LAPORAN KEBIJAKAN MONETER Triwulan II 2014 RINGKASAN EKSEKUTIF Perekonomian Indonesia pada triwulan II 2014 menunjukkan bahwa proses penyesuaian struktur perekonomian ke arah yang lebih seimbang masih terus berlangsung dengan ditopang oleh stabilitas makro ekonomi yang tetap terjaga. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari konsistensi kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013 untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan mengelola pertumbuhan ekonomi agar bergerak secara seimbang dan berkesinambungan. Selama triwulan I dan II 2014 serta Juli 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility (LF) dan suku bunga Deposit Facility (DF) masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5±1% pada 2014 dan 4,0%±1 pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah baik dalam konteks kebijakan siklikal mengelola permintaan domestik maupun kebijakan yang bersifat struktural dan jangka menengah. Di sisi global, pemulihan ekonomi dunia masih terus berlanjut. Perbaikan kondisi ekonomi global terutama ditopang oleh perekonomian negara-negara maju seiring dengan kebijakan moneter yang akomodatif dan meredanya tekanan fiskal. Pemulihan ekonomi AS yang semakin kuat tercermin dari revisi ke atas PDB pada triwulan I 2014 dan meningkatnya realisasi PDB pada triwulan II 2014, seiring dengan meningkatnya investasi, konsumsi, dan sektor eksternal. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang diprakirakan relatif terbatas sehingga mendorong berlanjutnya penurunan harga komoditas. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan II 2014 meningkat sebagai hasil dari stimulus yang dilakukan. Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2014 melambat dipengaruhi oleh kontraksi pertumbuhan ekspor, khususnya komoditas berbasis sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 tercatat 5,12% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 sebesar 5,22% (yoy). Perlambatan tersebut disebabkan oleh masih lemahnya kinerja ekspor komoditas sumber daya alam, seperti batubara, CPO, dan mineral. Hal ini tampak dari perkembangan ekonomi regional, dimana perlambatan ekonomi pada triwulan II 2014 berasal dari melambatnya ekonomi di beberapa daerah basis produksi komoditas tambang dan perkebunan, seperti Sumatera dan Kalimantan. Dari sisi permintaan domestik, perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama bersumber dari terkontraksinya belanja pemerintah, akibat penangguhan bantuan sosial dan melambatnya kegiatan investasi nonbangunan. Namun, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 masih mendapat dukungan dari kinerja konsumsi rumah tangga yang cukup kuat, antara lain, terkait aktivitas pemilu dan terjaganya daya beli masyarakat sejalan dengan tingkat inflasi yang menurun. Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membaik pada triwulan II 2014 meskipun defisit transaksi berjalan meningkat. NPI mencatat surplus ditopang kinerja transaksi modal dan finansial. Defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2014 mencapai USD9,1 miliar (4,27% dari PDB), menurun dari defisit pada triwulan II 2013 sebesar USD10,1 miliar (4,47% dari PDB) sejalan dengan kebijakan stabilisasi yang ditempuh oleh Laporan Kebijakan Moneter|1 Bank Indonesia dan Pemerintah, meskipun meningkat dari defisit pada triwulan I 2014 sebesar USD4,2 miliar (2,05% dari PDB) sejalan dengan pola musimannya. Peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas belum mampu mengimbangi peningkatan defisit neraca perdagangan migas. Ekspor komoditas seperti batubara, CPO dan mineral mengalami penurunan seiring dengan melambatnya pertumbuhan di negara emerging dan penerapan UU minerba sementara ekspor manufaktur seperti otomotif, tekstil dan pakaian jadi terus meningkat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Negara maju. Impor khususnya barang konsumsi dan minyak pada triwulan II 2014 relatif tinggi sejalan dengan faktor musiman lebaran. Sementara itu, pembayaran bunga utang luar negeri dan repatriasi dividen/kupon yang mengalami kenaikan akibat pola musiman pada triwulan II turut mendorong tekanan pada defisit transaksi berjalan. Di sisi transaksi modal dan finansial, surplus transaksi modal dan finansial meningkat cukup besar pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, ditopang oleh tingginya arus masuk investasi portofolio dan PMA sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Indonesia meningkat menjadi 110,5 miliar dolar AS, setara 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan kembali membaik di triwulan-triwulan berikutnya, seiring dengan terus membaiknya ekspor manufaktur dan kembali dimulainya ekspor mineral, serta tren melambatnya impor nonmigas. Rupiah mengalami tekanan depresiasi dengan volatilitas yang terjaga. Pada triwulan II 2014, rupiah secara point-to-point melemah 4,18% (qtq) ke level Rp11.855 per dolar AS, sedangkan secara rata-rata rupiah masih mencatat penguatan sebesar 1,76% ke level Rp11.629 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah dipengaruhi oleh permintaan korporasi yang cenderung meningkat sesuai dengan pola musimannya untuk pembayaran ULN dan repatriasi dividen/kupon. Selain itu, faktor sentimen terkait dengan perilaku investor yang menunggu hasil Pemilihan Umum Presiden serta kondisi eksternal, seperti krisis geopolitik Ukraina dan konflik Irak, juga berdampak pada pergerakan rupiah. Pada bulan Juli 2014, rupiah mencatat penguatan, ditopang oleh pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden yang lancar dan aman. Rupiah secara rata-rata menguat 1,8% (mtm) ke level Rp11.682 per dolar AS atau secara point-to-point menguat 2,4% dan ditutup di level Rp11.578 per dolar AS. Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya. Inflasi terjaga dan berada dalam tren yang menurun sehingga mendukung prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1%. Inflasi triwulan II 2014 tercatat 6,70% (yoy), menurun dibandingkan 7,32% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Inflasi yang terkendali berlanjut di bulan Juli 2014, tercatat sebesar 0,93% (mtm) atau 4,53% (yoy), cukup rendah bila dibandingkan pola musiman Lebaran dalam tiga tahun terakhir. Penurunan tersebut ditopang oleh menurunnya tekanan inflasi volatile food dan terjaganya inflasi inti. Inflasi volatile food menurun seiring dengan pasokan yang membaik terkait dengan datangnya musim panen. Sementara itu, terjaganya inflasi inti ditopang oleh moderasi permintaan domestik, minimalnya tekanan harga global, serta ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Stabilitas sistem keuangan masih solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Pada akhir triwulan II 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Laporan Kebijakan Moneter|2 Ratio/CAR) masih tinggi sebesar 19,40%, jauh di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,00%. Sementara itu, pertumbuhan kredit kepada sektor swasta melambat menjadi 16,6% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan di akhir triwulan I 2014 sebesar 19,1%(yoy), sejalan dengan proses penyesuaian dalam perekonomian. Kondisi likuiditas baik dalam perekonomian maupun perbankan pada triwulan II 2014 relatif terjaga, tercermin pada pertumbuhan M2 dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang meningkat masing-masing 13,1% (yoy) dan 13,6% (yoy), serta relatif stabilnya suku bunga pasar uang. Beberapa bank mengalami keketatan likuiditas, terutama yang masih cenderung ekspansif, sehingga mendorong persaingan dana dan peningkatan suku bunga perbankan. Sementara itu, kinerja pasar modal pada triwulan II 2014 dan Juli 2014 juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada dalam tren meningkat. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian masih akan mengalami penyesuaian didukung dengan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mencapai 5,1-5,5%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya, namun cenderung mendekati batas bawahnya. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan PDB dunia yang tidak sekuat prakiraan sebelumnya dan penghematan penghematan belanja Pemerintah pada APBNP 2014. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih lemah mengakibatkan kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya, sementara penghematan pengeluaran pemerintah mendorong melambatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, tidak berubah dari proyeksi semula. Perbaikan itu seiring dengan perkiraan kondisi ekonomi global yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Terkait dengan hal tersebut, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan juga diprakirakan akan meningkat. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014, inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5±1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat kembali mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0±1%. Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang berpotensi meningkatkan tekanan pada stabilitas makroekonomi dan menganggu tercapainya sasaran inflasi dan perbaikan kinerja transaksi berjalan. Dari sisi global, risiko yang dihadapi berkaitan dengan ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed yang dapat menganggu prospek penanaman modal asing. Risiko global lainnya adalah risiko munculnya spill-over and spill back dari melemahnya perekonomian emerging market. Dari sisi domestik, risiko yang tetap perlu diwaspadai adalah potensi tekanan penyesuaian administered prices seperti tarif listrik dan peningkatan harga pangan. Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga LF dan suku bunga DF masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4,0±1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia juga akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian domestik dan pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN), khususnya ULN korporasi. Selain itu, Bank Indonesia juga akan meningkatkan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan agar Laporan Kebijakan Moneter|3 proses penyesuaian ekonomi dapat berjalan baik dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang sustainable ke depan. Laporan Kebijakan Moneter|4 halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Kebijakan Moneter|5 1 PERKEMBANGAN EKONOMI DAN MONETER TERKINI Perekonomian Indonesia pada triwulan II 2014 dan Juli 2014 menunjukkan bahwa proses penyesuaian struktur perekonomian ke arah yang lebih seimbang masih terus berlangsung dengan ditopang oleh stabilitas makro ekonomi yang tetap terjaga. Kondisi ini tercermin dari permintaan domestik yang terkendali dan inflasi yang berada dalam tren menurun, meskipun defisit transaksi berjalan meningkat antara lain karena pola musiman triwulan II 2014. Walaupun mengalami peningkatan defisit dibanding triwulan sebelumnya akibat pola musiman, kinerja transaksi berjalan triwulan II 2014 lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja transaksi berjalan tersebut terutama ditopang oleh kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas seiring penurunan impor yang mengikuti pelemahan permintaan domestik. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari berbagai arah kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013 dan ditopang oleh pemulihan ekonomi global. Selama triwulan I dan II 2014 serta Juli 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga LF dan suku bunga DF masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5±1% pada 2014 dan 4,0%±1 pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah baik dalam konteks kebijakan siklikal mengelola permintaan domestik maupun kebijakan yang bersifat struktural dan jangka menengah. Perkembangan Ekonomi Dunia Perbaikan kondisi ekonomi global masih terus berlanjut. Perbaikan tersebut terutama ditopang oleh perekonomian negara-negara maju, seperti AS dan Eropa, seiring dengan kebijakan moneter yang akomodatif dan meredanya tekanan fiskal. Perbaikan kondisi ekonomi global tersebut berdampak pada kenaikan volume perdagangan dunia. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang diperkirakan relatif terbatas sehingga mendorong masih berlanjutnya penurunan harga komoditas, khusus penurunan pertumbuhan harga CPO akibat melemahnya permintaan dan meningkatnya pasokan. Pemulihan ekonomi AS yang semakin kuat tercermin dari revisi ke atas PDB pada triwulan I 2014 dan meningkatnya realisasi PDB pada triwulan II 2014. Data PDB AS triwulan I 2014 yang sebelumnya tercatat 1,5% (yoy) mengalami revisi ke atas menjadi 1,9% (yoy) karena lebih tingginya consumer spending dan investasi dibandingkan dengan estimasi sebelumnya. Pada triwulan II 2014, realisasi PDB AS meningkat menjadi 2,4% (yoy) yang didorong oleh meningkatnya investasi, restocking inventory dan kembali menggeliatnya aktivitas ekspor dan impor. Indikator-indikator utama di AS hampir seluruhnya menunjukkan perbaikan. Sektor manufaktur AS terus membaik sebagaimana tercermin pada data Purchasing Managers Index (PMI) yang meningkat (Grafik 1.1). Di sisi konsumsi, tingkat penjualan ritel AS pasca “big freeze” pada awal tahun melonjak cukup tinggi. Sementara itu, perkembangan di sektor tenaga kerja menunjukkan perbaikan seiring dengan tingkat pengangguran yang terus berada pada tren menurun (Grafik 1.2). Laporan Kebijakan Moneter|6 Grafik 1.1 PMI Manufaktur AS Grafik 1.2 Indikator Sektor Tenaga Kerja AS Perkembangan ekonomi Eropa juga membaik didukung paket kebijakan ECB dalam mendorong kredit dan investasi. Beberapa kebijakan ECB tersebut yaitu negative deposit rate (standing facility) dan targeted long-term refinancing operations akan dapat berdampak positif terhadap penyaluran kredit dan perbaikan iklim investasi sehingga pada gilirannya diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Eropa. Perkembangan beberapa indikator utama di Eropa masih tetap berada pada tren yang positif. Data PMI Eropa sampai dengan Juni 2014 masih terus ekspansif, meskipun sedikit menurun pada dua bulan terakhir (Grafik 1.3). Di sisi konsumsi, data penjualan ritel Juni 2014 masih menunjukkan pertumbuhan yang positif, meski sedikit menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Grafik 1.4). Sementara itu, tingkat pengangguran Eropa masih terus berada pada tren yang menurun (Grafik 1.4). Grafik 1.3 PMI Manufaktur Eropa Grafik 1.4 Penjualan Ritel dan Tingkat Pengangguran Eropa Perkembangan positif juga terjadi pada perekonomian Jepang. Pascakebijakan kenaikan pajak penjualan, perkembangan ekonomi di Jepang justru menunjukkan perkembangan positif. Sektor manufaktur mengalami peningkatan (Grafik 1.5) sehingga mendorong perbaikan kondisi tenaga kerja dengan adanya kenaikan gaji dasar, pembayaran bonus dan uang lembur serta penambahan full-time employment. Perbaikan di sektor tenaga kerja tersebut berhasil meningkatkan konsumsi masyarakat dan pada gilirannya berdampak positif terhadap sentimen bisnis ke depan (Grafik 1.6). Sejalan dengan pencapaian positif tersebut, kebijakan Abenomics selanjutnya diharapkan dapat menopang ekonomi demi pertumbuhan ekonomi Jepang yang berkesinambungan. Kebijakan tersebut juga ditujukan demi mencapai target pertumbuhan potensial 2% via Laporan Kebijakan Moneter|7 peningkatan produktivitas di tengah tantangan demografis penduduk yg semakin menurun. Grafik 1.5. PMI Manufaktur Jepang Grafik 1.6. Penjualan Ritel dan Sentimen Ekonomi Jepang Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang diprakirakan relatif terbatas meskipun pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan II 2014 meningkat sebagai hasil dari stimulus yang dilakukan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan II 2014 meningkat menjadi 7,5% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 7,4% (yoy). Perkembangan tersebut sejalan dengan penguatan konsumsi masyarakat dan peningkatan investasi. Konsumsi masyarakat yang menguat tercermin pada pertumbuhan penjualan eceran (retail) yang berada dalam tren meningkat sejak Mei (demand revival) (Grafik 1.7). Sementara itu, peningkatan investasi sejalan dengan kinerja sektor manufaktur yang juga terus meningkat dan ekspansif (Grafik 1.8). Investasi aset tetap pada Juni 2014 mengalami peningkatan karena didukung oleh kebijakan mini stimulus Pemerintah Tiongkok Kebijakan mini stimulus tersebut ditargetkan untuk meningkatkan pertumbuhan pada sektor-sektor yang masih under-capacity seperti sektor infrastruktur di pedesaan, housing untuk rumah pertama, proyek irigasi serta penyaluran kredit UMKM. Meskipun berbagai perkembangan terkini menunjukkan peningkatan, proses rebalancing ekonomi Tiongkok masih terus berlangsung. Di sisi lain, ekonomi India juga diperkirakan terus mengalami perbaikan dan masih sejalan dengan perkiraan sebelumnya. Hal ini, antara lain, tercermin dari kenaikan indikator sektor manufaktur (PMI) India di bulan Juli meningkat mencapai 53,0 dibandingkan bulan sebelumnya (51,5). Grafik 1.7. Retail Sales dan Investasi di Grafik 1.8. PMI Manufaktur Tiongkok Tiongkok Seiring dengan pertumbuhan ekonomi global yang membaik, aktivitas perdagangan internasional turut meningkat, meskipun harga komoditas masih melanjutkan tren penurunan. Kondisi ekonomi AS dan negara maju lain yang pada umumnya yang membaik berdampak pada meningkatnya perdagangan internasional. Laporan Kebijakan Moneter|8 Volume perdagangan dunia diperkirakan akan terus mengalami perbaikan. Namun, dampak perbaikan ekonomi global terhadap kenaikan harga komoditas belum terlalu kuat. Sampai dengan triwulan II 2014, pertumbuhan harga komoditas global masih belum mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pertumbuhan harga komoditas masih berada pada teritori negatif, terutama dipengaruhi oleh penurunan pertumbuhan harga palm oil (CPO) sejalan dengan meningkatnya pasokan dan rendahnya harga barang substitusi CPO, yakni kedelai (soybean) karena pasokan yang melimpah di US. Sementara itu, ke depan, harga minyak dunia juga diperkirakan masih berada pada tren yang menurun karena pasokan yang bertambah terutama dari negara-negara OECD dan nonOPEC. Perkembangan di pasar keuangan global cukup kondusif, meskipun sempat mengalami tekanan terkait koreksi outlook ekonomi dunia 2014 oleh IMF. Pada akhir Juli 2014, IMF melakukan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2014 dari 3,6% menjadi 3,4% yang disebabkan oleh melemahnya kinerja ekonomi Tiongkok dan AS serta meningkatnya intensitas konflik militer yang mendorong kenaikan harga minyak dunia. Namun, kondisi pasar keuangan global kembali kondusif karena dipengaruhi oleh rilis data ekonomi terkini dari Tiongkok dan AS yang membaik. Hal tersebut menjadi sentimen positif yang mendorong kenaikan mayoritas bursa saham global (Grafik 1.9). Selain itu, penguatan bursa juga dipengaruhi oleh rilis pendapatan emiten yang lebih baik. Searah dengan pergerakan bursa saham global, mayoritas mata uang global juga menguat terhadap dollar AS terutama mata uang EM Asia. Grafik 1.9 Perkembangan Bursa Saham Global Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2014 melambat dipengaruhi oleh kontraksi pertumbuhan ekspor, khususnya komoditas berbasis sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 tercatat 5,12% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 sebesar 5,22% (yoy) dan sedikit lebih rendah perkiraan Bank Indonesia sebelumnya (Tabel 1.1). Perlambatan tersebut disebabkan oleh masih lemahnya kinerja ekspor komoditas sumber daya alam, seperti batu bara, CPO, dan mineral mentah. Dari sisi permintaan domestik, perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama bersumber dari terkontraksinya belanja pemerintah, akibat penangguhan bantuan sosial dan melambatnya kegiatan investasi nonbangunan. Namun, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 masih mendapat dukungan dari kinerja konsumsi rumah tangga yang cukup kuat dan investasi bangun. Sementara itu, impor yang menurun akibat moderasi permintaan domestik membantu mengurangi tekanan eksternal akibat penurunan ekspor. Laporan Kebijakan Moneter|9 %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan 2013 Komponen I II III IV Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa 5.24 0.44 5.54 3.58 -0.03 5.15 2.17 4.47 4.82 0.69 5.48 8.91 4.54 5.25 5.09 5.25 6.45 4.37 7.40 -0.60 PDB 6.03 5.76 5.63 5.72 2013 2014 I II 5.28 4.87 4.71 5.30 1.21 5.61 3.58 5.14 -0.44 -0.73 5.59 -0.71 4.53 -1.04 -5.02 5.78 5.22 5.12 Sumber : BPS Kontraksi ekspor pada triwulan II 2014 didorong oleh melambatnya permintaan dari negara berkembang dan penerapan UU minerba. Ekspor kembali mengalami kontraksi sebesar -1,04% (yoy), lebih besar dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar -0,44% (yoy). Sebagian ekspor barang tambang masih terhenti akibat kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, sementara ekspor komoditas batu bara dan CPO menghadapi pelemahan permintaan Hingga bulan Juni 2014, belum terdapat realisasi ekspor tembaga, bauksit, dan nikel. Selain itu, kinerja ekspor semakin tertahan oleh permintaan dunia untuk komoditas ekspor CPO dan batubara yang melemah . Ekspor CPO melambat seiring permintaan dari Tiongkok yang menurun. Faktor permintaan yang melemah dari Tiongkok dan India juga menekan kinerja ekspor batubara sepanjang triwulan II 2014. Namun demikian, ekspor riil manufaktur, seperti TPT, alas kaki, dan alat listrik, tumbuh meningkat pada bulan Juni 2014 seiring pertumbuhan ekonomi negara maju yang membaik (Grafik 1.10). Ekspor komoditas manufaktur lainnya, seperti logam dasar khusus untuk tembaga dan nikel juga mencatat kenaikan. Sementara itu, ekspor pertanian tumbuh meningkat didorong oleh ekspor komoditas utama seperti ikan dan rempah yang meningkat. Grafik 1.10 Ekspor Nonmigas Riil Dari sisi domestik, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2014 bersumber dari kontraksi konsumsi pemerintah. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 tercatat sebesar -0,71 (yoy), lebih rendah dari triwulan I 2014 sebesar 3,58% (yoy) dan perkiraan Bank Indonesia sebelumnya. Berdasarkan komponennya, kontraksi konsumsi pemerintah disebabkan penangguhan penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) dalam rangka pemberdayaan masyarakat sehingga komponen belanja barang dalam PDB menjadi lebih rendah. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 10 Selain konsumsi pemerintah, perlambatan ekonomi disebabkan oleh kinerja investasi yang kembali melambat, khususnya investasi nonbangunan. Secara keseluruhan, investasi mengalami perlambatan dari 5,14% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 4,53% (yoy) pada triwulan II 2014. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh pertumbuhan negatif investasi nonbangunan, khususnya investasi alat angkutan luar negeri yang masih mengalami kontraksi sejalan dengan kinerja ekspor tambang yang belum membaik. Kondisi ini terindikasi dari data impor barang modal dalam bentuk kendaraan dan peralatan terkait alat angkut yang menurun. Penjualan alat berat domestik turun disebabkan oleh kinerja sektor pertambangan yang masih terkontraksi (Grafik 1.11). Di tengah perlambatan investasi nonbangunan, investasi bangunan pada triwulan II 2014 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan investasi bangunan ini terindikasi dari peningkatan penjualan semen dan impor barang konstruksi (Grafik 1.12). Kondisi tersebut turut didukung oleh optimisme sektor konstruksi yang lebih baik dibandingkan kondisi di awal tahun. Grafik 1.11 Investasi Nonbangunan dan Penjualan Alat Berat Grafik 1.12 Indikator Investasi Bangunan Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 masih mendapat dukungan dari kinerja konsumsi rumah tangga yang cukup kuat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2014 tercatat 5,59% (yoy), sedikit lebih rendah dari triwulan I 2014 yang tumbuh 5,61% (yoy). Hal ini antara lain ditopang oleh belanja terkait aktivitas Pemilu, sebagaimana tercermin pada membaiknya kinerja industri makanan minuman dan industri kertas. Beberapa lembaga survei juga mencatatkan adanya optimisme masyarakat yang tetap kuat sejalan dengan peningkatan keyakinan konsumen selama triwulan II 2014 (Grafik 1.13). Selain itu, daya beli konsumen yang terjaga seiring tren penurunan inflasi selama triwulan berjalan juga menopang stabilitas konsumsi rumah tangga. Indikator lain yang dapat menggambarkan kuatnya konsumsi rumah tangga adalah penjualan motor yang meningkat sebagai efek Hari Raya Idul Fitri (Grafik 1.14). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 11 Grafik 1.13 Indeks Keyakinan Konsumen Grafik 1.14 Penjualan Motor Di tengah kontraksi ekspor, kontraksi impor yang lebih besar akibat moderasi permintaan domestik dapat mengurangi tekanan eksternal dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Impor kembali mengalami kontraksi yang lebih besar pada triwulan II 2014 menjadi -5,02% (yoy) dari -0,73% (yoy) pada triwulan I 2014. Kontraksi impor tersebut terjadi seiring melambatnya ekspor dan investasi nonbangunan. Berdasarkan kelompoknya, kontraksi yang semakin dalam terjadi pada kelompok impor bahan baku dan barang konsumsi (Grafik 1.15). Sementara itu, kontraksi impor barang modal, meskipun mengecil, masih berlangsung akibat kontraksi pada impor alat angkut. Grafik 1.15 Impor Nonmigas Riil Secara sektoral, pertumbuhan sektor tradables pada triwulan II 2014 relatif stabil dibandingkan dengan triwulan I 2014 (Tabel 1.2). Sektor pertambangan tetap terkontraksi akibat ekspor mineral yang masih terhenti dan permintaan ekspor batubara yang melemah. Sektor industri dapat tumbuh stabil ditopang oleh peningkatan kinerja subsektor industri makanan minuman dan kertas yang merespon peningkatan aktivitas pemilu. Sementara itu, sektor pertanian tumbuh meningkat sesuai proyeksi didorong oleh kinerja subsektor perkebunan dan peternakan yang meningkat. Pada sektor nontradables, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR), sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (LGA) tumbuh melambat. Perlambatan sektor PHR terutama terjadi pada subsektor perdagangan terkait dengan kinerja ekspor dan impor yang menurun. Sektor pengangkutan termoderasi karena kinerja angkutan laut yang turun terkait infrastruktur yang kurang mendukung. Di sisi lain, sektor nontradables lainnya yaitu sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan, dan jasa, serta sektor jasa-jasa tumbuh meningkat. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 12 %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 1.2 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha Sektor 2013 I II III IV Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan 3.70 0.10 6.00 3.30 -0.60 6.00 3.30 2.00 5.00 3.80 3.90 5.30 Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan Jasa-jasa 7.90 6.80 6.50 9.60 8.20 6.50 4.00 6.60 6.40 10.90 7.70 4.48 3.80 6.20 6.10 9.90 7.60 5.60 6.0 5.83 5.62 PDB 2013 2014 I II 3.54 1.34 5.56 3.22 -0.26 5.13 3.39 -0.15 5.04 6.60 6.70 4.80 10.30 6.80 5.30 5.58 6.57 5.93 10.19 7.56 5.46 6.31 6.54 4.79 10.21 6.16 5.71 5.77 6.59 4.53 9.53 6.18 5.68 5.70 5.78 5.22 5.12 Sumber : BPS Secara regional, perlambatan ekonomi pada triwulan II 2014 berasal dari melambatnya ekonomi di Jawa dan beberapa daerah basis produksi komoditas tambang dan perkebunan, seperti Sumatera dan Kalimantan. Perlambatan ekonomi Jawa dan Sumatera sejalan dengan melemahnya kinerja sektor pertanian. Namun, perkembangan sektor industri pengolahan yang meningkat seiring dengan membaiknya kinerja ekspor manufaktur dan membaiknya kinerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), dapat menahan perlambatan ekonomi Jawa dan Sumatera lebih lanjut. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami perbaikan terutama didorong oleh sektor industri pengolahan di Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua). Namun demikian, kinerja di sektor tambang masih lemah terutama dipengaruhi oleh menurunnya permintaan batubara. Beberapa daerah yang merupakan basis produksi tambang seperti Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, dan Sulawesi Tengah tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya (Gambar 1.1). Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2014 L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 13 Neraca Pembayaran Indonesia Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membaik pada triwulan II 2014 ditengah defisit transaksi berjalan meningkat. Surplus NPI meningkat dari USD2,1 miliar pada triwulan sebelumnya menjadi USD4,3 miliar pada triwulan II 2014 (Grafik 1.16). Membaiknya kinerja NPI tersebut ditopang oleh transaksi modal dan finansial yang mencatat peningkatan surplus yang signifikan dibandingkan dengan triwulan I 2014 sehingga dapat membiayai sepenuhnya defisit transaksi berjalan yang melebar sesuai pola musimannya. Peningkatan surplus NPI triwulan II 2014 tersebut pada gilirannya mendorong kenaikan posisi cadangan devisa dari USD102,6 miliar pada akhir triwulan I 2014 menjadi USD107,7 miliar pada akhir triwulan II 2014. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah selama 6,1 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional. Pada Juli 2014, posisi cadangan devisa kembali meningkat menjadi USD110,5 miliar (Grafik 1.17). Grafik 1.16 Neraca Pembayaran Indonesia Grafik 1.17 Perkembangan Cadangan Devisa Meskipun mengalami peningkatan defisit dibanding triwulan sebelumnya, kinerja transaksi berjalan triwulan II 2014 lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Defisit transaksi berjalan triwulan II 2014 mencapai USD9,1 miliar (4,27% PDB), lebih rendah dibandingkan dengan defisit sebesar USD10,1 miliar (4,47% PDB) pada periode yang sama tahun 2013 (Grafik 1.18), sejalan dengan kebijakan stabilisasi yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. Perbaikan kinerja transaksi berjalan tersebut terutama ditopang oleh kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas seiring penurunan impor yang mengikuti pelemahan permintaan domestik. Namun demikian, peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas tersebut belum mampu mengimbangi kenaikan defisit neraca perdagangan migas. Sesuai pola musiman, defisit transaksi berjalan triwulan II 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan I 2014 sebesar USD4,2 miliar (2,05% PDB). Di sisi nonmigas, surplus neraca perdagangan nonmigas menyempit karena impor nonmigas meningkat 12,4% (qtq) antara lain terkait dengan naiknya kebutuhan menjelang puasa dan Idul Fitri. Di sisi lain, ekspor nonmigas tumbuh 1,0% (qtq) terutama dipengaruhi turunnya permintaan ekspor berbasis sumber daya alam, seperti batubara dan minyak nabati, seiring dengan melambatnya pertumbuhan di negara emerging serta dampak kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. Sementara itu, ekspor produk manufaktur, seperti otomotif, tekstil, dan pakaian jadi, terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara maju. Di sisi migas, defisit neraca perdagangan migas melebar karena impor migas meningkat, terutama karena bertambahnya volume impor minyak mentah, sementara ekspor migas mengalami penurunan terutama akibat ekspor LNG yang lebih rendah. Selain itu, tekanan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 14 defisit transaksi berjalan juga dipengaruhi oleh melebarnya defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer. Pada triwulan II 2014, sesuai dengan pola musimannya, defisit neraca jasa melebar akibat meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang seiring dengan kenaikan impor serta meningkatnya perjalanan masyarakat ke luar negeri selama musim liburan sekolah. Dalam periode yang sama, defisit neraca pendapatan primer juga meningkat mengikuti jadwal pembayaran dividen dan bunga utang luar negeri kepada investor asing. Grafik 1.18 Neraca Transaksi Berjalan Grafik 1.19 Neraca Perdagangan Sementara itu, kepercayaan investor asing yang masih kuat terhadap prospek ekonomi Indonesia mendorong peningkatan surplus transaksi modal dan finansial. Surplus transaksi modal dan finansial pada triwulan II 2014 mencapai USD14,5 miliar, meningkat signifikan dari USD7,6 miliar pada triwulan I 2014 (Grafik 1.20), didukung oleh derasnya aliran masuk modal portofolio dan aliran masuk investasi langsung yang tercatat lebih besar dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebagai cerminan terpeliharanya optimisme investor terhadap prospek perekonomian domestik. Selain itu, surplus transaksi modal dan finansial pada triwulan laporan juga ditopang oleh transaksi investasi lainnya yang mencatat surplus setelah pada triwulan sebelumnya mengalami defisit. Surplus transaksi investasi lainnya terutama berasal dari penarikan simpanan milik perbankan domestik di luar negeri, selain untuk memenuhi kebutuhan nasabah juga untuk memanfaatkan fasilitas simpanan berupa instrumen term deposit valas yang disediakan oleh Bank Indonesia. Aliran modal asing tersebut terus berlanjut hingga periode Juli 2014. Grafik 1.20 Neraca Transaksi Modal dan Finansial L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 15 Nilai Tukar Rupiah Rupiah mengalami tekanan depresiasi dengan volatilitas yang terjaga. Pada triwulan II 2014, rupiah secara point-to-point melemah 4,18% (qtq) ke level Rp11.855 per dolar AS, sedangkan secara rata-rata rupiah masih mencatat penguatan sebesar 1,76% ke level Rp11.629 per dolar AS (Grafik 1.21 dan 1.22). Tekanan terhadap rupiah dipengaruhi oleh permintaan korporasi yang cenderung meningkat sesuai dengan pola musimannya untuk pembayaran ULN dan repatriasi dividen/kupon. Selain itu, faktor sentimen terkait dengan perilaku investor yang menunggu hasil Pemilihan Umum Presiden serta kondisi eksternal, seperti krisis geopolitik Ukraina dan konflik Irak, berdampak pada pergerakan rupiah (Grafik 1.23). Tekanan rupiah pada triwulan II 2014 tercermin pada indikatorindikator eksternal. Yield obligasi, CDS & VIX Index, serta spread positif dari NDF-onshore spot rate sebagai cerminan tekanan nilai tukar tampak meningkat. Namun, di tengah berbagai tekanan tersebut, volatilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga. Volatilitas nilai tukar pada triwulan II 2014 tercatat menurun dibandingkan dengan volatilitas pada triwulan sebelumnya. Pada bulan Juli 2014, rupiah mencatat penguatan, ditopang oleh pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden yang lancar dan aman. Rupiah secara rata-rata menguat 1,8% (mtm) ke level Rp11.682 per dolar AS atau secara point-to-point menguat 2,4% dan ditutup di level Rp11.578 per dolar AS. Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya. Grafik 1.21 Nilai Tukar Rupiah Grafik 1.23 VIX & CDS Grafik 1.22 Nilai Tukar Kawasan Grafik 1.24 Selisih Bid-Ask Rupiah L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 16 Inflasi Inflasi terjaga dan berada dalam tren yang menurun sehingga mendukung prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1%. Inflasi triwulan II 2014 tercatat 6,70% (yoy), menurun dibandingkan 7,32% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.25). Inflasi yang terkendali berlanjut di bulan Juli 2014, tercatat sebesar 0,93% (mtm) atau 4,53% (yoy), cukup rendah bila dibandingkan pola musiman Lebaran dalam tiga tahun terakhir. Penurunan tersebut ditopang oleh menurunnya tekanan inflasi volatile food dan terjaganya inflasi inti. Inflasi volatile food menurun seiring dengan pasokan yang membaik terkait dengan datangnya musim panen. Sementara itu, terjaganya inflasi inti ditopang oleh moderasi permintaan domestik, minimalnya tekanan harga global, serta ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Tren penurunan tekanan inflasi pada triwulan II 2014 antara lain ditopang oleh menurunnya tekanan inflasi volatile food. Deflasi kelompok volatile food pada triwulan II 2014 menurunkan inflasi volatile food secara tahunan menjadi 6,74% (yoy), lebih rendah dibandingkan inflasi triwulan I 2014 sebesar 7,25% (yoy) (Grafik 1.25). Deflasi tersebut terutama didukung oleh melimpahnya pasokan seiring dengan datangnya musim panen beberapa komoditas, seperti beras dan cabai. Namun demikian, kenaikan harga beberapa komoditas lainnya seperti daging ayam dan telur ayam menahan deflasi kelompok volatile food lebih dalam. Inflasi volatile food pada bulan Juli 2014 cukup terkendali. Inflasi volatile food pada Juli 2014 lebih tinggi bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Grafik 1.26) disebabkan permintaan yang meningkat menjelang lebaran. Hal ini tercermin dari kenaikan beberapa harga bahan pangan. Komoditas penyumbang inflasi terbesar dari kelompok ini adalah aneka bumbu, daging sapi, aneka sayur, beras, dan subkelompok ikan segar. Dampak kenaikan permintaan musiman terlihat pada tekanan harga bawang merah meskipun pasokan di pasar memadai seiring berlangsungnya panen di beberapa daerah sentra produksi. Sementara itu, kenaikan harga beras terjadi baik di Jawa maupun luar Jawa seiring dengan berkurangnya pasokan akibat berlangsungnya masa tanam padi. Di sisi lain, kondisi cuaca yang tidak kondusif dan berkurangnya aktivitas nelayan menjelang lebaran memengaruhi produksi ikan segar sehingga mendorong tingginya inflasi di subkelompok ikan segar. Meskipun meningkat, perkembangan inflasi volatile food pada lebaran kali ini relatif terkendali karena didukung oleh kecukupan pasokan di pasar. Grafik 1.25 Perkembangan Inflasi Tahunan Grafik 1.26 Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food Penurunan inflasi pada triwulan II 2014 juga ditopang oleh terjaganya inflasi inti. Inflasi inti pada triwulan II 2014 tercatat 4,81% (yoy), relatif stabil bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 4,61% (yoy). Terjaganya inflasi inti ditopang oleh L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 17 moderasi permintaan domestik, minimalnya tekanan harga global, serta ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Inflasi inti masih terkendali hingga Juli 2014 mencapai 0,52% (mtm), sedikit lebih rendah dari perkiraan Bank Indonesia sebesar 0,55%(mtm). Di luar permintaan musiman Lebaran dan tahun ajaran baru, tekanan inflasi fundamental dari sisi domestik dan global relatif minimal. Dari sisi domestik, meski terdapat kenaikan permintaan musiman, tekanan permintaan pada inflasi inti pada Juli 2014 secara umum terindikasi moderat. Hal ini terlihat dari realisasi inflasi inti nontraded yang meningkat dari 0,18% (mtm) menjadi 0,54% (mtm) (Grafik 1.27). Kenaikan permintaan musiman hari raya antara lain tercermin pada subkelompok makanan jadi (mayoritas non-traded), selain sandang (nontraded clothing). Sementara itu, kenaikan biaya pendidikan memasuki tahun ajaran baru juga masih relatif rendah. Grafik 1.27 Dekomposisi Inflasi Inti Nontraded Grafik 1.28 Inflasi Inti Traded Tekanan inflasi dari sisi ekternal juga relatif moderat seiring dengan penurunan harga global (kecuali emas) yang disertai oleh apresiasi rupiah. Indeks Harga Imported Inflation (IHIM) dengan mengeluarkan emas mengalami penurunan sebesar -0,95% (mtm) pada Juli 2014. IHIM mengalami peningkatan sebesar 1,1% (mtm) bila memasukkan emas.1 Minimalnya tekanan eksternal tercermin dari inflasi inti traded yang cukup rendah, di tengah meningkatnya tekanan permintaan musiman (Lebaran dan tahun ajaran baru). Inflasi inti traded cukup terjaga yakni hanya meningkat menjadi 0,49% (mtm) dari bulan sebelumnya (0,34%, mtm) (Grafik 1.28). Jika emas dikeluarkan, inflasi inti traded meningkat lebih sedikit yakni dari 0,33% (mtm) pada bulan sebelumnya menjadi 0,45% (mtm) seiring dengan peningkatan pola musiman. Di sisi nilai tukar, secara rata-rata bulanan, nilai tukar Rupiah menguat cukup signifikan yakni sebesar 1,8% (mtm) dari Rp11.892 (Juni) ke Rp11.682 (Juli). Disamping moderasi permintaan domestik dan minimalnya tekanan harga eksternal, inflasi inti yang terjaga juga dipengaruhi oleh perbaikan ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi berada pada tren yang menurun seiring dengan permintaan yang kembali normal setelah Idul Fitri. Di pasar barang, ekspektasi inflasi dari sisi konsumen relatif melambat, baik untuk periode 3 maupun 6 bulan yang akan datang (Grafik 1.29). Koreksi yang cukup tajam pada ekspekasi inflasi konsumen untuk periode 3 bulan yang akan datang merupakan level terendah dalam 4 tahun terakhir. Sementara itu, dari sisi pedagang eceran, perlambatan ekspektasi inflasi yang melambat terjadi untuk periode 3 1 Indeks komposit harga global dengan weighted average (berdasarkan persentase impor dan bobot di IHK) dari komoditas pangan (CPO, gandum, gula, jagung dan kedelai), minyak dunia (WTI), emas, kapas, dan besi. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 18 bulan yang akan datang (Grafik 1.30). Sedangkan untuk periode 6 bulan yang akan datang, ekspektasi inflasi terlihat meningkat akibat kenaikan permintaan musiman pada saat Natal dan Tahun Baru. Terjaganya ekspektasi inflasi juga terkonfirmasi oleh hasil survei Consensus Forecast (CF) di bulan Juli yang menunjukkan ekspektasi inflasi stabil pada level 6,20% (average yoy) (Grafik 1.31). Sementara inflasi akhir tahun 2014 dari survei CF mengindikasikan inflasi berada di sekitar 5,60% (yoy). Ekspektasi inflasi di pasar keuangan juga menunjukkan penurunan hingga mendekati level sebelum kenaikan BBM seiring dengan realisasi inflasi yang terus melanjutkan tren perlambatan. Grafik 1.29 Ekspektasi Harga Konsumen Grafik 1.30 Ekspektasi Harga Pedagang Eceran Grafik 1.31 Ekspektasi Inflasi Consensus Forecast Inflasi administered prices pada triwulan II 2014 mengalami penurunan akibat base effect kenaikan BBM bersubsidi pada Juni 2013. Inflasi administered prices di triwulan II 2014 tercatat sebesar 13,47% (yoy), lebih rendah dari inflasi triwulan I 2014 yakni 17.47% (yoy). Namun demikian, kenaikan permintaan akibat pola musiman Lebaran dan penyesuaian tarif listrik rumah tangga mendorong tingginya inflasi administered prices pada Juli 2014. Inflasi administered prices pada Juli 2014 tercatat sebesar 1,32% (mtm), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,45% (mtm). Peningkatan permintaan musiman menjelang hari raya mendorong kenaikan tarif kelompok transportasi seperti angkutan antar kota, angkutan udara, dan kereta api dengan total sumbangan terhadap inflasi sebesar 0,13% (Tabel 1.3). Pada angkutan kelas ekonomi, pengusaha memaksimalkan tarif sesuai batas atas yang ditetapkan Pemerintah. Di sisi lain, dampak kenaikan tarif listrik kelompok Rumah Tangga (R-2 dan R-1) yang diterapkan per 1 Juli 2014 serta penyesuaian L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 19 tarif untuk golongan R-3 (>6600VA) mendorong tingginya sumbangan inflasi tarif listrik yakni mencapai 0,06%.2 Tabel 1.3 Penyumbang Inflasi Administered Prices No. Administered Prices Inflasi 1 Angkutan Udara 2 Tarif Listrik 3 Angkutan Antar Kota 4 Rokok Kretek Filter 5 Bensin 6 Tarif KA %,mtm 7.74 2.13 9.39 1.04 0.45 9.21 Kontribusi (%,mtm) 0.06 0.06 0.06 0.02 0.02 0.01 Efek lebaran menyebabkan kenaikan inflasi di seluruh wilayah, namun inflasi di sebagian besar daerah di Jawa dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih cukup terkendali. Selain didorong oleh peningkatan permintaan musiman Lebaran, masuknya masa tanam berpengaruh terhadap kenaikan inflasi di sejumlah daerah. Tekanan permintaan menjelang Lebaran mendorong kenaikan inflasi di Jakarta dan Jawa (Gambar 1.2). Namun demikian, inflasi Jawa berada pada level yang relatif lebih rendah didorong oleh terkendalinya pasokan pangan. Laju peningkatan inflasi pangan di Jawa sedikit tertahan oleh masuknya puncak panen bawang merah dan cabai merah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, sumber tekanan inflasi di berbagai wilayah KTI dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan pangan strategis (ikan segar dan bumbu-bumbuan), namun terkendali seiring dengan terjadinya koreksi beberapa harga pangan strategis di beberapa wilayah seperti daging ayam (Kalimantan kecuali Kaltim), beras (Kalteng), cabe rawit dan bawang merah (Bali), dan ikan segar (Maluku). Tekanan inflasi, khususnya di Kalimantan dan Bali-Nustra, pada periode lebaran tahun ini bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya. Gambar 1.2. Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm) 2 Kebijakan Pemerintah sesuai kesepakatan dengan DPR dalam APBN-P 2014 adalah adanya kenaikan TTL tambahan yang dilakukan secara bertahap mulai 1 Juli 2014 untuk 6 golongan, termasuk kel. Rumah Tangga (RT) yaitu (i) R-2 (daya 3.500 VA-5.500 VA) dengan kenaikan rata-rata 5,70% setiap 2 bulan; (ii) R-1 (daya 2.200 VA) dengan kenaikan rata-rata 10,43% setiap 2 bulan; (iii) R-1 (daya 1.300 VA) dengan kenaikan rata-rata 11,36% setiap 2 bulan serta kel. Industri (I-3) non gopublic. Untuk konsumen pra-bayar kenaikan tarif listrik ini sudah mulai dicatat pada inflasi Juli. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 20 Perkembangan Moneter Perkembangan suku bunga dan uang beredar masih sesuai dengan arah kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Selama triwulan II 2014, suku bunga PUAB tercatat stabil sementara suku bunga perbankan cenderung meningkat. Peningkatan suku bunga ini, di tengah moderasi pertumbuhan ekonomi, kemudian mempengaruhi dinamika likuiditas perekonomian. Pasar Uang Antar Bank pada triwulan I 2014 ditandai oleh suku bunga PUAB O/N yang relatif stabil disertai volume PUAB yang meningkat. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N pada triwulan II relatif stabil sebesar 5,86% dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,88%, sejalan dengan tertahannya kenaikan BI rate. Dengan perkembangan ini, spread suku bunga PUAB O/N terhadap DF O/N relatif stabil sebesar 11 bps dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 13 bps. Sementara itu, rata-rata volume PUAB meningkat menjadi Rp12,1 triliun dari Rp10,2 triliun pada triwulan sebelumnya. Perkembangan terkini pada Juli 2014 menunjukkan bahwa rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N sedikit meningkat menjadi 5,89% (Grafik 1.32). Pada periode yang sama, rata-rata volume PUAB total meningkat menjadi Rp15,1 triliun dari Rp13,0 triliun pada Juni 2014 seiring meningkatnya kebutuhan likuiditas perbankan menghadapi libur lebaran (Grafik 1.33). Meskipun demikian, keketatan likuiditas terindikasi mereda terlihat dari spread PUAB terhadap tenor O/N dan spread max-min yang relatif menurun dibandingkan kondisi bulan sebelumnya. Grafik 1.32 Suku Bunga PUAB O/N Grafik 1.33 Suku Bunga PUAB O/N & Vol DF O/N Suku bunga perbankan masih dalam tren meningkat. Pada satu sisi, suku bunga deposito 1 bulan naik 31 bps menjadi 8,30% dari 7,99% yang tercatat pada akhir triwulan I 2014. Kenaikan terbesar terjadi pada deposito rupiah untuk tenor 3 bulan yaitu sebesar 82 bps menjadi 9,10% dari 8,28% pada akhir triwulan I 2014. Beberapa bank yang mengalami keketatan likuiditas, terutama yang masih cenderung ekspansif, mendorong persaingan dana dan peningkatan suku bunga dana perbankan. Pada sisi lain, RRT (Ratarata Tertimbang) suku bunga kredit meningkat 20 bps menjadi 12,76% dari 12,56% (Grafik 1.34). Berdasarkan jenis penggunaannya, suku bunga KMK (Kredit Modal Kerja) tercatat naik tertinggi yaitu 26 bps menjadi 12,63%, sedangkan suku bunga KI (Kredit Investasi) dan KK (Kredit Konsumsi) naik masing-masing sebesar 24 bps dan 9 bps menjadi 12,24% dan 13,30%. Dengan perkembangan ini, spread antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan menyempit menjadi 446 bps dari 457 bps seiring dengan kenaikan suku bunga deposito 1 bulan yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan suku bunga kredit (Grafik 1.35). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 21 17 % % % 15 16 9 8 7 13 15 12.76 14 13.30 13 12.76 12 12.63 Jan‐08 Mar‐08 May‐08 Jul‐08 Sep‐08 Nov‐08 Jan‐09 Mar‐09 May‐09 Jul‐09 Sep‐09 Nov‐09 Jan‐10 Mar‐10 May‐10 Jul‐10 Sep‐10 Nov‐10 Jan‐11 Mar‐11 May‐11 Jul‐11 Sep‐11 Nov‐11 Jan‐12 Mar‐12 May‐12 Jul‐12 Sep‐12 Nov‐12 Jan‐13 Mar‐13 May‐13 Jul‐13 Sep‐13 Nov‐13 Jan‐14 Mar‐14 May‐14 11 Sb. Kredit Sb. Kredit Modal Kerja Sb. Kredit Investasi 9 Selisih rKredit ‐ rDepo1: 446 bps 4 8.30 2 7 3 1 5 0 Jan‐05 May‐05 Sep‐05 Jan‐06 May‐06 Sep‐06 Jan‐07 May‐07 Sep‐07 Jan‐08 May‐08 Sep‐08 Jan‐09 May‐09 Sep‐09 Jan‐10 May‐10 Sep‐10 Jan‐11 May‐11 Sep‐11 Jan‐12 May‐12 Sep‐12 Jan‐13 May‐13 Sep‐13 Jan‐14 May‐14 12.24 Data Per Juni 2014 6 5 11 Spread‐rhs Sb. Kredit Konsumsi Grafik 1.34 Suku Bunga KMK, KI dan KK Sb Kredit Sb Dep 1 bln BI rate Sb LPS Grafik 1.35 Spread Suku Bunga Perbankan Peningkatan suku bunga perbankan kemudian berpengaruh pada dinamika likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2). Pada triwulan II 2014, pertumbuhan M2 meningkat menjadi 13,1% (yoy) dari 10,0% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan komponennya, pertumbuhan M2 yang meningkat bersumber baik dari komponen Uang Kuasi maupun komponen M1. Peningkatan pertumbuhan Uang Kuasi sejalan dengan suku bunga simpanan perbankan yang meningkat, sementara peningkatan M1 dikontribusi oleh giro rupiah (Grafik 1.36 dan Grafik 1.37). 50 25 M2 20 40 Pertumbuhan M1 (%yoy) Kartal M1 Giro Rp 30 15 M1 10 20 10 Pertumbuhan M2 (%yoy) 5 Uang Kuasi 0 Jan‐14 Apr‐14 Jul‐13 Oct‐13 Jan‐13 Apr‐13 Jul‐12 Oct‐12 Jan‐12 Apr‐12 Jul‐11 Oct‐11 Jan‐11 Apr‐11 Grafik 1.36 Pertumbuhan M2 dan Komponennya Jan‐11 Mar‐11 May‐11 Jul‐11 Sep‐11 Nov‐11 Jan‐12 Mar‐12 May‐12 Jul‐12 Sep‐12 Nov‐12 Jan‐13 Mar‐13 May‐13 Jul‐13 Sep‐13 Nov‐13 Jan‐14 Mar‐14 May‐14 ‐10 0 Grafik 1.37 Pertumbuhan M1 dan Komponennya Berdasarkan faktor yg mempengaruhi, peningkatan pertumbuhan M2 terutama disebabkan oleh Aktiva Luar Negeri Bersih/Net Foreign Assets sejalan dengan peningkatan cadangan devisa Bank Indonesia. Pada akhir triwulan II 2014, cadangan devisa tercatat sebesar 107,7 miliar dolar AS, meningkat dari 102,6 miliar dolar AS pada akhir triwulan I 2014. Di sisi lain, Aktiva Dalam Negeri Bersih/Net Domestic Assets terus melambat didorong oleh dengan melambatnya penyaluran kredit yang menurun seiring dengan melambatnya aktivitas perekonomian dan (Grafik 1.38). Kredit3 tercatat tumbuh sebesar 16,65% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan I 2014 yang sebesar 19,06% (yoy). 3 Perhitungan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 16,65% (yoy) pada triwulan II 2014 menggunakan konsep moneter yaitu pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (tidak termasuk Pemerintah Pusat). Sementara itu, pertumbuhan kredit menggunakan konsep perbankan pada triwulan II 2014 tercatat sebesar 17,2% (yoy). Kredit menurut konsep perbankan adalah pinjaman rupiah dan valas yang diberikan Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (termasuk Pemerintah Pusat) dan bukan penduduk. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 22 40 Pertumbuhan M2: Faktor (%yoy) %yoy 30 20 10 0 ‐10 NDA M2 NFA Jan‐11 Mar‐11 May‐11 Jul‐11 Sep‐11 Nov‐11 Jan‐12 Mar‐12 May‐12 Jul‐12 Sep‐12 Nov‐12 Jan‐13 Mar‐13 May‐13 Jul‐13 Sep‐13 Nov‐13 Jan‐14 Mar‐14 May‐14 ‐20 Grafik 1.38 Pertumbuhan M2 dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Industri Perbankan Stabilitas sistem keuangan masih solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan sehingga mendukung proses moderasi pertumbuhan ekonomi. Ketahanan perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar yang cukuup terjaga. Selain itu, ketahanan industri perbankan juga terpelihara, ditopang oleh modal yang masih kuat. Pertumbuhan kredit masih dalam tren melambat sejalan dengan moderasi permintaan domestik. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pada akhir triwulan II 2014 kredit tumbuh 16,65% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan I 2014 yang sebesar 19,06% (yoy) (Grafik 1.39). Perlambatan kredit terjadi pada Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) yang tercatat menurun masing-masing menjadi 21,71% (yoy) dan 12,35% (yoy) dibandingkan pertumbuhan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 33,56% (yoy) dan 13,02% (yoy). Sementara itu, Kredit Modal Kerja (KMK) tumbuh sedikit lebih tinggi menjadi 16,82% (yoy) dibandingkan akhir triwulan sebelumnya 16,34% (yoy). Secara sektoral, perlambatan kredit terjadi pada sebagian besar sektor termasuk sektor-sektor utama seperti perdagangan dan industri pengolahan. Pertumbuhan kredit pada sektor-sektor tersebut melambat menjadi masing-masing 17,9% (yoy) dan 24,6% (yoy) dari 23,5% (yoy) dan 25,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.40). 45% Total KI KMK Jun 2014 KK Mar 2014 40% Jasa‐jasa 35% 30% Angkut dan Komunikasi 25% PHR 20% Konstruksi 15% Listrik, Gas dan Air Bersih 10% 41.7% 24.6% 25.5% Industri Pengolahan 5% 5.4% Pertambangan dan Penggalian Jan Apr Jul 2013 Okt Jan Apr Jul 2012 Okt Apr Jan Jul 2011 Okt Apr Jan Jul 2010 Okt Jan Apr Jul 2009 Okt Jan Apr 0% ‐5% 25.1% 19.1% 23.0% 25.5% 17.9% 23.5% 17.5% 25.2% 19.0% Keuangan, Real Estat dan Jasa 2014 Grafik 1.39. Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan 14.0% 24.5% 24.0% Pertanian ‐20% ‐10% 0% 10% 20% 30% 40% 50% Grafik 1.40. Pertumbuhan Kredit Menurut Sektor Ekonomi L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 23 Di sisi lain, pertumbuhan DPK meningkat sejalan dengan kenaikan suku bunga simpanan. Pada akhir triwulan II 2014, DPK4 tumbuh 13,67% (yoy), lebih tinggi daripada pertumbuhan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 10,26% (yoy). Peningkatan ini khususnya terjadi pada giro dan deposito yang tumbuh masing-masing sebesar 11,91% (yoy) dan 17,77% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Maret 2014 yang sebesar 6,23% (yoy) dan 12,29% (yoy). Sementara itu, tabungan tumbuh 9,45% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan Maret 2014 yang sebesar 10,23% (yoy) (Grafik 1.41). 35% DPK (RHS) Giro Tab 25% Depo 30% 20% 25% 20% 15% 15% 10% 10% 5% 5% 0% 2010 2012 Jan Apr Jul 2013 Oct Jan Apr Jul Oct Jan 2011 Apr Jul Oct Jan Apr Jul Oct Jan Apr 0% 2014 Grafik 1.41. Pertumbuhan DPK Di tengah tren moderasi permintaan domestik, ketahanan perbankan terkait unsur permodalan perbankan masih meningkat dan dibarengi risiko kredit yang terjaga. Pada Juni 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi sebesar 19,40%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Kondisi ini mencerminkan daya tahan perbankan yang masih kuat untuk mengatasi tekanan dan gejolak termasuk berlanjutnya tren kenaikan suku bunga. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,00% (Tabel 1.4). Tabel 1.4 Kondisi Umum Perbankan Indikator Utama Total Aset (T Rp) DPK (T Rp) Kredit* (T Rp) LDR* (%) NPLs Bruto* (%) CAR (%) NIM (%) ROA (%) * tanpa channeling Jun 4,461.8 3,374.4 2,959.1 87.69 1.88 17.98 5.43 2.98 Jul 4,510.3 3,392.9 3,021.1 89.04 1.87 17.95 5.46 3.00 Ags 4,581.1 3,440.2 3,067.4 89.16 1.99 17.89 5.46 2.99 2013 Sep 4,737.3 3,526.2 3,147.2 89.25 1.86 18.00 5.48 3.01 Okt 4,717.0 3,520.9 3,159.5 89.74 1.91 18.36 5.50 3.03 Nov 4,817.8 3,563.4 3,214.4 90.21 1.88 18.60 5.51 3.04 Des 4,954.5 3,664.0 3,292.9 89.70 1.77 18.36 4.89 3.08 Jan 4,880.5 3,594.7 3,258.4 90.65 1.90 19.63 4.11 2.85 Feb 4,888.8 3,603.6 3,267.8 90.68 1.99 19.78 4.12 2.74 2014 Mar Apr 4,933.0 5,008.1 3,618.1 3,694.8 3,306.9 3,361.3 91.40 90.98 2.00 2.05 19.83 19.35 4.28 4.26 2.94 2.86 Mei 5,097.5 3,763.5 3,403.1 90.43 2.18 19.51 4.22 2.91 Jun 5,198.0 3,834.5 3,468.2 90.45 2.16 19.40 4.22 2.95 4 Perhitungan pertumbuhan DPK sebesar 13,67% (yoy) pada triwulan II 2014 menggunakan konsep moneter yaitu simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas, pada Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep moneter tidak termasuk simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. Sementara itu, DPK menurut konsep perbankan pada triwulan II 2014 mencatat pertumbuhan sebesar 12,6% (yoy). DPK menurut konsep perbankan adalah simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas, pada Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep perbankan meliputi pula simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 24 Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara Perkembangan pasar saham domestik selama TW-II 2014 menunjukkan kinerja positif seiring dengan sentimen positif global dan perbaikan data ekonomi domestik. IHSG pada triwulan II 2014 mencapai level 4.878,58 (30 Juni 2014) atau naik 2,3% (yoy) dibandingkan triwulan I 2014 yang sebesar 4.768,28 (28 Maret 2014). Penguatan IHSG dipicu oleh inflasi yang terkendali serta optimisme terhadap perbaikan corporate earnings. Sementara itu, sentimen positif eksternal yang mendorong kinerja IHSG yang positif adalah spekulasi kebijakan pemerintah Tiongkok yang akan mendorong pasar saham dan rilis data trade balance Tiongkok yang mengalami surplus lebih tinggi dari perkiraan. Kinerja IHSG ini tercatat di atas kinerja bursa saham Malaysia dan Singapura meski masih di bawah kinerja bursa saham Thailand dan Filipina (Grafik 1.42). Perkembangan terkini pada Juli 2014 menunjukkan penguatan di bursa saham masih berlanjut. Pada Juli 2014, IHSG meningkat 4,3% (yoy) menjadi sebesar 5.088,80 dibandingkan bulan Juni 2014 yang sebesar 4.878,58. Penguatan IHSG disebabkan oleh pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden yang aman dan lancar dan sejumlah sentimen positif global seperti semakin berkurangnya kekhawatiran kenaikan policy rate di AS, perbaikan kinerja emiten global, dan data ekonomi Tiongkok yang membaik. Kinerja IHSG tersebut lebih tinggi daripada yang terjadi pada bursa-bursa lain di kawasan Asia Tenggara (Grafik 1.43). Grafik 1.42. IHSG dan Indeks Bursa Global Triwulan II 2014 Grafik 1.43. IHSG dan Indeks Bursa Global Juli 2014 Perbaikan kinerja pasar saham tidak terlepas dari pengaruh perilaku investor asing. Selama triwulan II 2014, investor asing masih membukukan net beli meski lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan II 2014, investor asing mengalami net beli sebesar Rp19,50 triliun, turun dari net beli pada triwulan I 2014 yang tercatat sebesar Rp24,62 triliun. Sampai dengan triwulan II 2014, posisi kepemilikan saham oleh non residen adalah sebesar 64% dan lokal sebesar 36%. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa selama Juli 2014, investor asing masih melanjutkan tren positif bulanbulan sebelumnya dengan membukukan net beli sebesar Rp13,07 triliun, meningkat dibandingkan Juni 2014 yang sebesar Rp2,74 triliun (Grafik 1.44). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 25 Grafik 1.44. Kinerja IHSG dan Net Beli/Jual Asing Perkembangan berbeda terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Yield SBN pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan di seluruh tenor seiring dengan perilaku menunggu investor terkait pemilihan umum Presiden. Selama triwulan II 2014, yield SBN meningkat 16,83 bps menjadi 8,05% dibandingkan triwulan I 2014 yang sebesar 7,89%. Yield jangka pendek, menengah dan panjang meningkat masing-masing sebesar 9,53 bps, 15,02 bps dan 30,20 bps menjadi sebesar 7,40%, 8,08% dan 8,87%. Perkembangan terkini pasar SBN pada Juli 2014 menunjukkan bahwa yield SBN kembali menurun setelah pelaksanaan pemilihan umum Presiden yang berjalan lancar dan aman. Secara keseluruhan bulan Juli 2014, yield menurun 10,16 bps menjadi 7,95% dibanding Juni 2014 yang sebesar 8,05%. Yield jangka pendek, menengah dan panjang menurun masing-masing sebesar 2,05 bps, 11,52 bps dan 18,27 bps menjadi sebesar 7,38%, 7,97% dan 8,68% (Grafik 1.45). Pelemahan harga SBN pada triwulan II 2014 justru dimanfaatkan oleh pelaku nonresiden untuk terus menambah kepemilikannya di pasar SBN. Selama triwulan II 2014, investor asing membukukan net beli sebesar Rp42,68 triliun, lebih tinggi dibandingkan net beli triwulan I 2014 yang sebesar Rp37,08 triliun. Selama periode yang sama, kepemilikan SBN oleh asing, Bank Indonesia, dan perusahaan asuransi mengalami peningkatan, sementara kepemilikan perbankan dan dana pensiun menurun. Investor asing cenderung melakukan pembelian SBN di tenor pendek dan panjang. Dengan perkembangan tersebut, porsi kepemilikan asing di SBN meningkat menjadi 34,51% dibandingkan akhir triwulan I 2014 yang sebesar 32,56%. Tren pembelian oleh investor asing masih berlanjut pada Juli 2014. Selama Juli 2014, investor asing masih membukukan net beli sebesar Rp14,67 triliun, meningkat dibandingkan kondisi bulan sebelumnya yang mencatat net beli sebesar Rp6,44 triliun (Grafik 1.46). Pada periode yang sama, kepemilikan SBN oleh asing, perusahaan asuransi, dana pensiun dan Bank Indonesia mengalami peningkatan, sementara kepemilikan oleh bank menurun. Dengan perkembangan tersebut, kepemilikan investor asing di SBN pada Juli 2014 tercatat sebesar 35,17%, meningkat dibandingkan kondisi Juni 2014 yang sebesar 34,51%. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 26 Grafik 1.45. Perubahan Yield Bulanan (mtm) Grafik 1.46. Yield SBN dan Net Jual/Beli Asing Bulanan Pembiayaan Non Bank Pembiayaan ekonomi non bank masih berada dalam tren melambat sejalan dengan dampak moderasi pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan II 2014, total pembiayaan tercatat Rp20,3 triliun atau tumbuh negatif 0,65% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan I 2014 yang mencatat ekspansi 0,12% (yoy) (Tabel 1.5). Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada triwulan II 2014 didominasi oleh obligasi yakni sebanyak Rp15,5 triliun. Sementara itu, saham tercatat Rp1,0 triliun dimana sampai dengan Juni 2014 tercatat 12 perusahaan telah melakukan initial public offering (IPO) dari total 30 perusahaan yang ditargetkan melakukan IPO pada tahun ini. Perkembangan pada Juli 2104 menunjukkan bahwa total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan instrumen keuangan lainnya mencapai Rp5,1 triliun atau tumbuh positif 2.33% (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan negatif 0.67% (yoy). Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada Juli 2014 masih didominasi oleh obligasi yakni sebanyak Rp4,0 triliun. Tabel 1.5 Pembiayaan Non Bank Rp. Triliun 2013 2014 Jul TW I TW II TW III TW IV Total Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul TW I TW II Total Non Bank Saham 1.5 16.3 58.3 3.6 0.9 2.8 29.3 2.8 34.7 112.9 3.4 4.9 10.2 2.8 9.0 8.4 5.1 18.4 20.3 38.7 22.7 57.5 2.7 0.0 5.5 0.4 0.5 0.2 0.9 8.2 1.0 9.2 w/o Emiten Sektor Keuangan 0.7 1.2 9.1 16.6 Obligasi 0.3 12.7 27.7 0.3 9.9 50.5 0.0 4.8 3.7 1.9 6.6 7.0 4.0 8.5 15.5 24.0 0.3 6.0 0.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.4 0.0 0.4 w/o Emiten Sektor Keuangan 0.0 9.9 13.5 0.0 7.5 30.8 0.0 6.4 8.2 14.6 MTN dan Promissory Notes + NCD 0.4 0.8 1.3 0.6 2.2 4.9 0.6 0.1 0.9 0.5 2.0 1.3 0.2 1.6 3.8 5.4 w/o Emiten Sektor Keuangan 0.0 1.3 0.1 1.1 3.2 0.6 3.2 4.4 0.7 3.2 0.0 3.2 0.6 0.4 0.3 5.8 1.8 2.0 1.1 1.8 0.0 1.2 Sumber: OJK, BEI, diolah Perkembangan Sistem Pembayaran Rata-rata uang kartal yang diedarkan (UYD) mengalami peningkatan yang sejalan dengan naiknya permintaan uang oleh masyarakat. Pada triwulan II-2014, rata-rata harian Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) tercatat sebesar Rp452,1 triliun atau tumbuh 13,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan I-2014 yang tercatat sebesar L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 27 Rp13,2%. Peningkatan UYD tersebut terutama dipengaruhi meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat dalam menghadapi masa liburan sekolah, tahun ajaran baru dan persiapan memasuki bulan Ramadhan (Grafik 1.47). Rp triliun 500 450 16.3% 20% 17.4% 16.8% 400 16.6% 16.1% 16.4% 18% 15.6% 14.2% 13.4% 13.2% 13.9% 12.7% 350 11.1% 300 16% 14% 12% 250 10% 200 8% 150 6% 100 4% 50 2% 0 0% Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I 2012 2013 Nominal (Rp. triliun) Q‐II 2014 Pertumbuhan (yoy) Grafik 1.47 Perkembangan UYD (yoy) Di tengah tren peningkatan UYD tersebut, Bank Indonesia terus berupaya menjaga kelayakan uang yang beredar. Dalam kaitan dengan upaya ini, selama triwulan II 2014, sejumlah 1,1 miliar lembar/keping Uang Tidak Layak Edar (UTLE) senilai Rp22,6 triliun telah dimusnahkan dan diganti dengan uang rupiah yang layak edar. Jumlah pemusnahan UTLE tersebut lebih rendah dibandingkan dengan triwulan I 2014 yang tercatat sebesar 1,3 miliar lembar/keping atau senilai Rp28,6 triliun. Menurunnya pemusnahan UTLE tersebut disebabkan uang yang disetorkan oleh perbankan ke Bank Indonesia pada umumnya masih dalam kondisi layak edar. Perkembangan transaksi sistem pembayaran non tunai mengalami perlambatan sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi. Selama triwulan II 2014, volume transaksi sistem pembayaran non tunai tercatat Rp1.144 juta atau tumbuh 16,52% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 17,24% (yoy) (Tabel 1.6). Secara nilai, transaksi sistem pembayaran non tunai secara total juga cenderung menurun dengan tumbuh sebesar 14,52% (yoy), lebih rendah daripada pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 29,99% (Tabel 1.7). Perlambatan secara nilai utamanya terjadi pada kelompok BI-RTGS dan BI-SSSS. Tabel 1.6 Perkembangan Volume Sistem Pembayaran Non Tunai Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai BI‐RTGS BI‐SSSS Kliring Debet Kredit APMK Kartu Kredit Kartu ATM dan ATM/Debet Uang Elektronik Total 2012 Q‐IV 4,719.10 39.14 28,193.28 10,585.89 17,607.39 816,490.61 56,786.93 759,703.68 30,875.31 880,317.45 2013 Q‐I 4,250.03 34.16 24,341.27 10,615.23 13,726.04 849,409.97 56,667.47 792,742.50 30,728.04 908,763.47 Q‐II 4,499.0 34.2 25,946.4 10,902.1 15,044.2 917,524.3 59,557.7 857,966.6 34,259.6 982,263.4 Q‐III 4,263.5 28.5 26,270.7 10,596.9 15,673.8 945,361.6 61,329.4 884,032.2 35,850.1 1,011,774.4 Q‐IV 4,621.0 35.1 27,751.1 10,504.3 17,246.7 1,037,011.3 61,543.9 975,467.4 37,063.1 1,106,481.6 Volume (Ribu) 2014 Q‐I Q‐II 4,171.3 4,471.3 36.2 38.7 25,179.2 26,786.1 10,012.1 10,544.3 15,167.1 16,241.8 998,153.6 1,068,963.7 59,160.3 64,241.3 938,993.3 1,004,722.3 37,924.3 44,245.8 1,065,464.6 1,144,505.6 Kendati volume transaksi mencatat perlambatan, sistem pembayaran non tunai tetap dapat berjalan lancar menopang kegiatan ekonomi. Ketersediaan sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai setelmen surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI mencapai 100% pada triwulan II 2014. Transaksi yang aman dan lancar juga terjadi pada Alat Pembayaran L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 28 Menggunakan Kartu (APMK) seperti kartu ATM, kartu ATM/debet, kartu kredit dan uang elektronik yang tidak mengalami gangguan signifikan selama triwulan II 2014. Tabel 1.7 Perkembangan Nilai Sistem Pembayaran Non Tunai 2012 Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai Q‐IV BI‐RTGS 19,972.81 BI‐SSSS 5,456.24 Kliring 573.89 Debet 397.99 Kredit 175.90 APMK 871.72 Kartu Kredit 52.47 Kartu ATM dan ATM/Debet 819.24 Uang Elektronik 0.65 Total 26,875.31 2013 Q‐I 18,778.31 4,939.05 547.87 394.76 153.11 917.78 51.44 866.34 0.59 25,183.59 Q‐II 21,410.4 5,299.7 605.7 414.8 190.8 989.6 55.2 934.4 0.7 28,306.1 Q‐III 26,369.5 8,259.9 680.8 421.2 259.6 1,039.4 57.1 982.4 0.9 36,350.5 Q‐IV 24,403.8 8,233.4 708.0 425.6 282.4 1,073.9 59.6 1,014.3 0.7 34,419.8 Nilai (triliun Rp) 2014 Q‐I Q‐II 23,817.8 24,150.4 7,173.6 6,396.9 667.8 710.7 399.1 417.9 268.7 292.8 1,077.3 1,158.5 56.9 63.6 1,020.5 1,904.9 0.7 0.8 32,737.2 32,417.3 L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 29 2 PROSPEK PEREKONOMIAN Bank Indonesia memperkirakan perekonomian masih akan mengalami penyesuaian didukung dengan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mencapai 5,1-5,5%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya, namun cenderung mendekati batas bawahnya. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan PDB dunia yang tidak sekuat prakiraan sebelumnya dan penghematan anggaran APBNP 2014. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih lemah mengakibatkan kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya, sementara penghematan anggaran pemerintah mendorong melambatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,4-5,8%, tidak berubah dari proyeksi semula. Perbaikan itu seiring dengan perkiraan kondisi ekonomi global yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan juga diprakirakan akan meningkat. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014, inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5+1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat kembali mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0+1%. Penyesuaian ekonomi diharapkan dapat mendorong defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan kredit 2014 ke level yang sehat. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit diperkirakan tetap berada pada kisaran 15-17% pada tahun 2014, sehingga konsisten dengan upaya mengarahkan ekonomi menjadi lebih sehat dan seimbang. Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap dapat ditekan menuju ke sekitar 3,0% dari PDB. Peningkatan defisit pada triwulan II 2014 tersebut antara lain dipengaruhi peningkatan impor menjelang puasa dan hari raya serta repatriasi pendapatan dan pembayaran bunga. Ke depan, defisit transaksi berjalan diperkirakan membaik di triwulan-triwulan berikutnya, seiring dengan terus meningkatnya ekspor manufaktur dan kembali dimulainya ekspor mineral, serta tren melambatnya impor nonmigas. Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang membayangi proses penyesuaian ekonomi ke depan. Dari global, risiko tersebut, antara lain, berkaitan pelemahan ekonomi Tiongkok proses normalisasi kebijakan The Fed, dan risiko munculnya spillover & spillback dari melemahnya perekonomian emerging market. Dari sisi domestik, risiko yang perlu mendapat perhatian adalah potensi tekanan penyesuaian administered prices seperti tarif listrik dan peningkatan harga pangan. Prospek Perekonomian Global Perekonomian global ke depan diperkirakan tetap dalam tren membaik, meskipun lebih moderat dari prakiraan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi global 2014-2015 diperkirakan 3,4% dan 3,8%, sedikit menurun dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,6% dan 3,9%. Pertumbuhan tersebut didukung perkembangan ekonomi negara-negara maju yang membaik sejalan dengan masih berlanjutnya stimulus moneter dan meredanya tekanan fiskal. Namun, pemulihan ekonomi global tersebut tidak terjadi secara merata. Perkembangan ekonomi negara berkembang diperkirakan relatif terbatas, antara lain L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 30 akibat rebalancing ekonomi Tiongkok dan pelemahan harga komoditas. Meskipun tidak merata, prospek perekonomian global akan meningkatkan volume perdagangan dunia pada tahun 2014 dan 2015, yang masing-masing diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,4% dan 5%. Pemulihan ekonomi global diperkirakan terus berlanjut dan didukung oleh perbaikan ekonomi negara maju. Meskipun mengalami perbaikan, pertumbuhan ekonomi negara maju lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sejalan dengan prakiraan pertumbuhan AS yang lebih lambat dari perkiraan semula. Perekonomian AS diprakirakan masih tumbuh sebesar 2,0% pada tahun 2014, dan meningkat menjadi 3% pada tahun 2015. Perbaikan ekonomi AS tersebut sejalan dengan pertumbuhan konsumsi yang solid dan kinerja sektor perumahan yang semakin membaik. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Eropa tahun 2014 dan 2015 diperkirakan sedikit lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Ekonomi Table 2.1 Eropa diperkirakan Proyeksi PDB Dunia tumbuh 1,1 % pada Proyeksi 2014 dan meningkat 2013 2014 2015 menjadi 1,5% pada PDB Dunia 3,1 3,4 3,8 tahun 2015. Negara Maju 1,4 2,0 2,4 Amerika Serikat 2,2 2,1 3,0 Perbaikan tersebut Kawasan Eropa -0,4 1,1 1,5 antara lain didukung Jepang 1,5 1,6 1,1 kebijakan ECB terkait 4,7 4,6 5,0 Negara Emerging Market dan berkembang negative deposit rate Tiongkok 7.7 7,4 7,1 (standing facility) dan India 4,6 5,4 6.4 Negara Emerging Market Lainnya 3.1 3.1 3.6 targeted long-term refinancing operations yang diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit dan investasi. Selain itu, perbaikan ekonomi global juga didukung oleh membaiknya ekonomi Jepang yang antara lain ditopang oleh kebijakan abenomics (Tabel 2.1). Berbeda dengan prospek negara maju yang membaik, pertumbuhan ekonomi negara berkembang diperkirakan relatif terbatas. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2014 dan 2015 diperkirakan 7,4% dan 7,1%. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada tahun 2015 diperkirakan lebih lambat seiring dengan dampak proses rebalancing ekonomi yang terus berlangsung. Sementara itu, perkiraan ekonomi India relatif sama dengan proyeksi sebelumnya. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi emerging market yang lebih lambat juga dipengaruhi oleh melemahnya ekonomi negara emerging market lainnya sebagai akibat masih rentannya kondisi eksternal, rebalancing ekonomi Tiongkok dan pelemahan harga komoditas. Sementara itu, prospek harga komoditas ekspor nonmigas diperkirakan masih lemah. Harga komoditas ekspor nonmigas pada tahun 2014 diperkirakan menurun seiring dengan pasokan yang membaik, khususnya untuk palm oil. Perbaikan pasokan tersebut di topang oleh iklim yang kondusif. Di sisi permintaa, selain karena melemahnya permintaan India, penurunan harga barang substitusi - terutama soybean oil – turut melemahkan permintaan palm oil. Ke depan, pasokan kedelai masih diperkirakan melimpah karena iklim AS yang kondusif terhadap tanaman pertanian tersebut sehingga excess supply kedelai masih berpotensi melemahkan harga palm oil. Namun, penurunan harga komoditas tertahan oleh kenaikan harga karet seiring dengan permintaan Tingkok yang masih cukup kuat. Sementara itu, pada tahun 2015 harga komoditas ekspor nonmigas diperkirakan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 31 akan membaik seiring pemulihan ekonomi dunia. Namun, harga batu bara dan palm oil diperkirakan masih tertekan seiring dengan perkiraan pasokan yang cukup baik di pasar. Prospek Pertumbuhan Ekonomi Sejalan dengan perkembangan ekonomi global dan kondisi domestik yang relatif stabil, Bank Indonesia tetap mempertahankan kisaran proyeksi pertumbuhan ekonominya untuk tahun 2014 dan 2015. Pertumbuhan ekonomi 2014 tetap diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5%, dengan kecenderungan menuju batas bawah menyusul pertumbuhan ekonomi triwulan I dan II 2014 yang lebih rendah dari prakiraan. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik pada kisaran 5,45,8% (Tabel 2.2). %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 2.2 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran Komponen 2013 I II III IV 2013 2014 I II 2014* 2015* Konsumsi Rumah Tangga 5.2 5.1 5.5 5.3 5.3 5.6 5.6 5.1 - 5.5 5.2 - 5.6 Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 0.4 5.5 2.2 4.5 8.9 4.5 6.4 4.4 4.9 4.7 3.6 5.1 (0.7) 4.5 3.2 - 3.6 4.9 - 5.3 3.0 - 3.4 5.7 - 6.1 Ekspor Barang dan Jasa 3.6 4.8 5.2 7.4 5.3 (0.4) (1.0) (0.3) - 0.1 4.6 - 5.0 Impor Barang dan Jasa 0.0 0.7 5.1 (0.6) 1.2 (0.7) (5.0) (2.2) - (1.8) 3.5 - 3.9 PDB 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2 5.1 5.1 - 5.5 5.4 - 5.8 Sumber : BPS * Proyeksi Bank Indonesia Meskipun tidak mengalami perubahan kisaran proyeksi, pertumbuhan ekonomi pada 2014 diperkirakan mendekati batas bawahnya. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan ekspor yang masih lemah dipengaruhi terutama oleh pertumbuhan negaranegara emerging market yang masih terbatas. Selain itu, konsumsi pemerintah juga mengalami penyesuaian sejalan dengan program penghematan anggaran APBNP 2014. Namun, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih tetap kuat ditopang keyakinan konsumen yang masih kuat dan daya beli yang terjaga. Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih kuat sebesar 5,1-5,5%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya, meskipun dengan lintasan yang melambat sejalan dengan dampak Pemilu yang semakin terbatas. Konsumsi rumah tangga yang tetap kuat terindikasi dari indeks keyakinan konsumen yang masih kuat pada triwulan III 2014, baik pada komponen keyakinan atas kondisi ekonomi saat ini maupun ekspektasi kondisi ekonomi ke depan. Selain itu, prospek konsumsi yang masih baik juga ditopang oleh pendapatan masyarakat yang masih cukup kuat dengan daya beli yang terjaga seiring dengan inflasi yang menurun. Hal tersebut, antara lain, tercermin dalam pertumbuhan upah buruh riil kelompok buruh nonformal dan nilai tukar petani (NTP) yang membaik. Penghasilan deposan dari suku bunga riil deposito juga meningkat sejalan dengan kenaikan suku bunga di tengah inflasi yang lebih rendah. Selain itu, konsumsi juga didukung oleh peningkatan penghasilan pelaku usaha yang terindikasi dari peningkatan profit margin. Namun, lintasan pertumbuhan konsumsi diperkirakan mulai melambat seiring dengan menurunnya dampak pemilu. Perlambatan tersebut juga tercermin pada ekspektasi pendapatan konsumen dalam survei konsumen Bank Indonesia yang melambat hingga triwulan IV-2014. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 32 Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh terbatas sebesar 3,2-3,6%, lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sebesar 6,2-6,6%. Penurunan itu terkait dengan penghematan belanja pemerintah dalam APBNP 2014. Sementara itu, kontraksi konsumsi pemerintah pada triwulan II-2014 disebabkan oleh penangguhan penyaluran bantuan sosial dalam rangka pemberdayaan. Investasi pada 2014 diperkirakan masih tumbuh cukup baik sebesar 4,9-5,3%, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya sebesar 4,8-5,2%. Peningkatan investasi terutama ditopang oleh pertumbuhan investasi bangunan. Hal itu juga sejalan dengan pola historisnya pascapilpres. Tren ini juga terlihat pada beberapa hasil survei seperti perkiraan realisasi investasi dalam SKDU yang sedikit meningkat. Demikian pula, optimisme pelaku usaha yang tercermin dalam Indeks Tendensi Bisnis BPS meningkat pada triwulan II 2014 dan berlanjut ke triwulan III 2014. Investasi bangunan diperkirakan tumbuh solid seiring optimisme sektor konstruksi yang lebih tinggi dari awal tahun. Indikasinya tercermin dari penjualan semen dan impor bahan bangunan yang meningkat pada triwulan II 2014. Namun, prospek investasi nonbangunan diperkirakan masih tertahan oleh pertumbuhan ekpor yang terbatas. Sementara itu, dukungan dari sisi belanja modal pemerintah sampai dengan bulan Juni 2014 masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan belanja modal diprakirakan memuncak pada triwulan IV sesuai pola serapan anggaran. Kinerja ekspor diperkirakan melambat menjadi -0,3-0,1%, lebih rendah dari prakiraan sebelumnya 1,5-1,9%, seiring dengan realisasi yang lebih rendah dari perkiraan. Prakiraan pertumbuhan ekspor yang terbatas disebabkan oleh menurunnya ekspor komoditas berbasis sumber daya alam seperti CPO, batu bara dan mineral lainnya terkait pelemahan emerging market dan penerapan UU minerba. Namun, penurunan tertahan oleh ekspor manufaktur yang tumbuh meningkat seiring pertumbuhan ekonomi negara maju yang membaik. Selain itu, kinerja ekspor pertambangan nonmigas juga berpotensi meningkat seiring ekspor konsentrat pertama Freeport yang mulai terealisir sejak pemberlakukan larangan di awal bulan Januari 2014. PT. Freeport bisa kembali melakukan ekspor dengan kuota 756 ribu ton konsentrat tembaga sampai dengan akhir tahun. Kinerja impor pada 2014 diperkirakan menurun menjadi -2,2- (-1,80)%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 0,5-0,9%. Hal tersebut seiring dengan realisasi impor barang modal pada triwulan II yang sangat rendah. Realisasi impor alat berat mengalami penurunan terkait kinerja sektor pertambangan. Selain itu, penurun impor juga disebabkan merespons terhadap penurunan ekspor dan investasi nonbangunan. Pada tahun 2015, sejalan dengan perkiraan permintaan domestik dan kondisi perekonomian global yang lebih baik, laju pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan meningkat mencapai 5,4-5,8%. Kinerja perekonomian domestik diprakirakan akan meningkat seiring dengan perkiraan kondisi ekonomi global yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan juga diprakirakan akan meningkat. Peningkatan penghasilan dan inflasi yang berada dalam tren menurun diperkirakan memberikan dorongan terhadap permintaan domestik. Secara keseluruhan, konsumsi rumah tangga di tahun 2015 diprakirakan masih tetap kuat yang tumbuh sebesar 5,2-5,6%, lebih rendah dari prakiraan sebelumnya 5,3-5,7%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat didukung meningkatnya proporsi penduduk usia produktif sehingga akan meningkatkan jumlah angkatan kerja (Grafik 2.1). Hal tersebut diperkirakan akan mendukung tren penurunan tingkat kemiskinan dan meningkatkan jumlah kelas menengah sehingga pada gilirannya akan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 33 meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Kontribusi ekspor di tahun 2015 yang diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya diperkirakan akan menambah daya beli masyarakat sehingga dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga. Inflasi yang diperkirakan berada dalam rentang target 4% + 1% juga mendukung terjaganya daya beli masyarakat. Tabel 2.3 IMD Scoreboard 2014 Grafik 2.1 Dependency Ratio Indonesia vs Beberapa Negara Kawasan Investasi di tahun 2015 diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan mencapai kisaran 5,7-6,1%, lebih tinggi dari kisaran prakiraan sebelumnya sebesar 5,3-5,7%. Pertumbuhan investasi terutama disumbang oleh investasi nonbangunan. Hal ini terkait dengan masih besarnya kebutuhan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Setelah melalui tahun politik 2014, pertumbuhan investasi diprakirakan akan meningkat di tahun 2015. Potensi pertumbuhan investasi masih cukup kuat didukung oleh kuatnya permintaan domestik dan perkiraan mulai meningkatnya permintaan eksternal untuk produk ekspor Indonesia. Selain itu, pertumbuhan invetasi juga didukung persepsi positif investor terhadap prospek Indonesia ke depan. Survei World Competitiveness Scoreboard yang diterbitkan International Management Development (IMD), 2014, juga menunjukkan perbaikan ranking Indonesia dari 39 pada tahun 2013 menjadi 37 pada tahun 2014. Indonesia mengalami perbaikan hampir di seluruh kategori (efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur) sementara faktor yang menahan laju peningkatan peringkat Indonesia adalah kinerja (pertumbuhan) ekonomi yang menurun di tahun 2014 (Tabel 2.3). Sementara itu, pertumbuhan ekspor pada 2015 diprakirakan meningkat menjadi sebesar 4,6-5,0%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 5,1-5,5%. Lebih rendahnya proyeksi ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan lebuh rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya. Namun dibandingkan tahun 2014, pertumbuhan ekspor diproyeksikan lebih tinggi sejalan dengan kenaikan pertumbuhan ekspor sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekspor Indonesia ke negara-negara maju seperti AS dan Eropa diprakirakan akan meningkat sehingga dapat mengimbangi terbatasnya pertumbuhan ekspor ke negara-negara emerging market. Ekspor mineral mentah yang mulai berjalan akan berdampak positif pada kinerja ekspor di tahun 2015. Dengan langkah-langkah peningkatan daya saing, diantaranya dengan nilai tukar yang lebih kompetitif dan inflasi yang terjaga, diversifikasi pasar dan produk sehubungan dengan membaiknya ekonomi negara maju, pertumbuhan ekspor di tahun 2015 diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 34 Pertumbuhan impor tahun 2015 diprakirakan sebesar 3,5-3,9%, lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sebesar 4,9-5,3%. Lebih rendahnya proyeksi impor ini sejalan dengan proyeksi ekspor dan permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga yang lebih rendah. Namun jika dibandingkan perkiraan 2014, impor diperkirakan lebih tinggi sejalan dengan perkiraan pertumbuhan permintaan domestik, terutama investasi yang tumbuh lebih tinggi yang mendorong peningkatan impor barang modal dalam bentuk mesin dan perlengkapan. Kegiatan produksi yang diprakirakan masih tetap kuat akan mendorong permintaan impor akan bahan baku yang relatif tinggi. Sementara itu, impor barang konsumsi diprakirakan masih akan tetap tumbuh sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat. Secara sektoral, sektor industri pada 2014 diprakirakan tumbuh lebih lambat dari prakiraan sebelumnya. Sementara itu, prospek sektor pertambangan membaik seiring ekspor mineral yang mulai terealisasi serta Blok Cepu yang mulai berproduksi. Pada sektor penghasil jasa, revisi ke bawah terutama pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) terkait aktivitas perdagangan luar negeri yang lebih rendah dan sektor pengangkutan dan komunikasi terkait moderasi pada subsektor pengangkutan yang realisasinya lebih rendah pada triwulan II-2014. Di sisi lain, sektor bangunan diprakirakan membaik terkait realisasi triwulan II-2014 yang lebih tinggi dan optimisme sektor konstruksi yang lebih tinggi dari awal tahun. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa juga membaik sejalan dengan realisasi pada triwulan II-2014 yang lebih tinggi dan prospek bisnis paska pemilihan umum Presiden (Tabel 2.4). %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000 Tabel 2.4 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha Sektor 2013 I II III IV 2013 2014 I II 2014* 2015* Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan 3.7 3.3 3.3 3.8 3.5 3.2 3.4 2.8 - 3.2 2.8 - 3.2 Pertambangan & Penggalian 0.1 (0.6) 2.0 3.9 1.3 (0.3) (0.2) 0.6 - 1.0 2.6 - 3.0 Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih 6.0 7.9 6.0 4.0 5.0 3.8 5.3 6.6 5.6 5.6 5.1 6.3 5.0 5.8 4.6 - 5.0 5.6 - 6.0 5.0 - 5.4 5.7 - 6.1 Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran 6.8 6.5 6.6 6.4 6.2 6.1 6.7 4.8 6.6 5.9 6.5 4.8 6.6 4.5 6.4 - 6.8 4.4 - 4.8 6.4 - 6.8 5.1 - 5.5 Pengangkutan & Komunikasi 9.6 10.9 9.9 10.3 10.2 10.2 9.5 9.5 - 9.9 10.2 - 10.6 Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan Jasa-jasa 8.2 6.5 7.7 4.5 7.6 5.6 6.8 5.3 7.6 5.5 6.2 5.7 6.2 5.7 6.0 - 6.4 5.5 - 5.9 6.1 - 6.5 5.3 - 5.7 PDB 6.0 5.8 5.6 5.7 5.8 5.2 5.1 5.1 - 5.5 5.4 - 5.8 Sumber : BPS * Proyeksi Bank Indonesia Pertumbuhan sektor pertanian diprakirakan sebesar 2,8-3,2%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya. Kinerja sektor pertanian mendapat dukungan dari subsektor perikanan yang terindikasi sedikit membaik, tercermin dari ekspor perikanan yang meningkat, terutama pada komoditas ikan. Selain itu, dampak dari cuaca kering atau El Nino tehadap kinerja sektor pertanian diperkirakan relatif terbatas. Berdasarkan perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan lembaga klimatologi dari AS, Jepang, dan Australia, kondisi cuaca hingga Agustus 2014 masih berada dalam kondisi normal, dan berpotensi memasuki cuaca yang kering atau El Nino lemah pada akhir tahun 2014. Kinerja sektor pertambangan diprakirakan tumbuh 0,6-1,0% pada 2014, meningkat dari prakiraan sebelumnya sebesar 0,3-0,7. Perbaikan kinerja sektor pertambangan yang masih terbatas didukung oleh Blok Cepu yang mulai berproduksi dan ekspor mineral yang mulai terealisir sejalan dengan penandatangan MoU kontrak karya antara PT.Freeport L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 35 dan pemerintah. Pada minggu pertama Agustus 2014, PT.Freeport telah merealisasikan ekspor konsentrat mineral pertama ke Tiongkok, dengan kuota keseluruhan tahun mencapai 756 ribu ton. Sedangkan, Newmont belum mendapatkan izin ekspor, akibat pemerintah menolak melakukan negosiasi sebelum gugatan arbitrase yang diajukan Newmont dicabut. Lifting minyak tumbuh positif pada triwulan II-2014 dan diperkirakan terus membaik seiring Blok Cepu yang mulai berproduksi. Sektor Industri Pengolahan diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,6-5,0% di tahun 2014, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,9-5,3%. Kinerja sektor industri yang melambat sejalan dengan permintaan ekspor yang belum kuat. Kondisi ini antara lain tercermin dari produksi CPO yang melambat dan ekspor manufaktur khususnya yang berbasis SDA yang melambat sejalan dengan volume perdagangan negara emerging market, sebagai pasar utama komoditas SDA, yang lebih rendah. Hal ini dikonfirmasi oleh pertumbuhan Indeks Produksi Industri dari BPS yang melambat. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (LGA) diprakirakan tumbuh di kisaran 5,6-6,0% di tahun 2014, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 6,4-6,8%. Produksi manufaktur yang diperkirakan melambat berdampak pada konsumsi listrik yang lebih rendah. Selain itu, kenaikan harga TTL secara bertahap baik untuk kelas konsumen maupun bisnis juga akan mempengaruhi kinerja subsektor listrik. Sementara itu, kinerja subsektor gas kota terindikasi membaik tercermin dari tren peningkatan distribusi gas oleh PT. PGN. Hal ini terkait program percepatan penyaluran gas untuk untuk segmen rumah tangga, komersial dan industri pada tahun 2014 sebanyak 2 juta unit oleh Kementerian ESDM dan PGN. Sektor Bangunan diprakirakan tumbuh sekitar 6,4-6,8% pada 2014, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 6,2-6,6%. Peningkatan tersebut didukung oleh realisasi triwulan II 2014 yang tinggi serta sentimen positif paska pemilihan umum Presiden. Peningkatan sektor bangunan juga terindikasi dari penjualan semen dan impor bahan kontruksi yang membaik. Di sisi lain, lintasan pertumbuhan sektor bangunan yang meningkat pada akhir tahun sejalan dengan pola historis paska pemilihan umum Presiden. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,4-4,8% di tahun 2014, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,8-5,2%. Kinerja sektor PHR yang lebih rendah terkait dengan volume perdagangan melalui ekspor dan impor yang lebih rendah. Selain itu, pertumbuhan Indeks Penjualan Eceran pada bulan Juni 2014 dan prakiraan penjualan eceran pada bulan Juli 2014 juga melambat. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi pada 2014 diperkirakan tetap tumbuh tinggi di sekitar 9,5-9,9%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 10,1-10,5%. Meskipun melambat, pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi masih cukup tinggi. Kinerja subsektor pengangkutan didorong oleh subsektor angkutan rel yang membaik terindikasi dari pertumbuhan penumpang kereta api yang meningkat sampai dengan Juni 2014. Namun, subsektor komunikasi diprakirakan melambat pada paruh kedua 2014 seiring berakhirnya masa kampanye pemilu yang meningkatkan lalu lintas data, suara dan sms dari beberapa provider komunikasi. Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 2014 diprakirakan tumbuh melambat pada kisaran 6,0-6,4%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,8-6,2%. Sektor keuangan keuangan, persewaan, dan jasa diprakirakan meningkat seiring realisasi pada triwulan II-2014 yang lebih tinggi dan prospek bisnis paska pemilihan umum Presiden. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 36 Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi yang diprakirakan mencapai 5,4 – 5,8 % akan didukung terutama oleh sektor Industri Pengolahan, PHR, serta Pengangkutan dan Telekomunikasi. Prospek kinerja sektor-sektor ekonomi tersebut antara lain didukung oleh daya beli yang tetap resilien sejalan dengan ekspansi kelas menengah yang tetap berlanjut dan inflasi yang menurun. Sektor Pertanian diprakirakan tumbuh meningkat pada kisaran 2,8-3,2% pada 2015, menurun dari prakiraan sebelumnya 2,9-3,3%. Luas tanam beberapa bahan pangan utama diperkirakan menurun, sehingga berpotensi memengaruhi tingkat produksi. Sementara itu, indikasi gangguan cuaca global El Nino pada tingkat lemah hingga moderat diperkirakan masih akan terjadi di awal tahun 2015. Namun, sektor ini mendapat dukungan dari harga komoditas nonmigas internasional yang diprakirakan kembali pulih, terutama pada subsektor perkebunan seperti karet. Di samping itu, sektor perkebunan terutama CPO diperkirakan tetap mencatat pertumbuhan seiring dengan perkiraan tetap berlanjutnya kebijakan kewajiban pencampuran bahan bakar minyak dengan bahan bakar nabati (biodiesel) sehingga mampu mendorong produksi CPO guna memenuhi permintaan. Sektor Pertambangan diprakirakan tumbuh membaik hingga mampu mencapai kisaran 2,6-3,0% di 2015, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya 1,4-1,8%. Dari sisi domestik, prospek ini sejalan dengan rencana 15 smelter yang diperkirakan mulai beroperasi pada tahun 2015. Dari sisi eksternal, prakiraan harga komoditas nonmigas internasional yang kembali positif dan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. diperkirakan berakibat pada membaiknya kinerja sektor pertambangan. Di samping itu, kinerja subsektor Migas diperkirakan meningkat. Hal ini antara lain ditopang oleh peningkatan produksi (ramp up) minyak di blok Cepu yang berpotensi meningkatkan lifting minyak sebesar 165 ribu barel per hari. Sementara itu, sejumlah proyek hulu yang didominasi sektor gas juga diperkirakan mampu mendorong kinerja sektor ini. Dari komoditas batu bara, prospek ke depan diperkirakan berada pada tingkat moderat. Semakin tingginya pasokan di pasar internasional mendorong berlanjutnya penurunan harga batu bara. Di tengah prakiraan turunnya harga tersebut, terdapat kemungkinan pelarangan China terhadap impor batu bara kualitas rendah, termasuk yang berasal dari Indonesia. Hal ini diperkirakan akan berdampak terhadap realisasi ekspor batu bara Indonesia. Sektor Industri Pengolahan diprakirakan tumbuh mencapai 5,0-5,4% di tahun 2015, tidak berubah dari prakiraan sebelumnya. Prakiraan tersebut menunjukkan pertumbuhan industri pengolahan yang masih relatif kuat didukung oleh semakin pulihnya perekonomian global seiring kembali meningkatnya volume perdagangan dunia. Selain itu, aktivitas industri pengolahan barang tambang mineral (Smelter) mulai beroperasi. Prakiraan tetap tumbuhnya sektor ini juga diperkuat oleh realisasi sektor industri pengolahan (sekunder) sebagai tujuan utama investasi asing sepanjang periode 2010 hingga triwulan II2014 (Graifk 2.2). Ke depan, tren positif sektor ini diperkirakan akan terus berlanjut. Selain itu, dalam rangka menghadapi MEA 2015, Pemerintah mengambil sejumlah langkah persiapan melalui peningkatan daya saing yang terdiri dari penguatan struktur industri dan peningkatan dukungan iklim industri. Penguatan struktur industri antara lain dilakukan melalui percepatan pengembangan sektor industri yang meliputi industri hilir berbasis agro, migas, dan bahan tambang mineral; serta pemanfaatan pasar dalam negeri dan ASEAN sebagai base-load. Dari sisi peningkatan dukungan iklim industri, Pemerintah berupaya untuk menurunkan biaya modal, energi dan logistik, hingga membangun kemampuan SDM dan litbang di sektor industri. Namun di tengah optimisme terhadap pertumbuhan sektor industri, industri padat karya seperti tekstil dan industri hulu seperti semen dan baja, L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 37 dihadapkan pada tantangan terkait berlanjutnya rencana kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) bagi industri secara bertahap. Sumber: BKPM, diolah Grafik 2.2 Sektor Tujuan Investasi 2010-2014 Sumber: BPS, BMI Grafik 2.3 Jumlah Wisatawan Mancanegara Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (LGA) diprakirakan tumbuh mencapai kisaran 5,76,1% pada tahun 2015, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 6,5-6,9%. Meskipun mengalami revisi ke bawah, subsektor listrik memberikan kontribusi yang besar seiring dengan rencana penambahan kapasitas listrik di tahun 2015 sebesar 4.250 MW, di antaranya didukung oleh rencana dioperasikannya Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Bali dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) di Karimunjawa. Dari subsektor gas, Pemerintah terus berupaya meningkatkan alokasi pemanfaatan gas bumi, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri, kelistrikan, dan pupuk. Dari total alokasi gas, lebih dari 59% akan dialokasikan guna memenuhi kebutuhan domestik Sektor Bangunan diprakirakan akan mengalami pertumbuhan yang moderat di tahun 2015, yakni pada kisaran 6,4-6,8%, tidak berubah dari prakiraan sebelumnya. Perkembangan sektor ini salah satunya ditopang oleh upaya Pemerintah dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan infrastruktur. Selain dari infrastruktur, prospek sektor bangunan bersumber dari masih tingginya kekurangan jumlah tempat tinggal (backlog) yang mencapai 7,6 juta rumah.5 Kondisi ini berpeluang mendorong pembangunan perumahan layak huni. Sementara itu, pembangunan smelter sebagai dampak pemberlakuan UU Minerba juga diperkirakan mampu mendorong sektor ini.. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diprakirakan menguat hingga 5,15,5% pada tahun 2015, menurun dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,4-5,8%. Meskipun direvisi kebawah, pertumbuhan sektor PHR masih cukup kuat ditopang oleh tetap kuatnya daya beli masyarakat seiring dengan ekspansi kelas menengah. Ritel sebagai penopang utama sektor ini diperkirakan akan tumbuh pesat, termasuk di luar Jawa. Sementara itu, pertumbuhan sektor ini didukung pula oleh prospek pariwisata yang diprakirakan terus menguat, ditandai dengan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang terus meningkat (Grafik 2.3). Optimisme tersebut pada gilirannya berdampak positif terhadap perkembangan berbagai industri pendukung, antara lain hotel, restoran, transportasi, dan retail. Meski demikian, tantangan yang dihadapi sektor ini, misalnya ritel, antara lain berupa biaya sewa, kenaikan upah pekerja, dan biaya perizinan yang meningkat. 5 Kementerian Perumahan Rakyat, April 2014. Rancangan Skenario Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman Tahun 2015-2019. Rakor Perumahan Rakyat 2014. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 38 Sektor Pengangkutan dan Komunikasi diperkirakan akan tetap melanjutkan tren positif dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu tumbuh pada kisaran 10,2-10,6% pada 2015, meningkat dari proyeksi sebelumnya 10,1-10,5. Aktivitas perdagangan dan ekspor-impor yang semakin meningkat mampu mendorong kinerja subsektor pengangkutan. Dari sisi angkutan darat, proyek smelter diperkirakan dapat mendongkrak bisnis logistik terkait potensi meningkatnya kebutuhan pengangkutan komoditas tambang dari lokasi pertambangan ke smelter. Dari angkutan laut, Pemerintah melalui MP3EI terus melakukan upaya penguatan konektivitas dan jaringan logistik berbasis maritim, salah satunya melalui penetapan Kuala Tanjung dan Bitung sebagai pelabuhan hubungan international karena dipandang sebagai faktor kritis daya saing logistik Indonesia (Grafik 2.4). Keduanya akan segera dioperasikan terutama dalam menjaga daya saing perekonomian nasional di era pasar terbuka MEA 2015. Sumber: KP3EI Grafik 2.4 Rencana Penguatan Konektivitas dan Jaringan Logistik Berbasis Maritim Grafik 2.5 Tingkat Kecepatan Download di Indonesia Sejalan dengan perkembangan teknologi dan ekspansi kelas menengah, kebutuhan akan jaringan komunikasi membuat kebutuhan terhadap data dan traffic komunikasi akan terus bertambah. Berdasarkan perkembangan, tingkat kecepatan download yang bisa merepresentasikan tingginya kebutuhan jaringan, baik melalui broadband maupun mobile, terus meningkat (Grafik 2.5). Meskipun demikian, tingkat penetrasi internet baru mencapai 15%, relatif rendah dibandingkan negara maju dengan tingkat lebih dari 80%, sementara kecepatan broadband Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, yaitu menempati posisi 148 dari 174 negara. Kondisi ini menunjukkan potensi besar bagi peningkatan kapasitas data komunikasi ke depan. Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan diprakirakan tumbuh mencapai 6,1-6,5%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,9-6,3%. Prospek perbankan diperkirakan akan membaik, ditandai oleh pertumbuhan kredit yang menguat. Peningkatan ekspansi kredit tersebut dapat meningkatkan margin bunga bersih (net interest margin/NIM). Sementara itu, pertumbuhan subsektor perumahan (real estate) terus mengalami peningkatan positif seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk kelas menengah dan sebagai alternatif instrumen investasi yang relatif stabil. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 39 Prospek Inflasi Prospek inflasi pada tahun 2014 dan 2015 diperkirakan akan berada dalam kisaran targetnya 4,5% ± 1% dan 4% ± 1%. Terkendalinya tekanan inflasi tersebut didukung oleh kebijakan stabilisasi makroekonomi yang ditempuh selama ini, termasuk koordinasi dengan Pemerintah. Selain itu, penurunan inflasi juga didukung termoderasinya permintaan domestik dan harga komoditas global yang cenderung masih lemah. Tekanan inflasi pada tahun 2014 diperkirakan akan terkendali seiring dengan harga komoditas global yang masih lemah, permintaan domestik yang moderat, dan ekspektasi yang terjaga. Harga komoditas global diperkirkaan lebih rendah sebagaimana tercermin dari indeks harga imported inflation (IHIM).. Sementara itu, harga future untuk 4 komoditas lainnya dengan bobot yang besar yakni minyak dunia, gandum, kelapa sawit, dan kedelai mengalami koreksi ke bawah dibandingkan pantauan sebelumnya sehingga secara komposit pergerakan harga komoditas global mengalami koreksi ke bawah. Sementara itu, tekanan permintaan terindikasi masih moderat, tercermin dari beberapa indikator aantar lain indeks keyakinan konsumen, retail sales, kapasitas utilisisasi, estimasi output gap dan ekspektasi inflasi yang terjaga. Namun, terdapat tekanan terhadap inflasi yang berasal dari pengendalian BBM bersubsidi mulai Agustus 2014. Selain itu, inflasi 2014 juga menghadapi risiko yang berasal dari potensi tekanan penyesuaian administered prices seperti tarif listrik dan peningkatan harga pangan Inflasi tahun 2015 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi domestik, dampak kebijakan stabilisasi sejak pertengahan tahun 2013 menyebabkan tekanan inflasi dari sisi permintaan diprakirakan relatif moderat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang masih tumbuh dibawah tingkat potensialnya dan masih rendahnya kapasitas utilisasi ditengah konsumsi rumah tangga yang meningkat. Ekspektasi inflasi diperkirakan juga tetap terjaga dengan dukungan kebijakan dan koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Tekanan inflasi dari sisi eksternal diprakirakan tidak terlalu besar. Hal tersebut didukung oleh perkiraan terbatasnya peningkatan harga-harga komoditas internasional yang sejalan dengan laju perbaikan perekonomian dunia yang berlangsung secara gradual. Tekanan inflasi inti tahun 2015 diprakirakan moderat. Tekanan inflasi inti dari sisi eksternal relatif terjaga, terutama terkait dengan peningkatan harga komoditas internasional yang terbatas. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi nilai tukar diperkirakan relatif rendah seiring dengan tren depresiasi yang lebih terbatas di tahun 2015. Dari sisi domestik, meningkatnya permintaan domestik diprakirakan masih dapat direspons oleh sisi penawaran. Dengan kondisi tersebut, tekanan inflasi dari sisi permintaan diprakirakan relatif minimal. Selain itu, ekspektasi inflasi juga terindikasi relatif terjaga seiring dengan bauran kebijakan dan koordinasi yang ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Inflasi dari kelompok volatile food pada tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Inflasi volatile food yang lebih rendah tersebut terkait dengan asumsi tidak adanya kebijakan penyesuaian harga barang yang bersifat strategis di tahun tersebut. Selain itu, perkiraan tersebut sejalan dengan adanya asumsi peningkatan produksi dan distribusi bahan makanan dan tata niaga yang lebih baik dalam periode mendatang. Inflasi kelompok administered prices 2015 diperkirakan kembali menurun dan berada pada kisaran rata-rata historisnya Namun, mengingat masih besarnya beban Pemerintah untuk subsidi, tidak tertutup kemungkinan adanya penyesuaian lebih lanjut terhadap harga-harga barang dan jasa yang diatur oleh Pemerintah. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 40 Faktor Risiko Ke depan, Bank Indonesia mencermati beberapa risiko baik dari global maupun domestik, yang berpotensi mengganggu proses penyesuaian ekonomi. Perkembangan ekonomi dunia yang semakin terintegrasi membuat tingginya keterkaitan atau pengaruh ekonomi suatu negara dengan negara lainnya. Pengaruh tersebut dapat berdampak terhadap perekonomian domestik melalui jalur perdagangan dan finansial. Sementara itu, dari sisi domestik terdapat sejumlah risiko yang harus diantisipasi terkait inflasi. Dari sisi global, risiko yang dihadapi masih berkaitan dengan ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed. Risiko ini terkait respon yang akan ditempuh oleh Bank sentral AS (The Fed) untuk menormalisasi stance kebijakan sejalan dengan indikasi perbaikan kondisi perekonomian AS. Kebijakan “Quantitative Easing (QE) III” The Fed akan berakhir pada FOMC Oktober 2014 dan Fed Fund Rate (FFR) diperkirakan naik pada triwulan II-III 2015. Hal tersebut sejalan dengan pemulihan ekonomi AS yang terus berlangsung. Selain itu, median survey anggota FOMC terhadap FFR di akhir 2015 meningkat dari 1% (FOMC Maret 2014) menjadi 1-1,25% (FOMC Juni 2014). Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan ketua the Fed pada FOMC 30-31 Juli 2014 yang “slightly hawkish”. Selain ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed, perekonomian juga menghadapi risiko terkait kerentanan negara-negara emerging market, risiko perlambatan ekonomi Tiongkok dan risiko global growth spill-over dan spill back. Risiko Indonesia terkait kerentanan negara-negara emerging market masih termasuk moderat dibandingkan dengan negara peer-nya. Kondisi yang membaik tersebut didorong tekanan inflasi yang menurun, meningkatnya cadangan devisa, dan nilai tukar yang secara rata-rata relatif menguat. Risiko kerentanan negara emerging market juga masih terjaga seiring meredanya kekhawatiran terhadap krisisi perbankan di Portugal. Sementara itu, dampak dari pernyataan “default” pada obligasi Argentina berdampak terbatas pada ekonomi Argentina karena hal tersebut dianggap lebih bersifat “interruption of debt service transfers” dibandingkan “scarcity of fund”. Di sisi lain, risiko terkait proses penyesuaian ekonomi di Tiongkok perlu mendapat perhatian karena peran besar Tiongkok sebagai mitra dagang Indonesia. Salah satu risiko pelemahan perekonomian Tiongkok berasal dari sektor properti karena selain berdampak pada pertumbuhan (investasi) juga pada sistem keuangannya (shadow banking). Sementara itu, terdapat risiko global growth spill-over and spill back antara negara maju dan negara emerging melalui 4 jalur, yaitu perdagangan, harga komoditas, sistem keuangan global, dan neighborhood effect. Dari sisi domestik, terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat mempengaruhi inflasi. Risiko tersebut terkait rencana kebijakan harga strategis oleh pemerintah serta potensi tekanan harga pangan akibat dampak El Nino. Rencana penyesuaian tarif batas atas angkutan udara terkait meningkatnya biaya operasional dapat memberikan tekanan terhadap inflasi. Tekanan ini dapat semakin meningkat dengan berbagai upaya yang ditempuh pemerintah dalam mengendalikan beban subsidi energi yang cukup besar. Selain itu, risiko lain yang dapat mendorong peningkatan inflasi adalah terkait dengan intensitas El-Nino. Pengalaman empiris menunjukkan El Nino berdampak pada kerusakan lahan (puso) dan penurunan produksi padi. Pada 2003, El Nino dengan intensitas moderate berdampak pada kerusakan lahan yang mengakibatkan hilangnya produksi padi sekitar 550 ribu ton. Gangguan pasokan bahan makanan tersebut berdampak pada peningkatan harga bahan pangan. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 41 3 RESPONS KEBIJAKAN MONETER Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4±1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia menilai proses penyesuaian struktur perekonomian ke arah yang lebih seimbang masih terus berlangsung dengan ditopang oleh stabilitas makro ekonomi yang tetap terjaga. Hal ini tercermin dari permintaan domestik yang terkendali dan inflasi yang berada dalam tren menurun, meskipun defisit transaksi berjalan meningkat antara lain karena pola musiman triwulan II 2014. Ke depan, masih terdapat sejumlah risiko dari eksternal dan domestik yang perlu diwaspadai yang dapat mengganggu tercapainya sasaran inflasi dan perbaikan kinerja transaksi berjalan. Untuk itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian domestik dan pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN), khususnya ULN korporasi. Bank Indonesia juga akan meningkatkan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan agar proses penyesuaian ekonomi dapat berjalan baik dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang sustainable ke depan. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 42 Boks: Prospek Ekspor CPO Ekspor CPO 2014 diperkirakan menghadapi permintaan yang lemah, sementara anjloknya ekspor pada April 2014 sesuai faktor musiman sebagai bulan lowest season. Namun penurunan tersebut lebih dalam karena gangguan ekspor utamanya kenaikan bea keluar CPO. Dengan memperhatikan tren dan pola musiman ekspor CPO serta faktor permintaan, level ekspor CPO akan kembali meningkat setelah April 2014. Namun pertumbuhan keseluruhan tahun relatif stagnan, atau hanya tumbuh 1%. Informasi liaison perusahaan CPO berorientasi ekspor mengonfirmasi lemahnya ekspor tersebut. Dalam jangka panjang kinerja ekspor CPO memiliki prospek yang baik. Pertumbuhan permintaan dunia akan lebih didorong oleh permintaan biofuel seiring program energi hijau melalui peningkatan kandungan biodiesel dalam BBM. Indonesia, didukung potensi pemanfaatan lahan dan peningkatan produktivitas, masih akan mendominasi pasar ekspor ke depan. Ekspor CPO pada April 2014 menurun tajam dan terjadi ke semua negara tujuan (Grafik 1). Ekspor terendah CPO selalu terjadi pada bulan April sesuai faktor musiman historis. Namun penurunannya lebih dalam diduga karena gangguangangguan proses ekspor. Tendensi simpangan musiman semakin membesar terutama pada bulan April (lowest season), berimpikasi pada volatilitas pertumbuhan ekspor yang membesar (Grafik 2). Pola musiman ekspor CPO tersebut bukan disebabkan oleh pola produksi. Hal ini terindikasi dari lowest season produksi CPO pada bulan Desember dan lowest season ekspor manufaktur pada bulan Februari. Ditengarai pola musiman ekspor CPO terkait dengan permasalahan logistik pada proses ekspor. Dalam hal ini, utamanya disebabkan kenaikan bea keluar CPO per 1 April 2014 menjadi sebesar 13,5% dari sebelumnya 10,5%. Grafik 1. Ekspor CPO: Negara Tujuan Grafik 2. Pola Musiman Ekspor CPO L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 43 Grafik 3. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Produksi CPO lebih banyak ditujukan untuk ekspor dengan pasar yang semakin terdiversifikasi (Grafik 3). Rata-rata produksi CPO sejak 2011 sebesar 12,1% yoy. Namun, pertumbuhan ekspor CPO lebih rendah pada periode yang sama karena penggunaan domestik yang semakin meningkat. Sementara itu, pasar ekspor CPO semakin terdiversifikasi. Pasar CPO utama ke negara Emerging masih didominasi Tiongkok dan India, dengan peningkatan pangsa Afrika dan Asia lainnya (Grafik 4). Grafik 4. Komposisi Negara Tujuan Ekspor CPO Grafik 5. Produksi dan Konsumsi CPO Dunia Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia disusul Malaysia (Grafik 5). Pertumbuhan produksi Indonesia tergolong tinggi dan lebih stabil dibanding produsen utama lainnya. Masih bertumbuhnya lahan tanam dan masih besarnya gap lahan tanam dengan yang telah dapat dipanen mencerminkan potensi peningkatan produksi yang masih besar (Grafik 6). Lokasi utama produksi CPO di Sumatera dan Kalimantan. Indonesia disusul Malaysia juga tercatat sebagai eksportir terbesar. Ke depan, Indonesia masih terus mendominasi ekspor CPO dunia. Dari sisi konsumsi, konsumen utama CPO yaitu India, Tiongkok, EU, dan Indonesia (Grafik 7). Tiga negara pertama tersebut juga tercatat sebagai importir terbesar baik saat ini maupun ke depannya; sekaligus masih menjadi pasar ekspor Indonesia. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 44 Grafik 6. Luas Tanam dan Luas Panen CPO Grafik 7. Eksportir dan Importir CPO Dunia Permintaan CPO ke depan akan didorong oleh kebutuhan biofuel (Grafik 8). Semakin tingginya permintaan biofuel terkait program energi hijau tercermin pada pangsa penggunaan CPO untuk biodiesel di berbagai negara yang meningkat. Tren penggunaan biodiesel juga terjadi Indonesia dengan peningkatan penggunaan dalam BBM secara bertahap hingga 25% pada 2025. Pertumbuhan permintaan CPO dunia ke depan cenderung lebih rendah dari pertumbuhan saat ini (Grafik 9). Permintaan juga akan didominasi negara berkembang. Grafik 8. Penggunaan CPO untuk Biodiesel Grafik 9. Prakiraan Permintaan CPO Dunia L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 45 Grafik10. Prakiraan Level Ekspor CPO Berjalan Tabel 1. Timetable Penggunaan Biodiesel Indonesia US Departement of Agriculture (USDA) memperkirakan produksi CPO Indonesia tumbuh stabil pada 2014 di kisaran 8% (yoy). Namun dengan mempertimbangkan El Nino, Oil World memperkirakan pertumbuhan produksi CPO yang lebih rendah sebesar 5,6%. Rilis terbaru Biro Cuaca Australia memprakirakan tingkat kemungkinan El Nino yang semakin besar mencapai 70% atau dalam status Alert. Sementara itu, GAPKI memprediksi volume ekspor CPO 2014 stagnan atau tidak bertumbuh, karena lemahnya permintaan dan faktor kebijakan negara pengimpor; maupun kebijakan mandatory biofuel dalam negeri. Dengan memperhatikan tren dan pola musiman ekspor CPO serta faktor permintaan ke depan, level ekspor CPO akan kembali meningkat setelah April 2014. Namun ekspor keseluruhan tahun 2014 relatif stagnan, hanya tumbuh sebesar 1%. Informasi liaison mengonfirmasi lemahnya pasar ekspor. Perusahaan CPO yang berorientasi ekspor memperkirakan penjualan 2014 tertahan karena lemahnya permintaan Tiongkok, India, dan Pakistan. Sebaliknya, perusahaan CPO yang berorientasi domestik memperkirakan penjualan yang meningkat. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 46