7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kehamilan 2.1.1 Pengertian Kehamilan Kehamilan adalah dikandungnya janin hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma (Kushartanti, 2004). Proses kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan ovum (konsepsi) dan nidasi hasil konsepsi (Winkjosastro, 2007). Kehamilan merupakan suatu krisis maturitas yang dapat menimbulkan stres, tetapi berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberi perawatan dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seiring persiapannya untuk menghadapi peran baru, wanita tersebut mengubah konsep dirinya agar siap menjadi orang tua (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2004). 2.1.2 Perubahan Fisiologis Wanita Hamil Hampir setiap tubuh wanita hamil mengalami perubahan baik pada organ dan sistem organnya. Menurut Mochtar (2011) dan Bobak, Lowdermilk & Jensen (2004) perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil antara lain: (1) Sistem Reproduksi Ukuran uterus membesar akibat dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos rahim, berat uterus naik dari 30 gram menjadi 1000 gram, isthmus rahim hipertrofi dan serviks uteri bertambah vaskularisasinya dan bertambah lunak. Proses ovulasi berhenti, vagina dan vulva berwarna lebih merah atau 7 8 kebiruan. Pembesaran rahim menimbulkan peregangan dan menyebabkan robeknya serabut elastin di bawah kulit sehingga timbul stirae gravidarum. (2) Sistem Sirkulasi Darah Volume darah total dan volume plasma darah naik pesat sejak akhir trimester pertama. Gambaran protein darah berubah; jumlah protein, albumin dan gama globulin menurun pada trimester pertama dan meningkat bertahap pada akhir kehamilan. Pompa jantung akan meningkat setelah kehamilan tiga bulan dan menurun lagi pada minggu-minggu terakhir kehamilan. Tekanan darah cenderung turun pada trimester kedua dan akan naik lagi seperti pada prahamil. Nadi biasanya naik, nilai rata-ratanya 84 kali per menit. (3) Sistem pernapasan Adanya usus yang tertekan ke arah diafragma akibat pembesaran uterus, akan menekan paru-paru sehingga wanita hamil akan cenderung mengeluh sesak dan napas pendek. Kapasitas vital paru sedikit meningkat selama kehamilan. (4) Sistem Pencernaan Pada trimester pertama, muncul keluhan mual dan muntah. Salivasi meningkat, tonus otot saluran pencernaan melemah sehingga motilitas usus menurun dan makanan akan lebih lama berada dalam saluran makanan. (5) Sistem Integumen Pada daerah kulit tertentu, terdapat hiperpigmentasi jaringan seperti pada muka, payudara (puting dan areola payudara), perut dan vulva. 9 (6) Metabolisme Tingkat metabolik basal pada wanita hamil meningkat hingga 15-20% terutama pada trimester akhir. Terjadi gangguan keseimbangan asam basa, kebutuhan protein dan kalori meningkat. Wanita hamil sering merasa haus, nafsu makan bertambah, sering buang air kecil dan kadang dijumpai glukosuria, serta berat badan ibu hamil akan meningkat. (7) Payudara Selama kehamilan, payudara bertambah besar, tegang dan berat. Dapat terjadi noduli-noduli akibat hipertrofi kelenjar alveoli; bayangan vena-vena lebih membiru. 2.1.3 Perubahan Psikologis Wanita Hamil Selain menimbulkan perubahan fisik, kehamilan juga menimbulkan perubahan dan adaptasi psikologis bagi ibu hamil. Membesarnya janin dalam kandungan mengakibatkan calon ibu letih, tidak nyaman, tidak dapat tidur nyenyak, sering mendapat kesulitan bernapas dan beban fisik lainnya. Semua pengalaman ini mengakibatkan timbulnya kecemasan, ketegangan, konflik batin dan lain-lain. Selain itu, adanya resiko perdarahan, rasa sakit pada saat melahirkan, bahaya kematian pada dirinya sendiri maupun bayi yang akan dilahirkan juga menambah kecemasan dan ketakutan bagi ibu hamil (Lia, 2011). Menurut Nirwana (2011) dan Hamilton (2004), perubahan psikologis yang dialami ibu hamil berdasarkan usia kehamilan yaitu: 10 (1) Perubahan psikologis pada trimester pertama Ibu membutuhkan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya pada trimester awal kehamilan. Banyak ibu yang merasa kecewa, terjadi penolakan, kecemasan dan kesedihan. Sering kali pada awal kehamilan banyak ibu yang mengharapkan untuk tidak hamil. Hampir 80% wanita menolak, gelisah, depresi dan murung. Sebanyak 15% ibu hamil mengalami gangguan jiwa pada trimester pertama. Pada wanita hamil banyak mengalami ketakutan dan fantasi selama kehamilan, khususnya tentang perubahan fisik yang terjadi pada dirinya. (2) Perubahan psikologis pada trimester kedua Terdapat dua fase perubahan psikologis pada trimester kedua. Fase pertama yaitu fase prequickening, dimana pada fase ini ibu menganalisis dan mengevaluasi segala hubungan interpersonal yang telah terjadi. Proses ini akan menjadi dasar bagaimana calon ibu mengembangkan hubungan dengan anak yang akan dilahirkan. Proses yang terjadi pada pengevaluasian adalah perubahan identitas dari penerima kasih sayang (dari ibunya) menjadi pemberi kasih sayang (persiapan menjadi seorang ibu). Pada trimester kedua, calon ibu sudah dapat menerima kehamilannya. Fase kedua yaitu fase postquickening yaitu ibu hamil akan fokus pada kehamilan dan persiapan untuk menyambut lahirnya bayi. Pergerakan yang dirasakan dapat membantu ibu membangun konsep bahwa bayinya adalah individu yang terpisah dengannya dan menyebabkan ibu terfokus pada bayinya. 11 (3) Perubahan psikologis pada trimester ketiga Pergerakan bayi akan semakin sering dirasakan oleh calon ibu pada trimester ketiga. Perasaan tersebut menimbulkan kecemasan tersendiri bagi seorang ibu seperti takut kalau sewaktu-waktu bayinya lahir, apakah bayinya akan terlahir normal, dan hal-hal lain terkait kondisi bayinya. Seorang ibu juga akan memikirkan tentang proses persalinan yang akan dialami dan bahaya fisik yang akan timbul pada saat persalinan. Trimester ketiga inilah ibu memerlukan ketenangan dan dukungan dari suami, keluarga serta tenaga kesehatan. Penelitian dari Aprianawati (2007) tentang hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan ibu primigravida menjelang persalinan. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kecemasan ibu hamil, dimana ibu hamil yang mendapat dukungan yang besar dari keluarganya, akan mengalami kecemasan yang rendah dalam menghadapi persalinannya. 2.2 Kecemasan 2.2.1 Definisi Kecemasan/ Ansietas Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan seharihari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara 12 keseimbangan hidup. Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri atau identitas diri yang sangat mendasari bagi keberadaan individu (Suliswati, dkk, 2005). Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut (Stuart, 2007). Ciri-ciri ansietas adalah keprihatinan, kesulitan, ketidakpastian, atau ketakutan yang terjadi akibat ancaman yang nyata atau dirasakan; ansietas adalah respon subjektif terhadap stres (Isaacs, 2004). 2.2.2 Tingkat kecemasan Menurut Stuart (2007), tingkatan ansietas dibagi menjadi: (1) Ansietas Ringan Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas ringan ini dapat memotivasi belajar serta menghasilkan perkembangan kreativitas. (2) Ansietas Sedang Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. 13 (3) Ansietas Berat Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu hal yang terperinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua prilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. (4) Tingkat Panik Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. RENTANG RESPON ANSIETAS Respon adaptif Antisipasi Respon maladaptif Ringan Sedang Gambar 1. Rentang Respon Ansietas Sumber: Stuart, 2007 Berat Panik 14 2.2.3 Mekanisme Terjadinya Kecemasan Mekanisme cemas dimulai dari adanya faktor pemicu cemas (rangsangan). Membesarnya janin dalam kandungan mengakibatkan calon ibu tidak nyaman, tidak dapat tidur nyenyak dan sering mendapat kesulitan bernapas. Semua ini mengakibatkan timbulnya kecemasan pada calon ibu. Selain itu, adanya resiko perdarahan, rasa sakit pada saat melahirkan, bahaya kematian pada dirinya sendiri maupun bayi yang akan dilahirkan juga menambah kecemasan dan ketakutan bagi ibu hamil (Lia, 2011). Rangsangan cemas akan mempengaruhi sistem limbik yaitu hipotalamus. Hipotalamus anterior akan mengaktifkan sistem saraf simpatis sebagai reaksi fisiologis pertama yang timbul saat cemas yang dikenal dengan respon fight or flight. Saraf simpatis membawa serabut saraf vasokontriksor akan mengeluarkan norepinefrin yang bekerja langsung di reseptor adrenegik alfa otot polos vaskuler untuk vasokontriksi pembuluh darah. Pengaktifan sistem saraf simpatis mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan arteri, aliran darah ke otot, kecepatan metabolisme sel serta peningkatan proses glikolisis di hati dan otot menyebabkan terjadinya peningkatan glukosa darah (Guyton & Hall, 2007). Impuls simpatis dikirim ke medula adrenal pada waktu yang bersamaan dengan dikirimnya impuls ke pembuluh darah. Impuls ini menyebabkan medula menyekresi epinefrin dan norepinefrin ke dalam sirkulasi darah dan dialirkan ke semua bagian tubuh (Guyton & Hall, 2007). Produksi epinefrin dan norepinefrin menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, mendilatasi pupil, meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung dan kontriksi pembuluh darah 15 kapiler, serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna menyokong jantung, otot dan sistem saraf pusat. Dengan demikian, dari mekanisme tersebut akhirnya timbul gejala seperti peningkatan frekuensi nadi dan pernafasan, relaksasi otot polos pada kandung kemih, dilatasi pupil dan mulut kering (Videbeck,2008). 2.2.4 Kecemasan Pada Ibu Hamil Kondisi psikologis yang dialami ibu selama hamil, kemudian akan kembali mempengaruhi aktivitas fisiologis. Kecemasan dapat mempengaruhi detak jantung, tekanan darah, produksi adrenalin, aktivitas kelenjar keringat, sekresi asam lambung, dan lain-lain. Tekanan psikologis juga dapat memunculkan gejala fisik seperti letih, lesu, mudah marah, gelisah, pusing, susah tidur, mual atau merasa malas (Erlina, 2007). Berbagai keluhan dapat ditimbulkan oleh kecemasan. Keluhan tersebut dapat berupa firasat buruk, mudah tersinggung, merasa tegang, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang serta gangguan konsentrasi. Selain itu, keluhan-keluhan somatik juga dapat timbul pada seseorang yang mengalami kecemasan. Misalnya rasa sakit pada otot, tulang, pendengaran berdenging, dada berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, dan lain-lain (Hawari, 2004). Kecemasan yang berlebihan juga dapat memberi dampak pada perilaku ibu. Mencoba untuk menghilangkan kecemasan dengan merokok atau dengan mengkonsumsi obat-obatan penenang akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin, menimbulkan perasaan takut melahirkan, dan juga 16 depresi (Sujiono&Nurani, 2008). Kecenderungan makan berlebihan untuk mengatasi cemas dapat berdampak terhadap pertambahan berat badan yang nantinya dapat menyulitkan persalinan. Namun sebaliknya, ibu hamil yang tidak berselera makan dan tidak peduli pada janin akan menyebabkan gangguan pertumbuhan bayi dan kondisi mental bayi (Keswamas, 2008). Suasana psikologis ibu yang tidak mendukung akan mempersulit proses persalinan. Cemas yang berlebihan, khawatir dan takut tanpa sebab pada ibu hamil, dapat memicu kondisi yang berujung pada stres. Kondisi stres inilah yang mengakibatkan otot tubuh menegang, terutama otot-otot yang berada dijalan lahir ikut menjadi kaku dan keras sehingga sulit mengembang. Emosi yang tidak stabil juga akan membuat ibu merasakan sakit yang semakin hebat (Amalia, 2009). Ibu hamil yang mengalami kecemasan selama kehamilan akan meningkatkan resiko ketidak seimbangan emosional ibu setelah melahirkan. Cemas selama kehamilan juga meningkatkan resiko keterlambatan perkembangan motorik dan mental janin, serta dapat menyebabkan colic pada bayi baru lahir (Bakshi, 2008). 2.2.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pada Ibu Hamil Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan seseorang. Mapierre (1985) mengemukakan bahwa kecemasan berhubungan dengan usia, tingkat pendidikan, dan dukungan keluarga termasuk dukungan suami. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan usia hamil resiko tinggi karena dapat terjadi kelainan atau gangguan pada janin, sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada ibu hamil tersebut 17 (Soelaeman, 2006). Beberapa faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu hamil antara lain : 2.2.5.1 Faktor internal 1) Status Kesehatan Ibu dan Bayi Kondisi atau perkambangan janin sangat dipengaruhi oleh kesehatan ibunya. Sementara itu, perubahan hormonal diawal kehamilan menyebabkan ibu hamil mual, muntah, kelelahan dan merasa kurang sehat (Pusdiknakes, 2003). Kondisi tersebut membuat ibu merasa cemas akan kondisi bayi dalam kandungannya. Mual dan kelelahan yang disertai peningkatan kecemasan akan semakin memperburuk kondisi ibu dan janin yang dikandungnya. 2) Faktor Pendidikan Hasil riset yang dilakukan oleh Stuart&Sundeen pada tahun 1995 menyatakan bahwa responden yang berpendidikan tinggi lebih mampu menggunakan pemahaman mereka dalam merespon berbagai perubahan kondisi kesahatan secara adaptif dibandingkan kelompok responden yang berpendidikan rendah. Kondisi ini menunjukkan respon kecemasan berat cenderung dapat ditemukan pada responden yang berpendidikan rendah karena rendahnya pemahaman mereka terhadap kondisi kesehatan. 3) Faktor Usia Usia Ibu hamil dispesifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu: kurang dari 20 tahun (tergolong muda), 20-30 tahun (tergolong menengah), dan lebih dari 30 tahun (tergolong tua). Umur yang lebih muda, lebih mudah mengalami stress dibandingkan dengan umur yang lebih tua (Prawirohardjo, 2008). 18 2.2.5.2 Faktor eksternal 1) Dukungan Semakin baik dukungan yang diberikan maka kecemasan akan semakin ringan. Keluarga maupun tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan kepada ibu sejak hamil sampai melahirkan. Hal tersebut akan memotivasi dan menumbuhkan rasa percaya diri ibu untuk mengurangi kecemasan (bobak, lowdermil, & jensen, 2005). Menurut Carpenito (2006) dukungan suami akan meningkatkan kesejahtraan psikologis (psychologocal well being) dan kemampuan penyesuian diri melalui perasaan memiliki, peningkatan harga diri dan pencegahan psikologis. 2) Lingkungan Lingkungan menjadi faktor penentu kecemasan ibu hamil. Lingkungan yang dimaksud adalah budaya yang mendukung kehamilan akan memberikan pengaruh positif terhadap kecemasan (bobak, lowdermil, & jensen, 2005). 3) Pendidikan kesehatan Menurut Steward (2006) pendidikan kesehatan atau edukasi adalah unsur program kesehatan dan kedokteran yang di dalamnya terkandung rencana untuk mengubah perilaku perseorangan dan masyarakat. Pada sasaran individu dan keluarga, perawat dapat menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi. Sedangkan pada sasaran kelompok dan masyarakat, perawat dapat juga menggunakan metode ceramah, diskusi kelompok, demonstrasi, role play ,film, dan interview (Achjar, 2009). 19 2.2.6 Gejala kecemasan pada Ibu Hamil Menurut Blackburn (2000), gejala-gejala kecemasan pada ibu hamil meliputi tiga aspek, yaitu: 1) Gejala fisik Meliputi telapak tangan basah, tekanan darah meninggi, badan gemetar, denyut jantung meningkat dan keluarnya keringat dingin. Perubahan fisik yag terjadi pada ibu hamil contohnya muncul jerawat, varises, noda juga dapat menimbulkan kecemasan. Perubahan lainnya yang terjadi ketika hamil adalah mudah lelah, badan terasa tidak nyaman, tidak bisa tidur nyenyak, sering sulit bernafas, dan lain-lain. Perubahan – perubahan tersebut berbeda – beda intensitasnya pada masing – masing ibu hamil (Blackburn, 2000). 2) Gejala psikologis Kecemasan merupakan reaksi psikologis yang wajar pada ibu hamil, jika ibu hamil dapat mengatasi kecemasannya maka ia akan dapat menikmati tahapan kehamilannya dengan lebih nyaman dan tenang. Secara psikologis, kecemasan dapat meningkatkan kerja dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, muncullah perangsangan pada organ – organ, seperti lambung, jantung, pembuluh darah maupun fisiologis tubuh lainnya. Kecemasan yang ditimbulkan secara psikologis juga dikarenakan ketidakmampuan individu dalam mengidentifikasi ancaman yang datang sehingga muncul gelaja – gejala seperti marah – marah, takut, perasaan tidak tentu, serta ketidakmampuan mengendalikan pikiran buruk. Ada dua hal yang menyebabkan kecemasan pada ibu hamil yaitu perasaan takut dan penolakan ibu terhadap 20 kehamilannya. Perasaan takut yang dirasakan oleh ibu hamil lebih didasarkan pada perubahan besar yang terjadi pada tubuhnya. Penolakan ibu terhadap kehamilannya lebih didasarkan pada calon ibu tersebut tidak menikah atau karena kesulitan ekonomi sehingga dengan hadirnya anak dapat memberatkan ekonomi keluarga (Sastrawinata, 2003) 3) Gejala Sosial Kecemasan dalam ruang lingkup sosial dapat dilihat dari situasi, kondisi dan obyek tertentu misalnya individu cemas ketika memperlihatkan diri di depan umum. Keadaan ini terutama terjadi pada individu yang pemalu, penakut, merasa tidak tentram, dan cemas bila berkumpul dengan orang-orang yang masih asing dengannya. Pada ibu hamil biasanya kepercayaan tradisional yang dianut dalam suatu daerah akan berpengaruh terhadap pola pikirnya sehingga akan menimbulkan kecemasan tersendiri. Sikap yang kurang menyenangkan di pihak orang-orang yang berarti, sikap yang kurang menyenangkan dari lingkungan juga menimbulkan efek yang mendalam bagi kondisi mental ibu hamil. Misalnya orang tua yang tidak menghendaki kelahiran karena takut mengganggu program pendidikan dan pekerjaan (Blackburn, 2000). Hasil studi tentang psikologi kehamilan membuktikan bahwa fenomena kecemasan yang berhubungan dengan kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang merupakan beban ekstra yang dapat berasal dari dalam tubuh sendiri maupun dari kejadian diluar tubuh. (Notosoedirjo, 1996) mengatakan bahwa apabila ibu hamil tidak mampu beradaptasi dengan beban ekstra tersebut, akan mengalami kecemasan. 21 2.2.7 Skala Pengukuran Tingkat Kecemasan Derajat kecemasan seseorang dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur (instrumen) kecemasan. Saat ini, terdapat beberapa instrumen kecemasan yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya, misalnya Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), Depression Anxiety and Stress Scales (DASS), dan Beck Anxiety Inventory (BAI). BAI merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan dan terdiri atas 21 pertanyaan. Setiap pertanyaan pada BAI merupakan deskripsi singkat dari gejala kecemasan yaitu gejala subjektif, gejala neurofisiologi, gejala autonom, dan gejala yang berhubungan dengan panik. Responden diminta menjawab 21 pertanyaan dengan pilihan jawaban; tidak pernah dialami diberi skor nol, gejala ringan (mengalami gejala tetapi tidak merasa terganggu) diberi skor satu, gejala sedang (mengalami gejala dan cukup merasa terganggu) diberi skor dua, gejala berat (sangat terganggu dengan gejala yang dialami) diberi skor tiga. Skor tersebut kemudian dijumlahkan dan diinterpretasikan. Skor nol sampai tujuh dikategorikan tidak cemas, skor delapan sampai 15 dikategorikan cemas ringan, skor 16 sampai 25 dikategorikan cemas sedang, skor 26 sampai 63 dikategorikan cemas berat (Leyfer, et al, 2006). Peneliti akan menggunakan BAI sebagai instrumen dalam penelitian yang akan dilakukan. BAI dipilih karena BAI dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan pada remaja sampai dengan lansia, mengandung deskripsi singkat mengenai gejala kecemasan yang dialami seseorang sehingga pengukurannya 22 dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu yang relatif singkat (10-15 menit) (Leyfer, et al, 2006). 2.2.8 Upaya Menurunkan Kecemasan Tujuan dari menurunkan tingkat kecemasan adalah untuk menimbulkan suasana rileks sehingga dampak dari kecemasan dapat berkurang. Terdapat berbagai macam cara yang digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan. Secara umum, dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis merupakan terapi yang diberikan dengan menggunakan obat-obatan. Adapun golongan obat-obatan yang dapat digunakan untuk menurunkan kecemasan yaitu golongan benzodiazepin (diazepam, chlordiazepoxide, lorazepam, clobazam, bromazepam, oxazolam, clorazepate, alprazolam, prazepam), golongan non-benzodiazepin (sulpiride, buspirone, hydroxine), golongan trisiklik, golongan monoamin oksidase inhibitor serta golongan Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (Deglin, 2005). Penggunaan obat-obatan selama kehamilan memerlukan suatu kehatihatian. Tidak semua obat bisa diminum untuk ibu hamil, karena terdapat beberapa obat yang dapat mempengaruhi kondisi janin di dalam kandungan. Pemilihan dosis dan waktu yang tepat untuk meminum juga perlu diperhatikan khususnya bagi ibu hamil. Penggunaan obat-obatan juga tidak bisa diberikan secara terus menerus untuk mencegah ketergantungan terhadap obat tersebut (Michael, 2007). Terapi non farmakologis merupakan terapi tanpa menggunakan obatobatan yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan. Beberapa 23 jenis terapi non farmakologis yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan adalah art therapy, terapi hewan peliharaan, konseling, distraksi, aromaterapi, hipnotis, terapi musik, meditasi dan relaksasi. Penggunaan terapi non farmakologis merupakan salah satu tugas dari perawat untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien. Terapi non farmakologis memberikan pengaruh yang baik untuk menurunkan tingkat kecemasan dan memiliki efek samping yang sedikit bagi pasien. Selain itu, perawat dapat mengajarkan terapi non farmakologis kepada pasien dan keluarganya. Peneliti menggunakan aromaterapi pada penelitian ini karena penggunaannya lebih mudah sehingga nantinya responden dapat melakukan terapi ini secara mandiri di rumah (Dochterman & Bulecheck, 2004). 2.3 Aromaterapi 2.3.1 Definisi Aromaterapi dan Minyak Esensial Aromaterapi merupakan salah satu bagian dari Complementary and Alternative Madicine (CAM) yang dapat digunakan dalam perawatan berbagai macam penyakit karena memiliki beberapa efek farmakologis, seperti efek antimikrobial, sedatif, analgesik, spasmolitik, dan lain-lainnya (Bascom, 2002). Aromaterapi didefinisikan sebagai terapi yang menggunakan minyak esensial untuk memperbaiki atau menjaga kesehatan, membangkitkan semangat, menyegarkan serta membangkitkan jiwa dan raga (Tzu, 2010). Minyak esensial merupakan bahan baku utama untuk aromaterapi dan dapat diperoleh dengan cara ekstraksi atau pencarian dari saripati organ tanaman, 24 seperti bunga, akar, biji, getah dan daun. Pada dasarnya minyak esensial tidak berwarna (terutama jika baru diekstraksi), akan tetapi setelah penyimpanan warnanya akan bertambah tua karena proses oksidasi dan resinifikasi. Proses oksidasi merupakan penyebab kerusakan minyak akibat pengaruh cahaya dan udara atau pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, sehingga menimbulkan aroma yang tidak diinginkan serta menurunkan kelarutan minyak dalam alkohol. Resinifikasi merupakan penyebab kerusakan minyak akibat pengaruh suhu tinggi selama proses penyulingan. Oleh sebab itu, penyimpanan minyak esensial yang tepat adalah dalam wadah berbahan dasar kaca gelap untuk melindungi minyak esensial dari proses oksidasi dan resinifikasi (Suhirman, 2009). Walaupun berbentuk minyak, cairan ini bukan tergolong minyak biasa yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh minyak esensial memiliki sifat yang berbeda dengan minyak pada umumnya. Minyak esensial akan mudah muncul dan menguap ketika suatu tanaman terkena panas matahari. Selain itu, butir-butir dari tetesan minyaknya senantiasa bergerak dalam jaringan tanaman, yaitu dengan susunan kimia yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Minyak esensial juga memiliki aroma khas dan spesifik antara satu tanaman dengan tanaman lainnya sehingga sering disebut minyak aromatis (Jaelani, 2009). Minyak esensial selain memiliki sifat-sifat tersebut, minyak esensial juga memiliki fungsi penting sebagai benteng atau penunjang sistem kekebalan bagi tanaman. Saat tanaman mengalami luka fisik atau karena pengaruh lingkungan yang buruk (suhu terlampau dingin, panas, kering, basah, dehidrasi) minyak ini 25 dengan cepat menerobos ke dalam dinding sel-sel tanaman (epidermis) untuk menyembuhkan atau menjaga keseimbangan suhunya. Setelah memperbaiki dan menjaga keadaan tersebut, minyak esensial akan kembali ke bagian terluar dari dinding sel organ tanaman (Jaelani, 2009). 2.3.2 Efektivitas Minyak Esensial dalam Dunia Kesehatan Minyak esensial memiliki peran yang sangat penting bagi pengembangan kesehatan saat ini, yaitu sebagai sumber obat-obatan alami karena di dalam minyak esensial terdapat kandungan kimia yang memiliki efek yang cepat dalam membantu penyembuhan penyakit. Adapun efektivitas kandungan kimia dalam minyak esensial tersebut, antara lain: (1) Butiran molekulnya yang sangat kecil dengan mudah dapat diserap oleh jaringan tubuh yang dibawa melalui aliran darah sehingga akan lebih mudah mencapai sasaran lokasi yang akan diobati. (2) Minyak esensial juga memiliki sifat mudah larut dalam lemak sehingga mudah terserap ke dalam lapisan kulit bila dioleskan atau digosokkan. (3) Minyak esensial mampu meredakan ketegangan pada otot-otot yang sedang mengalami kelelahan akibat aktivitas yang berlebihan. (4) Minyak esensial juga dapat mempengaruhi impuls dan refleks saraf yang diterima oleh ujung-ujung reseptor pada lapisan terluar dari kulit (epidermis). Selain itu, minyak ini dapat mempengaruhi aktivitas fungsi kerja otak melalui sistem saraf yang berhubungan dengan indra penciuman. Respon ini akan merangsang peningkatan aktivitas neurotransmitter, yaitu berkaitan dengan 26 pemulihan kondisi psikologis (seperti emosi, perasaan, pikiran dan keinginan). (5) Efek medis minyak esensial juga dapat membantu produksi prostaglandin yang berperan penting dalam meregulasi tekanan darah, pengendalian rasa sakit, serta keseimbangan hormonal (Jaelani, 2009). 2.3.3 Metode Pemanfaatan Minyak Esensial Penggunaan minyak esensial murni yang dapat memberikan manfaat untuk seorang individu dikenal dengan istilah aromaterapi. Aromaterapi dapat memberikan efek terapi baik secara fisik maupun psikologis dan dapat dimanfaatkan melalui beberapa cara, antara lain: (1) Pemakaian topikal, yaitu minyak esensial yang diaplikasikan langsung pada kulit bagian luar, melalui sentuhan (dengan dioleskan atau dipijat), melalui kompres dan berendam dalam bak mandi. Pada pemakaian topikal ini, minyak esensial akan diabsorpsi melalui kulit (2) Pemakaian oral atau internal, yaitu minyak esensial yang diaplikasikan langsung pada mukosa kulit melalui mouthwash (obat kumur) dan pessaries atau supositoria. Melalui supositoria pemakaian minyak esensial lebih ditujukan untuk sindrom gangguan saluran cerna (irritable bowel syndrome), hemorhoid, infeksi vagina dan jamur (candida). (3) Pemakaian inhalasi, yaitu cara yang paling cepat dan efektif untuk terapi masalah psikologis dan merupakan cara pemakaian yang paling umum. Bau yang dihirup oleh individu akan berikatan dengan gugus steroid dalam 27 kelenjar keringat disebut osmon, yang berpotensi sebagai penenang kimia alami (Buckle, 2003). 2.3.4 Kontraindikasi Penggunaan Minyak Esensial Minyak esensial murni memiliki efek yang sangat kuat, terutama jika dilihat dari segi aromanya. Beberapa minyak esensial dapat memiliki efek toksik seperti dapat membuat kulit iritasi jika tidak diaplikasikan dengan benar. Dalam beberapa kondisi, minyak esensial tidak dapat digunakan karena dapat memperburuk kondisi seseorang yang menggunakannya. Oleh sebab itu, penggunaan minyak esensial perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan petugas kesehatan (Bharkatiya et al, 2008). Kondisi-kondisi yang dapat menjadi kontraindikasi dalam pemakaian minyak esensial yaitu seseorang yang mengalami demam, influenza, migren, epilepsi, luka atau infeksi pada kulit, gangguan atau disfungsi pada sistem saraf, alergi dan penyakit kulit lainnya. Ibu hamil, bayi dan anak-anak dapat menggunakan minyak esensial sebagai terapi komplementer, akan tetapi diperlukan kehati-hatian dalam penggunaannya karena dikhawatirkan memberikan efek samping yang cukup fatal (Bharkatiya et al, 2008). 2.3.5 Minyak Esensial Lavender (Lavendula angustifolia) Sampai saat ini sudah ditemukan sekitar 32 jenis minyak esensial yang digunakan sebagai aromaterapi untuk memperbaiki atau meningkatkan fungsi organ tubuh. Setiap jenis minyak esensial memiliki khasiat yang berbeda dengan jenis minyak lainnya. Lavender dengan rosemary merupakan jenis minyak 28 esensial yang sering digunakan oleh peneliti dalam bidang kesehatan, khususnya keperawatan (Tzu, 2010). Nama Lavender berasal dari Bahasa Latin lavare yang artinya to wash (mencuci). Bunga ini pertama kali ditemukan di daerah mediterranian dan merupakan salah satu tanaman yang termasuk ke dalam family Labiate (National Center for Complementary and Alternative Madicine, 2009). Pada jaman dahulu, minyak esensial lavender digunakan oleh bangsa Romawi dan penduduk di dataran Eropa dalam proses pembuatan mummi (pengawetan mayat). Selain itu, minyak esensial ini juga dimanfaatkan sebagai, parfum dan obat-obatan untuk mengatasi insomnia. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, minyak esensial lavender semakin banyak digunakan karena memiliki pengaruh positif untuk sistem saraf pusat (Balkam, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prima (2011) menyebutkan bahwa dalam 100 gram bunga lavender terdiri atas beberapa kandungan, seperti minyak esensial (1-3%), alpha-pinene (0,22%), camphene (0,06%), beta-myrcene (5,33%), p-cymene (0,3%), limonene (1,06%), cineol (0,51%), linalool (26,12%), borneol (1,21%), terpinen-4-ol (4,64%), linalyl acetate (26,32%), geranyl acetate (2,14%) dan caryophyllene (7,55%). Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kandungan utama bunga lavender adalah linalyl asetat dan linalool. Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa minyak esensial ini memiliki efek sedative, anxiolytic, dan mood modulator. Kondisi ini disebabkan oleh adanya linalool asetat sebagai komposisi utama yang terkandung dalam minyak esensial lavender. Linalool asetat dinilai mampu mengendurkan dan 29 melemaskan sistem kerja saraf dan otot-otot yang tegang dengan cara menurunkan kerja dari sistem saraf simpatis saat seseorang mengalami kecemasan (Rahayu dkk, 2007). Efek linalool asetat juga mempengaruhi sistem neuroendokrin tubuh melalui sistem limbik yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pelepasan hormon dan neurotransmitter yang dapat meningkatkan rasa nyaman, seperti enkhephalin dan endorphin (Buckle, 2003). Walaupun minyak esensial lavender memiliki banyak kegunaan, bukan berarti minyak ini tidak memiliki efek samping dan kekurangan. Meskipun penggunaan minyak esensial lavender secara topikal dinilai aman bagi orang dewasa, dalam beberapa kasus penggunaannya dapat menimbulkan iritasi. Dalam penggunaannya, diperlukan kehati-hatian agar tidak sampai tertelan oleh mulut karena bisa menyebabkan keracunan, sakit kepala, perubahan nafsu makan, dan konstipasi (National Center for Compementary and Alternative Madicine, 2009). 2.3.6 Cara Penggunaan Aromaterapi Lavender Minyak esensial yang murni tidak dapat langsung digunakan untuk keperluan aromaterapi secara topikal. Minyak esensial harus diencerkan terlebih dahulu dengan minyak basal (basal oil) agar diperoleh konsentrasi yang memadai dan tidak mengakibatkan sensitivitas pada organ tubuh penggunanya. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan aktif yang ada pada minyak esensial memiliki daya yang cukup kuat. Namun, penggunaan minyak esensial untuk aromaterapi inhalasi tidak perlu diencerkan terlebih dahulu dengan minyak basal karena minyak esensial tidak diaplikasikan langsung secara topikal (Jaelani, 2009). 30 Aromaterapi inhalasi dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung. Jika digunakan secara langsung, aromaterapi inhalasi dapat dimanfaatkan melalui dua cara, yaitu tissue atau gulungan kapas dan steam. Tissue atau gulungan kapas yang sudah diberikan satu sampai lima tetes minyak esensial (satu tetes minyak esensial setara dengan 0,1 ml) dihirup selama 20-30 menit. Cara kedua yaitu dapat diberikan dua sampai tujuh tetes minyak esensial dalam alat steam atau penguapan yang telah diisi air. Anjurkan pasien untuk menghirup selama 10-15 menit dan menutup mata atau melepaskan lensa kontak dan kacamata selama inhalasi (Buckle, 2003). Aromaterapi dapat pula diaplikasikan secara tidak langsung sebagai pengharum atau penyegar ruangan. Caranya adalah berikan satu sampai lima tetes minyak esensial ke dalam alat pemanas yang telah berisi air, kemudian letakkan di tempat yang aman atau sudut ruangan. Aromaterapi juga bisa ditambahkan sebanyak dua sampai lima tetes ke dalam vaporizer dengan 20 ml air agar dapat menghasilkan uap air yang mengandung wangi aromaterapi (Buckle, 2003). 2.4 Pengaruh Aromaterapi Lavender Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Hamil. Wewangian aromaterapi dapat mempengaruhi psikologis, daya ingat, dan emosi seseorang karena wewangian aromaterapi yang diterima melalui sistem penghidu dapat memperbaiki keseimbangan tubuh. Proses penghidu dimulai dengan proses penerimaan molekul yang terkandung dalam minyak esensial lavender (linalool asetat) oleh olfactory ephitelium (reseptor yang berisi dua puluh juta saraf). Setelah diterima oleh olfactory ephitelium, molekul akan 31 ditransmisikan sebagai suatu pesan ke pusat penghidu yang terletak di bagian belakang hidung. Pada tempat ini, berbagai sel neuron mengubah bau tersebut dan menghantarkannya ke susunan saraf pusat yang selanjutnya dihantarkan menuju sistem limbik otak (Buckle, 2003). Sistem limbik otak merupakan tempat penyimpanan memori, pengaturan suasana hati, emosi, senang, marah, kepribadian, orientasi seksual, dan tingkah laku. Pada sistem limbik, molekul bau akan dihantarkan menuju hipothalamus untuk diterjemahkan. Di hipothalamus, seluruh unsur pada minyak esensial merangsang hipothalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). Proses selanjutnya yaitu CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Buckle, 2003). Kandungan unsur-unsur terapeutik dari bahan aromatik tersebut akan memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem tubuh. Aroma yang terkandung dalam minyak esensial dapat menimbulkan rasa tenang akan merangsang daerah di otak untuk memulihkan daya ingat, mengurangi kecemasan, depresi dan stres. Dengan demikian, pemberian aromaterapi dapat menenangkan tubuh sehingga memberi kesempatan tubuh untuk beradaptasi dengan keadaan dan akhirnya dapat menormalkan seluruh fungsi tubuh yang terkait dengan kecemasan (Buckle, 2003). 32 Melalui inhalasi sebagian molekul aromatik akan masuk ke paru-paru. Molekul aromatik akan diserap oleh lapisan mukosa saluran pernapasan, baik pada bronkus maupun bronkiolus. Pada saat terjadi pertukaran gas di dalam alveoli, molekul tersebut akan diangkut oleh sistem sirkulasi darah di dalam paruparu. Pernafasan yang dalam akan meningkatkan jumlah bahan aromatik yang ada ke dalam tubuh. Bahan aromatik ini tidak bertahan selama-lamanya dalam tubuh, melainkan akan diekskresikan melalui kulit atau ginjal setelah mengikuti sirkulasi dalam tubuh (Buckle, 2003). Penelitian dari Anugerah (2011) tentang Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Pra Operasi di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember memperoleh hasil sebelum diberikan intervensi, sebagian besar mengalami kecemasan sedang (14 orang) dan ringan (17 orang). Setelah diberikan intervensi didapatkan sebagian besar responden tidak cemas (15 orang), cemas ringan (14 orang), cemas sedang (2 orang). Dengan demikian, aromaterapi lavender efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan.