konsep pendidikan islam menurut ha mukti ali skripsi

advertisement
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT
H.A. MUKTI ALI
SKRIPSI
Diajukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan(S.Pd)
Oleh
AHMAD ZAMRONI
NIM 111-11-169
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2016
I
II
III
IV
V
MOTTO
 Ilmu itu laksana harta karun di dalam sebuah
peti, jika ingin membuka peti dan membuat
sebuah ilmu itu bermanfaat, tak lain tak bukan
adalah dengan kunci, dan kunci tersebuat adalah
amal
 Manusia itu bukanlah seperti hewan yang hanya
mengikuti kehidupan, pasrah pada nasib dan
tidak mau mengubah takdir. Tapi kita adalah
manusia, yang diberi akal. Dan kita adalah
manusia, sebagai Khalifah fil Ardhi.
VI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Ayahanda (Supeno), ibunda (Kumakadah), adik ku (Sari dan Yumna) dan
semua keluarga
2. Almamaterku IAIN Salatiga
3. Ketua Takmir dan segenap pengurus takmir masjid al-Muhajirin perum
Domas Salatiga
4. Kawan-kawan Apel Ijo IAIN Salatiga
5. Sahabat-sahabati PMII Komisariat Salatiga
6. Rekan-rekan kerja beserta pemilik usaha di Wisma Agra
7. Semua kawan dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan namanya satu
persatu
8. Kekasih tercinta One Emi Nasitoh
VII
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan dan pertolongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa sholawat serta salam penulis haturkan kepangkuan baginda
Rasulallah Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya kelak di yaumul
qiyamah.
Tanpa bantuan dari berbagai pihak, tentunya skripsi ini tidak akan bisa
selesai, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga.
2. Suwardi, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3. Siti Ruhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Dra.Sri Suparwi, M.A selaku dosen pembimbing akademik.
5. Mohammad Ali Zamroni M,A. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan dukungan
kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar sampai
selesai
6. Bapak dan Ibu, serta adik-adikku yang memberikan perhatian, kasih
sayang, dukungan, semangat dan do’a serta pengorbanan siang dan
malam tanpa mengenal lelah
7. Semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
VIII
IX
ABSTRAK
Zamroni, Ahmad. 2016. Konsep Pendidikan Islam Menurut H.A. Mukti Ali.
Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan
Agama Islam.Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:
Mohammad Ali Zamroni M,A
Kata Kunci
: Konsep Pendidikan Islam, Relevansi.
Arus globalisasi sungguh memberikan dampak ke semua aspek kehidupan,
salah satunya adalah dalam aspek pendidikan. Negara dapat dikatakan maju
apabila memiliki sistem pendidikan yang baik. Pendidikan di Indonesia sempat
ramai dengan perubahan kurikulum 2013, yang mana menimbulkan banyak
perdebatan kepada para tokoh pendidikan yang dinilai bagus, namun lingkup
pendidikan di Indonesia belum siap untuk menerapkan dengan berbagai alasan.
Kembali ke masa lalu yaitu pada masa Orde Baru, menyimak kembali seorang
tokoh Pluralis Indonesia yang juga manjabat sebagai Menteri Agama, yaitu Mukti
Ali. Beliau adalah salah satu pemikir pendidikan Islam yang juga menjadi Dosen
Kehormatan Perbandingan Agama di IAIN Yoryakarta pada masa itu. Tentu
beliau memiliki sudut pandang pendidikan yang berbeda dengan tokoh lainnya.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mencari tahu bagaimana peran
Mukti Ali dalam dunia Pendidikan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan
penting dalam pembahasan skripsi ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan
menurut Mukti Ali. (2) Bagaimana relevansinya terhadap pendidikan di Indonesia.
(3) bagaimana implikasi konsep pendidikan Mukti Ali terhadap pendidikan Islam
Indonesia.
Hasil dari penelitian ini menurut penulis adalah tentang konsep pendidikan
Islam menurut Mukti Ali yang terbagi menjadi tiga poin penting, yaitu (1)
Menurut al-Qur’an dan hadis yang telah mengedepankan kedisiplinan dalam
beribadah. (2) Menurut UUD Republik Indonesia, dimana sistem pendidikan dan
proses pendidikan harus berjalan secara sistematis dan terarah (3) Menurut
kearifan lokal yang tertuju pada kehidupan remaja Mukti Ali di pondok pesantren.
Dalam penelitian tersebut, juga membahas mengenai sumbangsih dan kebijakan
Mukti Ali, salah satunya adalah SKB Tiga Menteri yang membahas secara detail
mengenai kesetaraan lulusan Sekolah Umum dengan Madrasah. Dimana Ijazah
Madrasah dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi umum maupun ke
sekolah Umum tanpa mengikuti ujian kesetaraan terlebih dahulu. Dengan syarat
jumlah atau porsi pembelajaran di madrasah adalah 70% pelajaran umum dan
30% pelajaran agama Islam. Dan ini masih relevan sampai saat ini.
X
DAFTAR ISI
Sampul
.........................................................................................................I
Lembar Berlogo
............................................................................................II
Persetujuan Pembimbing
...............................................................................III
Lembar Pengesahan ...........................................................................................IV
Surat Pernyataan Keaslian
................................................................................V
Motto ..................................................................................................................VI
Halaman Persembahan
Kata pengantar
............................................................................VII
.......................................................................................VIII
Abstrak
.......................................................................................................X
Daftar Isi
.....................................................................................................XI
Daftar Lampiran
BAB I :
......................................................................................XIII
Pendahuluan ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................9
C. Tujuan Penelitian ....................................................................9
D. Kegunaan Penelitian
.......................................................10
E. Penegasan Istilah ...................................................................10
F. Metode Penelitian ...................................................................11
G. Sistematika Penulisan
BAB II :
Biografi Mukti Ali
.......................................................13
...................................................................16
A. Silsilah Keluarga Mukti Ali
XI
...........................................16
B. Riwayat Pendidikan Mukti Ali
...........................................18
C. Karier Politik Mukti Ali .......................................................25
D. Karya Ilmiah Mukti Ali .......................................................29
BAB III :
Pemikiran Mukti Ali ...................................................................31
A. Konsep Pendidikan Mukti Ali
...........................................31
B. Metodologi Studi Islam Mukti Ali
...............................44
C. Kebijakan Mukti Ali dalam Dunia Pendidikan Islam
BAB IV :
Pembahasan
.......48
...............................................................................54
A. Relevansi Konsep Pendidikan Islam Mukti Ali terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia
...........................................54
B. Relevansi Metodologi Studi Islam Mukti Ali..........................58
C. Relevansi Kebijakan Mukti Ali
...........................................60
D. Signifikansi Konsep Pendidikan Islam Mukti Ali
.......65
E. Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali Terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia
BAB V :
Daftar Pustaka
Penutup
…………………………...67
...............................................................................72
A. Kesimpulan
...................................................................72
B. Saran-saran
...................................................................73
...................................................................74
XII
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Pembimbing
Lampiran 2
Lembar Konsultasi
Lampiran 3
Nilai SKK
Lampiran 4
Daftar Riwayat Hidup
XIII
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi menimbulkan dampak menyeluruh ke dalam
aspek kehidupan, termasuk dalam ranah pendidikan, dimana semua
negara berkompetisi untuk menghasilkan generasi muda yang unggul
dan berprestasi. Pendidikan juga menjadi sebuah potensi utama dari
suatu negara, karena dapat dipastikan jika sebuah negara memiliki
manajemen pendidikan yang bagus, maka negara tersebut pasti
termasuk dalam kategori negara maju.
Menurut Oemar Malik (2011: 3), pendidikan mengajarkan
manusia untuk memiliki moral, sebagai pengontrol kehidupanya,
terutama ketika mereka hidup bermasyarakat. Karena Pendidikan
adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya
mampu menyesuaikandiri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan
dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang
memungkinkannya untuk berfungsi secara memadai dalam kehidupan
masyarakat.
Sedangkan menurut George F. Kneller (1967: 63), pendidikan
memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan
sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan
jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Sedangkan dalam arti
1
sempit, pendidikan adalah suatu proses untuk mentransformasikan
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan dari generasi ke generasi,
yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan
tinggi atau lembaga-lembaga lain.
Siti Meichati (1975: 5) berpendapat “Banyak memang yang
berlainan
pendapat
tentang
pendidikan.
Walaupun
demikian,
pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti. Salah
satu diantaranya mengatakan bahwa pendidikan adalah hasil
peradaban suatu bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan
hidup bangsa yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya, yaitu
suatu cita-cita atau tujuan yang menjadi motif cara suatu bangsa
berfikir dan berkelakuan, yang dilangsungkan turun temurun dari
generasi ke generasi”.
Para era globalisasi ini pula terdapat dua dampak yang akan
secara otomatis kita terima, seolah menjadi satu paket kemajuan
zaman. Dalam sisi positif kita dapat dengan mudah berhubungan
dengan teknologi yang menjanjikan kita sebuah informasi instan dan
mudah kita cari di internet. Namun dalam sisi negatif dapat
menimbulkan sikap ketergantungan terhadap sesuatu yang belum pasti
faktanya. Seolah terdoktrin oleh faham-faham sesat yang belum jelas
referensinya.
Dari semua realita megenai pendidikan, sesungguhnya negara
memiliki andil yang besar dalam mengatur sistem pendidikannya. Di
2
dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
memberikan pengertian mengenai pendidikan, yaitu sebuah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya,
sehingga
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Setiap bangsa tentu akan menyatakan tujuan pendidikannya
sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang sedang diperjuangkan untuk
kemajuan bangsanya. Walaupun masing-masing bangsa memiliki
tujuan hidup berbeda, namun secara garis besar, ada beberapa
kesamaan dalam berbagai aspeknya. Pendidikan bagi setiap individu
merupakan pengaruh dinamis dalam perkembangan jasmani, jiwa,
rasa sosial, susila, dan sebagainya.
Dalam buku Wiji Sumarno (2006: 22), dirumuskan bahwa
pendidikan bisa diartikan sebagai berikut: (1)Pendidikan mengandung
pembinaan kepribadian, pengembangan kemampuan, atau potensi
yang perlu dikembangkan, peningkatan pengetahuan dari tidak tahu
menjadi tahu, serta tujuan ke arah mana peserta didik dapat
mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin. (2)Dalam pendidikan,
terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik. Di dalam
hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan perasaan yang berbeda.
3
Tetapi, keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling memengaruhi
guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan,
nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan
yang diinginkan). (3)Pendidikan adalah proses sepanjang hayat
sebagai perwujudan pembentukan diri secara utuh. Maksudnya,
pengembangan segenap potensi dalam rangka penentuan semua
komitmen manusia sebagai individu, sekaligus sebagai makhluk sosial
dan makhluk Tuhan. (4)Aktivitas pendidikan berlangsung di dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat. (5)Pendidikan merupakan suatu
proses pengalaman yang sedang dialami yang memberikan pengertian,
pandangan
(insight),
dan
penyesuaian
bagi
seseorang
yang
menyebabkannya berkembang.
Pendidikan merupakan sebuah produk penyuplai SDM yang
baik dan bermoral, sebab dengan pendidikan, manusia diajarkan
menjadi manusia yang sempurna, dan dalam istilah agama Islam,
manusia dapat disebut sebagai Insan Kamil.Ketika kita membahas
mengenai pendidikan di Indonesia, sungguh akan berkaitan erat
dengan pendidikan Islam di Indonesia, sebab mayoritas warga
Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Menurut (Achmadi, 1992: 20)
Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada
padanya, menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
sesuai dengan norma Islam.
4
Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup
yang luas. Disebutkan dalam beberapa poin diantaranya adalah
(1).Setiap proses perubahan menuju ke arah kemajuan dan
perkembangan berdasarkan pada ruh ajaran Islam. (2).Perpaduan
antara pendidikan jasmani, akal (intelektual), mental, perasaan (emosi),
dan rohani (spiritual). (3).Keseimbangan antara jasmani-rohani,
keimanan-ketakwaan, pikir-dzikir, ilmiah-amaliah, material-spiritual,
individual-sosial, dan dunia-akherat. (4).Realisasi dwi fungsi manusia,
yaitu
peribadatan
menghambakan
diri
sebagai
Hamba
semata-mata
Allah
kepada
(Abdullah)
Allah
dan
untuk
fungsi
kekhalifahan sebagai khalifah Allah (khalifatullah) yang diberi tugas
untuk menguasai, memelihara, memanfaatkan, melestarikan, dan
memakmurkan alam semesta (rahmatallil’alamin) (M.Rokib, 2009:
22).
Namun jika kita melihat realita pendidikan Islam saat ini,
sungguh jauh dari kejayaan pada masa lampau. Dimana pendidikan
Islam sempat menjadi puncak peradaban pada masa khalifah Harun
Ar-Rasyid. Mampu menjadikan Baghdad sebagai kota pendidikan
dunia yang terdapat sebuah perpustakaan yang menjadi referensi
pengetahuan dunia pada masa itu.
Sejarah masa lalu yang silau akan kejayaan pendidikan Islam
sebenarnya bukan menjadi beban bagi para tokoh pendidikan Islam
saat ini. Akan tetapi harus dijadikan acuan dan pembelajaran untuk
5
melangkah ke depan dan terus membenahi pendidikan Islam ke arah
yang lebih baik. Dengan mempelajari metode-metode pendidikan pada
masa lampau, sesungguhnya dapat menjadikan sebuah wacana dan
referensi para pemikir pendidikan Islam.
Musthofa Rahman dalam bukunya (2001: 2), memahami
pendidikan Islam, tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata
“pendidikan”. Karena selain sebagai predikat, Islam juga merupakan
subtansi dan subjek penting yang cukup komplek. Karenanya, untuk
memahami pendidikan Islam berarti kita harus melihat aspek utama
missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi
Pedagogis. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah, sesungguhnya
merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu membimbing dan
mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia sempurna. Islam
sebagai agama universal telah memberikan pedoman hidup bagi
manusia menuju kehidupan bahagia yang pencapaiannya bergantung
pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci penting untuk
membuka jalan kehidupan manusia.
Menelusuri salah seorang tokoh pendidikan Islam di era orde
baru, yang memiliki banyak peranan penting di dunia pendidikan
Indonesia,
terutama
masalah
pluralisme,
modernisasi
politik
keagamaan, faham islam timur tengah dan lain sebagainya. Yang
intinya beliau adalah pemikir pendidikan islam dengan gagasan yang
filosofis pula. Beliau adalah Mukti Ali.
6
Dalam
perombakan
memprakarsai
sebuah
dalam
pemikirannya,
dunia
pendidikan
Mukti
pendidikan
Pesantren,
Ali
Islam,
Madrasah
memberikan
yaitu
dengan
Ibtidaiyyah,
Tsanawiyyah dan Aliyyah serta sekolah agama lainnya untuk
bernaung dalam lembaga Departemen Agama. Meskipun sudah masuk
dalam lembaga Departemen Agama pada masa itu, akan tetapi
terkadang terjadi sebuah perbedaan pendapat, dimana Departemen
Agama seolah berdiri sendiri dan bersaing dengan Departemen
Pendidikan Nasional. Seolah ada Dualisme Pendidikan di dalam satu
negara pada saat itu.
Mukti Ali juga merupakan tokoh penting dalam dunia
pendidikan Islam di Indonesia, beliau juga penggagas pluralisme di
Indonesia. Pluralisme sebenarnya bukan berarti kita mempercayai
kepercayaan agama lain, akan tetapi kita menghargai penganut dan
mencaricara bagaimana untuk bisa hidup bersama di dalam satu
negara Indonesia.
Beliau
juga
termasuk
salah satu
tokoh yang
sangat
mengunggulkan model pendidikan di pesantren. Karena menurutnya
sistem weton dan sorogan merupakan sebuah pembelajaran yang
efektif. Di pesantren juga sangat diwajibkan kepada semua santri
untuk memiliki sikap tawadhu’ kepada kyai dan para ustadz. Karena
dalam sebuah pembelajaran, menghormati seorang guru menjadi
sebuah kewajiban.
7
Dewasa ini lahirlah sebuah kurikulum baru yang diharapkan
dapat merubah wajah pendidikan indonesia, yang sebelumnya terlalu
fokus pada materi dan teori belaka, lalu dengan disusunnya kurikulum
baru ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi yang utuh
antara sikap, keterampilan dan pengetahuan. Kurikulum ini adalah
kurikulum 2013.
Sempat menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan
Indonesia, dimana terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini
menuntut para pengajar untuk lebih kreatif dalam menyampaikan
materi, para guru juga harus bisa menjadi teladan atau contoh bagi
para muridnya, karena kurikulum 2013 ini juga mendapat sebutan
sebagai kurikulum pengembangan karakter.
Sempat dipraktikkan oleh sebagian sekolah-sekolah, namun
implikasi kurikulum ini tidak hanya membutuhkan tenaga pengajar
yang memahami kurikulum ini saja, akan tetapi juga membutuhkan
banyak sarana dan fasilitas penunjang pembelajaran yang harus
disediakan pihak sekolah, supaya mudah dalam penyampaiannya. Dan
tahun 2015 kemarin kurikulum ini ditarik kembli oleh Menteri
Pendidikan karena di nilai banyak sekolah belum mumpuni untuk
menerapkannya.
Namun di tahun ajaran 2015/2016 kurikulum ini mulai
diresmikan kembali dan secara perlahan mulai diimplikasikan pada
pembelajaran di sekolah-sekolah. Karena dinilai kurikulum ini sangat
8
berpotensi untuk mengembangkan peserta didik menjadi generasi
yang tak hanya pintar masalah pengetahuan, namun juga santun dalam
perilaku, seolah menggambarkan karakter Bangsa Indonesia.
Berangkat
dari problematika tersebut
di atas, penulis
termotivasi untuk mengangkat Skripsi dengan tema “KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT H.A. MUKTI ALI".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep pendidikan Islam menurut H.A. Mukti Ali?
2. Bagaimanakah metodologi studi Islam H.A. Mukti Ali?
3. Bagaimanakah relevansi konsep pendidikan menurut H.A. Mukti
Ali?
4. Bagaimanakah implikasi konsep pendidikan Islam menurut H.A
Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsep pendidikan Islam menurut H.A. Mukti Ali
2. Mengetahui metodologi studi Islam H.A. Mukti Ali
3. Mengetahui relevansinya terhadap pendidikan di Indonesia saat
ini
4. Mengetahui implikasi konsep pendidikan Islam menurut H.A.
Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia
9
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu
1. Manfaat Teoritisyang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
menambah wawasan kita mengenai pendidikan Islam dari
pemikiran Mukti Ali
2. Manfaat Praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
dapat mendorong para pembaca untuk dapat merelevansikan
pemikiran pendidikan Islam Mukti Ali dalam kehidupan seharihari.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalah pahaman dan kekaburan dalam
penafsiran judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan
istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini agar dapat dipahami secara
konkrit dan lebih operasional. Adapun batasan istilah tersebut adalah :
1. Konsep
Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstrasikan
dari peristiwa konkrit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998:
205)
2. Pendidikan Islam
Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu
Paedagogie. Paedagogie asal katanya adalah pais yang artinya “anak”,
10
dan again yang terjemahannya “membimbing”. Dengan demikian
Paedagogie berarti “bimbingan yang diberikan anak” (Sudirman, 1989:
4).
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan
yang akan datang (Tirtaraharjo, 2008: 263).
Islam adalah ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW guna dijadikan
pedoman hidup dan juga sebagai hukum Allah SWT yang dapat
membimbing umat manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan
dunia
akhirat
(http://duniaislam.org/08/08/2016/pengertian-islam
diakses pada 16 Februari 2016 pukul 13:08).
Pendidikan Islam ialah “Segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam” (Achmadi, 1992: 20).
F. Metode Penelitian
Ada tiga model metode penelitian yang akan penulis gunakan
dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:
1.
Pendekatan Penelitian
Skripsi ini menggunakan pendekatan metode Library
Research, yaitu penelitian yang dilakukan diperpustakaan yang
11
objek
penelitiannya
dicari
melalui
beragam
informasi
kepustakaan (buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, koran/artikel
majalah, dokumen) dan lain sebagainya.
2. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan pada penelitian ini
adalah studi kepustakaan yakni pengumpulan data-data dengan
cara mempelajari, mengutip teori-teori dan konsep-konsep dari
sejumlah literatur, baik buku, artikel ataupun karya tulis lainnya
yang relevan dengan topik penelitian. Dengan data primernya
adalah buku yang berjudul Lima tokoh IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang ditulis oleh Muhammad Damami dan buku yang
berjudul “Beberapa persoalan Agama Dewasa Ini” karya Mukti
Aliserta data sekundernya adalah buku-buku yang relevan dengan
bahan penelitian, misalnya Ilmu Pendidikan, Modernisasi politik
keagamaan masa orde baru, ilmu perbandingan agama di
Indonesia dan masih banyak buku lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam
menganalisi
data
yang
telah
dikumpulkan
menggunakan beberapa metode, antara lain:
a. Metode Deduktif. Digunakan untuk menganalisis pada bab II
tentang landasan teori, yaitu analisis suatu permasalahan yang
berasal dari generalisasi yang bersifat umum kemudian ditarik
pada fakta yang bersifat khusus atau yang kongkrit terjadi.
12
Pada bab II penulis membahas tentang konsep pendidikan
Islam yang secara umum kemudian penulis khususkan lagi
pada nilai-nilai pendidikan Islam menurut Mukti Ali
b. Metode Induktif. Berpikir induktif berangkat dari fakta-fakta
yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari
fakta-fakta/peristiwa khusus itu ditarik ke faktayang bersifat
umum (Sutrisno,2002:42). Metode induktif digunakan untuk
menganalisis pada bab III tentang permasalahan yang akan
diteliti yaitu analisis masalah yang bersifat khusus, kemudian
diarahkan pada penarikan kesimpulan yang bersifat umum.
Pada bab III penulis membahas tentang konseppendidikan
Islam menurut Mukti Ali kemudian penulis menyimpulkan
bahwa konsep pendidikan tersebut dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi
skripsi ini secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini ke
dalam beberapa bab, yaitu:
BAB I
: Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
13
D. Kegunaan Penelitian
E. Penegasan Istilah
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II
: Biografi H.A. Mukti Ali
A. Silsilah Keluarga H.A. Mukti Ali
B. Riwayat Pendidikan H.A. Mukti Ali
C. Karier Politik H.A. Mukti Ali
D. Karya-karya H.A. Mukti Ali
BAB III
: Deskripsi Pemikiran H.A. Mukti Ali Dalam Bidang
Pendidikan
A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
C. Kebijakan H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan
Islam
BAB IV
: Relevansi Pemikiran H.A. Mukti Ali Terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia
A. Relevansi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
B. Relevansi Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
C. Relevansi Kebijakan H.A. Mukti Ali dalam Bidang
Pendidikan Islam
D. Signifikansi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
14
E. Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
BAB V
: Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
15
BAB II
BIOGRAFI H.A. MUKTI ALI
A. SILSILAH KELUARGA H.A. MUKTI ALI
Di ujung timur dataran tinggi kapur utara yang tandus, ada
sebuah kota kecil yang bernama Cepu. Kota yang ditengahnya
membentang sungai Bengawan Solo ini menjadi pembatas bagian
tengah dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama masa
pemerintahan colonial, setidaknya hingga awal abad ke-20, Cepu
pernah terkenal karena lading minyaknya yang banyak dan produktif.
Meskipun dewasa ini pemerintah masih mengelola beberapa sumur
minyak
yang
masih
bisa
ditemukan
di
sana-sini,
tingkat
produktifitasnya sangat rendah. Tak heran, banyak lading minyak
yang terlantar dan akhirnya dikelola penduduk setempat secara kecilkecilan. Membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan darat kea rah
barat dari Surabaya, atau sekitar 30 menit kea rah timur dari kota
Blora, Cepu menandai suatu titik wilayah areal hutan jati yang luas,
kering, disekellingi sawah-sawah tanpa pengairan (Muhanif, 1998:
271)
Abdul Mukti Ali lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada 23
Agustus 1923. Meninggal di Yogyakarta, 5 Mei 2004 pada umur 80
tahun. Adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada
Kabinet Pembangunan Jilid II. Ia juga terkenal sebagai ulama’ ahli
perbandingan Agama yang meletakkan kerangka krukunan antar umat
16
beragama di Indonesia sesuai dengan sikap Bhineka Tunggal Ika atau
istilah yang sering dipakai “setuju dalam perbedaan”. Ia juga terkenal
sebagai cendekiawan muslim yang menonjol sebagai pembaharu
pemikiran
Islam(https:id.m.wikipedia.org/wiki/Mukti_Ali?.html
diakses pada 23 Maret 2016)
Dengan nama kecil Boedjono, iaadalah anak kelima dari tujuh
saudara. Ayahnya Idris atau Haji Abu Ali, nama yang digunakan
setelah menunaikan haji, adalah seorang pedagang tembakau yang
cukup sukses. Ia dikenal sebagai orang tua santri yang saleh dan
dermawan, khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan
di kota Cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri,
merupakan tradisi yang turun temurun telah diwarisi keluarga Mukti
Ali (Munhanif, 1998: 272)
Patut dicatat pula di sini, bahwa orang tua H. Abu Ali (kakek
Prof.Dr. H.A. Mukti Ali, M.A.) adalah Lurah (Kepala Desa untuk
zaman sekarang). Memang banyak keluarga H. Abu Ali yang menjadi
Lurah. Oleh sebab itu, tidak ada yang bercita-cita ingin menjadi
pegawai negeri. Yang didambakan, kalau dapat, adalah menjadi Lurah.
Sebab, rupa-rupanya, Lurah dianggap sebagai salah satu kedudukan
yang tinggi pada waktu itu dari segi status social, disamping, tentu
jaminan hidup cukup terjaga. Cita-cita umum waktu itu adalah
minimal menjadi pedagang yang sukses. Itu sudah dianggap cukup.
17
Sementara itu, keluarga H. Abu Ali semuanya asli Cepu (Damami,
1998: 221-222)
Melihat sejenak kehidupan beliau, Mukti Ali adalah tokoh
yang
mengalami
masa
kehidupan
pra-kemerdekaan
Republik
Indonesia, sampai masa Reformasi. Sungguh cendekiawan Islam yang
hidup pada zaman yang lengkap. Sempat menjadi Menteri Agama,
memberikan
pengalaman
yang
mumpuni
untuk
melakukan
pembeharuan pendidikan Islam, terutama pola piker mengenai agama.
Yang memang tugas dari Menteri Agama bukan hanya mengayomi
agama Islam saja, akan tetapi, peran Mukti Ali dalam keagamaan
sangatlah vital, dimana beliau sangat setuju dengan pluralisme dan
menjunjung
tinggi
toleransi
antar
umat
beragama.
Sungguh
pemahaman yang dewasa jika kita melihat sudut pandang bangsa
Indonesia yang beraneka ragam.
B. RIWAYAT PENDIDIKAN H.A. MUKTI ALI
Meskipun tingkat
pendidikan Abu Ali sangat rendah,
diperolehnya hanya dari mengaji kitab di Pesantren di Cepu, ia adalah
orang tua yang keras menyuruh anaknya untuk sekolah. Abu Ali
mendatangkan ngaji untuk anak-anaknya ke rumah mengajarkan alQur’an dan ibadah. Disinilah, Boedjono memperlihatkan sikap yang
sungguh-sungguh untuk belajar. Pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono
didaftarkan pada sekolah milik Belanda yang belakangan pada 1941
18
menjadi HIS. Pada usia yang sama, ia juga terdaftar sebagai siswa
Madrasah Diniyyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung
siang hari. Di kedua sekolah ini, Boedjono dikenal sebagai seorang
siswa yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya waktu
itu, selain ia memperlihatkan nilai mata pelajaran yang gemilang,
Boedjono juga dipandang sebagai anak dari sebuah keluarga kaya
yang bersikap biasa saja.
Delapan tahun kemudian, Boedjono menamatkan sekolah HIS
dan mendapatkan sertifikast pegawai pemerintah Belanda (Klein
Ambtenar) di Cepu. Pada pertengahan 1940, Boedjono laludikirim
ayahnya belajar di pondok pesantren Termas, Kediri, sekitar 170 km
dari rumahnya. Tidak jelas mengapa Abu Ali lebih mengutamakan
memasukkan anaknya ke pondok dari pada meneruskannya ke sekolah
Belanda (Munhanif, 1998: 273)
Pondok pesantren Termas didirikan oleh seorang ulama’
bernama K.H. Abdul Manan (1830-1862). Pondok ini terletak jauh di
pelosok desa, yang ketika itu sukar sekali dicapai dengan kendaraan
bendi sekalipun. Umumnya untuk sampai ke pondok pesantren itu
harus berjalan kaki beberapa lama. Sejak tahun 1930-an, bahkan
sebelumnya, pondok pesantren tersebut sudah sangat popular,
sebanding dengan popularitas pondok pesantren Lasem di bawah
pimpinan K.H. Ma’sum (ayah K.H. Ali Ma’sum) dan K.H. Cholil,
pondok pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari
19
dan pondok pesantren Pademangan Bangkalan, Madura, dibawah
pimpinan K.H. Moh. Cholil. Pondok pesantren Termas terkenal
dengan ilmu alatnya. Di sini kitab-kitab ahlul bait pondok pesantren
ini adalah karena keberhasilan salah seorang putra K.H. Abdul Manan,
bernama Muhammad Mahfudh. Menjadi putra Indonesia yang
mengajar di Masjidil Haram, Mekkah, dengan sebutan Syaikh
Mahmudh al-Turmusi. Syaikh ini juga telah berhasil menampilkan diri
sebagai pengarang berbagai kitab yang menjadi acuan dibebrapa
Negara Arab dan pesantren-pesantren di Nusantara. Dengan begitu
popularitas pondok pesantren Termas semakin meluas. Di pondok
pesantren seperti inilah, Boedjono mulai belajar mengaji (Damami,
1998: 226-227)
Dari pondok pesantren Termas inilah, tahap lain dari
perjalanan hidup Boedjono muda bermula. Ia diterima belajar di
tingkat menengah di pondok pesantren ini, yang metode belajarnya
menggunakan
system
madrasah,
yaitu
sistem
sekolah
yang
menggunakan kelas yang menyerupai sistem pendidikan Belanda. Saat
itu, tidak banyak pesantren di Jawa yang menggunakan sistem belajar
seperti itu. Kendatipun demikian, Boedjono tidak hanya belajar di
sekolah pesantren, tetapi diwajibkan mengikuti kegiatan ngaji kitab,
dengan sistem sorogan (bacaan) atau bandongan (diskusi). Materinya
terdiri dari Fiqih, hadis, tasawuf dan akhlak. Di masa-masa kemudian,
Boedjono merenungkan bahwa, lewat pendidikan di pondok inilah ia
20
kemudian hari bisa mengapresiasi khazanah intelektual Islam klasik
dn akhirnya membentuk luasnya pandangan keagamaan. Tetapi,
pesantren Termas bukan satu-satunya tempat pendidikan agamanya.
Beberapa pesantren lain turut membentuk wawasan kegamaannya
adalah Tebuireng, Rembang (yang secara khusus mengajarkan kitabkitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), Pesantren Lasem dan
Padnangan, Jawa Timur. Boedjono melewatkan belajarnya di
pesantren-pesantren itu biasanya dalam bentuk mondok beberapa
bulan, yang diadakan pada bulan Ramadhan dan Syawal (Muhannif,
1998: 274)
Selama nyantri di pondok Termas itu ada beberapa peristiwa
yang dirasakannya tidak dapat terhapus selama hidupnya. Peristiwa
yang dimaksud antara lain soal penggantian namanya. Suatu saat,
salah seorang kyai di Termas, yaitu Kyai Abdul Hamid Pasuruan,
yang nama kecilnya sebelum menjadi kyai adalah Abdul Mukti,
berbincang-bincang dengan Boedjono, dan waktu itu Kyai tersebut
menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan Abdul Mukti.
Perintah penggantian nama itu oleh Boedjono dirasakan sebagai suatu
kehormatan, sekaligus tantangan dan tanggungjawab moral untuk
menjaga “nama” tersebut. Sejak itulah, dia mengubah namanya
menjadi Abdul Mukti Ali, nama “Abdul Mukti” diambilnya untuk
memenuhi perintah gurunya dan nama “Ali” diambil dari potongan
nama ayahnya, H.Abu Ali (Damami, 1998: 228-229).
21
Peristiwa yang kedua berkaitan dengan keputusannya untuk
mengubur keinginannya aktif di perkumpulan tarekat. Tampaknya
keluarga Mukti Ali yang mempunyai tradisi keagamaan yang dekatdekat dengan tasawuf (ayahnya dan kakak tertuanya adalah pengikut
jama’ah tarekat Qoddariyah di Cepu) berpengaruh padanya untuk ikut
aktif di pengajian tarekat Naqsabandiyyah, yang dipimpin K.H.
Hamid Dimyati, di pondok Termas. Setelah sekian lama mengamalkan
ajaran tarekat itu, Kyai Dimyati tiba-tiba menasehatkan agar Mukti
Ali meninggalkan amalan kegiatan tarekat (Muhannif, 1998: 275)
Sesungguhnya ada hal lain yang mengesankan Abdul Mukti
Ali adalah hubungannya dengan K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan
K.H. Hamid Dimyati. Ketika itu Abdul Mukti Ali ingin sekali menjadi
hafidh (penghafal) al-Qur’an. Sudah biasa dia menamatkan al-Qur’an
yang tiga puluh juz itu hanya dalam jangka waktu 6 sampai 7 jam.
Tetapi K.H. Abdul Hamid melarangnya. Kyai itu menasehatkan agar
Abdul Mukti Ali menjadikan al-Qur’an sebagai wiridannya, bukan
harus dihafalkannya. Maksud wiridan di sini adalah keharusan
membacanya secara rutin, terus menerus dan ajeg, walaupun sedikit,
Nabi memang pernah bersabda: “Para sahabat bertanya kepada Nabi:
“Amal apa yang disukai Allah? Nabi menjawab: Amal yang ajeg
walaupun kadarnya sedikit”. Nasehat K.H. Hamid Pasuruan, yang
banyak orang menganggapnya setengah wali, ini tetap dipegang teguh
sampai sekarang. Abdul Mukti Ali tetap disiplin membaca al-Qur’an
22
setelah salat Maghrib. Seluruh anggota keluarganya (Isteri, anak dan
menantu) setiap lepas salat maghrib diajarinya membaca al-Qur’an
dengan betul, dijelaskan arti dan tafsirannya kalau dirasakan perlu dan
sebagainya, rutin tiap hari. Kebiasaan membaca al-Qur’an setelah
salat maghrib ini dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh anggota
keluarganya. Membaca al-Qur’an ini sampai sekarang tetap dijadikan
wiridannya, termasuk menjadi wiridan istri, anak dan menantunya,
bahkan insya Allah sampai anak cucunya (Damami, 1998: 230)
Setelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai
pesantren, Mukti Ali pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja
berdiri. Ia memutuskan Fakulas Agama sebagai pilihannya. Dan di
STI inilah yang kelak dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia
(UII)
Yogyakarta
(http:www.academia.edu:Mengubah_dan
Membentuk_IAIN:Profil_Mukti_Ali diakses pada 7 Februari 2016
pukul 08:41)
Pada masa kuliah inilah beliau bertemu dan akhirnya tertarik
pada K. H. Mas Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah dan dosen
yang paling dikaguminya di STI. Mukti Ali kagum dengan cara
mengajar Kiyai Mas Mansur yang lebih banyak memberikan
pemahaman dan penafsiran baru mengenai wawasan keagamaan.
Keasyikannya belajar di STI terhenti akibat kedatangan Belanda ke
Yogyakarta yang dalam perkembangan selanjutnya berujung pada
23
terjadinya pertempuran antara pada tahun 1949. Jiwa patriotismenya
terpanggil untuk ikut terjun dalam medan pertempuran sebagai
anggota pasukan tentara Angkatan Perang Sabil (APS) di bawah
pimpinan K. H. Abdurrahman dari Kedungbanteng
Setelah kedaulatan negara Republik Indonesia kembali diakui,
Mukti Ali menerimana tawaran orang tuanya untuk naik haji dengan
syarat beliau diizinkan untuk tinggal belajar di Mekkah dan
Madinah.Tiba di Mekkah tahun 1950, namun karena kondisi
masyarakat Mekkah pada saat itu dari segi pendidikan tidak lebih baik
dari umumnya masyarakat Indonesia. Beliau memutuskan untuk hijrah
ke negara lain. Atas saran H. Imron Rosyadi, SH. Konsul Haji
Indonesia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang bisa
diharapkan dari belajar di Mekkah karena situasi politik yang
ditimbulkan oleh kerasnya gerakan Wahabi di Arab. Mukti Ali lantas
mempertimbangkan untuk ke Mesir.
Tetapi akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi,
Pakistan.Mukti Ali dengan kemampuan yang baik dalam bahasa Arab,
Belanda, dan Inggris menyebabkan beliau diterima pada program
sarjana muda di Fakultas Sastra Arab,Universitas Karachi. Ia
mengambil program sejarah Islam sebagai spesialisasinya. Setelah
menamatkan program tingkat sarjana muda, beliau melanjutkannya
pada program Ph.D. di Universitas yang sama.Beberapa saat setelah
itu, beliau diminta oleh Anwar Harjono; mantan sekjen Masyumi
24
untuk meneruskan studinya ke McGill Universitas Montreal, Kanada
tahun 1955.
Di Universitas McGill, beliau mengambil spesialisasi ilmu
perbandingan agama. Pemahaman beliau tentang Islam berubah secara
fundamental. Perkenalannya dengan metode studi agama-agama dan
professor- professor studi Islam, khususnya Wilfred Cantwell Smith
adalah awal dari semua itu.
Beberapa tahun setelah kembalinya ke Indonesia, beliau
bergumul
dalam
wilayah
pendidikan
dengan
merintis
dan
memperkenalkan disipilin ilmu perbandingan agama hingga berhasil
menjadikannya sebagai jurusan baru dikalangan mahasiswa IAIN;
Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960. Dan pada tahun 1971 beliau
ditunjuk menjadi Menteri Agama menggantikan K. H. Muhammad
Dachlan;
tokoh
NU,
yang
belum
habis
masa
jabatannya.
(http://dorokabuju.blogspot.co.id/2016/08/mukti-ali-ijtihad-danpembaharuannya.html diakses pada 7 Februari 2016 pukul 08:47)
C. KARIER POLITIK H.A. MUKTI ALI
Karier politiknya justru tidak diawali dari kegiatan berpolitik,
tetapi dalam dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of
Islamic Studies, McGill University, Monreal, Kanada pada tahun 1957,
Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama
(ADIA) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
25
(PTAIN), di Yogyakarta, yang keduanya kemudian menjadi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN). Ini semua berkat pertemuannya dengan
K.H. Faqih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai
Menteri
Agama,
lalu
ditugasi
memimpin
Biro
Administrasi
Departemen (Munhanif, 1998: 284-285)
Sejak awal mengajar di IAIN, Mukti Ali sendiri memilih
mengajarkan Ilmu Perbandingan Agama. Bagi masyarakat muslim di
Indonesia hingga tahun 1950an, mempelajari ilmu ini adalah suatu
fenomena baru, bahkan dilingkungan masyarakat yang mempunyai
latar belakang pendidikan yang tinggi sekalipun. Sehingga tugas
utama bukan sekedar mengajarkan suatu disiplin, tetapi sekaligus
memperkenalkannya.
Pada awal 1963, ia mulai menetap di Yogyakarta, karena
minatnya pada dunia akademik ini pula, dia berjumpa, berkenalan dan
merelakan rumahnya dijadikan tempat berkumpul bagi sekelompok
anak muda dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ingin
membawa angin segar dalam pemikiran keagamaan Islam.
Anak-anak muda itu menobatkan Mukti Ali sebagai “Bapak
Pelindung” bagi gerakan mereka yang kelak pada awal tahun 1971
muncul sebagai Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam. Setiap jum’at
malam, anak muda itu berkumpul, berdiskusi dan berdialog masalah
keagamaan. Beberapa orang yang terlibat dalam gerakan pembaharuan
ini adalah Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Wajiz
26
Anwar dan Syu’bah Asa. Merka mengundang Nurcholis Majid,
Utomo Dananjaya atau WS. Rendra, tak jarang pula orang-orang nonMuslim untuk berdiskusi di rumah Mukti Ali (Ahmad Wahid, 1983:
37)
Pergumulan di dunia akademik juga menempatkan Mukti Ali
pada posisi lain di lingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki
kursi Menteri Agama, Ia adalah dosen di Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Kalijaga. Di lembaga pendidikan agama tinggi itu ia pernah
memangku jabatan Pembantu Rektor III bidang urusan public tahun
1964, dari situ ia dipercaya menjabat sebagai Menteri pada Oktober
1971 (Muhanif, 1998: 286)
Ketika Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama, terdapat
beberapa masalah dalam lingkup kenegaraan, diantara permasalahan
tersebut adalah
1. Pembangunan atau konsep pemangunan
Selama ini, apa yang disebut pembangunan itu sering
dipahami dengan pembangunan ekonomi saja. Kalau hal itu yang
terjadi, maka hal itu akan mengulangi kesalahan pembangunan di
Barat yang akhirnya berdampak negatif terhadap kehidupan orang
Barat sendiri. Misalnya saja, banyak orang Barat yang merasa
teralienasi oleh kemajuan yang mereka capai secara ekonomis yang
di dukung oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
2. Kerukunan hidup beragama
27
Sebenarnya usaha untuk menuju kerukunan ini sudah dirintis
pada zaman K.H.M. Dachlan saat menjadi Menteri Agama. Waktu
itu
dipertemukan
para
tokoh
agama
untuk
membicarakan
kemungkinan menciptakan kerukunan hidup beragama di Indonesia.
Kalangan tokoh Islam merasa keberatan terhadap kemungkinan
penyebaran agama di tengah orang yang telah Islam, sedangkan dari
kalangan Protestan dan Katholik merasa bahwa menyebarkan agama
itu merupakan panggilan agamanya, karena agamanya memang
mengajarkan demikian. Akhirnya pendapat merek tidak bisa bertemu.
Singkatnya, macetlah usaha itu.
Apa yang telah di rintis Menteri Agama sebelumnya ini telah
dilanjutkan oleh Mukti Ali, namun dengan warna pertemuan yang
berbeda, kalau dahulu yang di undang adalah tokoh-tokoh agama,
sekarang yang dianjurkan berdialog adalah para ahli agama
(akademisi di perguruan tinggi, semacam IAIN, Seminari, Sekolah
Tinggi Teologi dan semacamnya).
3. Masalah Intern umat Islam, yaitu Pendidikan Islam
Selama ini dirasakan ada saluran macet yang menyebabkan
lulusan sekolah-sekolah agama Islam tidak dapat tersalurkan ke
perguruan tinggi bukan agama. Misalnya lulusan Pendidika Guru
Agama Atas (PGAA) tidak dapat melanjutkan ke Fakultas Sosial
Politik atau Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Karena
apa? Karena memang aturannya tidak begitu jelas, tambahan pula
28
kekayaan ilmu pengetahuan umum para siswa relatif tidak
mencukupi untuk ikut ujian saringan masuk fakultas-fakultas umum
tersebut (Damami, 1998: 269-262)
D. KARYA ILMIAH H.A. MUKTI ALI
Disamping menjadi Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama di
IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Mukti Ali memiliki banyak
pengalaman bidang-bidang keagamaan di dalam maupun luar negeri.
Mukti Ali dikenal sebagai cendekiawan Muslim terkemuka dengan
karya tulis yang cukup banyak, sekitar 32 buku. Diantaranya yang
paling popular adalah:
1. Pengantar Ilmu Perbandingan Agama (1959 dan 1987)
2. Pemikiran Keagamaan di dunia Islam (1990)
3. Masalah-masalah Keagamaan Dewasa ini (1977)
4. Mengenal Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993)
5. Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979)
6. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Anggota Dewan Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur’an)
7. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Anggota Dewan Penerjemah dan
Penafsir Al-Qur’an)
8. Ilmu Perbandingan Agama. Suatu Pembahasan tentang Merthodos
dan Sistematika.
29
Selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam
bentuk karangan, diantaranya adalah:
1. Muhammad Iqbal, tentang jatuhnya manusia dari surge dalam
persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder
2. “Kebudayaan dalam Pendidikan Nasional” dalam Muhajir, Evolusi
strategi kebudayaan
3. “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks
Teologi di Indonesia
4. “Ilmu Perbandingan Agama dan Kerukunan Hidup Antar Umat
beragama” dalam Samuel Pardede 70th DR. TB. Simatupang, saya
adalah orang yang beruntung (http://rgstudies.blogspot co
id/2016/08/mukti-ali.html diakses pada 7 Februari 2016 pukul
09:14)
30
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN H.A. MUKTI ALI
A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
Peran seorang tokoh dalam kancah pengembangan dan perkembangan
ilmu pengetahuan sangat berarti, ini menandakan bahwa keilmuan secara
dinamis berkembang melalui hasil “ijtihad” para tokoh. Mereka meluangkan
waktu untuk berfikir dan mengartikulasikan gagasan-gagasannya untuk
kemudian
disosialisasikan.
Niatan
utama
mereka
adalah
proses
kesinambungan pola pikir dan membentengi matinya pengetahuan.
Dan salah seorang tokoh yang telah terbukti melalui tindakannya
untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia adalah Mukti Ali.
Dengan
memangku
jabatan
Mementrian
Agama,
tentunya
beliau
mendapatkan posisi yang strategis untuk mengolah pola pikirnya menjadi
sebuah ide yang kemudian diaplikasikan melalui kebijakan-kebijakannya
untuk perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Dan
berikut adalah penjelasan mengenai konsep pendidikan Islam:
1. Menurut Al-Qur’an Dan Hadis
Tugas manusia yang pertama adalah menjadi hamba Allah yang
taat, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Adz-Dzariyat 56,
yang artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mengabdi (ibadah) kepada-Ku.“ Manusia diperintah untuk
beribadah hanya kepada Allah, karena tidak ada tuhan selain Dia.
31
Dalam rangka menjalani tugasnya tersebut, Allah telah membekali
dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam firman-Nya “Dan Dia
mengajarkan
kepada
Adam
nama-nama
(benda-benda)
seluruhnya…”(Q.S. Al-Baqarah: 31). Inilah cikal bakal ilmu pengetahuan
yang diajarkan kepada manusia pertama dari Sang Pemilik Ilmu. Selain
kepada nabi Adam AS., Allah SWT juga memberikan hikmah (kenabian,
kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan) kepada para nabi dan
rasulnya. Kepada sebagian rasul pula, Allah menurunkan kitab suci
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Firman Allah:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqoroh:151).
Dalam beberapa ayat-Nya pula, Allah telah memberikan tempat
yang istimewa kepada muslim yang memiliki ilmu.
Segala sesutu sesungguhnya memiliki dasar dan teori yang kuat,
begitupun dengan perincian dasar pendidikan Islam dalam al-Qur’an
tersebut, selain sebagai sumber hukum yang pertama, al-Qur’an juga
menjadi pedoman hidup bagi semua manusia. Dan dalam arti manusia,
32
tidak terbatas pada kaum muslim-muslimin saja, akan tetapi dari kaum
non-muslim pun dapat mengambil sedikit pesan dalam al-Qur’an yang
kemudian di praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mukti Ali dalam buku karangan Damami (1998 231) menjelaskan
bahwa “pendidikan agama yang terpenting bagi keluarga terutama anakanak adalah mendisiplinkan mereka mendirikan sholat dan dapat
membaca al-Qur’an dengan fasih dan memahaminya. Konsep pendidikan
menurut Mukti Ali adalah bagaimana seorang pelajar dapat bersikap
disiplin terhadap ibadah dan kewajibannya dalam menuntut ilmu. Itu
semua dilakukan bukan atas dasar untuk mendapatkan pujian ataupun
nilai yang baik, akan tetapi murni dari dalam hati lillahi ta’ala.
Selain al-Qur’an, pendidikan Islam juga berdasarkan pada hadis,
berikut adalah hadis mengenai pendidikan Islam:
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang
33
musyrik.” Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana
pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab:
“Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.”(H.R. Abu
Dawud)
Setiap anak dilahirkan atas fitrohnya yaitu suci tanpa dosa, dan
apabila anak tersebut menjadi yahudi atau nasrani, dapat dipastikan itu
adalah dari orang tuanya. Orang tua harus mengenalkan anaknya tentang
sesuatu hal yang baik yang harus dikerjakan dan mana yang buruk yang
harus ditinggalkan. Sehingga anak itu bisa tumbuh berkembang dalam
pedndidikan yang baik dan benar.
Rasulullah Bersabda:
“Hamid bin Abdirrahman berkata, aku mendengar Muawwiyah
berkata, aku mendengar Rasulullah saw Bersabda:” Barangsiapa yang
dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik, maka Allah akan
memberikan kepadanya pengetahuan dalam Agama, sesungguhnya aku
adalah orang yang membagi sementara Allah adalah sang pemberi,
umat ini tidak akan pernah berhenti menegakkan perintah Allah, dan
tidak akan medhoroti mereka, orang-orang yang menentangnya sampai
datang hari kiamat.” (HR.Bukhori).
Hadis di atas menerangkan kepada kita bahwa kehendak Allah
untuk menjadikan kita baik,itu digantungkan dengan kepahaman kita
menyangkut agama. Ilmu agama adalah ilmu yang berkaitan dengan
akhlak, maka dengan semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap
34
masalah agama maka akan semakin baik pula akhlak dan perilakunya
yang puncaknya bisa mengantarkannya menjadi orang yang takut kepada
Allah semata. Kalau dewasa ini kita sering melihat seseorang yang dalam
pengetahuan agamanya namun dia justeru makin tenggelam dalam
kesesatan, itu dikarenakan ia salah dalam mengaplikasikan ilmunya. Dia
hanya pandai beretorika namun hampa dari pengamalan. Imam Ali
Karramallahu Wajhah pernah berkata,” Bahwa yang dikatakan orang
Alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, namun yang dinamakan
orang alim adalah orang yang bias mengamalkan ilmunya.” Rasulullah
memberikan peringatan kepada kita dengan sabdanya “ barangsiapa
makin tambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia
semakin bertambah jauh dari Allah swt.” Bahkan Allah dengan tegas
mengatakan bahwa yang disebut ulama hanyalah orang yang takut
kepadaNya semata, ”Innama Yakhsyallaha min ibaadihil ulama”.
2. Menurut UUD 45
Indonesia adalah negara demokrasi, dimana terdapat banyak
keaneragaman suku, bahasa, agama, adat dan sebagainya. Mukti Ali
berangkat sebagai Menteri Agama tentu tidak hanya fokus pada
perkembangan pendidikan Islam saja, akan tetapi seluruh agama juga
bernaung dalam tanggungjawab Menteri Agama.
UUD 45 menjadi dasar negara Indonesia, yang didalamnya
tercantum
kalimat
“Mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
ikut
mentertibkan kehidupan dunia”. Ini menjadi dasar bahwa UUD 45 sangat
35
mengutamakan pendidikan sebagai pembentuk generasi masa depan yang
produktif dan dapat bersaing didunia dan dapat terlibat dalam upaya untuk
mentertibkan kehidupan di dunia ini.
Dalam undang-undang No.20 Tahun 2003 menjelaskan tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab I mengenai ketentuan umum,
menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara (Undang-undang Pemerintah Republik Indonesia, 2003)
Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut
diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional dalam
sisdiknas adalah: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
36
Dari
pengertian
pendidikan,
pendidikan
nasional,
sistem
pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat kental nuansa
nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak
bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya,
dalam bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan
bahwa ‘pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula
dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya
diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta
peningkatan ahlak mulia.
Dari rumusan di atas menunjukkan bahwa agama menduduki
posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional
berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal
dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan
diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan
dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
37
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia
Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan
menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah
agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang
berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilainilai ahlakul karimah.
Mukti Ali yang terkenal sebagai salah seorang tokoh pluralis
Indonesia juga sependapat dengan Pasal 4 ayat 1 dinyatakan;
”Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Jadi pendidikan
yang diselenggarakan di Indonesia ini diselenggarakan secara demokratis
tanpa melihat perbedaan yang ada di masyarakat baik perbedaan agama,
maupun perbedaan sosial budaya. Dilihat dari segi penyelenggaraannya,
pendidikan di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua jalur), yaitu jalur
pendidikan sekolah dan jalur pendidikan di luar sekolah. Jalur pendidikan
sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui
kegiatan
belajar
berkesinambungan.
mengajar
yang
Sedangkan
tidak
jalur
harus
pendidikan
berjenjang
diluar
dan
sekolah
merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui
kegiatan
belajar
mengajaryang
tidak
harus
berjenjang
dan
berkesinambungan. Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan
luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan
38
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan (Undangundang Republik Indonesia, 2003).
Pasal 12 ayat 1 di sebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama”. Pasal 12 ayat 1 di atas ternyata menegaskan bahwa
penyelenggaraan
pendidikan
agama
di
Indonesia
mendapatkan
kedudukan yang tinggi. Kalau kita mencermati pasal di atas semua
peserta didik berhak mendapatkan pelajaran atau materi pendididkan
agama dalam hal ini tak terkecuali agama Islam. Bahkan kalaupun
mayoritas peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut
minoritas tetap saja harus mendapatkan pendidikan agama yang di ajar
oleh guru yang seagama. Akan tetapi pasal ini masih belum sepenuhnya
di setujui oleh semua pihak
Contoh lembaga pendidikan yang mayoritas beragama Kristen
tentu keberatan bila harus menyediakan guru agama Islam, walaupun
dalam lembaga pendidikan tersebut ada siswa yang beragama Islam.
Karena misi didirikannya pendidikan itu biasanya untuk kepentingan
agamanya. Begitu pula sebaliknya kalau di lembaga pendidikan Islam
harus menyediakan pendidikan agama Kristen kerena di lembaga tersebut
ada siswa yang beragama Kristen, tentu pihak LPI juga keberatan bila
harus menyediakan guru agama Kristen. Tetapi untuk menjaga
39
kerukunan dan kesatuan bangsa, tidak ada pilihan lain masyarakat
sebaiknya mentaati ketentuan itu.
Pasal 17 ayat 2, dan pasal 18 ayat 3 “Pendidikan dasar berbentuk
sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat”. “Pendidikan
menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), Madrasah Aliyah
(MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”.
Dari pasal di atas dapat di ambil pemahaman bahwa pendidikan
agama Islam di samping di ajarkan di SD ada tempat/lembaga pendidikan
khusus yang banyak mengajarkan tentang agama Islam yaitu MI. Begitu
pula tidak hanya di SMP/SMA tetapi pendidikan agama Islam lebih
khusus lagi ada pada MTs, dan MA. Ternyata lembaga pendidikan Islam
merupakan bagian dari jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dari sistem
pendidikan nasional.
Pasal 30 ayat (1) pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memehami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi
ahli
ilmu
agama.
(3)
Pendidikan
keagamaan
dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan informal.
40
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan
mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Mengacu pada pasal di atas, pendidikan keagamaan/pendidikan
agama Islam dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal seperti
di sekolah atau madrasah. Jalur non formal seperti di masjid, surau atau
tempat lain yang bisa digunakan untuk menyampaikan pendidikan Islam.
Jalur informal seperti anak-anak yang mengaji dirumah dengan orang
tuanya.
Istilah Pendidikan keagamaan itu sesungguhnya telah muncul
dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang dimaksud adalah meliputi madrasah, sekolah umum
dengan label atau ciri khas agama. Tetapi kini ada hal yang sangat
berbeda, karena istilah ini digunakan menyangkut pendidikan yang
memiliki tujuan menonjol yang mempersiapkan peserta didik menjadi
ahli ilmu agama. Bentuk diniyah dan pesantren yang dibedakan menjadi
dua hal yang tidak sama itu kadang kurang selaras, karena dalam
pesantren itu sekaligus ada diniyah. Walaupun memang kadang ada
diniyah yang didirikan diluar pesantren (Undang-ungang Republik
Indonesia, 1989).
41
Diniyah biasanya didirikan oleh masyarakat sehingga memiliki
banyak nama yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain. Dalam perjenjangan juga banyak perbedaan ada diniyah
awaliyah/ula/ibtidai. Ada diniyah tsanawiyah/wustha/mutawasithah. Ada
diniyah ulya/’ali/taujihi. Kementerian Agama telah memberikan namanama madrasah diniyah tersebut yaitu madrasah diniyah awaliyah
(MDA), madrasah diniyah wustha (MDW) dan madrasah diniyah ’ulya
(MDU). Masalahnya apakah masyarakat bersedia diseragamkan, karena
masyarakat sendiri yang mempunyai inisiatif untuk mendirikannya tanpa
campur tangan Kementerian Agama, atau kadang memang masyarakat
tidak mau dicampuri oleh unsur lain atau karena mungkin masyarakat
tidak tahu ketentuan tersebut disebabkan oleh tidak adanya sosialoisasi.
Sesungguhnya untuk memudahkan pemberdayaan, memberikan bantuan,
administrasi dan lain-lain yang seharusnya memiliki nama yang sama.
Dengan pendidikan keagamaan tersebut sebenarnya bertujuan
agar nilai-nilai agama dapat di amalkan oleh peserta didik sehingga
tujuan pendidikan yang di selenggarakan di Indonesia dapat terlaksana
yaitu dapat mengangkat harkat dan martabat negara Indonesia menjadi
negara yang bermartabat. Adapun hal-hal yang secara teknis belum diatur
dalam pasal tersebut tentunya akan diatur dengan peraturan pemerintah.
3. Menurut Kearifan Lokal (lingkup pesantren)
Konsep pendidikan Islam Mukti Ali menurut kearifan lokal bisa
diartikan sebagai pendidikan di pesantren. Karena pada usia remaja
42
Mukti Ali berada dalam kehidupan pesantren. Memang di pesantren pada
umumnya hanya diajarkan pengetahuan agama, namun Mukti Ali juga
memperdalam pengetahuan umum.
Menteri Agama setelah Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul
“Pembinaan pendidikan agama” (R.I, tt: 41) menyatakan bahwa dalam
sejarahnya mengenai pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional
sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan R.I, pesantren
senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh
karena itulah senantiasa setelah kemerdekaan pesantren masih mendapat
tempat di hati masyarakat. Ki Hajar Dewantoro selaku tokoh pendidika
Nasional dan menteri pendidikan menyatakan bahwa pondok pesantren
merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan
jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungankecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama
ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, dan semakin berorientasi pada pendidikan dan
fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga
diverifikasi program dan kegiatan makin terbuka serta ketergantungannya
pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat membekali para santri
dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun
keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi
sebagai pusat pengembangan masyarakat (Rusli, 1991: 134).
43
B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
Metode menurut Koentjaraningrat adalah suatu hal yang terdapat
dalam aspek keilmuan yang dilekatkan pada masalah sistem, dalam makna
metode (Methodos) dapat dipahami sebagai sehubungan upaya ilmiah yang
menyangkut masalah kerja yang digunakan untuk memahami obyek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1994: 7).
Dengan kata lain, metode dapat dipahami sebagai suatu upaya yang
berkaitan dengan cara kerja sistematis yang bersifat ilmiah untuk mencapai
pemahaman. Dalam mempelajari studi agama, Mukti Ali memiliki beberapa
metode, diantaranya:
1. Pendekatan sosio-historis
Pendekatan ini merupakan perpaduan antara aspek sosiologi dan
sejarah yang melekat di dalam penggunaannya. Dalam hal ini, Mukti Ali
melihat aspek sosial pada suatu masyarakat sangat penting untuk
digunakan didalam pendekatan studi agama. Selain itu terdapat pula aspek
historis yang menjadi bagian lain di dalam pendekatan ini. aspek historis
digunakan Mukti Ali untuk melihat suatu fenomena berdasarkan sisi
sejarahnya. Hal
ini ditempuh guna mencapai pemahaman dalam
menganalisa suatu ajaran atau fenomena kepercayaan serta kebudayaan
berdasarkan waktu terjadinya.
Berdasarkan penerapannya di dalam studi Islam, bila menggunakan
pendekatan sosio-historis ini, Mukti Ali mengatakan di dalam bukunya
yang berjudul Metode Memahami Agama Islam tertulis bahwa asbabun
44
nuzul (Al Quran ) adalah sebuah kesatuan yang mutlak bagi sebuah studi
Al-Quran untuk dapat memahaminya secara mendalam. (Mukti Ali, 1991:
25).
Menurut Mukti Ali (1990: 323) Selain dalam studi Islam terdahulu,
telah terdapat asbabun nuzul (Al-quran) dan asbababul wurud (hadits)
yang menurutnya merupakan metode dasar dalam studi Islam. Dalam
asbabun
nuzul
terdapat
aspek
pemahaman
sosio-historis
yang
melatarbelakangi mengapa suatu ayat tersebut turun. Dalam ilmu tafsir
asbabun nuzul merupakan metode untuk memahami bagaimana riwayat
suatu ayat Al-Quran turun.
2. Pendekatan Tipologi
Kemudian selain daripada pendekatan yang terdapat diatas, Mukti
Ali juga menggunakan pendekatan tipologi. Dalam memahami studi
agama, Mukti Ali menawarkan pendektan tipologi ini yang tentunya dapat
diterapkan dalam studi Islam yang didalamnya berisikan lima aspek dalam
mengidentifikasinya, yaitu:
a. Aspek Ketuhanan
Dalam memahami studi agama, terutama Islam tentunya kita harus
terlebih dahulu memahami konsepsi ketuhanannya. Bagaimana sifat
ketuhanan dalam Islam kemudian kita bandingkan dengan agama
lainnya.
b. Aspek Kitab Suci
45
Yang kedua dalam memahami studi Islam tentunya dibutuhkan
pemahaman mengenai Al-Quran sebagai sumber pedoman dan hukum
bagi agama Islam.
c. Aspek Kenabian
Dalam studi Islam dibutuhkan pula pemahaman mengenai sifat
Muhammad sebagai Nabi dan menjadi utusan di dalam Agama Islam.
Dalam hal ini Mukti Ali mementingkan aspek kenabian ini dalam studi
Islam yang dimaksudkan bahwa aspek kenabian ini penting untuk
dikaji,
namun
bukan
berarti
bahwa
agama
islam
adalah
mohammedanisme sebagaimana orang – orang menyamakannya
dengan Yesus Kristus, Budhisme yang dibawa Gautama Budha dan
Confucianisme yang berasal dari pemikiran Confucius (Mukti Ali,
1991: 49).
d. Aspek Kondisi Kejayaan Nabi
Pada aspek ini dimaknai sebagaimana untuk membandingkan kondisi
kejayaan atau turunnya seorang Nabi di suatu agama kemudian
dipahami pada agama lain pula.
e. Aspek Orang-orang Terkemuka
Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memahami studi agama, kita perlu
melakukan riset terhadap orang orang terkemuka ini yang terdapat
didalam agama tertentu. Misalnya di dalam Islam, kita tentunya akan
mempelajari bagaimana kepemimpinan pasca Rasulullah wafat yang
46
menghasilkan khulafaur Rasyidin sebagai kajian aspek orang-orang
terkemuka tersebut (Mukti Ali, 1991: 37-44).
3. Pendekatan Scientificcum Doctrine
Secara harfiah pendekatan ini terdiri dari dua aspek penting, yaitu
scientific dan doctrine. Scientific memiliki makna bersifat ilmiah dan
doctrine dipahami sebagai suatu ajaran atau doktrin. Dengan kata lain,
dalam pendekatan ini, Mukti Ali ingin menerapkan metode ilmiah yang
disatukan dengan doktrin atau ajaran – ajaran yang terkandung dalam
suatu agama, khususnya dalam studi Islam. Dalam hal ini, Mukti Ali ingin
mencoba menerapkan agar metode ilmiah dapat dijadikan alat untuk
meneliti suatu agama.
Contoh implikasi dalam pemikiran Mukti Ali ini terlihat dari cara
beliau mencoba mengembangkan pendidikan madrasah serta Institut
Agama Islam agar sejajar dengan institusi pendidikan yang umum dengan
catatan bahwa keduanya mampu menerapkan metode ilmiah.
Pendekatan ini dinilai revolusioner karena Mukti Ali berusaha
merubah perspektif yang telah lama terbangun didalam ajaran ulamaulama terdahulu yang hanya memahami ajaran Islam hanya dari segi
dogma dan doktrin saja. Maka dari itu beliau berusaha menggabungkan
doktrin tersebut dengan metode ilmiah agar sebuah studi dikatakan mampu
memenuhi kriteria sebuah pengetahuan ilmiah.
47
C. Kebijakan H.A. Mukti Ali Dalam Bidang Pendidikan Islam
Berikut adalah kebijakan-kebijakan Mukti Ali dalam dunia pendidikan
Islam di Indonesia:
1. Modernisasi Lembaga Pesantren
Sempat menjadi Menteri Agama pada masa Orde Baru, Mukti Ali
melakukan beberapa pengamatan pendidikan dipesantren, yang mana
terdapat 5 komponen pendidikan di dalamnya, yaitu:
a. Pengajaran dan pendidikan agama.
b. Ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat
sekitar.
c. Kepramukaan, dimana pendidikan dan disiplin agama dapat dilakukan
dengan perantaraan kegiatan pramuka. Memang pramuka adalah
organisasi pendidikan, diluar pendidikan sekolah dan diluar pendidikan
keluarga, yang paling baik.
d. Kesehatan dan olahraga. Ini perlu ditingkatkan di pondok pesantren
yang kurang mengambil perhatian terhadap kesehatan dan olahraga ini.
e. Kesenian yang bernafaskan Islam (Mukti Ali, 1987: 21).
Dalam hal modernisasi lembaga pesantren, Mukti Ali tetap menjaga
kemandirian pesantren dengan mempertahankan sistem atau bahkan
kurikulum yang sudah berjalan, keinginannya untuk membawa pesantren
ke pusat perhatian pemerintah Orde Baru sangat besar. Melalui SKB
Menteri Agama dan Menteri Pertanian No. 34 A tahun 1972, mengadakan
program bersama dengan Departemen Pertanian untuk mengadakan
48
pembinaan pondok pesantren dalam bidang pertanian dan perikanan. Kerja
sama itu juga dilakukan dengan departemen-departemen lain, yang intinya
ditujukan dengan untuk memberikan pembinaan-pebinaan menejerial bagi
pengelola lembaga pendidikan Islam (Abuddin, 2012: 352)
2. SKB Tiga Menteri, No. 6 Tahun 1975 dan No.037/U/a975
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri atau dikenal
sebagai SKB Tiga Menteri, No. 6 Tahun 1975 dan No.037/U/a975. Dalam
SKB Tiga Menteri tersebut ditegaskan:
a. Agar ijazah madrasah di semua jenjang dapat mempunyai nilai yang
sama dengan ijazah sekolah umum yang singkat
b. Agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat
dan lebih atas
c. Agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat,
maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70%
pelajaran umum dan 30% pelajaran Agama.
Melalui kebijakan SKB ini, paling kurang ada dua hal pending bagi
masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, dalam jangka
integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Kedua,
dengan memasukkan kurikulum pelajaran umum dalam jumlah jam yang
besar, diharapkan pembenahan madrasah untuk ditransformasikan menjadi
lembaga pendidikan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya
manusia Muslim akan dapat diwujudkan. Dengan cara demikian,
49
pengakuan masyarakat terhadap keberadaan lembaga pendidikan Islam di
masa mendatang semakin kuat (Abuddin, 2012: 352-353)
3. Ide-ide pembaharuan Islam
Sebagai menteri agama, memang Mukti Ali mengeluarkan beberapa
Peraturan Menteri Agama (Permenag) dan Keputusan-keputusan Menteri
(Kemen Agama), namun jarang yang membahas mengenai pendidikan
Islam, mungkin hanya SKB Tiga Menteri yang terlihat sangat fokus
membahas mengenai pendidikan dan kesetaraan pesantren terhadap
pendidikan umum.
Namun, Mukti Ali juga memberikan wawasan kepada kita
mengenai ide-ide pembaharuan Islam, diantaranya adalah
a. Ijtihad
Dalam menghadapi keadaan dunia yang serba berubah dengan cepat,
ada orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan prinsip-prinsip
lama dengan berdalih bahwa al-Qur’an menyatakan seperti itu, begitu
juga dengan sunnah Nabi. Mereka menyatakan bahwa itu adalah cara
untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Ajakan ini kadangkadang menarik karena
diletakkan dalam bingkai “pemurnian”,
“keaslian” dan sebagainya. Tetapi sikap seperti itu adalah “reaksi” yang
tidak didasarkan pada sebuah pemikiran yang dalam dan komprehensif
tentang teks-teks agama dan realitas sosial-kemasyarakatan. Kelompok
seperti ini tidak menyelesaikan masalah.
50
Kelompok pemikiran seperti di atas, tidak menyadari betapa cepat dan
kuatnya
gelombang
serbuan peradaban
modernisasi
yang
tak
terbendung telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan sosial dan
keagamaan masyarakat Indonesia.
Bagi Mukti Ali sendiri, perubahan itu bukanlah sesuatu yang harus
ditakuti ataupun dihindari karena itu adalah sesuatu yang mustahil.
Sebagaimana ungkapan beliau :
Abad kita adalah abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan
yang kritis dan cepat merata keseluruh ujung dan pojok dunia.
Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan aktivitasnya
yang kreatif, yang dengannya itu terjadi transformasi sosial dan kultural
yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama. Transformasi yang
sedemikian itu membawa masalah-masalah yang sulit, disertai krisis
pertumbuhan (Mukti Ali, 1991: 158)
b. Relasi agama dan negara
Sebagai Menteri Agama yang baru, Mukti Ali dihadapkan pada agenda
modernisasi politik Orde Baru yang memcoba memisahkan antara
otoritas politik dan otoritas keagamaan yang terkesan mengarah pada
pembentukan negara sekuler. Hal itu dalam pandangan umat Islam akan
semakin meminimalisir dan menghilangkan peran dan hak dalam
penentuan kebijakan di pemerintahan.
Ketika kerisauan dan kekhawatiran itu muncul dari kalangan umat
Islam, dalam konteks inilah, Mukti Ali memberi perhatian yang besar
51
terhadap upaya untuk mendekatkan
hubungan umat Islam dengan
pemerintahan Orde Baru. Kepada para ulama dan politisi Muslim, ia
menyakinkan
iktikad baik pemerintah Orde Baru untuk membina
kehidupan beragama. Pemerintah, dalam hal ini Departeman Agama,
akan
memberikan
keluasan,
bahkan
membantu,
umat
Islam
mengerjakan semua kewajiban agama.
Usaha itu terlihat jelas, ketika beliau mencanangkan berbagai program
kegiatan keagamaan, seperti disekolah, penjara, rumah sakit, kantorkantor pemerintah, dan sebagainya. Begitu pula kebijakan untuk
mengembangkan seni baca al-Qur’an (MTQ Tingkat Nasional) dan
LPTQ di tingkat propensi, kodya, kabupaten dan kecamatan.
Pembentukan MUI sebagai lembaga aspirasi umat Islam. Penyusunan
UUD Perkawianan 1974, walaupun dalam proses dialog yang cukup
panjang dan menegangkan adalah sederet usaha yang tidak sedikit
(http://dorokabuju.blogspot.co.id/mukti-ali-ijtihad-danpembaharuannya.htmldiunduh-padasenin 15 agustus 2016 pukul 09:36)
c. Dialog antar umat beragama
Latar
belakang
pendidikan
ilmu
Perbandingan
Agama
yang
ditempuhnya selama di Kanada telah begitu mempengaruhi pola dan
paradigma beliau dalam melihat agama. Begitu juga kondisi sosialkeagamaan masyarakat Indonesia yang heterogen, plural; sering
melahirkan perseteruan dan ketegangang. Bahkan pada saat beliau
52
menjabat sebagai Menteri Agama ketegangan antara Islam dan Kristen
memcapai puncaknya.
Melihat kondisi di atas, beliau secara maksimal melakukan upayaupaya yang memungkingkan terjadinya pertemuan dan dialog antara
pemeluk umat beragama.Walaupun beliau juga yakin bahwa kebijakan
dialog
antar-umat
beragama
semacam
itu
belum
tentu
akan
membuahkan hasil perdamaian yang total antara komunitas-agama di
negara seperti Indonesia.Tetapi, ia percaya bahwa pasti ada sekelompok
sosial-keagamaan tertentu yang bisa diharapkan memberi sumbangan
terhadap berjalannya dialog antar-umat beragama. Maka beliau
menghidupkan kembali forum musyawarah umat-beragama yang ada
pada masa K. H. Muhammad Dachlan, yang mandeg karena tidak
adanya kesepakatan.
Disamping melakukan usaha-u=saha dialog melalui forum-forum umatberagama beliau juga memperkenalkan ilmu Perbandingan Agama sesuatu yang belum populer- dikalangan mahasiswa, khususnya
mahasiswa IAIN, yang dewasa ini telah menjadi salah satu mata kuliah
yang
banyak
diminati
oleh
mahasiswa
(http://dorokabuju.blogspot.co.id/mukti-ali-ijtihad-danpembaharuannya.htmldiunduh-pada senin 15 agustus 2016 pukul 09:36).
53
BAB IV
RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM H.A. MUKTI ALI
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali
Mukti Ali adalah seorang cendekiawan muslim di masa Orde baru,
selain sebagai cendekiawan, beliau juga merupakan seorang Menteri
Agama yang menjabat pada tahun 1971. Merupakan posisi yang strategis,
dimana sebagai seorang pemikir pendidikan Islam, beliau juga mempunyai
wewenang untuk membuat sebuah kebijakan ataupun peraturan yang
bersumber dari ide-ide dan pemikiran Mukti Ali.
Dibahas sedikit dalam penegasan istilah mengenai pengertian
konsep yang mengambil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1998: 205).Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstrasikan
dari peristiwa konkrit.
Dalam pemahaman ini, konsep bisa berarti sebagai rancangan, yaitu
rancangan mengenai pendidikan Islam dalam perspektif Mukti Ali yang
terbagi menjadi 3 poin penting, yaitu:
1. Menurut Al-Qur’an dan hadis
Mengutip sebuah kalimat dari Mukti Ali dalam bukun Damami
(1998: 231) “pendidikan agama yang terpenting bagi keluarga terutama
anak dalah mendisiplinkan mereka mendirikan sholat dan dapat
membaca al-Qur’an dengan fasih dan memahaminya”. Menurut hemat
penulis dalam kutipan tersebut adalah sebuah nilai kedisiplinan harus
54
ditanamkan pada keluarga, terutama kepada anak, karena degan
kedisiplinan, dapat mengajarkan kepada anak mengenai manajemen
waktu, terutama dalam beribadah.
Dalam ibadah, terutama sholat, semua HambaNya telah
melakukan komunikasi batin. Walaupun kita tidak bisa mendengar,
melihat ataupun berbicara dengan Allah, akan tetapi dengan memaknai
bacaan-bacaan sholat, kita dapat merasakan kedekatan kita kepadaNya.
Allah itu dekat dengan hamba ketika ia berdoa. Jadi selalu yakinlah
bahwa Allah mendengar doa dan akan mengabulkan doa tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al
Baqarah: 186)
Dari kutipan Mukti Ali yang mengedepankan kedisiplinan
ibadah, sesungguhnya mendorong kita untuk selalu kembali pada
sumber hukum Islam yang paling utama, yaitu al-Qur’an dan hadis.
Karena dalam perintah sholat terdapat asbabul nuzulnya.
55
2. UUD Republik Indonesia
UUD merupakan dasar dari negara Indonesia. Dengan UUD,
segala peraturan dibuat secara musyawaroh melalui sistem demokrasi.
Dengan UUD, demokrasi di negara Republik Indonesia ini berjalan
dengan baik. Dimana terdapat tiga perangkat pemerintah, Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Ketiganya menjadi tiga perangkat penggerak
demokrasi negara di Indonesia.
Inipun berlaku dalam dunia pendidikan, khusunya di sekolah.
Kepala sekolah, guru-guru, dewan pengawas dan pemelihara sekolah.
Di kelaspun demikian, ada ketua kelas yang mengatur keorganisasian
kelas, ada guru yang memberi pelajaran dan ada murid-murid yang
sedang belajar.
Dalam kutipan Undang-undang Republik Indonesia (2003)
dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis
dan
berkeadilan
serta
tidak
diskriminatif
dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa”. Memberikan penjelasan kepada kita bahwa
pendidikan itu:
a. Harus berjalan secara demokrasi
Pembelajaran di dalam kelas yang di pimpin oleh seorang
guru, haruslah berjalan secara demokrasi, disaat seorang
murid bertanya, guru harus memberikan penjelasan, jikalau
tidak bisa maka jawaban bisa di tunda, jangan memberikan
56
jawaban yang malah menyesatkan siswa, seolah terlihat
sebagai guru yang serba bisa, tapi nyatanya tidak demikian.
b. Pendidikan tidak mengenal diskriminasi
Ini menjadi kewajiban dimana pun lembaga pendidikan
berdiri.
Karena
tugas
utama
pendidikan
adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika masih terdapat
deskriminasi, mungkin hanya oknum-oknum tertentu dan
walaupun itu masih terjadi di dunia pendidikan Indonesia,
sungguh sesuatu yang harus di hilangkan. Karena Indonesia
itu satu dasad negara Pancasila yang tidak mengenal
diskriminasi dan penindasan
c. Pendidikan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia
Hak asasi manusia adalah suatu kewajiban yang harus di jaga
dan dipelihara. Dalam dunia pendidikan, hak seorang siswa
untuk mendapatkan pembelajaran harus terpenuhi, hak siswa
untuk mendapatkan fasilitas yang memadai juga harus
terpenuhi, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
sebagai siswa, bahkan hak untuk hidup, artinya sudah tidak
berlaku lagi yang namanya kekerasan guru terhadap murid
ataupun sebaliknya.
3. Menurut Kearifan Lokal
Kearifan lokal menurut Mukti Ali adalah kehidupan di dunia
pendidikan pesantren, karena di masa muda, beliau hidup di lingkungan
57
pesantren. Dalam sebuah kutipan buku Rusli (1991: 134) “...pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam
rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan,
diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, dan
semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka
atas perkembangan di luar dirinya...”
Dari kutipan di atas, sesungguhnya apa yang disebut pendidikan
pesantren sudah berkembang dan berjalan menurut perkembangan
zaman. Jadi tidak ada lagi istilah pesantren kolod atau semacamnya,
karena pendidikan Islam di Indonesia se kelas pesantren pun sudah
memodifikasi sistem pendidikannya. Meskipun masih ada pesantrenpesantren yang masih menggunakan sistem pendidikan lama, namun
intinya, pendidikan Islam di Indonesia selalu melangkah ke depan
menuju ke arah globalisasi.
B. Metodologi Studi Islam H.A. Mukti Ali
Dalam penjelasan bab 3, Mukti Ali menjabarkan metode-metode
mengenai 3 pendekatan studi Islam
1. Pendekatan sosia-historis
Mukti Ali dalam pendekatan ini menggabungkan dua bidang
pendekatan, yaitu sosiologi dan historis. Sosiologi dalam pendidikan
mengajarkan manusia untuk bersikap sosialis di kelas, dapat
58
mengendalikan diri secara individu maupun dalam sebuah kelompok
dan tau bagaimana caranya mengkondisikan kelas. Sedangkan historis
seolah mengajak pendidikan, terutama pendidikan islam untuk
menengok kembali kejayaan pendidikan Islam di Abad pertengahan
silam. Dalam metode ini, Mukti Ali juga menekankan kepada kita
untuk selalu kembali kepada al-ur’an dalam pengambilan dasar-dasar
pendidikan Islam maupun konsepnya.
2. Pendekatan Tipologi
Pendekatan Tipologi menurut sudut pandang Mukti Ali, terdapat
5 aspek isi didalamnya, ada aspek ketuhanan, aspek kitab suci, aspek
kenabian, aspek kondisi kejayaan nabi dan aspek-aspek orang
terkemuka.
Kelima
aspek
tersebut
menggambarkan
pemikiran
pendidikan Mukti Ali yang selalu mengedepankan Tauhid, Aqidah dan
Akhlaq.
Tiga poin inti tersebut, selalu menjadi landasan pendidikan Islam,
dimana pendidikan Islam itu harus bernafaskan tauhid, harus beraqidah
yang benar dan harus berakhlakul karimah. Ketiga landasan ini menjadi
lambang dan semboyan bagi pada madrasah-madrasah yang ada di
Indonesia. Artinya mereka memegang teguh apa yang menjadi ajaran
utama dalam pendidikan Islam.
3. Pendekatan Saintifik dan Doktrin
Pendekatan ini merupakan kombinasi yang sangat efektif.
Saintifik bisa diartikan sebagai kajian ilmiah, dan doktrin adalah sebuah
59
ajaran. Jadi kombinasi dari kedua metode ini menghasilkan sebuah
penelitian yang ilmiah untuk mempelajari agama. Meskipun tidak
semua aspek agama bisa di teliti, namun setidaknya kita akan
mengetahui bukti-bukti kekuasaan Allah atas penciptaanNya melalui
metode tersebut.
C. Relevansi Kebijakan H.A. Mukti Ali dalam Dunia Pendidikan Islam
Selama menjadi Menteri Agama, terdapat tiga kebijakan yang
menurut penulis sangat relevan dalam dunia pendidikan Islam Indonesia,
diantaranya adalah:
1. Modernisasi Lembaga Pesantren
Menurut Mukti Ali terdapat 5 komponen pendidikan di
pesantren, yaitu:
a. Pengajaran dan pendidikan agama.
b. Ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat
sekitar.
c. Kepramukaan, dimana pendidikan dan disiplin agama dapat
dilakukan dengan perantaraan kegiatan pramuka. Memang pramuka
adalah organisasi pendidikan, diluar pendidikan sekolah dan diluar
pendidikan keluarga, yang paling baik.
d. Kesehatan dan olahraga. Ini perlu ditingkatkan di pondok pesantren
yang kurang mengambil perhatian terhadap kesehatan dan olahraga
ini.
60
e. Kesenian yang bernafaskan Islam (Mukti Ali, 1987: 21).
Kelima komponen tersebut mencerminkan begitu Mukti Ali
sangat Pro dengan pendidikan Islam, terutama di pesantren. Sebagai
Menteri Agama yang posisinya strategis, Mukti Ali benar-benar
memnfaatkan momen tersebut. Dalam komponen-komponen tersebut
terdapat kepramukaan, kesenian, olahraga, kesehatan yang sebelumnya
jarang di ajarkan di pesantren-pesantren maupun lembaga agama Islam.
2. SKB Tiga Menteri, No. 6 Tahun 1975 dan No.037/U/a975
Surat Keputusan Bersama (SKB) ini dibuat oleh Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri yang
isinya:
a. Agar ijazah madrasah di semua jenjang dapat mempunyai nilai yang
sama dengan ijazah sekolah umum yang singkat
b. Agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat
dan lebih atas
c. Agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat,
maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70%
pelajaran umum dan 30% pelajaran Agama (Abuddin, 2012: 352)
Kalau penulis perhatikan, madrasah menjadi salah satu proyek
pembangunan Mukti Ali, dimana dengan kesetaraan status, tentunya
61
membuat gembira Departemen Agama, khusunya para pengelola madrasah
maupun siswa madrasah.
Ini semua tentu dengan konsekuensi yang berimbang, karena
Menteri Agama bekerja sama dengan dua menteri lainnya maka 70%
pelajaran di madrasah harus umum dan 30% sisanya baru pelajaran agama.
Sebenarnya tidak mengurangi kualitas dari madrasah itu sendiri, takutnya
kalau lama-lama pendidikan agama semakin berkurang, maka akan repot
sendiri Departemen Agama di masa mendatang.
Namun, dewasa ini setelah Kebijakan ini berlangsung hingga saat
ini, efektivitas madrasah dalam persaingan dengan sekolah-sekolah umum
tidak diragukan lagi. Sudah banyak alumni madrasah yang dapat
melanjutkan ke sekolah umum, ke perguruan tinggi umum. Bahkan dari
madrasah sudah ada yang bisa menjadi menteri, DPR, dan lain sebagainya.
Madrasah tidak bisa lagi di pandang sebelah mata, karena madrasah
pencetak generasi muslim-musilmah berakhlakul karimah yang intelektual.
3. Ide-ide Pembaharuan Islam
Penulis memasukkan materi ini karena pada hakikatnya Islam bisa
berkembang menurut zamannya, jadi pembaharuan Islam akan selalu
muncul dan ini sudah menjadi keniscayaan.
Mukti Ali memberikan wawasan mengenai pembaharuan Islam,
yaitu:
a. Ijtihad
62
Abad kita adalah abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan
yang kritis dan cepat merata keseluruh ujung dan pojok dunia.
Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan aktivitasnya
yang kreatif, yang dengannya itu terjadi transformasi sosial dan kultural
yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama. Transformasi yang
sedemikian itu membawa masalah-masalah yang sulit, disertai krisis
pertumbuhan (Mukti Ali, 1991: 158)
Kutipan tersebut memberikan penjelasan bahwa benturan-benturan
kritis kita terhubung ke seluruh dunia. Maksudnya apa yang kita
kerjakan seolah dengan cepat dunia mengetahui. Seperti saat penerapan
kurikulum 2013 di Indonesia, banyak yang berkomentar mengenai itu,
sehingga sempat di tarik namun kemudian diterapkan lagi.
Tapi bagusnya pemerintahan kita, kondisi seperti ini dijadikan sebagai
penilaian terhadap
masyarakat
mengenai
apa
yang
dilakukan
pemerintah apakah sudah relevan atau tidak, rakyat bisa mengerti.
Apalagi mengenai pendidikan, banyak masyarakat Indonesia yang
peduli terhadap ini
b. Relasi Agama dan Negara
Agama dan negara sungguh tidak akan bisa di pisahkan, tapi negara
bukan agama dan sebaliknya. Indonesia adalah negara Pancasila, yang
di dalamnya terdapat kebebasan memilih agama menurut keyakinan
masing-masing, dan agama resmi di negeri ini ada 6, yaitu Islam,
Kristen, atholik, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu.
63
Dalam hal ini Departemen Agama membantu umat Islam untuk
mencanangkan
berbagai
program
kegiatan
keagamaan,
seperti
disekolah, penjara, rumah sakit, kantor-kantor pemerintah, dan
sebagainya. Begitu pula kebijakan untuk mengembangkan seni baca alQur’an (MTQ Tingkat Nasional) dan LPTQ di tingkat propensi, kodya,
kabupaten dan kecamatan. Pembentukan MUI sebagai lembaga aspirasi
umat Islam. Penyusunan UUD Perkawianan 1974, walaupun dalam
proses dialog yang cukup panjang dan menegangkan adalah sederet
usaha yang tidak sedikit (http://dorokabuju.blogspot.co.id/mukti-aliijtihad-dan-pembaharuannya.htmldiunduh-pada senin 10 September
2016 pukul 11:30)
Departemen Agama benar-benar berperan besar terhadap umat Islam,
salah satunya dalam bidang pendidikan, disebutkan di atas bahwa
terdapat MTQ dan LPTQ, ini menjadikan para pelajar Islam untuk
meningkatkan kemampuannya dalam beberapa bidang agama. Dan
dalam ajang tersebut dapat mempertemukan para peserta-peserta yang
diharapkan mampu memperindah Islam dengan bakat yang di milikinya
c. Dialog Antar Umat Beragama
Dialog tersebut bukan bertujuan untuk saling mencari kebenaran
maupun saling menjatuhkan. Akan tetapi inti dari dialog ini adalah
bagaimana kita dapat saling menghargai perbedaan masing-masing
untuk kemudian mencari kesamaan yang bersikfat positif untuk
64
kemudian menciptakan hidup dengan konsep kerukuna antar umat
beragama.
Tentunya pesertanya harus dari kalangan akademisi, bukan tokoh
agama, bukan politisi dan lain sebagainya. Mengapa akademisi? Karena
akademisi bisa bersikap objektif, tidak memilah milih, apabila politisi
ataupun tokoh agama tentu sulit, karena akan saling memenangkan
pendapat dari background mereka.
Ini sesungguhnya juga menjadi acuan bagi para pelajar muslim, setelah
memahami syari’at Islam secara mendalam, lebih baik mempelajari
perbandingan agama, karena dengan ilmu ini, umat Islam dapat
berperan serta dalam menciptakan kedamaian di dunia.
D. Signifikansi Konsep Pendidikan Islam Menurut H.A. Mukti Ali
Signifikansi konsep pendidikan Islam menurut Mukti Ali merujuk
ke lembaga pesantren. Berikut adalah pembahasan mengenai keduanya:
1. Dengan merubah kurikulum pembelajaran supaya berorientasi kepada
kebutuhan masyarakat.
2. Kurikulum “ala Madrasah Wajib Belajar”, dipergunakan sebagai
patokan pembaharuan
3. Meningkatkan mutu guru dan sarana prasarana
4. Usaha pembaharuan dilaksanakan secara bertahap (Mukti, 1970: 26)
Penjelasan nomor satu mengkerucutkan kita kepada kurikulum
yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, ini artinya gejala sosial
65
menjadi acuan utama dalam pembentukan kurikulum. Sesungguhnya
pendapat ini memberikan dampak positif kepada kita semua untuk tanggap
dan seolah sudah familiar terhadap gejala sosial yang timbul di masyarakat.
Dengan demikian, penyerapan siswa dalam pembelajaran akan lebih cepat,
dan mengajarkan kepada siswa untuk selalu peduli terhadap kehidupan
bermasyarakat, karena itu dapat membangun moral siswa.
Untuk penjelasan kurikulum “ala Madrasah Wajib Belajar”,
menurut penulis, dalam pendidikan madrasah yang terdapat di lembaga
pesantren ataupun diluar pesantren, mengharuskan kepada semua siswa
untuk belajar. Artinya belajar bukan hanya pelajaran agama, melainkan
pelajaran umum juga. Dalam SKB Tiga Menteri sudah dijelaskan bahwa
70% pelajaran di madrasah adalah pelajaran umum, dan sisanya pelajaran
agama. Namun apakah dengan demikian nilai-nilai agama di madrasah
akan berkurang? Tentu tidak, sebab 30% pelajaran agama di madrasah
sudah mencakup banyak poin utama dalam pendidikan agama, seperti alQur’an hadis, tauhid, bahasa Arab, Tarikh dan lain sebagainya.
Poin nomor tiga mengenai peningkatan mutu guru dan sarana
prasarana, seolah sependapat dengan kurikulum 2013. Yang mana seorang
pendidik
harus
melek
globalisasi dan teknologi.
Supaya
dapat
menyampaikan pembelajaran dengan maksimal dan dapat dengan mudah
dipahami siswa. Sarana prasarana pun seolah menjadi wajib, sebagai alat
pelengkap pembelajaran siswa dikelas, karena sarana sangan menunjang
maksimalnya sebuah pembelajaran di kelas.
66
Poin yang terakhir adalah pelaksanaan pembaharuan dilaksanakan
secara bertahap, artinya langkah demi langkah dilakukan secara terstruktur
dan terlaksana, walaupun pelan yang penting istikomah, karena kemajuan
itu berawal dari perkembangan-perkembangan yang sedikit namun terjadi
terus-menerus.
Dari pemaparan mengenai beberapa signifikansi di lembaga
pesantren, Mukti Ali memberikan gambaran kepada kita bahwa
pendidikan harus selalu berkembang. Meskipun pesantren masih tergolong
lembaga yang tradisional, namun sistem pendidikannya haruslah modern,
supaya pendidikan di pesantren selalu update mengikuti zaman dan dapat
menjawab
permasalahan-permasalahan
yang
timbul
di
kehidupan
masyarakat.
E. Implikasi Konsep Pendidikan Islam H.A. Mukti Ali Terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia
Implikasi konsep pendidikan Islam menurut Mukti Ali terhadap
pendidikan Islam di Indonesia, penulis jabarkan dalam 3 pokok,
diantaranya adalah:
1. Pendidikan Peantren
Pondok pesantren, merupakan lembaga pendidikan Islam non
formal yang mengajarkan pembelajaran agama Islam. Meskipun corak
pondok pesantren itu bermacam-macam, namun satu hal yang sama
adalah bahwa di pondok pesantren itu ditekankan pendidikan dan
67
pengajaran agama Islam. Dengan itu, maka jelas pondok pesantren yang
lebih menekankan kepada proses pendidikan dan pengajaran agama
Islam dan inilah ciri khas dari pondok pesantren, dan memang untuk
itulah pesantren didirikan.
Implikasi modernisasi pesantren menurut Mukti Ali, dalam
perjalanan sejarah pada permulaan abad XX sistem pengajaran di pondok
pesantren itu mengalami perubahan menjadi madrasah, yaitu sistem
pengajaran yang memakai jenjang, ada ujian, ada absensi, ada rapot dan
sebagainya. Sudah barang tentu dilihat dari pada sistem wetonan dan
sorogan. Karena pengajaran dengan sistem madrasah itu berjenjang dan
kecakapan santri dapat di ukur dan diketahui. Saya kira sistem
pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren,
sedangkan sistem pengajaran yang mengikuti sistem madrasah, jelasnya
madrasah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan
pendidikan agama Islam yang paling baik di Indonesia ini (Mukti Ali,
1987: 25)
Mukti Ali memberikan pujian terhadap pendidikan dalam
pesantren melalui bukunya (1987: 25) “....bentuk sistem pengajaran dan
pendidikan agama Islam yang paling baik di Indonesia ini”. Yang di
maksud Mukti Ali adalah sistem pengajaran pendidikan Islam yang
modern, karena bukan hanya kitab kuning, akan tetapi dalam pesantren
di berikan wawasan-wawasan umum juga, berita-berita dalam maupun
68
luar negeri, dan sebagainya. Sehingga terciptalah sebuah aplikasi yang
relevan.
Dimana secara dasar kita mempelajari al-Qur’an, hadis, kitabkitab kuning, tafsir lalu di serap juga ilmu-ilmu umum, maka pandangan
para santri akan terfokus pada 2 hal, yaitu kebaikan dunia dan akhirat.
Dengan demikian, sangat membantu pendidikan Islam di lingkungan
pesantren di Indonesia.
2. Pendidikan Madrasah
Dalam hal Madrasah ini, Mukti Ali melakukan pembenahan
lembaga Pendidikan Islam. Upaya ini antara lain dilakukan dengan
mengambil inisiatif untuk merebut berbagai rencana itu dengan
berbagai Departemen lain. Khususnya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.setelah melalui proses panjang dan hati-hati, lahirlah Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri P dan K serta
Menteri Dalam Negeri atau dikenal sebagai SKB Tiga Menteri, No. 6
Tahun 1975 dan No.037/U/a975 (Abuddin, 2012: 352)
SKB ini muncul karena dilatar belakangi bahwa setiap warga
negara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan pengajaan yang sama, sehingga lulusan madrasah yang ingin
melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya, dan
ketentuan ini berlaku mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat
69
perguruan tinggi (http://pendis.kemenag.go.id/index.php=sejarahpendis
diunduh pada 8 Agustus 2016 pukul 08:21)
Bagi Mukti Ali, pendidikan madrasah menjadi pondasi utama
pengembangan
pendidikan
Islam,
yang
mana
beliau
sempat
mengesahkan SKB 3 Menteri yang intinya ingin menyamakan status
madrasah dengan sekolah umum.
Realita sampai sekarangpun masih berlaku, ketika lulusan
madrasah ingin melanjutkan di perguruan tinggi umum maupun sekolah
umum akan langsung dipersilahkan, tanpa harus mengikuti ujian paket
kesetaraan SD, SMP, maupun SMA.
3. Pendidikan di Perguruan Tinggi Islam
Perhatian Mukti Ali dalam masalah pendidikan Islam tidak hanya
terbatas pada lembaga pendidikan dasar dan menengah atau madrasah.
Pada
masa
Kementriannya,
Departemen
Agama
mengeluarkan
kebijakan tentang pembenahan IAIN, lembaga pendidikan tinggi Islam.
Segera
setelah
Departemen
Agama
mencanangkan
perluasan
pendidikan tinggi untuk umat Islam, seperti yang tercantum dalam
Replika I tahun 1969-1973, umat Islam secara beramai-ramai, entah
atas nama yayasan agama, organisasi, pesantren atau pribadi
mendirikan IAIN. Menurut laporan Departemen Agama, disebutkan
bahwa pada pertengahan tahun 1973, jumlah lembaga pendidikan tinggi
Islam se Indonesia ada sekitar 112 IAIN, tersebar diseluruh pelosok
70
tanah air. Ada yang ditengah kota, ada yang di kecamatan, ada juga
yang di pedesaan (Munhanif, 1998: 317).
Sampai sekarangpun, perguruan tinggi agama Islam semakin
berkembang, tiap-tiap daerah pada mulanya mendirikan STAI, yang
kemudian berkembang menjadi STAIN, berkembang lagi menjadi IAIN
dan pada puncaknya mampu berdiri sebagai Universitas, yaitu UIN.
Tercatat dalam wikipedia Indonesia, bahwa terdapat 11 UIN, 25 IAIN
dan 19 STAIN.
Perkembangan pendidikan Islam dalam perguruan Tinggi, seolah
memuji
para
tokoh
masa
lalu
dan
sekarang
yang
selalu
memperjuangkan pendidikan Islam. Sebenarnya masih ada universitasuniversitas Islam lain yang ada di Indonesia, seperti UMS, UMM,
UNISULA, dan lain sebagainya. Namun universitas-universias tersebut
berdiri di luar pemerintah atau bisa disebut sebagai Universitas swasta
Islam.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian konsep pendidikan islam menurut H.A. Mukti Ali,
dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat beberapa poin penting mengenai konsep pendidikan Mukti
Ali, yaitu (a).Menurut al-Qur’an dan hadis, yang menjelaskan tentang
sikap disiplin ketika menempuh pendidikan di sekolah. (b).Menurut
UUD Republik Indonesia, yang itinya dalam sebuah proses
pemelajaran, harus menjunjung demokrasi, tidak membeda-bedakan
dan tidak ada yang namanya deskriminasi dalam sebuah pembelajaran.
(c).Kearifan lokal, yang tak lain adalah pendidikan di lingkungan
pesantren. Memberikan pengertian bahwa di pesantren kini sudah
banyak yang mereformasi sistem pendidikan pesantren menuju ke arah
modern, tidak hanya pembelajaran kitab kuning dan agama saja,
melainkan ada juga pembelajaran umum.
2. Adapun relevansi pendekatan studi Islam menurut Mukti Ali, yaitu
pendekatan sosio-historis, pendekatan tipologi dan pendekatan
saintifik doktrin. Dengan ketiga pendekatan tersebut, menurut hemat
penulis sebagai pendalaman Islam yang dipandang dari berbagai kaca
mata.
3. Signifikansi konsep pendidikan mukti terdapat 4 poin utama, yaitu:
(a).Merubah
kurikulum
pendidikan
72
yang
berorientasi
kepada
kebutuhan masyarakat. (b).Kurikulum “ala madrasah wajib belajar”
dijadikan patokan dalam upaya pembaharuan. (c).Meningkatkan mutu
guru dan sarana prasarana. (d).Usaha pembaharuan dilaksanakan
secara bertahap
4. Implikasi konsep pendidikan Islam Mukti Ali terhadap pendidikan
Islam di Indonesia menjelaskan tentang masih relevannya konsep
pendidikan Mukti Ali dan masih dipakai dalam pendidikan Islam di
Indonesia, seperti di pesantren, di madrasah, maupun di perguruan
tinggi.
B. Saran-saran
Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis berharap dapat
menambah wawasan pengetahuan tentang konsep pendidikan Islam Mukti
Ali kepada:
1. Bagi para pengajar dan pengelola sekolah, supaya memiliki tujuan,
konsep, dan dasar yang jelas dalam mendidik siswa-siswanya.
2. Bagi masyarakat pada umumnya supaya mencintai sekolah-sekolah
yang berasaskan Islam supaya anak-anaknya bisa lebih memahami
konsep Islam sedini mungkin
73
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 1992.Islam Sebagai Paradigma Pendidika., Yogyakarta: AdityaMedia.
Ali,Mukti.1987.Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers.
________. 1990. Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh. Jakarta:
BulanBintang
________. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Damami, Muhammad. 1998. Lima Tokoh Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga
Hamalik, Oemar.2011.Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Karim, Rusli. 1991. Pendidikan islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Koentjaraningrat. 1994. Metode–Metode Penelitian Masyaraka, edisi Ketiga.
Jakarta: Gramedia.
Meichati, Siti. 1975.Kesehatan Mental. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada
Munhanif, Ali. 1998. Modernisasi Politik Keagamaan Orde Baru. Jakarta:
Departemen Agama R.I
Nata, Abuddin. 2012. Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta Rajawali Press
Rahman, Musthofa. 2001. Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an.
Roqib, M. 2009.Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta:LKiS.
Sudirman, dkk. 1989.Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Karya
74
Sutrisno, 2002.Hubungan antara Pengetahuan Membaca dan Penguasaan
Kosakata dengan Keterampilan Menulis Wacana Deskripsi. Surakarta:
UNS
Suwarno, Wiji. 2006.Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
MediaYogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tirtarahardja,
Umar.
2008.Pengantar
pendidikan.Jakarta:
Rinerja
Cipta.https:id.m.wikipedia.org/wiki/Mukti_Ali?.html
http://dorokabuju.blogspot.co.id/2016/08/mukti-ali-ijtihad-dan
pembaharuannya.html
http://rgstudies.blogspot.co.id/2016/08/profdrha-mukti-ali-tentang-ilmu.html
http://dhttp://pendis.kemenag.go.id/index.php=sejarahpendisuniaislam.org/08/08/
2016/pengertian-islam
75
Download