Membincang Ritual Islam di Bulan Ramadhan - 05-29-2017

advertisement
Membincang Ritual Islam di Bulan Ramadhan - 05-29-2017
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Membincang Ritual Islam di Bulan Ramadhan
Monday, May 29, 2017
https://www.itsme.id/membincang-ritual-islam-di-bulan-ramadhan/
iT’s me - Barangkali tak ada aspek paling sentral dalam Islam tapi sekaligus tidak mendapatkan perhatian
serius dalam diskusi kesarjanaan melebihi soal ritual. Biasanya masalah ritual dibicarakan dalam
kerangka kesalehan dan spiritualitas, bukan perbincangan intelektual.
Kata “ritual” sulit dicarikan padanannya dalam kosakata Islam. Terma “ibadah” terlalu luas karena bisa
mencakup apa saja. Kata Arab paling dekat dengan makna “ritual” ialah manasik, tapi kata yang terakhir
ini seringkali digunakan khusus untuk ritual haji.
Ritual merupakan bentuk ibadah tertentu yang terdiri dari gerakan dan bacaan dengan syarat dan
ketentuan khusus, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji. Ditambah dengan syahadah, ritual keagamaan
tersebut menjadi rukun Islam, lima pilar bangunan agama yang dianut lebih dari 1,6 miliar umat manusia.
Sebagai ritual, praktik ibadah di atas dilakukan secara berulang-ulang.
Penekanan pada aspek ritual ini juga membedakan Islam dari agama lain, seperti Kristen. Identitas
keagamaan Kristen lebih berpusat pada penerimaan atas keimanan dan dogma tertentu. Tentu ini tidak
berarti Kristen tidak memiliki elemen ritual, sebagaimana juga tidak berarti Islam tidak punya klaim
teologis tertentu. Namun demikian, penekanannya pada keimanan menjadikan Kristen kerap dikaitkan
dengan ortodoksi (pandangan yang benar), sementara Islam dengan ortopraksi (praktik yang benar).
Selama bulan Ramadhan ini saya akan merefleksikan aspek-aspek ritual dalam Islam, mulai dari soal
syahadah, salat, puasa, dan zakat (mungkin ibadah haji didiskusikan pada bulan Dzul Hijjah nanti).
Tulisan kali ini dimaksudkan sebagai pengantar. Saya tertarik pada aspek sejarah dan hal-hal yang
menjadi perhatian kesarjanaan modern. Jadi, jangan berharap Anda akan mendapatkan petunjuk praktis
bagaimana agar lebih rajin dan khusyuk beribadah atau sebaliknya.
Pandangan Tradisional
Dalam pandangan tradisional, berbagai bentuk ibadah yang kita kenal sekarang diyakini diajarkan oleh
Nabi Muhammad atau sudah menemukan bentuknya yang tetap sejak zaman Nabi. Keyakinan ini
didasarkan pada dua alasan utama.
Pertama, Nabi telah memberikan petunjuk detail tentang bagaimana salat, puasa, zakat dan haji dilakukan.
Dalam soal salat, misalnya, disebutkan Nabi bersabda, “Salatlah sebagaimana aku salat.” Keyakinan
bahwa segalanya sudah diajarkan oleh Nabi begitu kuat sehingga inovasi baru yang dianggap tidak
dipraktikkan Nabi disebut bid’ah dan diancam dengan api neraka.
Kedua, kenyataan bahwa ibadah kaum Muslim di berbagai belahan dunia tidak berbeda-beda juga
dijadikan alasan bahwa ritual Islam itu sudah permanen sejak zaman Nabi. Memang, mungkin ada
perbedaan dalam detailnya, misalnya saat duduk tahiyat dalam salat, jari telunjuk bergerak-gerak atau
tetap lurus. Tapi, dalam bentuknya yang fundamental, ibadah kaum Muslim tidak berbeda dari dahulu
1/3
Membincang Ritual Islam di Bulan Ramadhan - 05-29-2017
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
hingga sekarang.
Hal ini tidak berarti bentuk ritual Islam tidak mengalami perkembangan pada zaman Nabi. Sumbersumber Muslim mengakui perubahan bentuk ibadah. Misalnya, puasa. Ketika baru tiba di Madinah
(sebelumnya disebut Yatsrib), Nabi memerintahkan supaya kaum Muslim berpuasa pada tanggal 10
Muharram, yang dikenal dengan “Asyura” (dari bahasa Aramaik, yang berarti hari ke-10). Namun, pada
tahun ke-2 di Madinah, puasa Asyura diturunkan derajatnya menjadi sunnah dan diganti dengan puasa
bulan Ramadhan. Demikian juga soal kiblat, yang disebutkan berpindah arah dari Jerusalem menuju
Ka’bah di Mekkah.
Sebenarnya pandangan tradisional ini lebih merupakan asumsi yang diterima luas. Sebab, sumber-sember
Muslim sendiri mencatat berbagai riwayat yang menunjukkan bahwa aspek-aspek ritual dalam Islam juga
terus berkembang, bahkan setelah Nabi meninggal. Dalam kolom Bagaimana ramadhan menjadi bulan
paling agung, saya sudah tunjukkan bahwa keagungan bulan Ramadhan terjadi secara bertahap.
Lebih dari itu, kalau dibaca teks fondasi Islam, yakni al-Qur’an, tak ada petunjuk rinci soal ritual. Salat,
puasa, zakat dan haji memang disebutkan, tapi tak disertai dengan petunjuk pelaksanaan. Al-Qur’an
semata menyebut praktik ritual tersebut telah juga dilakukan oleh umat terdahulu. Itu praktik normal
dalam kehidupan keagamaan.
Lebih menarik lagi, ketika al-Qur’an memberikan isyarat petunjuk pelaksanaan, kita justru temukan
informasi yang disuguhkan al-Qur’an tampak berbeda dengan praktik ritual yang kita saksikan sekarang.
Misalnya, soal salat lima waktu. Beberapa ayat al-Qur’an mengisyaratkan, pelaksanaan salat itu hanya
dua kali sehari. Atau, bisa ditafsirkan tiga kali. Para mufasir perlu mencari-cari alasan untuk
menjustifikasi salat lima waktu dari perspektif al-Qur’an.
Juga, soal haji. Menurut surat al-Baqarah (ayat 158), memutari Shafa dan Marwa itu tidak termasuk rukun
haji karena al-Qur’an menggunakan kata “la junaha alaihi”. Artinya, orang yang melakukan haji boleh
atau tidak dilarang bertawaf di keduanya, tapi bukan kewajiban sebagaimana yang kita tahu sekarang.
Lagi-lagi, para mufasir menghadapi kesulitan menjelaskan ayat tersebut.
Rincian waktu salat dan rukun haji hanya ditemukan dalam hadits. Untuk mengatasi berbagai kesulitan
tersebut, status hadits/sunnah perlu ditingkatkan menjadi selevel dengan al-Qur’an. Barangkali, Imam
Syafi’i adalah orang pertama yang menggagas supaya hadits Nabi dikategorikan sebagai wahyu. Ide
cemerlang Syafi’i tersebut memang berhasil mengatasi satu masalah, tapi banyak masalah lain muncul
(yang tak mungkin didiskusikan di sini).
Pendekatan Akademis
Dalam kesarjanaan akademis, kajian tentang ritual (ritual studies) cukup berkembang, termasuk dari sudut
perbandingan. Pada tiga agama yang kerap disebut “agama-agama Ibrahim”, memang terdapat persamaan
sekaligus perbedaan.
Penggunaan air dalam bersuci dapat dijumpai dalam Islam, Kristen dan Yahudi. Kesamaan Islam dan
Yahudi dalam hal bersuci dengan air (dan debu) sangat menonjol, namun Kristen pun menggunakan air
dalam upacara baptis. Hal yang sama ditemukan dalam agama-agama yang muncul di India.
2/3
Membincang Ritual Islam di Bulan Ramadhan - 05-29-2017
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Salah satu aspek perbedaannya terletak pada elemen komemorasi (peringatan) dari ritual dalam Islam.
Banyak ritual dalam Yahudi dan Kristen terkait peristiwa tertentu di masa lalu. Kecuali haji yang
dikaitkan dengan menapaktilasi jejak Ibrahim dan keluarganya, ritual Islam seperti ibadah salat, puasa,
dan zakat tidak punya aspek komemorasi tersebut.
Hal lain yang disorot dalam kesarjanaan akademis ialah asal muasal ritual dalam Islam. Kalangan
orientalis klasik gemar melacak asal-usul ritual Islam dari tradisi agama-agama sebelumnya, terutama
Yahudi dan Kristen. Ada juga yang melacak ritual Islam pada pengaruh sekte-sekte tertentu, seperti
Samaritan atau sekte yang bermukim di Qamran, yang belakangan ditemukan menghasilkan teks yang
dikenal Suhuf Laut Mati (Dead Sea Scroll).
Teori tentang pengaruh ritual Yahudi dan Kristen itu telah banyak dipersoalkan dalam kesarjanaan yang
lebih mutakhir. Misalnya, ritual haji yang dinilai lebih dekat dengan praktik kaum Pagan Arab ketimbang
pengaruh Yahudi atau Kristen. Sumber-sumber Muslim sendiri membenarkan bahwa beberapa aspek dari
ritual haji dipraktikan sebelum kedatangan Islam.
Sarjana Barat Gustave von Grunebaum menyebutkan, prosesi dari Muzdalifah ke Mina awalnya
dipraktikkan oleh mereka yang menyembah matahari. Nabi Muhammad meng-islam-kan prosesi yang
dikenal dengan ifadhah itu dengan cara memulai prosesi sebelum matahari terbit. Artinya, proses
Islamisasi manasik Muzdalifah-Mina sebelum terbit matahari dimaksudkan untuk memutuskan
keterkaitan ritual ifadhah dengan penyembahan matahari.
Demikialah beberapa ide, asumsi, dan metode yang dikembangan sejumlah sarjana akademis yang
mengkaji sejarah awal ritual Islam. Mereka memang punya pandangan yang berbeda. Namun demikian,
mereka bersepakat bahwa perkembangan ritual Islam seperti yang kita saksikan sekarang terjadi secara
bertahap dan lebih lamban daripada yang diasumsikan oleh kaum Muslim.
Hal itu sejalan dengan kesimpulan kalangan sejarawan revisionis yang melihat kemunculan Islam sebagai
agama membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun setelah wafatnya Nabi. Gelombang kesarjanaan
revisionis yang mendapat momentum sejak 1970-an itu kini juga digunakan untuk melacak sejarah dan
perkembangan aspek-aspek ritual dalam Islam.
Kesimpulannya, perkembangan praktik ritual dalam Islam itu seiring dengan gradualitas kemunculan
masyarakat Muslim. Fakta bahwa tidak ada perbedaan signifikan di kalangan Muslim dari berbagai
generasi dan kelompok (Sunni, Syi’ah, Khawarij, dan lainnya) bisa jadi memang membuktikan elemen
ritual sudah ada sangat awal sejak formasi Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa semuanya tidak
berubah sejak zaman Nabi.
_______________________________________________
WWW.ITSME.ID
3/3
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download