TINJAUAN PUSTAKA Sikap Definisi Sikap

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sikap
Definisi Sikap
Thurstone dalam Walgito (2003), memandang sikap sebagai suatu tindakan afeksi
baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek–obyek
psikologis. Afeksi yang positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi yang negatif adalah
afeksi yang tidak menyenangkan. Menurut Mar’at (1981), sikap merupakan suatu kondisi
psikologis yang didasarkan pada konsep evaluasi berkenaan pada obyek tertentu,
menggugah motif untuk bertingkah laku. Mara’at (1981) juga menyebutkan bahwa bahwa
sikap merupakan produk dari sosialisasi di mana seseorang bereaksi sesuai dengan
rangsang yang diterimanya. Jika sikap mengarah pada obyek tertentu berarti penyesuaian
diri terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesediaan untuk
bereaksi dari orang tersebut kepada obyek.
Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau
situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar
kepada orang tersebut untuk membuat respon atau perilaku dalam cara tertentu yang
dipilihnya (Walgito, 2003).
Menurut Rakhmat (2005), ada lima hal yang bisa disimpulkan dari berbagai definisi
mengenai sikap. Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan
merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap merupakan kecenderungan
untuk berperilaku dengan cara–cara tertentu menghadapi obyek sikap. Obyek sikap boleh
berupa benda, orang, tempat, gagasan, situasi atau kelompok. Jadi pada kenyataannya tidak
ada sikap yang berdiri sendiri. Sikap harus diikuti oleh kata “terhadap’’, atau pada obyek
sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukanlah sekedar
rekaman masa lalu, tetapi menentukan juga apakah orang harus pro dan kontra terhadap
sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan; meyampingkan apa
yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari.
Ketiga sikap relatif lebih menetap.
Berbagai studi menunjukan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan
jarang mengalami perubahan.
Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya
10
mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari
pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap
dapat diperteguh atau diubah.
Struktur Sikap
Menurut Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang membentuk
struktur sikap, yaitu komponen kognitif (komponen perseptual), komponen afektif
(Komponen emosional), dan komponen konatif (komponen perilaku). Komponen kognitif
merupakan komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu
hal yang berhubungan dengan bagaimana orang berpersepsi terhadap obyek sikap.
Komponen afektif yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau rasa tidak
senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak
senang merupakan hal yang negatif.
Komponen konatif merupakan komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap.
Komponen ini
menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap obyek sikap.
Ciri–Ciri Sikap
Menurut Walgito (2003), sikap memiliki ciri–ciri di antaranya adalah sikap tidak
dibawa sejak lahir, sikap itu berhubungan dengan obyek sikap, sikap dapat tertuju pada satu
obyek saja, tetapi juga dapat tertuju pada sekumpulan obyek–obyek, sikap bisa berlangsung
lama atau sebentar, sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi.
1. Sikap tidak dibawa sejak lahir
ini berarti manusia pada saat dilahirkan belum membawa sikap–sikap tertentu pada
suatu obyek. Karena sikap tidak dibawa sejak individu dilahirkan, ini berarti bahwa
sikap itu terbentuk dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu
sikap terbentuk dan dibentuk, maka sikap dapat dipelajari, dan karena itu sikap dapat
berubah.
2. Sikap itu selalu berhubungan dengan obyek sikap
11
Sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan obyek-obyek tertentu,
yaitu melalui proses persepsi terhadap obyek tersebut. Hubungan yang positif atau
negatif antara individu dengan obyek tertentu, akan menimbulkan sikap tertentu pula
dari individu terhadap obyek tertentu.
3. Sikap dapat tertuju pada satu obyek saja, tetapi dapat tertuju pada sekumpulan obyek–
obyek
Bila seseorang mempunyai sikap negatif pada orang lain maka orang tersebut akan
mempunyai kecenderungan untuk menunjukan sikap negatif pula kepada kelompok di
mana seseorang tersebut tergabung di dalamnya. Di sini terlihat adanya kecenderungan
untuk menggeneralisasikan obyek sikap.
4. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar
Kalau sikap telah terbentuk dan telah merupakan nilai dalam kehidupan seseorang,
secara relatif sikap itu akan bertahan lama pada diri orang yang bersangkutan.Sikap
tersebut akan sulit berubah, dan kalaupun dapat berubah akan memakan waktu yang
relatif lama. Tetapi sebaliknya bila sikap belum mendalam ada dalam diri seseorang,
maka sikap tersebut secara relatif tidak bertahan lama, dan sikap tersebut akan mudah
berubah.
5. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi
Ini berarti bahwa sikap terhadap sesuatu obyek tertentu akan selalu diikuti oleh
perasaan tertentu yang dapat bersifat positif (yang menyenangkan) tetapi juga dapat
bersifat negatif (yang tidak menyenangkan) terhadap obyek tersebut. Di samping itu
sikap juga mengandung motivasi, ini berarti sikap itu mempunyai daya dorong bagi
individu untuk berperilaku secara tertentu terhadap obyek yang dihadapinya.
Mar’at (1981) juga telah merumuskan dan merangkum perumusan sikap secara umum
maka dapat dikatakan:
1. Attitude are learned, hal ini berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun
diturunkan.
Tetapi diungkapkan bahwa sikap dipandang sebagai hasil belajar dan
diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang berulang – ulang dengan lingkungan.
12
2. Attitudes are referent, Sikap selalu dihubungkan dengan obyek sikap seperti manusia,
wawasan, pristiwa, ataupun ide.
3. Attitudes are social learning, yang berarti bahwa sikap diperoleh dalam berinteraksi
dengan manusia lain, baik di rumah, sekolah, tempat ibadah, ataupun tempat lainnya
melalui nasihat, teladan, atau percakapan
4. Attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak
dengan cara – cara tertentu terhadap obyek
5. Attitude are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari
sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif, ataukah
ragu – ragu
6. Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap suatu
obyek bisa kuat ataupun bisa lemah.
Pembentukan Sikap
Azwar (1995) mengemukakan bahwa sikap merupakan proses evaluatif yang
dilakukan individu. Oleh karena itu, mempelajari sikap berarti perlu juga mempelajari
faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaluatif sebuah sikap, yaitu:
1. Faktor-faktor genetik dan fisiologik: Sebagaimana dikemukakan bahwa sikap
dipelajari, namun demikian individu membawa ciri sifat tertentu yang menentukan arah
perkembangan sikap ini. Di lain pihak, faktor fisiologik ini memainkan peranan
penting dalam pembentukan sikap
2. Pengalaman Personal: Faktor lain yang sangat menentukan pembentukan sikap adalah
pengalaman personal atau orang yang berkaitan dengan sikap tertentu. Pengalaman
personal yang langsung dialami memberikan pengaruh yang lebih kuat daripada
pengalaman yang tidak langsung. Terdapat dua aspek yang secara khusus memberi
sumbangan dalam membentuk sikap, pertama adalah peristiwa yang memberikan kesan
kuat pada individu (salient incident), yaitu peristiwa traumatik yang mengubah secara
drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan.
Kedua yaitu munculnya obyek secara berulang-ulang (repeated exposure).
13
3. Pengaruh orang tua: Orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anakanaknya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya.
Contoh
peristiwa yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah orang tua pemusik,
akan cenderung melahirkan anak-anak yang juga senang musik.
4. Kelompok sebaya atau kelompok masyarakat memberi pengaruh kepada individu. Ada
kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman
sekelompoknya (Ajzen menyebutnya dengan normative belief).
5. Media massa adalah media yang hadir di tengah tengah masyarakat. Berbagai riset
menunjukkan bahwa foto model yang tampil di media masa membangun sikap
masyarakat bahwa tubuh langsing tinggi adalah yang terbaik bagi seorang wanita.
Perubahan Sikap
Sikap bisa diubah dengan berbagai cara. Seseorang bisa menerima informasi baru
dari manusia maupun melalui media massa yang mampu mengubah komponen
pengetahuan dari sikap seseorang itu. Semenjak adanya kecenderungan untuk konsisten di
antara komponen–komponen sikap, perubahan komponen kognitif akan direfleksikan
kepada perubahan komponen afektif dan juga perubahan pada komponen konatif. Sikap
juga bisa berubah melalui pengalaman langsung terhadap suatu obyek sikap (Triandis,
1971).
Suranto (1999), ada empat faktor yang menentukan sikap yaitu faktor fisiologis,
faktor pengalaman, faktor kerangka acuan dan faktor komunikasi sosial.
1. Faktor fisiologis mencakup umur
Pada umumnya anak muda memiliki sikap yang lebih radikal, orang dewasa bersikap
lebih moderat.
2. Faktor pengalaman turut mempengaruhi sikap seseorang.
Mereka yang pernah
mengalami peperangan yang mengerikan akan memberikan sikap negatif terhadap
peperangan.
3. Faktor kerangka acuan sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Sesuai tidaknya
obyek sikap terhadap kerangka acuan akan berhubungan dengan sikap positif ataupun
negatif orang tersebut terhadap suatu obyek.
14
4. Faktor komunikasi sosial yang berbentuk informasi dari seseorang kepada orang lain
dapat mengakibatkan perubahan sikap terhadap orang tersebut.
Menurut Suranto (1999), perubahan sikap yang mengarah kepada pengambilan
keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi,
karakteristik sosial, kebutuhan akan inovasi dan sistem sosial yang berlaku. Dalam kaitan
ini yang dimaksud karakteristik pribadi mencakup aspek seperti umur, tingkat pendidikan,
dan status seseorang dalam bidangnya.
Menurut Mar’at (1981), teori stimulus respon menitikberatkan pada perubahan
sikap yang dapat dipengaruhi “kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan
organisme”. Karakteristik dari komunikator (sumber) menentukan keberhasilan tentang
perubahan sikap seperti kredibilitasnya, kepemimpinannya dan gaya komunikasi. Hosland,
Janis dan Kelly dalam Mar’at (1981) beranggapan bahwa proses dari perubahan sikap
adalah serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap yang baru, ada tiga peubah
penting yang menunjang proses belajar tersebut, yaitu perhatian, pengertian dan
penerimaan. Menurut Mar’at (1981), terdapat beberapa faktor yang dapat menunjang dan
menghambat perubahan sikap.
Faktor-faktor yang menghambat antara lain, stimulus
bersifat indeferent sehingga faktor perhatian kurang berperan terhadap stimulus yang
diberikan, tidak memberikan harapan untuk masa depan, adanya penolakan terhadap
stimulus tersebut, sehingga tidak ada pengertian terhadap stimulus tersebut. Faktor-faktor
yang menunjang antara lain, dasar utama terjadinya perubahan sikap adalah adanya imbalan
dan hukuman di mana individu mengasosiasikan reaksinya yang disertai dengan imbalan
dan hukuman, stimulus mengandung harapan bagi individu sehingga dapat terjadi
perubahan sikap, stimulus mengandung prasangka bagi individu yang mengubah sikap
semula.
Pengukuran Sikap
Dalam pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya dapat
dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung.
Secara langsung, yaitu subyek
dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah yang dihadapkan
kepadanya.
Dalam hal ini dapat dibedakan langsung tidak berstruktur dan langsung
15
berstruktur.
Secara langsung tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan
wawancara bebas (free Interview), dengan pengamatan langsung atau dengan survey misal
public opinion survey, sedangkan cara langsung yang berstruktur, yaitu pengukuran sikap
dengan menggunakan pertanyaan–pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam
suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan kepada subyek yang diteliti
(Walgito, 2003), sedangkan pengukuran sikap dengan secara tidak langsung ialah
pengukuran sikap dengan menggunakan tes.
Sistem Ekologi Manusia
Konsep Ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara manusia dengan
lingkungannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan ekologi
atau ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di
sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Konsep ekologi manusia juga
dikaitkan dengan pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan sangat
bergantung pada faktor manusianya, yaitu seluruh penduduk dan sumberdaya alam yang
dimiliki serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaidah ekologi menetapkan
adanya ketahanan atau ketegaran (resilience) suatu sistem yang dipengaruhi oleh dukungan
yang serasi dari seluruh subsistem (Soerjani dalam Puspitawati 2009).
Mengingat manusia adalah mahluk sosial yang menyangkut hubungan antar pribadi
dan hubungan antar manusia dengan lingkungannya di sekitarnya, maka manusia tidak
dapat berdiri sendiri. Manusia akan sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya (baik
lingkungan mikro meso, dan makro). Brofenbrenner (1981) dalam Puspitawati (2009)
menyajikan model ekologi manusia untuk mengerti proses sosialisasi yang diterima oleh
anak.
Pada model tersebut dijelaskan bahwa lingkungan Mikrosistem merupakan
lingkungan terdekat dengan seorang individu, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya,
dan tetangga.
Lingkungan yang lebih luas lagi disebut lingkungan mesosistem, dan
akhirnya lingkungan yang paling jauh dari individu disebut dengan makrosistem
Pemikiran mengenai sistem merupakan satu konsep yang kompleks, terdiri dari
berbagai antar hubungan dan dipisahkan dari lingkungan sekitarnya oleh batasan tertentu.
Organisme jelas merupakan contoh sebuah sistem, begitu pula molekul, bangunan, planet,
16
dan galaksi.
Pemikiran umum sepert ini dapat pula diterapkan pada manusia dengan
berbagai tingkat kompleksitasnya.
Pada tingkat makro keseluruhan masyarakat dunia
(kemanusiaan) yang dapat dibayangkan sebagai sebuah sistem. Pada tingkat mikro, yang
dipandang sebagai sebuah sistem, komunitas lokal, asosiasi, perusahaan dan keluarga.
Sementara ini teori sistem juga didefinisikan sebagai suatu kerangka yang terdiri
dari beberapa elemen/sub elemen/sub sistem yang saling berinteraksi dan berpengaruh.
Konsep sistem digunakan untuk menganalisis perilaku dan gejala sosial dengan berbagai
sistem yang lebih luas maupun dengan sub sistem yang tercakup di dalamnya. Contohnya
adalah interaksi antar keluarga disebut sebagai sistem, anak merupakan subsistem dan
masyarakat merupakan supra sistem, selain kaitannya secara vertikal juga dapat dilihat
hubungannya secara horizontal suatu sistem dengan berbagai sistem yang sederajat. Dalam
pandangan Talcott Parsons dalam Puspitawati (2006), masyarakat dan suatu organisme
hidup merupakan sistem yang terbuka yang berinteraksi dan saling mempengaruhi dengan
lingkungannya. Sistem kehidupan ini dapat dianalisis melaui dua dimensi yaitu : interaksi
antar bagian-bagian/elemen-elemen yang membentuk sistem dan interaksi/pertukaran antar
sistem itu dengan lingkungannya. Talcott Parsons membangun suatu teori sistem umum
atau teori besar yang berisi empat unsur utama yang tercakup dalam segala sistem
kehidupan, yaitu: Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latent Pattern
Maintenance.
Sistem terdiri dari empat unsur penting yaitu: (1) Obyek, bagian, elemen, atau
peubah dalam sebuah sistem, Obyek ini dapat berupa fisik, abstrak ataupun keduanya,
tergantung pada sistem yang hendak dikaji; (2) Sebuah sistem terdiri dari Atribut – atribut,
Sifat – sifat yang melekat dalam obyek – obyek tersebut: (3) Di dalam sebuah sistem
terdapat hubungan antar obyek – obyek tersebut; dan (4) sebuah sistem hidup dalam sebuah
lingkungan. Sebuah sistem merupakan suatu rangkaian yang mempengaruhi satu dengan
yang lainnya dalam sebuah lingkungan dan membentuk pola yang lebih besar dan berbeda
dengan sistem yang lain. Sebuah sistem memiliki karakteristik masing-masing, biasanya
karakteristik tersebut adalah interdependensi, korelasi, sebab–akibat, rantai pengaruh,
hirarki, hubungan dengan lingkungan sekitar. Pada perspektif sistem, komunikasi dapat
dilihat sebagai proses yang terintegrasi di dalamnya dan bukan proses yang terpisah.
17
Keluarga
Keluarga adalah wahana untuk dan pertama bagi anggota–anggotanya untuk
mengembangkan potensi, mengembangkan aspek sosial dan ekonomi, serta penyemaian
cinta-kasih-sayang antar anggota keluarga. Pengertian keluarga menurut sejumlah ahli
adalah sebagai unit sosial–ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan
dasar dari semua institusi masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi
masyarakat, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang
memiliki jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah hubungan perkawinan, adopsi.
(Puspitawati, 2006)
Menurut Soelaeman dalam Puspitawati (2006) keluarga adalah sekumpulan orang
yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan
adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi dan saling memperhatikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian intensitas
komunikasi keluarga adalah tingkatan/ukuran seberapa sering komunikasi/interaksi terjadi
di antara orang tua dengan anak dalam rangka memberikan kesan, keinginan, sikap,
pendapat, dan pengertian,yang dilandasi rasa kasih sayang, kerja sama, penghargaan,
kejujuran, kepercayaan dan keterbukaan di antara mereka.
Secara tradisional keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang
dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki
tempat tinggal bersama. Galvin dan Brommel dalam Tubbs dan Moss (1996) menyatakan
bahwa keluarga adalah jaringan orang–orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka
waktu yang lama, yang terikat oleh perkawinan, darah atau komitmen, legal atau tidak,
yang menganggap diri mereka sebagai keluarga dan yang berbagi pengharapan–
pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan.
Orang tua dan anak adalah jaringan yang terikat oleh hubungan darah. Orang tua
mempunyai harapan–harapan tertentu pada anak-anaknya.
Mussen et al.
dalam
Puspitawati (2006) mengemukakan bahwa orang tua mempunyai tujuan khusus dan umum
untuk anak–anak mereka yang meliputi nilai moral, pengetahuan dan standar perilaku yang
harus dimiliki anak ketika sudah dewasa.
Orang tua mencoba berbagai cara untuk
mendorong anak mencapai tujuan tersebut. Orang tua menggunakan diri sebagai panutan
18
memberi hukuman, menjelaskan harapan dan kepercayaan kepada anak–anak untuk dapat
memiliki lingkungan yang baik.
Sosialisasi
Menurut Ihromi (1999), sosialisasi merupakan suatu proses transmisi kebudayaan
antargenerasi, karena tanpa sosialisasi masyarakat tidak dapat bertahan melebihi satu
generasi. Syarat penting berlangsungnya proses sosialisasi adalah interaksi, karena tanpa
adanya interaksi tidak mungkin adanya proses sosialisasi. Sementara itu menurut Zende
dalam Ihromi (1999), sosialisasi adalah proses interaksi sosial melalui mana seseorang
mengenal cara berpikir, berperasaan, dan berperilaku sehingga dapat berperan secara aktif
dalam masyarakat. Sementara itu menurut Goslin dalam Ihromi (1999) sosialisasi adalah
proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai
–nilai dan norma–norma. Sosialisasi adalah satu konsep umum yang bisa dimaknai sebagai
sebuah proses di mana seseorang belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara
berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana semua itu merupakan hal-hal yang sangat
penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses
yang terus terjadi selama hidup. Individu yang baru dilahirkan hanya sebagai mahluk
biologis yang memerlukan kebutuhan biologis seperti minum bila haus, makan bila lapar
dan bereaksi terhadap suatu rangsang tertentu seperti panas, dingin, dan lain sebagainya.
Setelah berinteraksi dengan individu lain yang berada pada lingkungan sekitarnya.
Individu dapat menjadi mahluk sosial dipengaruhi oleh faktor keturunan (heredity)
atau alam (nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan (nurture). Faktor
keturunan adalah faktor–faktor yang di bawa lahir dan merupakan transmisi unsur–unsur
dari orang tuanya melalui proses genetika, jadi sudah ada sejak awal kehidupan. Misalnya
jenis kelamin, suku bangsa warna kulit, yang kesemuanya tidak bisa diubah lagi. Faktor
lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi organisme, yang membuat kehidupan
bertahan. Misalnya pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya yang dapat berubah–ubah
dalam kehidupan individu serta tergantung pada usahanya.
Kedua faktor ini sama
pentingnya dan saling berinteraksi serta melengkapi dalam membentuk perilaku tertentu
dari individu. Jadi perilaku tertentu itu tergantung pada faktor keturunan dan pada apa
yang disediakan oleh lingkunganna.
Perilaku tertentu tidak mungkin terbentuk hanya
19
karena faktor keturunan saja tanpa adanya pengaruh dari lingkungannya ataupun
sebaliknya. Hanya saja setiap inidividu berbeda–beda dalam perkembangannya mana yang
lebih dominan, apakah faktor keturunannya ataukah pengaruh lingkungannya.
Sosialisasi dialami individu sebagai mahluk sosial sepanjang hidupnya dari mulai
individu dilahirkan sampai dengan meninggal dunia. Karena interaksi merupakan kunci
sukses berlangsungnya sosialisasi maka diperlukan agen sosialisasi yakni orang–orang di
sekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai–nilai atau norma tertentu baik secara
langsung maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini bersifat significant others (orang
yang paling dekat dengan individu) seperti orang tua, teman sebaya, dan guru (Ihromi,
1999).
Ihromi (1999) mengatakan bahwa menurut tahapannya sosialisasi dibedakan
menjadi dua tahap, yakni:
1. Sosialisasi primer, sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil,
melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahapan ini proses sosialisasi
primer membentuk kepribadian anak ke dalam dunia umum, dan keluarga berperan
sebagai agen sosialisasi.
2. Sosialisasi sekunder, didefinisikan sebagai proses yang memperkenalkan individu yang
telah disosialisasi ke dalam sektor baru di dunia obyektif masyarakatnya; dalam tahapan
ini proses sosialisasi mengarah pada terwujudnya sikap profesionalime pada dunia
khusus; dan dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah lembaga pendidikan,
peer group, lembaga pekerjaan, dan lingkungan yang lebih luas dari keluarga (Berger
dan Luckman dalam Ihromi 1999).
Sosialisasi bisa berlangsung secara tatap muka, bisa juga dalam jarak tertentu
melalui sarana media atau surat menyurat, bisa berlangsung secara formal maupun
infromal, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Sosialisasi dapat dilakukan demi
kepentingan orang yang disosialisasikan ataupun orang yang melakukan sosialisasi. Dalam
masyarakat yang homogen proses sosialisasi bisa berjalan dengan serasi menurut pola yang
sama karena nilai–nilai yang ditransmisikan dalam proses sosialisasi sama. Namun dalam
masyarakat yang heterogen di mana terdapat banyak kelompok dengan nilai yang tidak
20
sepadan dalam mempengaruhi individu, maka proses sosialisasi tidak berlangsung seperti
dalam masyarakat yang homogen. Pada masyarakat yang heterogen terdapat banyak agen
sosialisasi di luar keluarga yang menanamkan nilai yang berbeda dengan apa yang ada
dalam keluarga, bahkan kadang–kadang bertentangan. Dalam situasi demikian seseorang
dapat mengalami proses yang disebut desosialisasi yaitu proses ”pencabutan” nilai yang
telah tertanam yang kemudian disusul dengan resosialisasi.
Sosialisasi dalam Keluarga
Individu yang baru dilahirkan sejak awal sudah bukan sekedar makhluk biologis
yang hanya membutuhkan makan, minum dan sebagainya, melainkan sekaligus juga
makhluk sosial. Sosialisasi akan dialami individu sebagai makhluk sosial sepanjang
kehidupannya sejak dilahirkan hingga meninggal. Tempat sosialisasi paling awal bagi
individu adalah keluarga. Jadi dapat dikatakan keluarga sebagai sebuah mekanisme sosial
agar seseorang individu dapat mengetahui posisi dan kedudukannya sehingga ia akan
mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa. Peran sosialisasi yang
dialami seorang anak akan menentukan kepribadiannya di masa mendatang karena agen
sosialisasi pada masa anak-anak adalah orang tua dan anggota keluarga lainnya yang
merupakan significant others bagi anak dan orang tualah yang menjadi role mode bagi anak
dalam membentuk perilakunya (Ihromi, 1999)
Setiap anggota keluarga akan berinteraksi dan berkomunikasi. Interaksi dan
komunikasi di dalam keluarga membutuhkan unsur kedekatan. Hal ini merujuk pada
pernyataan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem manakala komunikasi dapat berperan
untuk mengatur kedekatan dan penyesuaian di antara anggota, melalui pola aliran pesan di
dalam jaringan yang melibatkan hubungan saling ketergantungan. Selain itu, faktor
kesetaraan dan keterbukaan dalam situasi keluarga memungkinkan bagi orang tua untuk
mengembangkan pendekatan dua arah, atau pendekatan yang bersifat dialogis menuju
kearah pembelajaran, sehingga kedekatan dan proses adaptasi dalam keluarga dapat
dilakukan dengan melibatkan hubungan saling ketergantungan di antara anggota keluarga
melalui situasi komunikasi yang bersifat setara dan dialogis, baik langsung atau tidak
langsung, keluarga akan memberikan informasi mengenai status dan peran gender sesuai
21
dengan kapasitas pemahamannya, informasi yang diberikan secara terus-menerus akan
menjadi proses penanaman nilai-nilai.
Tidak dapat dipungkiri, hubungan atau interaksi menjadi kepedulian kebanyakan
orang adalah hubungan dalam keluarga: keluarga mewakili suatu konstelasi hubungan yang
sangat khusus. Peran komunikasi orang tua sebagai pengasuh dan pendidik utama anak
dijelaskan oleh Popov dan Popov dalam Puspitawati (2009), yaitu sebagai pelindung dan
penguasa dalam menegakan peraturan; pemandu dan pembina dalam meningkatkan
keterampilan dan konselor dalam mengarahkan moral. Pada praktek pengasuhan antara
orang tua dan anak yang kemudian dikelompokan menjadi tiga gaya pengasuhan yang
meliputi gaya pengasuhan demokratis, permisif, dan otoriter.
Fungsi Sosialisasi dalam Keluarga
Puspitawati (2006) menjelaskan apabila antara anggota keluarga saling menanggapi
pesan dan menerima pesan tersebut maka sebenarnya telah terjadi komunikasi antar pribadi
dalam keluarga yang dialogis. Umpan balik dari komunikasi dalam keluarga berfungsi
sebagai unsur pemerkaya dan pemerkuat komunikasi antara anggota keluarga sehingga
harapan dan keinginan anggota keluarga dapat dicapai.
Cangara (2002) menjelaskan fungsi komunikasi dalam keluarga ialah meningkatkan
hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi
dalam keluarga, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan
pengalaman dengan orang lain. Komunikasi dalam keluarga dapat meningkatkan hubungan
kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Dalam hidup berkeluarga dan
bermasyarakat seseorang bisa mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya
karena memiliki banyak sahabat. Melalui komunikasi dalam keluarga, juga dapat dibina
hubungan yang baik, sehungga dapat menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik
di antara anggota keluarga.
Komunikasi dalam keluarga merupakan salah satu bentuk komunikasi antar pribadi
yang khas. Adapun ciri khas komunikasi antar pribadi yang membedakan dengan
komunikasi massa adalah : (1) terjadi secara spontan, (2) tidak mempunyai struktur yang
teratur atau diatur, (3 memperoleh) terjadi secara kebetulan, (4) tidak mengejar tujuan yang
22
telah direncanakan terlebih dahulu, (5) dilakukan oleh orang-orang yang identitas
keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas, (6) bisa terjadi sambil lalu
Cangara (2002) mengemukakan adanya komunikasi kelompok kecil sebagai bentuk
nyata dari komunikasi dalam keluarga. Proses komunikasi berlangsung antara dua orang
atau lebih secara tatap muka, di mana anggota-anggota keluarga saling berinteraksi satu
sama lainnya, Ciri-cirinya yaitu : (a) anggota-anggota keluarga terlibat dalam suatu proses
komunikasi yang berlangsung secara tatap muka, (b) pembicaraan berlangsung secara
terpotong-potong di mana semua anggota bisa berbicara dalam kedudukan yang sama,
dengan kata lain tidak ada pembicaraan tunggal yang mendominasi situasi, (c) sumber dan
penerima sulit diidentifikasi, artinya dalam situasi ini semua anggota keluarga bisa berperan
sebagai sumber sekaligus sebagai penerima. Karena itu pengaruhnya bisa bermacammacam. Tubbs and Moss (1996) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi yang
terjadi dalam komunikasi keluarga mempunyai enam ciri: (1) dilaksanakan atas dorongan
berbagai faktor, (2) mengakibatkan dampak yang disengaja, (3) seringkali berbalas-balasan,
(4) mengisyaratkan hubungan antar pribadi paling sedikit pada dua orang, (5) berlangsung
dalam suasana bebas, bervariasi dan berpengaruh, (6) menggunakan berbagai simbol yang
bermakna. Komunikasi di dalam keluarga memiliki ciri-ciri minimal adanya keterbukaan
empati dukungan, perasaan positif, dan kesamaan. Jika ciri-ciri tersebut ada dalam
komunikasi keluarga, maka akan terjadi komunikasi yang sehat.
Sosialisasi Keluarga Efektif
Pada dasarnya sosialisasi merupakan proses interaksi di mana interaksi sangat
membutuhkan suatu kegiatan komunikasi, maka komunikasi keluarga efektif tidak bisa
lepas dari karakter dan fungsi dari hubungan antara orang tua dengan anaknya. Komunikasi
keluarga merupakan unsur yang berperan dalam pembentukan kepribadian anggota
keluarga khususnya anak. Kegiatan komunikasi keluarga yang efektif yaitu jelas, singkat,
lengkap, mudah dimengerti, tepat dan saling memperhatikan, dapat membentuk gaya hidup
dalam keluarga yang sehat. Dampak situasi hubungan yang sehat antara orang tua dengan
anak, yaitu komunikasi yang penuh kasih sayang, persahabatan, kerjasama, penghargaan,
kejujuran, kepercayaan, dan keterbukaan akan membentuk ketentraman keluarga. Suasana
23
komunikasi yang demikian merupakan suasana yang menggairahkan bagi pertumbuhan
anak komunikasi akan efektif karena orang tua dapat membaca dunia anaknya (selera,
keinginan, hasrat, pikiran, dan kebutuhan).
Ritual sebagai Suatu Proses Sosialisasi dalam Keluarga
Para peneliti menggunakan istilah ritual dalam definisi yang berbeda–beda.
Beberapa ahli komunikasi berargumentasi bahwa semua bentuk komunikasi adalah ritual.
Menurut pandangan ini, komunikasi sebagai ritual mampu menyediakan alternatif dasar
pemikiran (rational) bahwa selain komunikasi sebagai transmisi, komunikasi juga bisa
sebagai ritual. Komunikasi sebagai suatu transmisi menekankan dan bertujuan pada proses
transmisi untuk menghasilkan dampak yang diinginkan, pemahaman, dan perubahan sikap.
Sementara ini komunikasi sebagai ritual menekankan komunikasi sebagai suatu perbuatan
yang dilakukan bersama–sama, menghargai ”kemagisan (magical), keaslian realitas,
keefektivan suatu simbol.
Dari dasar pemikiran tersebut maka peneliti yang meneliti
mengenai komunikasi keluarga akan mempelajari ritual secara bersamaan. Menurut Wolin
dan Bennet dalam Turner dan West (2006), terdapat 3 (tiga) bentuk ritual yang sangat
mempengaruhi peneliti, yaitu: Selebrasi, Tradisi, dan Interaksi yang terpola. Selebrasi
merupakan ritual yang dilakukan secara luas diseluruh budaya, contohnya liburan
Thanksgiving, Hari kemerdekaan, upacara seremonial seperti pernikahan, dan pemakaman.
Meskipun acara–acara tersebut merupakan suatu acara yang dilakukan oleh seluruh orang,
tetapi setiap keluarga memiliki cara–cara unik dalam menyelenggarakan acara tersebut.
Tradisi merupakan ritual yang lebih aneh lagi untuk setiap keluarganya dan tidak dilakukan
oleh masyarakat luas, artinya hanya spesifik dalam suatu keluarga, contoh dari tradisi
adalah liburan keluarga, reuni (arisan) keluarga, ulang tahun. Sementara itu interaksi
keluarga yang terpolakan (patterned family interaction) merupakan ritual yang biasa yang
tidak direncanakan, dan paling sering dilakukan oleh keluarga, contohnya seperti makan
malam, dongeng tengah malam, dan biasanya interaksi keluarga yang terpola merupakan
aktivitas yang dilakukan bersama–sama yang membangun dan menjaga identitas suatu
keluarga. Turner dan West (2006) mengatakan interaksi keluarga yang terpola sering sulit
dibedakan dengan kegiatan rutin dalam keluarga karena kedua hal tersebut merupakan
24
kegiatan–kegiatan yang biasa dilakukan dalam keluarga, tetapi perbedaannya adalah dalam
interaksi keluarga yang terpola terdapat makna–makna simbolik dimana terdapat suatu
kegiatan penghormatan akan sesuatu yang sedang dipertaruhkan.
Sosialisasi oleh Kelompok Bermain atau Teman Sejawat (Peers)
Narwoko dan Suyanto (2004) mengatakan bahwa Kelompok bermain baik yang
berasal dari kerabat, tetangga, maupun teman sekolah merupakan agen sosialisasi yang
pengaruhnya besar dalam membentuk pola–pola perilaku seseorang. Di dalam kelompok
bermain, seseorang mempelajari kemampuan baru yang acap kali berbeda dengan apa yang
dipelajari dari keluarga. Di dalam kelompok bermain individu mempelajari norma nilai,
kultur, peran, dan semua persyaratan yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan
partisipasinya yang efektif di dalam kelompok permainannya. Narwoko dan Suyanto
(2004) mengatakan kelompok bermain ikut menentukan dalam pembentukan sikap untuk
berperilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Berbeda dengan pola sosialisasi dalam
keluarga yang umumnya bersifat otoriter karena melibatkan hubungan tidak sederajat, di
dalam kelompok bermain pola sosialisasinya bersifat ekuilitas karena kedudukan pelakunya
relatif sederajat.
Menurut Tjakrawati (1988) keberhasilan teman/kerabat dan pengalaman baik dalam
suatu bidang pekerjaan menyebabkan petani mencoba dan menekuni pekerjaan itu,
sebaliknya bila melihat kegagalan teman/kerabat dan pengalaman pahitnya petani memilih
bertani, karena bertani merupakan pekerjaan yang sedikit mengandung resiko.
Selain
faktor ajakan teman/kerabat dan pengalamannya sendiri, faktor usia juga mempengaruhi
petani memilih pekerjaannya.
Teman maupun kerabat dapat memberi inspirasi dalam
melihat alternatif usaha yang dapat dilakukan, terlebih selama kebutuhan hidupnya sehari –
hari belum terpenuhi sehingga membuatnya berikhtiar terus mencari peluang–peluang
usaha di non-pertanian. Menurut Jaccard et al., (2005) Pemuda lebih terpengaruh oleh
teman sepermainan mereka, pemikiran tersebut muncul karena terinspirasi oleh pengaruh
sosial (social influence) dari beberapa ahli. Terdapat 2 (dua) peubah besar yang dapat
menggambarkan besarnya pengaruh teman sepermainan terhadap seorang remaja, peubah
pertama adalah peubah yang berhubungan dengan kedekatan (closeness) hubungan dengan
25
teman, yang kedua adalah besarnya lingkungan sosial (Social Network). Pada dasarnya
seorang teman dapat memberikan pengaruh yang kuat pada individu jika beberapa hal
terpenuhi, yaitu: (1) waktu yang dihabiskan bersama–sama dengan teman (2) memiliki
hubungan pertemanan yang saling menguntungkan (3) memiliki kesamaan dalam kegiatan
yang berresiko sebelumnya (4) jaringan pertemanan yang kecil dan (e) hubungan yang
tidak baik dengan keluarga.
Sosialisasi oleh Media Massa
Sementara itu masyarakat modern, komunikasi merupakan suatu kebutuhan yang
sangat penting terutama untuk menerima dan menyampaikan informasi dari satu pihak ke
pihak lain. Akibat pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu yang
sangat singkat, informasi-informasi tentang peristiwa–peristiwa, pesan singkat, berita, ilmu
pengetahuan, dan lain sebagainya.akan mudah diterima oleh masyarakat sehingga media
massa mempunyai peranan penting dalam proses mentransformasikan nilai–nilai baru
kepada masyarakat (Narwoko dan Suyanto, 2004).
Media massa merupakan media
sosialisasi yang kuat dalam membentuk keyakinan–keyakinan baru atau mempertahankan
keyakinan baru yang ada. Bahkan proses sosialisasi melalui media massa ruang lingkupnya
lebih luas dari pada media sosialisasi lainnya.
Nilai Pekerjaan dan Pandangan terhadap Kerja Pertanian.
Petani mengartikan kerja sebagai kegiatan yang mengandung unsur kewajiban,
keharusan dan mengikat manusia untuk melakukannya dan yang dapat memberi
penghasilan uang. Pengertian Kerja menurut Tjakrawati (1988) adalah jerih payah yang
dilakukan seseorang, pengerah tenaga untuk sesuatu tujuan yang terletak di luar tenaga
kerja itu sendiri dan bersifat ekonomis. Menurut Vink dalam Tjakrawati (1988), tidak
semua kerja di bidang pertanian di Indonesia dapat dianggap ekonomis karena masih
banyak hal yang ditentukan oleh tradisi keagamaan dan bukan pertimbangan ekonomis,
walaupun kerja di pertanian harus lebih mengarah ke sasarannya dengan meningkatkan
jerih payah mendapatkan nafkah.
26
Kerja diartikan sebagai bagian yang lebih khusus dari tindakan. Sajogyo (1987)
menyebutkan bahwa ciri–ciri orang bekerja yaitu: (1) kegiatan yang menghasilkan energi,
(2) kegiatan yang menghasilkan barang atau
jasa, (3) kegiatan yang mencerminkan
interaksi sosial, (4) kegiatan yang memberikan status sosial pada pekerjaan,dan (5) kegiatan
yang menghasilkan hasil langsung berupa uang, natura, maupun bentuk curahan waktu.
Menurut Herlina (2002) nilai kerja merupakan persepsi dan penghargaan terhadap
suatu aktivitas yang menghasilkan sesuatu bentuk materi maupun non-materi yang
memberikan kepuasan bagi seseorang. Sementara itu, nilai merupakan pilihan moral yang
berkaitan dengan apa yang dianggap baik dan buruk-pantas atau tidak dan dijadikan
pedoman bertingkah laku. Dengan demikian nilai kerja merupakan persepsi dan
penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan sesuatu bentuk materi maupun non
materi yang memberi kepuasan bagi keluarga buruh karena tujuan tercapai.
Sikap terhadap Pekerjaan Pertanian
Terjadinya perubahan sikap terhadap suatu pekerjaan menurut Parker dari penelitian
Rosenberg et al. dalam Tjakrawati (1988) dapat dilihat dari aspirasi, harapan, dan pilihan
terhadap responden.
Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa alasan seseorang
melakukan perubahan pekerjaan adalah keinginan mendapatkan pekerjaan yang sifatnya
mengandung tantangan, keinginan mendapatkan pekerjaan yang sifatnya mengandung
tantangan, keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang memberi kesempatan untuk
mengembangkan hubungan yang baik dengan masyarakat, dan yang lainnya. Sementara itu
dalam penelitian Tjakrawati (1988) ditemukan bahwa perubahan persepsi pekerjaan
pertanian pada pemuda tani akan sangat dipengaruhi oleh proses sosialisasi dalam keluarga
dan pengaruh dari luar, yakni kaitan desa dan kota, kaitan pertanian dan non–pertanian.
Koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Tjakrawati (1988) mengemukakan bahwa
sebagian besar rakyat Indonesia adalah petani sejak berabad–abad lamanya.
Dengan
demikian cara berpikir paling asli adalah cara berpikir rakyat petani. Selanjutnya dikatakan
bahwa sistem nilai budaya petani merupakan suatu konsep yang ada bukan saja petani di
pedesaan, tetapi juga pada masyarakat di kota.
27
Tjakrawati (1988) mengemukakan bahwa pandangan seseorang terhadap pekerjaan
dari sektor pertanian ke sektor non pertanian disebabkan oleh faktor–faktor pendorong dan
faktor penarik. Daya dorong (push-out) dan daya tarik (pull-out) merupakan konsep erat
dengan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Menurut Suryana dalam Tjakrawati
(1988) mengemukakan bila tanpa memperhatikan perpindahan geografi, push-out dan pullout terjadi sehubungan dengan jenis pekerjaan atau disebut juga mobilitas pekerjaan yang
diartikan sebagai perpindahan kerja penduduk dari suatu sektor perekonomian ke sektor
lain, misalnya dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian. Hal ini disebabkan oleh dua
hal, pertama bidang pertanian mendorong keluarnya angkatan kerja akibatnya pertambahan
penduduk yang besar tiap tahunnya. Kedua, ada daya tarik bidang non-pertanian yaitu
penciptaan lapangan pekerjaan di bidang non-pertanian.
Konsepsi Daya Dorong dan Daya Tarik:
Pertanian dan Non Pertanian
Daya dorong (push--out) dan daya tarik (pull-out) merupakan konsep yang
berhubungan dengan migrasi dari desa – kota. Bila tanpa melihat atau memperhatikan
perpindahan geografi, maka push-out dan pull-out terjadi sehubungan dengan jenis
pekerjaan, disebut juga mobilitas pekerjaan yang diartikan sebagai perpindahan kerja
penduduk dari suatu sektor perekonomian ke sektor lainnya, misalnya dari sektor pertanian
ke sektor non-pertanian (Suryana dalam Tjakrawati, 1988). Hal Ini disebabkan dua faktor,
pertama bidang pertanian mendorong keluarnya angkatan kerja akibat pertambahan
penduduk yang besar tiap tahunnya. Kedua, ada daya tarik bidang non-pertanian yaitu
penciptaan lapangan kerja di bidang non–pertanian yang lebih baik dari pada sektor
pertanian.
Lee dalam Tjakrawati (1988) mengemukakan model migrasi dengan
memperhatikan faktor–faktor di daerah asal dan daerah tujuan melalui rintangan. Faktor –
faktor di daerah tujuan melalui rintangan. Faktor–faktor di daerah asal maupun di daerah
tujuan terdiri dari faktor positif, negatif dan netral. Lalu di antara keduanya terdapat
sejumlah rintangan yang berupa jarak, ongkos dan lain–lain, sehingga dalam bermigrasi
tergantung pada pertimbangan: a) faktor-faktor daerah asal, b) faktor–faktor daerah tujuan,
c) rintangan–rintangan dan d) faktor-faktor pribadi yaitu tanggapan orang terhadap faktorfaktor itu, kepekaan pribadi, kecedasan, kesadaran tentang kondisi lain tempat yang
28
mempengaruhi evaluasinya terhadap tempat asal. Pengaruh terakhir adalah hubungan
seseorang itu dengan berbagai jenis sumber informasi yang tidak tersedia secara umum.
Todaro dalam Tjakrawati (1988) menyajikan suatu hipotesis yang mengatakan bahwa
migrasi desa–kota ditentukan oleh perbedaan tingkat pendapatan antara sektor pertanian
dan sektor non pertanian di perkotaan yang memperoleh imbalan gaji yang lebih baik.
Asumsi yang digunakan yaitu: calon migran akan pergi ke kota atas dasar harapan
memaksimalkan pendapatan sehingga besarnya perbedaan upah untuk skill yang kurang
lebih sama merupakan faktor terpenting dalam mengambil keputusan untuk bekerja di kota.
Perbedaan upah ini timbul karena rendahnya pendapatan dari kegiatan pertanian di desa dan
sementara itu tingkat upah lebih besar bagi pekerja tak terdidik di kota. Migran datang ke
kota dengan harapan suatu ketika akan mendapatkan pekerjaan walaupun ia mengalami
masa pengangguran. Dengan demikian terdapat dua hal yang menjadi pertimbangan orang
lebih bekerja di sektor non pertanian yaitu: a) perbedaan riil pendapatan antara kota dan
desa dan b) besarnya kesempatan kerja di kota berdasarkan persepsi tenaga kerja
(Singarimbun dalam Tjakrawati, 1988).
Pemuda
Perserikatan Bangsa – Bangsa (www.un.org/youth) mendefiniskan pemuda sebagai
seseorang yang berumur antara 14–24 tahun. Definisi ini dibuat pada saat persiapan untuk
persiapan hari internasional pemuda, selain itu PBB juga mendefinisikan anak–anak
sebagai seseorang yang masih berada pada umur di bawah 13 tahun.
Menurut Undang–Undang Kepemudaan No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan,
Pemuda didefinisikan warga negara Indonesia yang memasuki periode penting
pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh)
tahun. Kepemudaan adalah berbagai hal yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab,
hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda.
Berbagai definisi muncul untuk kata pemuda, Baik ditinjau dari fisik maupun psikis
akan siapa yang pantas disebut pemuda serta pertanyaan apakah pemuda itu identik dengan
semangat atau usia. Terlebih kaitannya dengan makna hari Sumpah Pemuda. Princeton
mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Websters sebagai “the time of life
29
between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or
inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person”, sedangkan
dalam kerangka usia, WHO menggolongkan usia 20–24 tahun sebagai young people,
sedangkan remaja atau adolescence dalam golongan usia 10-19 tahun. Contoh lain di
Canada di mana negara tersebut menerapkan bahwa “after age 24, youth are no longer
eligible for adolescent social services”.
Di kebanyakan negara usia 18 dikategorikan
seseorang tersebut telah dapat dikatakan pemuda. Bagaimana pun definisi operasional dari
pemuda sangat beragam pada setiap negara, semua itu bergantung kepada keadaan sosiokulturalnya, kelembagaan, ekonomi dan faktor ekonomi.
Tahapan Perkembangan Pemuda
Menurut Cobb (2010) pemuda sendiri dapat didefinisikan melalui terminologi
biologis, terminologi psikologis dan terminologi sosiologis. Secara biologis pemuda
didefinisikan sebagai suatu masa pubertas yang membentuk tubuh anak menjadi lebih
matang dan dewasa baik secara seksual maupun secara fisikal. Sementara itu secara
psikologis definisi pemuda membedakan pemuda dalam hal perkembangan tugas yang
harus mereka kerjakan, di mana setiap perkembangan tersebut berkaitan dengan proses
pembentukan identitas diri. Definisi sosiologis menjelaskan pemuda kaitannya dengan
status mereka dalam masyarakat sebagai sebuah periode transisi status antara masa anak
dan masa dewasa.
Menurut Hurlock dalam Muksin (2007), perkembangan berarti perubahan pada
remaja secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan pada
tinggi badan seseorang atau kemampuan seseorang, melainkan proses integrasi dari banyak
struktur dan fungsi yang kompleks. Setiap orang dalam rentang hidupnya memiliki tahapan
pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Havigurst dalam Muksin (2007) dalam rentang
perkembangan hidup ini maka terdapat periode kritis atau periode sensitif di mana
seseorang memiliki proses pembelajaran yang cepat dari berbagai pengalaman. Secara
keseluruhan menurut Hurlock dalam Muksin (2007) rentang perkembangan hidup ini dapat
dibagi ke dalam sepuluh tahapan sebagaimana ditunjukan Tabel 1 berikut: Terdapat ciri–
ciri khusus pada tahapan fase pemuda, di mana Cobb (2010) mengatakan bahwa hubungan
30
di dalam keluarga mengalami perubahan saat anak berubah menjadi seorang remaja.
Semakin bertambahnya usia, seorang remaja akan berkurang waktunya bersama keluarga,
hal tersebut dikarenakan para remaja sibuk dengan aktivitas–akti\vitas di luar rumah.
No
Tabel 1. Tahapan dalam rentang kehidupan
Tahapan Perkembangan
Keterangan Usia
1
Periode Pranatal
2
Neonatus
Kelahiran sampai akhir minggu ke – 2
3
Masa bayi
Akhir minggu ke -2 sampai akhir 2 tahun
4
Awal masa kanak – kanak
2 tahun–6 tahun
5
Akhir masa kanak – kanak
6 tahun–10 tahun
6
Masa pramasa remaja
10–12 tahun
7
Masa remaja awal
13–15 tahun
8
Masa remaja pertengahan
15–17 tahun
9
Masa remaja akhir
17–21 tahun
10
Awal masa dewasa
21–40 tahun
11
Usia pertengahan
40–60 tahun
12
Masa tua dan lanjut usia
Saat konsepsi sampai lahir
60 tahun–Tutup Usia
Sumber Havigurst dalam Muksin (2007)
Jumlah Pemuda
Dalam pengkategorian “pemuda” sangat penting untuk membedakan remaja (13-19
tahun) dan pemuda dewasa (20-24), karena mereka akan berbeda secara kondisi sosiologis,
psikologis dan kesehatan. Dewasa ini setidaknya terdapat 1 miliar pemuda. Hal ini berarti
terdapat 1 orang pemuda (15-24 tahun) di antara 5 orang, atau dengan bahasa lain 18%
populasi dari populasi dunia adalah pemuda.
Seperti yang bisa dilihat pada Tabel 2
meskipun secara jumlah populasi pemuda mengalami kenaikan dari tahun 1985 sampai
pada tahun 2025, tetapi proporsi atau persentase dari total populasi penduduk dunia,
pemuda mengalami penurunan.
31
Undang Undang No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan membawa konsekuensi
pada perubahan jumlah pemuda. Dalam UU Kepemudaan, kategori umur pemuda berubah
menjadi 16–30 tahun, sebelumnya kategori pemuda dari umur 15–35 tahun. Berdasarkan
data Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2005–2025 yang dilakukan oleh BPS, jumlah
pemuda mengalami pasang surut. Pada tahun 2009, jumlah pemuda sebanyak 62,77 juta
jiwa. Angka tersebut terus mengalami kenaikan sampai dengan tahun 2011 menjadi 62,92
juta jiwa. Namun sejak tahun 2012 jumlah pemuda mengalami kenaikan dan penurunan
hingga pada tahun 2015 diprediksikan jumlah pemuda menjadi 62,24 juta jiwa, atau turun
535,6 ribu jiwa dari tahun 2009.
Tabel 2. Jumlah pemuda dan proporsi pemuda di dunia
Tahun
Jumlah
Persentase dari Total Populasi
Pemuda
1985
941 Juta
19.4%
1995
1.019 Miliar
18.0%
2025
1.222 Miliar
15.4%
Sumber: www.un.org/youth
Masa remaja atau pemuda merupakan tingkatan (stages) bagi seorang sebelum
memasuki usia atau masa dewasa, di dalam masa remaja atau pemuda itu sendiri terdapat
tingkatan – tingkatan. Periode transisi ini berada pada usia seseorang antara 11 sampai 21
tahun yang berada pada perkembangan spesifik yang merujuk pada awal pemuda (early
adolescent) kira – kira berusia antara 11–14 tahun, pemuda menengah (mid adolescent)
kira – kira berumur 15–17 tahun, dan masa pemuda akhir (late adolescent) kira–kira
berumur 18–21 tahun. Manurut Cobb (2010) pemuda awal ditunjukan oleh permulaan
munculnya pubertasi dan juga perubahan badan seorang anak mejadi seorang yang dewasa.
Sementara itu pada pemuda akhir, fokus seorang pemuda mulai bergeser, lebih fokus untuk
menemukan jati diri dan mencari kesamaan dan keintiman dari sebuah hubungan.
Pemuda dan Pertanian
Generasi muda merupakan sumber insani bagi pembangunan masa depan, maka
posisi dan peranan generasi muda menempati kedudukan sangat strategis dalam
mengemban tugas masa depan. Dengan demikian hubungan antara pemuda tani dengan
pembangunan pertanian tidaklah dapat dipisahkan karena pemuda tani hari ini akan
32
menjadi petani di masa yang akan datang. Pertanian maju, modern dan tangguh akan
dicapai apabila petani sebagai pelaksana utama pembangunan pertanian juga tangguh dan
mandiri. Karena itu, ketangguhan dan kemandirian petani merupakan salah satu prasyarat
yang akan menentukan keberhasilan pembangunan pertanian.
Ketangguhan dan
kemandirian pemuda tani tergantung pada profesionalisme dan kesiapan aparat pembina
dalam mempersiapkan pemuda tani agar mereka tidak hanya memiliki bekal kemampuan,
tetapi juga memiliki kepekaan dan wawasan terhadap corak dan bentuk kehidupan masa
depan.
Dalam Pedoman Pembinaan Pemuda Tani yang dikeluarkan oleh Badan Diklat
Pertanian tahun 1992, pemuda tani digolongkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: a.Tarunatani
adalah generasi muda yang berusia 10-25 tahun, membantu kegiatan usahatani keluarga,
hidupnya tergantung pada penghasilan keluarga dan belum menentukan bidang pertanian
sebagai mata pencaharian, b.Petani muda adalah generasi muda yang berusia 17-35 tahun
berusaha sendiri, telah menentukan bidang pertanian sebagai sumber mata pencaharian dan
hidupnya tidak tergantung pada penghasilan keluarga. c.Taruna bumi adalah generasi muda
yang berusia 10-25 tahun anggota pramuka yang mencintai pertanian dan berminat bekerja
di bidang pertanian. Jika petani mempunyai organisasi yang kuat akan memudahkan bagi
pemerintah untuk memberdayakannya. Sebab, tidak mungkin bagi pemerintah untuk
berhadapan dengan petani satu per satu. Jadi pemerintah berhadapan dengan kelompok tani,
gabungan kelompok tani, organisasi tani dan lain-lain. Pemerintah berharap supaya
organisasi petani ini tumbuh dan berkembang. Tanpa organisasi petani, pemerintah sangat
berat untuk memberdayakan petani. Sebaliknya kalau petani sudah diberdayakan, mereka
menjadi “agent of change” di masyarakat
Download