15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Liberalisasi Keuangan Liberalisasi keuangan dalam definisi secara umum dicirikan oleh semakin besarnya pengaruh dan kekuatan pasar dalam menentukan tingkat bunga dan alokasi kredit, sehingga meningkatkan skala operasi lembaga-lembaga keuangan dan selanjutnya diharapkan meningkatkan efisiensi dan stabilitas sistem keuangan. Teori liberalisasi keuangan yang dikembangkan oleh Ronald McKinnon dan Shaw pada tahun 1973 dilandasi oleh tujuan menghapuskan efek merugikan dari represi keuangan (financial repression) terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi. Ciri-ciri represi keuangan adalah adanya pembatasan suku bunga (interest rate ceiling), pembatasan kredit (credit ceiling), tingginya rasio likuiditas, keterbatasan modal (capital rationing) dan adanya batasan untuk masuk dalam pasar keuangan. Menurut Fry (1995) dalam Abdurahman (2003), represi keuangan serta pembatasan kredit memperburuk distribusi pendapatan dan meningkatkan konsentrasi industrial. Implikasinya, liberalisasi keuangan serta pelonggaran pasar kredit akan memperbaiki distribusi pendapatan dan kemiskinan. 2.1.1. Liberalisasi Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Rasionalisasi atas liberalisasi keuangan didasari pada adanya 2 (dua) potensi manfaat yaitu dari segi kuantitas berupa peningkatan jumlah tabungan dan investasi dalam suatu perekonomian serta dari segi kualitas berupa alokasi kapital (dana) yang lebih efisien. Penghapusan batas atas suku bunga diharapkan akan dapat meningkatkan tabungan dan tentu saja sumber dana untuk investasi. Selain itu, adanya alokasi kapital (dana) yang lebih efisien akan menurunkan dispersi 16 dari rasio atau nilai Tobin Q. Keadaan ini dijelaskan oleh model Tobin yang menghubungkan belanja investasi dengan harga saham, di kenal sebagai teori Tobin Q, yaitu : Nilai Q yang tinggi mencerminkan nilai pasar perusahaan tinggi relatif terhadap biaya penggantian modal. Nilai pasar perusahaan pada dasarnya mencerminkan nilai ekuitas perusahaan, dengan demikian biaya modal untuk investasi lebih murah dibandingkan dengan nilai pasar perusahaan, sehingga perusahaan dapat meningkatkan belanja investasi melalui penerbitan sejumlah kecil saham perusahaan. Demikian pula sebaliknya apabila nilai Q rendah, maka perusahaan tidak akan melakukan investasi (penggantian aktiva tetap), karena terlalu mahal. Secara ringkas dengan adanya liberalisasi keuangan dan adanya kebebasan pasar dalam alokasi kredit, maka permasalahan pembatasan modal sebagaimana diungkapkan oleh Stiglitz dan Weiss (1981) dapat terabaikan. Dengan penyesuaian tingkat bunga riil terhadap keseimbangan pasar dimana jumlah tabungan dan investasi diasumsikan berimbang, investasi dengan imbal hasil rendah tereliminasi, maka efisiensi investasi secara keseluruhan akan berkembang. Dengan peningkatan bunga, maka tabungan dan suplai kredit juga akan meningkat, dan mendorong volume investasi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi dapat distimulasi bukan hanya melalui investasi akan tetapi juga melalui peningkatan produktivitas kapital. Dampak dari persyaratan cadangan yang lebih rendah akan mendorong suplai bank yang tinggi, sementara penghapusan pembatasan alokasi kredit juga mengarahkan terjadinya alokasi kredit yang lebih efisien sehingga merangsang produktivitas kapital rata-rata (Arestis, 2005). 17 Konsep mengenai liberalisasi keuangan semakin berkembang, termasuk kegagalan liberalisasi yang dapat terjadi akibat tingkat deposit yang meningkat bersamaan dengan supervisi perbankan yang kurang memadai serta kondisi makroekonomi yang tidak stabil. Kondisi tersebut cukup kondusif untuk meningkatkan resiko yang dihadapi bank, dan mendorong tingkat bunga yang semakin tinggi, kebangkrutan perusahaan dan selanjutnya kegagalan bank. Keadaan ini mendorong munculnya konsep prekondisi yang perlu dipenuhi sebelum reformasi keuangan diimplementasikan. Liberalisasi keuangan merekomendasikan perlunya supervisi perbankan yang memadai supaya bank memiliki portofolio pinjaman yang terdiversifikasi dengan baik, stabilitas makroekonomi tercermin dari inflasi rendah dan stabil serta defisit fiskal yang tetap, serta reformasi keuangan secara bertahap. Dengan demikian liberalisasi keuangan secara bertahap sangat dianjurkan. Dalam perkembangannya, konsep liberalisasi keuangan dilengkapi dengan teori pertumbuhan baru (yaitu model pertumbuhan endogen), yang memasukkan peran dari faktor-faktor keuangan dalam kerangka teori pertumbuhan baru. Dalam hal ini, perantara keuangan merupakan suatu proses endogenous, dimana terdapat hubungan sebab-akibat dua arah antara perantara keuangan dan pertumbuhan. Proses pertumbuhan mendorong peningkatan partisipasi dari pasar keuangan yang memfasilitasi kemapanan dan pengenalan atas perantara keuangan. Sebaliknya perantara keuangan dapat mengalokasikan dana lebih efisien untuk investasi yang mendorong investasi dan pertumbuhan. Selanjutnya, perkembangan keuangan dapat mempengaruhi pertumbuhan bukan hanya melalui peningkatan laju tabungan tetapi juga meningkatkan jumlah tabungan untuk investasi dan mendorong produktivitas marginal sosial dari kapital. Teori 18 pertumbuhan baru menyatakan bahwa akan terjadi pertumbuhan berkelanjutan yang bukan berasal dari kemajuan teknologi. Meskipun demikian terjadi perbedaan antara liberalisasi keuangan dengan teori pertumbuhan baru. Singh (1997) menyatakan bahwa teori endogen membutuhkan adanya perkembangan pasar saham yang cepat dan mantap terutama pada negara berkembang. Sementara itu Fry (1997) menyatakan bahwa liberalisasi keuangan memandang perkembangan pasar saham tidak terlalu penting atau dengan kata lain cukup berkembang secara perlahan. 2.1.2. Pengukuran dan Indikator Liberalisasi Keuangan Sebagaimana didefinisikan terdahulu pada bagian 2.1.1. di atas, liberalisasi keuangan mencerminkan penurunan peran pemerintah dan peningkatan peran pasar atas suku bunga dan alokasi kredit. Secara spesifik, liberalisasi keuangan dicirikan oleh semakin berkurangnya pembatasan dalam: (1) pengawasan alokasi kredit, (2) pengawasan suku bunga, (3) industri perbankan, (4) privatisasi, (5) peraturan, dan (6) transaksi keuangan internasional. Sejauh ini, proses transmisi perkembangan keuangan sebagai dampak dari liberalisasi keuangan ke pertumbuhan ekonomi masih menjadi kontroversi. Menurut McKinnon (1973) dan Shaw (1973) dalam Abdurahman (2003) suku bunga dapat digunakan sebagai ukuran tingkat perkembangan keuangan. Apabila bunga berada di bawah tingkat bunga pasar, maka sektor keuangan berada dalam kondisi represi. Tingkat bunga yang tinggi dapat merangsang tabungan dan perantara keuangan sehingga meningkatkan suplai kredit untuk dialokasikan ke sektor produktif, dengan demikian meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. 19 Menurut Dornbusch (1990) dalam Abdurahman (2003), agregat moneter seringkali digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan keuangan, umumnya adalah rasio M1, M2, M3 terhadap GDP, dimana semakin tinggi rasio maka menunjukkan kondisi pasar keuangan yang semakin berkembang. Perkembangan tersebut selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan dana untuk investasi sektor swasta dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, perkembangan pasar keuangan yang semakin dalam (financial deepening) tidak menjamin peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi (Gregorio and Guidotti, 1995 dalam Abdurahman, 2003). Hal ini terjadi terutama saat tingkat intermediasi keuangan diukur dalam agregat moneter yang juga melibatkan bentuk likuid yaitu M1 dan M2 dalam hal penyediaan likuiditas pasar. Di negara berkembang, perantara keuangan umumnya diukur melalui sistem perbankan, tidak seperti halnya di negara maju yang sudah memasukkan inovasi dan perkembangan keuangan sebagai salah satu perantara keuangan. Beberapa ukuran liberalisasi keuangan dinyatakan dalam ukuran dan definisi tertentu, baik untuk liberalisasi sektor perbankan, liberalisasi pasar modal dan liberalisasi capital account. Akhir-akhir ini penggunaan indeks liberalisasi yang diderivasi dari dimensi atau komponen reformasi mulai banyak digunakan dalam riset di negara berkembang. Menurut Bandiera, et al. (2000) terdapat dua dimensi liberalisasi keuangan, yaitu dari segi internal dan eksternal, baik untuk sektor perbankan maupun sektor pasar saham. Pengaruh liberalisasi keuangan yang meliputi kedua sektor keuangan tersebut menunjukkan bahwa baik secara internal maupun eksternal, memberikan pengaruh terhadap perubahan suku bunga maupun biaya modal, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. 20 Tabel 3. Dimensi Liberalisasi Keuangan Perbankan Internal Eksternal Masuknya bank asing ke pasar perbankan domestik Penghapusan batas suku bunga (deposit dan pinjaman) Penurunan batas cadangan (cadangan giro dan likuiditas) Penurunan kebijakan pinjaman tertentu Privatisasi bank pemerintah Peraturan kehati-hatian perbankan Lingkup jasa keuangan Pinjaman luar negeri dari bank asing Kemudahan konversi mata uang Pasar Saham Keterbukaan pasar terhadap orang asing Sistem perdagangan Insentif bagi investor asing Investasi bank/non-bank pada sekuritas Penerbitan modal Cross listings, dana investasi Merger dan Akuisisi Investasi Portofolio Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment) Sumber: Bandiera, 2000 Pengukuran liberalisasi keuangan dengan definisi yang umumnya digunakan pada beberapa penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 4, yaitu: Tabel 4. Pengukuran Liberalisasi Keuangan Liberalisasi Capital Account Nama Sumber Keterangan IMF IMF AREAER (Annual Report on Exchange Arrangements and Exchange Restrictions) Quinn (1997) Indikator adanya aturan / pembatasan pada aliran batas wilayah Deskripsi naratif dalam AREAER tentang pembatasan capital account Quinn Liberalisasi Pasar Saham (modal) Sumber Keterangan Emerging Market Data Base Jumlah perusahaan terdaftar di bursa, kapitalisasi pasar (mata uang domestik) dan rasio turn over Gross Fixed Capital Formation dan perubahan inventori (dalam mata uang domestik) Ekspor barang dan jasa, impor barang dan jasa, GDP nominal, terms of trade, GDP deflator and consumer price index, real GDP per capita (mata uang domestik), gross fixed capital formation (utk Taiwan (China) dan sampel besar), gross private fixed capital formation, dan perubahan inventori (dalam mata uang domestik (untuk Taiwan (China) dan sampel besar). International Financial Statistics World Economic Outlook World Indicators Development Sumber: Hali, et al., 2004 Persentase tuna aksara untuk dewasa (15-24 tahun), persentase investasi privat terhadap investasi Tetap Domestik Bruto, jumlah perusahaan terbuka, persentase kapitalisasi terhadap GDP dan CPI. 21 Sebagai contoh, indeks liberalisasi capital account (index IMF dan Quinn, 1997); indeks liberalisasi pasar ekuitas (Kaminsky dan Schmukler, 2001); indeks liberalisasi perbankan (Bandiera et al, 2000), dan integrasi pasar modal aktual yang diukur melalui aliran dan ketersediaan investasi portofolio dan langsung asing (Lane and Milesi-Feretti, 2005). 2.1.3. Isu kritis dalam Liberalisasi Keuangan Konsep liberalisasi keuangan juga mengundang kritik dari kelompok Neostrukturalis dan ekonom modern, karena secara implisit mengasumsikan tentang kesempurnaan informasi, pasar dan institusi. Neo-strukturalis menyatakan bahwa pasar tidak sempurna menggambarkan informasi tidak sempurna, karena memiliki informasi yang menguntungkan dibandingkan dengan bank dalam hal pengawasan dan pinjaman, sehingga memungkinkan tercapainya skala ekonomis. Pasar informal tersebut dapat bertahan dari guncangan lokal dan tidak cukup jelas bagaimana efek kredit terdistribusi secara efisien di level perusahaan. Ekonom modern menyatakan bahwa liberalisasi merupakan penyebab dari krisis perbankan dan terjadinya aliran mata uang. Liberalisasi menyebabkan perekonomian lokal rentan terhadap guncangan global. Selain itu, liberalisasi keuangan mengakibatkan volatilitas yang tidak diharapkan dari pasar keuangan di negara berkembang. Institusi dan pasar keuangan menjadi saluran utama dimana kedaulatan nasional menjadi taruhannya. Sistem keuangan korporat rentan terhadap investasi spekulatif yang menimbulkan permasalahan kredit macet serta menghilangkan perusahaan yang sudah terdaftar dari pasar saham. Lebih jauh lagi, terjadi peningkatan pengawasan insitusi keuangan internasional di beberapa 22 negara berkembang yang berakibat pada hambatan tujuan perkembangan nasional dan sosial. Arestis dan Caner (2004) meneliti bahwa terdapat 2 jalur dalam liberalisasi keuangan, yaitu jalur krisis dan jalur akses terhadap pelayanan kredit dan keuangan. Di beberapa negara, pasar keuangan terliberalisasi terlalu dini karena kegagalan dalam mengenali karakteristik yang tidak sempurna, dan di beberapa kasus kondisi ini yang menyebabkan krisis keuangan (Arestis and Glickman, 2002). Hal ini memungkinkan kaum miskin menjadi terkena pengaruh akibat krisis tersebut. Jalur krisis terjadi melalui dinamika makroekonomi, meningkatkan volatilitas dan kerentanan terhadap krisis keuangan dengan adanya liberalisasi. Jalur kedua sebagaimana dinyatakan dalam Arestis dan Caner (2004) terkonsentrasi pada kemungkinan perubahan dalam kemiskinan yang disebabkan oleh akses kredit dan jasa keuangan yang lebih baik. Dalam hal suatu program liberalisasi meningkatkan ketersediaan sumberdaya keuangan bagi yang tadinya dirugikan dan dalam hal masalah kemiskinan terkait dengan kurangnya mekanisme memperhalus konsumsi, terdapat ruang bagi liberalisasi keuangan untuk memperbaiki keimiskinan. Kesimpulan dari Arestis and Caner bahwa belum jelas mekanisme yang mendasari pergerakan dari represi keuangan ke arah rejim liberalisasi mempengaruhi segmen populasi yang berbeda terutama kaum miskin. Perkembangan liberalisasi keuangan serta manfaat yang akan diterima oleh negara yang mengadopsi kebijakan tersebut tidak berarti tidak memiliki masalah. Arestis (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa isu kritis terkait dengan pandangan liberalisasi keuangan, antara lain adalah masalah: (1) tahapan 23 (sequencing) (2) sebab-akibat (causality) (3) liberalisasi perbankan mendorong stabilisasi sistem keuangan (4) tabungan menyebabkan investasi (5) ketiadaan efek distribusi yang serius akibat perubahan suku bunga (6) liberalisasi memihak kaum miskin (7) tidak ada spekulasi, dan (8) kebijakan keuangan yang menguntungkan dan mendukung. 2.1.4. Alokasi Kapital Biaya modal dari suatu negara terdiri dari 2 (dua) komponen, yaitu bunga bebas resiko (risk-free rate) dan premi ekuitas (equity premium). Menurut teori, bila suatu negara miskin melakukan liberalisasi, maka kedua biaya tersebut akan turun. Abiad, Oomes and Ueda (2005) dalam penelitiannya terhadap 5 (lima) negara berkembang (India, Jordania, Korea, Malaysia dan Thailand) menunjukkan bahwa liberalisasi keuangan meningkatkan efisiensi alokasi kapital, terutama dari segi kualitas investasi. Keseimbangan akses kredit bagi perusahaan dapat menurunkan variasi imbal hasil yang diharapkan dari perusahaan yang dihitung dengan rasio Q-Tobin. Terdapat asosiasi negatif antara liberalisasi keuangan dengan penyebaran nilai Q-Tobin dan asosiasi positif antara liberalisasi keuangan dengan efisiensi alokasi kapital. Hubungan positif antara liberalisasi keuangan dengan efisiensi tersebut juga terkait dengan beberapa faktor antara lain perputaran pasar saham, keterbukaan perdagangan, kredit swasta dan kapitalisasi pasar saham. Menurut Glick and Hutchison (2000), pembatasan atas kontrol kapital berasosiasi dengan tingginya peluang krisis mata uang atau dengan kata lain terlihat indikasi bahwa dalam konteks reformasi ekonomi, dimana liberalisasi 24 current account dilakukan, tidak akan lebih rentan terhadap instabilitas nilai tukar. Negara tanpa kontrol kapital memiliki stabilitas nilai tukar yang lebih besar dan sedikit serangan spekulatif. Akan tetapi dalam penelitiannya tersebut, belum dikaji variabel ketersediaan cadangan devisa dari suatu negara, untuk pertimbangan keputusan liberalisasi capital account serta perubahan rejim nilai tukar. 2.1.5. Pasar Modal Pasar Modal adalah pasar yang terus berkembang sehingga definisinyapun terus bertambah. Sebagian orang mendefinisikannya sebagai pasar yang memperdagangkan utang, ekuiti dan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi maupun pemerintah dengan jangka waktu lebih dari setahun (jangka menengah dan panjang). Ada yang mendefinisikannya sebagai pasar uang khusus, atau pasar surat berharga yang mencakup instrumen obligasi dan kredit perbankan. Definisi pasar modal semakin meluas ketika berbagai institusi mulai terlibat, karena adanya peningkatan pendanaan dan pembagian serta pengendalian risiko. Misalnya, perbankan, pasar asuransi, pasar obligasi, dan pasar saham. Pada akhirnya, pasar modal mulai diartikan sebagai pasar yang yang melibatkan semua penyedia dan pengguna modal secara bersama-sama. Berdasarkan ilmu ekonomi, pasar modal yang terintergrasi sama dengan mobilitas modal tanpa batas. Weston dan Copeland memberikan empat macam manfaat ekonomis pasar modal yaitu: (1) Bursa Surat Berharga (security exchange) memperlancar proses 25 transaksi dengan menyelenggarakan pasar dimana dapat dilakukan transaksi yang relatif murah dan efisien (2) Bursa mampu menyelenggarakan transaksi yang kontinyu dan menguji nilai surat berharga. Perusahaan yang dinilai baik prospeknya oleh investor memiliki nilai yang tinggi sehingga memperlancar pembiayaan baru dan pertumbuhan perusahaannya (3) Harga-harga surat berharga relatif lebih stabil dengan adanya bursa yang terorganisir. Dengan demikian transaksi surat berharga dapat berjalan lancar dan harga dapat dikendalikan, dan (4) Pasar surat berharga membantu penyerapan saham baru dan memperlancar proses penjualannya. Di era perdagangan bebas, pasar modal bisa diandalkan sebagai instrumen investasi di tengah pertarungan antara industri padat modal dan padat karya serta pertarungan antara industri berbasis sumberdaya dan keuangan. Atau, menjadi instrumen kebijakan moneter jika transmisi ke sektor riil tidak seperti yang diharapkan akibat regulasi sektor perbankan yang terlalu rumit seperti ketentuan tentang Basel Accord, non performing loan (kredit macet), dan loan to deposit ratio (rasio pinjaman terhadap simpanan). Selain itu, bisa dijadikan sumber pembiayaan alternatif jika terjadi miss match (ketidakcocokan) dalam jangka waktu pinjaman dan risiko, sehingga berbagai proyek yang membutuhkan pembiayaan jangka panjang bisa dilaksanakan. Pasar modal merupakan sumber pembiayaan terbesar di dunia dengan kapitalisasi modal mencapai US$ 130 941 miliar terdiri dari saham (US$ 31 802 miliar), obligasi (US$ 51 305 miliar) dan pinjaman (US$ 47 834 miliar). Berdasarkan data pasar modal dunia tahun 2005, jumlah saham dan obligasi yang beredar di seluruh pasar modal di dunia mencapai US$ 83 107 miliar atau 229 26 persen dari GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto) seluruh negara di dunia. Jika ditambah dengan jumlah loan (pinjaman) yang beredar di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai US$ 47 834 miliar, maka nilai kapitalisasi pasar modal di seluruh dunia mencapai US$ 130 941 miliar atau 361 persen dari GDP seluruh penduduk dunia (Meilani, 2007). Pasar modal juga membantu melancarkan arus dana kas (cash flow), dan bisa diharapkan sebagai sumber pendanaan yang akan mendorong stabilitas ekonomi. Namun, para pemimpin negara dan pemerintahan harus cermat mengkaji dampak liberalisasi pasar modal terhadap perekonomian negara. Untuk kasus Indonesia, misalnya, liberalisasi pasar modal ternyata tidak serta merta mendorong stabilitas ekonomi, tapi justru menimbulkan volatilitas yang membahayakan kondisi perekonomian secara menyeluruh. Siklus di pasar modal berfluktuasi antara saham, dana tunai (deposito), dan obligasi seirama dengan tingkat suku bunga dan perjalanan waktu. Jika suku bunga naik, maka pelaku pasar cenderung untuk memilih deposito sebagai pilihan investasi sehingga deposito di perbankan akan melonjak. Akan tetapi, jika terjadi penurunan suku bunga, maka pilihan investasi pelaku pasar akan beralih ke obligasi hingga mencapai titik terendah dan kemudian kembali akan beralih ke saham. Meski memiliki banyak keunggulan, pasar modal juga mengandung banyak risiko. Salah satu yang terpenting adalah trinitas yang mustahil yaitu stabilitas nilai tukar, besarnya moneter, dan integrasi pasar modal atau stabilitas pembiayaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan (simultan). Hal ini disebabkan karena untuk mencapai salah satu stabilitas diperlukan pengorbanan 27 unsur-unsur stabilitas yang lain. Stabilitas nilai tukar dan mobilitas modal hanya bisa tercapai jika tidak ada kebijakan moneter. Kebijakan moneter dan mobilitas modal hanya terwujud jika tidak ada stabilitas nilai tukar atau penerapan sistem nilai tukar yang fleksibel. Stabilitas nilai tukar dan kebijakan moneter hanya bisa tercapai jika dilakukan pengendalian modal (capital control), seperti yang diterapkan Malaysia. Pasar modal juga membahayakan jika terjadi serangan spekulatif yang tidak dimotori hal-hal fundamental melainkan kehilangan kepercayaan secara tibatiba. Kondisi seperti ini akan lebih berbahaya bagi siklus bisnis, jika rasio nilai kapitalisasi pasar modal terhadap GDP cukup tinggi. Di negara maju, rasio aman yang masih bisa ditolerir adalah 2.7 persen dari GDP. Liberalisasi pasar menciptakan volatilitas dan risiko yang lebih tinggi, terutama di sebagian besar negara-negara Asia. Pasar modal ternyata meningkatkan volatilitas ekonomi dan risiko, khususnya untuk negara-negara berkembang jika tidak didukung oleh adanya program jaring pengaman dan pengendalian harga. Tidak adanya hukum kebangkrutan juga membuat risiko individu di pasar modal menjadi risiko negara. Para peneliti juga belum menemukan bukti kuat bahwa liberalisasi pasar, termasuk perdagangan, membawa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Cina, yang sifatnya lebih tertutup, bisa tumbuh lebih cepat dibandingkan Rusia, yang sifatnya terbuka. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak bisa didasarkan pada investasi dana-dana spekulatif atau jangka pendek (Stiglitz). Teori penyakit Belanda (Dutch Disease) menyebutkan arus modal masuk pada sistem nilai tukar yang fleksibel menciptakan nilai tukar yang lebih tinggi, memperlambat ekspor 28 dan sulit bersaing dengan barang impor. Selain itu, pasar modal juga berisiko menciptakan penumpukan investasi di sektor tertentu, seperti sektor properti di Thailand, yang menjadi idaman, sementara investasi di sektor lain terabaikan (Meilani, 2007). 2.1.6. Kebijakan dan Transmisi Moneter Dalam kerangka kerja target inflasi, kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai target inflasi yang ditetapkan di masa yang akan datang. Mekanisme transmisi bekerja melalui beberapa cara yaitu jalur langsung moneter (melalui penawaran jumlah uang yang beredar dan uang primer), jalur sukubunga (melalui tingkat sukubunga riil), jalur harga aset (melalui nilai tukar dan harga aset), jalur kredit (melalui pinjaman perbankan dan neraca perusahaan) dan terakhir melalui jalur ekspektasi. Transmisi moneter penting bagi otoritas moneter untuk mengerti jalur-jalur yang mempengaruhi inflasi Dalam paradigma baru, kebijakan moneter di sistem perekonomian yang sudah stabil (mature) mempengaruhi permintaan domestik melalui 2 (dua) jalur (Gudmundsson, 2008). Pertama, jalur sukubunga; sukubunga jangka menengah dan panjang sebagian dipicu oleh perubahan saat ini dan akan datang yang tidak terantisipasi dari sukubunga jangka pendek, yang terkait dengan tingkat kebijakan, setidaknya pada kondisi normal. Dampak terhadap sukubunga jangka panjang penting mengingat permintaan konsumsi dan investasi umumnya lebih responsif terhadap sukubunga jangka menengah dan panjang dibandingkan dengan jangka pendek. Kedua, jalur nilai tukar; perubahan kebijakan merubah perbedaan sukubunga dengan luar negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai tukar. 29 Bagi perekonomian terbuka kecil yang tidak dapat mempengaruhi sukubunga global, teori ekonomi memprediksi bahwa globalisasi keuangan secara bertahap akan memperlemah jalur sukubunga, dan bahkan menutupinya sama sekali. Akan tetapi, jalur nilai tukar masih dapat menekan target inflasi dalam jangka menengah maupun panjang, dengan catatan diterapkannya kurs fleksibel. Manajemen moneter yang berdasarkan suku bunga berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok dan pemerataan distribusi pendapatan karena penyaluran pinjaman dengan suku bunga tertentu ditetapkan berdasarkan kemampuan peminjam memberikan jaminan kredit guna meng-cover pinjaman yang diberikan dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajiban tersebut (Siregar, 2003). Pertumbuhan ekonomi juga terpengaruh oleh manajemen moneter yang berdasarkan suku bunga. Hal ini terjadi karena memungkinkan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi lebih dari pendapatan yang diperolehnya karena meningkatnya konsumsi masyarakat yang dibiayai oleh pinjaman. Akibat dari pola konsumsi yang sedemikian rupa menyebabkan turunnya tingkat tabungan masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya suku bunga dan rendahnya tingkat investasi, yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kerja. Menurut Nuryati, Siregar dan Ratnawati (2006) sisi efektifitas kebijakan moneter dalam mencapai tujuan masih terbatas, sebagaimana tercermin dari tidak tercapainya sasaran-sasaran inflasi pada tahun 2000, 2001, dan 2002. Keterbatasan ini bisa jadi disebabkan karena struktur organisasi Bank Indonesia yang terbentuk dalam era Undang Undang Nomor 23/1999 belum efektif, yang pada akhirnya mempengaruhi transparansi dan tingkat kredibilitas kebijakan 30 moneter yang dijalankan. Untuk mencapai kebijakan moneter yang kredibel, Bimantoro dan Bahroen (2003) menyebutkan terdapat lima landasan kerja yang harus diperhatikan yaitu: (1) pernyataan yang tegas mengenai tujuan (2) pernyataan yang jelas mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan (3) adanya instrumen yang jelas (4) adanya kehati-hatian pemerintah atas pengeluaran yang dibiayai dari pinjaman, dan (5) adanya batasan dari ruang lingkup yang meniadakan fluktuasi siklikal dalam perekonomian. Kondisi kelima landasan tersebut belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh otoritas moneter di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan karena Indonesia baru beranjak dari krisis (atau setidaknya masih berada dalam masa transisi untuk keluar dari krisis) dan perekonomian masih sulit untuk diprediksi, sehingga penerapan model-model belum dapat diaplikasikan secara tepat. 2.1.7. Kebijakan Pasar Keuangan Liberalisasi keuangan merupakan otoritas bank sentral suatu negara berupa kebijakan-kebijakan terhadap moneter yaitu pasar uang maupun pasar modal. Liberalisasi keuangan, dapat berupa pelonggaran aturan yang berkaitan dengan kebijakan moneter di suatu negara, misalnya ketentuan mengenai kontrol atas aliran modal masuk (capital inflow) maupun aliran modal keluar (capital outflow), juga termasuk ketentuan investasi di pasar modal seperti salah satunya kemungkinan investor asing untuk dapat melakukan pembelian sekuritas emiten perusahaan-perusahaan yang tercatat pada bursa domestik. Ketika perusahaan ingin melakukan ekspansi investasi, biasanya perusahaan mencari sumber dana dari pasar keuangan, yaitu pasar uang dan pasar modal, seperti perbankan, penerbitan obligasi kepada publik atau menjual saham di pasar saham guna 31 mendapatkan manfaat masa depan. Ketersediaan sumber dana dengan tingkat bunga yang relatif murah akan mendorong pertumbuhan investasi dan konsumsi rumah tangga. Dengan peningkatan konsumsi rumah tangga, maka akan meningkatkan agregat demand dan selanjutnya meningkatkan pendapatan nasional. Model Neoklasik mengasumsikan bahwa jika perusahaan ingin membayar biaya modal, pasar uang akan menyediakan dana. Namun, seringkali perusahaan mengalami keterbatasan pendanaan (financing constraints) dari pasar uang, sehingga menghambat pertumbuhan investasi. akan mempengaruhi perilaku investasi. Keterbatasan pendanaan Dengan demikian, apabila terdapat keterbatasan dalam akses pasar uang maupun pasar modal, yang berdampak pada tingginya biaya modal, akan menurunkan tingkat pertumbuhan investasi. Peran pemerintah sangat diharapkan untuk dapat mempermudah akses perusahaan terhadap sumber dana dari pasar uang maupun pasar modal. Hubungan antara kebijakan pemerintah melalui kebijakan moneter terhadap pasar uang dan pasar modal terhadap pertumbuhan investasi dan pendapatan disajikan pada Gambar 5. Sumber: Dornbusch, Fischer and Startz, 2004 Gambar 5. Interaksi Antara Pasar Uang dengan Pasar Barang 32 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu 2.2.1. Liberalisasi Keuangan dan Kebijakan Moneter Beberapa penelitian tentang dampak liberalisasi keuangan terhadap perekonomian yang dilakukan peneliti di beberapa negara disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian umumnya menunjukkan bahwa dampak positif liberalisasi keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dapat terjadi dengan mempertimbangkan kondisi fundamental dan pentahapan. Kontroversi liberalisasi keuangan, terutama di negara berkembang yang mengalami krisis keuangan memberikan wawasan baru mengenai manfaat liberalisasi keuangan itu sendiri. Liberalisasi pasar uang (pasar saham) merupakan keputusan dari setiap negara untuk memperbolehkan warga asing membeli dan memiliki saham-saham yang diperjualbelikan di negara tersebut. Dalam jangka panjang terdapat hubungan yang positif diantara aktivitas ekonomi dengan harga-harga saham (Fama and French, 1988; Schwert, 1990; Roll, 1992 untuk Amerika dan Canova and DeNicole, 1995 untuk negara-negara Eropa, dalam Phylaktis dan Ravazzolo (1998). Standard IAPM (International Asset Pricing Model), memperkirakan bahwa dengan adanya liberalisasi pasar modal (pasar saham) akan menurunkan biaya modal saham melalui pembagian resiko agen domestik dan asing (Stapleton dan Subrahmanyan, 1977; Errunza dan Losq, 1985; Eun dan Janakiramanan, 1986; Alexander, Eun, dan Janakiramanan, 1987, dan Stulz, 1999a; 1999b) dalam Henry (2000). Prediksi tersebut memberikan 2 implikasi penting bagi negara berkembang yang melakukan liberalisasi pasar modal (pasar saham) pada akhir 1980an dan 33 awal 1990an. Pertama, jika liberalisasi pasar saham menurunkan biaya modal, dengan kestabilan arus kas masa depan, maka akan terdapat peningkatan indeks harga saham karena pasar meyakini bahwa liberalisasi pasar saham akan terjadi. Implikasi yang kedua adalah akan terjadi peningkatan investasi fisik yang mengikuti liberalisasi pasar saham, karena menurunnya biaya modal di negara tersebut (sehingga proyek dengan Net Present Value negatif akan menjadi positif). Implikasi yang kedua ini setidaknya akan meningkatkan pertumbuhan output (pendapatan) nasional dan memberikan dampak kesejahteraan ekonomi kepada pemegang saham domestik, dibandingkan hanya sekedar keuntungan sesaat. Menurut Phylaktis dan Ravazzolo (1998), di negara-negara Pasific Basin pada tingkat regional dan global selama periode 1980 sampai dengan 1998 terlihat adanya integrasi keuangan yang didampingi oleh integrasi ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi ekonomi merupakan saluran bagi integrasi keuangan yang menjelaskan adanya tingkat integrasi keuangan yang tinggi meskipun terdapat pengawasan atas nilai tukar. Implikasinya adalah penggunaan kebijakan pembatasan di suatu negara dapat mengisolasi pasar modal dari pengaruh dunia. Hasil penelitian Henry (2000) terhadap pasar modal 12 negara berkembang, terlihat bahwa pasar modal mendapatkan abnormal return sebesar 4.7 persen per bulan (riil Dollar) selama periode waktu 8 bulan sejak diimplementasikannya liberalisasi pasar saham di masing-masing negara tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap comovement dengan pasar saham dunia, reformasi kebijakan ekonomi serta kondisi fundamental makroekonomi, rata-rata abnormal return adalah 3.3 persen per bulan dalam periode yang sama, meskipun lebih kecil tetapi secara statisitik dan ekonomi signifikan. Perkiraan juga 34 dilakukan untuk melihat adanya implikasi atas liberalisasi pasar saham terhadap penurunan biaya modal selama 2 bulan dan 5 bulan ke depan. Estimasi menunjukkan adanya potensi kenaikan return sebesar 6 persen. Dengan perkiraan biaya modal saham sebelum liberalisasi adalah 20 persen, maka setelah liberalisasi akan terjadi revaluasi return menjadi 26 persen, dan implikasinya penurunan biaya modal saham sebesar 26 persen juga. Dari penurunan tersebut dapat diprediksi akan terjadi penurunan discount rate menjadi 15 persen. Hasil ini ternyata konsisten dan mendukung pernyataan teori bahwa liberalisasi pasar saham akan meningkatkan return pasar saham dan selanjutnya akan menurunkan biaya modal saham atau discount rate. Pandangan konvensional (Radelet and Sachs, 1998; Stiglitz, 2000) dalam Glick and Hutchison (2000), berpendapat bahwa liberalisasi aliran modal internasional, terutama bila dikombinasikan dengan rejim nilai tukar tetap dapat dianggap sebagai penyebab atau setidaknya faktor yang berkontribusi terhadap krisis mata uang akhir-akhir ini. Kebijakan umum yang biasa ditetapkan dalam keadaan seperti ini adalah untuk memberlakukan restriksi terhadap aliran modal dan pembayaran internasional dengan tujuan dapat melindungi perekonomian dari serangan speculator dan selanjutnya meningkatkan kestabilan mata uang. Liberalisasi keuangan terus menerus yang cenderung menghapuskan kontrol modal terlalu dini dapat mengakibatkan instabilitas dari nilai tukar. Kebijakan liberalisasi keuangan dan perdagangan cenderung meningkatkan korelasi diantara pasar saham negara-negara dan bias domestic yang terjadi dalam portofolio saham internasional akan menurun pada saat negara berkembang terintegrasi secara global (Beine dan Candelon, 2005). Liberalisasi perdagangan memberikan efek positif terhadap co-movement dari return pasar 35 saham, namun demikian reformasi liberalisasi perdagangan juga meningkatkan co-movement pasar saham dengan cara yang agak mendua (ambigue). Liberalisasi keuangan juga memberikan dampak positif dan signifikan terhadap korelasi pasar saham, bagaimanapun hasil pengukuran atas co-movement pasar saham. Kebijakan reformasi memberikan efek kuat terhadap perilaku investor keuangan. Dalam penelitiannya terhadap peran sektor keuangan melalui jalur kredit, Abdurahman (2003) menyimpulkan bahwa perkembangan keuangan akibat adanya reformasi keuangan di Indonesia sejak 1983, telah meningkatkan aliran dana simpanan dan pinjaman, terlihat dari rasio tabungan, kredit dan investasi terhadap GDP yang meningkat. Peningkatan agregat moneter secara dramatis khusunya kredit domestik ke sektor swasta diyakini memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia akibat peran perantara keuangan. Rasio kredit sektor swasta terhadap GDP menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan mempengaruhi GDP riil per kapita. 2.2.2. Liberalisasi Keuangan dan Mekanisme Transmisi Moneter Kajian mengenai hubungan liberalisasi keuangan dengan mekanisme transmisi moneter umumnya dikaitkan dengan 2 (dua) subyek liberalisasi, yaitu area sukubunga dan capital account. Aspek terpenting dari liberalisasi keuangan dari sudut pandang transmisi kebijakan moneter adalah deregulasi sukubunga. Beberapa kasus di negara berkembang menunjukkan adanya penghapusan batas sukubunga (interest rate ceiling) dengan diberlakukannya liberalisasi keuangan. Pada prinsipnya, penghapusan batas sukubunga memungkinkan sukubunga kebijakan ditransmisikan menjadi sukubunga ritel dengan lebih cepat dan 36 meningkatkan peran dari jalur sukubunga (Gudmundsson, 2008). Liberalisasi keuanganpun mendorong munculnya produk-produk keuangan baru yang menimbulkan masalah dalam pengukuran uang, perkiraan fungsi permintaan uang stabil. Model permintaan uang stabil penting dalam memfungsikan jalur sukubunga, karena membantu memastikan bahwa transmisi tersebut dapat diprediksi, stabil dan efisien. Liberalisasi capital account mendorong terjadinya aliran modal antar negara. Sektor keuangan di seluruh dunia tidak hanya mengalami volatilitas nilai tukar dan likuiditas yang tinggi akibat aliran tersebut, namun juga konsolidasi keuangan antar negara dan integrasi pasar keuangan. Besarnya integrasi pasar keuangan mendorong peningkatkan persaingan pasar dan akan berdampak pada mekanisme transmisi moneter. Dalam kasus ini de Bondt (2002, 2005) menganalisis aliran dari perubahan sukubunga kebijakan sukubunga simpanan dan pinjaman dalam wilayah Euro. Dengan menggunakan pendekatan Error Correction Model (ECM) serta Vector Autoregression (VAR), terdapat aliran sukubunga ritel yang lebih cepat karena kebijakan moneter baru tahun 1999. 2.2.3. Rasio Tobin Q dan Liberalisasi Keuangan Henry dan Chari (2002), menyatakan bahwa dengan analisis data deret waktu (1980 – 1994) dari 369 perusahaan publik di 5 negara (India, Jordania, Korea, Malaysia dan Thailand) terdapat peningkatan nilai rata-rata Q dan investasi sekitar periode liberalisasi (1988 secara umum). Sedangkan analisis cross-section menunjukkan bahwa realokasi investasi fisik setelah liberalisasi tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan perubahan resiko sistematis dan peluang investasi. Kesimpulannya adalah meskipun liberalisasi mendorong aliran 37 kapital namun tidak menjamin efisiensi alokasi kapital di negara yang menerima aliran kapital tersebut. Victor (2003), menyatakan bahwa terdapat pola yang sama dari volatilitas rasio Tobin Q terhadap GDP dengan volatilitas pasar saham terhadap GDP di beberapa negara berkembang. Sementara untuk negara-negara G7, tidak terdapat pola yang sama. Linderberg dan Ross (1981) dalam Han Kin Sang (1998) menyatakan bahwa nilai marjinal q dapat berbeda dari unity (satu). Kondisi tersebut dapat terjadi pada pasar persaingan sempurna, yaitu karena biaya penggantian modal yang terlalu rendah atau pada industri yang menurun (declining) biaya penggantian modal terlalu mahal akibat kemajuan teknologi yang pesat. Sebaliknya pada pasar monopoli, nilai Q dapat lebih besar dari 1, karena nilai pasar dari perusahaan yang tinggi. tingginya nilai pasar perusahaan. Pada pasar bersaing, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai marjinal Q sama dengan faktorfaktor yang mempengaruhi nilai rata-rata Q. Han Kin Sang (1998) dalam penelitiannya terhadap nilai rasio Q-Tobin dari perusahaan publik Canada menunjukkan bahwa metode Hall memiliki pendekatan teoritis yang terbaik, sedangkan metode modifikasi-Lindenberg-Ross adalah metode dengan perhitungan yang paling sederhana. Selain itu, faktor determinan utama yang berdampak positif terhadap rasio Q adalah biaya penelitian dan pengembangan serta iklan, sedangkan yang berdampak negatif adalah jumlah utang. 38 2.3. Kebijakan pada Sektor Keuangan di Indonesia 2.3.1. Perbankan Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan ekonomi makro, terdapat empat kebijakan umum yang diambil selama periode sebelum krisis tahun 1997 (Jiwandono, dalam Abdullah, 2003), yaitu: 1. Menerapkan kebijakan fiskal/anggaran berimbang untuk menghindari penggunaan hutang domestik dalam pembiayaan pengeluaran pemerintah. 2. Menerapkan kebijakan moneter yang berhati-hati yang menjaga agar pertumbuhan likuiditas sesuai dengan pertumbuhan permintaan riil. 3. Menjaga agar nilai tukar rupiah selalu berada pada posisi yang realistis. Pada awalnya ini dilakukan melalui kebijakan devaluasi setiap kali situasi ekonomi menuntut demikian. Kemudian sejak tahun 1986 hal ini dilakukan melalui penyesuaian sasaran nilai tukar rupiah secara harian yang ditujukan untuk memelihara daya saing industri-industri berorientasi ekspor dan sekaligus agar perkembangan nilai tukar rupiah sesuai dengan kondisi permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. 4. Mempertahankan kebijakan lalu lintas modal (devisa) bebas sejak tahun 1971. Kebijakan ini telah membantu menarik investasi asing dan membuat perekonomian Indonesia dapat dengan relatif cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi di pasar internasional. Berbagai langkah kebijakan tersebut telah mendukung pemeliharaan kondisi ekonomi makro yang relatif stabil dan predictable selama periode sebelum krisis ekonomi 1997. Dalam periode tersebut laju inflasi relatif terkendali pada level rata-rata di bawah 10 persen per tahun. 39 Tabel 5. Penelitian-Penelitian Liberalisasi Keuangan: Capital Account, Pasar Saham dan Moneter JUDUL ARTIKEL TUJUAN The Quality Effect: Does Financial Liberalization Improve the Allocation of Capital?. Growth Volatility and Financial Liberalization. Menganalisis efek kualitatif liberalisasi keuangan terhadap efisiensi alokasi kapital 3. 4. 1. 2. METODOLOGI MODEL DATA Panel regresi Tobin’s Q Indeks liberalisasi keuangan terbaru dari 36 negara selama 24 tahun (1973 – 1996) HASIL DAN KESIMPULAN Liberalisasi keuangan memperbaiki efisiensi alokasi kapital Menganalisis dampak liberalisasi pasar saham dan keterbukaan capital account terhadap volatilitas pertumbuhan konsumsi riil Econometric – SUR Data keuangan dan makro ekonomi dari 2 kelompok negara berkembang Liberalisasi pasar saham yang diikuti dengan keterbukaan capital account dapat mengurangi volatilitas pertumbuhan konsumsi riil. Taking Stock: Monetary Policy Transmission to Equity Markets. Menganalisis dampak kebijakan moneter terhadap pasar saham Event study Data kebijakan moneter 1994 – 2003, indeks S&P dan 500 saham perusahaan, pertemuan FOMC Does Financial Liberalization Improve The Allocation Of Investment? Menganalisis dampak liberalisasi keuangan terhadap alokasi investasi Econometric 12 negara berkembang dengan periode waktu sebelum dan setelah liberalisasi keuangan Pengaruh kebijakan moneter yang tidak diduga terhadap pasar saham menguat. Saham sektor industri yang siklikal dan kapital intensif terpengaruh 2-3 kali lebih kuat dibandingkan yang nonsiklikal Reformasi keuangan meningkatkan alokasi investasi pada beberapa negara PENELITI Abiad, A., Oomes, N. and Ueda, K. Presented at the Sixth Jacques Polak Annual Research Conference November 3─4, 2005. Bekaert, G., Harvey C.R. and Lundblad C. National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA 02138 USA. 2004. Ehrmann, M and Fratzscher, M. Working Paper Series No. 354. May 2004. Galindo, Schiantarelli, F., Weiss, A. and Arturo. Micro Evidence from Developing Countries. October, 2003. 40 Tabel 5. Lanjutan JUDUL ARTIKEL 5. TUJUAN METODOLOGI MODEL Econometric DATA PENELITI Do China’s Capital Controls Still Bind? Implications For Monetary Autonomy And Capital Liberalisation. Capital Account Liberalization and Economic Performance: Survey and Synthesis. Menganalisis efektivitas dari capital control terhadap harga dan aliran dana Mensurvei dan mensintesa literatur efek keterbukaan capital account dan liberalisasi pasar saham Cross-section Regression Indeks liberalisasi dengan beberapa metode dari studi-studi terdahulu Keterbukaan capital account dan liberalisasi pasar saham memberikan efek konsisten terhadap pertumbuhan ekonomi pada negara dengan pendapatan menengah. 7. Stock Market Liberalization, Economic Reform, and Emerging Market Equity Prices. Metode Event Study Data return pasar saham di 12 negara berkembang di Amerika Latin dan Asia (1980 – 1990). Terdapat abnormal return pasar modal 4.7% selama 8 bulan dan mendorong penurunan biaya modal . Liberalisasi pasar modal memberikan ruang gerak bagi investasi dengan penurunan biaya modal. Henry, P.B. The Journal of Finance. Vol. LV. No. 2. 8. Micro-macro linkages in financial markets: the impact of financial liberalization on access to rural credit in four African countries. Menguji konsistensi data dengan pernyataan bahwa liberalisasi pasar modal (saham) akan meningkatkan return saham dan selanjutnya menurunkan biaya modal. Menganalisis efek liberalisasi keuangan terhadap akses kredit bagi pasar individu 4 negara miskin di Afrika Ekonometrika, persamaan simultan Karakter dan tahapan reformasi keuangan sejak 1985 – 1997 di Uganda, Kenya, Malawi dan Lesotho. Liberalisasi keuangan berpengaruh terhadap perubahan sukubunga namun tidak meningkatkan laju tabungan dan akses kredit. Peningkatan akses kredit karena inovasi pasar keuangan bagi bisnis kecil dan pertanian. Mosley, P. Journal of International Development; May/Jun 1999; 11, 3; ABI/INFORM Global. pg. 367 6. China HASIL DAN KESIMPULAN Capital control masih berpengaruh, dan aliran dana dipengaruhi oleh sukubunga. Guonan Ma and Mccauley, R. N. BIS Working Papers No 233. Monetary And Economic Department. August 2007. Hali J. Edison, Michael W. Klein, Luca Antonio Ricci and Torsten Sløk. IMF Staff Papers; 2004; 51, 2; ABI/INFORM Global. pg. 220. 41 Table 5. Lanjutan JUDUL ARTIKEL TUJUAN METODOLOGI MODEL VAR dan GMM DATA 10 negara Pasific Basin dari tahun 1980 – 1998 9. Measuring Financial and Economic Integration with Equity Prices in Emerging Markets. Menganalisis keterkaitan riil dan keuangan pasar saham di tingkat regional dan global secara simultan 10. Credit Constraints, Financial Liberalisation And Twin Crises. Menganalisis kondisi ‘twin-crises’ dalam kaitannya dengan liberalisasi keuangan Diamond-Dybvig Model Ekonomi terbuka dan ekonomi tertutup 11. Financial Liberalization and Monetary Control in A Developing Country. VAR, ARCH dan GARCH Data kuartalan sejak 1980 sampai dengan 2000, baik bank sentral, bank komersiel maupun sektor korporasi non-pertanian non-keuangan di Peru. 12. Stock Market Development And Economic Growth: The Causal Linkage. Menganalisis dampak liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter terhadap keuangan sektor perbankan, korporasi nonkeuangan dan bank sentral. Menganalisis hubungan sebab akibat antara perkembangan pasar saham, keuangan dan pertumbuhan ekonomi VAR Data kuartalan dari 1971 1998 , yaitu pasar modal dan kewajiban bank dari 7 negara berkembang. HASIL DAN KESIMPULAN Integrasi ekonomi didampingi oleh integrasi keuangan baik di tingkat regional dan global untuk seluruh sub-periode. Akses ke pasar modal internasional memungkinkan ekonomi domestik mengalokasikan sumberdaya lebih efisien dan mengurangi kerentanan sektor perbankan (dalam rejim nilai tukar tertentu) Liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter menimbulkan dampak positif dalam jangka pendek, namun menyebabkan keuangan dari sektor perbankan dan korporasi non-pertanian nonkeuangan rapuh. Pasar modal yang telah berkembang baik mendorong pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi modal yang lebih cepat dan alokasi sumber daya yang lebih baik PENELITI Phylaktis, K and Ravazzolo. F. City University Business School City University Business School. London. United Kingdom. 1998. Zhu, H. BIS Working Papers No 124. Monetary and Economic Department. January 2003. Liebana, P. L. Department of Economics. Notre Dame, Indiana. November 2002. Dissertation. Guglielmo Maria Caporale, Peter G. A Howells, and Alaa M. Soliman. Journal of Economic Development 33 Volume 29, Number 1, June 2004. 42 Tabel 5. Lanjutan JUDUL ARTIKEL TUJUAN METODOLOGI MODEL DATA Regresi BergandaVolatilitas pasar mata uang Model ‘canonical’ & ketersediaan data 69 krisis mata uang negara berkembang (1975 – 1997), dan 160 kasus krisis mata uang. HASIL DAN KESIMPULAN Pembatasan atas capital control berasosiasi dengan tingginya peluang krisis mata uang. 13. Capital Controls and Exchange Rate Instability in Developing Economies. Meneliti restriksi legal terhadap aliran dana internasional (capital account) berasosiasi dengan semakin besarnya stabilitas mata uang, sehingga dapat terlindung dari serangan spekulatif atas mata uang. 14. The IMF and the Liberalization of Capital Flows. 15. Gestation Lags for Capital, Cash Flows, and Tobin’s Q. PENELITI Menganalisis determinan decontrol capital account pada negara berkembang dan memeriksa peran perubahan rejim aliran dana selama berpartisipasi dalam IMF. Metode Least Square Data program IMF dan kebijakan 53 negara berkembang (1982 – 1998) Keikutsertaan dalam program IMF berkorelasi dengan liberalisasi capital account selama periode 1990an. Joyce, J.P. and Noy, I. Department of Economics Wellesley College and University of Hawaii. Unpublished. 2005. Menganalisis respons investasi akibat perubahan biaya modal, serta hubungan antara arus kas dengan Tobin’s Q. Structured VAR model, dengan model investasi, arus kas dan hubungan antara arus kas dan Tobin’s Q. Data agregat kuartal perusahaan non-pertanian dan non-keuangan di US sejak 1959Q2 sampai 2002Q4. Dibutuhkan waktu 4 kuartal bagi investasi untuk berespons terhadap guncangan teknologi dan tambahan sekitar 8 kuartal sebelum kapasitas produksi terpengaruh (ada penyesuaian arus kas dan Q). Millar, J.N. Finance and Economics Discussion Series. Divisions of Research & Statistics and Monetary Affairs. Federal Reserve Board, Washington, D.C. 2005. Glick, R and Hutchison, M. Federal Research Bank of Fransisco. Unpublished. 2000. 43 Tabel 5. Lanjutan JUDUL ARTIKEL TUJUAN 16. Integration and stock market co-movement between emerging economies. 17. Financial liberalization and money demand in the ASEAN countries. 18. The Causes and Impacts of International Financial Liberalization. Menyelidiki dampak perdagangan dan liberalisasi keuangan terhadap tingkat comovement pasar modal diantara negara berkembang. Memperkirakan pengaruh liberalisasi keuangan terhadap permintaan uang riil dalam jangka panjang di 4 negara Asia Tenggara Menganalisis penyebab dan dampak sosial dari internasionalisasi keuangan di negara berkembang 19. How Risky is Financial Liberalization in the Developing Countries? Menganalisis apakah liberalisasi keuangan beresiko? METODOLOGI MODEL DATA Perkiraan korelasi 25 negara sejak tahun time-varying pasar 1990 sampai 2004 (15 saham antar negara. tahun). Metode realized moment (seperti GARCH) atau realized correlation Johanssen (1988) Full- 4 negara Asia Tenggara: Information maximum- Indonesia, Singapore, Likelihood Procedure Malaysia dan Thailand pada periode sebelum krisis Granger causality test and VAR Data time series dari keterbukaan keuangan internasional di 44 negara berkembang dari 1970 – 1994. Regresi dan causality 27 negara berkembang dan maju dari 1977 – 1999 HASIL DAN KESIMPULAN Terdapat dampak positif reformasi liberalisasi perdagangan dan keuangan terhadap tingkat korelasi dan keterkaitan pasar saham antar negara. PENELITI Beine, M. and Candelon, B. University of Luxemburg. Belgium. Unpublished. 2005. Fungsi permintaan uang riil dari ke-4 negara adalah stabil meskipun sudah dilakukan liberalisasi keuangan. Dekle R. and Pradhan, M. International Journal of Finance & Economics; Jul 1999; 4, 3; ABI/INFORM Global pg. 205. Liberalisasi keuangan disebabkan oleh integrasi perekonomian dan keuangan antar negara (evolusionary) dan krisis pembayaran (revolusionary). Secara umum, liberalisasi keuangan memberikan dampak menguntungkan bagi negara berkembang Liberalisasi keuangan diharapkan untuk meningkatkan persaingan dan mengurangi kekuatan monopoli, selain dari pasar keuangan. Dengan resiko yang dapat terjadi, perlu pentahapan proses. Zhang, H. PhD. Dissertation. Claremont Garduate University. California. 2001. Wyplosz, C. 2001. Graduate Institute of International Studies, Geneva and CEPR. 44 Tabel 5. Lanjutan JUDUL ARTIKEL TUJUAN 20. Financial Globalisation: Key trend s and implications for the transmission mechanism of monetary policy Menganalisis perkembangan dan pengaruh globalisasi keuangan terhadap efektivitas jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter 21. Impact of Financial Market Developments on the Monetary Transmission Mechanism Menganalisis sejauh mana pengaruh perkembangan keuangan terhadap mekanisme transmisi moneter METODOLOGI MODEL DATA Uji korelasi dan ECM Beberapa negara maju (kecil dan besar) dan negara berkembang yang menerapkan sistem nilai tukar fleksibel dan pentargetan inflasi Standard two-step Engle-Granger ECM dan Rolling regression Beberapa negara industri (maju) dan negara berkembang Asia HASIL DAN KESIMPULAN Jalur sukubunga dari MTM melemah dalam jangka panjang, baik di negara maju maupun berkembang. Volatilitas nilai tukar kecil dan diharapkan mengkompensasi lemahnya jalur sukubunga dalam pentargetan inflasi. Negara dengan pasar keuangan yang telah maju memiliki laju transmisi sukubunga dan penyesuaian yang lebih cepat PENELITI Gudmundsson, M. 2008. BIS Papers no. 39. Singh, S., Razi, A., Endut, N. dan Ramlee, H. 2008. BIS Papers no. 39. 45 Di sektor keuangan, dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi, upaya menggerakkan sumber dana domestik dilakukan dengan mengembangkan infrastruktur sektor keuangan, khususnya industri perbankan. Hal ini terlihat sangat jelas dari perkembangan sektor keuangan di Indonesia yang sarat dengan rangkaian deregulasi sejak tahun 1983. Proses deregulasi perekonomian yang dilakukan di Indonesia hampir identik dengan deregulasi sektor keuangan. Strategi deregulasi sektor keuangan di Indonesia, dimulai secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank lebih realistis pada tahun 1968 sampai dengan 1970, dan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai konsekuensinya, sektor perbankan telah berhasil meningkatkan perannya sebagai media intermediasi dan penyedia jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi di masa lalu (Sabirin, 1999). Beberapa paket kebijakan untuk mendorong sistem keuangan domestik juga dikeluarkan pada tahun 1988, 1990 dan 1991. Tujuannya adalah untuk melakukan liberalisasi sektor keuangan domestik dengan penetapan bunga melalui mekanisme pasar, pendirian bank atau cabang baru dengan persyaratan lebih mudah, mengizinkan bank asing beroperasi di kota selain Jakarta, dan memperluas kapasitas bank komersial dalam alokasi kredit melalui penurunan persyaratan cadangan terhadap deposito dari 15 persen menjadi 2 persen. Dapat dikatakan bahwa proses deregulasi perekonomian yang dilakukan di Indonesia hampir identik dengan deregulasi sektor keuangan (Abdurahman, 2003). Reformasi keuangan tersebut berdampak signifikan terhadap perluasan dan kedalaman (deepening) sistem keuangan di Indonesia. Pengaruh lainnya adalah sukubunga riil positif, kenaikan jumlah bank, jumlah tabungan dan volume kredit domestik, sebagaimana terlihat pada Tabel 6. 46 Tabel 6. Tren Rasio M2, Kredit, Tabungan dan Investasi Terhadap Gross Domestic Product, Tahun 1983 sampai dengan 1997 Sumber: Abdurahman, 2003 Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di Indonesia belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien ternyata belum tertata dengan baik. Sebagai konsekuensinya, ekonomi Indonesia menjadi sangat rentan terhadap gejolak eksternal sebagaimana terjadi pada pertengahan tahun 1997. Beberapa langkah kebijakan dilakukan untuk memperkuat kestabilan makroekonomi dan membangun kembali infrastruktur ekonomi, khususnya perbankan dan dunia usaha, antara lain (IMF, 1998 dalam Abdullah, 2003): 1. Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan. 2. Di bidang fiskal, ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi. Salah satu bentuknya adalah dengan program Jaring Pengaman Sosial. 3. Di bidang pengelolaan (governance), ditempuh kebijakan untuk memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di dalamnya upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli, dan kegiatankegiatan yang kurang produktif lainnya. 47 4. Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai dua hal, yaitu: mengatasi dampak krisis dan menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang. Fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi tersebut adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah, dan hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Pada tataran implementasi, dalam menjalankan fungsi stabilisasi rupiah, Bank Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah kendala yang terkait dengan optimalisasi kebijakan moneternya. Pertama, penentuan satu di antara dua alternatif, yaitu suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) jangka waktu 1 dan 3 bulan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Kedua, informasi emperik tentang jalur-jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter yang berpengaruh efektif terhadap pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu pengendalian tingkat inflasi. Ketiga, informasi emperik tentang jangka waktu (time lag) pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Keempat, informasi emperik tentang trade-off output-inflasi yang diakibatkan oleh kebijakan moneter di bawah sistem nilai tukar mengambang dan mengambang terkendali. Kelima, seberapa besar tingkat efektifitas kebijakan moneter di bawah kedua sistem nilai tukar tersebut. 48 2.3.2. Pasar Modal Indonesia Keterlibatan pemerintah dalam pasar modal, adalah sebagai regulator melalui Bapepam dan BEI (Bursa Efek Indonesia). Setiap pemain di pasar modal memiliki peran masing-masing. Ada beberapa pihak terlibat secara langsung dengan mengelola ekuiti dan utang yaitu sales, trading, brokerage, produk turunan ekuiti (equity derivatif) dan investasi langsung. Bank investasi biasanya membawahi dua "pemain" penting yaitu underwriter (penjamin emisi) dan corporate finance advisory (penasehat keuangan perusahaan). Underwriter mengelola instrumen-instrumen yang berkaitan dengan ekuiti seperti IPO (Initial Public Offering/penjualan saham perdana), dan convertible bonds (obligasi yang bisa dikonversikan dalam bentuk saham). Underwriter juga mengelola instrumen-instrumen yang tercatat dan tidak tercatat. Dalam konteks pasar modal, liberalisasi dan integrasi keuangan berarti hilangnya hambatan untuk melakukan cross listing, cross trading dan cross membership. Perkembangan investasi di Indonesia mengalami babak baru setelah direorganisasikannya pasar modal pada tahun 1977 melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1976. Reorganisasi ini mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan investasi di Indonesia karena dengan diefektifkannya kembali pasar modal diharapkan pengalokasian sumber daya ekonomi terutama yang menyangkut alokasi modal dapat berlangsung secara efisien (Hidayat, 2009). Secara garis besar perkembangan pasar modal di Indonesia sejak diefektifkannya kembali tahun 1977, dapat dibagi menjadi tiga era, yaitu: 1. Era Pra Deregulasi 2. Era Deregulasi 49 3. Era Pasca Deregulasi Periodisasi di atas dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Era Pra Deregulasi Era Pra Deregulasi dari tahun 1977 sampai dengan tahun 1987 merupakan era rintisan menuju pasar modal yang efisien. Sebelum periode 1977 sampai 1987 sebenarnya pasar modal telah dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu pada tahun 1912 yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi kemudian ditutup pada tahun 1942. Pemerintah Republik pernah pula mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1952 dengan Undang-Undang Darurat Nomor 15 Tahun 1952 yang tujuan utamanya untuk memberikan fasilitas bagi perdagangan obligasi pemerintah saat itu. Keadaan politik yang tidak menentu dan kondisi perekonomian yang buruk mengakibatkan pasar modal harus ditutup kembali. Keadaan ini berlanjut hingga tahun 1977 sampai pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1976 yang menandakan kembali diefektifkannya pasar modal. Sejak keluarnya Keputusan Presiden tersebut, pasar modal di Indonesia diharapkan menjadi wahana pengalokasian modal yang efisien serta alat untuk memeratakan pendapatan kepada pemodal-pemodal kecil. Tahun 1977 sampai dengan 1987 merupakan periode awal perkembangan bursa di Indonesia, hal ini terlihat pada jumlah perusahaan yang menawarkan saham hanya terdapat 24 perusahaan dan 3 perusahaan yang menawarkan obligasi, sementara itu dana yang terhimpun hanya berkisar Rp 131.4 milyar. Bagi perusahaan, pasar modal bukan merupakan wahana yang menarik untuk menjual surat berharga karena beberapa alasan, yaitu: 50 a. Adanya persyaratan laba minimum sebesar 10 persen dari modal sendiri. Persyaratan ini dinilai cukup berat bagi perusahaan yang akan go public. b. Tertutupnya kesempatan bagi investor asing untuk berpartisipasi dalam kepemilikan saham. c. Adanya batas maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4 persen dalam setiap hari perdagangan di bursa. d. Tidak adanya perlakuan yang sama terhadap penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan dividen. e. Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa. Faktor-faktor di atas merupakan penyebab kurang menariknya pasar modal, baik bagi perusahaan maupun investor. 2. Era Deregulasi Era Deregulasi dari tahun 1987 sampai dengan 1990, pemerintah mengeluarkan tiga perangkat paket kebijakan penting dalam bidang pasar modal. Ketiga perangkat kebijakan tersebut dituangkan dalam paket-paket deregulasi sebagai berikut: a. Paket Desember 1987 Isi penting dari paket kebijakan ini yang berkaitan erat dengan pasar modal yaitu: 1. Menghapuskan persyaratan laba minimum 10 persen dari modal sendiri. 2. Diperkenalkannya instrumen baru pasar modal yaitu saham atas unjuk. 51 3. Dibukanya bursa paralel (Bursa Paralel Indonesia) sebagai arena perdagangan efek bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. 4. Dihapuskannya ketentuan batas maksimum fluktuasi harga sebesar 4 persen. b. Paket Oktober 1988, dengan beberapa kebijakan yaitu: 1. Pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito tabungan. 2. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian kredit bank kepada nasabah perorangan dari nasabah grup yaitu secara berturut-turut tidak melebihi 20 persen dan 50 persen dari modal sendiri bank pemberi kredit. 3. Penetapan persyaratan modal minimum untuk mendirikan bank umum swasta nasional, bank pembangunan dan bank campuran. c. Paket Desember 1988. Melalui paket ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada swasta untuk mendirikan dan menyelenggarakan bursa di luar Jakarta. Dengan kebijakan ini, dibuka peluang bagi investor bagian lain untuk memperdagangkan efeknya di bursa tersebut sehingga investor tidak lagi harus memperdagangkan efeknya di Bursa Efek Jakarta. Disamping itu melalui paket ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada seluruh perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh di bursa (company listing). Dengan demikian, diharapkan saham perusahaan akan lebih marketable. d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1055/KMK.013/1989 tentang Pembelian Saham oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal. Melalui keputusan ini, pemerintah membuka kesempatan bagi investor asing untuk berpartisipasi di pasar modal Indonesia. Ketentuan ini membolehkan investor asing 52 untuk menguasai maksimum 49 persen di pasar perdana, maupun 49 persen saham yang tercatat di bursa efek maupun bursa paralel. e.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199/KMK.010/1991 jo Keputusan Menteri Keuangan 1548/KMK/013/1990 tentang Perubahan Status BAPEPAM. Melalui keputusan ini, tugas BAPEPAM yang semula merupakan penyelenggara bursa (Badan Penyelenggara Pasar Modal) berubah menjadi pengawas pasar modal (Badan Pengawas Pasar Modal) sedangkan penyelenggara bursa diserahkan kepada swasta. Di samping itu, lembaga-lembaga penunjang lainnya seperti Lembaga Kliring Penyelesaian dan Penyimpanan, Reksa Dana resmi dibentuk. 3. Era Pasca Deregulasi Dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan deregulasi, pasar modal di Indonesia berkembang sangat pesat. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah perusahaan go public yang sangat drastis. Bila pada tahun 1988, jumlah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta baru mencapai 26 perusahaan maka pada akhir 1994 telah mencapai 218 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 103 835.24 milyar. Pertumbuhan tersebut juga diikuti oleh semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pasar modal di Indonesia, jika pada tahun 1977 rata-rata transaksi baru mencapai Rp 1 650 000 per hari, dan pernah mencapai Rp 50 000 000 per hari pada tahun 1982 maka pada akhir tahun 1993 transaksi telah mencapai Rp 117 582 juta per hari. Ini berarti telah terjadi peningkatan 738 persen jumlah emiten yang terdaftar di bursa selama periode waktu tersebut dan terjadi kenaikan 215 kali lipat pada nilai kapitalisasi. Upaya-upaya untuk meningkatkan peranan pasar modal dalam perekonomian Indonesia masih terus berlanjut. Dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan pada 53 era pasca deregulasi untuk mengontrol dan menutup kelemahan-kelemahan pasar modal masih terus digulirkan, khususnya untuk melindungi investor dan pelaku pasar modal lainnya. Beberapa peraturan yang dikeluarkan antara lain: 1. Peraturan Nomor: IX.C.1. tentang keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada publik (lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep22/PM/1991). 2. Peraturan Nomor: X.D.1. tentang persyaratan keterbukaan orang dalam dan pemegang saham tertentu (lampiran Keputusan BAPEPAM Nomor: Kep89/PM/1991). 3. Surat Edaran Ketua BAPEPAM Nomor: SE-05/PM/1992 tentang penyampaian laporan keuangan tahunan. 4. Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8. tentang benturan kepentingan transaksi tertentu. 5. Peraturan Nomor: IX.D.1 tentang benturan kepentingan transaksi tertentu (lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-01/PM/1993). Kinerja PMI (Pasar Modal Indonesia) dapat ditinjau dari jumlah emiten, nilai emisi dan kapitalisasi saham, volume perdagangan yang tergabung dalam PMI secara keseluruhan. Jumlah emiten yang bergabung dalam PMI sampai dengan tahun 2007 adalah 383 perusahaan. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar modal berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah emiten yang bergabung dalam PMI. Dalam kurun waktu 10 tahun dari 1991 hingga 2001 terjadi kenaikan nilai kapitalisasi pasar hingga lebih dari 20 kali lipat. Pada 1991, jumlah saham dan obligasi di pasar modal Indonesia hanya Rp. 11.2 triliun, namun pada 2001 jumlah mencapai Rp. 263 triliun. Sampai dengan tahun 2007, nilai kapitalisasi pasar adalah Rp 1 988.3 triliun. Nilai 54 kapitalisasi menunjukkan jumlah modal yang mampu dihimpun oleh Pasar Modal Indonesia dalam menunjang kegiatan investasi saham. Indikator perkembangan pasar saham lainnya yang menunjukkan perkembangan yang baik adalah IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), yang merupakan cerminan dari kinerja pasar. Membaiknya kondisi pasar saham Indonesia juga ditunjukkan dengan transaksi yang melibatkan investor asing yang mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Pada 1992, transaksi saham yang melibatkan investor asing mencapai 59 persen. Jumlah ini menurun pada 2001 dimana transaksi yang melibatkan investor asing hanya 11 persen. Namun, pada 2005, transaksi saham yang melibatkan investor asing kembali naik menjadi 41 persen dan pada akhir 2010 menjadi sekitar 39 persen. 2.3.3. Kebijakan Penanaman Modal di Indonesia Beberapa kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada dasarnya bertujuan untuk merangsang pertumbuhan investasi asing langsung maupun dalam negeri, termasuk pengendalian maupun pelaksanaan dari penanaman modal tersebut. Pada tahun 2004, dikeluarkan keputusan Kepala BKPM No. 61 Tahun 2004, yang mengatur tentang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, berupa bentuk dan tatacara pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Proyek (BAP), Pelaporan dan Pencabutan Surat Persetujuan. Beberapa problematika terkait dengan mekanisme investasi telah dikaji, dan menghasilkan paket kebijakan baik dari pemerintah maupun BKPM sendiri. Kebijakan yang terkait dengan masalah pembentukan perusahaan dan izin usaha, adalah konsep pelayanan satu atap, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 55 29 Tahun 2003. Lahirnya Keppres tersebut dilatarbelakangi suasana euforia UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Desentralisasi disemangati secara berlebih, sehingga daerah dalam meningkatkan PAD mengeluarkan berbagai perda pajak dan retribusi daerah, yang pada akhirnya memberatkan dunia usaha dan investasi. Pada akhir Februari 2006, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan investasi, dalam bentuk Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006. Program tersebut antara lain meliputi kelembagaan pelayanan investasi, sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, kepabeanan dari cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, usaha kecil, menengah, dan koperasi. Latar belakang dikeluarkannya paket kebijakan investasi tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja investasi di Indonesia. Menurut pemerintah, investasi dapat diharapkan memberikan nilai bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, untuk mencapai target pertumbuhan sekitar 6 sampai 7 persen di era pemerintahan Kabinet Persatuan. Paket Kebijakan berikut programnya meliputi aspek umum, kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan dan juga untuk Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi. Pada tahun 2007, telah dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga Peraturan Presiden RI No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, mengenai Kedudukan, Tugas, Fungsi, Pengorganisasi serta Komite Penanaman Modal. Artinya, BKPM menjadi sebuah lembaga pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal antar instansi pemerintah, pemerintah dengan Bank Indonesia, pemerintah dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dan antara pemda dengan pemda. Disamping itu, pemerintah juga berperan sebagai badan advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi. 56 Pada tahun 2009, dikeluarkan Peraturan Kepala BKPM No. 11 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan, dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal, No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal, No.13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal dan No. 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE). Pada tahun 2010 dikeluarkan Peraturan Kepala BKPM No.7 Tahun 2010, yaitu tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, khususnya prosedur-prosedur Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM). Dalam rangka meningkatkan investasi asing langsung di Indonesia, pemerintah melalui Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan beberapa upaya penyesuaian kebijakan investasi, di antaranya adalah sebagai berikut (Sarwedi, 2002): 1. Pemerintah telah memperbaharui Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penanam Modal untuk dapat diberikan keleluasaan investor dalam memilih usaha (Keppres No 96 Tahun 2000 jo. No 118 Tahun 2000). Dalam keputusan tersebut, bidang usaha yang tertutup untuk investasi baik PMA maupun PMDN berkurang dari 16 sektor menjadi 11 sektor. Bidang usaha yang tertutup bagi kepemilikan saham asing berkurang dari 9 sektor menjadi 8 sektor. 2. Penyederhanaan proses dari 42 hari menjadi 10 hari. Sebelumnya persetujuan PMA dilakukan oleh Presiden, sedangkan saat ini cukup dilakukan oleh Pejabat Eselon I yang berwenang, dalam hal ini Deputi Bidang dan Fasilitas Penanaman Modal; 57 3. Sejak tanggal 1 Januari 2001, pemerintah menggantikan insentif Pembebasan Pajak dengan Kelonggaran Pajak Investasi sebesar 30 persen untuk 6 (enam) tahun. 4. Nilai investasi tidak dibatasi, sepenuhnya tergantung studi kelayakan dari proyek tersebut. Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dimulai 1967, Indonesia melakukan sejumlah deregulasi terhadap peraturan penanaman modal. Peraturan perundangan penanaman modal asing (PMA) telah mulai diperbaiki sejak tahun 1967, sedangkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mulai diatur sejak tahun 1968. Insentif bagi para investor tampaknya sangat tergantung pada bagaimana pemerintah melakukan atau menerapkan status prioritas bagi sektor industri. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam rangka menjaring investasi asing maupun investasi dalam negeri menerapkan apa yang disebut dengan Daftar Skala Prioritas (DSP), yang memiliki empat kategori, yaitu: a. Sektor industri yang terbuka bagi PMA maupun PMDN dan non-PMA/PMDN, termasuk di dalamnya perusahaan yang relatif kecil; b. Sektor industri yang terbuka bagi PMDN dan Non-PMA/PMDN; c. Sektor industri yang terbuka hanya bagi Non-PMA/PMDN; d. Industri yang tertutup untuk semua investasi, baik PMA, PMDN, nonPMA/PMDN. Sistem insentif tersebut sering direvisi oleh pemerintah, seperti misalnya pembebasan pajak impor, investasi mesin maupun peralatan serta percepatan depresiasi. Secara umum, sistem investasi memiliki kecenderungan penggunaan capital intensive technique. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang didasarkan atas percepatan sektor industri, 58 sehingga kebijakan tentang investasi sering disamakan arahnya dengan kebijakan industri. Inisiatif kebijakan investasi pada akhirnya berkembang pada kebijakan investasi yang mampu mendorong ekspor non-migas yang kemudian dikenal dengan Paket 6 Mei yang efektif diumumkan pada tahun 1986. Menurut Poot, Kuyvenhoven, dan Jansen, 1991: 236-238, dalam Sarwedi, 2002, Paket 6 Mei tersebut pada dasarnya memiliki beberapa poin penting, yaitu mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85 persen outputnya diekspor dalam bentuk pengadaan impor input dengan biaya murah melalui subsidi, memberikan fasilitas pinjaman dana bank apabila sekurangkurangnya 75 persen modal saham (equity) dimiliki oleh orang Indonesia, bila sekurang-kurangnya 51 persen equity ditawarkan di Jakarta Stock Exchange (JSE), dan bila sekurang-kurangnya 51% equity dimiliki oleh orang Indonesia plus sekurangkurangnya 51 persen dari equity yang ditawarkan 20 persen diantaranya ditawarkan di Jakarta Stock Exchange. 2.4. Hipotesis Dalam rangka menganalisis dampak liberalisasi keuangan dan pasar modal terhadap perekonomian Indonesia, dikembangkan suatu model ekonomi. Liberalisasi keuangan, yang dicirikan antara lain oleh keterbukaan capital account dan pasar saham serta mekanisme suku bunga melalui kebijakan moneter, memungkinkan adanya aliran modal (capital flow) secara leluasa antar negara. Dengan kondisi moneter suatu negara yang stabil dan kondusif, maka aliran modal akan masuk melalui transaksi pasar modal (investor sekuritas), dan memberikan kesempatan pada industri untuk beropersional melalui peningkatan investasi pada sektor-sektor produktif dengan adanya dana segar tersebut, sehingga membuka peluang kerja dan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan investasi sektoral. 59 Tulisan ini bertujuan untuk menggali isu-isu terkait dengan hubungan antara perkembangan keuangan dan pertumbuhan dari sudut pandang evaluasi dampak liberalisasi keuangan. Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian serta latar belakang teori yang melandasinya, maka penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut: 1. Liberalisasi keuangan berupa keterbukaan control atas capital account dan pasar modal (Investasi Asing Langsung, FDI dan Investasi Portofolio akan mempengaruhi investasi pada sektor primer (pertanian), sektor sekunder (industri dasar dan kimia), serta sektor tersier (perbankan) yang ditunjukkan dengan rasio Q-Tobin. 2. Kebijakan moneter akan mempengaruhi investasi pada sektor primer (pertanian), sektor sekunder (industri dasar dan kimia), serta sektor tersier (perbankan) yang ditunjukkan dengan rasio Q-Tobin. 3. Nilai Q-Tobin yang mencerminkan liberalisasi keuangan dan kebijakan moneter akan mempengaruhi pertumbuhan investasi sektor primer (pertanian), sektor sekunder (industri dasar dan kimia), serta sektor tersier (perbankan). 2.5. Pemilihan Variabel Berdasarkan uraian tinjauan pustaka pada bagian terdahulu, ditentukan variabel yang akan dipilih dalam model penelitian. Beberapa variabel yang akan digunakan dalam penelitian dijelaskan pada Tabel 7: 1. Variabel Kebijakan Moneter a. Uang Beredar b. Suku bunga acuan Bank Indonesia 2. Variabel Keterbukaan Finansial (liberalisasi keuangan) 60 a. Investasi Asing langsung (FDI, Foreign Direct Investment) b. Investasi Portofolio Aset Keuangan c. Pinjaman Komersial (Commercial Borrowings) 3. Variabel Makroekonomi a. Nilai tukar rupiah terhadap US$ b. Suku bunga pasar (pinjaman dan simpanan) c. Cadangan devisa d. Indeks Harga Saham Gabungan 4. Investasi Perusahaan Sektor Pertanian, Industri Dasar dan Kimia, Perbankan a. Investasi Perusahaan (investasi bersih) b. Total aktiva perusahaan c. Nilai Pasar Saham Perusahaan d. Jumlah Saham beredar di pasar sekunder e. Nilai Buku Utang Jangka Pendek dan Utang Jangka Panjang Perusahaan f. Nilai Ekuitas Perusahaan 5. Investasi Sektor a. Investasi Sektor Pertanian, Pengolahan, dan Jasa Keuangan b. Indeks Saham Sektor Pertanian (JAKAGRI), Sektor Pengolahan (JAKMIND) dan Sektor Jasa Keuangan (JAKFIND) 2.6. Posisi penelitian Studi terdahulu mengenai liberalisasi keuangan sebagian besar difokuskan pada pengaruh guncangan aliran modal terhadap determinan makroekonomi dan volatilitas pertumbuhan. Studi mengenai kebijakan moneter umumnya difokuskan pada pengaruh shock moneter terhadap variabel makroekonomi. 61 Tabel 7. Variabel Penelitian Aspek Penelitian Kebijakan Moneter Liberalisasi Keuangan Variabel Makroekonomi Investasi Perusahaan Kinerja Sektor Nomor Simbol Variabel 1 M2 2 SBI 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Nama Variabel Suplai Uang Suku Bunga Acuan Bank Indonesia FDI Investasi Asing Langsung POR Investasi Portofolio BOR Pinjaman Komersial EXC Nilai Tukar INT Suku Bunga Kredit dan Pinjaman DEV Cadangan Devisa JCI Indeks Harga Saham Gabungan TA Total Aktiva Perusahaan NFA Investasi Bersih Perusahaan SHR Jumlah Saham beredar MVS Nilai Pasar Saham Perusahaan BVD Nilai Buku Total Utang Perusahaan EKU Nilai Ekuitas Perusahaan INVP, Investasi Sektor Pertanian, INVI, Industri Dasar dan Kimia, dan INVB Perbankan JAKAGRI, Indeks Saham Sektor Agribisnis, JAKMIND, Industri Dasar dan Kimia, JAKFIN Perbankan Penelitian ini melakukan analisis mengenai pengaruh liberalisasi keuangan terhadap rasio investasi yang digambarkan dengan rasio Q-Tobin melalui mekanisme penurunan biaya modal, dan selanjutnya pada perubahan determinan makroekonomi. Sedangkan pengaruh kebijakan moneter terhadap rasio Q-Tobin melalui perubahan harga ekuitas dan selanjutnya perubahan determinan makroekonomi. Analisis terkait dengan mikro, meliputi investasi sektoral, serta kinerja keuangan perusahaan-perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia yang mewakili sektor primer, sekunder dan tersier. Beberapa metode analisis yang digunakan pada studi terdahulu adalah model simultan maupun VAR (Vector Autoregressive). Penelitian ini menggunakan data 62 panel (gabungan data time series dan cross section), dengan model estimasi Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM).