Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

advertisement
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan karang merupakan salah satu komoditi unggulan di sektor perikanan
tangkap, dengan sumberdaya yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia.
Ikan karang dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu ikan hias (ornamental
fish) dan ikan konsumsi (food fish). Salah satu jenis ikan karang konsumsi adalah
ikan kerapu yang termasuk kedalam genus Epinephelus antara lain kerapu lumpur
(Epinephelus coroides), kerapu raksasa (Epinephelus lanceolatus) dan kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kerapu macan ini memiliki nilai ekonomis
yang cukup tinggi di pasar internasional seperti pasar Singapura, Cina, Taiwan,
Jepang dan Hongkong. Total ekspor ikan kerapu tahun 1998 mencapai 1.856 ton
atau 0,285 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai 650.291 ton
(Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Nilai ekonomis ikan ini sangat
ditentukan oleh tingkat kesegaran ikan, dan dalam keadaan hidup harganya akan
semakin tinggi.
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umumnya ditangkap dengan
menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun
seperti potasium sianida. Kedua cara penangkapan yang disebutkan terakhir
merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan
terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan yang ada di
dalamnya. Selain itu hasil tangkapan memiliki mutu dan nilai jual yang rendah
karena ikan dalam keadaan tidak sehat, bahkan sebagian tertangkap dalam
keadaan mati.
Bubu merupakan salah satu jenis alat tangkap yang dioperasikan secara pasif
sehingga dikategorikan sebagai alat tangkap yang pengoperasiannya sesuai
dengan prinsip konservasi dan tanpa merusak kelestarian habitat ikan terutama
pada daerah terumbu karang. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap)
(Brandt, 1984) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan
karang. Alat tangkap ini dapat mengurangi kerusakan hasil tangkapan karena
bersifat mengurung ikan sehingga ikan tertangkap dalam keadaan hidup.
2
Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor
penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan,
khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing. Umpan digunakan
dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan
agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar
dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Umpan dapat digolongkan menjadi 2
kelompok yaitu umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait).
Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimiliki agar
dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu dalam tujuan penangkapan
ikan. Jenis umpan yang biasanya digunakan oleh nelayan antara lain: ikan rucah,
bulu babi, udang, terasi, ikan cucut dan ikan pari (Reiliza 1997; Mawardi 2001;
Purbayanto et al. 2006). Penggantian umpan biasanya dilakukan setiap 2-3 kali
setting tergantung dari utuh atau tidaknya umpan. Selama proses perendaman
umpan tidak diketahui seberapa besar proses kimiawi yang terjadi pada umpan
tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan rangsangan kimia berupa
bau yang ditimbulkan.
Menurut Mindiptiyanto dan Rahardjo (1988) diacu oleh Nurliani (1993),
pada ikan karang organ yang berperan dalam mencari makan dan adaptasi
terhadap lingkungan adalah organ penglihatan (visual organ) dan organ
penciuman/pembau (olfactory organ).
Nurliani (1993) menjelaskan bahwa
indikator ikan bergerak masuk ke dalam alat tangkap karena terangsang oleh bau
yang ditimbulkan oleh umpan. Organ penciuman berperan dalam mendeteksi
keberadaan umpan. Penciuman lebih berperan pada saat obyek umpan berada
pada batas toleransi penglihatan.
Penelitian lain terkait dengan organ penciuman yang telah dilakukan
diantaranya adalah guanylyl cyclase sebagai visualisasi penyelenggara transgenik
(Kusakabe dan Suzuki 2000), studi perbandingan sistem penciuman antara Pagrus
major dan Acanthropagrus schegeli) yang berasal dari alam dan stok budidaya
(Mana dan Kawamura 2002), neuronal oksida berisi nitrat synthase pada sistem
penciuman ikan teleost Oreochromis mossambicus dewasa (Singru et al., 2003),
dan peranan organ penciuman dan mata dalam perilaku “homing” pada ikan
Sebastes inermis (Mitamura et al. 2005). Penelitian tentang respons penciuman
3
terhadap umpan buatan (artificial bait) belum banyak dilakukan, sehingga masih
diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mengetahui respons penciuman
terhadap umpan buatan pada skala laboratorium maupun uji coba penangkapan di
lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan formulasi umpan buatan dalam berbagai
komposisi bahan yang digunakan.
1.2 Perumusan Masalah
Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan memiliki fungsi sebagai
pemikat (attractor). Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah
dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisi umpan dapat dibedakan ke dalam
umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya
umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan
(artificial bait) (Hendrotomo 1983 dan Leksono 1989).
Penggunaan umpan dalam penangkapan ikan dengan bubu selama ini adalah
jenis umpan alami. Umpan alami yang sering digunakan antara lain ikan rucah,
bulu babi, udang, ikan cucut dan ikan pari (Reiliza 1997; Mawardi 2001;
Purbayanto et al. 2006). Umpan buatan yang sudah dipakai oleh nelayan antara
lain terasi dan pelet. Umpan buatan ini digunakan karena memiliki bau yang
menyengat sehingga ikan diharapkan dapat tertarik dan masuk kedalam
perangkap.
Penggunaan umpan alami didasarkan pada pemahaman terhadap
fungsi penglihatan dan fungsi penciuman ikan. Untuk fungsi penciuman yang
paling berperan adalah bau yang ditimbulkan oleh umpan. Bau ini dikeluarkan
oleh suatu umpan berdasarkan kandungan dari asam amino yang merupakan
bagian dari rangkaian protein (Taibin 1984 diacu dalam Syandri 1988).
Penggunaan umpan alami bila dilakukan secara terus menerus akan
mengurangi bahkan dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang ada. Sebagai
contoh penggunaan umpan bulu babi dan udang yang terus-menerus akan
menurunkan jumlahnya di alam dan bahkan dapat berakibat pada kepunahan.
Selain itu penggunaan umpan alami memiliki beberapa keterbatasan dalam
penggunaannya antara lain: (1) keberadaan jenis umpan alami masih tergantung
musim, (2) keefektifan umpan alami belum banyak diketahui, (3) penggunaan
umpan alami masih berdasarkan pada kebiasaan atau pengalaman nelayan
4
setempat, dan (4) belum banyak diketahui komponen kimiawi umpan alami. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
dengan membuat formulasi umpan buatan yang efektif untuk menangkap ikan
karang dan dapat tersedia sepanjang musim.
Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini mencoba menjawab
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
(1)
Bagaimana respons tingkah laku ikan kerapu terhadap rangsangan kimiawi
umpan buatan?
(2)
Formulasi umpan buatan apa yang tepat sebagai pengganti umpan alami
dalam penangkapan ikan dengan bubu?
(3)
Bagaimana efektivitas umpan buatan hasil formulasi jika dibandingkan
dengan umpan alami dalam penangkapan ikan menggunakan bubu?
(4)
Apakah umpan buatan layak digunakan sebagai alternatif pengganti umpan
alami dalam penangkapan ikan dengan bubu?
Diagram alir kerangka penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
(1)
Membuat formulasi umpan buatan (artificial bait) yang efektif bagi
penangkapan ikan kerapu.
(2)
Mengetahui respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan buatan
(artificial bait).
(3)
Menganalisis waktu perendaman (siang dan malam) umpan buatan (artificial
bait) yang efektif sebagai pemikat (attractor) ikan kerapu.
(4)
Mengukur efektivitas umpan buatan dalam penangkapan ikan kerapu dengan
bubu.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1)
Informasi tentang efektivititas umpan buatan dalam proses penangkapan
ikan menggunakan bubu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengembangan perikanan bubu di Indonesia.
5
(2)
Informasi tentang formulasi pembuatan umpan buatan yang dihasilkan dari
penelitian ini.
(3)
Sebagai bahan informasi dalam pembuatan kebijakan tentang penggunaan
umpan buatan dalam penangkapan ikan dengan bubu yang ramah
lingkungan.
(4)
Sebagai bahan informasi dan acuan bagi penelitian lebih lanjut tentang
respons tingkah laku penciuman ikan terhadap umpan alami dalam proses
penangkapan ikan dengan bubu.
1.5 Hipotesis
(1)
Masing-masing spesies ikan kerapu (Epinephelus sp) memiliki tingkah laku
yang berbeda ketika merespons adanya umpan.
(2)
Respons makan ikan kerapu (Epinephelus sp) disebabkan adanya
rangsangan bau umpan.
(3)
Terdapat perbedaan komposisi bahan kimia (proximat, asam amino, asam
lemak dan amoniak) pada berbagai jenis umpan yang berbeda.
(4)
Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu pada siang hari sama
dengan efektivitas penangkapan pada malam hari.
6
Penangkapan dengan
bubu
Faktor-faktor eksternal
Ikan Kerapu Macan
- Arus
- Kecerahan
- Lokasi penempatan bubu
Respons Penciuman
Kandungan Kimia
Umpan Alami
(Jenis, Ukuran, Warna, dll)
Proksimat
Asam Amino
Asam Lemak
Respons Penglihatan
Permasalahan:
1. Ketersediaan Umpan
2. Efektivitas Umpan
3. Kandungan Kimia
4. Kebiasaan Nelayan
Formulasi Umpan
Buatan
Tidak
Efektif
Ya
Alternatif umpan buatan untuk
penangkapan ikan kerapu
dengan bubu
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Download