15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Liberalisasi Keuangan Liberalisasi

advertisement
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi keuangan dalam definisi secara umum dicirikan oleh semakin
besarnya pengaruh dan kekuatan pasar dalam menentukan tingkat bunga dan
alokasi kredit, sehingga meningkatkan skala operasi lembaga-lembaga keuangan
dan selanjutnya diharapkan meningkatkan efisiensi dan stabilitas sistem keuangan.
Teori liberalisasi keuangan yang dikembangkan oleh Ronald McKinnon dan Shaw
pada tahun 1973 dilandasi oleh tujuan menghapuskan efek merugikan dari represi
keuangan (financial repression) terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Ciri-ciri represi keuangan adalah adanya pembatasan suku bunga (interest rate
ceiling), pembatasan kredit (credit ceiling), tingginya rasio likuiditas, keterbatasan
modal (capital rationing) dan adanya batasan untuk masuk dalam pasar keuangan.
Menurut Fry (1995) dalam Abdurahman (2003), represi keuangan serta
pembatasan kredit memperburuk distribusi pendapatan dan meningkatkan
konsentrasi industrial.
Implikasinya, liberalisasi keuangan serta pelonggaran
pasar kredit akan memperbaiki distribusi pendapatan dan kemiskinan.
2.1.1. Liberalisasi Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi
Rasionalisasi atas liberalisasi keuangan didasari pada adanya 2 (dua)
potensi manfaat yaitu dari segi kuantitas berupa peningkatan jumlah tabungan dan
investasi dalam suatu perekonomian serta dari segi kualitas berupa alokasi kapital
(dana) yang lebih efisien. Penghapusan batas atas suku bunga diharapkan akan
dapat meningkatkan tabungan dan tentu saja sumber dana untuk investasi. Selain
itu, adanya alokasi kapital (dana) yang lebih efisien akan menurunkan dispersi
16
dari rasio atau nilai Tobin Q. Keadaan ini dijelaskan oleh model Tobin yang
menghubungkan belanja investasi dengan harga saham, di kenal sebagai teori
Tobin Q, yaitu :
Nilai Q yang tinggi mencerminkan nilai pasar perusahaan tinggi relatif terhadap
biaya penggantian modal. Nilai pasar perusahaan pada dasarnya mencerminkan
nilai ekuitas perusahaan, dengan demikian biaya modal untuk investasi lebih
murah dibandingkan dengan nilai pasar perusahaan, sehingga perusahaan dapat
meningkatkan belanja investasi melalui penerbitan sejumlah kecil saham
perusahaan. Demikian pula sebaliknya apabila nilai Q rendah, maka perusahaan
tidak akan melakukan investasi (penggantian aktiva tetap), karena terlalu mahal.
Secara ringkas dengan adanya liberalisasi keuangan dan adanya kebebasan
pasar dalam alokasi kredit, maka permasalahan pembatasan modal sebagaimana
diungkapkan oleh Stiglitz dan Weiss (1981) dapat terabaikan.
Dengan
penyesuaian tingkat bunga riil terhadap keseimbangan pasar dimana jumlah
tabungan dan investasi diasumsikan berimbang, investasi dengan imbal hasil
rendah tereliminasi, maka efisiensi investasi secara keseluruhan akan berkembang.
Dengan peningkatan bunga, maka tabungan dan suplai kredit juga akan
meningkat, dan mendorong volume investasi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi
dapat distimulasi bukan hanya melalui investasi akan tetapi juga melalui
peningkatan produktivitas kapital. Dampak dari persyaratan cadangan yang lebih
rendah akan mendorong suplai bank yang tinggi, sementara penghapusan
pembatasan alokasi kredit juga mengarahkan terjadinya alokasi kredit yang lebih
efisien sehingga merangsang produktivitas kapital rata-rata (Arestis, 2005).
17
Konsep mengenai liberalisasi keuangan semakin berkembang, termasuk
kegagalan liberalisasi yang dapat terjadi akibat tingkat deposit yang meningkat
bersamaan dengan supervisi perbankan yang kurang memadai serta kondisi
makroekonomi yang tidak stabil.
Kondisi tersebut cukup kondusif untuk
meningkatkan resiko yang dihadapi bank, dan mendorong tingkat bunga yang
semakin tinggi, kebangkrutan perusahaan dan selanjutnya kegagalan bank.
Keadaan ini mendorong munculnya konsep prekondisi yang perlu dipenuhi
sebelum reformasi keuangan diimplementasikan.
Liberalisasi keuangan
merekomendasikan perlunya supervisi perbankan yang memadai supaya bank
memiliki portofolio pinjaman yang terdiversifikasi dengan baik, stabilitas
makroekonomi tercermin dari inflasi rendah dan stabil serta defisit fiskal yang
tetap, serta reformasi keuangan secara bertahap. Dengan demikian liberalisasi
keuangan secara bertahap sangat dianjurkan.
Dalam perkembangannya, konsep liberalisasi keuangan dilengkapi dengan
teori pertumbuhan baru (yaitu model pertumbuhan endogen), yang memasukkan
peran dari faktor-faktor keuangan dalam kerangka teori pertumbuhan baru.
Dalam hal ini, perantara keuangan merupakan suatu proses endogenous, dimana
terdapat hubungan sebab-akibat dua arah antara perantara keuangan dan
pertumbuhan. Proses pertumbuhan mendorong peningkatan partisipasi dari pasar
keuangan yang memfasilitasi kemapanan dan pengenalan atas perantara keuangan.
Sebaliknya perantara keuangan dapat mengalokasikan dana lebih efisien untuk
investasi
yang
mendorong
investasi
dan
pertumbuhan.
Selanjutnya,
perkembangan keuangan dapat mempengaruhi pertumbuhan bukan hanya melalui
peningkatan laju tabungan tetapi juga meningkatkan jumlah tabungan untuk
investasi dan mendorong produktivitas marginal sosial dari kapital.
Teori
18
pertumbuhan baru menyatakan bahwa akan terjadi pertumbuhan berkelanjutan
yang bukan berasal dari kemajuan teknologi.
Meskipun demikian terjadi perbedaan antara liberalisasi keuangan dengan
teori pertumbuhan baru.
Singh (1997) menyatakan bahwa teori endogen
membutuhkan adanya perkembangan pasar saham yang cepat dan mantap
terutama pada negara berkembang. Sementara itu Fry (1997) menyatakan bahwa
liberalisasi keuangan memandang perkembangan pasar saham tidak terlalu
penting atau dengan kata lain cukup berkembang secara perlahan.
2.1.2. Pengukuran dan Indikator Liberalisasi Keuangan
Sebagaimana didefinisikan terdahulu pada bagian 2.1.1. di atas, liberalisasi
keuangan mencerminkan penurunan peran pemerintah dan peningkatan peran
pasar atas suku bunga dan alokasi kredit. Secara spesifik, liberalisasi keuangan
dicirikan oleh semakin berkurangnya pembatasan dalam: (1) pengawasan alokasi
kredit, (2) pengawasan suku bunga, (3) industri perbankan, (4) privatisasi, (5)
peraturan, dan (6) transaksi keuangan internasional.
Sejauh ini, proses transmisi perkembangan keuangan sebagai dampak dari
liberalisasi keuangan ke pertumbuhan ekonomi masih menjadi kontroversi.
Menurut McKinnon (1973) dan Shaw (1973) dalam Abdurahman (2003) suku
bunga dapat digunakan sebagai ukuran tingkat perkembangan keuangan. Apabila
bunga berada di bawah tingkat bunga pasar, maka sektor keuangan berada dalam
kondisi represi.
Tingkat bunga yang tinggi dapat merangsang tabungan dan
perantara keuangan sehingga meningkatkan suplai kredit untuk dialokasikan ke
sektor produktif, dengan demikian meningkatkan investasi dan pertumbuhan
ekonomi.
19
Menurut Dornbusch (1990) dalam Abdurahman (2003), agregat moneter
seringkali digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan keuangan, umumnya
adalah rasio M1, M2, M3 terhadap GDP, dimana semakin tinggi rasio maka
menunjukkan kondisi pasar keuangan yang semakin berkembang. Perkembangan
tersebut selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan dana untuk investasi sektor
swasta dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, perkembangan pasar
keuangan yang semakin dalam (financial deepening) tidak menjamin peningkatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi (Gregorio and Guidotti, 1995 dalam
Abdurahman, 2003). Hal ini terjadi terutama saat tingkat intermediasi keuangan
diukur dalam agregat moneter yang juga melibatkan bentuk likuid yaitu M1 dan
M2 dalam hal penyediaan likuiditas pasar. Di negara berkembang, perantara
keuangan umumnya diukur melalui sistem perbankan, tidak seperti halnya di
negara maju yang sudah memasukkan inovasi dan perkembangan keuangan
sebagai salah satu perantara keuangan.
Beberapa ukuran liberalisasi keuangan dinyatakan dalam ukuran dan
definisi tertentu, baik untuk liberalisasi sektor perbankan, liberalisasi pasar modal
dan liberalisasi capital account. Akhir-akhir ini penggunaan indeks liberalisasi
yang diderivasi dari dimensi atau komponen reformasi mulai banyak digunakan
dalam riset di negara berkembang.
Menurut Bandiera, et al. (2000) terdapat dua dimensi liberalisasi
keuangan, yaitu dari segi internal dan eksternal, baik untuk sektor perbankan
maupun sektor pasar saham. Pengaruh liberalisasi keuangan yang meliputi kedua
sektor keuangan tersebut menunjukkan bahwa baik secara internal maupun
eksternal, memberikan pengaruh terhadap perubahan suku bunga maupun biaya
modal, sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
20
Tabel 3. Dimensi Liberalisasi Keuangan
Perbankan
Internal
Eksternal
Masuknya bank asing ke pasar
perbankan domestik
Penghapusan batas suku bunga (deposit
dan pinjaman)
Penurunan batas cadangan (cadangan
giro dan likuiditas)
Penurunan kebijakan pinjaman tertentu
Privatisasi bank pemerintah
Peraturan kehati-hatian perbankan
Lingkup jasa keuangan
Pinjaman luar negeri dari bank asing
Kemudahan konversi mata uang
Pasar Saham
Keterbukaan pasar terhadap orang asing
Sistem perdagangan
Insentif bagi investor asing
Investasi bank/non-bank pada sekuritas
Penerbitan modal
Cross listings, dana investasi
Merger dan Akuisisi
Investasi Portofolio
Investasi Asing Langsung (Foreign
Direct Investment)
Sumber: Bandiera, 2000
Pengukuran liberalisasi keuangan dengan definisi yang umumnya
digunakan pada beberapa penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 4, yaitu:
Tabel 4. Pengukuran Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi Capital Account
Nama
Sumber
Keterangan
IMF
IMF AREAER (Annual Report
on Exchange Arrangements
and Exchange Restrictions)
Quinn (1997)
Indikator adanya aturan /
pembatasan pada aliran batas
wilayah
Deskripsi
naratif
dalam
AREAER tentang pembatasan
capital account
Quinn
Liberalisasi Pasar Saham (modal)
Sumber
Keterangan
Emerging Market Data Base
Jumlah perusahaan terdaftar di bursa, kapitalisasi pasar (mata
uang domestik) dan rasio turn over
Gross Fixed Capital Formation dan perubahan inventori (dalam
mata uang domestik)
Ekspor barang dan jasa, impor barang dan jasa, GDP nominal,
terms of trade, GDP deflator and consumer price index, real
GDP per capita (mata uang domestik), gross fixed capital
formation (utk Taiwan (China) dan sampel besar), gross private
fixed capital formation, dan perubahan inventori (dalam mata
uang domestik (untuk Taiwan (China) dan sampel besar).
International
Financial
Statistics
World Economic Outlook
World
Indicators
Development
Sumber: Hali, et al., 2004
Persentase tuna aksara untuk dewasa (15-24 tahun), persentase
investasi privat terhadap investasi Tetap Domestik Bruto, jumlah
perusahaan terbuka, persentase kapitalisasi terhadap GDP dan
CPI.
21
Sebagai contoh, indeks liberalisasi capital account (index IMF dan Quinn,
1997); indeks liberalisasi pasar ekuitas (Kaminsky dan Schmukler, 2001); indeks
liberalisasi perbankan (Bandiera et al, 2000), dan integrasi pasar modal aktual
yang diukur melalui aliran dan ketersediaan investasi portofolio dan langsung
asing (Lane and Milesi-Feretti, 2005).
2.1.3. Isu kritis dalam Liberalisasi Keuangan
Konsep liberalisasi keuangan juga mengundang kritik dari kelompok Neostrukturalis dan ekonom modern, karena secara implisit mengasumsikan tentang
kesempurnaan informasi, pasar dan institusi. Neo-strukturalis menyatakan bahwa
pasar tidak sempurna menggambarkan informasi tidak sempurna, karena memiliki
informasi yang menguntungkan dibandingkan dengan bank dalam hal pengawasan
dan pinjaman, sehingga memungkinkan tercapainya skala ekonomis.
Pasar
informal tersebut dapat bertahan dari guncangan lokal dan tidak cukup jelas
bagaimana efek kredit terdistribusi secara efisien di level perusahaan.
Ekonom modern menyatakan bahwa liberalisasi merupakan penyebab dari
krisis perbankan dan terjadinya aliran mata uang.
Liberalisasi menyebabkan
perekonomian lokal rentan terhadap guncangan global. Selain itu, liberalisasi
keuangan mengakibatkan volatilitas yang tidak diharapkan dari pasar keuangan di
negara berkembang. Institusi dan pasar keuangan menjadi saluran utama dimana
kedaulatan nasional menjadi taruhannya.
Sistem keuangan korporat rentan
terhadap investasi spekulatif yang menimbulkan permasalahan kredit macet serta
menghilangkan perusahaan yang sudah terdaftar dari pasar saham. Lebih jauh
lagi, terjadi peningkatan pengawasan insitusi keuangan internasional di beberapa
22
negara berkembang yang berakibat pada hambatan tujuan perkembangan nasional
dan sosial.
Arestis dan Caner (2004) meneliti bahwa terdapat 2 jalur dalam liberalisasi
keuangan, yaitu jalur krisis dan jalur akses terhadap pelayanan kredit dan
keuangan. Di beberapa negara, pasar keuangan terliberalisasi terlalu dini karena
kegagalan dalam mengenali karakteristik yang tidak sempurna, dan di beberapa
kasus kondisi ini yang menyebabkan krisis keuangan (Arestis and Glickman,
2002). Hal ini memungkinkan kaum miskin menjadi terkena pengaruh akibat
krisis tersebut.
Jalur krisis terjadi melalui dinamika makroekonomi,
meningkatkan volatilitas dan kerentanan terhadap krisis keuangan dengan adanya
liberalisasi.
Jalur kedua sebagaimana dinyatakan dalam Arestis dan Caner (2004)
terkonsentrasi pada kemungkinan perubahan dalam kemiskinan yang disebabkan
oleh akses kredit dan jasa keuangan yang lebih baik. Dalam hal suatu program
liberalisasi meningkatkan ketersediaan sumberdaya keuangan bagi yang tadinya
dirugikan dan dalam hal masalah kemiskinan terkait dengan kurangnya
mekanisme memperhalus konsumsi, terdapat ruang bagi liberalisasi keuangan
untuk memperbaiki keimiskinan.
Kesimpulan dari Arestis and Caner bahwa
belum jelas mekanisme yang mendasari pergerakan dari represi keuangan ke arah
rejim liberalisasi mempengaruhi segmen populasi yang berbeda terutama kaum
miskin.
Perkembangan liberalisasi keuangan serta manfaat yang akan diterima oleh
negara yang mengadopsi kebijakan tersebut tidak berarti tidak memiliki masalah.
Arestis (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa isu kritis terkait dengan
pandangan liberalisasi keuangan, antara lain adalah masalah: (1) tahapan
23
(sequencing) (2) sebab-akibat (causality) (3) liberalisasi perbankan mendorong
stabilisasi sistem keuangan (4) tabungan menyebabkan investasi (5) ketiadaan
efek distribusi yang serius akibat perubahan suku bunga (6) liberalisasi memihak
kaum miskin (7) tidak ada spekulasi, dan (8) kebijakan keuangan yang
menguntungkan dan mendukung.
2.1.4.
Alokasi Kapital
Biaya modal dari suatu negara terdiri dari 2 (dua) komponen, yaitu bunga
bebas resiko (risk-free rate) dan premi ekuitas (equity premium). Menurut teori,
bila suatu negara miskin melakukan liberalisasi, maka kedua biaya tersebut akan
turun.
Abiad, Oomes and Ueda (2005) dalam penelitiannya terhadap 5 (lima)
negara berkembang (India, Jordania, Korea, Malaysia dan Thailand) menunjukkan
bahwa liberalisasi keuangan meningkatkan efisiensi alokasi kapital, terutama dari
segi kualitas investasi.
Keseimbangan akses kredit bagi perusahaan dapat
menurunkan variasi imbal hasil yang diharapkan dari perusahaan yang dihitung
dengan rasio Q-Tobin.
Terdapat asosiasi negatif antara liberalisasi keuangan
dengan penyebaran nilai Q-Tobin dan asosiasi positif antara liberalisasi keuangan
dengan efisiensi alokasi kapital. Hubungan positif antara liberalisasi keuangan
dengan efisiensi tersebut juga terkait dengan beberapa faktor antara lain
perputaran pasar saham, keterbukaan perdagangan, kredit swasta dan kapitalisasi
pasar saham.
Menurut Glick and Hutchison (2000), pembatasan atas kontrol kapital
berasosiasi dengan tingginya peluang krisis mata uang atau dengan kata lain
terlihat indikasi bahwa dalam konteks reformasi ekonomi, dimana liberalisasi
24
current account dilakukan, tidak akan lebih rentan terhadap instabilitas nilai tukar.
Negara tanpa kontrol kapital memiliki stabilitas nilai tukar yang lebih besar dan
sedikit serangan spekulatif.
Akan tetapi dalam penelitiannya tersebut, belum
dikaji variabel ketersediaan cadangan devisa dari suatu negara, untuk
pertimbangan keputusan liberalisasi capital account serta perubahan rejim nilai
tukar.
2.1.5.
Pasar Modal
Pasar Modal adalah pasar yang terus berkembang sehingga definisinyapun
terus bertambah. Sebagian orang mendefinisikannya sebagai pasar yang
memperdagangkan utang, ekuiti dan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh
korporasi maupun pemerintah dengan jangka waktu lebih dari setahun (jangka
menengah dan panjang). Ada yang mendefinisikannya sebagai pasar uang khusus,
atau pasar surat berharga yang mencakup instrumen obligasi dan kredit
perbankan.
Definisi pasar modal semakin meluas ketika berbagai institusi mulai
terlibat, karena adanya peningkatan pendanaan dan pembagian serta pengendalian
risiko. Misalnya, perbankan, pasar asuransi, pasar obligasi, dan pasar saham.
Pada akhirnya, pasar modal mulai diartikan sebagai pasar yang yang melibatkan
semua penyedia dan pengguna modal secara bersama-sama. Berdasarkan ilmu
ekonomi, pasar modal yang terintergrasi sama dengan mobilitas modal tanpa
batas.
Weston dan Copeland memberikan empat macam manfaat ekonomis pasar
modal yaitu: (1) Bursa Surat Berharga (security exchange) memperlancar proses
25
transaksi dengan menyelenggarakan pasar dimana dapat dilakukan transaksi yang
relatif murah dan efisien (2) Bursa mampu menyelenggarakan transaksi yang
kontinyu dan menguji nilai surat berharga. Perusahaan yang dinilai baik
prospeknya oleh investor memiliki nilai yang tinggi sehingga memperlancar
pembiayaan baru dan pertumbuhan perusahaannya (3) Harga-harga surat berharga
relatif lebih stabil dengan adanya bursa yang terorganisir. Dengan demikian
transaksi surat berharga dapat berjalan lancar dan harga dapat dikendalikan, dan
(4) Pasar surat berharga membantu penyerapan saham baru dan memperlancar
proses penjualannya.
Di era perdagangan bebas, pasar modal bisa diandalkan sebagai instrumen
investasi di tengah pertarungan antara industri padat modal dan padat karya serta
pertarungan antara industri berbasis sumberdaya dan keuangan. Atau, menjadi
instrumen kebijakan moneter jika transmisi ke sektor riil tidak seperti yang
diharapkan akibat regulasi sektor perbankan yang terlalu rumit seperti ketentuan
tentang Basel Accord, non performing loan (kredit macet), dan loan to deposit
ratio (rasio pinjaman terhadap simpanan). Selain itu, bisa dijadikan sumber
pembiayaan alternatif jika terjadi miss match (ketidakcocokan) dalam jangka
waktu pinjaman dan risiko, sehingga berbagai proyek yang membutuhkan
pembiayaan jangka panjang bisa dilaksanakan.
Pasar modal merupakan sumber pembiayaan terbesar di dunia dengan
kapitalisasi modal mencapai US$ 130 941 miliar terdiri dari saham (US$ 31 802
miliar), obligasi (US$ 51 305 miliar) dan pinjaman (US$ 47 834 miliar).
Berdasarkan data pasar modal dunia tahun 2005, jumlah saham dan obligasi yang
beredar di seluruh pasar modal di dunia mencapai US$ 83 107 miliar atau 229
26
persen dari GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto) seluruh
negara di dunia. Jika ditambah dengan jumlah loan (pinjaman) yang beredar di
seluruh dunia yang jumlahnya mencapai US$ 47 834 miliar, maka nilai
kapitalisasi pasar modal di seluruh dunia mencapai US$ 130 941 miliar atau 361
persen dari GDP seluruh penduduk dunia (Meilani, 2007).
Pasar modal juga membantu melancarkan arus dana kas (cash flow), dan
bisa diharapkan sebagai sumber pendanaan yang akan mendorong stabilitas
ekonomi. Namun, para pemimpin negara dan pemerintahan harus cermat
mengkaji dampak liberalisasi pasar modal terhadap perekonomian negara. Untuk
kasus Indonesia, misalnya, liberalisasi pasar modal ternyata tidak serta merta
mendorong stabilitas ekonomi, tapi justru menimbulkan volatilitas yang
membahayakan kondisi perekonomian secara menyeluruh.
Siklus di pasar modal berfluktuasi antara saham, dana tunai (deposito), dan
obligasi seirama dengan tingkat suku bunga dan perjalanan waktu. Jika suku
bunga naik, maka pelaku pasar cenderung untuk memilih deposito sebagai pilihan
investasi sehingga deposito di perbankan akan melonjak. Akan tetapi, jika terjadi
penurunan suku bunga, maka pilihan investasi pelaku pasar akan beralih ke
obligasi hingga mencapai titik terendah dan kemudian kembali akan beralih ke
saham.
Meski memiliki banyak keunggulan, pasar modal juga mengandung
banyak risiko. Salah satu yang terpenting adalah trinitas yang mustahil yaitu
stabilitas nilai tukar, besarnya moneter, dan integrasi pasar modal atau stabilitas
pembiayaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan (simultan). Hal ini
disebabkan karena untuk mencapai salah satu stabilitas diperlukan pengorbanan
27
unsur-unsur stabilitas yang lain. Stabilitas nilai tukar dan mobilitas modal hanya
bisa tercapai jika tidak ada kebijakan moneter. Kebijakan moneter dan mobilitas
modal hanya terwujud jika tidak ada stabilitas nilai tukar atau penerapan sistem
nilai tukar yang fleksibel. Stabilitas nilai tukar dan kebijakan moneter hanya bisa
tercapai jika dilakukan pengendalian modal (capital control), seperti yang
diterapkan Malaysia.
Pasar modal juga membahayakan jika terjadi serangan spekulatif yang
tidak dimotori hal-hal fundamental melainkan kehilangan kepercayaan secara tibatiba. Kondisi seperti ini akan lebih berbahaya bagi siklus bisnis, jika rasio nilai
kapitalisasi pasar modal terhadap GDP cukup tinggi. Di negara maju, rasio aman
yang masih bisa ditolerir adalah 2.7 persen dari GDP.
Liberalisasi pasar menciptakan volatilitas dan risiko yang lebih tinggi,
terutama di sebagian besar negara-negara Asia. Pasar modal ternyata
meningkatkan volatilitas ekonomi dan risiko, khususnya untuk negara-negara
berkembang jika tidak didukung oleh adanya program jaring pengaman dan
pengendalian harga. Tidak adanya hukum kebangkrutan juga membuat risiko
individu di pasar modal menjadi risiko negara. Para peneliti juga belum
menemukan bukti kuat bahwa liberalisasi pasar, termasuk perdagangan, membawa
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Cina, yang sifatnya lebih tertutup, bisa
tumbuh lebih cepat dibandingkan Rusia, yang sifatnya terbuka. Hal ini
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak bisa didasarkan
pada investasi dana-dana spekulatif atau jangka pendek (Stiglitz). Teori penyakit
Belanda (Dutch Disease) menyebutkan arus modal masuk pada sistem nilai tukar
yang fleksibel menciptakan nilai tukar yang lebih tinggi, memperlambat ekspor
28
dan sulit bersaing dengan barang impor. Selain itu, pasar modal juga berisiko
menciptakan penumpukan investasi di sektor tertentu, seperti sektor properti di
Thailand, yang menjadi idaman, sementara investasi di sektor lain terabaikan
(Meilani, 2007).
2.1.6. Kebijakan dan Transmisi Moneter
Dalam kerangka kerja target inflasi, kebijakan moneter bertujuan untuk
mencapai target inflasi yang ditetapkan di masa yang akan datang. Mekanisme
transmisi bekerja melalui beberapa cara yaitu jalur langsung moneter (melalui
penawaran jumlah uang yang beredar dan uang primer), jalur sukubunga (melalui
tingkat sukubunga riil), jalur harga aset (melalui nilai tukar dan harga aset), jalur
kredit (melalui pinjaman perbankan dan neraca perusahaan) dan terakhir melalui
jalur ekspektasi. Transmisi moneter penting bagi otoritas moneter untuk mengerti
jalur-jalur yang mempengaruhi inflasi
Dalam paradigma baru, kebijakan moneter di sistem perekonomian yang
sudah stabil (mature) mempengaruhi permintaan domestik melalui 2 (dua) jalur
(Gudmundsson, 2008). Pertama, jalur sukubunga; sukubunga jangka menengah
dan panjang sebagian dipicu oleh perubahan saat ini dan akan datang yang tidak
terantisipasi dari sukubunga jangka pendek, yang terkait dengan tingkat kebijakan,
setidaknya pada kondisi normal. Dampak terhadap sukubunga jangka panjang
penting mengingat permintaan konsumsi dan investasi umumnya lebih responsif
terhadap sukubunga jangka menengah dan panjang dibandingkan dengan jangka
pendek.
Kedua, jalur nilai tukar; perubahan kebijakan merubah perbedaan
sukubunga dengan luar negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai tukar.
29
Bagi perekonomian terbuka kecil yang tidak dapat mempengaruhi sukubunga
global, teori ekonomi memprediksi bahwa globalisasi keuangan secara bertahap
akan memperlemah jalur sukubunga, dan bahkan menutupinya sama sekali. Akan
tetapi, jalur nilai tukar masih dapat menekan target inflasi dalam jangka menengah
maupun panjang, dengan catatan diterapkannya kurs fleksibel.
Manajemen moneter yang berdasarkan suku bunga berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan pokok dan pemerataan distribusi pendapatan karena
penyaluran pinjaman dengan suku bunga tertentu ditetapkan berdasarkan
kemampuan peminjam memberikan jaminan kredit guna meng-cover pinjaman
yang diberikan dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajiban tersebut
(Siregar, 2003).
Pertumbuhan ekonomi juga terpengaruh oleh manajemen moneter yang
berdasarkan suku bunga. Hal ini terjadi karena memungkinkan bagi masyarakat
untuk mengkonsumsi lebih dari pendapatan yang diperolehnya karena
meningkatnya konsumsi masyarakat yang dibiayai oleh pinjaman. Akibat dari
pola konsumsi yang sedemikian rupa menyebabkan turunnya tingkat tabungan
masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya suku bunga dan rendahnya tingkat
investasi, yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan
kerja.
Menurut Nuryati, Siregar dan Ratnawati (2006) sisi efektifitas kebijakan
moneter dalam mencapai tujuan masih terbatas, sebagaimana tercermin dari tidak
tercapainya sasaran-sasaran inflasi pada tahun 2000, 2001, dan 2002.
Keterbatasan ini bisa jadi disebabkan karena struktur organisasi Bank Indonesia
yang terbentuk dalam era Undang Undang Nomor 23/1999 belum efektif, yang
pada akhirnya mempengaruhi transparansi dan tingkat kredibilitas kebijakan
30
moneter yang dijalankan. Untuk mencapai kebijakan moneter yang kredibel,
Bimantoro dan Bahroen (2003) menyebutkan terdapat lima landasan kerja yang
harus diperhatikan yaitu: (1) pernyataan yang tegas mengenai tujuan (2)
pernyataan yang jelas mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk
mencapai tujuan (3) adanya instrumen yang jelas (4) adanya kehati-hatian
pemerintah atas pengeluaran yang dibiayai dari pinjaman, dan (5) adanya batasan
dari ruang lingkup yang meniadakan fluktuasi siklikal dalam perekonomian.
Kondisi kelima landasan tersebut belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh otoritas
moneter di Indonesia.
Hal ini mungkin disebabkan karena Indonesia baru
beranjak dari krisis (atau setidaknya masih berada dalam masa transisi untuk
keluar dari krisis) dan perekonomian masih sulit untuk diprediksi, sehingga
penerapan model-model belum dapat diaplikasikan secara tepat.
2.1.7. Kebijakan Pasar Keuangan
Liberalisasi keuangan merupakan otoritas bank sentral suatu negara berupa
kebijakan-kebijakan terhadap moneter yaitu pasar uang maupun pasar modal.
Liberalisasi keuangan, dapat berupa pelonggaran aturan yang berkaitan dengan
kebijakan moneter di suatu negara, misalnya ketentuan mengenai kontrol atas
aliran modal masuk (capital inflow) maupun aliran modal keluar (capital outflow),
juga termasuk ketentuan investasi di pasar modal seperti salah satunya
kemungkinan investor asing untuk dapat melakukan pembelian sekuritas emiten
perusahaan-perusahaan yang tercatat pada bursa domestik.
Ketika perusahaan
ingin melakukan ekspansi investasi, biasanya perusahaan mencari sumber dana
dari pasar keuangan, yaitu pasar uang dan pasar modal, seperti perbankan,
penerbitan obligasi kepada publik atau menjual saham di pasar saham guna
31
mendapatkan manfaat masa depan. Ketersediaan sumber dana dengan tingkat
bunga yang relatif murah akan mendorong pertumbuhan investasi dan konsumsi
rumah tangga.
Dengan peningkatan konsumsi rumah tangga, maka akan
meningkatkan agregat demand dan selanjutnya meningkatkan pendapatan
nasional.
Model Neoklasik mengasumsikan bahwa jika perusahaan ingin
membayar biaya modal, pasar uang akan menyediakan dana. Namun, seringkali
perusahaan mengalami keterbatasan pendanaan (financing constraints) dari pasar
uang, sehingga menghambat pertumbuhan investasi.
akan mempengaruhi perilaku investasi.
Keterbatasan pendanaan
Dengan demikian, apabila terdapat
keterbatasan dalam akses pasar uang maupun pasar modal, yang berdampak pada
tingginya biaya modal, akan menurunkan tingkat pertumbuhan investasi. Peran
pemerintah sangat diharapkan untuk dapat mempermudah akses perusahaan
terhadap sumber dana dari pasar uang maupun pasar modal. Hubungan antara
kebijakan pemerintah melalui kebijakan moneter terhadap pasar uang dan pasar
modal terhadap pertumbuhan investasi dan pendapatan disajikan pada Gambar 5.
Sumber: Dornbusch, Fischer and Startz, 2004
Gambar 5. Interaksi Antara Pasar Uang dengan Pasar Barang
32
2.2.
Kajian Penelitian Terdahulu
2.2.1. Liberalisasi Keuangan dan Kebijakan Moneter
Beberapa penelitian tentang dampak liberalisasi keuangan terhadap
perekonomian yang dilakukan peneliti di beberapa negara disajikan pada Tabel 5.
Hasil penelitian umumnya menunjukkan bahwa dampak positif liberalisasi
keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dapat terjadi
dengan mempertimbangkan kondisi fundamental dan pentahapan. Kontroversi
liberalisasi keuangan, terutama di negara berkembang yang mengalami krisis
keuangan memberikan wawasan baru mengenai manfaat liberalisasi keuangan itu
sendiri.
Liberalisasi pasar uang (pasar saham) merupakan keputusan dari setiap
negara untuk memperbolehkan warga asing membeli dan memiliki saham-saham
yang diperjualbelikan di negara tersebut.
Dalam jangka panjang terdapat
hubungan yang positif diantara aktivitas ekonomi dengan harga-harga saham
(Fama and French, 1988; Schwert, 1990; Roll, 1992 untuk Amerika dan Canova
and DeNicole, 1995 untuk negara-negara Eropa, dalam Phylaktis dan Ravazzolo
(1998).
Standard IAPM (International Asset Pricing Model), memperkirakan
bahwa dengan adanya liberalisasi pasar modal (pasar saham) akan menurunkan
biaya modal saham melalui pembagian resiko agen domestik dan asing (Stapleton
dan Subrahmanyan, 1977; Errunza dan Losq, 1985; Eun dan Janakiramanan,
1986; Alexander, Eun, dan Janakiramanan, 1987, dan Stulz, 1999a; 1999b) dalam
Henry (2000).
Prediksi tersebut memberikan 2 implikasi penting bagi negara berkembang
yang melakukan liberalisasi pasar modal (pasar saham) pada akhir 1980an dan
33
awal 1990an. Pertama, jika liberalisasi pasar saham menurunkan biaya modal,
dengan kestabilan arus kas masa depan, maka akan terdapat peningkatan indeks
harga saham karena pasar meyakini bahwa liberalisasi pasar saham akan terjadi.
Implikasi yang kedua adalah akan terjadi peningkatan investasi fisik yang
mengikuti liberalisasi pasar saham, karena menurunnya biaya modal di negara
tersebut (sehingga proyek dengan Net Present Value negatif akan menjadi positif).
Implikasi yang kedua ini setidaknya akan meningkatkan pertumbuhan output
(pendapatan) nasional dan memberikan dampak kesejahteraan ekonomi kepada
pemegang saham domestik, dibandingkan hanya sekedar keuntungan sesaat.
Menurut Phylaktis dan Ravazzolo (1998), di negara-negara Pasific Basin
pada tingkat regional dan global selama periode 1980 sampai dengan 1998 terlihat
adanya integrasi keuangan yang didampingi oleh integrasi ekonomi.
Hal ini
menunjukkan bahwa integrasi ekonomi merupakan saluran bagi integrasi
keuangan yang menjelaskan adanya tingkat integrasi keuangan yang tinggi
meskipun terdapat pengawasan atas nilai tukar. Implikasinya adalah penggunaan
kebijakan pembatasan di suatu negara dapat mengisolasi pasar modal dari
pengaruh dunia.
Hasil penelitian Henry (2000) terhadap pasar modal 12 negara
berkembang, terlihat bahwa pasar modal mendapatkan abnormal return sebesar
4.7 persen per bulan (riil Dollar) selama periode waktu 8 bulan sejak
diimplementasikannya liberalisasi pasar saham di masing-masing negara tersebut.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap comovement dengan pasar saham dunia,
reformasi kebijakan ekonomi serta kondisi fundamental makroekonomi, rata-rata
abnormal return adalah 3.3 persen per bulan dalam periode yang sama, meskipun
lebih kecil tetapi secara statisitik dan ekonomi signifikan.
Perkiraan juga
34
dilakukan untuk melihat adanya implikasi atas liberalisasi pasar saham terhadap
penurunan biaya modal selama 2 bulan dan 5 bulan ke depan.
Estimasi
menunjukkan adanya potensi kenaikan return sebesar 6 persen. Dengan perkiraan
biaya modal saham sebelum liberalisasi adalah 20 persen, maka setelah
liberalisasi akan terjadi revaluasi return menjadi 26 persen, dan implikasinya
penurunan biaya modal saham sebesar 26 persen juga. Dari penurunan tersebut
dapat diprediksi akan terjadi penurunan discount rate menjadi 15 persen. Hasil ini
ternyata konsisten dan mendukung pernyataan teori bahwa liberalisasi pasar
saham akan meningkatkan return pasar saham dan selanjutnya akan menurunkan
biaya modal saham atau discount rate.
Pandangan konvensional (Radelet and Sachs, 1998; Stiglitz, 2000) dalam
Glick and Hutchison (2000), berpendapat bahwa liberalisasi aliran modal
internasional, terutama bila dikombinasikan dengan rejim nilai tukar tetap dapat
dianggap sebagai penyebab atau setidaknya faktor yang berkontribusi terhadap
krisis mata uang akhir-akhir ini. Kebijakan umum yang biasa ditetapkan dalam
keadaan seperti ini adalah untuk memberlakukan restriksi terhadap aliran modal
dan pembayaran internasional dengan tujuan dapat melindungi perekonomian dari
serangan speculator dan selanjutnya meningkatkan kestabilan mata uang.
Liberalisasi keuangan terus menerus yang cenderung menghapuskan kontrol modal
terlalu dini dapat mengakibatkan instabilitas dari nilai tukar.
Kebijakan
liberalisasi
keuangan
dan
perdagangan
cenderung
meningkatkan korelasi diantara pasar saham negara-negara dan bias domestic
yang terjadi dalam portofolio saham internasional akan menurun pada saat negara
berkembang terintegrasi secara global (Beine dan Candelon, 2005). Liberalisasi
perdagangan memberikan efek positif terhadap co-movement dari return pasar
35
saham, namun demikian reformasi liberalisasi perdagangan juga meningkatkan
co-movement pasar saham dengan cara yang agak mendua (ambigue).
Liberalisasi keuangan juga memberikan dampak positif dan signifikan terhadap
korelasi pasar saham, bagaimanapun hasil pengukuran atas co-movement pasar
saham. Kebijakan reformasi memberikan efek kuat terhadap perilaku investor
keuangan.
Dalam penelitiannya terhadap peran sektor keuangan melalui jalur kredit,
Abdurahman (2003) menyimpulkan bahwa perkembangan keuangan akibat
adanya reformasi keuangan di Indonesia sejak 1983, telah meningkatkan aliran
dana simpanan dan pinjaman, terlihat dari rasio tabungan, kredit dan investasi
terhadap GDP yang meningkat. Peningkatan agregat moneter secara dramatis
khusunya kredit domestik ke sektor swasta diyakini memiliki peran penting dalam
meningkatkan perekonomian Indonesia akibat peran perantara keuangan. Rasio
kredit sektor swasta terhadap GDP menunjukkan hubungan yang positif dan
signifikan mempengaruhi GDP riil per kapita.
2.2.2. Liberalisasi Keuangan dan Mekanisme Transmisi Moneter
Kajian mengenai hubungan liberalisasi keuangan dengan mekanisme
transmisi moneter umumnya dikaitkan dengan 2 (dua) subyek liberalisasi, yaitu
area sukubunga dan capital account. Aspek terpenting dari liberalisasi keuangan
dari sudut pandang transmisi kebijakan moneter adalah deregulasi sukubunga.
Beberapa kasus di negara berkembang menunjukkan adanya penghapusan batas
sukubunga (interest rate ceiling) dengan diberlakukannya liberalisasi keuangan.
Pada prinsipnya, penghapusan batas sukubunga memungkinkan sukubunga
kebijakan ditransmisikan menjadi sukubunga ritel dengan lebih cepat dan
36
meningkatkan peran dari jalur sukubunga (Gudmundsson, 2008). Liberalisasi
keuanganpun mendorong munculnya produk-produk keuangan baru yang
menimbulkan masalah dalam pengukuran uang, perkiraan fungsi permintaan uang
stabil.
Model permintaan uang stabil penting dalam memfungsikan jalur
sukubunga, karena membantu memastikan bahwa transmisi tersebut dapat
diprediksi, stabil dan efisien.
Liberalisasi capital account mendorong terjadinya aliran modal antar
negara. Sektor keuangan di seluruh dunia tidak hanya mengalami volatilitas nilai
tukar dan likuiditas yang tinggi akibat aliran tersebut, namun juga konsolidasi
keuangan antar negara dan integrasi pasar keuangan. Besarnya integrasi pasar
keuangan mendorong peningkatkan persaingan pasar dan akan berdampak pada
mekanisme transmisi moneter.
Dalam kasus ini de Bondt (2002, 2005)
menganalisis aliran dari perubahan sukubunga kebijakan sukubunga simpanan dan
pinjaman dalam wilayah Euro.
Dengan menggunakan pendekatan Error
Correction Model (ECM) serta Vector Autoregression (VAR), terdapat aliran
sukubunga ritel yang lebih cepat karena kebijakan moneter baru tahun 1999.
2.2.3. Rasio Tobin Q dan Liberalisasi Keuangan
Henry dan Chari (2002), menyatakan bahwa dengan analisis data deret
waktu (1980 – 1994) dari 369 perusahaan publik di 5 negara (India, Jordania,
Korea, Malaysia dan Thailand) terdapat peningkatan nilai rata-rata Q dan investasi
sekitar periode liberalisasi (1988 secara umum). Sedangkan analisis cross-section
menunjukkan
bahwa
realokasi
investasi
fisik
setelah
liberalisasi
tidak
menunjukkan korelasi yang signifikan dengan perubahan resiko sistematis dan
peluang investasi. Kesimpulannya adalah meskipun liberalisasi mendorong aliran
37
kapital namun tidak menjamin efisiensi alokasi kapital di negara yang menerima
aliran kapital tersebut.
Victor (2003), menyatakan bahwa terdapat pola yang sama dari volatilitas
rasio Tobin Q terhadap GDP dengan volatilitas pasar saham terhadap GDP di
beberapa negara berkembang. Sementara untuk negara-negara G7, tidak terdapat
pola yang sama.
Linderberg dan Ross (1981) dalam Han Kin Sang (1998) menyatakan
bahwa nilai marjinal q dapat berbeda dari unity (satu). Kondisi tersebut dapat
terjadi pada pasar persaingan sempurna, yaitu karena biaya penggantian modal
yang terlalu rendah atau pada industri yang menurun (declining) biaya
penggantian modal terlalu mahal akibat kemajuan teknologi yang pesat.
Sebaliknya pada pasar monopoli, nilai Q dapat lebih besar dari 1, karena nilai
pasar dari perusahaan yang tinggi. tingginya nilai pasar perusahaan. Pada pasar
bersaing, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai marjinal Q sama dengan faktorfaktor yang mempengaruhi nilai rata-rata Q.
Han Kin Sang (1998) dalam penelitiannya terhadap nilai rasio Q-Tobin
dari perusahaan publik Canada menunjukkan bahwa metode Hall memiliki
pendekatan teoritis yang terbaik, sedangkan metode modifikasi-Lindenberg-Ross
adalah metode dengan perhitungan yang paling sederhana. Selain itu, faktor
determinan utama yang berdampak positif terhadap rasio Q adalah biaya
penelitian dan pengembangan serta iklan, sedangkan yang berdampak negatif
adalah jumlah utang.
38
2.3.
Kebijakan pada Sektor Keuangan di Indonesia
2.3.1. Perbankan
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan ekonomi makro,
terdapat empat kebijakan umum yang diambil selama periode sebelum krisis tahun
1997 (Jiwandono, dalam Abdullah, 2003), yaitu:
1. Menerapkan kebijakan
fiskal/anggaran berimbang untuk
menghindari
penggunaan hutang domestik dalam pembiayaan pengeluaran pemerintah.
2. Menerapkan kebijakan moneter yang berhati-hati yang menjaga agar
pertumbuhan likuiditas sesuai dengan pertumbuhan permintaan riil.
3. Menjaga agar nilai tukar rupiah selalu berada pada posisi yang realistis. Pada
awalnya ini dilakukan melalui kebijakan devaluasi setiap kali situasi ekonomi
menuntut demikian. Kemudian sejak tahun 1986 hal ini dilakukan melalui
penyesuaian sasaran nilai tukar rupiah secara harian yang ditujukan untuk
memelihara daya saing industri-industri berorientasi ekspor dan sekaligus agar
perkembangan nilai tukar rupiah sesuai dengan kondisi permintaan dan
penawaran di pasar valuta asing.
4. Mempertahankan kebijakan lalu lintas modal (devisa) bebas sejak tahun 1971.
Kebijakan ini telah membantu menarik investasi asing dan membuat
perekonomian Indonesia dapat dengan relatif cepat menyesuaikan diri
terhadap perubahan kondisi di pasar internasional. Berbagai langkah kebijakan
tersebut telah mendukung pemeliharaan kondisi ekonomi makro yang relatif
stabil dan predictable selama periode sebelum krisis ekonomi 1997. Dalam
periode tersebut laju inflasi relatif terkendali pada level rata-rata di bawah 10
persen per tahun.
39
Tabel 5. Penelitian-Penelitian Liberalisasi Keuangan: Capital Account, Pasar Saham dan Moneter
JUDUL ARTIKEL
TUJUAN
The Quality Effect:
Does Financial
Liberalization
Improve the
Allocation of
Capital?.
Growth Volatility and
Financial
Liberalization.
Menganalisis efek
kualitatif liberalisasi
keuangan terhadap
efisiensi alokasi kapital
3.
4.
1.
2.
METODOLOGI
MODEL
DATA
Panel regresi Tobin’s Q Indeks liberalisasi
keuangan terbaru dari 36
negara selama 24 tahun
(1973 – 1996)
HASIL DAN
KESIMPULAN
Liberalisasi keuangan
memperbaiki efisiensi alokasi
kapital
Menganalisis dampak
liberalisasi pasar saham
dan keterbukaan capital
account terhadap
volatilitas pertumbuhan
konsumsi riil
Econometric – SUR
Data keuangan dan makro
ekonomi dari 2 kelompok
negara berkembang
Liberalisasi pasar saham yang
diikuti dengan keterbukaan
capital account dapat
mengurangi volatilitas
pertumbuhan konsumsi riil.
Taking Stock:
Monetary Policy
Transmission to
Equity Markets.
Menganalisis dampak
kebijakan moneter
terhadap pasar saham
Event study
Data kebijakan moneter
1994 – 2003, indeks S&P
dan 500 saham perusahaan,
pertemuan FOMC
Does Financial
Liberalization
Improve The
Allocation Of
Investment?
Menganalisis dampak
liberalisasi keuangan
terhadap alokasi
investasi
Econometric
12 negara berkembang
dengan periode waktu
sebelum dan setelah
liberalisasi keuangan
Pengaruh kebijakan moneter
yang tidak diduga terhadap
pasar saham menguat.
Saham sektor industri yang
siklikal dan kapital intensif
terpengaruh 2-3 kali lebih
kuat dibandingkan yang nonsiklikal
Reformasi keuangan
meningkatkan alokasi
investasi pada beberapa
negara
PENELITI
Abiad, A., Oomes, N. and
Ueda, K.
Presented at the Sixth
Jacques Polak Annual
Research Conference
November 3─4, 2005.
Bekaert, G., Harvey C.R.
and Lundblad C.
National Bureau of
Economic Research,
Cambridge, MA 02138
USA. 2004.
Ehrmann, M and
Fratzscher, M.
Working Paper Series No.
354. May 2004.
Galindo, Schiantarelli, F.,
Weiss, A. and Arturo.
Micro Evidence from
Developing Countries.
October, 2003.
40
Tabel 5. Lanjutan
JUDUL ARTIKEL
5.
TUJUAN
METODOLOGI
MODEL
Econometric
DATA
PENELITI
Do China’s Capital
Controls Still Bind?
Implications For
Monetary Autonomy
And Capital
Liberalisation.
Capital Account
Liberalization and
Economic
Performance: Survey
and Synthesis.
Menganalisis
efektivitas dari capital
control terhadap harga
dan aliran dana
Mensurvei dan
mensintesa literatur
efek keterbukaan
capital account dan
liberalisasi pasar saham
Cross-section
Regression
Indeks liberalisasi dengan
beberapa metode dari
studi-studi terdahulu
Keterbukaan capital account
dan liberalisasi pasar saham
memberikan efek konsisten
terhadap pertumbuhan
ekonomi pada negara dengan
pendapatan menengah.
7.
Stock Market
Liberalization,
Economic Reform,
and Emerging Market
Equity Prices.
Metode Event Study
Data return pasar saham di
12 negara berkembang di
Amerika Latin dan Asia
(1980 – 1990).
Terdapat abnormal return
pasar modal 4.7% selama 8
bulan dan mendorong
penurunan biaya modal .
Liberalisasi pasar modal
memberikan ruang gerak bagi
investasi dengan penurunan
biaya modal.
Henry, P.B.
The Journal of Finance.
Vol. LV. No. 2.
8.
Micro-macro linkages
in financial markets:
the impact of
financial
liberalization on
access to rural credit
in four African
countries.
Menguji konsistensi
data dengan pernyataan
bahwa liberalisasi
pasar modal (saham)
akan meningkatkan
return saham dan
selanjutnya
menurunkan biaya
modal.
Menganalisis efek
liberalisasi keuangan
terhadap akses kredit
bagi pasar individu 4
negara miskin di Afrika
Ekonometrika,
persamaan simultan
Karakter dan tahapan
reformasi keuangan sejak
1985 – 1997 di Uganda,
Kenya, Malawi dan
Lesotho.
Liberalisasi keuangan
berpengaruh terhadap
perubahan sukubunga namun
tidak meningkatkan laju
tabungan dan akses kredit.
Peningkatan akses kredit
karena inovasi pasar
keuangan bagi bisnis kecil
dan pertanian.
Mosley, P.
Journal of International
Development; May/Jun
1999; 11, 3; ABI/INFORM
Global. pg. 367
6.
China
HASIL DAN
KESIMPULAN
Capital control masih
berpengaruh, dan aliran dana
dipengaruhi oleh sukubunga.
Guonan Ma and Mccauley,
R. N.
BIS Working Papers No
233. Monetary And
Economic Department.
August 2007.
Hali J. Edison, Michael W.
Klein, Luca Antonio Ricci
and Torsten Sløk.
IMF Staff Papers; 2004;
51, 2; ABI/INFORM
Global. pg. 220.
41
Table 5. Lanjutan
JUDUL ARTIKEL
TUJUAN
METODOLOGI
MODEL
VAR dan GMM
DATA
10 negara Pasific Basin
dari tahun 1980 – 1998
9.
Measuring Financial
and Economic
Integration with
Equity Prices in
Emerging Markets.
Menganalisis
keterkaitan riil dan
keuangan pasar saham
di tingkat regional dan
global secara simultan
10.
Credit Constraints,
Financial
Liberalisation And
Twin Crises.
Menganalisis kondisi
‘twin-crises’ dalam
kaitannya dengan
liberalisasi keuangan
Diamond-Dybvig
Model
Ekonomi terbuka dan
ekonomi tertutup
11.
Financial
Liberalization and
Monetary Control in
A Developing
Country.
VAR, ARCH dan
GARCH
Data kuartalan sejak 1980
sampai dengan 2000, baik
bank sentral, bank
komersiel maupun sektor
korporasi non-pertanian
non-keuangan di Peru.
12.
Stock Market
Development And
Economic Growth:
The Causal Linkage.
Menganalisis dampak
liberalisasi keuangan
dan kebijakan moneter
terhadap keuangan
sektor perbankan,
korporasi nonkeuangan dan bank
sentral.
Menganalisis
hubungan sebab akibat
antara perkembangan
pasar saham, keuangan
dan pertumbuhan
ekonomi
VAR
Data kuartalan dari 1971 1998 , yaitu pasar modal
dan kewajiban bank dari 7
negara berkembang.
HASIL DAN
KESIMPULAN
Integrasi ekonomi
didampingi oleh integrasi
keuangan baik di tingkat
regional dan global untuk
seluruh sub-periode.
Akses ke pasar modal
internasional memungkinkan
ekonomi domestik
mengalokasikan sumberdaya
lebih efisien dan mengurangi
kerentanan sektor perbankan
(dalam rejim nilai tukar
tertentu)
Liberalisasi keuangan dan
kebijakan moneter
menimbulkan dampak positif
dalam jangka pendek, namun
menyebabkan keuangan dari
sektor perbankan dan
korporasi non-pertanian nonkeuangan rapuh.
Pasar modal yang telah
berkembang baik mendorong
pertumbuhan ekonomi
melalui akumulasi modal
yang lebih cepat dan alokasi
sumber daya yang lebih baik
PENELITI
Phylaktis, K and
Ravazzolo. F.
City University Business
School City University
Business School. London.
United Kingdom. 1998.
Zhu, H.
BIS Working Papers No
124. Monetary and
Economic Department.
January 2003.
Liebana, P. L.
Department of Economics.
Notre Dame, Indiana.
November 2002.
Dissertation.
Guglielmo Maria
Caporale, Peter G. A
Howells, and Alaa M.
Soliman.
Journal of Economic
Development 33 Volume
29, Number 1, June 2004.
42
Tabel 5. Lanjutan
JUDUL ARTIKEL
TUJUAN
METODOLOGI
MODEL
DATA
Regresi BergandaVolatilitas pasar mata uang
Model ‘canonical’
& ketersediaan data 69
krisis mata uang
negara berkembang (1975
– 1997), dan 160 kasus
krisis mata uang.
HASIL DAN
KESIMPULAN
Pembatasan atas capital
control berasosiasi dengan
tingginya peluang krisis mata
uang.
13.
Capital Controls and
Exchange Rate
Instability in
Developing
Economies.
Meneliti restriksi legal
terhadap aliran dana
internasional (capital
account) berasosiasi
dengan semakin
besarnya stabilitas
mata uang, sehingga
dapat terlindung dari
serangan spekulatif
atas mata uang.
14.
The IMF and the
Liberalization of
Capital Flows.
15.
Gestation Lags for
Capital, Cash Flows,
and Tobin’s Q.
PENELITI
Menganalisis
determinan decontrol
capital account pada
negara berkembang
dan memeriksa peran
perubahan rejim aliran
dana selama
berpartisipasi dalam
IMF.
Metode Least Square
Data program IMF dan
kebijakan 53 negara
berkembang (1982 – 1998)
Keikutsertaan dalam program
IMF berkorelasi dengan
liberalisasi capital account
selama periode 1990an.
Joyce, J.P. and Noy, I.
Department of Economics
Wellesley College and
University of Hawaii.
Unpublished. 2005.
Menganalisis respons
investasi akibat
perubahan biaya
modal, serta hubungan
antara arus kas dengan
Tobin’s Q.
Structured VAR
model, dengan model
investasi, arus kas dan
hubungan antara arus
kas dan Tobin’s Q.
Data agregat kuartal
perusahaan non-pertanian
dan non-keuangan di US
sejak 1959Q2 sampai
2002Q4.
Dibutuhkan waktu 4 kuartal
bagi investasi untuk
berespons terhadap
guncangan teknologi dan
tambahan sekitar 8 kuartal
sebelum kapasitas produksi
terpengaruh (ada
penyesuaian arus kas dan Q).
Millar, J.N.
Finance and Economics
Discussion Series.
Divisions of Research &
Statistics and Monetary
Affairs. Federal Reserve
Board, Washington, D.C.
2005.
Glick, R and Hutchison,
M.
Federal Research Bank of
Fransisco. Unpublished.
2000.
43
Tabel 5. Lanjutan
JUDUL ARTIKEL
TUJUAN
16.
Integration and stock
market co-movement
between emerging
economies.
17.
Financial
liberalization and
money demand in the
ASEAN countries.
18.
The Causes and
Impacts of
International
Financial
Liberalization.
Menyelidiki dampak
perdagangan dan
liberalisasi keuangan
terhadap tingkat comovement pasar modal
diantara negara
berkembang.
Memperkirakan
pengaruh liberalisasi
keuangan terhadap
permintaan uang riil
dalam jangka panjang
di 4 negara Asia
Tenggara
Menganalisis penyebab
dan dampak sosial dari
internasionalisasi
keuangan di negara
berkembang
19.
How Risky is
Financial
Liberalization in the
Developing
Countries?
Menganalisis apakah
liberalisasi keuangan
beresiko?
METODOLOGI
MODEL
DATA
Perkiraan korelasi
25 negara sejak tahun
time-varying pasar
1990 sampai 2004 (15
saham antar negara.
tahun).
Metode realized
moment (seperti
GARCH) atau realized
correlation
Johanssen (1988) Full- 4 negara Asia Tenggara:
Information maximum- Indonesia, Singapore,
Likelihood Procedure
Malaysia dan Thailand
pada periode sebelum
krisis
Granger causality test
and VAR
Data time series dari
keterbukaan keuangan
internasional di 44 negara
berkembang dari 1970 –
1994.
Regresi dan causality
27 negara berkembang dan
maju dari 1977 – 1999
HASIL DAN
KESIMPULAN
Terdapat dampak positif
reformasi liberalisasi
perdagangan dan keuangan
terhadap tingkat korelasi dan
keterkaitan pasar saham antar
negara.
PENELITI
Beine, M. and Candelon,
B.
University of Luxemburg.
Belgium. Unpublished.
2005.
Fungsi permintaan uang riil
dari ke-4 negara adalah stabil
meskipun sudah dilakukan
liberalisasi keuangan.
Dekle R. and Pradhan, M.
International Journal of
Finance & Economics; Jul
1999; 4, 3; ABI/INFORM
Global pg. 205.
Liberalisasi keuangan
disebabkan oleh integrasi
perekonomian dan keuangan
antar negara (evolusionary)
dan krisis pembayaran
(revolusionary). Secara
umum, liberalisasi keuangan
memberikan dampak
menguntungkan bagi negara
berkembang
Liberalisasi keuangan
diharapkan untuk
meningkatkan persaingan
dan mengurangi kekuatan
monopoli, selain dari pasar
keuangan. Dengan resiko
yang dapat terjadi, perlu
pentahapan proses.
Zhang, H.
PhD. Dissertation.
Claremont Garduate
University. California.
2001.
Wyplosz, C. 2001.
Graduate Institute of
International Studies,
Geneva and CEPR.
44
Tabel 5. Lanjutan
JUDUL ARTIKEL
TUJUAN
20.
Financial
Globalisation: Key
trend s and
implications for the
transmission
mechanism of
monetary policy
Menganalisis
perkembangan dan
pengaruh globalisasi
keuangan terhadap
efektivitas jalur
mekanisme transmisi
kebijakan moneter
21.
Impact of Financial
Market
Developments on the
Monetary
Transmission
Mechanism
Menganalisis sejauh
mana pengaruh
perkembangan
keuangan terhadap
mekanisme transmisi
moneter
METODOLOGI
MODEL
DATA
Uji korelasi dan ECM
Beberapa negara maju
(kecil dan besar) dan
negara berkembang yang
menerapkan sistem nilai
tukar fleksibel dan
pentargetan inflasi
Standard two-step
Engle-Granger ECM
dan Rolling regression
Beberapa negara industri
(maju) dan negara
berkembang Asia
HASIL DAN
KESIMPULAN
Jalur sukubunga dari MTM
melemah dalam jangka
panjang, baik di negara maju
maupun berkembang.
Volatilitas nilai tukar kecil
dan diharapkan
mengkompensasi lemahnya
jalur sukubunga dalam
pentargetan inflasi.
Negara dengan pasar
keuangan yang telah maju
memiliki laju transmisi
sukubunga dan penyesuaian
yang lebih cepat
PENELITI
Gudmundsson, M. 2008.
BIS Papers no. 39.
Singh, S., Razi, A., Endut,
N. dan Ramlee, H. 2008.
BIS Papers no. 39.
45
Di sektor keuangan, dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan
investasi,
upaya
menggerakkan
sumber
dana
domestik
dilakukan
dengan
mengembangkan infrastruktur sektor keuangan, khususnya industri perbankan. Hal
ini terlihat sangat jelas dari perkembangan sektor keuangan di Indonesia yang sarat
dengan rangkaian deregulasi sejak tahun 1983. Proses deregulasi perekonomian yang
dilakukan di Indonesia hampir identik dengan deregulasi sektor keuangan.
Strategi deregulasi sektor keuangan di Indonesia, dimulai secara terbatas
dengan menetapkan suku bunga bank lebih realistis pada tahun 1968 sampai dengan
1970, dan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai
konsekuensinya, sektor perbankan telah berhasil meningkatkan perannya sebagai
media intermediasi dan penyedia jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula
menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi di masa lalu (Sabirin, 1999).
Beberapa paket kebijakan untuk mendorong sistem keuangan domestik juga
dikeluarkan pada tahun 1988, 1990 dan 1991. Tujuannya adalah untuk melakukan
liberalisasi sektor keuangan domestik dengan penetapan bunga melalui mekanisme
pasar, pendirian bank atau cabang baru dengan persyaratan lebih mudah, mengizinkan
bank asing beroperasi di kota selain Jakarta, dan memperluas kapasitas bank
komersial dalam alokasi kredit melalui penurunan persyaratan cadangan terhadap
deposito dari 15 persen menjadi 2 persen. Dapat dikatakan bahwa proses deregulasi
perekonomian yang dilakukan di Indonesia hampir identik dengan deregulasi sektor
keuangan (Abdurahman, 2003).
Reformasi keuangan tersebut berdampak signifikan terhadap perluasan dan
kedalaman (deepening) sistem keuangan di Indonesia.
Pengaruh lainnya adalah
sukubunga riil positif, kenaikan jumlah bank, jumlah tabungan dan volume kredit
domestik, sebagaimana terlihat pada Tabel 6.
46
Tabel 6. Tren Rasio M2, Kredit, Tabungan dan Investasi Terhadap Gross Domestic
Product, Tahun 1983 sampai dengan 1997
Sumber: Abdurahman, 2003
Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di Indonesia
belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi perekonomian
Indonesia ke dalam perekonomian global. Perangkat kelembagaan bagi bekerjanya
ekonomi pasar yang efisien ternyata belum tertata dengan baik. Sebagai
konsekuensinya, ekonomi Indonesia menjadi sangat rentan terhadap gejolak eksternal
sebagaimana terjadi pada pertengahan tahun 1997.
Beberapa langkah kebijakan
dilakukan untuk memperkuat kestabilan makroekonomi dan membangun kembali
infrastruktur ekonomi, khususnya perbankan dan dunia usaha, antara lain (IMF, 1998
dalam Abdullah, 2003):
1. Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju
inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
2.
Di bidang fiskal, ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi
pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan
yang diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis
ekonomi. Salah satu bentuknya adalah dengan program Jaring Pengaman Sosial.
3. Di bidang pengelolaan (governance), ditempuh kebijakan untuk memperbaiki
kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di
dalamnya upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli, dan kegiatankegiatan yang kurang produktif lainnya.
47
4.
Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang
bertujuan untuk mencapai dua hal, yaitu: mengatasi dampak krisis dan
menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang.
Fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi
tersebut adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah, dan
hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
yang secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian
kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Pada tataran implementasi, dalam menjalankan fungsi stabilisasi rupiah, Bank
Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah kendala yang terkait dengan optimalisasi
kebijakan moneternya. Pertama, penentuan satu di antara dua alternatif, yaitu suku
bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) jangka waktu 1 dan 3 bulan sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter.
Kedua, informasi emperik tentang jalur-jalur
mekanisme transmisi kebijakan moneter yang berpengaruh efektif terhadap
pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu pengendalian tingkat inflasi.
Ketiga, informasi emperik tentang jangka waktu (time lag) pencapaian sasaran akhir
kebijakan moneter. Keempat, informasi emperik tentang trade-off output-inflasi yang
diakibatkan oleh kebijakan moneter di bawah sistem nilai tukar mengambang dan
mengambang terkendali.
Kelima, seberapa besar tingkat efektifitas kebijakan
moneter di bawah kedua sistem nilai tukar tersebut.
48
2.3.2. Pasar Modal Indonesia
Keterlibatan pemerintah dalam pasar modal, adalah sebagai regulator melalui
Bapepam dan BEI (Bursa Efek Indonesia). Setiap pemain di pasar modal memiliki
peran masing-masing. Ada beberapa pihak terlibat secara langsung dengan mengelola
ekuiti dan utang yaitu sales, trading, brokerage, produk turunan ekuiti (equity
derivatif) dan investasi langsung. Bank investasi biasanya membawahi dua "pemain"
penting yaitu underwriter (penjamin emisi) dan corporate finance advisory
(penasehat keuangan perusahaan). Underwriter mengelola instrumen-instrumen yang
berkaitan dengan ekuiti seperti IPO (Initial Public Offering/penjualan saham
perdana), dan convertible bonds (obligasi yang bisa dikonversikan dalam bentuk
saham). Underwriter juga mengelola instrumen-instrumen yang tercatat dan tidak
tercatat.
Dalam konteks pasar modal, liberalisasi dan integrasi keuangan berarti
hilangnya hambatan untuk melakukan cross listing, cross trading dan cross
membership.
Perkembangan investasi di Indonesia mengalami babak baru setelah
direorganisasikannya pasar modal pada tahun 1977 melalui Keputusan Presiden
Nomor 52 Tahun 1976. Reorganisasi ini mempunyai arti yang sangat penting bagi
perkembangan investasi di Indonesia karena dengan diefektifkannya kembali pasar
modal diharapkan pengalokasian sumber daya ekonomi terutama yang menyangkut
alokasi modal dapat berlangsung secara efisien (Hidayat, 2009).
Secara garis besar perkembangan pasar modal di Indonesia sejak
diefektifkannya kembali tahun 1977, dapat dibagi menjadi tiga era, yaitu:
1. Era Pra Deregulasi
2. Era Deregulasi
49
3. Era Pasca Deregulasi
Periodisasi di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Era Pra Deregulasi
Era Pra Deregulasi dari tahun 1977 sampai dengan tahun 1987 merupakan era
rintisan menuju pasar modal yang efisien.
Sebelum periode 1977 sampai 1987
sebenarnya pasar modal telah dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu pada tahun
1912 yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi kemudian ditutup pada
tahun 1942. Pemerintah Republik pernah pula mengaktifkan kembali pasar modal
pada tahun 1952 dengan Undang-Undang Darurat Nomor 15 Tahun 1952 yang tujuan
utamanya untuk memberikan fasilitas bagi perdagangan obligasi pemerintah saat itu.
Keadaan politik yang tidak menentu dan kondisi perekonomian yang buruk
mengakibatkan pasar modal harus ditutup kembali. Keadaan ini berlanjut hingga
tahun 1977 sampai pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun
1976 yang menandakan kembali diefektifkannya pasar modal. Sejak keluarnya
Keputusan Presiden tersebut, pasar modal di Indonesia diharapkan menjadi wahana
pengalokasian modal yang efisien serta alat untuk memeratakan pendapatan kepada
pemodal-pemodal kecil.
Tahun 1977 sampai dengan 1987 merupakan periode awal perkembangan
bursa di Indonesia, hal ini terlihat pada jumlah perusahaan yang menawarkan saham
hanya terdapat 24 perusahaan dan 3 perusahaan yang menawarkan obligasi, sementara
itu dana yang terhimpun hanya berkisar Rp 131.4 milyar. Bagi perusahaan, pasar
modal bukan merupakan wahana yang menarik untuk menjual surat berharga karena
beberapa alasan, yaitu:
50
a. Adanya persyaratan laba minimum sebesar 10 persen dari modal sendiri. Persyaratan ini dinilai cukup berat bagi perusahaan yang akan go public.
b. Tertutupnya kesempatan bagi investor asing untuk berpartisipasi dalam
kepemilikan saham.
c. Adanya batas maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4 persen dalam setiap hari
perdagangan di bursa.
d. Tidak adanya perlakuan yang sama terhadap penghasilan yang berasal dari bunga
deposito dengan dividen.
e. Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham
yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa.
Faktor-faktor di atas merupakan penyebab kurang menariknya pasar modal, baik bagi
perusahaan maupun investor.
2. Era Deregulasi
Era Deregulasi dari tahun 1987 sampai dengan 1990, pemerintah
mengeluarkan tiga perangkat paket kebijakan penting dalam bidang pasar modal.
Ketiga perangkat kebijakan tersebut dituangkan dalam paket-paket deregulasi sebagai
berikut:
a.
Paket Desember 1987
Isi penting dari paket kebijakan ini yang berkaitan erat dengan pasar modal yaitu:
1. Menghapuskan persyaratan laba minimum 10 persen dari modal sendiri.
2. Diperkenalkannya instrumen baru pasar modal yaitu saham atas unjuk.
51
3. Dibukanya bursa paralel (Bursa Paralel Indonesia) sebagai arena perdagangan
efek bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.
4. Dihapuskannya ketentuan batas maksimum fluktuasi harga sebesar 4 persen.
b.
Paket Oktober 1988, dengan beberapa kebijakan yaitu:
1. Pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka dan sertifikat
deposito tabungan.
2. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian kredit bank kepada nasabah
perorangan dari nasabah grup yaitu secara berturut-turut tidak melebihi 20
persen dan 50 persen dari modal sendiri bank pemberi kredit.
3. Penetapan persyaratan modal minimum untuk mendirikan bank umum swasta
nasional, bank pembangunan dan bank campuran.
c.
Paket Desember 1988.
Melalui paket ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada swasta untuk
mendirikan dan menyelenggarakan bursa di luar Jakarta. Dengan kebijakan ini,
dibuka peluang bagi investor bagian lain untuk memperdagangkan efeknya di bursa
tersebut sehingga investor tidak lagi harus memperdagangkan efeknya di Bursa Efek
Jakarta. Disamping itu melalui paket ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada
seluruh perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang telah ditempatkan dan
disetor penuh di bursa (company listing). Dengan demikian, diharapkan saham
perusahaan akan lebih marketable.
d.
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
1055/KMK.013/1989
tentang
Pembelian Saham oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal.
Melalui keputusan ini, pemerintah membuka kesempatan bagi investor asing untuk
berpartisipasi di pasar modal Indonesia. Ketentuan ini membolehkan investor asing
52
untuk menguasai maksimum 49 persen di pasar perdana, maupun 49 persen saham
yang tercatat di bursa efek maupun bursa paralel.
e.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199/KMK.010/1991 jo Keputusan Menteri
Keuangan 1548/KMK/013/1990 tentang Perubahan Status BAPEPAM.
Melalui keputusan ini, tugas BAPEPAM yang semula merupakan penyelenggara
bursa (Badan Penyelenggara Pasar Modal) berubah menjadi pengawas pasar modal
(Badan Pengawas Pasar Modal) sedangkan penyelenggara bursa diserahkan kepada
swasta. Di samping itu, lembaga-lembaga penunjang lainnya seperti Lembaga Kliring
Penyelesaian dan Penyimpanan, Reksa Dana resmi dibentuk.
3. Era Pasca Deregulasi
Dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan deregulasi, pasar modal di
Indonesia berkembang sangat pesat. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah
perusahaan go public yang sangat drastis. Bila pada tahun 1988, jumlah emiten yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta baru mencapai 26 perusahaan maka pada akhir 1994
telah mencapai 218 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 103 835.24
milyar. Pertumbuhan tersebut juga diikuti oleh semakin meningkatnya kepercayaan
masyarakat kepada pasar modal di Indonesia, jika pada tahun 1977 rata-rata transaksi
baru mencapai Rp 1 650 000 per hari, dan pernah mencapai Rp 50 000 000 per hari
pada tahun 1982 maka pada akhir tahun 1993 transaksi telah mencapai Rp 117 582
juta per hari. Ini berarti telah terjadi peningkatan 738 persen jumlah emiten yang
terdaftar di bursa selama periode waktu tersebut dan terjadi kenaikan 215 kali lipat
pada nilai kapitalisasi.
Upaya-upaya untuk meningkatkan peranan pasar modal dalam perekonomian
Indonesia masih terus berlanjut. Dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan pada
53
era pasca deregulasi untuk mengontrol dan menutup kelemahan-kelemahan pasar
modal masih terus digulirkan, khususnya untuk melindungi investor dan pelaku pasar
modal lainnya. Beberapa peraturan yang dikeluarkan antara lain:
1. Peraturan Nomor: IX.C.1. tentang keterbukaan informasi yang harus segera
diumumkan kepada publik (lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep22/PM/1991).
2. Peraturan Nomor: X.D.1. tentang persyaratan keterbukaan orang dalam dan
pemegang saham tertentu (lampiran Keputusan BAPEPAM Nomor: Kep89/PM/1991).
3. Surat Edaran Ketua BAPEPAM Nomor: SE-05/PM/1992 tentang penyampaian
laporan keuangan tahunan.
4. Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8. tentang benturan kepentingan transaksi
tertentu.
5. Peraturan Nomor: IX.D.1 tentang benturan kepentingan transaksi tertentu
(lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-01/PM/1993).
Kinerja PMI (Pasar Modal Indonesia) dapat ditinjau dari jumlah emiten, nilai
emisi dan kapitalisasi saham, volume perdagangan yang tergabung dalam PMI secara
keseluruhan. Jumlah emiten yang bergabung dalam PMI sampai dengan tahun 2007
adalah 383 perusahaan. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar modal berkembang
sejalan dengan perkembangan jumlah emiten yang bergabung dalam PMI. Dalam
kurun waktu 10 tahun dari 1991 hingga 2001 terjadi kenaikan nilai kapitalisasi pasar
hingga lebih dari 20 kali lipat. Pada 1991, jumlah saham dan obligasi di pasar modal
Indonesia hanya Rp. 11.2 triliun, namun pada 2001 jumlah mencapai Rp. 263 triliun.
Sampai dengan tahun 2007, nilai kapitalisasi pasar adalah Rp 1 988.3 triliun. Nilai
54
kapitalisasi menunjukkan jumlah modal yang mampu dihimpun oleh Pasar Modal
Indonesia dalam menunjang kegiatan investasi saham.
Indikator
perkembangan
pasar
saham
lainnya
yang
menunjukkan
perkembangan yang baik adalah IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), yang
merupakan cerminan dari kinerja pasar. Membaiknya kondisi pasar saham Indonesia
juga ditunjukkan dengan transaksi yang melibatkan investor asing yang mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Pada 1992, transaksi saham yang
melibatkan investor asing mencapai 59 persen.
Jumlah ini menurun pada 2001
dimana transaksi yang melibatkan investor asing hanya 11 persen. Namun, pada
2005, transaksi saham yang melibatkan investor asing kembali naik menjadi 41 persen
dan pada akhir 2010 menjadi sekitar 39 persen.
2.3.3. Kebijakan Penanaman Modal di Indonesia
Beberapa kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), pada dasarnya bertujuan untuk merangsang pertumbuhan
investasi asing langsung maupun dalam negeri, termasuk pengendalian maupun
pelaksanaan dari penanaman modal tersebut. Pada tahun 2004, dikeluarkan keputusan
Kepala BKPM No. 61 Tahun 2004, yang mengatur tentang Pengendalian Pelaksanaan
Penanaman Modal, berupa bentuk dan tatacara pembuatan Berita Acara Pemeriksaan
Proyek (BAP), Pelaporan dan Pencabutan Surat Persetujuan.
Beberapa problematika terkait dengan mekanisme investasi telah dikaji, dan
menghasilkan paket kebijakan baik dari pemerintah maupun BKPM sendiri.
Kebijakan yang terkait dengan masalah pembentukan perusahaan dan izin usaha,
adalah konsep pelayanan satu atap, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No.
55
29 Tahun 2003. Lahirnya Keppres tersebut dilatarbelakangi suasana euforia UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Desentralisasi disemangati secara
berlebih, sehingga daerah dalam meningkatkan PAD mengeluarkan berbagai perda
pajak dan retribusi daerah, yang pada akhirnya memberatkan dunia usaha dan
investasi.
Pada akhir Februari 2006, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan
investasi, dalam bentuk Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006. Program tersebut
antara lain meliputi kelembagaan pelayanan investasi, sinkronisasi peraturan pusat
dan daerah, kepabeanan dari cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, usaha kecil,
menengah, dan koperasi. Latar belakang dikeluarkannya paket kebijakan investasi
tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja investasi di Indonesia. Menurut
pemerintah, investasi dapat diharapkan memberikan nilai bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia, untuk mencapai target pertumbuhan sekitar 6 sampai 7 persen di era
pemerintahan Kabinet Persatuan. Paket Kebijakan berikut programnya meliputi aspek
umum, kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan dan juga untuk Usaha
Kecil, Menengah dan Koperasi. Pada tahun 2007, telah dikeluarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga Peraturan
Presiden RI No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal,
mengenai Kedudukan, Tugas, Fungsi, Pengorganisasi serta Komite Penanaman
Modal.
Artinya, BKPM menjadi sebuah lembaga pemerintah yang menjadi
koordinator kebijakan penanaman modal antar instansi pemerintah, pemerintah
dengan Bank Indonesia, pemerintah dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dan antara
pemda dengan pemda.
Disamping itu, pemerintah juga berperan sebagai badan
advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi.
56
Pada tahun 2009, dikeluarkan Peraturan Kepala BKPM No. 11 Tahun 2009
tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan, dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal, No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan
Tata Cara Permohonan Penanaman Modal, No.13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal dan No. 14 Tahun 2009
tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE). Pada tahun 2010 dikeluarkan Peraturan Kepala BKPM No.7 Tahun 2010,
yaitu tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal,
khususnya prosedur-prosedur Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM).
Dalam rangka meningkatkan investasi asing langsung di Indonesia,
pemerintah melalui Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) telah
melakukan beberapa upaya penyesuaian kebijakan investasi, di antaranya adalah
sebagai berikut (Sarwedi, 2002):
1. Pemerintah telah memperbaharui Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi
Penanam Modal untuk dapat diberikan keleluasaan investor dalam memilih usaha
(Keppres No 96 Tahun 2000 jo. No 118 Tahun 2000). Dalam keputusan tersebut,
bidang usaha yang tertutup untuk investasi baik PMA maupun PMDN berkurang
dari 16 sektor menjadi 11 sektor. Bidang usaha yang tertutup bagi kepemilikan
saham asing berkurang dari 9 sektor menjadi 8 sektor.
2. Penyederhanaan proses dari 42 hari menjadi 10 hari. Sebelumnya persetujuan
PMA dilakukan oleh Presiden, sedangkan saat ini cukup dilakukan oleh Pejabat
Eselon I yang berwenang, dalam hal ini Deputi Bidang dan Fasilitas Penanaman
Modal;
57
3. Sejak tanggal 1 Januari 2001, pemerintah menggantikan insentif Pembebasan
Pajak dengan Kelonggaran Pajak Investasi sebesar 30 persen untuk 6 (enam)
tahun.
4. Nilai investasi tidak dibatasi, sepenuhnya tergantung studi kelayakan dari proyek
tersebut.
Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dimulai 1967, Indonesia melakukan
sejumlah deregulasi terhadap peraturan penanaman modal. Peraturan perundangan
penanaman modal asing (PMA) telah mulai diperbaiki sejak tahun 1967, sedangkan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) mulai diatur sejak tahun 1968. Insentif bagi
para investor tampaknya sangat tergantung pada bagaimana pemerintah melakukan
atau menerapkan status prioritas bagi sektor industri. Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) dalam rangka menjaring investasi asing maupun investasi dalam
negeri menerapkan apa yang disebut dengan Daftar Skala Prioritas (DSP), yang
memiliki empat kategori, yaitu:
a. Sektor industri yang terbuka bagi PMA maupun PMDN dan non-PMA/PMDN,
termasuk di dalamnya perusahaan yang relatif kecil;
b. Sektor industri yang terbuka bagi PMDN dan Non-PMA/PMDN;
c. Sektor industri yang terbuka hanya bagi Non-PMA/PMDN;
d. Industri yang tertutup untuk semua investasi, baik PMA, PMDN, nonPMA/PMDN.
Sistem insentif tersebut sering direvisi oleh pemerintah, seperti misalnya
pembebasan pajak impor, investasi mesin maupun peralatan serta percepatan
depresiasi.
Secara umum, sistem investasi memiliki kecenderungan penggunaan
capital intensive technique. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya pemerintah untuk
memacu pertumbuhan ekonomi yang didasarkan atas percepatan sektor industri,
58
sehingga kebijakan tentang investasi sering disamakan arahnya dengan kebijakan
industri.
Inisiatif kebijakan investasi pada akhirnya berkembang pada kebijakan
investasi yang mampu mendorong ekspor non-migas yang kemudian dikenal dengan
Paket 6 Mei yang efektif diumumkan pada tahun 1986. Menurut Poot, Kuyvenhoven,
dan Jansen, 1991: 236-238, dalam Sarwedi, 2002, Paket 6 Mei tersebut pada dasarnya
memiliki beberapa poin penting, yaitu mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85
persen outputnya diekspor dalam bentuk pengadaan impor input dengan biaya murah
melalui subsidi, memberikan fasilitas pinjaman dana bank apabila sekurangkurangnya 75 persen modal saham (equity) dimiliki oleh orang Indonesia, bila
sekurang-kurangnya 51 persen equity ditawarkan di Jakarta Stock Exchange (JSE),
dan bila sekurang-kurangnya 51% equity dimiliki oleh orang Indonesia plus sekurangkurangnya 51 persen dari equity yang ditawarkan 20 persen diantaranya ditawarkan di
Jakarta Stock Exchange.
2.4.
Hipotesis
Dalam rangka menganalisis dampak liberalisasi keuangan dan pasar modal
terhadap perekonomian Indonesia, dikembangkan suatu model ekonomi. Liberalisasi
keuangan, yang dicirikan antara lain oleh keterbukaan capital account dan pasar
saham serta mekanisme suku bunga melalui kebijakan moneter, memungkinkan
adanya aliran modal (capital flow) secara leluasa antar negara.
Dengan kondisi
moneter suatu negara yang stabil dan kondusif, maka aliran modal akan masuk
melalui transaksi pasar modal (investor sekuritas), dan memberikan kesempatan pada
industri untuk beropersional melalui peningkatan investasi pada sektor-sektor
produktif dengan adanya dana segar tersebut, sehingga membuka peluang kerja dan
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan investasi sektoral.
59
Tulisan ini bertujuan untuk menggali isu-isu terkait dengan hubungan antara
perkembangan keuangan dan pertumbuhan dari sudut pandang evaluasi dampak
liberalisasi keuangan. Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian serta
latar belakang teori yang melandasinya, maka penelitian ini memiliki hipotesis
sebagai berikut:
1. Liberalisasi keuangan berupa keterbukaan control atas capital account dan
pasar modal (Investasi Asing Langsung, FDI dan Investasi Portofolio akan
mempengaruhi investasi pada sektor primer (pertanian), sektor sekunder
(industri dasar dan kimia), serta sektor tersier (perbankan) yang ditunjukkan
dengan rasio Q-Tobin.
2. Kebijakan moneter akan mempengaruhi investasi pada sektor primer
(pertanian), sektor sekunder (industri dasar dan kimia), serta sektor tersier
(perbankan) yang ditunjukkan dengan rasio Q-Tobin.
3. Nilai Q-Tobin yang mencerminkan liberalisasi keuangan dan kebijakan
moneter akan mempengaruhi pertumbuhan investasi sektor primer (pertanian),
sektor sekunder (industri dasar dan kimia), serta sektor tersier (perbankan).
2.5.
Pemilihan Variabel
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka pada bagian terdahulu, ditentukan
variabel yang akan dipilih dalam model penelitian. Beberapa variabel yang akan
digunakan dalam penelitian dijelaskan pada Tabel 7:
1. Variabel Kebijakan Moneter
a. Uang Beredar
b. Suku bunga acuan Bank Indonesia
2. Variabel Keterbukaan Finansial (liberalisasi keuangan)
60
a. Investasi Asing langsung (FDI, Foreign Direct Investment)
b. Investasi Portofolio Aset Keuangan
c. Pinjaman Komersial (Commercial Borrowings)
3. Variabel Makroekonomi
a. Nilai tukar rupiah terhadap US$
b. Suku bunga pasar (pinjaman dan simpanan)
c. Cadangan devisa
d. Indeks Harga Saham Gabungan
4.
Investasi Perusahaan Sektor Pertanian, Industri Dasar dan Kimia, Perbankan
a. Investasi Perusahaan (investasi bersih)
b. Total aktiva perusahaan
c.
Nilai Pasar Saham Perusahaan
d. Jumlah Saham beredar di pasar sekunder
e.
Nilai Buku Utang Jangka Pendek dan Utang Jangka Panjang Perusahaan
f. Nilai Ekuitas Perusahaan
5. Investasi Sektor
a. Investasi Sektor Pertanian, Pengolahan, dan Jasa Keuangan
b. Indeks Saham Sektor Pertanian (JAKAGRI), Sektor Pengolahan (JAKMIND)
dan Sektor Jasa Keuangan (JAKFIND)
2.6.
Posisi penelitian
Studi terdahulu mengenai liberalisasi keuangan sebagian besar difokuskan
pada pengaruh guncangan aliran modal terhadap determinan makroekonomi dan
volatilitas pertumbuhan. Studi mengenai kebijakan moneter umumnya difokuskan
pada pengaruh shock moneter terhadap variabel makroekonomi.
61
Tabel 7. Variabel Penelitian
Aspek Penelitian
Kebijakan Moneter
Liberalisasi Keuangan
Variabel
Makroekonomi
Investasi Perusahaan
Kinerja Sektor
Nomor
Simbol
Variabel
1
M2
2
SBI
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Nama Variabel
Suplai Uang
Suku Bunga Acuan Bank
Indonesia
FDI
Investasi Asing Langsung
POR
Investasi Portofolio
BOR
Pinjaman Komersial
EXC
Nilai Tukar
INT
Suku Bunga Kredit dan Pinjaman
DEV
Cadangan Devisa
JCI
Indeks Harga Saham Gabungan
TA
Total Aktiva Perusahaan
NFA
Investasi Bersih Perusahaan
SHR
Jumlah Saham beredar
MVS
Nilai Pasar Saham Perusahaan
BVD
Nilai Buku Total Utang
Perusahaan
EKU
Nilai Ekuitas Perusahaan
INVP,
Investasi Sektor Pertanian,
INVI,
Industri Dasar dan Kimia, dan
INVB
Perbankan
JAKAGRI, Indeks Saham Sektor Agribisnis,
JAKMIND, Industri Dasar dan Kimia,
JAKFIN
Perbankan
Penelitian ini melakukan analisis mengenai pengaruh liberalisasi keuangan
terhadap rasio investasi yang digambarkan dengan rasio Q-Tobin melalui mekanisme
penurunan biaya modal, dan selanjutnya pada perubahan determinan makroekonomi.
Sedangkan pengaruh kebijakan moneter terhadap rasio Q-Tobin melalui perubahan
harga ekuitas dan selanjutnya perubahan determinan makroekonomi.
Analisis terkait dengan mikro, meliputi investasi sektoral, serta kinerja keuangan
perusahaan-perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia yang mewakili sektor primer,
sekunder dan tersier.
Beberapa metode analisis yang digunakan pada studi terdahulu adalah model
simultan maupun VAR (Vector Autoregressive). Penelitian ini menggunakan data
62
panel (gabungan data time series dan cross section), dengan model estimasi Fixed
Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM).
Download