Analisis Penetapan Tingkat Marjin Akad

advertisement
Analisis Penetapan Tingkat Marjin Akad Pembiayaan Murabahah:
Studi Kasus pada Baitul Maal wa Tamwil Ahmad Yani Malang
Baskoro Perdana Putra
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang
Abstract: Determination of the margin level of murabaha financing contract should not
refers to the prevailing interest rate. This research has a purpose to know how to or model
of determine the margin level of murabaha financing contract at Baitul Maal wa Tamwil
Ahmad Yani Malang. This research uses descriptive qualitative research method with a
case study approach. This case study research focuses on Baitul Maal wa Tamwil Ahmad
Yani Malang. The result of this research is that the determination of the margin level of
murabaha financing contract in BMT Ahmad Yani Malang does not refer directly to the
prevailing interest rate. BMT Ahmad Yani Malang has a margin level determination
method that is based on the level of profit-sharing ratio, the average margin level market,
the rate of profit to be obtained, and other costs.
Keywords: margin level, murabahah, benchmark interest rates
I. PENDAHULUAN
Jumlah lembaga keuangan syariah di Indonesia, baik dalam bentuk bank maupun
nonbank, telah tumbuh dengan cukup pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah lembaga
keuangan syariah yang terus menerus bertambah setiap tahunnya. Hal ini merupakan imbas
positif dari dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang memungkinkan
perbankan konvensional untuk melakukan dual banking system atau mendirikan divisi
syariah (unit usaha syariah).
Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2013, jumlah Bank Umum Syariah (BUS)
dan Unit Usaha Syariah (UUS) sampai dengan Oktober 2012 tidak mengalami perubahan
dari tahun 2012, namun demikian jumlah jaringan kantor meningkat. Meskipun dengan
jumlah BUS (11 buah) maupun UUS (24 buah) yang sama, namun pelayanan kebutuhan
masyarakat akan perbankan syariah menjadi semakin meluas yang tercermin dari
bertambahnya Kantor Cabang dari sebelumnya sebanyak 452 menjadi 508 Kantor,
sementara Kantor Cabang Pembantu (KCP) dan Kantor Kas (KK) telah bertambah
sebanyak 440 kantor pada periode yang sama (Oktober 2012, yoy). Secara keseluruhan
jumlah kantor perbankan syariah yang beroperasi sampai dengan bulan Oktober 2012
dibandingkan tahun sebelumnya meningkat dari 1.692 kantor menjadi 2.188 kantor.
Lembaga keuangan syariah menurut Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah, dapat digolongkan menjadi dua, yakni bank syariah dan unit
usaha syariah (UUS). Selain dua bentuk lembaga keuangan syariah tersebut di atas, terdapat
pula lembaga keuangan syariah dalam bentuk lain, yakni Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Meskipun belum memiliki dasar hukum tersendiri, namun karena BMT umumnya didirikan
dalam bentuk koperasi, maka UU No 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian menjadi
payung hukum sementara bagi BMT.
Pada umumnya, produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah
diantaranya produk penyaluran dana (financing), produk penghimpunan dana (funding), dan
produk jasa (service). Produk penyaluran dana atau pembiayaan dapat dibedakan
berdasarkan tujuan penggunaannya, yakni pembiayaan dengan prinsip jual-beli, pembiayaan
dengan prinsip sewa, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dan pembiayaan dengan akad
pelengkap (Karim, 2004: 87). Untuk produk penghimpunan dana hanya menggunakan dua
prinsip, yakni dengan prinsip wadi’ah dan prinsip mudharabah.
Meskipun demikian, ternyata dalam kenyataannya pembiayaan dengan prinsip jual
beli (murabahah) paling banyak diterapkan dalam perbankan syariah atau memiliki porsi
terbesar dibanding pembiayaan dengan prinsip yang lain. Rahmawaty (2007: 188-189)
menuturkan bahwa dari beberapa hasil survey, ternyata perbankan syariah pada umumnya
menggunakan pembiayaan dengan prinsip murabahah sebagai metode pembiayaan utama,
meliputi hampir tujuh puluh lima persen (75%) dari total kekayaan bank syariah. Bahkan
bank Islam yang berada di luar Indonesia, seperti Dubai Islamic Bank dan Islamic
Development Bank, ternyata juga menggunakan pembiayaan dengan prinsip murabahah
meliputi antara 73-82% dari total pembiayaan. Padahal sebenarnya perbankan syariah juga
memiliki produk pembiayaan unggulan yang lain, yakni pembiayaan berbasis profit loss
sharing (PLS) seperti mudharabah dan musyarakah.
Konsep murabahah pada perbankan syariah juga sempat menerima kritikan dari
kalangan ulama. Sjahdeini dalam Rahmawaty (2007: 189) menjelaskan munculnya kritikan
didasarkan pada penerapan murabahah dalam perbankan syariah yang sama sekali tidak
meniadakan bunga dan membagi resiko kepada nasabah, tetapi tetap mempraktekkan
pembebanan bunga dengan menggunakan label „produk Islami‟.
Rahmawaty (2007) memberikan pendapat tersendiri bahwa antara mark-up dalam
murabahah pada perbankan syariah dan bunga dalam pinjaman kredit pada perbankan
konvensional, tidaklah berbeda terlalu jauh. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat
menyamakan praktek pembiayaan pada perbankan syariah dan praktek pemberian kredit
pada perbankan konvensional.
Muhammad (2005: 126-142) menyebutkan bahwa di dalam penetapan tingkat
marjin akad pembiayaan murabahah di perbankan syariah harus tidak hanya menggunakan
rujukan suku bunga bank konvensional. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Firmansyah (2007), didapatkan kesimpulan bahwa masih terdapat unsur ribawi dalam
proses penentuan harga jual murabahah, yakni masih merujuk (benchmarking) pada suku
bunga pada perbankan konvensional, meskipun dilakukan secara tidak langsung.
Penentuan harga jual dan tingkat marjin yang jelas pada akad murabahah
merupakan hal penting karena untuk menghindari adanya ketidakadilan pada satu pihak,
yaitu pembeli. Padahal, ketidakadilan kegiatan ekonomi merupakan salah satu aspek yang
dilarang dalam Islam. Nuryadin (2007) berpendapat bahwa dalam Islam, harga harus
ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak,
yakni pihak penjual dan pihak pembeli. Harga yang dapat memberikan keadilan bagi kedua
belah pihak adalah yang tidak memberikan keuntungan di atas normal atau tingkat
kewajaran bagi penjual dan harga yang telah disetujui oleh pihak penjual dan pembeli.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengambil rumusan masalah tentang
bagaimanakah tingkat marjin akad pembiayaan murabahah ditetapkan oleh manajemen
Baitul Maal Ahmad Yani Malang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara atau
model yang dilakukan oleh manajemen BMT Ahmad Yani Malang dalam menetapkan
tingkat marjin akad pembiayaan murabahah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
Aziz dalam Ridwan (2004: 126-127) menjelaskan pengertian mengenai BMT
sebagai berikut:
“BMT merupakan kependekan dari Baitul Maal wa Tamwil atau dapat juga ditulis baitul maal wa
baitul tamwil. Secara harfiah atau lughowi, baitul maal berarti rumah dana dan baitul tamwil berarti
rumah usaha. baitul maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangannya, yakni dari masa nabi
sampai abad pertengahan perkembangan Islam, di mana baitul maal berfungsi untuk mengumpulkan
sekaligus mentasyarufkan dana sosial. Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang
bermotif laba.”
Dilihat dari pengertian yang diberikan Aziz, terlihat bahwa BMT memiliki dua kegiatan
usaha. Usaha yang pertama terkait dengan prinsip sosial, yakni pada baitul maal, dan usaha
yang kedua terkait dengan prinsip ekonomi, yakni pada baitul tamwil.
2.2. Murabahah
Murabahah, menurut arti tambahan atau konotasi asli dalam Islam, secara sederhana
dapat dimaknai sebagai kegiatan jual beli barang atau jasa (Usmani, 2003: 1). Kegiatan jual
beli sendiri merupakan kegiatan di mana terjadinya pertukaran sesuatu benda / jasa yang
bernilai (valuable) dengan sesuatu benda / jasa lain yang bernilai pula. Dalam syariah,
ditambahkan syarat bahwa kegiatan tersebut tidak mengandung sesuatu yang dilarang,
seperti penjualan babi atau minuman beralkohol.
2.2.1. Pengertian Murabahah
Secara etimologi, murabahah memiliki asal kata rabaha yang berarti sesuatu yang
tumbuh dalam dagangan, maka bagi orang Arab seseorang atau pedagang itu dianggap
untung kalau aset dagangannya tumbuh / bertambah. Hal ini senada dengan yang terdapat
pada Al Qur‟an, yakni Surat Al-Baqarah ayat 16, yang artinya maka tidaklah bertambah
(untung) perniagaan mereka. Para ahli bahasa Arab mengkomentari bahwa dikatakan
murabahah (saling menguntungkan) karena masing-masing dari pihak pembeli dan pihak
penjual saling menguntungkan, si penjual bertambah modal dagangannya dan si pembeli
bertambah aset usahanya (Marwal, 2007: 3).
Sistem jual-beli murabahah yang diterapkan / diaplikasikan banyak oleh lembaga
keuangan syariah sekarang ini adalah murabahah dengan pesanan pembelian, adalah hasil
inovasi rekonstruksi murabahah yang dipelopori dan disosialisasikan pada lembaga
keuangan Islam. Hamud dalam Marwal (2007) menguraikan pengertian murabahah secara
kontemporer sebagai berikut:
“Suatu kesepakatan antara pihak bank dan nasabah, agar bank menyediakan barang yang dibutuhkan
oleh nasabah, dan nasabah akan membelinya serta bank menjual kepadanya dengan sistem
pembayaran tunai atau tunda, yang sudah ditentukan harga pokok pembelian ditambah keuntungan
(margin) terlebih dahulu.”
Antonio (2001: 101) menjelaskan pengertian murabahah sebagai akad jual beli
barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual
dan pembeli. Dalam murabahah, tingkat keuntungan harus disepakati terlebih dahulu di
awal akad. Dengan kata lain, penjual harus memberi tahu kepada pembeli tentang harga
pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya
tersebut. Sedangkan menurut PSAK No. 102, murabahah diartikan sebagai berikut:
“Murabahah adalah menjual barang dengan harga jual sebesar harga perolehan ditambah keuntungan
yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Biaya perolehan adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan untuk memperoleh suatu aset
sampai dengan aset tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau digunakan.”
2.2.2. Landasan Syariah Murabahah
Landasan syariah murababah (dalam konteks jual beli) dalam Al-Qur‟an terletak pada QS.
Al-Baqarah serta dalam hadits Rasulullah SAW:
“...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah)
2.3. Penentuan Harga dalam Kredit Konvensional
Secara konvensional, tingkat harga (misalkan pada pinjaman kredit) biasanya
ditentukan dengan merujuk (benchmarking) suku bunga. Rujukan (benchmark) adalah hal
yang umum di praktikkan dalam dunia bisnis termasuk perbankan.
Khusus untuk menentukan besar kecilnya suku bunga kredit yang akan diberikan
kepada para debitur terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi. Komponenkomponen ini ada yang dapat diperkecil (dikurangi) dan ada pula yang tidak. Adapun
komponen dalam menentukan suku bunga kredit antara lain (Kasmir, 2002: 124-127):
1. Total Biaya Dana (cost of fund)
Merupakan bunga yang dikeluarkan oleh bank untuk memperoleh dana simpanan
baik dalam bentuk simpanan giro, tabungan maupun deposito.
2. Penentuan Biaya Operasi (Overhead Cost)
Biaya operasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan
operasinya. Biaya ini terdiri dari biaya gaji pegawai, biaya administrasi, biaya
pemeliharaan dan biaya-biaya lainnya. Suyatno (2003: 112) menjelaskan lebih lanjut
bahwa yang menanggung biaya-biaya tersebut adalah seluruh jumlah aktiva bank
yang menghasilkan pendapatan (Total Earning Assets).
3. Cadangan Resiko Kredit Macet (Risk Allowance)
Merupakan cadangan terhadap macetnya kredit yang akan diberikan, hal ini
disebabkan setiap kredit yang diberikan pasti mengandung suatu risiko tidak
terbayar. Risiko ini dapat timbul baik disengaja maupun tidak disengaja.
4. Laba yang diinginkan (Spread / Net Margin)
Setiap kali melakukan transaksi bank selalu ingin memperoleh laba yang maksimal.
Penentuan ini ditentukan oleh beberapa pertimbangan penting, mengingat penentuan
besarnya laba sangat mempengaruhi besarnya bunga kredit.
Spread akan ditentukan lebih rendah bila bank menginginkan prime customer,
seperti multinational company. Sebaliknya, spread akan ditentukan lebih rendah bila
bank menyasar pada non prime customer (Suyatno, 2003: 112).
5. Pajak
Pajak merupakan kewajiban yang dibebankan pemerintah kepada bank yang
memberikan fasilitas kredit kepada nasabahnya.
2.4. Penentuan Harga dalam Pembiayaan Syariah
Marjin keuntungan dalam pembiayaan murabahah oleh Karim (2008: 280-281)
dijabarkan sebagai berikut:
1. Direct Competitor’s Market Rate (DCMR)
Direct Competitor’s Market Rate (DCMR) adalah tingkat marjin keuntungan ratarata perbankan syariah, atau tingkat marjin keuntungan rata-rata beberapa bank
syariah yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kelompok kompetitor langsung
atau tingkat marjin keuntungan bank syariah, tertentu yang ditetapkan dalam rapat
ALCO sebagai kompetitor langsung terdekat.
2. Inderect Competitor’s Market Rate (ICMR)
Inderect Competitor’s Market Rate (ICMR) adalah tingkat suku bunga rata-rata
perbankan konvensional, atau tingkat rata-rata suku bunga beberapa bank
konvensional yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kelompok kompetitor
tidak langsung, atau tingkat rata-rata suku bunga bank konvensional tertentu yang
dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kompetitor tidak langsung yang terdekat.
3. Expected Competitive Return for Investors (ECRI)
Expected Competitive Return for Investors (ECRI) adalah target bagi hasil
kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada dana pihak ketiga.
4. Acquiring Cost
Acquiring Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank yang langsung terkait
dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.
5. Overhead Cost
Overhead Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsung terkait
dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Menurut Sugiyono (2010: 29), metode penelitian deskriptif
adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil
penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Metode
penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan rumusan masalah ke satu, dua dan
tiga. Data yang dibutuhkan adalah data yang sesuai dengan masalah-masalah yang ada dan
sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga data tersebut akan dikumpulkan, dianalisis dan
diproses lebih lanjut sesuai dengan teori-teori yang telah dipelajari, jadi dari data tersebut
akan ditarik kesimpulan..
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Menurut Sugiyono (2010: 29), metode penelitian deskriptif
adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil
penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Metode
penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan rumusan masalah ke satu, dua dan
tiga. Data yang dibutuhkan adalah data yang sesuai dengan masalah-masalah yang ada dan
sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga data tersebut akan dikumpulkan, dianalisis dan
diproses lebih lanjut sesuai dengan teori-teori yang telah dipelajari, jadi dari data tersebut
akan ditarik kesimpulan.
Teknik studi kasus memiliki fokus penelitian yang spesifik dan mendalam pada
kasus sebagai objek yang diteliti. Daymon dan Holloway (2008: 162) menjelaskan
pengertian teknik studi kasus sebagai berikut:
”Studi kasus adalah pengujian intensif, menggunakan berbagai sumber bukti (yang bisa jadi
kualitatif, kuantitatif, atau kedua-duanya), terhadap satu entitas tunggal yang dibatasi oleh ruang dan
waktu. Pada umumnya studi kasus dihubungkan dengan sebuah lokasi. ‟Kasusnya‟ mungkin sebuah
organisasi, sekumpulan orang seperti kelompok kerja atau kelompok sosial, komunitas, peristiwa,
proses, isi, maupun kampanye.”
Alasan dari penggunaan metode deskriptif analisis dengan pendekatan studi kasus
disini karena penelitian ini bertujuan untuk meneliti, menganalisa dan menjelaskan tentang
evaluasi penentuan harga jual akad murabahah pada Baitul Maal wa Tamwil Ahmad Yani
Malang.
3.2. Metode Analisa Data
Daymon dan Holloway (2008: 367-391) menjelaskan bahwa teknik analisa data
merupakan suatu proses yang dilakukan peneliti dalam menyaring data-data yang diperoleh
menjadi potongan-potongan yang dapat dikelola, kemudian menginterpretasikannya.
Analisa data kualitatif melibatkan pelacakan kategori dan pola dalam data, yang akan
membantu peneliti memaknai bukti-bukti yang dikumpulkan dengan masuk akal. Analisa
data kualitatif dimulai bersamaan dengan saat peneliti mengumpulkan data.
Berikut adalah tahapan analisa dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini,
antara lain:
1. Menjelaskan cara menetapkan harga jual pada akad pembiayaan murabahah yang
dilakukan oleh BMT Ahmad Yani Malang.
2. Menjelaskan cara menetapkan tingkat marjin dalam harga jual pada akad
pembiayaan murabahah yang yang dilakukan oleh BMT Ahmad Yani Malang.
3. Menjelaskan proses rujukan suku bunga konvensional yang dilakukan BMT Ahmad
Yani Malang dalam menetapkan tingkat marjin pada akad pembiayaan murabahah.
4. Menganalisis bagaimana BMT Ahmad Yani Malang menggunakan cara menetapkan
tingkat marjin dalam harga jual pada akad pembiayaan murabahah tanpa rujukan
suku bunga konvensional.
IV. PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Baitul Maal wa Tamwil Ahmad Yani Malang
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Ahmad Yani Malang merupakan lembaga yang
memiliki badan hukum dalam bentuk koperasi serba usaha syariah. Sebagai tindak lanjut
atas hasil rapat anggota khusus perubahan anggaran dasar, BMT Ahmad Yani Malang
ditetapkan sebagai badan hukum dengan bentuk koperasi per tanggal 1 Juni 1999.
Ketetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor 187 / PAD KDK 13.32 / 1.2 / VI / 1999.
BMT Ahmad Yani Malang berkedudukan di Jalan Kahuripan No. 12, bersebelahan
dengan Masjid Ahmad Yani Malang. Lokasi yang strategis, terletak di dekat kawasan bisnis
dan keuangan serta pusat peribadatan umat Islam, menjadikan BMT Ahmad Yani Malang
mudah dikenali dan mudah diakses oleh setiap kalangan masyarakat.
Karena BMT Ahmad Yani Malang memiliki badan hukum dalam bentuk koperasi,
maka landasan, asas, prinsip, maksud dan tujuan, serta kondisi usaha yang dijalankan
didasarkan pada aturan dan ketentuan mengenai perkoperasian. Meskipun demikian, BMT
Ahmad Yani Malang juga tetap memasukkan dan menjalankan syariat Islam dalam kegiatan
operasional.
4.2. Penerapan Akad Pembiayaan Murabahah di BMT Ahmad Yani Malang
Harga jual pembiayaan murabahah pada BMT Ahmad Yani Malang dilakukan
dengan cara menambahkan harga perolehan barang yang dipesan oleh nasabah dengan
tingkat marjin yang diinginkan. Sedangkan pembebanan angsuran dilakukan dengan metode
fixed rate atau keuntungan tetap. Metode pembebanan angsuran secara fixed rate dipilih
oleh BMT Ahmad Yani Malang karena metode ini dianggap lebih tepat, meskipun Dewan
Syariah Nasional MUI belum memberikan pernyataan mengenai ketepatan metode fixed
rate.
4.2.1. Transaksi Akad Pembiayaan Murabahah di BMT Ahmad Yani Malang
Di bawah ini contoh transaksi akad pembiayaan murabahah yang dilakukan dalam
BMT Ahmad Yani Malang:
a. Pak Aziz mempunyai keinginan untuk memiliki mobil boks untuk menunjang
kegiatan usahanya di bidang pengantaran barang. Sayangnya, ia tidak memiliki
cukup modal untuk untuk membeli mobil boks tersebut secara tunai. Oleh karena
itu, Pak Aziz mendatangi BMT Ahmad Yani Malang untuk memperoleh bantuan
mendapatkan mobil boks yang diinginkan.
Pada akhirnya BMT Ahmad Yani Malang dan Pak Aziz sepakat dengan spesifikasi
barang, harga jual (pokok ditambah marjin), dan cara pembayaran.
Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Akad pembiayaan
: Murabahah
Harga pokok pembelian
: Rp150.000.000,00
Tingkat marjin
: 9% dari harga pokok pembelian
Jangka waktu pembayaran : 1 tahun (12 bulan)
Sistem pembayaran
: Angsuran per bulan secara fixed rate
Tingkat marjin yang diminta BMT Ahmad Yani Malang dalam rupiah adalah
sebesar Rp150.000.000,00 x 9% = Rp13.500.000,00
Harga Beli Mobil
= Rp150.000.000,00
Marjin Keuntungan Murabahah
= Rp 13.500.000,00
Harga Jual kepada Nasabah
= Rp 163.500.000,00
Uang Muka yang Disepakati
= Rp 43.500.000,00
Sisa Angsuran
= Rp 120.000.000,00
Angsuran per Bulan
= Rp 10.000.000,00
Dari perhitungan di atas, Pak Aziz dan BMT Ahmad Yani Malang sepakat dalam
penetapan marjin sebesar 9% atas harga jual mobil dan uang muka yang dibayarkan
sebesar Rp43.500.000,00. Sisa angsuran dibayar Pak Aziz per bulan sebesar
Rp10.000.000,00, dengan rincian angsuran pokok sebesar Rp8.875.000,00 dan
angsuran marjin sebesar Rp1.125.000,00.
Tabel 4.1.
Tabel Angsuran Pembiayaan Murabahah Pak Aziz
(dalam Rupiah)
Angsuran
Bulan ke
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
TOTAL
Angsuran
Pokok
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
8.875.000
106.500.000
Angsuran
Marjin
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
1.125.000
13.500.000
Sisa
Angsuran
120.000.000
110.000.000
100.000.000
90.000.000
80.000.000
70.000.000
60.000.000
50.000.000
40.000.000
30.000.000
20.000.000
10.000.000
0
-
Sumber: Data sekunder diolah
4.2.2. Akuntansi Murabahah pada BMT Ahmad Yani Malang
Berikut adalah bentuk akun pencatatan atas akad pembiayaan murabahah pada BMT
Ahmad Yani Malang:
a. Untuk pencatatan pembelian barang dari dealer mobil:
Persediaan
Rp150.000.000,00
Kas
Rp.150.000.000,00
b.
c.
Untuk pencatatan pembiayaan murabahah yang disepakati:
Piutang Murabahah
Rp163.500.000,00
Persediaan
Rp150.000.000,00
Marjin
Rp 13.500.000,00
Untuk pencatatan pembayaran angsuran per bulan:
Kas
Rp 8.875.000,00
Marjin
Rp 1.125.000,00
Piutang Murabahah
Rp 10.000.000,00
Pencatatan akuntansi akad murabahah di BMT Ahmad Yani Malang memang belum
sempurna. Hal ini dikarenakan pada BMT Ahmad Yani Malang kekurangan sumberdaya
manusia, sehingga untuk mencatat ratusan transaksi, BMT Ahmad Yani Malang hanya
menggunakan akun-akun yang sederhana.
4.3. Analisis Metode Penentuan Tingkat Marjin Pembiayaan Murabahah di BMT
Ahmad Yani Malang Terkait Rujukan Suku Bunga Bank
Suku bunga bank merupakan salah satu acuan utama dalam berbagai macam
transaksi bank maupun lembaga keuangan konvensional. Terkait dengan transaksi kredit,
maka jumlah angsuran yang dibayarkan oleh nasabah berubah-ubah sesuai dengan tingkat
suku bunga. Bila tingkat suku bunga meningkat, maka jumlah angsuran yang dibayarkan
meningkat. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga menurun, maka jumlah angsuran yang
dibayarkan berkurang.
Peneliti berpendapat bahwa perubahan tingkat suku akan berdampak pula pada BTN
Syariah Malang yang merupakan unit usaha syariah dari BTN Malang. Apalagi dari
penjelasan dari Manajer BMT Ahmad Yani di atas, bahwa tingkat nisbah bagi-hasil yang
diberikan oleh BTN Syariah Malang berubah-ubah tiap pengajuan modal kembali:
Perubahan tingkat nisbah bagi-hasil ini menurut peneliti memiliki kaitannya dengan
tingkat perubahan suku bunga pada bank konvensional. Pada saat peneliti menanyakan lebih
lanjut kepada Manajer BMT Ahmad Yani Malang tentang perubahan tingkat nisbah bagihasil, beliau mengatakan bahwa memang pada dasarnya perubahan tingkat nisbah bagi-hasil
tidak ditanyakan penyebabnya secara langsung ke BTN Syariah Malang. Akan tetapi,
menurut Ibu Ika, hal itu lebih kepada perubahan tingkat suku bunga saat ini.
Keterkaitan tingkat nisbah bagi-hasil dengan dengan tingkat suku bunga juga pernah
dikemukakan oleh peneliti yang lain. Kesimpulan dari peneliti tersebut pada subjek Bank
Muamalat adalah terdapat kaitan positif terhadap perubahan tingkat nisbah bagi-hasil
terhadap perubahan tingkat suku bunga pasar (Yustisianta: 2011).
Dari pernyataan Manajer BMT Ahmad Yani Malang maupun dari hasil penelitian
lain, maka didapat kesimpulan sementara bahwa dalam penetapan tingkat marjin pada BMT
Ahmad Yani Malang terdapat rujukan tidak langsung terhadap tingkat suku bunga.
Modal BMT Ahmad Yani Malang yang didapat dari BTN Syariah Malang didapat
melalui transaksi mudharabah dengan tingkat nisbah bagi-hasil yang berubah-ubah.
Sedangkan di sisi lain, cara pengembalian tingkat modal kepada BTN Syariah Malang oleh
BMT Ahmad Yani Malang, salah satunya adalah dengan membebankan pada tingkat marjin
murabahah.
BTN Malang
Unit usaha syariah
BTN Syariah Malang
Pengembalian
modalpada
Dibebankan
tingkat marjin (iii)
Pemodal dengan akad
Tingkat
mudharabah
nisbah
berubah-ubah (i)
Suku Bunga (i)
BMT Ahmad Yani Malang
Berangkat dari kesimpulan sementara di atas, peneliti kembali menelusuri lebih jauh
kepada BMT Ahmad Yani Malang. Peneliti menanyakan apakah pada pembebanan tingkat
nisbah bagi-hasil merupakan komponen utama pembentukan tingkat marjin, karena
pengembalian modal kepada BTN Syariah Malang tentunya menjadi prioritas yang
diutamakan.
Menurut Ibu Ika sebagai Manajer BMT Ahmad Yani Malang, tingkat nisbah bagihasil tidak mempengaruhi secara dominan penetapan tingkat marjin murabahah. Tingkat
marjin ditetapkan berdasarkan ketiga komponen yang telah disebut di atas, dan masingmasing memberikan kontribusi yang sama.
Kemudian disinggung masalah adanya kaitan antara tingkat suku bunga, tingkat nisbah
bagi-hasil, dan tingkat marjin, Ibu Ika menjelaskan bahwa tingkat suku bunga maupun
tingkat nisbah bagi-hasil tidak memberikan kontribusi postif kepada tingkat marjin
murabahah di BMT Ahmad Yani Malang. Hal tersebut dikarenakan ada komponen lain
yang turut menyumbang dalam penetapan marjin murabahah.
Komponen lain yang juga di-”utak-atik”, menurut Ibu Ika adalah melihat tingkat
rata-rata marjin pasar dan tingkat laba yang diinginkan. BMT Ahmad Yani Malang selalu
melihat besaran tingkat marjin yang ditetapkan pada lembaga-lembaga keuangan lain yang
sejenis dengan BMT Ahmad Yani Malang. Tujuannya adalah bisa menetapkan tingkat
marjin yang kompetitif sekaligus mendapatkan laba. Tentu saja sekali lagi tingkat marjin
yang ditetapkan nantinya harus disertai keikhlasan dari kedua belah pihak.
4.4. Analisis Metode Penetapan Tingkat Marjin Pembiayaan Murabahah di BMT
Ahmad Yani Malang
Metode penetapan tingkat marjin akad pembiayaan murabahah memang tidak
seharusnya hanya menggunakan suku bunga bank konvensional sebagai rujukan. Tingkat
marjin sendiri merupakan salah satu elemen penting dalam akad pembiayaan murabahah
yang menjadikannya berbeda dengan transaksi kredit pada lembaga keuangan konvensional.
Penentuan tingkat marjin yang sesuai, akan membawa keuntungan dan kerelaan bagi kedua
belah pihak, yakni pembeli dan penjual.
Pada penjelasan di atas, peneliti telah mendapat gambaran bahwa memang terdapat
rujukan tidak langsung terhadap suku bunga bank konvensional terkait penetapan tingkat
marjin akad pembiayaan murabahah. Meskipun demikian, peneliti juga menyimpulkan
bahwa tingkat marjin di BMT Ahmad Yani Malang dapat ditetapkan dari empat komponen,
yakni:
1. Tingkat Nisbah Bagi-Hasil
BMT Ahmad Yani Malang sejak awal berdirinya hingga sekarang mengalami
banyak perkembangan yang signifikan, baik dalam jumlah nasabahnya maupun dalam jenis
barang yang terlibat dalam transaksi murabahah. Ibu Ika, selaku Manajer BMT Ahmad
Yani Malang, mengatakan bahwa pada periode awal berdirinya, BMT Ahmad Yani Malang
hanya melayani nasabah individu. Namun, seiring berjalannya waktu, manajemen BMT
Ahmad Yani memutuskan untuk tidak hanya berfokus pada nasabah individu, tetapi juga
mencari nasabah dari institusi-institusi pendidikan, perusahaan-perusahaan, atau lembagalembaga pemerintahan.
Adanya nasabah nonindividu dan adanya kemungkinan jenis barang yang ingin
dibeli nasabah dapat bermacam-macam serta dalam jumlah yang besar, menjadikan BMT
Ahmad Yani Malang perlu memiliki modal yang cukup untuk melayani transaksi akad
pembiayaan murabahah yang terjadi. Oleh karena itu, BMT Ahmad Yani Malang
melakukan kerjasama dengan BTN Syariah Malang dalam pengadaan modal dengan akad
mudharabah. BTN Syariah Malang tidak membatasi jenis nasabah maupun jenis barang
yang terlibat dalam akad pembiayaan murabahah. Besarnya tingkat nisbah bagi-hasil yang
ditetapkan berkisar 40-50% untuk BMT Ahmad Yani Malang.
BMT Ahmad Yani Malang sebagai mudharib atau sebagai pengelola modal tentu
saja memiliki kewajiban untuk membagi hasil keuntungan atas usaha sesuai dengan tingkat
nisbah yang telah disepakati bersama dengan BTN Syariah Malang. Karena modal yang
didapat dari BTN Syariah Malang digunakan dalam akad pembiayaan murabahah, maka
BMT Ahmad Yani Malang menetapkan tingkat marjin berdasarkan penghitungan tingkat
nisbah bagi-hasil.
2. Tingkat Rata-Rata Marjin Pasar
Di kota Malang, BMT Ahmad Yani Malang jelas bukanlah satu-satunya lembaga
keuangan syariah yang menawarkan akad pembiayaan murabahah. Hal ini menjadikan
adanya persaingan dalam mendapatkan nasabah potensial. Salah satu cara untuk menarik
minat nasabah adalah dengan menetapkan tingkat marjin akad pembiayaan murabahah
dengan tepat, tidak terlalu tinggi dari tingkat rata-rata marjin pasar maupun terlalu rendah
dari tingkat rata-rata marjin pasar.
Ibu Ika mengatakan bahwa BMT Ahmad Yani Malang selalu melihat besaran
tingkat marjin yang ditetapkan kompetitor-kompetitor lainnya. Ibu Ika menjelaskan bahwa
ini disebut dengan intelligence banking. Tidak jarang, baik Ibu Ika sendiri, maupun staf-staf
BMT Ahmad Yani Malang lainnya berpura-pura sebagai nasabah pada lembaga keuangan
syariah lainnya dan menanyakan tingkat marjin akad pembiayaan murabahah yang
ditawarkan.
Pada kesempatan lain, BMT Ahmad Yani Malang mengetahui besaran tingkat
marjin para kompetitornya adalah dari para nasabahnya sendiri. Ibu Ika menceritakan
bahwa terkadang ada calon nasabahnya yang juga melakukan intelligence banking dan
memberitahukan hasil intelligence banking tersebut secara tidak sengaja pada saat
melakukan akad dengan BMT Ahmad Yani Malang.
Menurut Ibu Ika juga, penetapan tingkat marjin yang tepat bisa membawa nasabah
potensial pada BMT Ahmad Yani Malang. Bahkan tidak menutup kemungkinan nasabah
tersebut di kemudian hari akan kembali melakukan akad pembiayaan murabahah di BMT
Ahmad Yani Malang.
3. Tingkat Laba yang Diinginkan
Dalam dunia usaha, wajar jika ingin mengambil laba atas usaha yang dikerjakan.
BMT Ahmad Yani Malang sebagai baitul tamwil atau badan usaha, tentu saja juga akan
mengambil laba atas akad pembiayaan murabahah.
Ibu Ika menjelaskan bahwa besaran laba yang diinginkan oleh BMT Ahmad Yani
Malang diperhitungkan sedemikian rupa sehingga minimal memenuhi titik impas (break
even point). Selain itu, menurut Ibu Ika, bisa saja pihaknya menetapkan tingkat marjin yang
tinggi untuk mendongkrak laba yang diterima. Karena terkadang ada pula nasabah yang
tidak terlalu memperdulikan besaran tingkat marjin, asalkan transaksi tersebut telah sesuai
prinsip syariah.
4. Biaya-Biaya Lainnya
Tingkat marjin yang ditetapkan oleh BMT Ahmad Yani Malang minimal bisa
menutupi biaya-biaya yang terjadi selama terjadinya akad pembiayaan murabahah maupun
biaya-biaya operasional. Dari penjelasan Ibu Ika, biaya-biaya yang biasanya terjadi pada
saat akad pembiayaan murabahah biasanya biaya perolehan barang, biaya materai, dan
lainnya. Sedangkan biaya-biaya operasional yang terjadi adalah pemberian gaji pada staf
BMT Ahmad Yani Malang, biaya listrik dan air, biaya perawatan gedung BMT Ahmad
Yani Malang dan sebagainya.
V. PENUTUP
5.1. Simpulan
Pada BMT Ahmad Yani Malang dapat disimpulkan tidak adanya penggunaan
rujukan suku bunga untuk menetapkan tingkat marjin pada akad pembiayaan murabahah.
Tingkat marjin akad pembiayaan murabahah pada BMT Ahmad Yani Malang ditentukan
berdasarkan beberapa komponen, yakni, tingkat nisbah bagi-hasil dengan BTN Syariah
Malang, tingkat rata-rata marjin pasar, tingkat laba yang diinginkan, dan biaya perolehan
serta biaya lainnya. Komponen-komponen tersebut menyumbang andil yang seimbang pada
proses penentuan tingkat marjin murabahah.
5.2. Saran
Dari hasil penelitian, ada beberapa hal yang dapat peneliti sarankan kepada BMT
Ahmad Yani Malang, yakni:
1. Proses pencatatan transaksi sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi merupakan salah
satu elemen yang penting dalam siklus akuntansi sebuah perusahaan atau lembaga.
Dengan demikian, BMT Ahmad Yani Malang dapat menggunakan PSAK No. 102
sebagai pedoman dalam menerapkan metode pencatatan akuntansi akad pembiayaan
murabahah.
2. BMT Ahmad Yani Malang dapat mencari alternatif lain dalam mencari tambahan
modal untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat melalui akad
pembiayaan murabahah. BMT Ahmad Yani Malang yang berbentuk koperasi
memiliki potensi pengumpulan modal dari dana anggota koperasi. Jika BMT Ahmad
Yani Malang bisa berfokus dan mengembangkan dana anggota koperasi, maka BMT
Ahmad Yani Malang dapat sedikit demi sedikit mengurangi kerjasama dengan BTN
Syariah Malang. Keuntungan lainnya adalah BMT Ahmad Yani Malang bisa
meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan lebih baik, karena hasil keuntungan
nantinya akan tersalurkan kembali kepada anggota.
3. Pemberian edukasi kepada masyarakat mengenai akad murabahah yang dilakukan
di BMT Ahmad Yani Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur‟sn dan Terjemahan
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Pers.
Daymon, Christine dan Holloway, Immy. 2008. Riset Kualitatif dalam Public Relations dan
Marketing Communications. Yogyakarta: Bentang.
Firmansyah. 2007. Evaluasi Penerapan Metode Penentuan Harga Jual Beli Murabahah
(Studi Kasus pada BMT Berkah Madani). Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Jakarta:
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam „SEBI‟.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2006. Standar Akuntansi Keuangan No. 102 Tentang
Murabahah. Jakarta: Salemba Empat.
Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Kedua.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Marwal, M. Ilyas. 2007. Rekonstruksi Murabahah Sebuah Ijtihad Solusi Pembiayaan.
Jakarta.
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Mulyana, Deddy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Nuryadin, Birusman. 2007. Harga dalam Perspektif Islam. Jurnal Ekonomi Islam: Mazahib.
Vol. 4 No. 1, Juni 2007. hal. 86-98.
Rahmawaty, Anita. 2007. Ekonomi Syari‟ah: Tinjauan Kritis Produk Murabahah dalam
Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam: La Riba. Vol. 1 No. 2,
Desember 2007. hal. 189-203.
Republik Indonesia. 1998. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII
Press.
Usmani, Maulana Taqi. 2003. Murabahah. Diunduh dari accountancy.com.pk.
Suyatno, Thomas, H.A Chalik, dan Made Sukada. 2003. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
____. 2013. Outlook Perbankan Syariah Tahun 2012. Jakarta: Bank Indonesia.
Download