7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kehamilan 2.1.1 Pengertian

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kehamilan
2.1.1
Pengertian Kehamilan
Kehamilan adalah dikandungnya janin hasil pembuahan sel telur oleh sel
sperma (Kushartanti, 2004). Proses kehamilan harus ada spermatozoa, ovum,
pembuahan ovum (konsepsi) dan nidasi hasil konsepsi (Winkjosastro, 2007).
Kehamilan merupakan suatu krisis maturitas yang dapat menimbulkan stres, tetapi
berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberi perawatan dan
mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seiring persiapannya untuk
menghadapi peran baru, wanita tersebut mengubah konsep dirinya agar siap
menjadi orang tua (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2004).
2.1.2
Perubahan Fisiologis Wanita Hamil
Hampir setiap tubuh wanita hamil mengalami perubahan baik pada organ
dan sistem organnya. Menurut Mochtar (2011) dan Bobak, Lowdermilk & Jensen
(2004) perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil antara lain:
(1) Sistem Reproduksi
Ukuran uterus membesar akibat dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos
rahim, berat uterus naik dari 30 gram menjadi 1000 gram, isthmus rahim
hipertrofi dan serviks uteri bertambah vaskularisasinya dan bertambah lunak.
Proses ovulasi berhenti, vagina dan vulva berwarna lebih merah atau
7
8
kebiruan. Pembesaran rahim menimbulkan peregangan dan menyebabkan
robeknya serabut elastin di bawah kulit sehingga timbul stirae gravidarum.
(2) Sistem Sirkulasi Darah
Volume darah total dan volume plasma darah naik pesat sejak akhir trimester
pertama. Gambaran protein darah berubah; jumlah protein, albumin dan gama
globulin menurun pada trimester pertama dan meningkat bertahap pada akhir
kehamilan. Pompa jantung akan meningkat setelah kehamilan tiga bulan dan
menurun lagi pada minggu-minggu terakhir kehamilan. Tekanan darah
cenderung turun pada trimester kedua dan akan naik lagi seperti pada prahamil. Nadi biasanya naik, nilai rata-ratanya 84 kali per menit.
(3) Sistem pernapasan
Adanya usus yang tertekan ke arah diafragma akibat pembesaran uterus, akan
menekan paru-paru sehingga wanita hamil akan cenderung mengeluh sesak
dan napas pendek. Kapasitas vital paru sedikit meningkat selama kehamilan.
(4) Sistem Pencernaan
Pada trimester pertama, muncul keluhan mual dan muntah. Salivasi
meningkat, tonus otot saluran pencernaan melemah sehingga motilitas usus
menurun dan makanan akan lebih lama berada dalam saluran makanan.
(5) Sistem Integumen
Pada daerah kulit tertentu, terdapat hiperpigmentasi jaringan seperti pada
muka, payudara (puting dan areola payudara), perut dan vulva.
9
(6) Metabolisme
Tingkat metabolik basal pada wanita hamil meningkat hingga 15-20%
terutama pada trimester akhir. Terjadi gangguan keseimbangan asam basa,
kebutuhan protein dan kalori meningkat. Wanita hamil sering merasa haus,
nafsu makan bertambah, sering buang air kecil dan kadang dijumpai
glukosuria, serta berat badan ibu hamil akan meningkat.
(7) Payudara
Selama kehamilan, payudara bertambah besar, tegang dan berat. Dapat terjadi
noduli-noduli akibat hipertrofi kelenjar alveoli; bayangan vena-vena lebih
membiru.
2.1.3
Perubahan Psikologis Wanita Hamil
Selain menimbulkan perubahan fisik, kehamilan juga menimbulkan
perubahan dan adaptasi psikologis bagi ibu hamil. Membesarnya janin dalam
kandungan mengakibatkan calon ibu letih, tidak nyaman, tidak dapat tidur
nyenyak, sering mendapat kesulitan bernapas dan beban fisik lainnya. Semua
pengalaman ini mengakibatkan timbulnya kecemasan, ketegangan, konflik batin
dan lain-lain. Selain itu, adanya resiko perdarahan, rasa sakit pada saat
melahirkan, bahaya kematian pada dirinya sendiri maupun bayi yang akan
dilahirkan juga menambah kecemasan dan ketakutan bagi ibu hamil (Lia, 2011).
Menurut Nirwana (2011) dan Hamilton (2004), perubahan psikologis yang
dialami ibu hamil berdasarkan usia kehamilan yaitu:
10
(1) Perubahan psikologis pada trimester pertama
Ibu membutuhkan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya pada
trimester awal kehamilan. Banyak ibu yang merasa kecewa, terjadi
penolakan, kecemasan dan kesedihan. Sering kali pada awal kehamilan
banyak ibu yang mengharapkan untuk tidak hamil. Hampir 80% wanita
menolak, gelisah, depresi dan murung. Sebanyak 15% ibu hamil mengalami
gangguan jiwa pada trimester pertama. Pada wanita hamil banyak mengalami
ketakutan dan fantasi selama kehamilan, khususnya tentang perubahan fisik
yang terjadi pada dirinya.
(2) Perubahan psikologis pada trimester kedua
Terdapat dua fase perubahan psikologis pada trimester kedua. Fase pertama
yaitu fase prequickening, dimana pada fase ini ibu menganalisis dan
mengevaluasi segala hubungan interpersonal yang telah terjadi. Proses ini
akan menjadi dasar bagaimana calon ibu mengembangkan hubungan dengan
anak yang akan dilahirkan. Proses yang terjadi pada pengevaluasian adalah
perubahan identitas dari penerima kasih sayang (dari ibunya) menjadi
pemberi kasih sayang (persiapan menjadi seorang ibu). Pada trimester kedua,
calon ibu sudah dapat menerima kehamilannya.
Fase kedua yaitu fase postquickening yaitu ibu hamil akan fokus pada
kehamilan dan persiapan untuk menyambut lahirnya bayi. Pergerakan yang
dirasakan dapat membantu ibu membangun konsep bahwa bayinya adalah
individu yang terpisah dengannya dan menyebabkan ibu terfokus pada
bayinya.
11
(3) Perubahan psikologis pada trimester ketiga
Pergerakan bayi akan semakin sering dirasakan oleh calon ibu pada trimester
ketiga. Perasaan tersebut menimbulkan kecemasan tersendiri bagi seorang ibu
seperti takut kalau sewaktu-waktu bayinya lahir, apakah bayinya akan terlahir
normal, dan hal-hal lain terkait kondisi bayinya. Seorang ibu juga akan
memikirkan tentang proses persalinan yang akan dialami dan bahaya fisik
yang akan timbul pada saat persalinan. Trimester ketiga inilah ibu
memerlukan ketenangan dan dukungan dari suami, keluarga serta tenaga
kesehatan. Penelitian dari Aprianawati (2007) tentang hubungan antara
dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan ibu primigravida menjelang
persalinan. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga dengan kecemasan ibu hamil, dimana
ibu hamil yang mendapat dukungan yang besar dari keluarganya, akan
mengalami kecemasan yang rendah dalam menghadapi persalinannya.
2.2 Kecemasan
2.2.1
Definisi Kecemasan/ Ansietas
Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak
menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan seharihari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat
diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek
yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk
mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara
12
keseimbangan hidup. Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap
harga diri atau identitas diri yang sangat mendasari bagi keberadaan individu
(Suliswati, dkk, 2005).
Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami
secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas
berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu
yang berbahaya. Ansietas merupakan respon emosional terhadap penilaian
tersebut (Stuart, 2007). Ciri-ciri ansietas adalah keprihatinan, kesulitan,
ketidakpastian, atau ketakutan yang terjadi akibat ancaman yang nyata atau
dirasakan; ansietas adalah respon subjektif terhadap stres (Isaacs, 2004).
2.2.2
Tingkat kecemasan
Menurut Stuart (2007), tingkatan ansietas dibagi menjadi:
(1) Ansietas Ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari
dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya. Ansietas ringan ini dapat memotivasi belajar serta menghasilkan
perkembangan kreativitas.
(2) Ansietas Sedang
Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
13
(3) Ansietas Berat
Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu hal yang terperinci dan spesifik
dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua prilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan
untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
(4) Tingkat Panik
Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan
teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan
kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian.
Dengan
panik,
terjadi
peningkatan
aktivitas
motorik,
menurunnya
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini
tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang
lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
RENTANG RESPON ANSIETAS
Respon adaptif
Antisipasi
Respon maladaptif
Ringan
Sedang
Gambar 1. Rentang Respon Ansietas
Sumber: Stuart, 2007
Berat
Panik
14
2.2.3
Mekanisme Terjadinya Kecemasan
Mekanisme cemas dimulai dari adanya faktor pemicu cemas (rangsangan).
Membesarnya janin dalam kandungan mengakibatkan calon ibu tidak nyaman,
tidak dapat tidur nyenyak dan sering mendapat kesulitan bernapas. Semua ini
mengakibatkan timbulnya kecemasan pada calon ibu. Selain itu, adanya resiko
perdarahan, rasa sakit pada saat melahirkan, bahaya kematian pada dirinya sendiri
maupun bayi yang akan dilahirkan juga menambah kecemasan dan ketakutan bagi
ibu hamil (Lia, 2011).
Rangsangan cemas akan mempengaruhi sistem limbik yaitu hipotalamus.
Hipotalamus anterior akan mengaktifkan sistem saraf simpatis sebagai reaksi
fisiologis pertama yang timbul saat cemas yang dikenal dengan respon fight or
flight. Saraf simpatis membawa serabut saraf vasokontriksor akan mengeluarkan
norepinefrin yang bekerja langsung di reseptor adrenegik alfa otot polos vaskuler
untuk vasokontriksi pembuluh darah. Pengaktifan sistem saraf simpatis
mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan arteri, aliran darah ke otot, kecepatan
metabolisme sel serta peningkatan proses glikolisis di hati dan otot menyebabkan
terjadinya peningkatan glukosa darah (Guyton & Hall, 2007).
Impuls simpatis dikirim ke medula adrenal pada waktu yang bersamaan
dengan dikirimnya impuls ke pembuluh darah. Impuls ini menyebabkan medula
menyekresi epinefrin dan norepinefrin ke dalam sirkulasi darah dan dialirkan ke
semua bagian tubuh (Guyton & Hall, 2007). Produksi epinefrin dan norepinefrin
menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, mendilatasi pupil,
meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung dan kontriksi pembuluh darah
15
kapiler, serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna
menyokong jantung, otot dan sistem saraf pusat. Dengan demikian, dari
mekanisme tersebut akhirnya timbul gejala seperti peningkatan frekuensi nadi dan
pernafasan, relaksasi otot polos pada kandung kemih, dilatasi pupil dan mulut
kering (Videbeck,2008).
2.2.4
Kecemasan Pada Ibu Hamil
Kondisi psikologis yang dialami ibu selama hamil, kemudian akan kembali
mempengaruhi aktivitas fisiologis. Kecemasan dapat mempengaruhi detak
jantung, tekanan darah, produksi adrenalin, aktivitas kelenjar keringat, sekresi
asam lambung, dan lain-lain. Tekanan psikologis juga dapat memunculkan gejala
fisik seperti letih, lesu, mudah marah, gelisah, pusing, susah tidur, mual atau
merasa malas (Erlina, 2007).
Berbagai keluhan dapat ditimbulkan oleh kecemasan. Keluhan tersebut
dapat berupa firasat buruk, mudah tersinggung, merasa tegang, takut sendirian,
takut pada keramaian dan banyak orang serta gangguan konsentrasi. Selain itu,
keluhan-keluhan somatik juga dapat timbul pada seseorang yang mengalami
kecemasan. Misalnya rasa sakit pada otot, tulang, pendengaran berdenging, dada
berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, dan
lain-lain (Hawari, 2004).
Kecemasan yang berlebihan juga dapat memberi dampak pada perilaku
ibu. Mencoba untuk menghilangkan kecemasan dengan merokok atau dengan
mengkonsumsi obat-obatan penenang akan dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan janin, menimbulkan perasaan takut melahirkan, dan juga
16
depresi (Sujiono&Nurani, 2008). Kecenderungan makan berlebihan untuk
mengatasi cemas dapat berdampak terhadap pertambahan berat badan yang
nantinya dapat menyulitkan persalinan. Namun sebaliknya, ibu hamil yang tidak
berselera makan dan tidak peduli pada janin akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan bayi dan kondisi mental bayi (Keswamas, 2008).
Suasana psikologis ibu yang tidak mendukung akan mempersulit proses
persalinan. Cemas yang berlebihan, khawatir dan takut tanpa sebab pada ibu
hamil, dapat memicu kondisi yang berujung pada stres. Kondisi stres inilah yang
mengakibatkan otot tubuh menegang, terutama otot-otot yang berada dijalan lahir
ikut menjadi kaku dan keras sehingga sulit mengembang. Emosi yang tidak stabil
juga akan membuat ibu merasakan sakit yang semakin hebat (Amalia, 2009). Ibu
hamil yang mengalami kecemasan selama kehamilan akan meningkatkan resiko
ketidak seimbangan emosional ibu setelah melahirkan. Cemas selama kehamilan
juga meningkatkan resiko keterlambatan perkembangan motorik dan mental janin,
serta dapat menyebabkan colic pada bayi baru lahir (Bakshi, 2008).
2.2.5
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pada Ibu Hamil
Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan
seseorang. Mapierre (1985) mengemukakan bahwa kecemasan berhubungan
dengan usia, tingkat pendidikan, dan dukungan keluarga termasuk dukungan
suami. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan usia hamil resiko tinggi karena dapat terjadi kelainan atau gangguan
pada janin, sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada ibu hamil tersebut
17
(Soelaeman, 2006). Beberapa faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu
hamil antara lain :
2.2.5.1 Faktor internal
1)
Status Kesehatan Ibu dan Bayi
Kondisi atau perkambangan janin sangat dipengaruhi oleh kesehatan
ibunya. Sementara itu, perubahan hormonal diawal kehamilan menyebabkan ibu
hamil mual, muntah, kelelahan dan merasa kurang sehat (Pusdiknakes, 2003).
Kondisi tersebut membuat ibu merasa cemas akan kondisi bayi dalam
kandungannya. Mual dan kelelahan yang disertai peningkatan kecemasan akan
semakin memperburuk kondisi ibu dan janin yang dikandungnya.
2)
Faktor Pendidikan
Hasil riset yang dilakukan oleh Stuart&Sundeen pada tahun 1995
menyatakan bahwa responden yang berpendidikan tinggi lebih mampu
menggunakan pemahaman mereka dalam merespon berbagai perubahan kondisi
kesahatan secara adaptif dibandingkan kelompok responden yang berpendidikan
rendah. Kondisi ini menunjukkan respon kecemasan berat cenderung dapat
ditemukan pada responden yang berpendidikan rendah karena rendahnya
pemahaman mereka terhadap kondisi kesehatan.
3)
Faktor Usia
Usia Ibu hamil dispesifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu: kurang dari
20 tahun (tergolong muda), 20-30 tahun (tergolong menengah), dan lebih dari 30
tahun (tergolong tua). Umur yang lebih muda, lebih mudah mengalami stress
dibandingkan dengan umur yang lebih tua (Prawirohardjo, 2008).
18
2.2.5.2 Faktor eksternal
1)
Dukungan
Semakin baik dukungan yang diberikan maka kecemasan akan semakin
ringan. Keluarga maupun tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan kepada
ibu sejak hamil sampai melahirkan. Hal tersebut akan memotivasi dan
menumbuhkan rasa percaya diri ibu untuk mengurangi kecemasan (bobak,
lowdermil, & jensen, 2005). Menurut Carpenito (2006) dukungan suami akan
meningkatkan
kesejahtraan
psikologis
(psychologocal
well
being)
dan
kemampuan penyesuian diri melalui perasaan memiliki, peningkatan harga diri
dan pencegahan psikologis.
2) Lingkungan
Lingkungan menjadi faktor penentu kecemasan ibu hamil. Lingkungan
yang dimaksud adalah budaya yang mendukung kehamilan akan memberikan
pengaruh positif terhadap kecemasan (bobak, lowdermil, & jensen, 2005).
3) Pendidikan kesehatan
Menurut Steward (2006) pendidikan kesehatan atau edukasi adalah
unsur program kesehatan dan kedokteran yang di dalamnya terkandung rencana
untuk mengubah perilaku perseorangan dan masyarakat. Pada sasaran individu
dan keluarga, perawat dapat menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan
demonstrasi. Sedangkan pada sasaran kelompok dan masyarakat, perawat
dapat juga menggunakan metode ceramah, diskusi kelompok, demonstrasi, role
play ,film, dan interview (Achjar, 2009).
19
2.2.6
Gejala kecemasan pada Ibu Hamil
Menurut Blackburn (2000), gejala-gejala kecemasan pada ibu hamil
meliputi tiga aspek, yaitu:
1) Gejala fisik
Meliputi telapak tangan basah, tekanan darah meninggi, badan gemetar,
denyut jantung meningkat dan keluarnya keringat dingin. Perubahan fisik yag
terjadi pada ibu hamil contohnya muncul jerawat, varises, noda juga dapat
menimbulkan kecemasan. Perubahan lainnya yang terjadi ketika hamil adalah
mudah lelah, badan terasa tidak nyaman, tidak bisa tidur nyenyak, sering sulit
bernafas, dan lain-lain. Perubahan – perubahan tersebut berbeda – beda
intensitasnya pada masing – masing ibu hamil (Blackburn, 2000).
2) Gejala psikologis
Kecemasan merupakan reaksi psikologis yang wajar pada ibu hamil, jika
ibu hamil dapat mengatasi kecemasannya maka ia akan dapat menikmati tahapan
kehamilannya dengan lebih nyaman dan tenang. Secara psikologis, kecemasan
dapat meningkatkan kerja dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon
tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, muncullah perangsangan pada organ
– organ, seperti lambung, jantung, pembuluh darah maupun fisiologis tubuh
lainnya. Kecemasan yang ditimbulkan secara psikologis juga dikarenakan
ketidakmampuan individu dalam mengidentifikasi ancaman yang datang sehingga
muncul gelaja – gejala seperti marah – marah, takut, perasaan tidak tentu, serta
ketidakmampuan mengendalikan pikiran buruk. Ada dua hal yang menyebabkan
kecemasan pada ibu hamil yaitu perasaan takut dan penolakan ibu terhadap
20
kehamilannya. Perasaan takut yang dirasakan oleh ibu hamil lebih didasarkan
pada perubahan besar yang terjadi pada tubuhnya. Penolakan ibu terhadap
kehamilannya lebih didasarkan pada calon ibu tersebut tidak menikah atau karena
kesulitan ekonomi sehingga dengan hadirnya anak dapat memberatkan ekonomi
keluarga (Sastrawinata, 2003)
3) Gejala Sosial
Kecemasan dalam ruang lingkup sosial dapat dilihat dari situasi, kondisi
dan obyek tertentu misalnya individu cemas ketika memperlihatkan diri di depan
umum. Keadaan ini terutama terjadi pada individu yang pemalu, penakut, merasa
tidak tentram, dan cemas bila berkumpul dengan orang-orang yang masih asing
dengannya. Pada ibu hamil biasanya kepercayaan tradisional yang dianut dalam
suatu daerah akan berpengaruh terhadap pola pikirnya sehingga akan
menimbulkan kecemasan tersendiri. Sikap yang kurang menyenangkan di pihak
orang-orang yang berarti, sikap yang kurang menyenangkan dari lingkungan juga
menimbulkan efek yang mendalam bagi kondisi mental ibu hamil. Misalnya orang
tua
yang tidak menghendaki kelahiran karena takut mengganggu program
pendidikan dan pekerjaan (Blackburn, 2000).
Hasil studi tentang psikologi kehamilan membuktikan bahwa fenomena
kecemasan yang berhubungan dengan kehamilan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang merupakan beban ekstra yang dapat berasal dari dalam tubuh sendiri
maupun dari kejadian diluar tubuh. (Notosoedirjo, 1996) mengatakan bahwa
apabila ibu hamil tidak mampu beradaptasi dengan beban ekstra tersebut, akan
mengalami kecemasan.
21
2.2.7
Skala Pengukuran Tingkat Kecemasan
Derajat kecemasan seseorang dapat diketahui dengan menggunakan alat
ukur (instrumen) kecemasan. Saat ini, terdapat beberapa instrumen kecemasan
yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya, misalnya Hamilton Rating Scale for
Anxiety (HRS-A), Depression Anxiety and Stress Scales (DASS), dan Beck
Anxiety Inventory (BAI).
BAI merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kecemasan dan terdiri atas 21 pertanyaan. Setiap pertanyaan pada BAI merupakan
deskripsi singkat dari gejala kecemasan yaitu gejala subjektif, gejala
neurofisiologi, gejala autonom, dan gejala yang berhubungan dengan panik.
Responden diminta menjawab 21 pertanyaan dengan pilihan jawaban; tidak
pernah dialami diberi skor nol, gejala ringan (mengalami gejala tetapi tidak
merasa terganggu) diberi skor satu, gejala sedang (mengalami gejala dan cukup
merasa terganggu) diberi skor dua, gejala berat (sangat terganggu dengan gejala
yang dialami) diberi skor tiga. Skor tersebut kemudian dijumlahkan dan
diinterpretasikan. Skor nol sampai tujuh dikategorikan tidak cemas, skor delapan
sampai 15 dikategorikan cemas ringan, skor 16 sampai 25 dikategorikan cemas
sedang, skor 26 sampai 63 dikategorikan cemas berat (Leyfer, et al, 2006).
Peneliti akan menggunakan BAI sebagai instrumen dalam penelitian yang
akan dilakukan. BAI dipilih karena BAI dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kecemasan pada remaja sampai dengan lansia, mengandung deskripsi singkat
mengenai gejala kecemasan yang dialami seseorang sehingga pengukurannya
22
dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu yang relatif singkat (10-15
menit) (Leyfer, et al, 2006).
2.2.8
Upaya Menurunkan Kecemasan
Tujuan dari menurunkan tingkat kecemasan adalah untuk menimbulkan
suasana rileks sehingga dampak dari kecemasan dapat berkurang. Terdapat
berbagai macam cara yang digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan.
Secara umum, dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non
farmakologis.
Terapi
farmakologis
merupakan
terapi
yang
diberikan
dengan
menggunakan obat-obatan. Adapun golongan obat-obatan yang dapat digunakan
untuk menurunkan kecemasan yaitu golongan benzodiazepin (diazepam,
chlordiazepoxide, lorazepam, clobazam, bromazepam, oxazolam, clorazepate,
alprazolam, prazepam), golongan non-benzodiazepin (sulpiride, buspirone,
hydroxine), golongan trisiklik, golongan monoamin oksidase inhibitor serta
golongan Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (Deglin, 2005).
Penggunaan obat-obatan selama kehamilan memerlukan suatu kehatihatian. Tidak semua obat bisa diminum untuk ibu hamil, karena terdapat beberapa
obat yang dapat mempengaruhi kondisi janin di dalam kandungan. Pemilihan
dosis dan waktu yang tepat untuk meminum juga perlu diperhatikan khususnya
bagi ibu hamil. Penggunaan obat-obatan juga tidak bisa diberikan secara terus
menerus untuk mencegah ketergantungan terhadap obat tersebut (Michael, 2007).
Terapi non farmakologis merupakan terapi tanpa menggunakan obatobatan yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan. Beberapa
23
jenis terapi non farmakologis yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat
kecemasan adalah art therapy, terapi hewan peliharaan, konseling, distraksi,
aromaterapi, hipnotis, terapi musik, meditasi dan relaksasi.
Penggunaan terapi non farmakologis merupakan salah satu tugas dari
perawat untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien. Terapi non farmakologis
memberikan pengaruh yang baik untuk menurunkan tingkat kecemasan dan
memiliki efek samping yang sedikit bagi pasien. Selain itu, perawat dapat
mengajarkan terapi non farmakologis kepada pasien dan keluarganya. Peneliti
menggunakan aromaterapi pada penelitian ini karena penggunaannya lebih mudah
sehingga nantinya responden dapat melakukan terapi ini secara mandiri di rumah
(Dochterman & Bulecheck, 2004).
2.3 Aromaterapi
2.3.1
Definisi Aromaterapi dan Minyak Esensial
Aromaterapi merupakan salah satu bagian dari Complementary and
Alternative Madicine (CAM) yang dapat digunakan dalam perawatan berbagai
macam penyakit karena memiliki beberapa efek farmakologis, seperti efek
antimikrobial, sedatif, analgesik, spasmolitik, dan lain-lainnya (Bascom, 2002).
Aromaterapi didefinisikan sebagai terapi yang menggunakan minyak esensial
untuk memperbaiki atau menjaga kesehatan, membangkitkan semangat,
menyegarkan serta membangkitkan jiwa dan raga (Tzu, 2010).
Minyak esensial merupakan bahan baku utama untuk aromaterapi dan
dapat diperoleh dengan cara ekstraksi atau pencarian dari saripati organ tanaman,
24
seperti bunga, akar, biji, getah dan daun. Pada dasarnya minyak esensial tidak
berwarna (terutama jika baru diekstraksi), akan tetapi setelah penyimpanan
warnanya akan bertambah tua karena proses oksidasi dan resinifikasi. Proses
oksidasi merupakan penyebab kerusakan minyak akibat pengaruh cahaya dan
udara atau pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, sehingga menimbulkan
aroma yang tidak diinginkan serta menurunkan kelarutan minyak dalam alkohol.
Resinifikasi merupakan penyebab kerusakan minyak akibat pengaruh suhu tinggi
selama proses penyulingan. Oleh sebab itu, penyimpanan minyak esensial yang
tepat adalah dalam wadah berbahan dasar kaca gelap untuk melindungi minyak
esensial dari proses oksidasi dan resinifikasi (Suhirman, 2009).
Walaupun berbentuk minyak, cairan ini bukan tergolong minyak biasa
yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh
minyak esensial memiliki sifat yang berbeda dengan minyak pada umumnya.
Minyak esensial akan mudah muncul dan menguap ketika suatu tanaman terkena
panas matahari. Selain itu, butir-butir dari tetesan minyaknya senantiasa bergerak
dalam jaringan tanaman, yaitu dengan susunan kimia yang selalu berubah dari
waktu ke waktu. Minyak esensial juga memiliki aroma khas dan spesifik antara
satu tanaman dengan tanaman lainnya sehingga sering disebut minyak aromatis
(Jaelani, 2009).
Minyak esensial selain memiliki sifat-sifat tersebut, minyak esensial juga
memiliki fungsi penting sebagai benteng atau penunjang sistem kekebalan bagi
tanaman. Saat tanaman mengalami luka fisik atau karena pengaruh lingkungan
yang buruk (suhu terlampau dingin, panas, kering, basah, dehidrasi) minyak ini
25
dengan cepat menerobos ke dalam dinding sel-sel tanaman (epidermis) untuk
menyembuhkan atau menjaga keseimbangan suhunya. Setelah memperbaiki dan
menjaga keadaan tersebut, minyak esensial akan kembali ke bagian terluar dari
dinding sel organ tanaman (Jaelani, 2009).
2.3.2
Efektivitas Minyak Esensial dalam Dunia Kesehatan
Minyak esensial memiliki peran yang sangat penting bagi pengembangan
kesehatan saat ini, yaitu sebagai sumber obat-obatan alami karena di dalam
minyak esensial terdapat kandungan kimia yang memiliki efek yang cepat dalam
membantu penyembuhan penyakit. Adapun efektivitas kandungan kimia dalam
minyak esensial tersebut, antara lain:
(1) Butiran molekulnya yang sangat kecil dengan mudah dapat diserap oleh
jaringan tubuh yang dibawa melalui aliran darah sehingga akan lebih mudah
mencapai sasaran lokasi yang akan diobati.
(2) Minyak esensial juga memiliki sifat mudah larut dalam lemak sehingga
mudah terserap ke dalam lapisan kulit bila dioleskan atau digosokkan.
(3) Minyak esensial mampu meredakan ketegangan pada otot-otot yang sedang
mengalami kelelahan akibat aktivitas yang berlebihan.
(4) Minyak esensial juga dapat mempengaruhi impuls dan refleks saraf yang
diterima oleh ujung-ujung reseptor pada lapisan terluar dari kulit (epidermis).
Selain itu, minyak ini dapat mempengaruhi aktivitas fungsi kerja otak melalui
sistem saraf yang berhubungan dengan indra penciuman. Respon ini akan
merangsang peningkatan aktivitas neurotransmitter, yaitu berkaitan dengan
26
pemulihan kondisi psikologis (seperti emosi, perasaan, pikiran dan
keinginan).
(5) Efek medis minyak esensial juga dapat membantu produksi prostaglandin
yang berperan penting dalam meregulasi tekanan darah, pengendalian rasa
sakit, serta keseimbangan hormonal (Jaelani, 2009).
2.3.3
Metode Pemanfaatan Minyak Esensial
Penggunaan minyak esensial murni yang dapat memberikan manfaat untuk
seorang individu dikenal dengan istilah aromaterapi. Aromaterapi dapat
memberikan efek terapi baik secara fisik maupun psikologis dan dapat
dimanfaatkan melalui beberapa cara, antara lain:
(1) Pemakaian topikal, yaitu minyak esensial yang diaplikasikan langsung pada
kulit bagian luar, melalui sentuhan (dengan dioleskan atau dipijat), melalui
kompres dan berendam dalam bak mandi. Pada pemakaian topikal ini,
minyak esensial akan diabsorpsi melalui kulit
(2) Pemakaian oral atau internal, yaitu minyak esensial yang diaplikasikan
langsung pada mukosa kulit melalui mouthwash (obat kumur) dan pessaries
atau supositoria. Melalui supositoria pemakaian minyak esensial lebih
ditujukan untuk sindrom gangguan saluran cerna (irritable bowel syndrome),
hemorhoid, infeksi vagina dan jamur (candida).
(3) Pemakaian inhalasi, yaitu cara yang paling cepat dan efektif untuk terapi
masalah psikologis dan merupakan cara pemakaian yang paling umum. Bau
yang dihirup oleh individu akan berikatan dengan gugus steroid dalam
27
kelenjar keringat disebut osmon, yang berpotensi sebagai penenang kimia
alami (Buckle, 2003).
2.3.4
Kontraindikasi Penggunaan Minyak Esensial
Minyak esensial murni memiliki efek yang sangat kuat, terutama jika
dilihat dari segi aromanya. Beberapa minyak esensial dapat memiliki efek toksik
seperti dapat membuat kulit iritasi jika tidak diaplikasikan dengan benar. Dalam
beberapa kondisi, minyak esensial tidak dapat digunakan karena dapat
memperburuk kondisi seseorang yang menggunakannya. Oleh sebab itu,
penggunaan minyak esensial perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan petugas
kesehatan (Bharkatiya et al, 2008).
Kondisi-kondisi yang dapat menjadi kontraindikasi dalam pemakaian
minyak esensial yaitu seseorang yang mengalami demam, influenza, migren,
epilepsi, luka atau infeksi pada kulit, gangguan atau disfungsi pada sistem saraf,
alergi dan penyakit kulit lainnya. Ibu hamil, bayi dan anak-anak dapat
menggunakan minyak esensial sebagai terapi komplementer, akan tetapi
diperlukan
kehati-hatian
dalam
penggunaannya
karena
dikhawatirkan
memberikan efek samping yang cukup fatal (Bharkatiya et al, 2008).
2.3.5
Minyak Esensial Lavender (Lavendula angustifolia)
Sampai saat ini sudah ditemukan sekitar 32 jenis minyak esensial yang
digunakan sebagai aromaterapi untuk memperbaiki atau meningkatkan fungsi
organ tubuh. Setiap jenis minyak esensial memiliki khasiat yang berbeda dengan
jenis minyak lainnya. Lavender dengan rosemary merupakan jenis minyak
28
esensial yang sering digunakan oleh peneliti dalam bidang kesehatan, khususnya
keperawatan (Tzu, 2010).
Nama Lavender berasal dari Bahasa Latin lavare yang artinya to wash
(mencuci). Bunga ini pertama kali ditemukan di daerah mediterranian dan
merupakan salah satu tanaman yang termasuk ke dalam family Labiate (National
Center for Complementary and Alternative Madicine, 2009). Pada jaman dahulu,
minyak esensial lavender digunakan oleh bangsa Romawi dan penduduk di
dataran Eropa dalam proses pembuatan mummi (pengawetan mayat). Selain itu,
minyak esensial ini juga dimanfaatkan sebagai, parfum dan obat-obatan untuk
mengatasi insomnia. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, minyak
esensial lavender semakin banyak digunakan karena memiliki pengaruh positif
untuk sistem saraf pusat (Balkam, 2004).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prima (2011) menyebutkan bahwa
dalam 100 gram bunga lavender terdiri atas beberapa kandungan, seperti minyak
esensial (1-3%), alpha-pinene (0,22%), camphene (0,06%), beta-myrcene
(5,33%), p-cymene (0,3%), limonene (1,06%), cineol (0,51%), linalool (26,12%),
borneol (1,21%), terpinen-4-ol (4,64%), linalyl acetate (26,32%), geranyl acetate
(2,14%) dan caryophyllene (7,55%). Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan
bahwa kandungan utama bunga lavender adalah linalyl asetat dan linalool.
Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa minyak esensial ini
memiliki efek sedative, anxiolytic, dan mood modulator. Kondisi ini disebabkan
oleh adanya linalool asetat sebagai komposisi utama yang terkandung dalam
minyak esensial lavender. Linalool asetat dinilai mampu mengendurkan dan
29
melemaskan sistem kerja saraf dan otot-otot yang tegang dengan cara menurunkan
kerja dari sistem saraf simpatis saat seseorang mengalami kecemasan (Rahayu
dkk, 2007). Efek linalool asetat juga mempengaruhi sistem neuroendokrin tubuh
melalui sistem limbik yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pelepasan
hormon dan neurotransmitter yang dapat meningkatkan rasa nyaman, seperti
enkhephalin dan endorphin (Buckle, 2003).
Walaupun minyak esensial lavender memiliki banyak kegunaan, bukan
berarti minyak ini tidak memiliki efek samping dan kekurangan. Meskipun
penggunaan minyak esensial lavender secara topikal dinilai aman bagi orang
dewasa, dalam beberapa kasus penggunaannya dapat menimbulkan iritasi. Dalam
penggunaannya, diperlukan kehati-hatian agar tidak sampai tertelan oleh mulut
karena bisa menyebabkan keracunan, sakit kepala, perubahan nafsu makan, dan
konstipasi (National Center for Compementary and Alternative Madicine, 2009).
2.3.6
Cara Penggunaan Aromaterapi Lavender
Minyak esensial yang murni tidak dapat langsung digunakan untuk
keperluan aromaterapi secara topikal. Minyak esensial harus diencerkan terlebih
dahulu dengan minyak basal (basal oil) agar diperoleh konsentrasi yang memadai
dan tidak mengakibatkan sensitivitas pada organ tubuh penggunanya. Hal ini
disebabkan oleh kandungan bahan aktif yang ada pada minyak esensial memiliki
daya yang cukup kuat. Namun, penggunaan minyak esensial untuk aromaterapi
inhalasi tidak perlu diencerkan terlebih dahulu dengan minyak basal karena
minyak esensial tidak diaplikasikan langsung secara topikal (Jaelani, 2009).
30
Aromaterapi inhalasi dapat digunakan secara langsung maupun tidak
langsung.
Jika
digunakan
secara
langsung,
aromaterapi
inhalasi
dapat
dimanfaatkan melalui dua cara, yaitu tissue atau gulungan kapas dan steam.
Tissue atau gulungan kapas yang sudah diberikan satu sampai lima tetes minyak
esensial (satu tetes minyak esensial setara dengan 0,1 ml) dihirup selama 20-30
menit. Cara kedua yaitu dapat diberikan dua sampai tujuh tetes minyak esensial
dalam alat steam atau penguapan yang telah diisi air. Anjurkan pasien untuk
menghirup selama 10-15 menit dan menutup mata atau melepaskan lensa kontak
dan kacamata selama inhalasi (Buckle, 2003).
Aromaterapi dapat pula diaplikasikan secara tidak langsung sebagai
pengharum atau penyegar ruangan. Caranya adalah berikan satu sampai lima tetes
minyak esensial ke dalam alat pemanas yang telah berisi air, kemudian letakkan di
tempat yang aman atau sudut ruangan. Aromaterapi juga bisa ditambahkan
sebanyak dua sampai lima tetes ke dalam vaporizer dengan 20 ml air agar dapat
menghasilkan uap air yang mengandung wangi aromaterapi (Buckle, 2003).
2.4 Pengaruh Aromaterapi Lavender Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu
Hamil.
Wewangian aromaterapi dapat mempengaruhi psikologis, daya ingat, dan
emosi seseorang karena wewangian aromaterapi yang diterima melalui sistem
penghidu dapat memperbaiki keseimbangan tubuh. Proses penghidu dimulai
dengan proses penerimaan molekul yang terkandung dalam minyak esensial
lavender (linalool asetat) oleh olfactory ephitelium (reseptor yang berisi dua
puluh juta saraf). Setelah diterima oleh olfactory ephitelium, molekul akan
31
ditransmisikan sebagai suatu pesan ke pusat penghidu yang terletak di bagian
belakang hidung. Pada tempat ini, berbagai sel neuron mengubah bau tersebut dan
menghantarkannya ke susunan saraf pusat yang selanjutnya dihantarkan menuju
sistem limbik otak (Buckle, 2003).
Sistem limbik otak merupakan tempat penyimpanan memori, pengaturan
suasana hati, emosi, senang, marah, kepribadian, orientasi seksual, dan tingkah
laku. Pada sistem limbik, molekul bau akan dihantarkan menuju hipothalamus
untuk diterjemahkan. Di hipothalamus, seluruh unsur pada minyak esensial
merangsang hipothalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor
(CRF). Proses selanjutnya yaitu CRF merangsang kelenjar pituitary untuk
meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi
enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan
endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi
rileks (Buckle, 2003).
Kandungan unsur-unsur terapeutik dari bahan aromatik tersebut akan
memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem tubuh. Aroma yang
terkandung dalam minyak esensial dapat menimbulkan rasa tenang akan
merangsang daerah di otak untuk memulihkan daya ingat, mengurangi
kecemasan, depresi dan stres. Dengan demikian, pemberian aromaterapi dapat
menenangkan tubuh sehingga memberi kesempatan tubuh untuk beradaptasi
dengan keadaan dan akhirnya dapat menormalkan seluruh fungsi tubuh yang
terkait dengan kecemasan (Buckle, 2003).
32
Melalui inhalasi sebagian molekul aromatik akan masuk ke paru-paru.
Molekul aromatik akan diserap oleh lapisan mukosa saluran pernapasan, baik
pada bronkus maupun bronkiolus. Pada saat terjadi pertukaran gas di dalam
alveoli, molekul tersebut akan diangkut oleh sistem sirkulasi darah di dalam paruparu. Pernafasan yang dalam akan meningkatkan jumlah bahan aromatik yang ada
ke dalam tubuh. Bahan aromatik ini tidak bertahan selama-lamanya dalam tubuh,
melainkan akan diekskresikan melalui kulit atau ginjal setelah mengikuti sirkulasi
dalam tubuh (Buckle, 2003).
Penelitian dari Anugerah (2011) tentang Pengaruh Pemberian Aromaterapi
Lavender Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Pra Operasi di Rumah Sakit
Daerah dr. Soebandi Jember memperoleh hasil sebelum diberikan intervensi,
sebagian besar mengalami kecemasan sedang (14 orang) dan ringan (17 orang).
Setelah diberikan intervensi didapatkan sebagian besar responden tidak cemas (15
orang), cemas ringan (14 orang), cemas sedang (2 orang). Dengan demikian,
aromaterapi lavender efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan.
Download