I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Foam polistirena merupakan plastik yang terdiri dari monomer-monomer stirena yang berbahan dasar minyak bumi. Sebagian besar masyarakat lebih mengenal foam polistirena sebagai styrofoam yang merupakan nama dagang produk yang diproduksi oleh Dow Chemical Company. Sejarah penemuan styrofoam berawal dari penemuan polistirena pada tahun 1838. Eduard Simon menemukan polistirena dengan cara mengisolasi suatu bahan dari resin alami. Berangkat dari penemuan tersebut, Ray McIntire mencampurkan stirena dengan isobutylene dengan tekanan tinggi. Hasil percobaan tersebut menghasilkan material yang lebih kuat dan 30 kali lebih ringan daripada polistirena. Material tersebut diperkenalkan sebagai styrofoam pada tahun 1954 (Mary Bellis 2011). Styrofoam memiliki karakteristik yang ringan, mudah dibentuk, mampu mempertahankan panas maupun dingin, dan biaya produksi yang murah, sehingga menyebabkan styrofoam banyak digunakan sebagai kemasan baik makanan maupun barang elektronik. Namun, penggunaan styrofoam berdampak negatif bagi lingkungan karena styrofoam sulit untuk didegradasi dan dapat bertahan di alam selama ribuan tahun. Dalam Polystyrene Fact Sheets yang dirilis TheWayToGo pada tahun 2008, U.S. Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1986 menyatakan bahwa foam polistirena merupakan penghasil nomor lima sampah yang paling berbahaya di Amerika Serikat. Pembuatan foam polistirena yang menggunakan HCFC-22 ternyata juga menimbulkan masalah karena HCFC-22 merupakan gas rumah kaca dan membahayakan lapisan ozon. Paparan styrofoam terhadap makanan berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan. Kemasan makanan yang terbuat dari polistirena berpotensi melepaskan stirena saat terpapar dengan suhu tinggi, alkohol, minyak dan asam. Green (2007) dalam laporannya yang berjudul Styrofoam – The Silent Killer menyatakan bahwa paparan stirena dapat menyebabkan gangguan hormonal yang dapat mengakibatkan gangguan tyroid, menstruasi yang tidak teratur bahkan kanker payudara dan kelenjar prostat. Stirena juga dikaitkan dengan peningkatan tingkat kerusakan kromosom dan fungsi abnormal paru-paru pada para buruh yang bekerja pada pabrik polistirena. Benzena yang merupakan bagian dari polistirena foam juga diketahui bersifat karsinogenik yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu styrofoam dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia (Dinas Kesehatan Surabaya 2009). Mengingat luasnya penggunaan styrofoam dan besarnya dampak negatif dari penggunaanya maka diperlukan bahan subtitusi untuk menggantikannya. Penggunaan material pengemas yang berbahan baku sumber daya pertanian dan kehutanan dapat menjadi solusi atas permasalahan ini. Salah satu hasil modifikasi kimia bahan alami yang mempunyai prospek untuk dikembangkan lebih lanjut adalah pati. Pati merupakan homoplimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua bagian utama yaitu amilosa dan amilopektin. Pati yang mengandung air dapat mengembang sampai pada volume tertentu. Sifat inilah yang dimanfaatkan untuk membuat produk substitusi expanded polystyrene. Penggunaan pati sebagai bahan pengemas memiliki kelebihan yaitu tidak menimbulkan bahaya kesehatan dan ramah terhadap lingkungan karena setelah dibuang produk tersebut akan terurai oleh alam. 1 Bahan berpati yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah jagung dan ubi kayu karena ketersediaannya yang begitu besar. Produksi jagung nasional pada tahun 2009 mencapai tingkat produksi 16,3 juta ton per tahun (Hadi dan Elly 2009). Pada tahun 2014, tingkat produksi jagung nasional diprediksi mampu mencapai 31,3 juta ton per tahun. Peningkatan ini berakibat pada meningkatnya hasil samping industri penggilingan jagung yang disebut sebagai ampok. Ampok jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodegradable foam karena memiliki kadar pati yang cukup tinggi dan kadar serat sebesar 25% (Sharma et al. 2007). Penggunaan ampok sebagai bahan pembuatan foam sangat tepat karena tidak akan berdampak pada sektor pangan. Seperti halnya jagung, ketersediaan ubi kayu di Indonesia juga tidak kalah melimpah. Produksi ubi kayu nasional pada tahun 2010 yang lalu mencapai 21,59 juta ton dan menempatkan Indonesia sebagai negara produsen tapioka keempat terbesar di dunia setelah Nigeria, Brazil, dan Thailand (Sucipto 2010). Penelitian mengenai pembuatan biodegradable foam yang berbahan dasar pati telah dimulai beberapa tahun yang lalu. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zhou et al. (2007) memperlihatkan bahwa tepung gandum dan pati dapat diolah menjadi biodegradable foam dengan mutu yang baik. Sebelumnya pada tahun 1998, Lye et al. telah meneliti pembuatan biodegradable foam melalui ekstrusi pati jagung yang menunjukkan bahwa biodegradable foam yang dihasilkan memiliki daya bantalan yang cukup baik. Pemilihan bahan yang tepat diperlukan untuk memperbaiki karakteristik biodegradable foam yang akan dihasilkan. Penggunaan tapioka pada penelitian terutama dimaksudkan sebagai penyedia pati sebagai bahan dasar biodegradable foam, sedangkan penggunaan ampok dimaksudkan untuk memperbaiki kekuatan foam yang terbentuk karena kandungan seratnya. Pada penelitian yang dilakukan Shogren (2002) terbukti bahwa penambahan serat dapat meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas foam yang terbentuk. Foam berbahan dasar pati cenderung rapuh dan mudah rusak. Penelitian yang dikerjakan Andersen dan Hodson (1998) menunjukkan bahwa polivinil alkohol (PVOH) dapat digunakan untuk meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan foam. Oleh karena itu, pada penelitian ini ditambahkan PVOH sebanyak 10% untuk meningkatkan ketahanan foam. Bahan pemlastis yang digunakan pada penelitian ini adalah air yang terbukti dapat menurunkan titik transisi gelas. Pada tahun 2005, Zhou menunjukkan bahwa tepung gandum dan pelet pati yang telah diekstrusi dapat berkembang secara bebas (tanpa cetakan) dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro (microwave). Penambahan NaCl dapat meningkatkan penyerapan energi dalam proses pemanasan tersebut (Zhou 2007). Berdasarkan hal tersebut hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan PVOH dan perbedaan rasio tapioka dan ampok pada proses pembuatan biodegradable foam dengan metode microwave assisted moulding (MAM). 1.2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan polivinil alkohol dan perbedaan komposisi ampok jagung : tapioka terhadap karakter fisik biodegradable foam yang dihasilkan 2