio retikularis) melalui metionin enkefalin, leusin enkefalin, dan β enderpin yang 17 berantagonis dengan naloxone. Opioid ini mempunyai neuron aferen primer presinap dan inhibisi pelepasan sP. Juga tampak menyebabkan inhibisi post sinaptik. Opioid eksogen beraksi di post sinap pada neuron sekunder atau interneuron di substansia gelatinosa. 4. Preemptif Analgesia Kepentingan modulasi nosiseptif pusat dan perifer diperkuat oleh konsep ‘ preemptif analgesia’ pada pasien yang menjalani operasi. Dapat melibatkan infiltrasi luka dengan anestesi lokal, blokade neural pusat, atau pemberian dosis opioid NSAID atau ketamin yang efektif. Bukti penelitian menunjukkan bahwa preemptif analgesia dapat memperkecil sensitisasi pusat atau perifer terhadap nyeri secara efektif. Beberapa penelitian gagal melakukan preemptif analgesia pada manusia, penelitian lain dilaporkan adanya pengurangan kebutuhan analgetik post operasi yang signifikan pada pasien yang menerima preemptif analgesia. PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK Nyeri kronik dapat disebabkan oleh kombinasi mekanisme perifer, sentral dan psikologi. Sensitisasi nosiseptor berperan penting pada nyeri karena sebab perifer seperti gangguan muskuloskeletal dan viscera kronik. Nyeri neuropati melibatkan mekanisme perifer-sentral dan mekanisme neural sentral yang komplek dan umumnya berhubungan dengan lesi parsial atau total dari nervus perifer, dorsal batang ganglia, batang saraf, atau pusat lainnya (tabel 18-5). Mekanisme perifer termasuk discharge spontan, sensitisasi reseptor terhadap rangsang mekanis, suhu, dan kimiawi; regulasi ulang dari reseptor adrenergik. inflamasi neural juga terjadi. Pemberian anestesi lokal dan antikonvulsan menekan letusan sensitisasi spontan atau neuron traumatik. Telah dilaporkan efikasi obat seperti lidokain, mexiletine, dan karbamazepin pada pasien dengan nyeri neuropatik. Mekanisme sentral termasuk kehilangan inhibisi segmental, penghentian neuron WDR, discharge spontan pada neuron deaferen, dan reorganisasi hubungan saraf. Sistem saraf simpatis berperan penting pada beberapa pasien dengan mekanisme perifer-sentral dan sentral. Efikasi blokade saraf simpatis pada 18 beberapa pasien mendukung konsep nyeri yang diperantarai oleh simpatis. Gangguan nyeri yang sering berespon terhadap blok simpatis termasuk distropi reflek simpatis, sindrom deaferen karena avulsi atau amputasi saraf, dan neuralgia postherpetik. Aktifitas simpatis yang tinggi menyebabkan vasokonstriksi, edema, dan hiperalgesia gagal merespon panas dan fase eritematous pada beberapa pasien. Penelitian klinis dan eksperimen tidak mendukung teori transmisi ephatik antara serabut saraf nyeri dengan serabut simpatis demielinisasi. Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang sebagai satu-satunya mekanisme nyeri kronik tapi biasa berkaitan dengan mekanisme lain (tabel 18-6). Pasien dengan nyeri psikogenik ditandai dengan nyeri yang berhubungan dengan cemas hebat, rasa takut kehilangan organ tubuh, dan khilangan cinta sehingga cemas dinyatakan sebagai nyeri. Respon sistemik terhadap nyeri Nyeri akut Nyeri akut berhubungan dengan respon gangguan neuroendokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri. Mekanisme nyeri diperantarai oleh saraf eferen telah didiskusikan sebelumnya. Saraf eferen diperantarai saraf simpatis dan sistem endokrin. Aktifasi simpatis meningkatkan impuls simpatis eferen ke seluruh viscera dan melepas katekolamin dari medula adrenal. Respon hormonal disebabkan oleh peningkatan simpatis dan reflek hipotalamus. Operasi minor atau superficial tidak didapatkan atau ada stres ringan, operasi abdomen dan thorak menyebabkan stres berat. Nyeri karena operasi abdomen dan thorak atau trauma berefek langsung pada fungsi pernafasan. Imobilisasi atau tirah baring karena nyeri perifer dapat berpengaruh secar tidak langsung terhadap pernafasan karena fungsi hematologi. Nyeri akut sedang sampai berat, tidak tergantung lokasi, dapat mempengaruhi fungsi setiap organ di sekitar dan berpengaruh buruk pada morbditas dan mortalitas post operasi. Penatalaksanaan nyeri post operasi yang efektif tidak hanya ramah tapi juga aspek yang sangat penting dalam perawatan post operasi. 1. Efek kardiovaskuler 19 Efek kardiovaskuler sering timbul, di antaranya adalah hipertensi, takikardi, mempertinggi iritabilitas miokardial, dan peningkatan resistensi vaskuler sistemik. Output kardia meningkat pada orang normal tapi menurun pada pasien dengan fungsi ventrikuler terganggu. Karena kebutuhan oksigen oleh miokardium meningkat, nyeri dapat mempercepat timbulnya iskemi miokardium. 2. Efek pernafasan Peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh dan produksi CO2 mengharuskan peningkatan ventilasi per menit. Peningkatan kerja pernafasan terutama pada pasien dengan kelainan paru. Nyeri karena insisi thoracal atau abdomen lebih membahayakan fungsi paru karena melindungi(melingkupi) paru. Penurunan pergerakan dinding dada mengurangi volume tidal dan kapasitas residual fungsional yang menyebabkan atelektasis, shunting intrapulmoner, hipoksemi, dan hipoventilasi. Penurunan kapasitas vital manghalangi batuk dan pengeluaran sekret. Tergantung letak nyeri, tirah baring lama atau imobilisasi dapat menyebabkan perubahan yang sama pada fungsi paru. 3. Efek gastrointestinal dan urinaria Mempertinggi aktifitas simpatis meningkatkan tonus sfingter dan menurunkan motilitas gastrointestinal dan urinaria sehingga terjadi ileus dan retensi urin yang kemudian terjadi hipersekresi asam lambung yang dapat menyebabkan ulserasi dan bersama-sama dengan penurunan motilitas berpotensi menjadi faktor predisposisi aspirasi pulmoner berat. Terjadi nausea, vomitus, dan konstipasi. Abdomen yang besar mempercepat pengurangan volume paru dan disfungsi paru. 4. Efek endokrin Respon hormonal terhadap stres adalah hormon katabolik meningkat (katekolamin, kortisol, dan glukagon) dan menurunkan hormon anabolik (insulin dan testosteron). Pasien mengalami keseimbangan nitrogen negatif, intoleransi karbohidrat, dan peningkatan lipolisis. Peningkatan kortisol bersama dengan peningkatan renin aldosteron, angotensin dan hormon 20 antidiuretik menyebabkan terjadinya retensi natrium, retensi air, dan perluasan sekunder ruang ekstraseluler. 5. Efek hematologi Stres meningkatkan adhesivitas platelet, mengurangi fibrinolisis, dan hiperkoagulabilitas. 6. Efek imun Respon stres berupa leukositosis dengan limfopeni dan menekan sistem retikuloendotelial yang kemudian dapat terjadi infeksi. 7. Keadaan umum Reaksi paling umum terhadap nyeri akut adalah ansietas. Gangguan tidur juga khas ketika nyeri berlangsung lama, biasa terjadi pada orang depresi. Beberapa pasien bereaksi dengan marah yang biasanya langsung tertuju ke dokter. Nyeri Kronik Tidak terdapat respon tekanan neuroendokrin pada kebanyakan pasien dengan nyeri kronik. Respon stres umumnya hanya terdapat pada pasien nyeri hebat berulang karena mekanisme perifer (nosiseptif) dan pasien dengan mekanisme sentral prominen seperti nyeri yang berhubungan dengan paraplegi. Sering terjadi gangguan tidur dan afektif terutama pada pasien depresi. Banyak pasien mengalami perubahan nafsu makan yang mencolok (meningkat atau menurun) dan tekanan dalam hubungan sosial. PEMERIKSAAN PASIEN DENGAN NYERI Klinisi pertama kali harus membedakan antara nyeri akut dengan nyeri kronik. Penanganan nyeri akut adalah medikamentosa seedangkan penanganan nyeri kronik ditambah dengan penyelidikan. Pasien dengan nyeri post operasi membutuhkan sedikit pemeriksaan dibanding pasien dengan riwayat sakit tulang belakang kronis (10 tahun) yang sudah mendapat terapi bermacam-macam. Hanya dibutuhkan riwayat dan pemeriksaan yang berhubungan termasuk pemeriksaan keparahan nyeri secara kuantitas, yang membutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang hati-hati, mengingat terapi yang pernah didapat, dan pemeriksaan kondisi psikologis dan sosiologik. 21 Pemeriksaan pertama penting baik dari klinisi maupun anamnesis pasien. Untuk kegunaan diagnostik, pemeriksaan membantu klinisi menjelaskan secara simpatik kepada pasien. Pertanyaan tertulis dapat memperoleh informasi yang berharga tentang asal nyeri, onset, durasi, pengobatan dan medikasi sebelumnya. Diagram berguna dalam menentukan pola penyebaran. Pertanyaan tertulis membantu mengetahui efek nyeri pada fungsi organ, aktifitas harian, dan interaksi sosial dan dapat memberikan pandangan tentang peringanan nyeri. Pemeriksaan fisik dapat mengetahui keadaan sistem muskuloskeletal dan neurologi. Pemeriksaan radiologi kadang dibutuhkan yaitu foto polos, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), atau scan tulang. Pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi trauma yang tidak diketahui sebelumnya, tumor, atau penyakit tulang metabolik. MRI berguna khususnya untuk mengetahui keadaan jaringan lunak dan dapat menunjukkan kompresi saraf. Pengukuran Nyeri Pengukuran derajat nysecara kuantitatif membantu menentukan intervensi terapeutik dan mengevaluasi efikasi pengobatan. Ini adalah suatu perubahan karena nyeri merupakan pengalaman subyektif yang dipengaruhi oleh keadaan psikologis, budaya, dan variabel lain. Dibutuhkan definisi yang jelas karena nyeri digambarkan sebagai kerusakan jaringan/organ tubuh atau reaksi emosi. Skala deskriptif dibagi menjadi ringan, sedang/moderate, dan berat. Skala angka verbal tidak kontinu dan umumnya tidak memuaskan. Skala angka, skala wajah, skala analog visual (VAS), dan McGill Pain Questionnaire(MPQ) sering digunakan. Pada skala angka, 0menunjukkan tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri paling parah. Skala wajah lebih bermanfat bagi pasien yang sulit berkomunikasi. Pasien disuruh melakukan bermacam-macam ekspresi wajah dari tersenyum (tanpa nyeri) sampai ekspresi tak bahagia karena kesakitan. VAS adalah 10cm garis horisontal yang berlabel ’no pain’ di satu sisi dan ”worst pain imaginable’ di ujung yang lain. VAS mudah, efisien, dan metode dengan pengabur minimal yang berkorelasi baik dengan metode lainnya. MPQ adalah checklist kata yang mendeskripsikan gejala. Tidak seperti metode lain yang menganggap nyeri tidak berdimensi dan mendiskripsikan nyeri tapi 22 bukan kualitas, MPQ menggambarkan nyeri dlam 3 dimensi : (1). Deskriminatif sensori (jalur nosiseptif), (2) motifasional-afektif (struktur limbik dan retikuler), dan (3) evaluasi kognitif (korteks serebri). MPQ terdiri dari 20 set kata diskriptif yang dibagi menjadi 4 kelompok utama yaitu (1) 10 sensori, (2) 5 afektif,(3) 1 evaluasi, dan (4)miscelaneous. Pasien memilih set yang sesuai nyerinya dan bergantian hingga mendapat set yang menggambarkan nyerinya. Kata-kata tiap kelompok diberi peringkat sesuai keparahan nyeri. Angka indeks nyeri berdasarkan kata-kata yang dipilih, skore juga dianalisis di tiap dimensi (sensori, afektif, evaluasi, dan miscelaneous). MPQ tersedia dan dapat dilakukan dalam 515 menit. Pemilihan kata deskriptif yang menggambarkan nyeri berkorelasi dengan sindrom nyeri dan dapat berguna dalam penegakan diagnosis. Sayangnya, cemas tingkat tinggi dan gangguan psikologi dapat tidak jelas dengan kapasitas deskriptif MPQ. Pemeriksaan Psikologi Pemeriksaan psikologi paling berguna ketika pemeriksaan medis gagal menunjukkan penyebab nyeri yang jelas atau ketika intensitas nyeri tidak sesuai proporsi penyakit atau luka. Pemeriksaan ini membantu menemukan kondisi psikologis dan faktor kebiasaan. Tes yang paling sering dipakai adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) dan Beck Depression Inventory. MMPI terdiri dari 566 item pertanyaan benar-salah untuk mengetahui kepribadian pasien pada 10 skala klinis. 3 skala validitas membantu mengetahui pasien yang sengaja menyembunyikan karakter atau mengubah hasil. Perlu dicatat bahwa perbedaan budaya dapat mempengaruhi skore.terlebih lagi, tes ini panjang dan pasien menemukan pertanyaan yang menghina. MMPI digunakan untuk mengkonfirmasi kesan klinis dengan faktor psikologi, tapi tidak dapat membedakan nyeri organik atau nyeri fungsional. Depresi sering terjadi pada pasien dengan nyeri kronik. Sering sulit memutuskan kontribusi depresi terhadap nyeri. Beck Depression Inventory bermanfaat untuk mengidentifikasi pasien dengan depresi berat. Beberapa tes berkembang untuk menilai keterbatasan fungsi dan kerusakan (disabilitas). Termasuk di antaranya adalah Multidimensional Pain Inventory 23 (MPI), Medical Outcomes Survey 36 item Short Form (SF-36), Pain Disability Index(PDI), dan Oswestry Disability Questionnaire. Gangguan emosional biasa berkaitan dengan keluhan nyeri kronik, dan nyeri kronik sering menyebabkan gangguan psikologi dengan berbagai derajat. Nyeri dan gangguan emosional perlu diterapi. Gangguan emosional yang perlu terapi langsung pada gangguan emosi terdapat pada tabel 18-7. Elektromiografi dan Penelitian Konduksi Saraf Elektromiografi dan penelitian konduksi saraf, yang saling melengkapi bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sindrom, sindrom radikuler, trauma saraf, dan polineuropati. Mereka dapat membedakan gangguan neurogenik dengan miogenik. Pola abnormalitas dapat terletak antara lesi sampai medula spinalis, batang saraf, pleksus, saraf perifer. Mereka juga berguna untuk menyingkirkan nyeri organik saat diduga adanya nyeri psikogenik atau sindrom fungsional. Elektromiografi menggunakan elektroda jarum untuk merekam potensi otot pasien. Potensi otot dicatat pertama kali ketika otot istirahat dan kemudian pasien diminta untuk menggerakan otot. Penemuan abnormal digambarkan dengan adanya denervasi termasuk insersi potensial persisten, adanya gelombang tajam, aktifitas fibrilasi atau fasikulasi. Potensial aksi unit motorik trifasik normal terlihat pada pergerakan otot yang volunter. Anormalitas otot menyebabkan perubahan amplitudo dan durasi menjadi potensial aksi polifasik. Pemeriksaan konduksi saraf perifer menggunakan stimulasi supramaksimal pada motorik atau saraf sensorimotorik campuran, dimana potensial otot direkam di atas otot yang tepat. Waktu antara onset timulasi dengan onset potensial otot (latensi) diukur dari konduksi saraf motorik tercepat. Amplitudo menunjukkan jumlah unit motorik fungsional dimana durasi reflek bergantung kecepatan konduksi saraf. Kecepatan konduksi diperoleh dari stimulasi saraf dari 2 titik dan perbandingan latensi. Ketika nervus sensori diperiksa, saraf dirangsang dan dicatat potensial aksinya (konduksi antidromik). Pemeriksaan konduksi saraf membedakan mononeuropati (karena trauma, kompresi) dan polineuropati. Gangguan sistemik dapat menimbulkan abnormalitas yag tersebar dan simetris atau acak (mononeuropati multipel). 24 Polineuropati mungkin berhubungan dengan kehilangan akson, demielinisasi, atau keduanya. Demielinisasi neuropati konduksinya lambat dan mengacaukan potensial aksi dan latensi memanjang. Neuropati aksonal menurunkan amplitudo potensial aksi dengan kecepatan konduksi saraf yang terjaga. Toksin, genetik, trauma, dan penyakit iskemi menyebabkan kehilangan aksonal yang dapat diturunkan dan penyakit autoimun menyebabkan demielinisasi. Neuropati diabetik sering terjadi dengan kehilangan aksonal dan demielinisasi. Diagnostik dan Blokade Neural Terapeutik Blokade neural dengan anestesi lokal dapat bremanfat untuk menggambarkan mekanisme nyeri tapi yang lebih penting adalah hal tersebut berperan utama pada penanganan pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran sistem simpatis dan jalurnya dapat diperiksa. Meskipun penggunaan blokade neural berbeda antara mekanisme somatik dan mekanisme simpatis perlu dipertanyakan, teknik ini dapat mengetahui pasien dengan respon plasebo dan mereka dengan mekanisme psikologi. Pada pasien terpilih, blokade neural permanen dapat cocok. Efikasi blokade neural rupanya karena interaksi aktivitas nosiseptif aferen. Blokade aferen dan eferen menimbulkan reflek abnormal (simpatis dan otot skeletal). Nyeri berkurang karena farmakologi dalam hitungan jam (atau kadang minggu). Pemilihan jenis blok tergantung lokasi nyeri, mekanisme perkiraan, dan keahlian klinisi. Anestesi lokal dapat digunakan secara lokal (infiltrasi), atau di nervus perifer, pleksus somatik, ganglion simpatis, atau batang saraf. Juga dapat digunakan secara sentral di neuraksis. Anestesi spinal dan epidural dijelaskan dalam bab 16, blok saraf somatik yang biasa digunakan untuk pembedahan dijelaskan dalam bab 17. BLOK SOMATIK Blok Nervus Trigeminal A. Indikasi 2 indikasi prinsip adalah neuralgia trigeminal dan nyeri kanker yang keras di wajah. Tergantung lokasinya, anestesi dilakukan di ganglia Gasserian, salah satu kelompok utama (opthalmikus, maksilaris, atau mandibula) atau salah satu dari cabangnya. 25 B. Anatomi Percabangan nervus cranialis V berasal dari brain stem dan bergabung membentuk ganglion gasserian sensoris berbentuk bulan sabit di cavum Meckel. Kebanyakan ganglion masuk di selaput dural. 3 subdivisi nervus trigeminal dari ganglia dan keluar dari cranium secara terpisah. Opthalmikus masuk orbita melalui fisura orbitalis superior. Bagian maksilaris keluar dari cranium melalui foramen rotundum lalu masuk foramen pterigopalatina yang kemudian bercabang-cabang. Nervus mandibularis keluar melalui foramen ovale, setelah bercabang ke anterior yang terutama motorik untuk mastikasi dan ke posterior yang bercabang menjadi cabang sensoris. (gambar 18-6A) C. Teknik 1. Blok Ganglion Gasserian Untuk menjalankan prosedur, perlu panduan radiologi. Pendekatan anterolateral sering digunakan. Masukkan jarum G22 8-10cm kira-kira 3cm lateral ke sudut mulut di atas molar kedua atas. Pendekatan posteromedial dan sudut superior dilakukan dimana jarum lurus dengan pupil di permukaan anterior dan dengan arkus zigomatikus media di lateral. Tanpa memasuki mulut, jarum harus melalui ramus mandibula dan maksila, lateral ke prosesus pterigoideus untuk masuk cranium melalui foramen ovale. Setelah aspirasi tidak ada cairan serebrospinal dan darah, diinjeksikan 2 ml obat anestesi. 2. Blokade Nervus Opthalmikus dan cabang-cabangnya Untuk menghindari keratitis, opthalmikus sendiri tidak diblok jadi hanya cabang supraoptik. Nervus secara mudah ditemukan dan diblok dengan 2 ml anestesi lokal di takik supraoptika yang terletak di penonjolan supraoptik di atas pupil. Cabang supratroklear juga dapat diblok dengan 1ml anestesi lokal di sudut mediosuperior penonjolan orbita. 3. Blokade Nervus Maksilaris dan cabang-cabangnya Dengan mulut pasien sedikit terbuka, masukkan jarum G 22 8-10 cm ke arcus zigomaticus dan incisura mandibula (Gambar 18-6 D). Setelah kontak dengan lamina lateralis processus pterigoideus (sekitar kedalaman 26 4 cm), jarum sebagian ditarik mundur, dengan agak membentuk sudut keatas depan arahkan untuk masuk ke fossa pterigopalatina. Anestesi (46ml) diinjeksikan. Nervus maksilaris dan ganglia pterigopalatina dianestesi dengan cara teknik ini. Ganglion pterigopalatina (sphenopalatina) dan nervus etmoid anterior dapat dianestesi secara transmukosa dengan anestesi topikal melalui hidung; aplikator kapas dibasahi dengan anestesi lokal (lidokain atau kokain) lalu dimasukan sepanjang dinding medial cavum nasi menuju daerah recessus sphenopalatina. Cabang infraorbital berjalan melalui foramen infraorbital yang dapat diblok dengan 2ml anestesi. Foramen ini kurang lebih 2cm di bawah orbita dan biasanya berada 2cm lateral dari jarum yang masuk ke ala nasi dan langsung ke superior, posterior, dan sedikit ke lateral. 4. Blokade Nervus Mandibularis dan cabang-cabangnya Dilakukan pada pasien dengan mulut sedikit terbuka, jarum G22 dimasukan 8-10 cm di antara arkus zigomatikus dengan mandibula. Setelah kontak dengan lamina lateralis processus pterigoideus, jarum sedikit dibelokkan ke superior dan posterior menuju telinga. Anestesi (4-6 ml) diinjeksikan. Nervus lingual dan mandibular inferior cabang nervus mandibularis dapat diblok secara intraoral menggunakan jarum G22 10cm. Pasien diminta membuka mulut maksimal dan takik coronoid dipalpasi dengan jari telunjuk. Jarum dimasukkan di tingkat yang sama (kira 1cm di atas permukaan molar terakhir), medial jari tapi lateral dari plika pterigomandibular. Dimasukan ke posterior 1,5-2cm sepanjang sisi medial ramus mandibular, berkontak dengan tulang. Kedua nervus biasanya diblok setelah injeksi 2-3 ml anestesi lokal. Bagian akhir nervus alveolar inferior diblok jika muncul dari foramen mentalis di linea mediana mandibula hanya di bawah sudut mulut. Anestesi lokal (2ml) diinjeksikan atau jarum dimasukkan ke foramen. 27 D. Komplikasi Komplikasi anestesi ganglion gasseri adalah kecelakaan injeksi intravaskuler, injeksi subarahnoid, horner’s sindrom, dan blok motorik otot mastikasi. Perdarahan serius paling banyak pada blokade nervus maksilaris. Nervus fasialis tidak sengaja terblokir saat blokade nervus mandibula. PENGELOLAAN NYERI Blok Saraf Fasial A. INDIKASI Blokade saraf fasial kadang diindikasikan untuk menghilangkan kontraksi spastic dari otot-otot muka dan untuk terapi herpes zoster yang mengenai saraf ini.Prosedur ini juga digunakan untuk operasi mata. B. ANATOMI Saraf-saraf fasial dari kranium melewati foramen stylomastoid,tempat dimana untuk memblok. Komponen sensori kecil memberi sensasi khusus(rasa) pada dua pertiga lidah dan sensasi umum pada membran timpani,meatus auditus eksterna,palatum molle dan sebagian faring. C. TEKNIK Titik injeksi pada anterior prosesus mastoid,dibawah meatus auditus eksterna,dan pada pertengahan ramus mandibula.Serabut sarafnya terletak kira-kira sedalam 1-2cm dan diblok dengan 2-3ml local anestesi dibawah prosesus stylomastoideus. D.KOMPLIKASI Jika jarum yang dimasukan terlalu dalam melewati batas tulang styloid, saraf glosofaringeal dan saraf vagus ikut diblok. Aspirasi hati-hati penting karena sebelah proximal saraf fasial adalah arteri carotis dan vena jugularis interna. BLOK GLOSOPHARYNGEAL A. INDIKASI Blok saraf glosofaringeal digunakan untuk pasien dengan nyeri karena keganasan pada dasar lidah,epiglottis dan tonsil palatine.Juga bisa digunakan untuk menghilangkan neuralgia glossopharingeal dari neuralgia trigeminal dan neuralgia genikulatum. B. ANATOMI 28 Serabut saraf berasal dari kranium lewat foramen jugularis media dari prosesus styloideus dan berjalan secara anteromedial mensarafi sepertiga posterior lidah, otot pharyngeal dan mukosa. Nervus vagus dan spinal aksesori juga keluar dari kranium melewati foramen jugularis dan turun sepanjang nervus glosopharingeal,arteri karotis dan vena jugularis interna dekat dengan struktur ini. C. TEKNIK Untuk blok dipakai 2ml local anestesi menggunakan jarum 5cm ukuranG22 dimasukan pada posterior dari angulus mandibula.Dalamnya saraf kira-kira 3-4cm dengan menggunakan nerve stimulator bisa membetulkan letak jarum. Pendekatan alternative dari titik tengah antara prosesus mastoid dan angulus mandibula sampai prosesus styloideus. Saraf terletak di anterior prosesus stylioideus. D.KOMPLIKASI Komplikasinya dysfagia dan blok vagal menyebabkan paralysis plika vokalis ipsilateral dan takikardi. Blok pada saraf accessory dan saraf hypoglossal meyebabkan paralysis ipsilateral otot trapezius dan lidah. Aspirasi hati-hati sangat pentig untuk mencegah injeksi ke intravaskuler. BLOK SARAF OCCIPITALIS A. INDIKASI Blok saraf occipitalis berguna sebagai diagnostic dan terapi pada pasien dengan occipital headache dan neuralgia. B. ANATOMI Saraf occipitalis terbesar berasal dari rami primer dorsal dari saraf spinalC2 dan C3, dimana saraf occipital yang sedikit berasal dari rami ventral pada akar yang sama. C. TEKNIK Saraf occipital besar diblok dengan 5ml zat anestesi kira-kira 3cm lateral dari occipital prominen pada garis nuchal superior; nervus terletak pada medial arteri occipital,tempat dimana mudah dipalpasi.Saraf yang sedikit diblok dengan 2-3 ml zat anestesi kira-kira 2-3 lebih kelateral dari garis nucha. D. KOMPLIKASI Jarang, dapat terjadi masuk ke intravaskuler. BLOK SARAF FRENIKUS A. INDIKASI 29 Blok saraf frenikus kadang dipakai untuk menghilangkan nyeri karena tekanan diafragma. Dapat juga digunakan pada pasien dengan hiccup (singulasi) B. ANATOMI Saraf frenikus berasal dari cabang saraf C3-C5 batas lateral dari otot scalenus anterior. C. TEKNIK Saraf diblok pada titik 3cm diatas clavikula;sebelah lateral dari batas posterior sternokleidomastoideus dan diatas otot scalenus anterior. Zat anestesi 5-10ml dimasukan. D. KOMPLIKASI Sebagai tambahan bila masuk intravaskuler, dapat membahayakan paru pada pasien dengan penyakit paru atau trauma paru. Blok saraf frenikus bilateral terus menerus sebaiknya dihindari. BLOK SARAF SUPRASKAPULER A. INDIKASI Blok ini dipakai untuk keadaan nyeri berasal dari punggung/shoulder (paling banyak karena arthritis dab bursitis) B ANATOMI Saraf supraskapuler adalah saraf utama pada sendi bahu/shoulder joint. Ini barasal dari pleksus brakhialis (C4-6) dan melewati batas atas scapula pada titik masuk ke fosa suprascapuler. B. TEKNIK Saraf diblok dengan 5ml zat anestesi pada titik supraspinal tempat pertemuan lateral dan medial batas ketiga scapular superior. Tempatmasukny jarum yang benar ditandai dengan parestesi atau menggunakan nerve stimulator. C. KOMPLIKASI Pneumothoraks mungkin terjadi bila jarum masuk terlalu jauh keanterior. Paralisis otot supraspinatus dan infraspinatus dapat sebagai penyulit. BLOK SARAF PARAVERTEBRAL SERVIKAL A. INDIKASI Blok paravertebral selektif pada level servikal dapat digunakan sebagai diagnostic dan terapi untuk kanker pasien dengan nyeri berasal dari vertebra cervikalis atau bahu/shoulder. B. ANATOMI 30 Saraf spinal cervical berjalan pada sulkus prosesus transverses dapat dipalpasi pada banyak orang. Catatannya sebaliknya dengan saraf spinal thoraks dan lumbar, saraf spinal cervical keluar diatas level vertebra masing-masing. C. TEKNIK Pendekatan lateral umumnya digunakan untuk blok C2-7. Pasien diminta untuk menengok kepala berlawanan sisi dari posisi duduk. Garis ini digambar diantara prosesus mastoid dan tuberkel Chassaignacs. Zat anestesi 2ml menggunakan jarum 5cm G22 sepanjang garis parallel 0,5 cm posterior garis pertama. Karena prosesus transverses dari C2 biasanya sulit dipalpasi, injeksi ditempatkan 1,5cm dekat prosesus mastoideus.Prosesus transverses lain biasanya spatium 1,5cm dan kedalaman 2,5-3cm. Fluoroskopi digunakan untuk mengidentifikasi level vertebra selama blok diagnostic. D. KOMPLIKASI Intratekal tak disengaja, anestesi subdura dan epidural pada level secara cepat menyebabkan paralysis respiratori dan hipotensi. Injeksi bahkan dosis kecil anestesi local masuk ke arteri vertebra menyebabkan kejang dan pusing. Komplikasi lain adalah sindrom Horner’s,sebaik blok saraf frenikus dan laryngeal recuren. BLOK SARAF PARAVERTEBRAL THORAKALIS A. INDIKASI Tidak seperti blok saraf intercostali, blok saraf paravertebral thorakalis menganestesi kedua ramus dorsalis dan ventral dari saraf spinal.Ini digunakan untuk pasien dengan nyeri asal dari vertebra thorakalis, rongga dada atau dinding abdomen termasuk fraktur kompresi,fraktur costa proksimal dan herpes zoster akut. Teknik ini digunakan untuk memblok segmen thoraks atas karena scapula dapat mengganggu dengan teknik intercosta pada level ini. B. ANATOMI Masing-masing akar saraf thoraks berasal dari canalis spinalis sebelah inferior dari prosesus transverses sesuai segman spinal. C. TEKNIK Blok ini dapat dipakai pada pasien dengan posisi pronasi atau lateral.Jarum spinal ukuran G22 5-8cm dengan pembatas biasa digunakan. Dengan teknik klasik,jarum dimasukan 4-5cm lateral dari midline prosesus spinosus level atas. Jarum diarahkan keanterior dan medial dengan sudut 45odengan garis midsagital dan masuk sampai mengenaiprosesus transverses dari level yang diinginkan. Jarum kemudian ditarik perlahan dan dimasukan kembali ke bawah prosesus transverses. Tanda yang dapat diatur pada jarum digunakan tanda kedalaman prosesus spinosus ;yaitu jarum ditarik dan dimasukan 31 sebaiknya tidak melebihi 2cm dari tanda ini.Secara normal zat anestesi dimasukan 5ml tiap segmen. Teknik alternatiflain dengan resiko pneumothoraks yaitu memasukan lebih kemedial dan teknik loss of resisten mirip anestesi epidural. Jarum dimasukan pada garis sagital 1,5cm dari midline pada segmen diatas prosesus spinosus dan dilanjutkan sampai menyentuh lateral tepi lamina segmen yang akan diblok. Kemudian ditarik sampai posisi subcutaneous dan dimasukan 0,5 lebih lateral tapi masih pada garis sagital;saat jarum dimasukan menembus ligamentum cototransversus superior sebelah lateral dan inferior dari prosesus transverses. Posisi yang benar ditandai dengan loss of resisten dengan salin dimasukan ke ligamentum costotransversum. D. KOMPLIKASI Komplikasi umumnya adalah pneumothoraks;yang lain trauma subarahnoid, subdura, epidural dan injeksi intravaskuler.Blok simpatis dan hipotensi dapat terjadi bila banyak segmen diblok dengan jumlah besar zat anestesi.Gambaran radiology dapat membantu terjadinya pneumothoraks. BLOK SARAF SOMATIK LUMBAR PARAVERTEBRAL A. INDIKASI Blok paravertebral pada level ini berguna untuk mengevaluasi nyeri karena keterlibatan saraf spinal atau lumbar spinal. B. ANATOMI Saraf spinal lumbar masuk ke kompartemen psoas segera setelah keluar dari foramina intervertebra dekat prosesus transverses. Kompartemen ini dibentuk oleh fasia psoas bagian anterior, bagian posterior fasia quadratus lumborum, dan sisi medial oleh corpus vertebralis. C. TEKNIK Pendekatan pada saraf spinal lumbar sama denganblok paravetebral thoraks. Dengan sebuah jarum 8cm ukuran G22. Konfirmasi dengan radiografi datap membantu menunjukan level yang benar. Untuk blok diagnostic,hanya 2ml zat anestesi local dimasukan ke satu level,karena volume yang lebih banyak dapat memblok lebih dari satu level.5 ml zat anestesi digunakan untuk blok terapetik dan bahkan volume yang besar(25ml) pada L3 dan menyebabkan blok somatic dan simpatis lengkap pada saraf lumbar. D. KOMPLIKASI Komplikasi secara primer tidak subarahnoid,subdura dan epidural. sengaja BLOK FACET DAN CABANG MEDIAL LUMBAR A. INDIKASI 32 menjadi anestesi Blok ini ditujukan kelumbar facet (zygopophyseal) penyakit sendi pada nyeri punggung. Kortikosteroid umumnya dimasukan dengan zat anestesi jika teknik intraartikuler jadi pilihan. B. ANATOMI Setiap sendi facet diinervasi oleh cabang medial dari bagian utama posterior saraf spinal dan dibawah sendi. Jadi,tiap sendi dua atau lebih saraf spinal yang berdekatan.Setiap cabang medial menyebrang batas atas prosesus transverses dibawahnya berjalan pada alur antara akar prosesus transverses dan prosesus artikuler superior. C. TEKNIK Blok ini dilakukan dengan bantuan fluoroskopi dengan posisi pasien pronasi. Dengan pandangan posterior oblique 30o dapat melihat sendi facet.Dengan menggunakan jarum 6-8cm ukuran G22,dimasukan 5-6 lateral dari prosesus spinosus dari level yang diinginkan dan diarahkan secara medial menuju batas atas akar prosesus transverses;1-1,5 ml anestesi local dimasukan untuk memblok cabang medial bagian posterior dari saraf spinal. Secara alternative, anestesi local dengan atau tanpa kortikosteroid secara langsung dimasukan ke dalam sendi. Posisi pasien pronasi dengan sedikit obliqe(dengan menempatkan bantal dekat puncak iliaka anterior pada sisi tersebut.) untuk identifikasi ruang sendi dengan fluroskopi. Tempat jarum yang benar sebaiknya dikonfirmasi dengan injeksi 0,5ml radiokontras sebelum injeksi anestesi local(2ml). D. KOMPLIKASI Injeksi dalam lapisan dura pada blok subarahnoid,dimana akar saraf spinal mengakibatkan blok motorik dan sensorik.Karena sendi mempunyai volume 1-2ml,injeksi yang lebih banyak akan menyebabkan rupture kapsul sendi. BLOK SARAF TRANS-SACRAL A. INDIKASI Teknik ini berguna untuk diagnosis dan terapi nyeri pelvis dan perineal. Blok saraf spinal S1 dapat membantu untuk nyeri panggul. B. ANATOMI Lima pasang saraf spinal sacralis dan satu pasang saraf coccigeal menurun ke kanalis sacralis, membentuk cauda equine. Sacral 5 dan saraf coccigeal keluar melalui hiatus sacralis. C. TEKNIK Dengan posisi pasien pronasi,foramina sacralis diidentifikasi dengan sebuah jarum sepanjang garis 1,5cm medial ke vertebra iliaca superior posterior dan 1,5cm lateral dari cornu sacralis ipsilateral.Posisi yang benar dengan masuknya jarum kedalam foramen sacralis posterior dan biasanya menjadi partestesia. Akar saraf S1 biasanya 1,5 diatas level vertebra iliaka superior 33 posterior sepanjang garis imajiner. 2ml anestesi local.Dua ml anestesi local diinjeksikan untuk blok diagnosa dan 5ml digunak untuk blok terapi. Blokade saraf S5 dan saraf coccigeal dapat dikerjakan dengan injeksi pada hiatus sacralis. D. KOMPLIKASI Komplikasi jarang tapi biasanya kerusakan saraf dan masuk keintravaskuler. BLOK SARAF PUDENDAL A. INDIKASI Blok saraf pudendal berguna untuk evaluasi pasien dengan nyeri perineal. B. ANATOMI Saraf pudendal berasal dari vertebra sacralis 2-4 dan berjalan antara ligamentum sacrospinosus dan ligamentum sacrotiberous untuk mencapai perineum. C. TEKNIK Blok ini biasanya dilakukan secara transperineal dengan posisi lithotomic.Injeksi 5-10 ml zat anestesi dibawa keluar secara perkutaneus sebelah posterior vertebra ischial pada ligamentum secrospinosus. Vertebra ischial dapat dipalpasi melalui transrektal atau transvaginal. Petunjuk khusus biasanya dengan pendekatan transvaginal. D. KOMPLIKASI Blok sciatic dan injeksi ke intravaskuler. BLOK SIMPATIS Blok simpatis bisa dilakukan dengan teknik bervariasi yaitu; blok subarahnoid,epidural juga paravertebral.Sayangnya, pendekatan ini biasanya memblok serabut simpatis dan somatic.Masalah dengan teknik epidural dan spinal akan dibahas dibawah ini. Teknik berikut ini adalah memblok saraf simpatis dan dapat digunakan memastikan peranan system simpatis pada nyeri pasien yang mungkin membutuhkan terapi jangka panjang. Indikasi paling sering nyeri visceral karena distrophi reflek simpatis,herpetic neuralgia akut, nyeri postherpetic dan penyakit vaskuler perifer. Blok simpatis pada daerah tertentu ditandai dengan tidak berubahnya sensasi somatic tapi hilangnya tonus simpatis dengan terjadinya aliran darah cutaneus meningkat dan temperature meningkat. Tes lain dengan hilangnya sensasi kulit(simpatogalvanik) dan respon berkeringat(tes ninhidrin,cobalt blue,start tes)diikuti rangsangan nyeri. BLOK SERVIKOTHORACIC (STELATE) A. INDIKASI Blok ini sering digunakan pada pasien dengan nyeri kepala, leher,lengan dan nyeri dada atas. Biasanya dijalarkan sebagai blok stelat tapi nyatanya blok 34 thorak atas sebaik ganglia servikal. Injeksi dengan jumlah besar zat anestesi (>10ml) sering memblok kebawah sampai ganglia T5. Blok stelat digunakan untuk gangguan vasospastik pada ekstremitas atas. B. ANATOMI Inervasi simpatis pada kepala,leher dan sebagaian lengan diberikan dari ganglia servikal,paling luas adalah ganglion stelat. Ini biasanya menunjukan fusi dari cervical bawah dan ganglia thoraks pertama. Banyak inervasi simpatis pada lengan sebaik semua inervasi organ thoraks diberikan dari ganglia thoraks atas lima. Suplai simpatis ke lengan pada beberapa orang juga berasal dari T2-3 melalui saraf terpisah secara anatomi(saraf Kuntz) dimana bergabung dengan pleksus brakhialis tinggi pada axilla saraf ini ditinggalkan dengan blok stelat tapi bukan blok axiller. Titik injeksinya pada level stelat,dimana posterior menuju asal arteri vertebra dari arteri subklavia, anterior dari otot colli longus dan iga pertama, anterilateral dari fasia prevertebra dan medial dari muskulus scalenus. C. TEKNIK Teknik paratrakeal umum digunakan. Dengan kepala pasien ekstensi, dengan jarum 4-5cm G22 dimasukan kedaerah medial dari otot sternokleidomastoideus dibawah level kartilago cricoid pada level prosesus transverses C6 atau C7(3-5 diatas clavikula). Tangan bebas sebaiknya digunakan untuk memisahkan otot bersama dengan lapisan carotis untuk memasukan jarum. Jarum selanjutnya menuju prosesus transverses dan dimajukan 2-3 mm untuk injeksi.Aspirasi dilakukan pada 2 bidang sebelum tes dose 1ml untuk mencegah masuk ke intravaskuler(masuk ke arteri subklavia atau arteri vertebra)atau injeksi subarahnoid masuk ke lapisan dura. Seluruh zat anestesi 10-15 ml dimasukan. Tempat yang benar dari jarum biasanya dipastikan dengan naiknya temperature kulit pada lengan ipsilateral dan mulai syndrome Horner. Yaitu ptosis ipsilateral,miosis,enoftalmus.kongesti nasal dan anhidrosis pada leher dan muka. D. KOMPLIKASI Selain masuk ke intravaskuler dan subarahnoid,komplikasi lain adalah hematom,pneumothoraks,anestesi epidural,blok pleksus brakhialis,serak karena blok pada saraf laryngeal rekuren,dan jarang osteitis atau mediastenitis karena lubang esophageal. BLOK RANTAI SIMPATIS THORAKS Ganglia simpatis thoraks berjalan lateral dari corpus vertebralis dan anterior akar saraf spinal,tapi blok ini secara umum tidak dipakai karena resiko pneumothoraks. BLOK PLEKSUS CELIACA A. INDIKASI 35 Blok celiaca diindikasikan pada pasien dengan nyeri dari organ abdomen,perttumbuhan keganasan abdomen. Teknik ini biasanya juga blok rantai simpatis lumbar. B. ANATOMI Ganglia celiaca bervriasi dari jumlah(1-5),bentuk dan posisi. Mereka secara umum dikelompokan pada level corpus vertebra L1,posterior dari vena cava kanan,lateral dari aorta dikiri dan posterior dari pancreas. C. TEKNIK Pasien diposisikan pronasi dan dengan jarum 15cm G22 zat anestesi dimasukan dari sisi kiri atau secara bilateral. Dengan petunjuk fluroskopi atau CT dengan radiokontras akan meningkatan kesuksesan ,menurunkan jumlah yang dibutuhka,dan menurunkan terjadinya komplikasi. Tiap jarum dimasukan 3-8cm dari midline pada daerah inferior dari prosesus spinosus dariVL1,membuat sudut 10-40o. Jarum melewati bagian bawah costa 12 dan sebaiknya diposisikan anterior dari VL1 dari lateral radiogram dan dekat midline dari corpus vertebra yang sama di anterioposterior. Bila menggunakan CT, ujung jarum sebaiknya dating dari anterolateral dar aorta pada level antara arteri mesenterika superior dan arteri celiaca. D. KOMPLIKASI Komplikasi umumnya hipotensi postural,dimana karena bloknya terlalu banya pada rantai simpatis lumbar. Injeksi pada vena cava banyak mengakibatkan reaksi sistemik yang berat daripada injeksi pada intraaorta. Komplikasi lebih sedikit adalah pneumothoraks,perdarahan retroperitoneal,trauma ginjal atau pancreas atau tapi jarangparaplegi(karena trauma arteri lumbar dari Adamkiewicz) BLOK SARAF SPLANGNIKUS Meskipun mirip dengan blok saraf pleksus celiaca,teknik ini lebih banyak disukai oleh beberapa praktisi karena seperti blok rantai simpatis lumbar dan membutuhkan sedikit zat anestesi, Tiga kelompok saraf splangnikus (mayor,minor dan least) berasal dari ganglia simpatis thoraks 7 pada tiap sisi turun sepanjang corpus vertebra berhubungn dengan ganglia celiaca. Jarum dimasukan 6-7cm dari midline prosesus spinosus VT11 bawah dan dengan petunjuk flouroskopi menuju permukaan anterolateral VT12. Zat anestesi 10ml dimasukan pada tiap sisi.Jarum sebaiknya mengenai corpus vertebra sekali untuk mencegah pneumothoraks. Selain Pneumothoraks,komplikasi lain hipotensi karena trauma pada vena azigos pada sebelah kanan dan vena hemiazigos dan duktus thoraksik pada sebelah kiri. BLOK SIMPATIS LUMBAR A. INDIKASI 36 Blok simpatis lumbar diindikasikan untuk nyeri yang melibatkan pelvis atau ekstremitas bawah, dan kemungkinan pada pasien dengan penyakit vaskuler. B. ANATOMI Rantai simpatis lumbar terdiri dari 3-5 ganglia dan terusan dari rantai thoraks juga menyuplai serabut simpatis ke pleksus pelvis dan ganglia. Gangkia rantai simpatis lumbar berjalan lebih anteromedial dari corpus vertebra daripada ganglia thoraks dan sebelah anterior dari otot dan fasia psoas. Rantai lumbar biasanya berada di posterior vena cava kanan tapi sebelah lateral dari aorta disebelah kiri. C. TEKNIK Teknik 2 jarum pada level VL2 dan VL4 sering dipakai dengan posisi pasien pronasi atau lateral. Jarum dimasukan daerah atas prosesus spinosus dan diarahkan keatas atau lateral dariprosesus transverses vertebra( tergantung pada jarak dari midline).Dengan petunjuk fluoroskopi radiokontras dapat lebih berhasil dan mengurangi komplikasi. D. KOMPLIKASI Komplikasinya masuk keintravaskuler(masuk ke vena cava,aorta dan pembuluh darah lumbar) dan blok saraf somatic dari pleksus lumbar. BLOK PLEKSUS HYPOGASTRIK A. INDIKASI Prosedur ini diindikasikan untuk nyeri berasal dari pelvis dan tidak berkurang dengan blok lumbar dan epidural caudal. Pleksus hypogastrik berisi serabut sensoris viscera yang melintas medulla spinalis bawah. Blok ini biasanya cocok untuk pasien dengan kanker servik,uterus,vesika urinaria,prostate atau rectum.Blok ini juga efektif untuk wanita dengan nyeri kronis nonmalignant pelvis. B. ANATOMI Pleksus hipogastrik tidak hanya berisi serabut postganglionic dari rantai simpatis lumbar,juga serabut sensori viscera dari servik,uterus vesika urinaria,prostate dan rectum. Pleksus hipogastrik superior biasanya berjalan sebelah kiri dari midline pada corpus vertebra L5 dan dekat bifurcation aorta.Serabut dari pleksus ini dibagi menjadi cabang kiri dan kanan dan turun ke organ pelvis melalui hipogastrik inferior kanan dan kiri dan pleksus pelvis. Pleksus hypogastrik inferior mendapat serabut preganglionik parasimpatis dari akar saraf spinal S2-4. C. TEKNIK Pasien diposisikan pronas, dan jarum dengan ukuran 15cm dimasukan 7cm lateral dari spatium intervertebralis L4-5.Jarum diarahkan secara medial dan caudal dengan sudut 45o dengan petunjuk fluoroskopi dimana melewati prosesus transverses L5.Pada posisi akhir, jarum sebaiknya melebihi discus 37 intervertebralis L5 dan S1 dan1cm ke corpus vertebra arah anteroposterior. Injeksi radiokontras untuk konfirmasi posisi jarum yang benar pada ruang retroperitoneal;zat anetstesi 8-10 diinjeksikan. D. KOMPLIKASI Komplikasinya injeksi keintravaskuler dan dysfungsi sal pncernaan dan vesika urinaria sementara. BLOK GANGLIA IMPAR A. INDIKASI Blok ini efektif untuk pasien dengan nyeri menetap viscera atau simpatis pada daerah perineal. B. ANATOMI Ganglion impar (ganglion Walther) paling banyak bagian caudal dari sifat simpatis. Dua yang paling rendah ganglia simpatis pelvis sering membentuk satu ganglion di midline anterior dari os coccigeus. C. TEKNIK Pasien diposisikan lateral dekubitus atauposisi lithotomic. Dengan pasien posisi lateral dekubitus,jasrum G22 8-10 cm ujung jarum diarahkan lewat ligamentum anococcigeal atas ke sebuah posisi sehingga anterior dari oc coccigeus. Dengan memakai jari kerektum dapat membantu jarum tetap midline dan keluar dinding rectum. Pendekatan alternative dengan memakai jarum lurus dengan posis pasien lithotomic;jarum lurus dapat digunakan pada posisi ini karena kelengkungan os coccigeus dikurangi..Setelah dikonfirmasi mengenai posisi yang benar dengan radiokontras, maka 4-6 ml zat anestesi liokal diinjeksikan. D. KOMPLIKASI Tidak ada laporan komplikasi,tapi mungkin masuk ke intravaskuler dan mungkin disfungsi sementara saluran pencernaan dan vesika urinaria. BLOK SIMPATIS REGIONAL INTRAVENA Suatu blok Bier menggunakan guanethidin (20-40mg) dapat secara selektif mencegah inervasi simpatis dari ekstremitas. Sepuluh mm lidokain 0,5% dapat juga ditambahkan untuk mencegah rasa terbakar. Sebuah torniket ditempatkan sebelah atas dari ekstremitas dan biasanya dipompa kurang dari 20 menit.Guanethidin menyebabkan deplesi norepinefrin dan mencegah reuptake pada neuron postganglionic terminal. Blok simpatis selektif berlangsung 3-7 hari. Pelepasan torniket sebelum waktunya dapat menyebabkan hipotensi,bradikardi,edema,diare dan nausea. Reserpin (11,5mg) dan bretelium(5mg/kg) dapat digunakan. Blok simpatis regional intravena adalah alternative yang aman pada pasien dengan gangguan hemostatik. BLOK NEURAL DEFERENSIAL 38 Blok neural secara anatomi atau farmakologi dapat dianjurkan sebagai metode untuk mencegah nyeri somatic,simpatis dan mekanisme nyeri psikogenik. Pendekatan farmakologi dapat diandalkan mengurangi sensitifitas serabut saraf dengan anestesi local. Serabut saraf simpatis preganglionik dilaporkan banyak yang sensitive, diikuti dengan nyeri (C dan A ),serabut somatosensori (A ) ,danterakhir serabut motorik (A ). Dengan menggunakan perbedaan konsentrasi anestesi local,mungkin dapat memblok selektif tipe serabut tertentu sementara tetap menjaga fungsi serabut lain. Disini tantanganya adalah konsentrasi zat anestesi yang dibutuhkan untuk blok dapat bervariasi pada beberapa pasien dan berhasilnya blok anestesi tergantung tidak hanya pada ukuran serabut tapi lamanya kontak dan frekuensi rangsang yang dicapai. Banyak ahli yang telah meninggalkan cara ini. Blok ganglion stelat dapat digunakan untuk blok serabut simpatis kepala,leher dan lengan. Pleksus celiaca, pleksus hipogastrik dan blok simpatis paravertebral lumbar dapat digunakan untuk memblok simpatis abdomen,pelvis dan kaki. Akar saraf selektif, intercostals, pleksus cervical,pleksus brachial atau blok pleksus lumbosakral dapat digunakan untuk blok saraf somatic. Blok epidural dapat dipakai untuk nyeri thoraks dimana teknik blok simpatis membawa resiko pneumothoraks. Setelah injeksi epidural, pasien harus dinilai hilangnya nyeri, tanda-tanda blok simpatis(menurunya tekanan darah), sensasi pinprick dan cahaya dan fungsi motorik. Bila nyeri hilang setelah injeksi salin, pasien tersebut mempunyai nyeri psikogenik (biasanya efek dalam dan lama )atau efek placebo (biasanya singkat). Bila nyeri hilang dengan adanya tanda-tanda blok simpatis, mungkin ini karena serabut simpatis.Bila nyeri hilang hanya diikuti blok somstosensoris,mungkin diperantarai serabut somatic. Terakhir,bila nyeri tetap bahkan setelah blok motorik,nyeri tersebut nyeri central(suprspinal) atau psikogenik. Kerugian dari teknik farmakologi ini adalah waktunya yang lama. Beberapa ahli menggunakan teknik modifikasi dua injeksi;injeksi placebo diikuti dengan konsentrasi maksimal (chloroprokain 2% atau epidural lidokain 2%). Pasien masih dievaluasi setelah injeksi,tapi nyeri dihubungkan dengan pulihnya fungsi motorik,sensorik dan simpatis. CRYONEUROLISIS DAN ABLASI RADIOFREKUENSI Ablasi radiofreuensi perkutaneus menghasilkan panas dengan aliran arus dari electrode aktif dimana dibentuk di ujung jarum khusus. Jarum diposisikan oleh flouroskopi. Rangsang listrik (rangsang motorik 2Hz dan 50hz untuk rangsang sensorik) melalui electrode dan pengukuran keseimbangan ablasi juga membantu konfirmasi letak yang benar. Tergatung lokasi blok,panasnya temperature dibangkitkan electrode sesuai control (6090o selama 1-3menit) untuk ablasi saraf tanpa menyebabkan kerusakan jaringan luas. Ablasi radiofrekuensi umu digunakan untuk rhizotomi trigeminal dan ryzotomi cabang medial (facet). Ini juga digunakanuntuk 39 ryzotomi akar dorsal dan simpatektomi lumbar.Nyeri hilang biasanya 3-12 bulan. Cryoanalgesia dapat menghasilkan nerolisis temporer untuk beberapa minggu sampai bulan dengan jaringan pembekuan dan pencairan. Suhu pada ujung cryoprobe secara cepat mengeluarkan gas( carbin dioksida atau nitros oksida) pada tekanan tinggi diikuti perluasan. Ujung probe,dimana dapat mencapai suhu -50—70oC, melalui cateter G16-12. Rangsang listrik (2-5Hz untuk rangsang motorik dan 50-100 Hz untuk rangsang sensorik) membantu konfirmasi letak probe yang benar. Dua atau lebih dua menit siklus pembekuean dan pencairan biasanya diberikan. Cryoanalgesi umum dipakai sampai blok saraf perifer yang lama. Ini kadang-kadang berguna untuk nyeri postthorakotomi. BLOK NEUROLITIK ALKOHOL DAN FENOL Blok neurolitik diindikasikan untuk pasien dengan nyeri kanker intractable yang berat. Ini digunakan kadang-kadang untuk pasiendengan neuralgia yang sering kambuh dan jarang pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer. Blok ini sangat menibulkan morbiditas,maka pasien harus hati-hati diseleksi. Sebagai tambahan, blok ini tidak permanent, karena nyeri berulang atau nyeri baru (central) pada beberapa pasien dalam bebrapa minggu sampai bebrapa bulan. Kerusaka temporer dari serabut saraf atu ganglia dapat ditanggulangi dengan injeksi alcohol atau fenol. Agen ini tidak selektif, mengenai visceral,sensorik dan serabut motorik secara seimbang. Ethyl alcohol(50-100%) menyebabkan ekstraksi membrane fosfolipid dan presipitasi lipoprotein pada axon dan sel Schwann,dimana fenol(6-12%) dapat mengkoagulasi protein. Alkohol dapat menyebabkan nyeri hebat saat injeksi. Untuk blok saraf perifer,alcohol diberikan tanpa pengenceran , tapi untuk blok simpatis dengan sejumlah cairan yang banyak,diberikan dengan perbandinagan 1:1 dengan bupivakain. Phenol tidak nyeri saat injeksi dengan pengencer aqua (6-8%) atau dalam gliserol;cairan fenol 12% dapat disiapkan untuk radiokontras. Dengan sedikit blok diagnostic dengan cairan anestesi local sebaikanya dipakai sebelum teknik neurolitik diberikan.Ini untuk konfirmasi jalur nyeri yang terlibat dan menentukan potensial efikasi dari blok neurolitik. Anestesi local sebaiknya diberikan lagi dengan cepat setelah agen neurolitik. Tambahan lagi, fluoroskopi (atauCT) denagn radiokontras sebaiknya dipakai kalau memungkinkan. Selama injeksi agen neurolitik jarum harus bersih dari udara dan salin untuk mencegah kerusakan struktur superficial. Teknik neurolitik paling sering untuk pleksus celiaca, rantai simpatis lumbar, pleksus hipogastrik,dan blok ganglion impar pada pasien kanker digunakan untuk saraf cranial dan somatikatau bahkan blok neural aksial. Beberapa ahli lebih suka alcohol untuk blok pleksus celiaca tapi fenol untuk blok simpatis lumbar. Dengan teknik subarahnoid neurolitik, sejumlah sedikit zatini (0,1ml) diinjeksikan, dan pasien dengani hati-hati diposisikan dengan cairan local pada level yang diinginkan dan dibatasi pada daerah 40 dorsalis. Alkohol adalah hipobarik,sedangkan fenol dalam gliserin adalah hiperbarik. INTERVENSI FARMAKOLOGI Intervensi farmakologi pada menejemen nyeri termasuk COX inhibitor, opioid, antidepresan, agen neuroleptik, antikonvulsan, kortikosteroid, dan terap sistemik dengan anestesi local. COX inhibitor akan dibahas untuk menejemen nyeri postoperative. Opioid, dimana digunakan untuk nyeri sedang sampai berat dan nyeri kanker akan dibahas pada bab 8. ANTIDEPRESAN Agen ini menunjukan efek analgesi, diman terjadi pada dosis lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk kerja antidepresan. Aksi keduanya memblok reuptake serotonin presinaptik,norepinefrin atau keduanya. Agen trisiklik yanglama menimbulkan analgesi yang efektif daripada selectif serotonin reuptake inhibition (SSRI). Sebaliknya SSRI menimbulkan efek andidepresan lebih banyak. Antidepresan secara umum lebih berguna untuk pasien dengan nyeri neuropati missal, neuralgia postherpetika dan neuropati diabetika. Zat ini mempotensiasi aksi opioid dan sering menimbulkan gambaran pola tidur yang normal. Agen yang tersedia dibedakan berdsar efek samping ,dimana ada efek muskarinik, seperti mulut kering(xerostomia),kegaglan akomodasi visual,retensi urin, dan konstipasi;efek antihistaminic (H1 dan H2) seperti sedasi dan peningkatan pH lambung, blok alfa adrenergic menghasilkan hipotensi ortostatik dan efek quinidin like, sering dengan amitriptilin. Semua agen dimetabolisme hepar pada first pass dan protein binding yang tinggi. Paling banyak lipophilik dan mempunyai volume distribusi yang besar. Eliminasi waktu paruh bervariasi antara 1-4 hari dan mempunyai metabolit yang aktif. ANTIKONVUKSAN Antikonvulsan ditemukan yang sangat berguna pada pasien dengan nyeri neuropati, sering trigeminal neuralgia dan neuropati diabetika. Blok agen ini voltage gate dengan saluran sodium dan dapat menekan keluarnya neural secara spontan dimana mempunyai peranan utama pada gangguan ini. Gabapentin mempunyai efek keuntungan yang unik. Ini juga telah dibuktikan untuk terapi ajuvan untuk pasien nyeri postoperative. Agen yang sering dipakai adalah, fenotoin,carbamazepin,asam valproat,clonazepame, dan gabapentin. Lamotrigin dan topiramat juga efektif. Semuanya mempunyai protein binding yang tinggi dan relative waktu paruh yang panjang. Karbamazepin mempunyai absorbsi lambat dan tidak dapat diprediksi, dimana membutuhkan monitor level darah untuk efikasi yang optimal. NEUROLEPTIK 41 Beberapa ahli menemukan neuroleptik berguna untuk pasien dengan nyeri neuropati refrakter. Neuroleptik lebih berguna untuk pasien yang ditandai dengan agitasi atau gejala psikotik. Paling sering dipakai; fluphenazil, haloperidol, chlorpomazin, dan perphenazin. Aksi terapinya dengan adanya blockade resepor dopminergik pada tempat mesolimbik. Beruntung, aksi yang sama jalur algostriatal dapat menghasilakan efek samping ekstrapiramidal yang tidak diinginkan,seperti mask like fasies, jalan meloncat, rigiditas cogwheel dan bradikinesia. Beberapa pasien timbul reaksi distonik akut seperti crisis oculogirik,dan tortikolis. Efek samping yang lama adalah akhatisia (restlessness yang ekstrem) dan diskinesia tardiv (gerakan choreoathetoid yang tidak disadari dari lidah,bibir,instabilitas leher). Seperti antidepresan, banyak dari obat ini bersifat antihistaminic, antimuskarinik, dan efek bloking alfa adrenergic. KORTIKOSTEROID Glukokortikoid telah lama digunakan pada menejemen nyeri karena efek antiinlamasi dan kemungkinan efek analgesi. Bisa diberikan dengan topical,oral, atau parenteral ( inravena, subkutaneus, intrabursali, intraartikuler epidural)Dosis yang banyak atau pemberian yang lama menyebabkan efek samping yang nyata. Aktifitas efek glukokortikoid menyebebkan hipertensi, hiperglikemi, peningkatan kemungkinan infeksi, peptic ulcer, osteoporesis, nekrosis aseptic dari caput femur, myopati proksimal,katarak dan jarang, protosis. Pasien juga dapat timbul gambaran syndrome Chusings yang khas. Aktifitas hasil mineralokortikoid menyebabkan retensi sodium dan hipokalemia dan dapat mencetuskan gagal jantung kongestif. ANESTESI LOKAL SISTEMIK Obat anestesi local kadang-kadang digunakan secara sistemik pada pasien dengan nyeri neuropati. Menghasilkan sedasi dan analgesi sentral, analgesinya sering lebih luas dari profil farmakokinetiknya dan memcah siklus nyeri. Yang sering digunakan adalah lidokain, prokain, dan klorprokain. Lidokain diberikan dengan infuse lebih dari 5-30 menit untuk total 1-5 mg/kg. Prokain 200-400 mg dapat diberikan intravena dengan lama aksi 1-2 jam,sedangkan kloroprokain ( 1% ) dalam infuse dengan rata-rata 1mg/kg/menit total 10-20mg/kg. Monitoring melalui EKG,tekanan darah, respirasi, dan status mental, peralatan resusitasi penuh sebaiknya disiapkan segera mungkin. Tanda-tanda toksisitas seperti, tinnitus, slurring, sedasi yang berlebihan atau nistagmus lambat, infuse yang berhenti. Pasien yang tidak respon antikonvulsan tapi respon respon anestesi local intravena mungkin mempunyai keuntungan dari terapi antiaritmia oral kronik. Methylxantin(150-300 mg tiap 6-8 jam) sering dipakai. AGEN ALFAADRENERGIK Efek utama dari alfa2 adrenergik agonis pada aktivasi jalur inhibitori penurunan di dorsal horn. Epidural dan intratekal dari agonis 42 alfa2adrenergik sering efektik untuk nyeri neuropatikdan toleransi terhadap opioid. TOKSIN BOTULINUM Injeksi toksin botulinum telah digunakan untuk terapi kondisi nyeri berhubungan dengan otot skeletal. Penelitian menyokong penggunaan toksin botulinum pada terapi dengan kondisi yang berhubungan dengan kontraksi otot involunter(mis. Dystonia fokal dan spastisitas). Beberapa ahli telah menggunakan obat ini untuk terapi headaches dan sindrom myofasial. Toksin botulinum memblok asetikholin yang dilkeluarkan pada sinap akhir saraf motorik tapi bukan serabut saraf sensorik.Mekanisme yang mendorong analgesi adalah aliran darah local diperbaiki, spasme otot hilang, dan hilangnya kompresi otot dari serabut saraf. TAMBAHAN TERAPI INTERVENSI PSIKOLOGI Teknik ini paling efektif dilakukan oleh ahli psikolog atau ahli psikiatri. Termasuk terapi kognitif, terapi perilaku, teknik biofeedback dan relaksasi dan hypnosis. Intervensi kognitif berdasarkan asumsi perilaku pasien terhadap nyeri dapat menimbulkan nyeri. Perilaku maladaptive menimbulkan kontribusi penderitaan dan disability. Pasien diajarkan ketrampilan untuk menanggulangi nyeri mereka secara individu atau kelompok. Paling banyak teknik yang dipakai pengalihan perhatian . Terapi perilaku berdasarkan premis bahwa perilaku pasien dengan nyeri kronik ditandai dengan kosekuensi perilaku. Penguatan positif (missal sesuai perhatian dari suami/istri) cenderung menambah nyeri dimana penguata negative menurunkan perilaku nyeri. Seorang terapis mengidentifikasi perilaku nyeri yang tidak sehat dan mencoba memanipulasi penguatan ;tipe intervensi ini memrlukan kerjasama anggota keluarga dan petugas medis. Teknik relaksasi mengajarkan pasien untuk mengubah respon gerakan dan meningkatkan tonus simpatis berhubungan dengan nyeri. Secara umum teknik yang digunakan latihan relaksasi otot progresif.Biofeedback dan hypnosis adalah intervensi yang hampir berhubungan. Semua bentuk feedback berdasarkan prinsip bahwa pasien dapat diajari control parameter fisiologi yang tidak disadari. Suatu kecakapan , pasien dapat mengontrol factor fisiologi s(mis. Tekanan otot) yang menyebabkan nyeri dapat hilang dengan respon relaksasi, dan dapat lebih efektif menerapkan ketrampilan penanggulangan. Paling sering digunakan parameter fisiologis adalah tekanan otot( elektromyografik biofeedback) dan temperature (thermal biofeedback). Keefektifan hypnosis bervariasi masing-masing individu. Teknik hypnosis mengajarkan pasien untuk mengubah persepsi nyeri dengan mengalihkan pada sensasi lain , mekolakalisir nyeri pada satu sisi lain, memisahkan diri mereka sendiri dari pengalaman nyeri dengan membayangkan. Pasien dengan kronik headache dan gangguan musculoskeletal lebih berhasil dengan teknik relaksasi ini. 43 TERAPI FISIK Panas dan dingin dapat menghilangkan nyeri dengan mengurangi spasme otot. Sebagia tambahan panas menurunkan aliran darah dan dingin menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan edema jaringan. Aksi analgesia dari panas dan dingin juga dapat diterangkan dengan gate theory dari proses nyeri Modalitas panas superficial termasuk konduktif ( hot packs,paraffin baths,fluidoterapi) convektif(hydroterapi) dan taknik radiasi (infrared). Teknik untuk menerapkan dalamnya panas termasuk ultrasound diatermia microwave dan shortwave.; modalitas ini lebih efektif untuk menanggulangi nyeri sendi dalam dan otot. Dingin efektif untuk nyeri berhubungan dengan trauma akut dan edema. Bila diterapkan selektif dingin dapat menghilangkan spasme otot. Caranya dengan mengambil bentuk cold packs , pijat es, atao vapocoolant spray (ethyl klorid atau floromethan). Latihan sebaikanya bertahap dari program rehabilitasi untuk nyeri kronik. Program latihan bertahap mencegah kekakuan sendi,atropi otot, dan kontraktur semuanya menyebabkan nyeri [ada [pasien dan ketidak mampuan fungsional. ACUPUNCTURE Akupuntur dapat berguna untuk pasien dengan nyeri kronik, sering nyeri dengan gangguan musculoskeletal kronik dan headache. Teknik ini dengan memasukan jarum kedalam kulit secara anatomi yang disebut meridian. Rangsangan jarum setelah masuk dalam bentuk memutar atau dari arus listrik sedang. Titik masuknya jarum berbeda dengan anatomi konvensional dari system saraf. Meskipun literature ilmiah mempelajari mekanisme dan aksi akupuntur dan peranany dalam mejemen nyeri masih perdebatan, banyak penalitian menyarankan rangsang akupuntur menimbulkan opioid endogenus karena efek ini dapat diantagonis dengan nalokson. STIMULASI LISTRIK Rangsang listrik pada system saraf dapat menghasilkan analgesia pada pasien dengan nyeri akut dan kronik. Arus listrik dapat diberikan perkutaneus,secara epidural atau electrode yang ditanam dalam system saraf pusat. STIMULASI TRANSKUTANEUS Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) digunakan untuk memproduksi analgesia dengan rangsangan besar pada serabut saraf afferent. Ini mempunyai peranan untuk pasien dengan nyeri akut ringan sampai sedang dan dengan low back pain kronik, arthritis dan nyeri neuropati. Gate theory nyeri mengatakan input aferen dari serabut epicritic besar berkompetisi dengan serabut nyeri yang lebih kecil. Teori alternative menambahkan bahwa pada simulasi yang tinggi ,TENS menyebabkan blok konduksi pada serabut nyeri kecil afferent. Dengan TENS konvensional , 44 electrode diletakan pada dermatom yang sama sesuai nyeri dan dirangsang secara periodic arus listrik dari sumber (biasanya selama 30menit beberapa kali dalam sehari). Arus listrik 10-30mA dengan pulsasi lebar 50-80us pada frekuensi 80-100 Hz . Banyak pasien yang refrakter dengan TENS konvensional respon dengan TENS frekuensi rendah (akupuntur like TENS)dimana distimulasi dengan pulsasi lebar >200us frekuensi <10 Hz(untuk 5-15 menit). Tidak seperti TENS konvensional, stimulasi frekuensi rendah dapat direverse dengan nalokson, menyokong adanya opioid endogenus. STIMULASI MEDULA SPINALIS (SCS) Teknik ini juga disebut dorsal column stimulation karena dapat menghasilkan analgesia secara langsung pada serabut besar A B pada kolumna dorsalis dari medulla spinalis. Mekanismenya dengan aktivasi sstem modulating dan inhibisi aliran keluar simpatis.Stimulasi medulla spinalis sangat efektif untuk nyeri neuropati.Indikasi yang disetujui nyeri diperantarai simpatis, nyeri karena lesimedula spinalis dengan lokasi segmental, nyeri tungkai, nyeri ekstremitas bawah iskemia karena penyakit vaskuler periferdan arahnoiditis adhesive. Elektrode secara temporer diletakan epidural dan dihubungkan generator eksternal untuk mengevaluasi efikasi pada pasien 5-7 hari percobaan. Jika respon didapatkan, system ditanam penuh ; electrode epidural permanent biasanya ditempatkan perkutaneus, dan dihubungkan dengan generator subkutaneus. Sayangnya, efikasi dari teknik ini menurun karena waktu pada beberapa pasien. Komplikasinya infeksi,migrasi dan kerusakan lead. STIMULASI INTRASEREBRAL Stimulasi otak dalam dapat dipakai untuk nyeri kanker dan jarang untuk nyeri neuropati karena proses nonmalignansi. Elektrode dapat ditanam secara stereotactically masuk periaquaductal dan daerah grea periventrikuler untuk nyeri neuropati. Elektrode ditanam masuk kedalam nuclei thalamik sensorik spesifik.Komplikasi yang serius adalah perdarahan intracranial dan infesl NYERI POSTOPERATIV Konsep “preemtif “ analgesia menyebutkan bahwa menejemen nyeri paling bagus dimulai dari preoperative. Banyak penelitian menyebutkan bahwa teknik anestesi juga menurunkan stress neuroendokrin, respon pembedahan dan nyeri. Teknik anestesi regional dimana sebuah cateter diletakan sebelah kiri juga analgesia post operatif. Anestesi epidural dan intercostals dapat ditambahkan untuk membantu fungsi respirasi pada operasi abdomen atas dan operasi thoraks.Epidural dan mungkin anestesi spinal menurunkan thromboemboli selama operasi panggul dan mengurangi hipercoagulation yang mengikuti prosedur vaskuler. 45 Kontrol nyeri post operatif secara umum dikelola oleh ahli anestesi, karena menguasai anestesi regional juga ahli farmakologi untuk analgesi. Modalitas analgesi postoperative termasuk analgesi parenteral,oral blok saraf perifer, blok neuroaksial,opioid intraspinal sebaik teknik tambahan seperti TENS dan terapi fisik. Seleksi teknik analgesi secara umum berdasarkan 3 faktor; pasien,prosedur,dan setting (pasien rawat jalan atau rawat inap) PASIEN RAWAT JALAN 1. Analgesik oral Banyak pasien mempunyai nyeri ringan sampai sedang diterapi dengan COX inhibisi peroral, opioid atau kombinasi. Pasien yang tidak dapat intake peroral atau nyeri berat memerlukan perawatan opname dikeluarkanm dari prosedur. INHIBITOR CYCLOOKSIGENASE Analgesik nonopioid oral adalah salisilat,asetilamin dan NSAID. Agen ini menghambat sintesis prostaglandin (COX) dan mempunyai variasi analgesi,antipiretik,dan antiinflamasi.Asetaminophen mempunyai antiinflamasi yang kurang. Analgesi selama blockade sintesis prostaglandin,dimana input nociceptiv diperkuat dan sensitisasi. Banyak tipe nyeri, seringnya nyeri bedah ortopedi dan gynekologi, respon sangat baik terhadap agen ini,menunjukan peranan penting prostaglandin. Inhibitor COX mempunyai aksi penting perifer dan system saraf pusat.Aksi analgesi dibatasi oleh efek samping dan toksisitas pada dosis yang tinggi. Ada 2 tipe COX. COX1 ada dalam tubuh dan tersebar dalam tubuh, tapi COX2 muncul bila ada proses inflamasi. Inhibitor selektif COX2 seperti celecoxib,mempunyai toksisitas rendah,terutama efek samping gastrointestinal. Tambahan lagi, inhibitor COX2 tdak mengganggu agregasi platelet. Sayangnya, beberapa inhibitor COX2 (rofecoxib dan lainnya) meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskuler. Semua agen ini diabsorbsi bagus secara enteral. Makanan menunda absorbsi tapi tidak mempunyai efek pada bioavailabilitas. Karena sebagian besar mengikat protein tinggi (>80%),agen ini dapat diganti obat-obatan dengan ikatan tinggi lain seperti warfarin. Semua melewati metabolisme hepar dan diekskresi lewat ginjal. Dosis sebaiknya diturunkan pada pasien dengan kerusakan hepar dan ginjal. Acetaminophen mempunyai efek samping paling sedikit tapi hepatotoksin pada dosis sangat tinggi. Isoniazid,zidovudin dan barbiturate dapat mempotensiasi toksisitas asetaminophen. Aspirin dan NSAID paling sering meyebabkan asam lambung,nyeri perut seperti terbakar, nausea dan dyspepsia; beberapa pasien dapat timbul ulserasi pada mukosa gaster,dimana muncul selama inhibisi prostaglandin dan sekresi bikarbonat. Efek samping lain adalah dizziness,headache dan drowsiness. Dengan perkecualian asetaminohen dan inhibitor COX2,semua inhibitor COX menyebabkan disfungsi platelet. Aspirin mengandung asetilat mencegah 46 ikatan platelet 1-2 minggu,sedangkan efek antiplatelet karena NSAID reversible dan mempunyai waktu paruh 24-96 jam. ASA dan NSAID dapat mengeksaserbasi bronkospasme pada pasien dengan triad of nasal,polip, rhinitis dan asma. ASA sebaikny tidak digunakan pada anak-anak dengan varicella atau influenza karena menyebabkan sindrom Reye. Terakhir, NSAID menyebabkan insufisiensi renal akut dan nekrosis papiler renal, terutama pada pasien dengan penyakit disfungsi renal. OPIOID Nyeri postoperative sedang sebaiknya diterapi dengan opioid oral sesuai permintaan (PRN) atau sesuai jadwal. Biasanya dikombinasi dengan inhibitor COX oral,terapi kombinasi meningkatkan analgesia dan mengurangi efek samping. Agen yang sering dipakai adalah codein,oksikodon,dan hidrokodon. Agen ini diabsorbsi baik, tapi metabolisme hepar terbatas. Seperti opioid lain, ini juga melewati biotransformasi hepar dan konjugasi sebelum dikeluarkan lewat ginjal. Codein ditransformasikan oleh hepar menjadi morpin. Efek samping obat opioid oral mirip opioid sistemik, bila diresepkan secara tetap, pelembut atau laxative dapat diberikan.Tramadol adalah bentuk sintetik dari opioid oral dapat memblok reuptake neuronal norepinefrin dan serotonin. Ini menimbulkan efikasi yang sama seperti kombinasi antara codein dan asetaminophen tapi, tidak seperti yang lain, terdapat depresi respirasi yang kurang dan efek pengosongan lambung yang sedikit. 2. ANESTESI LOKAL INFILTRASI Infiltrasi langsung pad tempat incise atau blok dengan anestesi local adalah mudah dan cara yang aman untuk menghilangkan nyeri postoperative. Blok ileoinguinal dan femoral dapat dipakai untuk prosedur hernia repair dan hernia scrotalis dan blok penis untuk sircumsisi. Zat anestesi local seperti bupivakain bisa digunakan. Analgesi sering melebihi durasi farmakokinetik dari zat anestesi local. Ini menyebabkan zat anestesi local lebih disukai untuk pembedahan untuk analgesi preemtif. Injeksi intraartikuler dengan anestesi local,opioid atau kombinasinya efektif untuk prosedur artroskopi. PASIEN RAWAT INAP Sebagian pasien rawat inap dengan nyeri postoperative ringan samapi berat memrlukan zat analgesic parenteral atau blok neural dengan local anestesi pada 1-6 hari pertama setelah pembedahan. Satu dari pasien dapat dicoba intake oral dan menurunkan intensitas nyeri,oral analgesic dapat dicoba. Analgesik parenteral yaitu NSAID (ketorolak),opioid,dan ketamin. Ketorolak dapat diberikan subcutaneous,intramuskuler, sedangkan opioid dapat diberikan secara subkutaneus, intramuskuler, intravena atau intraspinal. Sediaan opioid transdermal tidak direkomendasikan untuk nyeri postoperative karena meningkatkan resiko depresi respirasi. 1. OPIOID 47 Analgesi opioid diberikan pada level darah tertentu pada pasien untuk pemberian intensitas nyeri. Pasien dengan nyeri berat terus diberikan sampai zat analgesi mencapai level tertentu diatas dimana pengalaman analgesi pasien dan beratnya nyeri secepatnya dihilangkan. Titik tangkapnya adalah sesuai dengan minimum efektif analgesic consentration (MEAC). Sedikit zat yang meningkatkan hasil dengan efek analgesi yang besar. INJEKSI INTRAMUSKULER DAN SUBKUTANEUS Dua rute yang sering dipakai karena injeksinya nyeri dan level dalam darah tidak dapat diprediksi. Pasien mengeluh adalah biasa karena lambatnya reaksi obat dan dosis yang tidak benar. Siklussedasi, analgesi, dan analgesi yang inadekuat adalah umum terjadi. OBAT INTRAVENA Obat lewat intravena memecahkan masalah dengan absorbsi yang tidak dapat diprediksi. Keseimbangan optimal antara analgesi yang adekuat, sedasi, dan deprsei nafas dapat untuk menentukan apakah diberikan sering, intermiten, oipoid dosis kecil (morfin 1-2 mg). Bagaimanapu obat sudah diseleksi,karena redistribusi obat, durasi aksi pendek ditemukan sampai beberapa dosis yan diberikan, level darah adekuat dapat dipertahankan dengan infuse kontinyu. Sayangnya, teknik ini membutuhkan kerja ekstra dan memerlukan monitoring ketat untuk depresi nafas. Ini memerlukan tindakan tertentu, intensive care, dan unit onkologi khusus. PASIEN DENGAN KONTROL ANALGESIA Dengan menggunakan teknologi computer,pasien dapat diberikan control analgesi (PCA). Dengan menekan tombol, pasien dengan mudah mengatur dosis opioid sesuai permintaan sendiri secara intravena (atau intraspinal). Program dokter dengan pompa infuse untuk dosis tertentu,interval minimum antara dosis (periode libur) dan jumlah opioid maksimal dapat diberikan pada periode pemberian (biasanya 1-4 jam); infuse basal diberikan secara simultan. Bila PCA diberkan pertama, dosis awal opioid harus diberikan staf medis atau tergantung setting, pasien dapat memberikan sendiri pada jam pertama. Bila morphin PCA intravena dipakai untuk bedah mayor, pasien dewasa membutuhkan 2-3 mg/jam pada 24-48 jam dan 1-2 mg/jam pada 3672 jam berikutnya. Penelitian menunjukan bahwa PCA adalah teknik cost efektif yang menghasilkan analgesi superior dengan pasien sangat memuaskan. Sebagai tambahan konsumsi obat total rendah, dibandingkan dengan injeksi intramuskuler. Pasien dapat diberi tambahan obat analgesi sesuai beratnya nyeri , bervariasi tergantung aktivitas dan waktu. PCA memerlukan pengertian dan kerjasama pasien , inilah batas digunakan untuk pasien muda dan pasien bingung. Sebagai tambahan keamanan obat melalui computer, keamanan PCA berdasarkan prinsip bahwa pasien menjadi sangat mengantuk, dia tidak dapat memencet tombol untuk penggunaan opioid. Orang lain (seperti 48 anggota keluarga atau perawat) sebaiknya tidak menekan tombol untuk pasien. Penggunaan infuse basal masih controversial. Dokter yang menganjurkan infuse basal untuk mencegah level obat analgesic dari penurunan jika pasien tidur, dapat diperkirakan, pasien kemudian bangun saat nyeri berat. Dokter lain berargumen bahwa karena tingginya variasi farmakokinetik pada pasien dan kadang-kadang menurun cepat, infuse basal mungkin lebih banyak menghasilkan depresi nafas. Faktor tambahan berkaitan dengan depresi nafas yang luas membutuhka nalokson selama pemberian PCA yaitu infuse basal,usia lanjut, dan hipovolumi. Pasien yang mempunyai keuntungan dari infuse basal kontinyu membutuhkan sejumlah besar opioid. Konsumsi 24 jam,dapat diberikan infuse basal 30-50%. Jadi, pasien dengan konsumsi 60mg morphin perhari dapat dengan aman diberikan infuse basal 1-1,5 mg/jam. Efek samping yang sering dari opioid adalah nausea, muntah, itching dan ileus. Hampir semua overdosis opioid yang dikaitkan dengan PCA mempunyai program yang tidak benar. Aliran sejumlah besar opioid ke pasien lewat intravena(selama rusaknya system) adalah jarang tapi menimbulkan masalah serius dengan system yang lebih tua, pada system terbaru, perubahan desain dan katup dapat mengatasi hal ini. Malfungsi mekanik dari PCA telah dilaporkan, tapi jarang terjadi. 2. BLOK SARAF PERIFER Blok saraf intercostals,interpleura,pleksus brachial dan femoral dapat menghasilkan analgesi yang bagus. Teknik kateter secara intermiten atu infuse kontinyu dar anestesi local (bupivakain 0,125% atau ropivakain 0,125 %) yang dapat memberikan analgesi selama 3-5 hari postoperative. 3. BLOK NEUROAKSIAL CENTRAL DAN OPIOID INTRASPINAL Pemberian zat anestesi local opioid secara neuroaksial(terutama epidural) merupakan teknik yang bagus untuk menejemen nyeri postoperative setelah prosedur ortopedi,abdominal, pelvis,dan thoraks. Pasien mempunyai fungsi pulmoner yang baik, dapat dibawa dan berhasil pada terapi fisik awal. Sebagai tambahan, pasien mempunyai resiko rendah trombosis vena postoperative. Injeksi neuraxial singleshot (subarahnoid atau epidural) zat anestesi local,opioid atau kombinasinya dapat digunakan untuk preemtif analgesi dan analgesi saat operasi. Teknik ini bagaimanapun, sangay efektif dengan kateter sebelah kiri untuk infuse kontinyus atau intermiten. Epidural kateter sering digunakan karena sindrom cauda equine dilaporkan dengan kateter subarahnoid. ZAT ANESTESI LOKAL Cairan anestesi local dapat menghasilkan analgesi yang bagus,tapi menhasilkan blockade motorik dan simpatis. Bentuk ini menyebabkan hipotensi dan terbatas. Kelarutan zat anestesilokal dapat menghasilkan blok motorik kecil. Agen yang sering dipakai adalah bupivakain dan ropivakain 49 0,125-0,25%. Derajat infuse berbeda tiap pasien tai secara umum tergantung level ujung kateter pada dermatom incisi. Dengan penempatan kateter yang optimal, infuse 5-10ml/jam dapat menghasilkan analgsi yang memuaskan. OPIOID Aksi opioid analgesi spinal dibicarakan dibawah ini. Morfin intratekal 0,20,4 mg menghasilkan analgesi untuk 4-24jam. Morfin epidural 3-5 mg sama efektifnya dan lebih banyak digunakan.Morphin dengan formulasi liposomal extended release (depodur) menghasilkan analgesi selama 48 jam. Ini telah dipakai hanya untuk pemberian epidural lumbar setelah artroplasti panggul (15mg),bedah abdominal bawah (10-15 mg). Pemberian denganepdural dan intratekal penetrasi opiate dalm medulla spinalis tergantung waktu dan konsentrasi. Pemberian epidural dengan agen hidrofilik(seperti morfin) menghasilkan analgesi lebih rendah daripada agen lipofilik (seperti fentanyl). Yang terakhir dapat menghasilkan efek segmental dan sebaiknya digunakan hany bila ujung kateter dekat dengan dermatom incisi. Level darah sistemik dari fentanyl selama epidural hamper sama dengan pemberian intravena.Efikasi dari pemberian alfentanyl epidural dan kemungkinan sufentanil timbul hamper sama selama absorbsi sistemik. Agen hidrophilik menyebar kesegala arah tergantung waktu,jadi injeksi morfin lumbar rendah dapat menghasilkan analgesi yang baik untuk thoraks dan prosedur abdomen atas. Faktor-faktor penting yang berparan meliputi tempat ujung kateter relative dekat incise dan usia pasien. Semakin dekat ujung kateter dengan dermatom incise, semakin sedikit jumlah opioid yang dibutuhkan. Pasien lebih tua memutuhka sedikit opiate. Jika morfin epidural dipakai sebagai analgesic tunggal dengan infuse kontinyu (0,1mg/ml), bolus 3-5 mg diberikan diikuti dengan 0,1-0,7 mg/jam. Teknik bolus intermiten dapat digunakan, tapi infuse kontinyu menurunkan efek samping seperti retensi urin dan itching. Fentanyl secara umum sering dipakai sebagai agen lipofilik dan diberikan 3-10ug/ml cairan 5-10ml/jam. ZAT ANESTESI LOKAL DAN CAMPURAN OPIOID Meskipun opioid intraspinal tunggal dapat menghasilkan analgesia yang baik, banyak pengalaman pasien membuktikan efek samping tergantung dosis,terutama opioid larut dalam lemak. Jika cairan anestesi local dikombinasikan dengan opioid, sinergi yang nyata didapatkan. Bupivakain 0,0625-0,125%(atau ropivakain 0,1-0,2%) dikombinasi dengan morphin 0,1mg/ml (atau fentanyl 5ug/ml) menghasilkan analgesi yang baik dengan kebutuhan obat yang sedikit dan sedikit efek samping.Tambahan dosis kecil epinefrin (2ug/ml) meningkatkan dan memperpanjang analgesi epidural dan mungkin menurunkan absorbsi sistemik dari opioid lipofilik (mis fentanyl). Tambahan dosis kecil clonidin meningkatkan dan memperpanjang analgesi tapi juga meningkatkan kejadian hipotensi dan bradikardi. 50 KONTRAINDIKASI Kontraindikasinya penolakan pasien, coagulopati,atau abnormalitas platelet dan adanya infeksi atau tumor pada tempat tusukan. Adanya infeksi sistemik hanya kontraindikasi relative jika tidak ada bakteremia . Penempatn kateter intraspinal pada pasien dengan heparinisasi intraoperatif masih controversial karena kemungkinan hematom epidural. Kejadian yang ada menunjukan resiko yang kecil bila kateter ditempatkan dengan atraumatic selama heparinisasi dan dipindah hanya setelah koagulasi normal. EFEK SAMPING OPIOID INTRASPINAL Efek samping yang sangat serius dari epidural dan intratekal opioid tergantung dosis,depresi nafas lambat.Difusi opioid memasukan cairan serebrospinal dan migrasi ke dalam medula pusat respiratori. Depresi pada kurve CO2 adalah khas; Harga PaCO2 tertinggi 40s atau kurang dari 50s jarang bahkan sadar penuh dan pasien terjaga. Kejadian depresi nafas lebih tinggi intratekal darpada setelah pemberian epidural. Depresi nafas awal (dengan 1-2 jam) dapat dilihat dengan opioid epidural dan diharapkan selama uptake sistemikmelalui pembuluh darah spinal. Tejadinya depresi nafas membutuhkan nalokson yang rendah(0,1%) dengan opiod epidural. Banyak kasusdepresi nafas serius terjadi pada pasien yang diberi opioid parenteral atau sedative. Pasien tua membutuhkan dosis yang dikurangi. Semua pasien membutuhkan pengawasan khusus,umumnya membutuhkan intensive care atau unit desain perawatan khusus. Kontroversi terjadi pada pengawasan yang optimal. Pulse oksimetri dan monitor apnea digunakan tapi bukan untuk mengganti peranan pengawasan perawat. Perubahan pada pulsasi terbaca terlambat setelah alarm dan monitor nafas menghasilkan alarm false positif. Sedasi berlebihan merupakan indicator yang baik untuk deprsei nafas. Penurunan respirasi rate juga membantu tapi tidak terlalu dipercaya karena obstuksi dapat menyebabkan kematian selama apnea. Protokol sebaiknya dilakukan pada staf perawatan untuk menurunkan atau menghentikan infuse opiate atau bahkan nalokson untu depresi nafas yang berat. Jumlah nalokson diberikan sebaiknya sesuai dengan kepentingan situasi klinis. Tanda depresi nafas sebaiknya dapat diterapi dengan dosis besar nalokson (0,4mg). Infus nalokson kontinyu mungkin penting karena waktu paruh nalokson lebih pendek daripada opioid itu. Dosis kecil nalokson(0,04mg tambahan) mungkin mereverse depresi nafas tapi tidak analgesinya. Deksafarm intravena (0,75-1 mg/ kg diikuti 1-2 mg/menit, juga dapat digunakan sebagai pengukuran . Yang terakhir ini dapat mereverse depresi nafas tanpa dengan analgesinya. Efek samping umumnya gatal, mual, retensi urin,sedasi dan ileus. Hidromorphon kurang disukai daripada morfin karena pruritus dan nausea. Insiden pruritus lebih dari 30 %,sedangkan retensi urin dilaporkan 10-100%. Efek samping yang sama terdapat pada parenteral opioid. Mekanisme pruritus kurang begitu dipahami tapi tidak berhubungan dengan hstamin release. Dosis kecil nalokson (0,04mg)telah dilaporkan untuk mereverse 51 pruritus tanpa reversing analgesia. Antihistamin seperti difenhidramin atau hidroksidin juga dapat digunakan untuk gatal tapi menyebabkab sedasi. Vomitus dan mual dapat diberikanmetoklopram(5-10mg),scopolami transdermal, droperidol (0,625-1,35) atau ondansetron (4-6mg). Retensi urin tidak masalah,karena pasien terpasang urin kateter untuk beberapa hari postoperative. AGEN LAIN Butorphanol epidural dapat menghasilkan analgesi yang baik (2-3 jam)dengan pruritus kecil tapi sedasi dalam mungkin efek sampingnya. Clonidin epidural menunjukan analgesi yang efektif tapi tidak berhubungan denganhiporensi dan bradikardi. Terbaru, agonis alfa adrenerjik seperti dexmedetomidin,yang mungkin digunakan dengan efek samping sedikit. NYERI KANKER Kira-kira 19 juta orang didunia mempunyai pengalaman nyeri kanker tiap tahun. Ini 40-80% menderita dari nyeri sedang sampai berat. Nyeri ini karena lesi kanker itu sendiri,metastasenya komlikasinya seperti kompresi neural atau infeksi,terapi,atau factor-faktor yang total tidak berhubungan. Manafer nyeri harus mempunyai pemahaman yang baik tentang kanker,gradenya,penyakit metastase dan terapinya. Nyeri kanker dapat diberi analgesi oral pada beberapa pasien. WHO merekomendasikan 3 langkah (1) analgesi nonopioid seperti aspirin,asetaminofen atau NSAID untuk nyeri ringan (2) oral opioid lemah (codein dan oxicodon)untuk nyeri sedang dan (3) opioid kuat (morfin dan hidromorfon) untuk nyeri berat. Terapi parenteral penting untuk nyeri berulang dan bila pasien tidak dapat diberi oral atau absorbsi yang jelek. Meskipun agen diseleksi, terapi obat sebaiknya dengan jadwal waktu yang tepat daripada PRN.Inhibitor COX dan opioid oral kurang poten akan dibicarakan dibawah. Terapi obat ajuvan, terutama antidepresan dan modalitas lain sebaiknya juga diberikan bebas pada pasien kanker. TERAPI OPIOID ORAL Nyeri kanker ringan sampai sedang biasanya diterapi dengan morfin immediate release (mis morfin cair,Roxanol,10-30mg tiap 1-4jam). Preparat ini mempunyai waktu paruh 2-4 jam. Permintaan pasien harian ditentukan, dosis yang sama diberikan dalam bentuk morfin sustained release(MS Contin atau Oramorph SR) diberikan setiap 8-12 jam Preparatimmediate release kemudian digunakan hanya untuk melwan nyeri (PRN). Fentanil oral transmukosa lozenges (Actif 200-1600ug) dapat juga diberikan untuk melawan nyeri. Sedasi dalam dapat diterapi dengan dextroampetamin atau methylpenidate 5 mg pagi dan siang. Sebagian pasien membutuhkan pencahar seperti docusat sodium, senna,cascara,magnesium sitrat,susu magnesia atau laktulosa. Mual diterapi dengan transdermal skopolamin,meclizin oral atau metoklopramid. 52 Hidromorphon (Dilaudid) adalah alternative yang baik untuk morfin,terutama untuk pasien tua dan dengan kerusakan renal. Metadon dilaporkan mempunyai waktu paruh 15-30 jam durasi klinis lebih singkat dan variable (biasanya 6-8 jam). Pasien yang mempunyai tuleransi obat membutuhkan dosis tambahan opioid rumatan untuk menimbulkan feel analgesic yang sama. Toleransi psikologik, ditandai dengan perubahab perilaku terhadap obat tertentu jarang pada pasien kanker. Toleransi terjadi pada derajat perbedaan tiap orang dan hasil dari efek yang diinginkan seperti sedasi dalam,mual,dan depresi nafas. Sayangnya, banyak pasien mengeluh konstipasi. Ketergantungan fisik terjadi pada semua pasien dengan dosis besar opioid untuk periode lama. Fenomena withdrawal dapat dipercepat dengan pemberian antagonis opioid. Penggunanaan antagonis opioid yang tidak melewat blood brain barrier seperti methylaltrexon dan alvimopan dapat membantu menurukan masalah efek samping sistemik tanpa mengurangi efek analgesinya. TRANSDERMAL ANALGESIA Fentanil transdermal adalah alternative yang baik untuk morfin sustain release, terutama bila pemberian oral tidak memungkinkan. Sediaan patch disusun sebagai cadangan obat yang diserap oleh kulit dengan membrane mikropous dan polimer adesiv. Fentanil jumlah sangat besar (10mg) menyebabkan tekanan yang besar untuk difusi transdermal. Rintangan utama untuk absorbsi adalah stratum korneum. Rute Transdermal menghindari metabolisme hepar first pass. Fentanil transdermal patch tersedia 25,50,75 dan 100 ug/jam untuk 2-3 hari. Patch yang paling besar seimbang dengan 60 mg/hr morfin intravena. Keuntungan utama dari cara ini adalah onset yang lambat dan dosis cepat berubah sesuai dengan perubahan kebutuhan. Level fentanil darah meningkat dan mencapai flat selama 12-18 jam rata-rata konsentrasi 1,1,5 dan 2 ng/ml untuk 50,75 dan 100 patch. Variabel antarpasien yang besar menghasilkan perubahan range 50-200ug/jam. Aksi dermis sebagai cadangan kedua bahkan setelah patch dilepas, fentanil diabsorbsi terus sampai beberapa jam. TERAPI PARENTERAL Nyeri kanker yang tidak terkontrol berat membutuhkan perubahan bentuk pemberian dari oral ke parenteral atau opioid interspinal. Bila karakter nyeri berubah nyata, ini penting untuk direevaluasi perkembangan penyakit pasien. Banyak terapi pengganti seperti bedah paliatif,radiasi atau kemoterapi dapat membantu. Pembedahan dapat mengurangi tumor,kompresi atau memfiksasi fraktur. Terapi hormonal sebaiknya dilkukan bila mungkin. Teknik neurilitik sebaiknya juga dilibatkan bila tidak ada yang cocok. Terapi opioid parenteral biasanya lebih suka diberikan infuse intravena kontinyu tapi dapat juga diberikan subkutaneus dengan wing needle. Infus 53 portable modern mempunyai kemampuan PCA untuk pasien yang mengatur terapi sendiri melawan nyeri. OPIOID INTERSPINAL Penggunaan opioid intraspinal adalah alternative yang baik untuk pasien yang tidak hilang dengan teknik lain atau karena efek samping yang banyak. Opioid melalui epidural dan subarahnoid menghilangkan nyeri dengan dosis rendah dan sedikit efek samping. Teknik infuse kontinyu menurunkan kebutuhan obat (disbanding dengan bolus intermiten), efek samping minimal dan menurunkan oklusi kateter. Aktivitas myoklonik mungkin jarang ditemukan dengan morfin atau hydromorfon intratekal. Kateter intratekal atau epidural dapat ditempatkan secara perkutaneus atau ditanam untuk mendapat analgesi efektif lama. Kateter epidural dapat dilepaskan dari pompa sehingga dapat dibawa pasien. Suatu kateter temporer harus dimasukan obat pertama untuk teknik efikasi. Penempatan yang benar dari kateter sebaiknya dipandu fluoroskopi dan radiokontras. Kateter intratekal yang dapat ditanam lengkap dengan program eksternal dapat digunakan untuk oinfus ,hanya mahal. Pompa yang ditanam sebagai cadangan secara periodic diisi ulang secara perkutaneus,penambahan injeksi dalam kateter secara langsung. Sistem intratekal yang dapat ditanam paling cocok untuk pasien dengan kemungkinan hidup beberapa bulan, sedangkan kateter epiduraltembus cocok untuk pasien yang mempunyai kemungkinan hidup hanya beberapa minggu. Bentuk masa infalamsi pada ujung kateter bisa terjadi dan menurunkan efikasinya. Masalah besar dengan opioid intraspinal adalah toleransi. Fenomena lambat secara umum, toleransi timbul cepat pada banyak pasien. Pada keadaan ini,terapi ajuvan harus diberikan, yaitu local anestesi yang intermiten atau campuran opioid dan anestesi local ( bupivakain atau ropivakain 2-24 mg/hari) klonidin intratekal atau epidural (2-4ug/kg/jam atau 48-800 ug/hr) atau agonis GABA baclofen intratekal. Klonidin terutama dipakai untuk nyeri neuropati. Dalam dosis besar ini menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Komplikasinya termasuk infeksi kulit dan abses epidural. Infeksi superficial dapat diturunkan dengan menggunakan cuff silver impregnated. Komplikasi lain hematom,dungkin onset cepat atau lambat (hari). Penggunan teknik spinal invasive mempunyai komplikasi terhadap tekanan intracranial(dari lesi masa) dan koagulopati. Ratio factor resiko harus dipertimbangkan pada pasien terminal endstate. TEKNIK NEUROLITIK Blok Neurolitik pleksus celiaca sangat efektif untuk pasien dengan pertumbuhan keganasan intraabdomen,terutama kanker pancreas. Blok neurolitik simpatis lumbar,pleksus hipogastrik atau ganglion impar dapat digunakan untuk keganasan daerah pelvis. Blok neurolitik intercostals dapat membantu pasien dengan metastase costa. Pada pasien dengan nyeri pelvis 54 refrakter, saddle blok neurolitik dapat mengurangi nyeri,bagaimanapun, disfungsi vesika urinaria dan saluran cerna dikecualikan. Karena morbiditas yang tinggi pada blok neurolitik(disfungsi somato sensori dan motorik),blok ini sebaiknya digunakan hanya dengan pertimbangan hati-hati.Prosedur neurodestruktif seperti pada adenolisis pituitary dan cordotomi dapat digunakan pada pasien terminal. Beberapa center menambahkan stimulasi otak dalam. SINDROM NYERI SINDROM ENTRAPMEN Neuropati entrapment secara umum melibatkan saraf sensoris,motorik atau campuran. Kompresi neural dapat terjadi dimana jalan saraf secara anatomi dekat bagian ini. Faktor genetic dan makrotrauma repetitive sering sebagai penyebab;tenosynovitis yang berdekatan sering bertanggung jawab. Bila saraf sensoris terkena, pasien mengeluh nyeri dan matirasa daerah distal dari tempat entrapmen; kadang-kadang pasien mengeluh nyeri yang dijalarkan proksimal dari tempat entrapmen. Entrapmen dari saraf sciatik(sindrom piriformis)dapat mirip penyakit herniasi intervertebral. Entrapmen dari saraf motorik menghasilkan kelemahan otot yang diinervasinya. Bahkan entrapmen yang “asli”saraf motorik dapat menghasilkan nyeri yang tidak jelas mungkin berasal dari saraf aferen dari otot dan sendi. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan elektromyografi dan percobaan konduksi saraf. Blok neural saraf dengan anestesilokal,dengan atau tanpa kortikosteroid untuk diagnostic dan menghilangkan nyeri temporer. Terapi simtomatik dengan analgesi oral dan imobilisasi temporer,bila cocok. Perkembangan reflek simpatis dystropi membutuhkan blok simpatis. Gejala-gejala refrakter membutuhkan bedah dekompresi. NYERI MYOFASIAL Syndrom myofasial adalah gangguan umum ditandai dengan nyeri otot,spasme otot,kekakuan, kelemahan, dan kadang-kadang disfungsi otonomik.Pasien mempunyai daerah berlainan (trigger point) ditandai nyeri pada satu atau lebih otot atau berkaitan dengan jaringan ikat. Palpasi pada otot tersebut,mengikat pada trigger point. Tanda-tanda disfungsi otonomik(vasokonstriksi atau piloereksi) pada lembaran otot mungkin ada. Nyeri secara karakteristik menyebar pada daerah tersebut dan mengikuti dermatom. Trauma berat atau mikrotrauma repetitive mempunyai peranan penting dalam timbulnya sindrom myofasial. Trigger point berkembang diikuti trauma akut;rangsang pada trigger poin aktif ini menghasilkan nyeri dan berikutnya spasme otot memperpanjang nyeri. Bila episode akut ini surut,trigger poin menjadi laten (lembut,tapi tidak nyeri)hanya direaktivasi pada waktu nanti dengan stress berikutnya. Patofisiologinya kurang dimengerti, tapi trigger poin adalah daerah iskemia local dimana berkembang karena spasme vaskuler atau spasme otot. 55 Diagnosis sindrom myofasial didapat dengan karakter nyeri dan palpasi pada daerah trigger poin. Sindrom ini umumnya menghasilkkan trigger poin di levator scapula, masseter, quadratus lumborum dan gluteus medius.Dua yang terakhir menghasilkan low back pain dan sebaiknya dipertimbangkan pada semua pasien dengan nyeri pinggul belakang,selain itu, trigger poin gluteal dapat mirip radikulopati S1.Meskipun nyeri myofasial dapat kembali spontantanpa sekuele, banyak pasien terus mempunyai trigger poin. Bila trigger poin aktif, terapinya diarahkan kembalinya elastisitas dan panjangnya otot. Anakgesi diberikan di trigger poin (1-3ml) dengan anestesi local. Cooling topical dengan vapocoolant, etylalkohol atau spray florokarbon (fluoromethan) dapat untuk merelaksasi otot dan pijat (peregangan dan spray) dan terapi ultrasound. Etylklorid lebih disukai dibandingkan fluorocarbon yang merusak lapisan atas ozon. Terapi fisik penting untuk perawatan gerakan otot.Biofeedback mungkin berguna untuk pasien ini. LOW BACK PAIN DAN SINDROM YANG MENYERTAINYA Nyeri punggung adalah keluhan umum yang menjadi penyebab utama mangkirnya kerja di seluruh dunia. Strain lumbosakral,penyakit degeneratif discus dan sindrom myofasial adalah penyebab utama low back pain dengan atau tanpa nyeri tungkai. Penyebabnya bisa congenital, traumatic,degeneratif,peradangan,psikologis atau keganasan. Tambahan lagi,back pain bisa menyertai proses abdomen dan pelvis,terutama penyakit struktur retroperitoneal (pancreas,ginjal, ureter,aorta, dan tumor), uterus dan adnexa, prostate dan rectosigmoid. Gangguan pada panggul mirip gangguan ini. Tanda Patrick positif dapat membantu identifikasi gangguan panggul(hip).Tanda ini meliputi nyeri panggul,tumit ipsilateral pada lutut kontralateral dan paha ipsilateral. Ini juga dinamakan suatu akronim,FABERE(sign) karena gerakan tungkai meliputi fleksi,abduksi,eksternal rotasi,dan ekstensi. 1. ANATOMI PUNGGUNG Punggung(back) digambarkan anterior dan posterior. Komponen anterior terdiri dari corpus vertebralis silindrikal yang merupakan interkoneksi dengan discus intervertebralis dan disokong oleh ligamentum longitudinal posterior dan anterior. Elemen anterior adalah tempat tulang yang perluasan dari berasal dari tiap corpus vertebralis,termasuk dua pedikel, dua prosesus tranversus, dua lamina dan prosesus spinosus. Transversus dan prosesus spinosus merupakan titik pemisahan untuk otot untuk gerakan dan perlindungan kolumna spinalis. Vertebra yang dekat secara posterior oleh dua sendi faset,menyebabkan banyak gerakan. Struktur spinal diinervasi oleh cabang sinuvertebralis dan saraf spinal rami posterior. Saraf sinuvertebralis muncul sebelum saraf spinal terbagi jadi rami anterior dan posterior dan masuk kembali ke foramen intervertebralis untuk menginervasi ligamentum longitudinal posterior, fbrosus annulus posterior,periosteum,pembuluh darah epidural dan dura. Struktur paraspinal 56 disuplai oleh ramus primer posterior. Tiap sendi faset diinervasi oleh cabang medial dari rami posterior primer dari saraf spinal diatas dan dibawah sendi. Sesuai akar saraf spinal lumbar keluar dari dural sac, turun 1-2 cm secara lateral sebelum keluar dari foramina intervertebralis,jadi,akar saraf L5meninggalkan dural sac pada leveldiskus L4-5 (tempat sering kompresi)tapi meninggalkan lapisan kanal spinal pedikel L5 yang berlawanan dengan discus L5-S1. 2. SPRAIN/STRAIN SENDI PARAVERTEBRAL LUMBOSAKRAL DAN OTOT Kira-kira 80-90% dari low back pain yang menyertai strain dan sprain dikaitkan dengan angkat barang berat,jatuh atau tiba-tiba ada gerakan abnormal dari vertebra. Istilah sprain digunakan bila nyeri dikaitkan dengan trauma akut, sedangkan strain digunakan bila nyeri lebih krons dan dikaitkan dengan trauma minor repetitive. Trauma otot paravertebra dan ligamentum menghasilkan reflek spasme otot,yang dihubungkan dengan trigger poin. Nyeri biasanya tumpul dan sakit dan jarang menyebar ke bawah sampai pantat atau panggul. Sprain adalah proses benign self limited dan dapat berlangsung 1-2 minggu. Terapi simptomatik diberi analgesi oral dan istirahat. Sendi sacroiliaca terutama yang mudah trauma rotasional. Trauma akut dan kronis menyebabkan subluksasi sendi. Nyeri berasal dari sendi yang secara karakteristik disepanjang posterior ilium dan menyebarke bawah panggul dan paha posterior sampai lutut. Diagnosis dilakukan dengan kelembutan saat palpasidan kompresi sendi ini. Hilangnya nyeri setelah injeksi sendi dengan anestesi local(3ml) adalah diagnostic dan terapi. Peranan injeksi steroid intraartikuler tidak ditegakan. 3. PENYAKIT DEGENERATI DISKUS Diskus interverbralis kurang lebih 1/3 dari berat kolumna spinalis. Bagian tengah ini oleh material gelatinus. Material degeratif ini dan menjadi fibritik dengan bertambahnya umur dan trauma. Nukleus pulposus dikelilingi oleh annulus fibrotik yang lebih tipis diposterior dan diikat superior dan inferior dengan plat kartilagenus.Nyeri disk (diskogenik)mempunyai mekanisme utama (1)protusion atau extrussi dari nucleus pulposus posterior atau (2) hilangnya tingginya discus, akibat formasi reaktifuntuk bonyspurs(osteofit)dari lingkaran corpus vertebralis diatas dan dibawah discus. Penyakit discus degeneratif sering mengenai vertebral lumbar karena ditemukan gerakan besar dan ligamentum longitudinal yang tipis L2-5. HERNIA DISKUS Kelemahan dan degeneratif dari annulus fibrosus dan ligamentum longitudinal dapat menyebabkan hernia nucleus pulposus posterior ke dalam spinal . 90 % hernia discus terjadi antaraL5-S1 atau L4-L5. Gejalanya 57 biasanya timbul diikuti trauma flexi dan mungkin karena;(1)bulging, (2)protusi, (3) ekstrusi discus. Hernia discus biasanya terjadi posterolateral dan sering menekan akar saraf terdekat,menghasilkan nyeri yang dijalarkan sepanjang dermatom (radikulopati). Istilah sciatica kadang digunakan karena compresi akar saraf lumbar bawah menghasilkan nyeri sepanjang saraf sciatika. Bila material discus dikeluarkan sepanjang annulus fibrosus dan ligamentum longitudinal posterior bebas fragmen menjadi mendesak kanalis spinalis atau foramina intervertebralis, nyeri mungkin karena reaksi kimiawi dari glikoprotein yang dikeluarkan discus. Kurang umum pembesaran discus atau fragmen besar keluar posterocentral,menekan cauda equine.pada dura sac,pada pasien ini untuk nyeri bilateral, retensi urin atau kadang inkontinensial feca.. Onset nyeri disk secara khusus dikaitkan dengan angkat barang berat. Nyeri berkurang dengan ikatan,pengankatan, duduk yang lama atau sesuatu yang mnyebabkan peningkatan tekanan abdomen, seperti bersin,batuk atau penekanan. Matirasa atau lemah adalah indikatif radikulopti.Pembesaran discus sampai ligamentum longitudinal posterior juga mengakibatkan low back pain yang menyebar ke panggul dan pantat.Dengan posisi pasien supine dan lutut extensi maksimam, tungkai bawah Gambaran radiografi vertebra lumbal biasanya tersedia anteriorposterior,lateral,dan oblique. Bone scan juga membantu pada pasien dengan pertumbuhan keganasan. Meskipun banyak modalitas sensitif mendeteksi hernia discus dengan MRI, teknologi ini tidak menunjukan akurasi detail tulang seperti CT Scan. Gambaran Radiologi sebaiknya dihubungkan dengan gejala, karena lebih dari 30-40% pasien asimptomatik mempunyai abnormalitas CTscan atau MRI.CTscan myelografi paling sensitive untuk mengevaluasi kompresi saraf yang terjadi. Discografi dilakukan bila nyeri tidak sesuai dengan gambaran klinisnya. Teknik ini terdapat tiga lembar data; nukleogram, pengukuran tekanan discus, nyeri yang sesuai. Nukleogram menunjukan lokasi dan perluasan discus dan kerusakanya. Nyeri dikaitkan dengan tekanan 15-50 psi dipertimbangkan secara umum adanya factor mekanik. Nyeri yang sesuai akan tampak bila nukleogram menghasilkan nyeri pasien. Riwayat alamiah biasanyan jinak dan durasi nyerinya kurang dari 2 bulan. Lebih dar 75% pasien yang diterapi non bedah, bahkan sudah radikulopati, mempunyai komplit atau hampir total hilang nyerinya. Tujuan dari terapi sebaiknya untuk menyingkirkan nyeri, merehabilitasi pasien untuk bekerja kembali,dan menyarankan fitness. Back pain akut karena hernia discus diterapi dengan bed rset total 3 hari dan dengan obat analgesi. Istirahat total menghasilkan surutnya trauma akut. NSAID sangat berguna. Penggunaan jangka pendek opioid diindikasikan untuk pasien dengan nyeri berat. Setelah gejala akut mereda, pasien sebaiknya mengikuti terapi “back school” agar mendapat fitness punggung. Termasuk terapi fisik panas dan dingin dan pijat. Bedah dekompresi sebaiknya ditujukan untuk pasien dengan nyeri refrakter,tapi percobaan dengan steroid epidural merupakan 58 pertimbangan pertama. Untuk pilihan pasien,laminektomi mempercepat kesembuhan dan menurunkan insiden kekambuhan. Bila gejala menetap selama 3 bulan, nyeri kemungkinan kronik dan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Terapi fifsik menjadi komponen penting untuk rehabilitasi. NSAID dan antidepresan juga membantu. Bila nyeri diskogenik menetap selama 6 bulan, terapi elektrotermal discus (IDET) perlu dipertimbangkan untuk pasien muda(<55 tahun) dengan discus yang terkena single. Kriteria lain termasuk ketinggian discus (>50%), defek anuler posterior dan tidak ada stenosis spinal. Teknik yang melibatkan fluoroskopi perkutaneus denga probe khusus ke discus tersebut menggunakan kanul G17. Probe ini kemudian digulung pada daerah yang terkena dan dipanaskan. Panas menyebabkan discus dan munkkin saraf akhir koagulasi (serabut C). komplikasinya trauma akar saraf (selama memasukan dengan jarum,cauda equine, herniasi discus, dan bocornya cateter. STEROID EPIDURAL Injeksi steroid epidural paling efektif untuk menghilangkan nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf. Penelitian patologi menunjukan seringnya terdapat peradangan setelah hernia discus. Pertimbangan klinis muncul berkaitan dengan resolusi edema akar saraf. Injeksi steroid epidural jelas dengan local anestesi. Injeksi ini paling efektif diberikan dalam waktu 2 minggu dari mulai onset nyeri sehingga meringankan kompresi neural dan iritasi.Penelitian jangka panjang menunjukan kegagalan pada pasien lebih dari 3 bulan. Dua agen steroid yang sering dipakai adalah prednisolon asetat (4080mg)dan triamsinolon diasetat (40-80mg). Steroid diinjeksikan dengan larutan salin atau anestesi local dengan jumlah dengan volume 6-10 ml atau 10-20 ml untuk injeksi lumbal dan caudal. Injeksi terusan opioid tidak memberi keuntungan. Injeksi dengan anesrtesi local selama masuknya steroid membantu pasien dari spasme otot, tapi dengan resiko komplikasi intravaskuler,intratekal dan subdura. Anestsi local menghilangkan nyeri sampai efek antiinflamasi dari sterid muncul, bias any 12-48 jam. Nyeri sering timbul saat ineksi. Injeksi steroid epidural pasling efektif bila ada trauma didaerah tersebut. Hanya injeksi tunggal yang diberikan bila untuk menghilangkan nyeri. Bila tidak ada respon. Injeksi kedua diberikan dengan 2-4 minggu kemudian. Dosis besar dan lebih sering akan meningkatkan resiko supresi adrenal dan efek samping sistemik. Banyak Praktisi nyeri menggunakan fluoroskopi untuk injeksi epidural dan konfirmasi tempat dengan radiokontras (epidurogram). Injeksi steroid epidural transforaminal dilaporkan lebih efektif daripada teknik epidural standart. Jarum diarahkan dengan panduan fluoroskopi masuk ke foramen dari akar saraf tersebut dan kontras diinjeksikan untuk konfirmasi sebelum dimasukan steroid keepidural tadi. 59 Injeksi caudal lebih disukai pada pasien dengan bedah punggung, karena scaring dan distorsi sering membuat injeksi epidural lumal lebih sulit, sayangnya, migrasi steroid ke epidural kurang optimal. Injeksi subarahnoid tidak direkomendasikan karena etylen glikol telah berimplikas arahnoiditis adesif setelah injeksi subarahnoid. Komplikasi lain meningitis aseptic, cryptococal,dan tuberculosis. STENOSIS SPINAL Degenerasi nucleus pulposus menurunkan tingginya discus dan mengakibatkan bentuk osteofit (spondilosis) pada lingkaran corpus vertebra dan ligamentum spinal, mengakibatkan penyempitan foramina intervertebralis dan saluranspinal. Kompresi neural dapat menyebabkan radikulopati mirip hernia discus. Formatio osteofit ekstensif dapat mengkompresi akar saraf dan menyebabkan nyeri bilateral. Bila pertumbuhan ini mengganggu cauda equine, istilah stenosis spinal dipakai. Stenosis spinal adalah penyakit usia lanjut. Back pain biasanya menyebar ke kedua pantat,paha dan tungkai. Secara karakteristik jelek dengan latihan dan dihilangkan dengan istirahat, terutama duduk dengan fiksasi vertebra. Istilah pseudoclaudikatio kadang dipakai. Diagnosis disarankan dengan adanya kelainan klinis dan konfirmasi MRI,CT San atau vertebra dengan myelografi. Elektromyeografi dan evoked potensial somatosensoris dapat dipakai mengevaluasi neurological. Terapi konservatif dan steroid epidural secara umu mempunyai peran terbatas. Pasien dengan stenosis ringan sampai berat dan gejala radikuler mungkin mengubtungkan dengan steroid epidural. Gejala berat adalah indikasi untuk dekompresi, pseudoclaudicatio biasanya sementara,sedangkan nyeri punggung ini biasanya menetap. 4. SINDROM FASET Banyak pasien mengeluh nyeri secara primer berhubungan dengan perubahan degeneratif pada sendi faset(zygapofisial). Nyeri cenderung pada midline dan menyebar turun kebelakang daera gluteal,paha,dan lutut; spasme otot ada. Hiperekstensi dan rotasi lateral vertebra biasanya mengeksaserbasi nyeri. Diagnosis disarankan dengan radiograf oblique atau CT Scan vertebra dan dikonfirmasi dengan hilangnya nyeri setelah injeksi intraartikuler anestesi local pada sendi tersebut atau blok cabang tengah dari ramus posterior saraf spinal yang menginervasi. Penelitian jangka panjang menyokong blok saraf cabang medial lebih efektif daripada injeksi faset join. Rhizotomi cabang medial bisa menghasilkananalgesi jangka lama untuk penyakit sendi faset pada vertebra lumbal dan cervical. 5. ABNORMALITAS KONGENITAL Abnormalitas congenital dari punggung sering asimtomatis dan gejala sisa. Abnormalitas vertebra menyebabkan pronasi pasien nyeri punggung dan 60 progresif deformitas lain. Anomali yang umum yaitu sacralisasi dar L5(corpus vertebra berfusi ke sacrum), lumbalisasi S1 (berfungsi sebagai lumbal 6),spondylosis (defek tulang tumbuh antara pedikel dan lamina ) dan spondylolistesis (corpus vertebra,pedikel dan sendi facet superior secara anterior menjadi elemen posterior,umumnya pada L5). Diagnosis dengan radiografi. Fusi spinal penting pada pasien dengan gejala progresif dan instabilitas spinal. 6. TUMOR Tumor spinal pada pasien lebih muda dari 50 tahun umumnya jinak,sedangkan pada usia tua biasanya ganas. Carsinoma mamae,pulmo,prostate,renal, gastrointestinal dan tyroid,limpoma dan multiple myeloma sering metastase ke vertebra lumbal. Nyeri bersifat konstan dan dengan kelemahan yang dilokalisasi pada vertebra yang terlibat. Dstruksi tulang atau neural atau kompresi vaskuler menghasilkan nyeri. Tumor intratekal dan intradural dapat timbul seperti herniasi discus dan secara cepat dan progresif menjadi paralysis flaccid. Tempat primer dapat asimtomatis atau terabaikan. Diagnosis dibuat dengan radiografi dan scan tulang. Tergantung tipe tumor, kortikosteroid,radiasi atau bedah dekompresi (dengan stabilisasi) dapat diindikasikan. 7. INFEKSI Infeksi bakteri pada vertebra biasanya menyerang corpus dan bisa menjadi pyogenik seperti organisme tuberkulosa. Pasien ,terutama dengan tuberculosis spinal, ditemukan kronik back pain tanpa demam atau leukositosis. Sebaliknya, abses epidural menunjukan gejala akut dengan nyeri,demam dan leukositosis, evakuasi urgen dan terapi antibiotic penting untuk mencegah progresifitas menjadi paralysis flaksid. 8. ARTRITIDES Ankilosing spondilitis adalah gangguan familial dengan ditandai antigen histokompatibility HLA-B27. Khasnya dengan low back pain di pagi hari kaku pada usia muda. Nyerinya insideus dan mungkin bangkit karena aktivitas. Setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun, nyeri dengan gerakan progresif dari vertebra. Diagnosis awal sulit pada penyakit ini, tapi adanya radiografi dengan sacroilitis biasanya muncul. Sesuai dengan perkembangan penyakitnya, vertebra menjadi “Bamboo like” secara radiografi. Beberapa pasien timbul arthritis dar hip dan shoulder sesuai denganmanifestasi peradangan ekstraartikuler. Terapinya dengan diarahkan pada fungsional postur. NSAID terutama indometasin adalah analgesic terbaik dan menurunkan kekakuan pada pagi hari. Pasien dengan sindrom Reiters, arthritis psoriatic atau penyakit peradangan saluran cerna juga menunjukan adanya low back pain, tapi manifestasi extraspinal sering lebih menonjol. Artritis rematoid biasanya kecuali vertebra untuk sendi apophiseal dari vertebra cervikalis. NYERI NEUROPATI 61 Nyeri neuropati yaitu nyeri yang dikaitkan neuropati diabetika, causalgia, tungkai lumpuh, neuralgia postherpetik, trauma medulla spinalis, stroke,dan multiple scerotik. Nyeri kanker dan low back pain kronis mungkin lebih menonjol komponen neuropatinya. Nyeri neuropati cenderung ke proksimal dan kadang-kadang tajam dengan kualitas terbakar dan biasanya berhubungan dengan hiperpatia. Mekanisme nyeri neuropati dibahas pada bab awal. Karena sering sulit mengetahui tipe nyeri ini, modalitas terapi multiple adalah penting. Terapi mungkin berupa anticonvulsant (mis. Gabapentin), antidepresan (amitriptilin), antiaritmia (mexiletin),alfa 2adrenergik agonis (klonidin), agen topical (lidokain atai capsaisin) dan analgesic (NSAID dan opioid). Opioid spinal Sangat efektif untuk beberapa pasien. Blok simpastis efektif untuk gangguan tertentu. Stimulasi medulaspinalis mungkin efektif untuk pasien yang tidak toleran atau respon terhadap terapi lain. NEUROPATI DIABETIKA Neoropati diabetika paling sering ditemukan nyeri neuropati dalam praktek dan penyebab utama morbiditas. Patofisiologinya kurang dimengerti tapi mungkin berhubungan dengan mikroangiopati dan hiperglikemia kronik menyebabkan aktivasi metabolic abnormal dan protein glikation. Banyak sindrom Neuropati diabetik dikenali dan lebih dari satu pada pasien. Ini mungkin simetris (umumnya),fokal,atau multifokal mengeni saraf peripheral (sensoris dan motorik,kranialis atau saraf otonomik. Sindrom yang paling umum adalah polineuropati perifer,yang mengakibatkan matirasa simetrik (distribusi “stocking and glove”),parestesi,dyesestesi dan nyeri intensitasnya bervariasi, sering jelek pada malam hari. Kehilangan persepsi mungkin sulit berjalan dan deficit sensoris bisa menyebabkan trauma. Mononeuropati menyerang saraf individu menyebabkan drop foot atau wrist atau cranial nerve palsy. Mononeuropati secara khas mempunyai onset mendadak dan reversible, untuk beberapa minggu. Radiculopati, menyerang dermatomsensoris juga bisa terjadi. Neuropati otonomik mengenai tarctus gastrointestinal menyebabkan diare, pengosongan lambung lambat dan motilitas esophageal. Hipotensi ortostatik dan bentuk lain disfungsi otonom umum terjadi. Terapi neuropati diabetika tidak hanya simptomatik tapi juga diarahkan untun control glukosa darah yang optimal untuk membantu mencegah atau memperlambat progresifitas. Asetaminophen dan NSAID biasanya tidak efektif untuk nyeri sedang sampai berat. Terapi dengan pharmakologi primer dan sulit serta membuat frustasi. Pasien jadi toleran dan adiksi terhadap opioid. Obat-obat ajuvan mempunyai peran utama. Kombinasi obat antiepileptic (mis.gabapentin) dan trisiklik antidepresan (amitriptilin) bisa efektif dipakai. Tramadol berguna untuk analgesi, mekanismenya unik,potensial abusenya rendah. 62 NYERI MAINTAINED SIMPATIS Nyeri ini penjalaran dari kelompok nyeri neuropati dimana system saraf mempunyai peranan penting. Trigger multiple dapat mencetuskan nyeri ini, seringnya terabaikan dan misdiagnosis. Istilah “complex regional pain syndrome”(CRPS) umumnya untuk istilah ini dan sindrom yang berhubungan dengan ini. Dua Sindrom yang sering adalah distropi simpatis refleks (RSD atau CRPS tipe I) dan causalgia (CRPS II). A. DYSTROPI SIMPATIS REFLEKS (CRPS TIPE I) Bentuk ini nyeri maintained secara khas mengenai ekstremitas dan diikuti trauma minor secara relative. Kejadian umum yang mengawali yaitu trauma,(kontusi,benturan,atau laserasi).pembedahan,sprain,fraktur atau dislokasi. Mungkin dengan release carpal tunnel, fasciotomi palmar atau artroplasti. Trauma kadang-kadang terjadi.Sindrom yang mirip dengan rasa terbakar, neuralgia postherpetika, multiple sklerotik,neuropati diabetika, infark myokard,stroke, kanker, hernia discus intervertebralis dan penyakit sendi degeneratif. Tiga fase ini dapat diidentifikasi. Scan tulang menunjukan meningkatnya uptake pada sendi kecil selama fase akut,termografi menunjukan hiperemisi asimetrik. Meskipun nyeri bisa hilang spontan, banyak pasien yang menjadi disabilitas fungsional berat. B. CAUSALGIA (CRPS TIPE II) Causalgia, yang berarti nyeri seperti terbakar, secara khas dengan kecepatan tinggi (mis. Gunshot) trauma pada saraf besar. Nyerinya sering medium onset dan dikaitkan dengan alodynia,hiperpatia dan disfungsi vasomotor dan sudomotor. Semuanya meningkatkan tonus simpatis seperti takut,cemas,berisik,silau membangkitkan nyeri. Sindrom ini mempunyai progresi bervariasi dari hari sampai bulan. Causalgia seringnya mengenai pleksus brakhialis dan bagian tibialis dari saraf sciatic pada ekstremitas bawah. Awalnya pasien mengalami nyeri dramatis dari blockade simpatis. TERAPI Pasien sering respon secara dramatis terhadap blok simpatis,tapi terapi harus multidisipliner untuk menghindari disabilitas fungsionan dan psikologi. Terapi fisik memainkan peranan central. Banyak pasien kembali spontan normal, tapi tanpa terapi, sebagiab pasien menjadi disabilitas fungsional dan irreversible. Blok simpatis sama efektifnya. Blok ini sebaiknya diteruskan sampai responnya flat dan pengobatan diakhiri. Blok simpatis memfasilitasi terapi fisik yang biasanya dengan gerakan aktif tanpa beban. Sebagian pasien membutuhkan 3-7 kali blok.Hasil pengobatan akan tinggi(lebih 90%) bila diterapi awal 1 bulan gejala dan menurun sesuai waktu. Banyak pasien berhasil dengan TENS. Rangsangan Kolumna dorsalis(medulla spinalis) efektif untuk beberapa pasien dengan gejala lama. Bloker alfa adrenergic oral, seperti phenoxybenzamin atau prazosin,klonidin,antikonvulsan dan 63 antidepresan juga bermanfaat. Bedah Simpatektomi untuk kasus kronis sering kurang memuaskan karena hanya menghilangkan sementara. HERPES ZOSTER AKUT DAN NEURALGIA POSTHERPETIKA Herpes zoster akut menunjukan reaktivasi dari virus varicella zoster. Pada tahap awal masa anak-anak terinfeksi (chickenpox), virus menginfeksi ganglia dorsalis, dimana tinggal laten sampai reaktivasi. Penyakit ini ditandai rash vesikuler,rash dermatom yang disertai nyeri berat. Dermatom T3-L3 aer terjadi pada semua umur tapi sering pada orang tua.Gangguan ini self limited pada usia muda(<50 th). Terapi utama dukungan obat analgesi oral dan acyclovir oral,famciclovir atau valacyclovir. Terapi Antivirus menurunkan durasi rash dan cepat sembuh. Pasien yang immunocompromised dengan infeksi tersebar membutuhkan terapi acyclovir intravena. Pasien tua mungkin terus merasakan nyeri radikuler, bahkan setelah rash sembuh. Insiden neuralgia postherpetika (PHN) diperkirakan 50% pada pasien lebih tua dari 50 tahun. Tambahan lagi PHN sering sulit diterapi. Kortikosteroid peroral selama infeksi akut menurunkan inside PHN,tapi masih controversial. Kortikosteroid meningkatkan diseminasi pada pasien imunodefisiensi. Blok simpatis selama herpes zoster akut menghasilkan analgesi yang baik dan juga dilaporkan menurunkan insiden PHN. Terakhir mendorong bahwa PHN diperantarai saraf simpatis. Penelitian menunjukan bila blok simpatis diberikan pada 2 bulan setelah rash,PHN akan sembuh pada 80%pasien. Walapun neuralgia sudah dihilangkan, blok simpatis umumnya tidak efektif. Andidepresan, antikonvulsan, opioid dan TENS berguna untuk beberapa pasien. Penggunaan patch lidokain 5% (lidoderm 700mg) pada daerah nyeri dapat membantu pasien, mungkin karena penurunan sensitisasi perifer dan reseptor. HEADACHE Headache adalah keluhan utama hampir pada semua orang selama periode hidupnya. Pada kasus besar, headache tidak mencerminkan latar belakang penyakit dan tidak dijumpai atau jadi berat pada pasien yang mempunyai perhatian terhadap medis. Bagaimanapun juga, seperti nyeri lain, dokter harus selalu mempertimbangkan kemungkinan latar belakang gangguannya. Seorang dokter sebaiknya menggabungkan gejala-gejala atau temuan klinis untuk menyokong latar belakang patologi.Gangguan dimana keluhan utamanya headache akan dibahas dibawah. Ada beberapa variabilitas pada presentasi klinis dan overlap pada simtomatologi pada sindrom headache, terutama anatra tension headache dan migraine headache. TENSION HEADACHE Tension headache secara klasik digambarkan nyeri seperti ada ikatan kuat atau tidak nyaman seringnya dikaitkan dengan ikatan pada otot-otot leher.Headache bisa frontalis,temporalis atau occipialis lebih sering bilateral daripada unilateral. Intensitas nyeri khasnya bersifat gradual dan 64 fluktuatif,beberapa jam samai bebeapa hari. Ini dikaitkan dengan stress emosional atau depresi. Terapinya simtomatik dengan NSAID. MIGRAIN HEADACHE Migrain headache digambarkan secara khas dengan trobing dan pounding dan sering disertai fotofobia.scotomata,mual,muntah dan disfungsi neurologist sementara(aura). Yang terakhir,mungkin sensoris,motorik,visual,atau olfaktorius. Migrain klasik dengan definisi, diawali aura,dimana pada migraine yang umum tidak ada. Nnnnnnnnyeri biasanya unilateral tapi dapat bilateral dengan lokasi frontotemporal dan berlangsung 4-72 jam. Migrain primer mengenai anak-anak(kedua jenis kelamin)dan dewasa muda (dominant perempuan). Riwayat keluarga sering didapatkan. Provokasi tes dengan bau, makanan (mis anggur merah ),menses dan deprivasi tidur. Tidur yang khusus dapat menghilangkan headache Mekanismenya kompleks dan mungkin ada disfungsi nucleus trigeminal,vasomotor,otonomik(system stem brain serotinergik). Terapinya abortif(menghentikan serangan) dan prophilaktik. Terapi abortif cepat termasuk oksigen,sumatriptan (6mg subcutaneous),dyhidroergotamin(1mg IM atau subkutaneus),intravena lidokain (100mg), buthorpanol nasal (1-2 mg) dan blok sphenopalatin. Obat lain, nasal spray zolmitriptan, dyhidroergotamin nasal spray atau serotonin 5-HT reseptor agonis oral (almotriptan),frovatriptan,naratriptan,rizatriptan,eletriptan atau sumatriptan). Terapi prophilactik dengan beta adrenergic bloker,calcium chanel bloker,asam valproat dan amitriptilin. CLUSTER HEADACHE Cluster headache secara klasik unilateral dan periorbital terjadi cluster satu sampai tiga serangan dalam sehari periode 4-8 minggu. Nyeri digambarkan seperti panas,sensasi drilling dimana pasien jadi terbangun saat tidur. Berlangsung 30-120menit. Remisinya setahun sekali. Mata merah,air mata menetes,pilek hidung,dan ptosis (sindrom horner) adalah temuan klasik. Headache berlangsung episodic tapi jadi kronik tanpa remisi. Cluster headache utamanya mengenai laki-laki(90%).Terapi abortif yaitu oksigen dan blok sfenopalatin. Terapi prophilaktik dengan lithium dan prednisone jangka pendek dan verapamil. ARTRITIS TEMPORAL Artritis temporal adalah gangguan peradangan arteri ekstrakranial. Headache terjadi bilateral atau unilateral, tumpul dan membosankan dan lokasinya daerah temporal pada kira-kira 50% pasien. Nyerinya berlangsung beberapa jam dan sesekali dan jelek pada malam hari dan cuaca dingin. Lunaknya kulit kepala biasanya ada. Artritis temporal adalah gangguan yang umum terjadi [pada usia tua (>55th dengan insiden 1 dalam 10000 pertahun dengan dominant wanita. Polymyalgia rematik, demam,dan berat badab turun juga ada. Diagnosis awal penting karena tanpa terapi progresif 65 menjadi buta karena melibatkan arteri optalmikus. Terapi Kortikosteroid sangat efektif. Biopsi arteri temporal dapat untuk konfirmasi. NEURALGIA TRIGEMINAL Nyeri pada neuralgia trigeminal (tic doloreux)unilateral secara klasik, biasanya lokasi di V2atau V3 distribusi saraf trigeminal. Ini mempunyai shock elektrik kedua lebih 2 menit dan sering dicetuskan dengantrigger area dengan cabang saraf yang terkena. Spasme otot fasial ada. Ini menyerang usia pertengahan dan pasien tua dengan perbandingan 2:1 perempuan dan laki-laki. Pada banyak pasien mengalami iritasi dari pembuluh darah yang berkelok di fossa posterior. Obat pilihannya adalah carbamazepin. Phenitoin atau baclofen bisa ditambahkan, terutama pada pasien yang tidak toleran dengan dosis permintaan carbamazepin. Terapi invasive untuk pasien yang tidak toleran dengan terapi obat termasuk injeksi gliserol atau ablation radiofrekuensi ganglion gasserian dan microsurgical dekompresi dari saraf trigeminal (prosedur Jannetta) DISKUSI KASUS; ANALGESI SETELAH BEDAH THORACOABDOMINAL Seorang laki-laki 21 th dikirim ke recovery room setelah operasi diseksi limphonodi thoracoabdominal kanan karena pertumbuhan keganasan testis. Incisinya melebar dari costa 8 sampai pubis dan terdapat thorakostomi kanan(chest tube). Dia terpasang kateter epidural untuk terapi nyeri post operatif. Sayangnya penempatan kateter sangat sulit karena gemuk dan tidak koperatif. Dia sudah ekstubasi dan sadar dari anestesianya dan nyeri berat dicatatan respirasinya 35X/menit. Sejumlah 10 mg morfin diberkan intravena sebelum keluhan nyeri dan jadi sangat mengantuk. Sementara itu pasien mendapat 50% oksigen dengan face mask, PaO258 mmHg,PaCO2 53 mmHg;pH 7,25 dan HCO3-21 mEq. Gambaran paru bersih postoperative. Mengapa pada Pasien Ini Menejemen Nyeri Sangat Penting? Pasien ini mempunyai resiko tinggi komplikasi paru karena gemuk dan incise yang luas thoracoabdominal. Dia tidak bisa ambil nafas dalam atau batuk secara efektif dan cenderung hipoksemia dan asidosis respiratorik. Faktanya, status respirasinya tidak baik., endotrakheal intubasi dengan control respirasi ventilator perlu dipertimbangkan. Foto thoraks sangat membantu mengetahui residual pneumothoraks kanan, hematothorak atau atelektasis lobaris yang bisa menjelaskan status respirasinya. Penjelasan temuan ini nyeri inadekuat hilang dengan kombinasi opioid dan mencetuskan depresi nafas. Hipoksemia menyebabkan mikroatelektase dan capasitas residual fungsional rendah,dimana hipoventilasi disebabkan splinting dari nyeri incisional efek residual dari zat anestesi(termasuk opioid) dan morfin postoperative. Jelasnya, analgesi opioid yang sempurna tidak didapatkan tanpa depresi nafas dan tidur dalam. 66 Apakah Ada Tambahan Obat Lain Untuk Nyeri pada Pasien Agar lebih Optimal? Opioid intravena tambahan akan menyebabkan depresi nafas dan ini dihindari (kecuali direintubasi). Opioid intratekal mungkin relative analgesi cepat pada bagian incise abdomen tapi membutuhkan beberapa jam untuk analgesianya;teknik ini juga mencetuskan depresi nafas. Ketorolac intravena dapat ditambahkan tanpa mendepresi nafas menurunkan kebutuhan opioid. Penggunaan ketorolac secepatnya setelah diseksi,bagaimanapun juga berbahaya karena efek antiplatelet dan resiko perdarahan posoperatif. Ketamin dosis rendah (10-20mg/jam) adalah analgesi poten dan tidak mendepresi nafas. Pada dosis tinggi, menyebabkan sdeasi dalam dan efek psikotomimetik. Meskipun infuse ketamin merupakan option baik, sedasi dalam perlu diperhatikan. Blok intercosta multiple dapat diberikan sebagai analgesi poten untuk incise thoraksik dan diindikasikan untuk pasien ini. 4-5 mm bupivakain 0,25 % dapat dipakai sesuai level dermatom yang cocok.Tambahan lagi, karena pasien sudah ada chest tube,resiko pnemothoraks minimal. Teknik yang hampir sama untuk analgesi pada obesitas adalah analgesi intrapleura. Apakah Analgesi Intrapleura? Teknik ini diberikan analgesi pada dinding dada dan abdomen atas. Penempatan kateter dalam jaringan dinding dada untuk memasukan anestesi local pada beberapa saraf intercosta. Istilah intrapleura dan interpleura dapat terbalik tapi yang terakhir lebih disukai. Apakah Dasar Anatomi Analgesi interpleura? Posterior space interkostal mempunyai 3 lapisan;lapisan otot, membrane intercosta posterior(aponeurosis otot intercosta interna)dan otot intimus intercostalis (bagian dari kelompok otot tranversus thoraksis,yang terusan dari transversusu abdominis). Sarasf intercosta berjalan antara membrane intercostals posterior dan otot intimus intercostals. Sedangkan membrane intercostals posterior membentuk komplit lapisan barier otot intercostals eksterna, otot intimus intercostals tidak komplit dan bebas dilewati cairan masuk ke space subpleura.Jadi analgesi interpleura dapat diberikan dengan kateter dalam ke otot intercostalis interna tapi superficial dari pleura parietal atau antara lapisan viscera dan parietal dari pleura. Pada kasus ini, anestesi local diinjeksikan dekat saraf intercosta. Jumlah saraf yang terkena tergantung level dari kateter,volume zat anestesi dan efek grafitasi. BAGAIMANA ANESTESI INTERPLEURA DILAKUKAN? Kateter single epidural biasanya jarumTuohy antara level T6 dan T8. Jarum dimasukan antara 8cm lateral dari posterior midline dan posterior garis axilaris.Kemudian jalan ke daerah inferior costa dan terus ke posisi dalam membrane posterior intercosta lapisan costa,atau antara space parietal dan 67 viscera. Pertama kali, bunyi pop melawan jarum masuk ke membrane intercostals posterior. Pada kedua kalinya,teknik loss of resistence dapat digunakan untuk identifikasi cavum pleura. Kateter dimasukan 3-6cm dari ujumg jarum dan difiksasi setelah jarum ditarik. Anestesi local (20-25 ml,biasanya 0,25% bupivakain)diinjeksikan. Rata-rata durasinya sekitar 7 jam (antara 2-18 jam) Konsentrasi puncak plasma\anestesi local terjadi 1520 menit setelah injeksi. Penambahan epinefrin pada larutan bupivakain menurunkan dan memperlama konsentrasi dalam plasma. Infus kontinyu juga bisa dilakukan denga rata-rata 0,125 ml/kg/jam APAKAH ADA INDIKASI LAIN UNTUK ANALGESI INTERPLEURA? Analgesi interpleura sangat efektif untuk pasien dengan multiple fraktur costa dan yang akan dilakukan cholesistektomi. Teknik ini juga dapat digunakan untuk nyeri dinding dada karena kanker herpes zoster akut dan neuralgia postherpetika. APAKAH BAHAYANYA ANESTHESI INTERPLEURA? Pneumothoraks adalah resiko nyata bila chest tube tidak sedia ditempat. Blok simpatis unilateral mungkin dilakukan dan dapat menghasilkan sindromhorner. Hematom dinding dada pernah terjadi. Absorbsi sistemik nyata, konsentrasi plasma tinggi dari anestesi local dapat ditemukan dengan infuse kontinyu, terutama setelah 2 hari. Untungnya, laporan klinis dari toksisitas sistemik jarang (kejang). Kadang-kadang, anestesi local dapat menyebar ke ruang epidural. 68