PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN

advertisement
PUTUSAN BEBAS DALAM
TINDAK PIDANA PENIPUAN KERJASAMA PEMBANGUNAN
JARINGAN LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh:
RETNO SEPTIANA
NIM E1A009235
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PUTUSAN BEBAS DALAM
TINDAK PIDANA PENIPUAN KERJASAMA PEMBANGUNAN
JARINGAN LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt)
OLEH
RETNO SEPTIANA
E1A009235
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Meraih
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UNSOED
Isi dan format telah disetujui,
Pada tanggal: 27 Agustus 2013
Pembimbing I/
Penguji I
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H.
NIP.19640724 199002 1 001
Pembimbing II/
Penguji II
Pranoto, S.H., M.H.
NIP. 19540305 198601 1 001
Mengetahui
Dekan,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
Penguji III
Handri W. S ., S.H., M.H.
NIP.19581019 198702 2 001
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
: RETNO SEPTIANA
NIM
: E1A009235
Judul Skripsi : PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA
PENIPUAN
JARINGAN
KERJASAMA
LISTRIK
PEMBANGUNAN
PERUMAHAN
PASIR
LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis terhadap
Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya sendiri dan
tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 27 Agustus 2013
RETNO SEPTIANA
NIM E1A009235
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga
akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul : PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK
PIDANA
PENIPUAN
KERJASAMA
PEMBANGUNAN
JARINGAN
LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis
terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt). Penulis menyadari keterbatasan
penulis, sehingga selesainya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan serta banyuan
banyak pihak yang telah berjasa, oleh karena itu hanya ucapan terima kasih yang
dapat penulis haturkan dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
2. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen penguji I, yang
telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan pengalaman yang
berharga;
3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen
penguji II, yang telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmuilmu serta saran dalam skripsi penulis yang sangat berharga;
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang
telah
memberikan
saran-saran
yang
membantu
penulis
dalam
menyempurnakan skripsi penulis;
5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing
akademik;
6. Antonius Sidik Maryono, S.H., M.S, selaku ketua Biro Konsultasi dan
Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Jenderal Soedirman dan juga
pembina biro konsultasi dan bantuan hukum mahasiswa (Bikohuma), yang
telah memberikan nasihat-nasihat, ilmu-ilmu, pengalaman yang berharga
serta bimbingan kepada penulis;
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini;
8. Orang tua, serta adik dari penulis yang telah memberikan dukungan, kasih
sayang yang tulus. Semangat untuk mengerjakan skripsi ini serta doa yang
tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
9. Seluruh keluarga besar penulis terimakasih atas semangat, doa yang tulus
untuk penulis;
10. Keluarga besar anggota Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa
(Bikohuma);
11. Big Family Justicia English Club (JEC) Fakultas Hukum.
12. Temab-teman Tim Kompetisi Peradilan Semu Perdata Piala Bulak Sumur
2012 di UGM dan Tim Kompetisi Peradilan Semu Tindak Pidana
Pelanggaran HAM Berat Tingkat Nasional Piala Rudi M. Rizki 2013 di
Unpad;
13. Teman-teman KKN Desa Kebon Gede Kecamatan Bantar Bolang,
Pemalang;
14. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa;
15. Para sahabat dan teman-teman angkatan 2009 khususnya kelas C, kakakkakak angkatan serta adik-adik angkatan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
16. Teman-teman dan adik-adik di Banyu Education;
17. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan
terima kasih.
Kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa Penulis nantikan
sebagai acuan untuk karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ini dapat
bermanfaat, baik kepada Penulis maupun kepada semua pihak. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini.
Purwokerto, 26 Agustus 2013
Penulis,
Retno Septiana
E1A009235
ABSTRAK
Putusan pengadilan merupakan hasil musyawarah hakim berdasarkan
penilaian dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut KUHAP ada 3 (tiga) bentuk
putusan pengadilan yaitu putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP), putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP), dan putusan
pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Dalam penjelasan mengenai ketentuan
yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan, bahwa yang dimaksud
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
dalam putusan bebas adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas
dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum
acara pidana ini. Putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa diantaranya
adalah putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor register
perkara 39/Pid.B/2008/PN.Pwt yang mana Penuntut Umum mendakwa terdakwa
dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 372
Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012
meskipun dalam amar putusan tidak dicantumkan mengenai penahanan tetapi
jaksa sebagai eksekutor berdasarkan Pasal 270 KUHAP harus tetap
mengeksekusinya dan putusan tersebut tidak batal demi hukum. Penuntut Umum
atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas hal
ini diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114/PUUX/2012 selain itu Jaksa Agung berdasarkan Pasal 259 ayat (1) KUHAP dapat
mengajukan kasasi demi kepentingan hukum.
Kata Kunci: Putusan Bebas, Putusan Pengadilan, Putusan Hakim.
ABSTRACT
Court decision is the result of judge’s discussion by considering the
accusation and corelate it with everything have been proven in the court session.
According to Indonesian Law Procedure or KUHAP, there are three form of
decision, those are free decision (Article 191 clause 1 KUHAP), release of any
accusation 9Article 191 clause 2), and condemnation decision (Article 193 clause
1 KUHAP). The explanation about Article 191 clause 1 KUHAP define that the
unproven accusated act is the accusation that not properly proven according to
the judges appraisal based on the authentication session that perform the
evidence instruments in KUHAP. One of the case that released the defendant from
the accusation is a case that has been presided in Purwokerto Court with the
register number 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. In this case, the general prosecutor
accusated the defendant with alternative accusation those are: against the rule of
Article 378 Act 1/1946 (KUHP) or Article 372 Act 1/1946 (KUHP).
Based on the Constitution Court Number 69/PUU-X/2012, eventhough in
the decision injuction there’s no command about the restraining order, but the
prosecutor as the executor based on Article 270 KUHAP should release the
defendant and the decision is not legally null. The prosecutor or defendant can
propose the appeal to the supreme court for the free decision based on the
Supreme Court decision number 114/PUU-X/2012. The Attorney General also
can propose the appeal for the sake of law based on Article 259 clause 1 KUHAP.
Keyword: Free Decision, Court Session, Judge Decision
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah------------------------------------------------- 1
B. Perumusan Masalah------------------------------------------------------ 7
C. Tujuan Penelitian--------------------------------------------------------- 7
D. Kegunaan Penelitian ----------------------------------------------------- 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ----------------------------------- 9
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ----------------------- 11
3. Asas Hukum Acara Pidana ---------------------------------------- 13
B. Pembuktian
1. Arti Pembuktian ---------------------------------------------------- 23
2. Sistem Pembuktian ------------------------------------------------ 25
3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian -------------------------- 28
C. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan ------------------------------------------------- 35
2. Bentuk Putusan Pengadilan --------------------------------------- 36
D. Putusan Bebas
1. Pengertian Putusan Bebas ----------------------------------------- 42
2. Pengertian Putusan Bebas Tidak Murni ------------------------- 42
3. Akibat Hukum dijatuhkannya Putusan Bebas ------------------ 49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ---------------------------------------------------- 55
B. Spesifikasi Penelitian -------------------------------------------------- 55
C. Lokasi Penelitian ------------------------------------------------------- 56
D. Sumber Data ------------------------------------------------------------ 56
E. Metode Pengumpulan Data ------------------------------------------- 57
F. Metode Penyajian Data------------------------------------------------ 57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian --------------------------------------------------------- 58
B. Pembahasan ------------------------------------------------------------- 96
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan ----------------------------------------------------------------126
B. Saran---------------------------------------------------------------------128
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dalam amandemen
keempat dengan tegas menyatakan, bahwa Negara Indonesia adalah negara
berdasarkan hukum. Hal ini berarti Republik Indonesia ialah negara hukum
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak asasi manusia
maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak
boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara,
setiap lembaga kenegaraan, dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat
maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum
acara pidana ini. 1
Menurut Simon, hukum acara pidana disebut juga hukum pidana
formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana
material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik
peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk
tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan: mengatur
1
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana&Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, hal.8.
2
kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum
pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana. 2
Fungsi hukum pidana pada umumnya adalah untuk mengatur dan
menyelenggarakan
kehidupan
masyarakat
agar
dapat
tercipta
dan
terpeliharanya ketertiban umum. Oleh karena itu barang siapa yang
melanggar ketentuan yang ada dalam hukum pidana Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut maka dapat
dikenai sanksi pidana.3 Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu
obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya
tidak mempan atau dianggap tidak mempan.4
Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka
hakim
mempersilahkan
Penuntut
Umum
membacakan
tuntutannya
(requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukumnya
membacakan pembelaannya, yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum,
dengan ketentuan terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran
terakhir (Pasal 182 ayat (1) KUHAP). Dalam ketentuan tersebut, tuntutan dan
jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan
segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak
yang berkepentingan serta apabila acara tersebut telah selesai maka hakim
2
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori
Dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 1.
3
Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal 15.
4
Habib Adji, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal. 126.
3
ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Sesudah
pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir
untuk mengambil keputusan dan harus didasarkan kepada surat dakwaan dan
segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan.
Melalui putusannya, hakim akan menentukan berat ringannya pidana/
hukuman yang dijatuhkan, sedangkan pada bagian lain, melalui putusannya
pula hakim akan memastikan hukumnya atas sesuatu hak atau sesuatu benda,
hukumnya pula atas sesuatu perbuatan atau tindakan.5 Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman) sedangkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: segala putusan hakim selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu
dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.6 Putusan pengadilan
dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum.
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa:
5
Rudi Suparmono, 2006, Peran Serta Hakim Dalam Pembelajaran Hukum, Majalah
Hukum Varia Peradilan Tahun XX No. 246 Mei 2006. hal.50.
6
Kuat Puji Prayitno, 2012, Restorative Justive Untuk Sistem Peradilan Pidana, Jurnal
Dinamika Hukum Vol.12 No.3 September 2012. hal. 416.
4
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/ atau tata tertib;
2. Putusan bebas;
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.7
KUHAP juga mengatur mengenai putusan pengadilan negeri yang
dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana, bisa berbentuk:
1. Putusan yang membebaskan terdakwa (Pasal 191 ayat (1)
KUHAP);
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP);
3. Putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
Dilihat dari perspektif internal hukum memang tidak ada yang salah
ketika hakim menjatuhkan vonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
atau menjatuhkan pemidanaan. Demikian pula hakim menjatuhkan sanksi
ringan, sedang atau berat kepada terdakwa.8 Putusan yang membebaskan
terdakwa (vrijspraak) menurut KUHAP diatur dalam Pasal 191 ayat (1) yang
menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.
7
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 285.
M. Syamsudin, 2010, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya Pada
Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 No.23
Oktober 2010. hal.500.
8
5
Putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa diantaranya adalah
putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor register perkara
39/Pid.B/2008/PN.Pwt yang mana Penuntut Umum mendakwa terdakwa
dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal
372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam perkara ini terdakwa yang menjabat sebagai direktur PT. Aries
Pura Graha telah melaksanakan pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai
Kelurahan Pasir Kidul Kec. Purwokerto Barat dan dalam pekerjaan
pembangunan jaringan listrik serta gardu trafo untuk proyek perumahan
bekerja sama dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya yang selanjutnya diterbitkan
Surat Perintah Kerja (SPK). Setelah PT. Puri Sinar Berkah Jaya melakukan
kewajiban sesuai SPK, PT. Aries Pura Graha belum melakukan pembayaran
maka PT. Puri Sinar Berkah Jaya menghentikan pekerjaanya. Selanjutnya
terdakwa mengajak saksi korban sebagai penyandang dana proyek
pembangunan jaringan listrik
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan
Pasir Kidul dan menjanjikan keuntungan yang besar. Sejak Januari 2007
sampai Maret 2007, saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai kas bon
secara bertahap kepada saksi korban.
Ketika saksi korban akan membuat perjanjian tertulis dengan
terdakwa di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H. terdakwa dengan dalih akan
mempelajari draf yang disodorkan saksi korban pergi dan menghindar
6
sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus SPK
dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan
jaringan listrik berikutnya ke saksi 4.
Pada waktu saksi 2 melakukan penagihan pembayaran, terdakwa
hanya membayar sebagian saja dan uang yang di kas bon PT. Puri Sinar
Berkah Jaya dari saksi korban adalah urusan saksi korban dan terdakwa
sedangkan kekurangnnya diminta terdakwa sebagai fee, kemudian terdakwa
memegang kwitansi/ tanda terima dan tidak mengembalikan hak saksi korban
atas pengembalian kas bon dan keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa.
Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau
martabat (hoedabigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”.
Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Undang-undang
No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling
banyak enam puluh rupiah”.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan
7
penelitian dengan judul: PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA
PENIPUAN KERJASAMA PEMBANGUNAN JARINGAN LISTRIK
PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah disebutkan di
atas, maka dapat dirumuskan suatu perumusan masalah yaitu:
1. Mengapa dalam perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt hakim menjatuhkan
putusan bebas terhadap terdakwa dalam tindak pidana penipuan kerjasama
pembangunan jaringan listrik perumahan Pasir Luhur Permai?
2. Bagaimana akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi
terdakwa dalam tindak pidana penipuan kerjasama pembangunan jaringan
listrik
perumahan
Pasir
Luhur
Permai
pada
perkara
No.
39/Pid.B/2008/PN.Pwt?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui alasan hakim menjatuhkan putusan bebas pada perkara
No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi
terdakwa pada perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
8
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis,
kalangan akademisi dan aparat penegak hukum mengenai hukum acara
pidana khususnya dalam hal putusan bebas.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara praktis dalam upaya
memberikan masukan terhadap aparat penegak hukum, yaitu salah satunya
jaksa, agar dalam membuat dakwaan dan tuntutan sesuai apa yang
dilakukan terdakwa serta memperhatikan unsur melawan hukum yang
dilakukan oleh terdakwa sehingga hakim tidak menjatuhkan putusan bebas
kepada terdakwa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
A. Pengertian, Tujuan, dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana berkaitan erat dengan adanya hukum pidana,
kedua-duanya merupakan satu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
bagaimana alat-alat perlengkapan negara, seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan bertindak guna mencapai tujuan negara mengadakan hukum
pidana.9
Menurut Lobby Loqman,10 seperti yang dikutip oleh Hibnu Nugroho
menyatakan bahwa hukum acara pidana merupakan ketentuan tertulis tentang
pelaksanaan ketentuan hukum pidana. Pelaksanaan ketentuan hukum pidana
selalu akan melanggar hak seseorang. Oleh sebab itu harus terdapat ketentuan
yang limitatif sejauh mana tindakan-tindakan yang boleh dilakukan pelaksana
hukum dalam melaksanakan ketentuan hukum pidana.
Menurut Mulyatno,11 hukum acara pidana adalah salah satu bagian
dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara sebagai dasar dan
aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur seperti apa sehingga
ancaman pidana pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan ketika
seseorang telah disangkakan melakukan perbuatan pidana.
9
Martiman Prodjohamidjojo, 2002, Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Jakarta:
Ghalia Indonesia, hal. 9.
10
Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,
Jakarta: Media Prima Aksara, hal.31.
11
Anonim, Hukum Acara Pidana. http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html
diakses pada tanggal 30 April 2013.
10
Menurut Van Bemmelen,12 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah
menyatakan bahwa “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturanperaturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi
pelanggaran undang-undang pidana:
1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pelaku dan kalau perlu menahannya;
4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib;
6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7) Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib itu.
Simons mengemukakan, “Hukum acara pidana mengatur bagaimana
Negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk
menghukum dan menjatuhkan pidana”. De Bos Kemper menyatakan “Hukum
acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan undang-undang yang
mengatur
bilamana
hukum
pidana
(materiil)
dilanggar,
negara
mempergunakan haknya untuk menghukum”.13
Dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah kumpulan peraturanperaturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut:
1) Tindakan apa yang diambil apabila dugaan, bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang;
2) Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya,
dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku;
12
13
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 6.
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hal.10
11
3) Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu
menangkap, menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
permulaan atau dilakukan penyidikan;
4) Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan
suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang
bukti, menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada
hubungannya dengan perbuatan tersebut;
5) Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan
oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan
negeri, yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan
terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.14
2. Fungsi Hukum Acara Pidana
Tugas penting yang diemban oleh hukum acara pidana adalah
memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas kewenangannya,
mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan hukum akan berkaitan
langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka/
terdakwa.15 Menurut Van Bemmelen,16 seperti yang dikutip oleh Andi
Hamzah, mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:
1)
Mencari dan menemukan kebenaran;
2)
Pemberian keputusan oleh hakim;
3)
Pelaksanaan keputusan.
Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan
hukum acara pidana sebagai berikut:
14
Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori&Praktek. Bandung:
Penerbit Mandar Maju. hal.3.
15
Hibnu Nugroho, Op. Cit.
16
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 8.
12
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terjadi bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.17
Apabila memperhatikan rumusan diatas maka dapat dikatakan bahwa
tujuan hukum acara pidana meliputi tiga hal yaitu:
1) Mencari dan mendapatkan kebenaran;
2) Melakukan penuntutan;
3) Melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan namun dari
ketiga hal tersebut dapat pula ditambahkan yang keempat yaitu
melaksanakan putusan hakim.
Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah
merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu
ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam
masyarakat.18
Sumber lain menyebutkan bahwa:
Hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah
fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum
acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan
pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana
berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam
hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana. Sementara fungsi
preventif dalam hukum acarra pidana adalah fungsi pencegahan dan
upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preeventif dalam
17
18
Ibid, hal. 7.
Ibid, hal. 9.
13
hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh
proses hukum acara pidana dapat diselenggarakan dengan baik pula
agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam
masyarakat.19
3. Asas Hukum Acara Pidana
Prinsip atau asas dalam hukum acara pidana diperlukan untuk menjadi
pedoman atau dasar dalam penerapan penegakan pasal-pasal dalam KUHAP.
Beberapa asas penting dalam hukum acara pidana:
1) Asas Legalitas
Legalitas berasal dari kata legal (Latin), aslinya legalis artinya sah
menurut undang-undang.20 Asas atau prinsip legalitas dengan tegas
disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf
a, yang berbunyi:
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan baik tidak ada kecualinya”.21
Pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law.
Semua tindakan penegak hukum harus:
a) Berdasar ketentuan hukum dan undang-undang;
b) Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas
segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat
bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras
19
Anonim, Loc. Cit.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal. 2.
21
M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 36.
20
14
dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan
keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi
hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum
takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa
keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat.
Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan
mungkin berupa penindasan.22
Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi
hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan:
a) Bertindak di luar ketentuan hukum, atau undue to law mupun undue
process;
b) Bertindak sewenang-wenang, atau abuse of power.23
2) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent)
Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c
KUHAP yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman
kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur
22
23
Ibid.
Ibid.
15
dalam setiap tingkat pemeriksaan dan untuk menopangnya, KUHAP
telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat
hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat
penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara
teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah
mempunyai “posisi yang setaraf ” dengan pejabat pemeriksa dalam
kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan dalam
KUHAP seperti yang dapat dilihat pada Bab VI.24
3) Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan
dalam undang-undang tersebut. Penjelasan umum yang dijabarkan dalam
banyak pasal dalam KUHAP antara lain sebagai berikut:
a) Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat
(4), dan Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut
dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti
tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, Penuntut Umum,
dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari
tahanan demi hukum. Dengan sendirinya hal ini mendorong penyidik,
Penuntut Umum, dan hakim untuk mempercepat penyelesaian
perkara tersebut;
24
Ibid. hal 41.
16
b) Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai
pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh
Penuntut Umum, ayat (2) segera diadili oleh pengadilan, ayat (3);
c) Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang menerima laporan
atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan;
d) Pasal 106 mengatakan hal yang sama di atas bagi penyidik;
e) Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai
disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera
menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a;
f) Pasal 110 mengatur tentang hubungan Penuntut Umum dan penyidik
yang semuanya disertai dengan kata segera, begitu pula Pasal 138;
g) Pasal 140 ayat (1) dikatakan :
”Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan”.25
Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia
sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka/
terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi ditangkap kemudian ditahan,
25
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 13-14.
17
namun orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapantahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu yang terukur
dan dijamin undang-undang.26
4) Asas Oportunitas
Asas oportunitas bertolak belakang dengan asas legalitas. Menurut asas
oportunitas, Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang
melakukan
delik
jika
menurut
pertimbangnnya
akan
merugikan
kepentingan umum, maka dari itu demi kepentingan umum seseorang yang
melakukan delik tidak dituntut. Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat
bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di sidang
pengadilan. A.Z. Abidin Farid,27 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah
memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berkut: “Asas hukum
yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau
tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang
telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.
Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Jaksa Agung dapat
kepentingan umum”
menyampingkan
perkara
berdasarkan
Menurut Andi Hamzah,28 dengan berlakunya UUD 1945 maka Jaksa
Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas
26
Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 34-35.
Ibid, hal 17.
28
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 19.
27
18
kepada
Presiden,
yang
pada
gilirannya
Presiden
mempertanggungjawabkan pula pada rakyat. Pedoman pelaksanaan
KUHAP memberi penjelasan mengenai “demi kepentingan umum”
sebagai berikut:
“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat”.
5) Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum
Tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasin oleh jiwa
“persamaan” dan “keterbukaan” serta penerapan sistem musyawarah dan
mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan. Dengan
landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/ terdakwa
dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan
perlakuan oleh aparat penegak hukum kepada tersangka/ terdakwa, tidak
ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut
pemeriksaan terhadap diri tersangka/ terdakwa dan hasil pemeriksaan
yang menyangkut diri dan kesalahan harus terbuka kepadanya. Pasal
yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) KUHAP
menyatakan:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum sesuai ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Kekecualian
terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap
19
masalahnya
sangat
pribadi
sekali
sehingga
tidak
patut
untuk
mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka di muka umum, begitu
juga dengan anak-anak melakukan kejahatan karena kenakalan.
Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan
hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
6) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the
Law)
Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia
sebagai negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan
belaka. Di dalam pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus
diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda-bedakan, baik untuk
mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi tersangka/ terdakwa
yang sedang menjalani proses persidangan. Ketentuan-ketentuan di
dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasal
pun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu
kelompok dan memberikan ketidakistimewaan pada kelompok lain.29
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”.
Penjelasan umum butir 3a KUHAP menyatakan bahwa:
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
29
Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 36.
20
Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai diskriminasi
tersangka dan terdakwa berdasarkan status sosial atau kekayaan sich,
tetapi juga berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan ras, warna
kulit, seks, bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan, kelahiran, dan
lain-lain sebagaimana dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan serta Pasal 16
ICCPR 1996.30
7) Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim
karena jabatannya dan bersifat tetap.
8) Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai
bantuan hukum dimana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan yang
sangat luas antara lain sebagai berkut:
a) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan;
b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
c) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/ terdakwa pada
semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
d) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar
oleh penyidik dan Penuntut Umum kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan negara;
30
Agoes Dwi Listijono, 2005, Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya
Dengan Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum. Vol.1, No.1. hal.95.
21
e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat
hukum guna kepentingan pembelaan;
f) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/ terdakwa.
Aturan yang telah menjadi ketentuan universal diatur dalam The
International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d :
“To be tried in his presence, and to defend himself in person or
through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does
not have legal assistance, of this right, and to have legal assistance
assigned to him, in any case where the interest justice so require, and
without payment by him in any such case if he does not have sufficient
means to pay for it”
(Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara
pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya
sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai
penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika untuk
kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu
membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran).
9) Asas Akusator
KUHAP menganut asas akusator karena tersangka/ terdakwa tidak lagi
dipandang sebagai objek pemeriksaan. Prinsip akusator menempatkan
kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:
a) Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu
tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri;
22
b) Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
“kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/ terdakwa.
Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.31
Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan
inkusitor yang menempatkan tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan
sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang yang
digunakan dalam HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan
yang wajar bagi tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan
mempertahankan hak dan kebenarannya terkadang untuk mendapatkan
pengakuan dari tersangka, pada pemeriksaan sering melakukan tindakan
kekerasan dan penganiayaan.
Pada asas akusator, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/
terdakwa dikedepankan pada proses penegakan hukum yang diimbangi
dengan menggunakan ilmu bantu hukum acara pidana seperti psikologi,
kriminalistik, psikiatri, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi,
dan lain-lain.
10) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi dan secara lisan, artinya
bukan tertulis antara hakim dengan terdakwa dan saksi. KUHAP
mengatur
dalam Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya yang
menyatakan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim
31
M. Yahya Harahap, 2001, Op. Cit, hal. 40.
23
secara langsung kepada terdakwa dan para saksi secara lisan bukan
tertulis.
B. Pembuktian
1. Arti Pembuktian
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib
terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan
dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan
matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai
dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap
alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.32 Arti pembuktian ditinjau
dari segi hukum acara pidana antara lain:
1) Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik hakim, Penuntut Umum, terdakwa, atau
penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak
dengan
caranya
sendiri
dalam
menilai
pembuktian.
Dalam
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang32
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar
Grafika, hal. 252.
24
undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang
dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.
Terutama bagi Majelis Hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai
dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama
pemeriksaan persidangan. Jika Majelis Hakim hendak meletakkan
kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan,
kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan ketentuan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau
tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak
bersalah mendapat ganjaran hukuman;
2) Sehubungan dengan pengertian diatas, Majelis Hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan
alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”,
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.33
Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara
pidana, pemeriksaan pembuktian “selamanya” tetap diperlukan sekalipun
terdakwa “mengakui” tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Pengakuan
“bersalah” (guilty) dari terdakwa, sama sekali “tidak melenyapkan”
kewajiban Penuntut Umum dan persidangan untuk menambah dan
menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Pasal 189 ayat
(4) KUHAP menyatakan bahwa:
“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
33
Ibid, hal. 253.
25
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.”
Apa yang tersirat pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP, mempunyai makna
pengakuan menurut KUHAP bukan merupakan alat bukti yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang “sempurna” atau bukan volledig bewijs kracht.
2. Sistem Pembuktian
Beberapa teori sistem pembuktian:
1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif
(Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Sistem pembuktian ini hanya didasarkan kepada undang-undang melulu
yang berarti apabila telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat
bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak
diperlukan sama sekali yang juga disebut sebagai teori pembuktian formal
(formele bewijstheorie).
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat
kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”,
artinya penjatuhan
hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah
kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang
berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana
jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara
dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.34
34
Ibid, hal.257
26
Menurut D.Simons,35 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan
bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif
(positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan
(subjektif
wettelijk)
ini
berusaha
untuk
menyingkirkan
semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu
berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.
Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut
di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang
hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan
berpengalaman
mungkin
sekali
adalah
sesuai
dengan
keyakinan
masyarakat.36
2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim merupakan pembuktian
yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan undangundang secara positif. Sistem pembuktian ini juga disebut conviction
intime. Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan
hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan
terdakwa.
Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan
35
36
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.251.
Ibid.
27
terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa
kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang
menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.37
3) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Sistem atau teori pembuktian ini
disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut
alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).38
Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi
reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni
berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai
dasar-dasar alasan yang logis yang benar-benar dapat diterima akal. Tidak
semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal.39
4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijk)
Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
37
M. Yahya Harahap, 2002, Op. Cit, hal.256.
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 253.
39
M. Yahya Harahap, 2002, Op. Cit, hal.256-257.
38
28
kesalahan-kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Pasal 183
KUHAP menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP maka pembuktian harus
didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang
diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Penjelasan Pasal 183 KUHAP
mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.
Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh
KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian
berdasar undang-undang secara negative (negative wettelijk) sebaiknya
dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya
harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana
orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah
berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh
hakim dalam melakukan peradilan.40
3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian
Uraian alat-alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP ialah:
40
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 257.
29
1) Keterangan saksi
Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki
nilai pembuktian, maka:
a) Saksi harus mengucapkan sumpah;
b) Keterangan saksi mengenai perkara pidana yang ia lihat sendiri,
didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari
pengetahuannya;
c) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP);
d) Keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya
(Pasal 185 ayat (2) dan (3) KUHAP);
e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat umum
atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (4) dan (5));
f) Adanya: i) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang
lain; ii) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang
30
lain; iii) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberikan keterangan tertentu; iv) cara hidup dan kesusilaan
saksi,
serta
segala
sesuatu
yang
pada
umumnya
dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya (Pasal 185
ayat(6)).41
Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, dapat disimpulkan:
a) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya;
b) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan
terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge
maupun dengan keterangan ahli atau alibi.
2) Keterangan ahli
Pasal 1 angaka 28 KUHAP menyatakan bahwa:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.”
Menurut Wirjono Projodikoro,42 seperti yang dikutip Andi Hamzah isi
keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi
mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan
seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang
sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.
41
42
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal.121.
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 274.
31
Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.”
Penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa, keterangan ahli ini
dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan
atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau Penuntut Umum, maka pada pemeriksaan di sidang
diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan
sumpah atau janji di hadapan hakim.
Sama seperti keterangan saksi, keterangan ahli dalam KUHAP juga
tidak menentukan bahwa alat bukti ini mempunyai nilai pembuktian
sempurna dan menentukan. Oleh karena itu, keterangan ahli ini
sebagai salah satu alat bukti mempunyai nilai pembuktian bebas.
Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada
keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan
ahli
dimaksud.
Namun
sekalipun
demikian,
hakim
dalam
mempergunakan kebebasan tersebut haruslah bertanggung jawab.43
3) Surat
Berdasarkan ketentuan Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah:
43
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal. 126.
32
a) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau;
b) Surat yang dikuatkan dengan sumpah
Bentuk-bentuk surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai
alat bukti berdasarkan Pasal 187 KUHAP adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian surat:
a) Ditinjau dari segi formal
Alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c
KUHAP adalah alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk suratsurat dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan
33
peraturan perundang-undangan dan berisi keterangan resmi dari
seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan
yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan.
b) Ditinjau dari segi materiil
Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut
dalam Pasal 187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai
kekuatan mengikat” dengan kata lain “bersifat bebas”. Dasar
alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada
beberapa asas antara lain: i) asas proses pemeriksaan perkara
pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran
sejati” (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal; ii)
asas keyakinan hakim; iii) asas batas minimum pembuktian.44
4) Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
Apabila hakim hendak mempergunakan alat bukti petunjuk sebagai
dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, undang-undang
sunguh-sungguh menuntut kesadaran tanggung jawab hati nurani
hakim agar hakim bersikap arif dan bijaksana. Berdasarkan ketentuan
Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a) Keterangan saksi;
44
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 289-290.
34
b) Surat;
c) Keterangan terdakwa.
Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa
sifat dan kekuatannya dengan keterangan saksi, keterangan ahli, dan
alat bukti surat yang sahnya mempunyai sifat kekuatan pembuktian
“yang bebas”.
5) Keterangan terdakwa
Pasal 189 KUHAP ayat (1) menyatakan bahwa:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri”.
Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undangundang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti
yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan
menetukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti
keterangan sebagai berikut:
a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat
bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran
yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau
menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan
alasan-alasannya.
b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian
35
Keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan
sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru
mempunyai nilai pembuktian yang cukup
c) Harus memenuhi asas keyakinan hakim
Disamping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti
yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus
dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.45
C. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum,
yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap
peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum.
Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang
bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.46
Menurut buku Peristilahan Hukum dalam Praktik yang dikeluarkan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia,47 seperti yang dikutip oleh Leden
Marpaung menyatakan bahwa putusan adalah hasil atau kesimpulan dari
sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya
45
Ibid, hal. 311-312.
Sofa,
16
Agustus
2011,
Tentang
Putusan
Hakim,
http://massofa.wordpress.com/2011/08/16/tentang-putusan-hakim/ diakses pada tanggal 7 Juni
2013.
47
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana Di Kejaksaan &
Pengadilan Negeri Upaya Hukum&Eksekusi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 129.
46
36
yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Kamus istilah Hukum Fockema
Andreae, seperti yang dikutip oleh Leden Marpaung mengartikan putusan
(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief). Mengenai kata putusan yang
diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
sidang pengadilan.48
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Pasal 182 ayat 6 KUHAP menyatakan bahwa:
“Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil
permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Putusan diambil suara terbanyak;
b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan
yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan
bagi terdakwa.”
Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung
hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh
dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.
2. Bentuk Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu
perkara dapat berbentuk sebagai berikut:
1) Putusan Bebas
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
48
Ibid.
37
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Menurut Van Bemmelen,49 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah
menyatakan bahwa:
“Putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan
mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai pertanyaan apakah
terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin
bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa
ini yang melakukannya”.
Menurut M. Yahya Harahap, putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah
putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan:
a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara
negatif;
b) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.50
2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.”
Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan:
a) Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok
dengan tindak pidana. Misalnya terdakwa mengambil barang hanya
49
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 287.
50
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 327.
38
untuk memakai, tidak ada niat untuk memiliki;
b) Terdapat
keadaan-keadaan
yang
istimewa
yang
menyebabkan
terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya karena Pasal 44, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).51
Menurut M. Yahya Harahap,52 putusan lepas dari segala tuntutan hukum
dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain:
a) Ditinjau dari segi pembuktian
Pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan
kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi
pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum
pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan
yang terbukti “tidak merupakan tindak pidana”. Perbuatan yang
didakwakan dan yang telah terbukti itu, tidak ada diatur dan tidak
termasuk ruang lingkup hukum pidana melainkan termasuk ruang
lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang, atau hukum
adat.
b) Ditinjau dari segi penuntutan
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada hakikatnya apa yang
didakwakan kepadanya bukan merupakan perbuatan tindak pidana.
Barang kali hanya quasi tindak pidana, seolah-olah penyidik dan
Penuntut Umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana.
3) Putusan Pemidanaan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana”.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan
ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa.
51
52
Leden Marpaung, Op. Cit, hal 135.
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 331.
39
Menurut Van Bemmelen,53 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah
putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat
keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan
dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.
Apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan batas
minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP, kesalahan
terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku
pidananya.
4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili
Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak
termasuk wewenangnya sperti yang ditentukan dalam Pasal 84 KUHAP:
a) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan; atau
b) Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan
atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak
pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain,
sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan
Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan, dan sebagainya.54
5) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Tidak Dapat Diterima
53
54
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 287.
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 336.
40
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima, pada
hakikatnya termasuk kekurang cermatan Penuntut Umum karena putusan
tersebut dijatuhkan karena:
a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan, tidak ada (delik
pengaduan);
b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah diadili
(nebis in idem);
c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).55
6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum
Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan Penuntut Umum
batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP
dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Alasan utama untuk membatalkan surat
dakwaan batal demi hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur
yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yakni surat
dakwaan tidak menjelaskan unsur konstitutif yang dirumuskan dalam pasal
pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Menurut M. Yahya Harahap,56 beberapa alasan pokok yang dapat
dijadikan dasar menyatakan dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum:
a) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang
didakwakan;
b) Tidak memberi secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan
terdakwa dalam dakwaan;
c) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara
bagaimana kejahatan dilakukan.
55
56
Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 134.
M. Yahya harahap, 2002, Op. Cit, hal. 338.
41
D. Putusan Bebas
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 191
ayat (1) KUHAP dikatakan, bahwa yang dimaksud perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Apabila
hakim berpendapat, bahwa satu atau lebih unsur dari tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
hakim harus memutuskan suatu pembebasan atau suatu vrijspraak bagi
terdakwa.57 Menurut Van Bemmelen,58 seperti yang dikutip oleh Andi
Hamzah menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak
memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai
pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan)
atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan
terdakwa ini yang melakukannya.
Menurut M. Yahya Harahap,59 putusan bebas ditinjau dari segi yuridis
ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan:
1) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara
negative yaitu pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak
57
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit. hal.436.
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 287.
59
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 327.
58
42
cukup membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus kesalahan
terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim;
2) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yaitu kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat
bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP agar
cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
1. Pengertian Putusan Bebas Murni
Darwan Prinst menyatakan bahwa putusan bebas murni dijatuhkan,
apabila dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti sama sekali karena tidak ada
suatu perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa ataupun perbuatan ada tetapi
bukan merupakan tindak pidana.60
Menurut Achmad S. Soemadipradja,61 seperti yang dikutip oleh Kelik
Pramudya menyatakan bahwa putusan bebas murni adalah putusan akhir
dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti.
2. Pengertian Putusan Bebas Tidak Murni
Suatu pembebasan tidak murni (niet zuivere vrijspraak) ialah suatu
putusan yang bunyinya bebas hukum (onstlag van rechtsvervolging), yang
dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt onstlag
van rechtsvervolging). Menurut Van Bemmelen,62 seperti yang dikutip Andi
Hamzah menyatakan bahwa terjadinya bebas tidak murni (niet zuivere
vrijspraak) jika hakim menjalankan putusan bebas yang didasarkan atas
kenyataan bahwa yang tersebut dalam surat dakwaan lebih banyak daripada
60
Darwan Prinst, 2002, Hukum Aara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal.159.
Kelik Pramudya, 17 September 2008, Putusan Bebas (Vrijspraak), diakses pada tanggal
8 Juni 2013.
62
Andi Hamzah, Op.Cit, hal 295.
61
43
yang ada dan lebih banyak daripada yang perlu dimuat di dalamnya.
Menurut Oemar Seno Adji,63 seperti yang dikutip Kelik Pramudya
menyatakan bahwa pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan
putusan lepas dari segala tuntutan yang terselubung, dapat dikatakan apabila
dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama
dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut
tidak terbukti yang mempunyai kualifikasi:
1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.
2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas
kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya
Apa yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP dapat lagi diperluas dengan
syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum
yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Buku I Bab III terdapat beberapa pasal yang
mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang
terdakwa dengan kata lain merupakan alasan membebaskan terdakwa dari
pemidanaan antara lain:
1) Pasal 44 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), apabila perbuatan tindak pidana
yang dilakukan terdakwa “tidak dapat dipertanggungjawabkan”;
2) Pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-
63
Kelik Pramudya, Op.Cit.
44
Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun;
3) Pasal 48 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) (overmacht), orang yang
melakukan tindak pidana dalam keadaan pengaruh daya paksa;
4) Pasal 49 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), orang yang terpaksa
melakukan pembelaan diri atau self defence;
5) Pasal 50 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), orang yang melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat
dipidana, terdakwa harus diputus dengan putusan bebas.
3. Akibat Hukum Dijatuhkannya Putusan Bebas
Tedakwa yang diputus bebas dibebaskan dari tahanan, sesuai Pasal
191 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan”.
Suatu yang perlu diperhatikan dalam putusan pembebasan ialah
“perintah untuk membebaskan” terdakwa dari tahanan. Perintah pembebasan
dari tahanan dikeluarkan hakim ketua sidang bersamaan dengan saat putusan
diumumkan, jika seandainya terdakwa yang diputus bebas itu berada dalam
tahanan. Kelalaian mengeluarkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan
dalam putusan pembebasan, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal
45
ini ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k jo. Pasal 197 ayat (2)
KUHAP.64
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001
tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang
Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan
bahwa:
“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus
dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari
segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag
van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera
dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan di depan sidang
terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan
putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan
tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extract
vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya
selaku eksekutor dari putusan Hakim”.
Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa:
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan
bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat.”
Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa:
“Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Pada Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03 tahun
1983 tanggal 10 Desember 1983, butir 19 dicantumkan antara lain:
“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi
berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran,
64
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit,, hal.329-330.
46
terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi.”
Yurisprudensi pertama mengenai putusan bebas adalah Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor Reg. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember
1983. M. Yahya Harahap65 menyatakan bahwa apabila dilihat dari segi
yuridis formalnya yakni dari segi hukum acara dikaitkan dengan Pasal 67
dan Pasal 244 KUHAP maka:
1) Putusan bebas pengadilan tingkat pertama mutlak tidak dapat
diminta banding, tapi langsung dapat diminta permohonan
kasasi;
2) Memang Pasal 244 KUHAP tidak memperkenankan putusan
bebas diminta kasasi sepanjang putusan bebas itu bersifat
“pembebasan murni”, dan permintaan kasasi terhadap putusan
bebas yang bersifat pembebasan murni harus dinyatakan tidak
dapat diterima;
3) Jika sifat pembebasan itu “tidak murni”, putusan bebas tersebut
dapat diminta kasasi;
4) Suatu putusan bebas dianggap tidak bersifat pembebasan murni,
antara lain:
a. Apabila dalam putusan itu terdapat kekeliruan penafsiran
terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsurunsur perbuatan yang didakwakan, atau
b. Apabila dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja
wewenang yang menyangkut kompetensi absolut dan
relative, tapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis.
Di dalam praktik, permasalahan mengenai putusan bebas murni dan
putusan bebas tidak murni itu tidak perlu dihiraukan lagi, karena apakah
putusan bebas itu bersifat murni atau tidak, tidak menjadi masalah bagi
Mahkamah Agung.
Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-
65
Ibid. hal. 442.
47
X/2012, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “kecuali terhadap
putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga ketentuan Pasal
244 KUHAP kini berbunyi:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.”
Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244
dan Pasal 248 guna menentukan:
1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang;
3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.”
Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum
dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang
atau keliru dalam menerapkan hukum.66
Menurut M. Yahya Harahap,67 tujuan utama upaya hukum kasasi
antara lain sebagai berikut:
1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah
satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan
sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benarbenar dilakukan menurut ketentuan undang-undang;
2) Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi,
adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru
dalam bentuk yurisprudensi;
66
67
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 298.
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 518-521.
48
3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain
dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran
“keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work
dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang
menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman
pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya
upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan
penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.
Permohonan kasasi diajukan 14 (empat belas) hari, setelah putusan
pengadilan diberitahukan kepada terdakwa yang disampaikan kepada panitera
Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat
pertama (Pengadilan Negeri) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat
(1) KUHAP. Selanjutnya permintaan kasasi tersebut ditulis dalam sebuah
surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon, kemudian
panitera mencatat dalam daftar yang dilampiri berkas perkara kemudian
panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) dan (3) KUHAP.
14 (empat belas) hari setelah mengajukan permintaan kasasi, wajib
mengajukan memori kasasi kepada panitera dan diberi tanda terima dalam
rangkap 2 (dua) sebagai tembusan oleh panitera untuk disampaikan kepada
pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi, ini
sesuai dengan Pasal 248 ayat (6) KUHAP. Dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada
pihak yang semula mengajukan memori kasasi, sesuai dengan Pasal 248 ayat
(7) KUHAP.
Apabila salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu
49
ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya
diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (1) KUHAP.
Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera pengadilan
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang
waktu permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan
segera disampaikan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam
Pasal 249 ayat (2) dan (3) KUHAP.’
E. Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan
Titel XXV Buku II Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berjudul “Bedrog” yang berarti
penipuan dalam arti luas, sedangkan pasal pertama dari titel itu, yaitu pasal
378, mengenai tindak pidana oplichting yang berarti juga penipuan tetapi
dalam arti sempit, sedangkan pasal-pasal lain dari titel tersebut memuat
tindak pidana lain yang bersifat penipuan juga dalam arti luas.68 Tindak
pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan
bahwa:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau
martabat (hoedabigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”.
68
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indosnesia, Bandung:
Refika Aditama, hal. 36.
50
Menurut Suharto RM,69 Rumusan yang berbentuk kelakuan tersebut
merupakan perbuatan yang disengaja dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum;
3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat atau rangkaian kebohongan;
4. Menggerakkan orang lain untuk:
a. Menyerahkan barang sesuatu;
b. Memberi utang; atau
c. Menghapuskan piutang.
Bentuk dari rumusan Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini sifatnya alternatif,
artinya apabila salah satu dari kelompok tiap unsur itu sudah memenuhi
syarat dari perbuatan materiil yang dilakukan si pelaku, maka dapat memilih
salah satu dari kelompok unsur yang terdapat pada tiap unsur. Dalam pasal ini
yang perlu dibuktikan ialah unsur perbuatan melawan hukum yang mana
sehingga dapat menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu
barang.70
Unsur-unsur tindak pidana penipuan menurut Mulyatno71 adalah
sebagai berikut:
1. Ada seseorang yang dibujuk atau digerakkan untuk menyerahkan
69
Suharto RM, 2002, Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42.
Ibid.
71
Ray Pratama Siadari. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan.
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-unsur-unsur-tindak-pidana-penipuan.html
diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
70
51
suatu barang atau membuat hutang atau menghapus piutang.
Barang itu diserahkan oleh yang punya dengan jalan tipu muslihat.
Barang yang diserahkan itu tidak selamanya harus kepunyaan
sendiri, tetapi juga kepunyaan orang lain;
2. Penipu itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau
orang lain tanpa hak. Dari maksud itu ternyata bahwa tujuannya
adalah untuk merugikan orang yang menyerahkan barang itu;
3. Yang menjadi korban penipuan itu harus digerakkan untuk
menyerahkan barang itu dengan jalan :
a) Penyerahan barang itu harus akibat dari tindakan tipu daya;
b) Sipenipu harus memperdaya sikorban dengan satu akal yang
tersebut dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perbuatan penipuan ini tidak menggunakan sarana paksaan, tetapi
dengan kepandaian seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang
berbuat sesuatu tanpa kesadaran yang penuh.72
Secara umum menurut Adam Chazawi73, unsur-unsur tindak pidana
terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur
subjektif.
Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal
sebagai berikut:
1. Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam
kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki /
mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran
orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;
2. Unsur benda / barang;
3. Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus
merupakan milik orang lain;
4. Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan
perbuatan yang dilarang;
72
Suharto RM, Op. Cit.
M. Abdul Kholiq, 23 Januari 2011. Tinjauan Yuridis Wanprestasi, Penipuan dan
Penggelapan, http://pkbh.uii.ac.id/analisa-hukum/analisa-hukum/tinjauan-yuridis-tentangperbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html diakses pada tanggal 7 Juni 2013.
73
52
5. Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya
perbuatan yang dilarang.
Sedangkan unsur subjektifnya adalah terdiri atas:
1. Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti
“dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut
diduga olehnya” dan sebagainya; dan
2. Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis
dalam perumusan pasal maupun tidak.
Perumusan dari tindak pidana penggelapan termuat dalam Pasal 372
Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dari titel XXIV buku II Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan
bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling
banyak enam puluh rupiah”.
Berdasarkan bunyi Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatas, diketahui
bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok
berupa:
1. Unsur subjektif delik berupa kesengajaan pelaku untuk
menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam
pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2. Unsur oyektif delik yang terdiri atas:
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur menguasai secara melawan hukum;
c. Unsur suatu benda;
d. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
53
e. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.74
Dalam konteks pembuktian unsur subjektif misalnya, kesengajaan
pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian
apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang:
1.
“Menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda
secara melawan hukum;
2. “Mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai
itu adalah sebuah benda;
3. “Mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau
seluruhnya adalah milik orang lain;
4. “Mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena
kejahatan.75
Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut
perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga
sebagai berikut :
1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda
yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur
melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal
yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik
orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan.
Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan
hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai
“bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”;
2. Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai
pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek
cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya
dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda
bergerak”;
3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan,
sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah
mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa
harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku
dengan benda yang dikuasainya.76
Sedangkan sumber lain menyebutkan unsur-unsur tindak pidana
74
Ibid.
Ibid.
76
Ibid.
75
54
penggelapan:
a.
Sengaja;
b.
Melawan hukum;
c.
Memiliki sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik
orang lain;
Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.77
d.
77
Setyawan, Budi. 20 Oktober 2012. Tinjauan Yuridis Penanganan Perkara Penipuan
(Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)) Dan Atau Penggelapan (Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)) Studi Kasus Perkara Atas Nama Saudi Bin Maksin
Pada Kejaksaan Negeri Cilegon. http://rangselbudi.wordpress.com/2012/10/20/tinjauan-yuridispenanganan-perkara-penipuan-pasal-378-Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)-dan-atau-penggelapan-pasal-372-Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)-studi-kasus-perkara-atasnama-saudi-bin-maksin-pada-kejaksaan-negeri-cilegon/ diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yuridis normatif atau
penelitian hukum kepustakaan oleh karena “Penelitian hukum ini dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka”. 78 Penelitian
yuridis normatif ini dengan pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan kasus (Case
Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah
diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.79
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian preskripstif yaitu
semua penelitian yang bertujuan menggambarkan atau merumuskan
masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada. Menurut Peter
Mahmud
Marzuki
menyatakan
bahwa
ilmu
hukum
mempunyai
karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. 80 Sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai hukum, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menciptakan
standar
78
prosedur,
ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu
dalam
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 13-14.
79
Jhony Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu
media Publishin, hal. 295 – 321.
80
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Perdana Media
Grup, hal.91.
56
melaksanakan aturan.
C. Sumber Data
Peneliti dalam penelitian ini, akan menggunakan data sekunder untuk
membangun penelitian dan untuk mendapatkan hasil yang objektif dari
penelitian. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan menjadi:
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki Undang-Undang
Dasar
1945,
undang-undang/peraturan
pengganti
undang-undang,
peraturan pemerintah, pemerintahan daerah.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan
topik penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.81
D. Metode Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan
studi dokumen. Studi pustaka ini akan menggali berbagai kemungkinan
jawaban permasalahan dalam penelitian ini. Studi dokumen suatu cara
pengumpulan
bahan
dengan
menelaah
terhadap
dokumen-dokumen
pemerintah maupun non pemerintah berupa surat keputusan, internet, arsip81
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 106.
57
arsip ilmiah, dan putusan pengadilan dan sebagainya. Putusan yang menjadi
studi dokumen adalah putusan Pengadilan Negeri No. 39/ Pid.B/ 2008/
PN.Pwt.
E. Metode Penyajian Data
Peneliti setelah memperoleh bahan hukum (primer, sekunder, tersier)
akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut.
Nantinya data yang diperoleh akan disususn secara sistematis dan logis.
Antara bahan hukum yang satu dengan yang lain memilki hubungan yang
dapat menjawab permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini.
F. Metode Analisis Data
Bahan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan
sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis
guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa analisis tehadap
bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi. Bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui pertimbangan
dan penerapan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas, serta akibat
hukum bagi terdakwa yang dijatuhi putusan bebas sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara
Dalam perkara ini terdakwa yang menjabat sebagai direktur PT. Aries
Pura Graha telah melaksanakan pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai
Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat dan dalam pekerjaan
pembangunan jaringan listrik serta gardu trafo untuk proyek perumahan
bekerja sama dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya yang selanjutnya diterbitkan
Surat Perintah Kerja (SPK). Setelah PT. Puri Sinar Berkah Jaya melakukan
kewajiban sesuai SPK, PT. Aries Pura Graha belum melakukan pembayaran
maka PT. Puri Sinar Berkah Jaya menghentikan pekerjaanya. Selanjutnya
terdakwa mengajak saksi korban sebagai penyandang dana proyek
pembangunan jaringan listrik
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan
Pasir Kidul dan menjanjikan keuntungan yang besar. Sejak Januari 2007
sampai Maret 2007, saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai kas bon
secara bertahap kepada saksi korban.
Ketika saksi korban akan membuat perjanjian tertulis dengan
terdakwa di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H. terdakwa dengan dalih akan
mempelajari draf yang disodorkan saksi korban pergi dan menghindar
sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus SPK
dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan
jaringan listrik berikutnya ke saksi 4.
59
Pada waktu saksi 2 melakukan penagihan pembayaran, terdakwa
hanya membayar sebagian saja dan uang yang di kas bon PT. Puri Sinar
Berkah Jaya dari saksi korban adalah urusan saksi korban dan terdakwa
sedangkan kekurangnnya diminta terdakwa sebagai fee, kemudian terdakwa
memegang kwitansi/ tanda terima dan tidak mengembalikan hak saksi korban
atas pengembalian kas bon dan keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Penuntut Umum dalam persidangan menghadapkan terdakwa dengan
dakwaan alternatif yaitu sebagai berikut:
a. Dakwaan Pertama
Bahwa ia terdakwa M.A.N Bin D.J.S, pada hari dan tanggal yang
sudah tidak dapat diingat lagi pada bulan Oktober 2006 sampai bulan
Maret 2007 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2006
sampai bulan Maret 2007, bertempat dilokasi proyek pembangunan
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan
Purwokerto Barat Kabupaten Banyumas atau disuatu tempat setidaktidaknya masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu,
dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi utang maupun menghapus piutang, perbuatan mana
dilakukan terdakwa sebagai berikut:
60
Bahwa ia terdakwa yang menjabat Direktur PT. Aries Pura Graha
dengan
alamat
Jl.
Genuksari
No.
34
Semarang,
telah
melaksanakan proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur
Permai Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat dan
dalam pekerjaan listrik untuk proyek perumahan tersebut telah
menggandeng PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan
semua yang menyangkut listrik baik pengadaan barang maupun
jasa yang selanjutnya diterbitkan dalam SPK (Surat Perintah
Kerja) untuk pekerjaan pembangunan jaringan listrik dan gardu
trafo perumahan Koperasi Gotong Royong dengan nilai pekerjaan
sebesar Rp 647.927.000,00 (Enam ratus empat puluh tujuh juta
Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) dan waktu
pelaksanaan 60 hari terhitung tanggal 26 Juni 2006 sampai dengan
24 Agustus 2006, yang mana terdakwa dalam SPK tersebut telah
menggunakan nama Dr. Mulyono, Anc kemudian PT. Puri Sinar
Berkah Jaya mulai melakukan pengadaan tiang listrik dan
kelengkapannya dan sudah ditaruh di lokasi dan arena PT. Aries
Pura Graha belum melakukan pembayaran maka PT. Puri Sinar
Berkah Jaya menghentikan pekerjaannya, selanjutnya agar
terdakwa dapat membayar dan melanjutkan pekerjaan listrik yang
dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya, terdakwa mengajak saksi
korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan jaringan
listrik perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul,
61
dimana terdakwa telah meyakinkan saksi korban dengan
mengatakan apabila terdakwa sudah terlanjur mengeluarkan dana
untuk pengadaan tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah
distock di gudang dan nilainya cukup besar sampai milyaran, yang
kemudian saksi korban diajak ke lokasi proyek dan ditunjukkan
adanya tiang-tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah
menumpuk,
dimana
sebenarnya
tiang-tiang
listrik
dan
kelengkapannya tersebut adalah kepunyaan PT. Puri Sinar Berkah
Jaya yang belum dapat dibayar oleh terdakwa, kemudian terdakwa
juga menjanjikan keuntungan yang besar apabila saksi korban
bersedia mendanai, kemudian pada hari dan tanggal yang sudah
tidak dapat lagi diingat sekira pukul 13.00 Wib bulan Desember
2006 telah dilakukan pertemuan kembali antara terdakwa dan
saksi korban dalam rangka pembahasan pembangunan perumahan
Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul di rumah makan Suka
Niki Purwokerto yang dihadiri saksi Purwadi dari pihak Koperasi
Gotong Royong, saksi 3 dari pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya,
yang mana terdakwa telah mengenalkan kepada semua yang hadir
bahwa
saksi
korban
sebagai
penyandang
dana
proyek
pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir
Kidul secara keseluruhan, dan kemudian memerintahkan saksi 3
dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya apabila membutuhkan dana untuk
pembiayaan dimuka untuk meminta uang langsung kepada saksi
62
korban, sehingga menjadikan saksi korban tergerak hatinya untuk
menuruti kehendak terdakwa, sehingga pada bulan Januari 2007
sampai bulan Maret 2007 saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya
mulai kas bon secara bertahap kepada saksi korban dimana saksi
korban selalu memenuhi baik dikirim melalui transfer maupun
diterima langsung saksi 3 dengan jumlah keseluruhan kas bon PT.
Puri Sinar Berkah Jaya sejumlah Rp 52.500.000,00 (Lima puluh
dua juta lima ratus ribu rupiah) dan ketika saksi korban akan
membuat perjanjian tertulis dengan terdakwa di Notaris Prian
Resriarto, S.H., dimana antara saksi korban dengan terdakwa telah
berada di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H., terdakwa dengan
dalih akan mempelajari draft yang disodorkan saksi korban telah
pergi dan menghindar sehingga perjanjian tidak terwujud,
selanjutnya terdakwa memutus SPK dengan PT. Puri Sinar Berkah
Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan listrik
berikutnya ke saksi 4, dan pada waktu saksi 2 selaku Direktur PT.
Puri Sinar Berkah Jaya melakukan penagihan atas pekerjaan yang
telah dilaksanakan sejumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas
juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) secara berulang kali,
terdakwa hanya membayar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta
rupiah) melalui dua kali transfer Bank Niaga yaitu pertama Rp
25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua Rp
35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan kemudian
63
terdakwa meminta kwitansi/ tanda terima uang dengan jumlah Rp
113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga
ribu rupiah) kepada saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah
Jaya dan terdakwa mengatakan uang sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) uang yang di kas bon
PT. Puri Sinar Berkah Jaya dari saksi korban adalah urusan
terdakwa dengan saksi korban sedangkan kekurangan yang
sebesar Rp 1.023.000,00 (Satu juta dua puluh tiga ribu rupiah)
diminta terdakwa sebagai fee atas pekerjaan yang telah diberikan
kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya, kemudian terdakwa yang telah
memegang
kwitansi/
tanda
terima
uang
sebesar
Rp
113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga
ribu rupiah) dari saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah
Jaya tersebut, tidak menyerahkan hak saksi korban atas
pengembalian kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan
keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa.
Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban menderita kerugian sebesar
Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) atau
setidak-tidaknya sekitar jumlah itu;
Sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 378 Undang-undang
No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
64
ATAU
b. Dakwaan Kedua
Bahwa ia terdakwa M.A.N Bin D.J.S pada waktu dan tempat
sebagaimana dalam dakwaan pertama, dengan sengaja dan melawan
hukum mengaku sebagai pemilik sendiri (Zich Toeeigemen) barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
perbuatan mana dilakukan terdakwa sebagai berikut:
Bahwa ia terdakwa yang menjabat direktur PT. Aries Pura Graha
dengan alamat Jl. Genuksari No. 34 Semarang telah melaksanakan
proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai di Kelurahan
Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Timur dan dalam pekerjaan
listrik untuk proyek perumahan tersebut telah menggandeng PT.
Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan semua yang
menyangkut listrik baik pengadaan barang maupun jasa yang
selanjutnya diterbitkan dalam SPK (Surat Perintah Kerja) untuk
pekerjaan
pembangunan
jaringan
listrik
dan
gardu
trafo
perumahan Koperasi Gotong Royong dengan nilai pekerjaan
sebesar Rp 647.927.000,00 (Enam ratus empat puluh tujuh juta
sembilan ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) dan waktu
pelaksanaan 60 hari terhitung tanggal 26 Juni 2006 sampai dengan
24 Agustus 2006, yang mana terdakwa dalam SPK tersebut telah
menggunakan nama Dr. Mulyono, Anc kemudian PT. Puri Sinar
65
Berkah Jaya mulai melakukan pengadaan tiang listrik dan
kelengkapannya dan sudah ditaruh di lokasi dank arena PT. Aries
Pura Graha belum melakukan pembayaran maka PT. Puri Sinar
Berkah Jaya menghentikan pekerjaannya, selanjutnya agar
terdakwa dapat membayar dan melanjutkan pekerjaan listrik yang
dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya, terdakwa mengajak saksi
korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan jaringan
listrik perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul,
dimana terdakwa telah meyakinkan saksi korban dengan
mengatakan apabila terdakwa sudah terlanjur mengeluarkan dana
untuk pengadaan tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah
distok di gudang dan nilainya cukup besar sampai milyaran, yang
kemudian saksi korban diajak ke lokasi proyek dan ditunjukkan
adanya tiang-tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah
menumpuk,
dimana
sebenarnya
tiang-tiang
listrik
dan
kelengkapannya tersebut adalah kepunyaan PT. Puri Sinar Berkah
Jaya yang belum dapat dibayar oleh terdakwa, kemudian terdakwa
juga menjanjikan keuntungan yang besar apabila saksi korban
bersedia mendanai, kemudian pada hari dan tanggal yang sudah
tidak dapat diingat lagi sekira pukul 13.00 Wib bulan Desember
2006 telah dilakukan pertemuan kembali antara terdakwa dan
saksi korban dalam rangka membahas pembangunan perumahan
Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul di rumah makan Suka
66
Niki Purwokerto yang dihadiri saksi 5 dari pihak Koperasi Gotong
Royong, saksi 3 dari pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya, yang mana
terdakwa telah mengenalkan kepada semua yang hadir bahwa
saksi korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul secara
keseluruhan dan memerintahkan saksi 3 dari PT. Puri Sinar
Berkah Jaya apabila membutuhkan dana untuk pembiayaan
dimuka untuk meminta uang langsung kepada saksi korban,
sehingga menjadikan saksi korban tergerak hatinya untuk
menuruti kehendak terdakwa, sehingga pada bulan Januari 2007
sampai bulan Maret 2007 waktu saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah
Jaya mulai kas bon secara bertahap kepada saksi korban dimana
saksi korban selalu memenuhi baik dikirim melalui transfer
maupun diterima langsung saksi 3, dengan jumlah keseluruhan kas
bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya sejumlah Rp 52.500.000,00 (Lima
puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan ketika saksi korban akan
membuat perjanjian tertulis dengan terdakwa di kantor Notaris
Prian Resriarto, S.H., terdakwa dengan dalih akan mempelajari
draft yang disodorkan saksi korban telah pergi dan menghindar
sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus
SPK dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan
pekerjaan pembangunan jaringan listrik berikutnya ke saksi 4 alias
Bibin Saputra, dan pada waktu saksi 2 selaku Direktur PT. Puri
67
Sinar Berkah Jaya melakukan penagihan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan sejumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta
lima ratus dua puluh tiga rupiah) secara berulang kali, terdakwa
hanya membayar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah)
melalui dua kali transfer Bank Niaga yaitu pertama Rp
25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua Rp
35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan kemudian
terdakwa meminta kwitansi/ tanda terima uang dengan jumlah Rp
113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga
ribu rupiah) kepada saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah
Jaya dan terdakwa mengatakan uang sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) uang yang dikas bon
PT. Puri Sinar Berkah Jaya dari saksi korban sedangkan
kekurangan yang sebesar Rp 1.023.000,00 (Satu juta dua puluh
tiga ribu rupiah) diminta terdakwa sebagai fee atas pekerjaan yang
telah diberikan kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya tersebut, tidak
menyerahkan hak saksi korban atas pengembalian kas bon PT.
Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua
juta lima ratus ribu rupiah) dimana uang sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) berada dalam
kekuasaan terdakwa tersebut bukan karena kejahatan dan terdakwa
juga tidak memberikan keuntungan yang telah dijanjikan
terdakwa.
68
Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban menderita kerugian sebesar
Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) atau
setidak-tidaknya sekitar jumlah itu;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
3. Pembuktian di Persidangan
Proses pembuktian di persidangan telah didengarkan keterangan
berupa:
a. Keterangan Saksi-Saksi
1. Saksi Korban
Saksi korban telah dirugikan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima
puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) oleh terdakwa. Pada awalnya
terdakwa telah membujuk saksi korban agar bersedia sebagai
penyandang dana untuk kebutuhan operasional proyek pembangunan
jaringan listrik pada perumahan Pasir Luhur Permai di Purwokerto,
karena
terdakwa
terlanjur
mengeluarkan
dana
sebesar
Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang telah
diserahkan transfer melalui rekening saksi 3. Saksi 3 kas bon kepada
saksi korban atas perintah terdakwa. Saksi korban bersedia sebagai
pendana proyek pembangunan jaringan listrik tersebut, karena
terdapat perjanjian yang bermotifkan untuk mendapatkan keuntungan
bisnis yang diantaranya untung dibagi dua. Uang tersebut tidak
69
diserahkan kepada saksi 2 selaku Direktur PT. Sinar Berkah Jaya,
karena sedang persiapan berangkat haji dan telah dikuasakan kepada
saksi 3 sehingga uang saksi korban diserahkan kepada saksi 3. Saksi
korban pernah diajak melihat-lihat tiang listrik yang telah distok di
gudang oleh terdakwa, kemudian saksi korban menyetor uang kepada
terdakwa yang telah mengeluarkan milyaran rupiah.
Bahwa uang yang Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima
ratus ribu rupiah) yang diserahkan kepada saksi 3 belum dikembalikan
oleh terdakwa kepada saksi korban. Saksi korban pernah melakukan
perjanjian tertulis, dalam perjanjian tersebut mestinya dibuat bersama,
karena terdakwa ditunggu-tunggu tidak datang maka saksi korban
sendiri yang membuat draft perjanjian. Pada waktu membuat
perjanjian terdakwa ditunggu-tunggu tidak datang, maka perjanjian
tersebut sampai sekarang belum terjadi antara saksi korban dengan
terdakwa. Sebenarnya yang mempunyai proyek pembangunan
perumahan tersebut adalah Koperasi Gotong Royong Kabupaten
Banyumas, sedangkan PT. Aries Pura Graha selaku developer utama
yang dipimpin oleh terdakwa, sedangkan PT. Puri Sinar Berkah Jaya
sebagai sub developer yang diperintahkan oleh terdakwa sesuai SPK
(Surat Perintah Kerja) untuk mengerjakan pembangunan perumahan
tersebut. Saksi korban membenarkan bahwa Kopresi Gotong Royong
yang mempunyai tanahnya sedangkan terdakwa mendapat legalitas
dari koperasi. Saksi korban tidak akan menjadi partner terdakwa
70
karena tidak ada kecocokan. Saksi korban berpendapat bahwa
perkataan terdakwa kepada saksi korban adalah bohong karena
pengadaan tiang-tiang listrik dan kelengkapannya yang ditaruh di
proyek, sebenarnya belum dibayar dan akhirnya dibayar kepada PT.
Puri Sinar Berkah Jaya dengan memakai dana kas bon dari saksi
korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah).
Saksi korban sudah mengajukan perkara perdata terhadap terdakwa
melalui pengadilan akan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum
tetap karena saksi korban mengajukan banding. Berkaitan dengan
uang yang diserahkan kepada saksi 3 tersebut, termasuk yang diajukan
ke perkara perdata. Saksi korban sulit untuk memberikan somasi
kepada terdakwa karena sulit untuk berkomunikasi.
Saksi korban mengetahui bahwa terdakwa telah membayar kepada
PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh
juta rupiah) melalui transfer Bank Niaga 2 (dua) kali yang pertama
sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan yang
kedua sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dari
total Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh
tiga ribu rupiah) serta bukti transfer tersebut ada kwitansinya pada
saksi korban. Sebelumnya saksi sudah mengenal terdakwa dan telah
ada suatu kesepakatan lisan secara langsung dengan terdakwa
71
mengenai kerja sama serta yang menjadi kewajiban dari terdakwa
yaitu segala sesuatu harus dikoordinasikan dengan saksi korban.
Dengan adanya kejadian ini saksi korban mengatakan kepada
Koperasi Gotong Royong selaku yang mempunyai proyek perumahan
tersebut, saksi korban tidak bersedia lagi sebagai penyandang dana
karena managementnya buruk. Uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima
puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang diserahkan kepada saksi 3
merupakan perjanjian secara keseluruhan dan pada waktu saksi
korban menyerahkan uang tersebut serta menagih kepada terdakwa
saksi 2 tidak tahu.
Berdasarkan keterangan saksi korban tersebut terdakwa keberatan
terhadap keterangan yang mengatakan bahwa terdakwa mengetahui/
memerintahkan kepada saksi 3 untuk kas bon uang sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang benar
terdakwa tidak tahu, mengenai adanya perjanjian tertulis yang benar
tidak ada perjanjian secara terulis.
2. Saksi 2
Saksi 2 mengenal saksi korban karena dikenalkan oleh saksi 3,
mengenai hubungan saksi 2 dengan terdakwa adalah berkaitan dengan
pekerjaan proyek perumahan Pasir Luhur Permai. Prestasi yang saksi
2 kerjakan dalam proyek tersebut sudah mencapai 20%. Saksi 2
pernah mengajukan penagihan kepada terdakwa atas prestasi yang
telah dikerjakan totalnya sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga
72
belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah). Setelah saksi 2
menagih kepada terdakwa, telah mendapatkan pembayaran sebesar Rp
60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui transfer Bank Niaga
2 (dua) kali yang pertama sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima
juta rupiah) dan yang kedua sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh
lima juta rupiah) yang menerima adalah saksi 2 sendiri. Saksi 2 tidak
mengetahui ditransfer dari rekening siapa, tetapi pengirimnya dari
terdakwa sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah).
Pekerjaan proyek tersebut dihentikan sampai sekarang, karena tidak
ada perintah untuk melanjutkan. Saksi 2 hanya mengetahui terdakwa
yang mempunyai proyek tersebut tetapi pada kenyataannya dari
kerjasama dengan Koperasi Gotong Royong. Saksi 2 juga diikutkan
dalam gugatan perdata saksi korban di Pengadilan Negeri Purwokerto
dan saksi 2 tidak mengetahui perkaranya sudah putus apa belum.
Saksi 2 tidak dijanjikan keuntungan oleh terdakwa hanya pekerjaan
saja. Akibat kejadian tersebut saksi 2 merasa dirugikan oleh terdakwa
berupa kerugian materiil, waktu dan sebagainya.
Pembayaran yang dilakukan oleh terdakwa, menurut saksi 2 masih
kurang sekitar Rp 53.000.000,00 (Lima puluh tiga juta rupiah) dan
kekurangan tersebut saksi 2 serahkan kepada saksi 3 yang telah saksi
2 kuasakan sebelumnya. Proyek jaringan listrik tersebut didanai oleh
saksi korban melalui kas bon saksi 3 kepada saksi korban sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan yang
73
menerima adalah saksi 3 selaku karyawan saksi 2. Kas bon saksi 3
kepada saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta
lima ratus ribu rupiah) atas ijin/ sepengetahuan terdakwa, karena
terdakwa memerintahkan kepada saksi 3 berkaitan dengan dana
pembangunan jaringan listrik meminta kas bon kepada saksi korban.
Saksi 2 membuat kwitansi dengan nilai pekerjaan sebesar Rp
113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu
rupiah) padahal saksi 2 hanya menerima pembayaran dari terdakwa
sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) karena setahu
saksi 2, dana yang pernah saksi 2 kas bon dari saksi korban sebesar
Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
tersebut akan dibayarkan sendiri oleh terdakwa. Proyek pembangunan
jaringan listrik yang sudah dikerjakan sesuai SPK (Surat Perintah
Kerja) dari terdakwa telah dialihkan kepada sub kontraktor baru tanpa
sepengetahuan saksi 2, karena terdakwa tidak pernah mengatakan
kepada saksi 2 tentang pengalihan pekerjaan itu.
Tagihan saksi 2 sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta
lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kepada terdakwa dan telah
diterima sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) ditambah
Rp 52.523.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus dua puluh tiga ribu
rupiah) itu belum ada sejumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas
juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) karena saksi korban dengan
terdakwa masih bekerja sama dan setuju uang yang Rp 52.500.000,00
74
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) sebagai pembayaran dan
saksi 2 pernah meminta untuk dikonfirmasikan kepada saksi korban
sebagai pendana dan dijawab oleh terdakwa iya nanti saya
konfirmasikan dengan saksi korban. Uang yang diterima saksi 2 masih
kurang sekitar Rp 1.000.000,00 (Satu juta rupiah). Didalam kwitansi
tertera uang sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima
ratus dua puluh tiga ribu rupiah) sedangkan yang diterima dari
terdakwa hanya sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah),
karena uang yang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta
lima ratus ribu rupiah) adalah urusan terdakwa dengan saksi korban
dan kekurangannya yang sebesar Rp 1.023.000,00 (Satu juta dua
puluh tiga ribu rupiah) terdakwa meminta sebagi fee atas proyek
tersebut. Selain itu masih ada tunggakan dengan saksi 3, sebab dari
beberapa bon yang saksi 2 kumpulkan masih ada Rp 28.000.000,00
(Dua puluh delapan juta rupiah) tetapi sekarang sudah terbayarkan.
Saksi 2 telah menguasakan kepada saksi 3 berkaitan dengan urusan
kerja sama dengan PT. Aries Pura Graha, di dalam scedulnya berakhir
sampai proyek tersebut berjalan. Saksi 2 pernah menandatangani
kwitansi sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus
dua puluh tiga ribu rupiah) kemudian diberikan kepada terdakwa.
Saksi 2 tidak memberikan kuasa kepada saksi korban untuk menagih
kepada terdakwa.
75
Saksi 2 tidak mengetahui dan tidak mendengar saksi korban
menagih kepada terdakwa karena permasalahan tersebut antara saksi
korban dengan terdakwa. Saksi 2 pernah memberitahukan atas kas
bonnya kepada saksi korban ke saksi 3. Saksi 2 telah menerima
pembayaran sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) dari
terdakwa dan kekurangannya sebesar Rp 53.000.000,00 (Lima puluh
tiga juta rupiah) terdakwa belum pernah melakukan pembayaran lagi.
Saksi 2 pernah diperiksa di kepolisian dan pada saat dikonfirmasi
uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah) dari terdakwa.
Berdasarkan keterangan saksi 2 tersebut, terdakwa keberatan
terhadap keterangan saksi 2 yang menyatakan bahwa penyerahan
kwitansi secara lengkap diserahkan saksi sendiri kepada terdakwa,
yang benar adalah penyerahan kwitansi secara lengkap tidak langsung
kepada terdakwa serta penyerahan kwitansi tersebut terdakwa tidak
mengetahuinya.
3. Saksi 3
Saksi 3 mengenal terdakwa sejak tahun 2006 dikenalkan oleh Sdr.
J. Saksi 3 pada saat itu sebagai kuasa dari saksi 2 untuk melaksanakan
proyek perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul yang
bekerja sama dengan PT. Aries Pura Graha yang dipimpin oleh
terdakwa yang sudah dilaksanakan akan tetapi belum selesai. Selain
itu saksi 3 juga diberi kuasa untuk menagih uang tagihan.
76
Pada waktu saksi 3 menagih uang kepada PT. Aries Pura Graha
dalam hal ini terdakwa, belum ada pembayaran dari terdakwa
sehingga saksi 3 melapor kepada saksi 2 selaku atasan saksi 3. Saksi 3
dengan terdakwa mengadakan perjanjiaan untuk meminta dana
langsung kepada saksi korban. Saksi 3 pernah kas bon kepada saksi
korban sudah 4(empat) kali menerima pembayaran senilai Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk
membiayai proyek tersebut dan telah memberitahu kepada terdakwa
serta ada kwitansinya yang ditanda tangani adalah saksi 3.
Saksi 3 hanya diberi tahu bukti transfer dari terdakwa ke saksi 2
sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) tetapi yang harus
dibayar adalah sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima
ratus dua puluh tiga ribu rupiah) dan sampai sekarang belum lunas.
Saksi 3 tidak mengetahui antara saksi korban dengan terdakwa
mengadakan perjanjian. Saksi 3 kas bon kepada saksi korban tetapi
kas bon itu secara bertahap kadang-kadang melalaui transfer dan
tunai.
Saksi korban menagih saksi 3 pada pertengahan tahun 2007, tetapi
saksi 3 tidak pernah menanyakan atau memberi tahu kepada terdakwa
bahwa saksi 3 ditagih oleh saksi korban. Saksi 3 pernah menanyakan
kepada terdakwa tentang pekerjaan proyek tersebut yang telah
dialihkan kepada pihak lain, tetapi terdakwa menyuruh agar
mengajukan penawaran ulang kepada kontraktor baru di Cilacap. Pada
77
tanggal 12 Maret 2007 saksi 3 menagih uang sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) kepada
terdakwa serta pada tanggal 14 April 2007 saksi 3 mengetahui bahwa
saksi 2 membuat tagihan.
Berdasarkan keterangan saksi tersebut, terdakwa keberatan
terhadap keterangan yang mengatakan bahwa masalah pendanaan agar
meminta langsung kepada saksi korban, yang benar adalah terdakwa
tidak mengatakan masalah pendanaan.
4. Saksi 4
Saksi 4 mengenal terdakwa hampir 1(satu) tahun selain itu antara
saksi 4 dengan terdakwa bekerjasama dalam pekerjaan proyek
perumahan Pasir Luhur Permai milik Koperasi Gotong Royong. Saksi
4 dengan PT. Aries Pura Graha sebagai mitra kerja dan sampai
sekarang sudah mencapai 15% sampai dengan 20%. Saksi 4 pernah
mendengar nama saksi korban tetapi tidak mengetahui antara saksi
korban dengan terdakwa ada hubungan pekerjaan.
Saksi 4 mengetahui bahwa saksi korban pernah menggugat
terdakwa secara perdata di Pengadilan Negeri Purwokerto tetapi saksi
4 tidak sebagai pihak di dalamnya dan sekarang perkaranya sudah
putus yang memerintahkan kepada koperasi membayar sebesar Rp
1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) lebih secara tanggung renteng
dengan terdakwa. Saksi menyatakan tidak tahu terdakwa mempunyai
78
utang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah) kepada saksi korban.
Saksi 4 mengaku mengenal saksi 2, dan mengetahui bahwa antara
saksi 2 dengan terdakwa mempunyai hubungan pekerjaan listrik serta
terdakwa sudah melakukan pembayaran Rp 60.000.000,00 (Enam
puluh juta rupiah) tetapi saksi 4 tidak mengetahui apakah masih ada
kekurangan atas pembayaran tersebut.
Saksi 4 tidak mengetahui hubungan saksi korban dengan saksi 2,
dan saksi 4 membenarkan mengenai pemilik proyek pembangunan
perumahan tersebut adalah Koperasi Gotong Royong. Proyek yang
saksi kerjakan meliputi secara keseluruhan dan saksi 4 mengetahui
khusus proyek pembangunan jaringan listrik pada perumahan tersebut
sebelumnya dikerjakan oleh PT. Puri Sinar Berkah Jaya. Saksi 4 tidak
mengingat berapa jumlah kas bon terdakwa kepada saksi 2, dan dalam
perkara perdata saksi 4 ikut masuk dalam pihak intervensi. Saksi 4
mengatakan bahwa di dalam gugatan saksi korban uang sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang harus
ditanggung renteng koperasi dengan terdakwa.
Bahwa berdasarkan keterangan saksi 4 tersebut, terdakwa
membenarkannya semua.
5. Saksi 5
Saksi 5 merupakan ketua Koperasi Gotong Royong Kabupaten
Banyumas dan mengenal terdakwa sebagai Direktur PT. Aries Pura
79
Graha. Koperasi Gotong Royong dan PT. Aries Pura Graha telah
mengadakan kerjasama pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai
namun berhenti di tengah jalan. Saksi 5 mengenal saksi korban dan
mengetahui hubungan saksi korban dengan terdakwa tetapi tidak
dengan koperasi.
Saksi 5 mengetahui terdakwa digugat oleh saksi korban dalam
perkara perdata dan saksi 5 termasuk di dalamnya yang menghasilkan
putusan untuk membayar. Saksi 5 tidak mengetahui terdakwa ikut
membayar atau tidak dan saksi 5 berada di pihak yang kalah. Saksi 5
menyatakan saksi korban melaporkan terdakwa karena menggelapkan
uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah) dan uang tersebut termasuk di dalamnya. Saksi 5 tidak
mengetahui hubungan saksi korban dengan terdakwa akan tetapi
setahu saksi PT. Aries Pura Graha yang melunasi dana sebesar Rp
2.000.000.000,00 (Dua milyar rupiah), berkaitan permasalahan saksi
korban dengan koperasi telah ada penyelesaiannya yaitu dengan
mengembalikan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar
rupiah). Antara terdakwa dengan koperasi telah ada perjanjian tertulis
yang berisi pihak koperasi menyediakan lahan untuk dikerjakan, dana
yang dikeluarkan koperasi hanya untuk ijin dan lain-lain, kewajiban
terdakwa untuk dikerjakan oleh PT. Aries Pura Graha dan ada
keuntungan yang diharapkan oleh koperasi tetapi belum selesai pada
waktunya.
80
Koperasi Gotong Royong belum merasa dirugikan oleh siapapun
termasuk oleh PT. Aries Pura Graha. Saksi 5 tidak mengetahui saksi 2
dalam mengerjakan listrik ada kas bon. Saksi 5 tidak membenarkan
bahwa terdakwa atau pihak PT. Aries Pura Graha pernah meminta
dana kepada Koperasi Gotong Royong untuk membayar kepada pihak
PT. Puri Sinar Berkah Jaya, karena sepengetahuan saksi permintaan
dana dari terdakwa untuk mengerjakan pembayaran perumahan bukan
untuk memasang jaringan listrik. Dalam perkara perdata nomor
register 45 tahun 2007 menghasilkan putusan bahwa kas bon sebesar
Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
ditanggung renteng dengan koperasi.
Berdasarkan
keterangan
saksi
5
tersebut,
terdakwa
membenarkannya semua.
6. Saksi 6
Saksi 6 tidak hadir dipersidangan, maka atas permohonan Penuntut
Umum dengan persetujuan terdakwa dan Majelis Hakim, keterangan
saksi 6 tersebut dibacakan dalam persidangan, sebagaimana yang
termuat
dalam
berita
acara
pemeriksaan
penyidikan.
Saksi
membenarkan bahwa PT. Aries Pura Graha sebagai developer utama
yang mengerjakan proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur
Permai, pemilik pekerjaan tersebut adalah Koperasi Gotong Royong
Kabupaten Banyumas. Dalam proyek tersebut pihak PT. Aries Pura
Graha telah menunjuk PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan
81
khusus pembangunan jaringan listriknya, tetapi saksi 6 tidak
mengetahui berapa nilai/ harga pekerjaan tersebut sesuai dengan
SPKnya.
PT Puri Sinar Berkah Jaya dalam mengerjakan pembangunan
jaringan listrik telah menggunakan dana kas bon dari saksi korban
sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
tetapi saksi 6 tidak mengetahui berapa lama waktu untuk mengerjakan
proyek tersebut. Saksi 6 tidak mengetahui bila direkturnya bernama
M.A.N telah membayar pekerjaan yang telah dikerjakan PT. Puri
Sinar Berkah Jaya, tetapi saksi 6 menerangkan pernah diajak ke
Semarang oleh terdakwa untuk membicarakan pekerjaan dan saat itu
terdakwa mengatakan berjanji akan membayar dengan cara ditransfer.
Saksi 6 tidak mengetahui proyek pembangunan jaringan listrik telah
dialihkan kepada saksi 4 kontraktor dari Cilacap, saksi 6 hanya
mengetahui tiba-tiba pekerjaan tersebut dikerjakan oleh kontraktor
saksi 4 dari Cilacap.
7. Saksi 7
Saksi 7 tidak hadir dipersidangan, maka atas permohonan Penuntut
Umum dengan persetujuan terdakwa dan Majelis Hakim, keterangan
saksi 7 tersebut dibacakan dalam persidangan, sebagaimana yang
termuat dalam berita acara pemeriksaan penyidikan. PT. Aries Pura
Graha
sebagai
developer
utama
yang
mengerjakan
proyek
pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai yang pemilik pekerjaan
82
tersebut adalah koperasi Gotong Royong Kabupaten Banyumas, PT.
Aries Pura Graha telah menunjuk PT. Puri Sinar Berkah Jaya khusus
untuk mengerjakan pembangunan listriknya, tetapi saksi 7 tidak
mengetahui berapa nilai/ harga pekerjaan sesuai dengan SPKnya.
Saksi 7 tidak mengetahui bahwa dalam mengerjakan pembangunan
jaringan listrik, PT. Puri Sinar Berkah Jaya telah menggunakan dana
kas bon dari saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua
juta lima ratus ribu rupiah) dengan alasan bukan wewenang saksi,
karena hal tersebut wewenangnya direktur yaitu M.A.N.
Saksi 7 tidak mengetahui berapa lama waktu PT. Puri Sinar Berkah
Jaya untuk mengerjakan proyek pembangunan jaringan listrik,
berdasarkan SPK dari direktur yang bernama M.A.N alias terdakwa.
Terdakwa telah membayar proyek yang dikerjakan PT. Puri Sinar
Berkah Jaya melalui transfer 2 (dua) kali sebesar Rp 25.000.000,00
(Dua puluh lima juta rupiah) dan Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima
juta rupiah) karena saksi 7 yang mengirimkan bukti transfernya
kepada saksi 2 melalui faximilie dan pembayaran pekerjaan itu sudah
ditagih sejak akhir Maret 2007. Saksi 7 diajak ke Semarang oleh
terdakwa bersama saksi 6 yang mana pada saat itu bertemu dengan
pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya yaitu saksi 2 dan saksi 3 dan pada
saat itu saksi 2 menagih pembayaran kepada terdakwa tetapi pada saat
itu terdakwa mengatakan bahwa pembayarannya akan ditransfer.
83
Saksi 7 mengetahui nilai tagihan pekerjaan yang ditagihkan kepada
terdakwa kurang lebih sebesar Rp 113.000.000,00 (Seratus tiga belas
juta rupiah) namun yang dibayarkan hanya sebesar Rp 25.000.000,00
(Dua puluh lima juta rupiah) dan Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima
juta rupiah). Saksi 4 atau kontraktor dari Cilacap adalah kuasa dari
PT. Aries Pura Graha untuk melanjutkan proyek pembangunan
jaringan listrik maupun pembangunan secara
keseluruhan, dan
pengalihan pekerjaan tersebut setelah saksi 2 diminta terdakwa agar
mengajukan penawaran ulang kepada saksi 4 dengan harga pekerjaan
baru tapi tidak terjadi kesepakatan.
b. Keterangan Terdakwa
Terdakwa diajukan ke persidangan dalam perkara dugaan tindak
pidana penipuan. Terdakwa mengenal saksi korban sejak ada proyek
sayur di Banjarnegara, kemudian hubungan tersebut berlanjut pada
proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai. Sebelum ada
hubungan kerjasama dengan saksi korban terdakwa sudah ada
kerjasama
terlebih
dahulu
dengan
saksi
4.
Dalam
proyek
pembangunan perumahan tersebut, terdakwa telah menunjuk sub
kontraktor PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan
pembangunan jaringan listrik dan menunjuk saksi korban sebagai
penyandang dana dalam proyek pembangunan jaringan listrik dan
telah memperkenalkan kepada pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya.
84
Terdakwa mengetahui saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya telah
meminta dana kas bon kepada saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) setelah terdakwa
menerima total tagihan dari saksi korban pada saat akan berhenti
sebagai penyandang dana. Terdakwa sudah membayar pekerjaan
pembangunan jaringan listrik yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah
Jaya sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui 2
(dua) kali transfer ke Bank Niaga, yang pertama sebesar Rp
25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua sebesar
Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah).
Terdakwa mengatakan bahwa tidak benar apabila terdakwa setelah
mentransfer uang Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah)
kemudian meminta dibuatkan kwitansi kepada saksi 2 untuk
pembayaran sebesar tagihan Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas
juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) dan yang sebenarnya adalah
saksi 2, terdakwa meminta membuat penagihan atas pembayaran
pekerjaan berikut faktor pendukung yaitu pajak, kwitansi pembelian
beton.
Terdakwa telah membayar sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh
juta rupiah) dari total Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima
ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya
dan sisanya memang belum dibayarkan dan akan dibayarkan setelah
penyerahan di lapangan.
85
Pada waktu terdakwa mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan
listrik dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya kepada sub kontraktor milik
saksi 4, sepengetahuan pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya karena pada
saat itu terdakwa memberitahu kepada saksi 2 dan saksi 3 sedang
berada di Semarang, setelah saksi korban menyatakan mundur dari
penyandang dana. Terdakwa membenarkan bahwa sewaktu terdakwa
mengajak saksi korban untuk menjadi penyandang dana menjanjikan
keuntungan yang besar dan akan dibagi dua apabila berhasil akan
tetapi tidak ada perjanjian tertulis antara terdakwa dengan saksi
korban mengenai proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur
Permai tersebut.
Terdakwa pernah mendatangi kantor Notaris Prian Resriarto, S.H.
untuk membuat akta perjanjian kerjasama dengan saksi korban, akan
tetapi tidak pernah terjadi kesepakatan karena draft yang telah dibuat
oleh saksi korban akan dipelajari terlebih dahulu oleh terdakwa,
kemudian terdakwa membuat draft perjanjian dan meminta bahwa hal
tersebut diketahui oleh koperasi namun tidak ada penyelesaiannya,
yang pada akhirnya saksi 4 mengembalikan uang sebesar Rp
1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) yang berhubungan dengan
proyek tersebut.
Terdakwa tidak mengetahui uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu
milyar rupiah) yang dibayarkan oleh saksi korban tersebut uang milik
siapa. Terdakwa juga tidak pernah menandatangani kas bon uang
86
sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah). Menurut terdakwa, saksi 3 sebelum mengambil kas bon tidak
meminta persetujuan dari terdakwa dan terdakwa sampai saat ini
masih merasa berhutang uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh
dua juta lima ratus ribu rupiah) kepada saksi 2.
Pada saat terdakwa dipanggil Polisi, apabila terdakwa mempunyai
hutang akan dibayar tetapi saksi 2 mengatakan bahwa terdakwa tidak
mempunyai hutang dan sudah beres semua. Terdakwa pernah
meminta kwitansi uang yang sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga
belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kemudian diberikan
akan tetapi kwitansi tersebut belum dapat dipergunakan.
Terdakwa tidak pernah sama sekali menyuruh saksi 3 untuk kas bon
kepada saksi korban. Terdakwa pernah diperiksa di Kepolisian dan
keterangan yang terdakwa berikan tidak semua benar, yang tidak
benar mengenai saksi korban meminta uang transportasi.
Setelah adanya perincian tagihan, pada saat PT. Puri Sinar Berkah
Jaya mengerjakan pembangunan jaringan listrik tersebut, saksi korban
yang telah mendanai dan PT. Puri Sinar Berkah Jaya telah meminta
dana kas bon kepada saksi korban hingga sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Terdakwa sudah
membayar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) karena
progress pekerjaan tersebut dan terdakwa juga mengatakan bahwa
87
yang diterima terdakwa adalah perincian penagihan dan bukan
kwitansi.
4.
Tuntutan Penuntut Umum
Bahwa atas keterangan saksi-saksi di persidangan yang merupakan
fakta hukum tersebut, Penuntut Umum menuntut terdakwa yang pada intinya
mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
menjatuhkan putusan yaitu:
1. Menyatakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebagaimana dalam dakwaan kami pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa M.A.N Bin D.J.S dengan
pidana penjara selama 1(satu) tahun dengan dikurangkan
sepenuhnya selama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa
segera ditahan;
3. Menetapkan supaya barang bukti:
a. 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
yang ditanda tangani oleh saksi 3 dikembalikan lagi kepada
saksi korban;
b. 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang pembayaran
pekerjaan listrik sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas
88
juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) yang ditanda tangani
oleh saksi 2;
c. 2 (dua) lembar surat bukti transfer uang dari Bank Niaga
sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan Rp
25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dikembalikan
kepada saksi 2.
4. Menetapkan supaya terdakwa M.A.N Bin D.J.S dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,00 (Seribu rupiah).
5.
Pertimbangan Hukum Hakim
Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif
yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 372 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Untuk menentukan apakah terdakwa bersalah melakukan
perbuatan pidana sebagiamana dakwaan Penuntut Umum kesatu Pasal
378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) atau kedua Pasal 372 Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Majelis Hakim mempertimbangkan apakah perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur pidana yang terkandung dalam pasal pidana
dakwaan Penuntut Umum.
89
Dakwaan kesatu Penuntut Umum Pasal 378 Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu,
atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun
dengan karangan perkataan-perkataan bohong;
c. Unsur membujuk orang supaya memberikan suatu barang,
membuat hutang, menghapuskan piutang.
Unsur “barang siapa”.
Unsur dengan barang siapa dalam hal ini adalah setiap orang sebagai
pendukung
dan
kewajiban
pertanggungjawaban
atas
yang
kepadanya
perbuatannya.
dapat
Penuntut
dimintakan
Umum
telah
menghadapakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S kehadapan persidangan yang
mengaku berumur 48 tahun. Dalam persidangan terdakwa membenarkan
bahwa orang yang dimaksud dalam surat dakwaan Penuntut Umum
sebagai terdakwa adalah terdakwa, sehingga Penuntut Umum tidak salah
orang dalam mengajukan surat dakwaannya sehingga demikian Majelis
Hakim berpendapat bahwa unsur barang siapa dalam hal ini telah
terpenuhi.
Unsur “dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu,
90
atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan
karangan perkataan-perkataan bohong”.
Unsur dengan hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hak adalah menguntungkan diri dengan tidak berhak,
dengan nama palsu adalah nama yang bukan namanya sendiri, keadaan
palsu adalah mengakui profesi yang bukan profesinya, tipu muslihat
adalah suatu perkataan yang sedemikian rupa sehingga orang yang
berfikiran normal dapat terpedaya, rangkaian kebohongan adalah susunan
atau rangkaian kalimat yang disampaikan kepada orang sehingga seakanakan benar. Sesuai dengan fakta dalam persidangan terdakwa M.A.N Bin
D.J.S adalah pemilik PT. Aries Pura Graha yang mendapat pekerjaan dari
Koperasi Gotong Royong Banyumas untuk pembangunan perumahan.
Terdakwa membutuhkan modal kerja dan membicarakan kepada saksi
korban, bertindak sebagai penyandang dana bahkan sudah sempat
mengeluarkan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)
yang diserahkan langsung oleh saksi korban kepada Koperasi Gotong
Royong dan telah dikembalikan kepada saksi korban. Kemudian antara
terdakwa dengan saksi korban tidak terdapat kesepakatan pembagian
sehingga
tidak
ada
perjanjian
tertulis
sehingga
saksi
korban
mengundurkan diri dengan meminta pengembalian uang yang sudah
dikeluarkan oleh karena itu terdakwa didanai oleh saksi 4.
Pekerjaan
pembangunan
perumahan
tersebut
masih
sedang
berlangsung dan dikerjakan PT. Aries Pura Graha dengan didanai saksi 4.
91
Berdasarkan keterangan saksi korban ia merasa dirugikan dan atas
kerugian tersebut saksi telah menggugat Koperasi Gotong Royong dan
terdakwa di Pengadilan Negeri Purwokerto. Atas gugatan tersebut saksi
korban
penggugat
dalam
perkara
perdata
adalah
pihak
yang
dimenangkan, namun perkara tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum yang pasti karena saksi korban sebagai penggugat menyatakan
banding.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa PT.
Aries Pura Graha adalah milik terdakwa M.A.N Bin D.J.S dan benarbenar mendapat pekerjaan pembangunan perumahan dan fasilitas
penerangan (listrik) dan sampai saat ini masih sedang berlangsung
sehingga dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa
tidak memalsukan namanya, profesinya, dan juga tidak berbohong bahwa
pekerjaan borongan, tidak nyata oleh karenanya unsur dengan maksud
hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak
baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal,
tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong
tidak terpenuhi.
Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka unsur selebihnya
tidak perlu dipertimbangankan lagi. Salah satu unsur pidana dari
dakwaan Penuntut Umum tidak terpenuhi maka terdakwa tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378
92
Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Bahwa oleh karena terdakwa tidak terbukti
secara sah dan
meyakinkan bersalah, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan
kesatu tersebut. Penuntut Umum dalam menyusun dakwaannya secara
alternatif, dan ternyata dakwaan kesatu tidak terbukti maka Majelis
Hakim mempertimbangkan dakwaan kedua Pasal 372 Undang-undang
No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) mempunyai unsur-unsur pidana sebagai
berikut:
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu
barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang lain;
c. Unsur barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan.
Unsur “barang siapa”
Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum,
atau setiap orang yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatannya.
93
Bahwa pertimbangan barang siapa dalam hal ini Majelis Hakim
mengambil alih pertimbangan unsur “barang siapa” dalam dakwaan
kesatu. Unsur barang siapa dalam dakwaan kesatu terpenuhi maka unsur
barang siapa dalam dakwaan kedua ini juga terpenuhi.
Unsur “dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu
barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang lain”.
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah niat yang dilakukan secara
sadar menempatkan suatu benda dalam kekuasaannya, dimana benda
tersebut sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.
Sesuai dengan fakta dipersidangan sebagaimana diterangkan oleh
saksi-saksi dan terdakwa bahwa benar saksi korban telah mengeluarkan
uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah) yang ditransfer ke rekening saksi 3 sebagai pelaksana dari PT.
Puri Sinar Berkah Jaya milik saksi 2 dengan cara kas bon. Saksi 3
melakukan kas bon kepada saksi korban karena saksi 3 merasa bahwa
saksi korban adalah penyandang dana PT. Aries Pura Graha milik
terdakwa.
Saksi 3 masih menagih pembayaran pekerjaan sesuai volume kerja
yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya mengenai fasilitas listrik di
perumahan milik Koperasi Gotong Royong. Tagihan PT. Puri Sinar
Berkah Jaya kepada PT. Aries Pura Graha telah dibayar sebagian melalui
94
transfer kepada rekening PT. Puri Sinar Berkah Jaya (saksi 2) sebesar Rp
65.000.000,00 (Enam puluh lima juta rupiah).
Saksi 3 masih mempunyai tagihan kepada terdakwa, meskipun saksi 2
telah memberikan kwitansi penerimaan uang sebesar Rp 113.000.000,00
(Seratus tiga belas juta rupiah) karena yang melakukan kas bon kepada
saksi korban adalah saksi 3. Terdakwa merasa masih mempunyai hutang
kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebagai rekan kerja pembangunan
instalasi listrik sudah pernah ditawarkan untuk dibayar tetapi saksi 2
tidak bersedia menerima.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa uang
sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
yang di kas bon oleh saksi 3 tidak pernah pada kekuasaan terdakwa
melainkan uang tersebut langsung ditransfer ke rekening saksi 3 dan
ternyata saksi 3 masih merasa mempunyai piutang kepada terdakwa.
Karena uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus
ribu rupiah) milik saksi korban tidak pernah diberikan kepada terdakwa
maka Majelis Hakim berpendapat unsur dengan sengaja memiliki dengan
melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya milik
orang lain tidak terpenuhi.
Karena unsur kedua dari dakwaan kedua Penuntut Umum tidak
terpenuhi maka unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. Oleh
karena dakwaan kedua Penuntut Umum terhadap terdakwa tidak terbukti
maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
95
Dakwaan kesatu atau kedua Penuntut Umum terhadap terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa harus dibebaskan
dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. Karena terdakwa dibebaskan
dari segala dakwaan dan tuntutan hukum maka hak-hak terdakwa harus
dipulihkan seperti sedia kala. Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan
dan tuntutan hukum maka biaya perkara yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada negara.
6.
Amar Putusan Pengadilan Negeri
MENGADILI
1. Menyatakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S, tersebut diatas tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Penipuan”
sebagaimana dakwaan
kesatu, dan melakukan “Penggelapan”
sebagaimana dakwaan kedua Penuntut Umum;
2. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan hukum;
3. Memulihkan harkat dan martabat terdakwa seperti sedia kala;
4. Membebankan biaya perkara kepada negara.
B. Pembahasan
1. Alasan Hakim Menjatuhkan Putusan Bebas Pada Perkara No.
39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
96
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 191
ayat (1) KUHAP dikatakan, bahwa yang dimaksud perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Apabila
hakim berpendapat, bahwa satu atau lebih unsur dari tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
hakim harus memutuskan suatu pembebasan atau suatu vrijspraak bagi
terdakwa.82 Menurut Van Bemmelen,83 seperti yang dikutip oleh Andi
Hamzah menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak
memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai
pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan)
atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan
terdakwa ini yang melakukannya.
Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor
register perkara 39/Pid.B/2008/PN.Pwt yang mana Penuntut Umum
mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378
Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) atau Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
82
83
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Loc.Cit.
Andi Hamzah, Loc. Cit.
97
Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau
martabat (hoedabigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”.
Unsur-unsur Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu,
atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun
dengan karangan perkataan-perkataan bohong;
c. Unsur membujuk orang supaya memberikan suatu barang,
membuat hutang, menghapuskan piutang.
Alasan hukum hakim pada unsur dakwaan Pasal 378 Undang-undang
No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah sebagai berikut:
a.
Unsur pertama seperti yang terdapat dalam hasil penelitian adalah
unsur “barang siapa”
Unsur dengan barang siapa dalam hal ini adalah setiap orang sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya dapat dimintakan
98
pertanggungjawaban
atas
perbuatannya.
Penuntut
Umum
telah
menghadapakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S kehadapan persidangan yang
mengaku berumur 48 tahun.
Dalam persidangan terdakwa membenarkan bahwa orang yang
dimaksud dalam surat dakwaan Penuntut Umum sebagai terdakwa adalah
terdakwa, sehingga Penuntut Umum tidak salah orang dalam mengajukan
surat dakwaannya sehingga kesimpulan Majelis Hakim berpendapat
bahwa unsur barang siapa dalam hal ini telah terpenuhi.
Menurut pendapat penulis, pertimbangan Majelis Hakim sudah tepat
dan berdasarkan doktrin ilmu hukum seperti yang dikemukakan oleh
Satochid Kartanegara,84 yang menyatakan bahwa barang siapa adalah
menunjuk pada subjek hukum, yaitu setiap orang yang telah melakukan
perbuatan pidana dan mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatan
dan
akibatnya.
Akan
tetapi
dalam
putusan
perkara
No.
39/Pid.B/2008/PN.Pwt tindak pidananya akan dijelaskan pada unsur
selanjutnya.
Menurut Suharto RM,85 yang dimaksud dengan barang siapa ialah
“orang”, subjek hukum yang melakukan perbuatan. Subjek hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum terdiri dari
manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (recht person). Di
dalam Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
84
Satochid Kartanegara, 2001, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa 2001 hal.
85
Suharto RM, Op.Cit, hal.38.
99
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum
pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami
(naturlijkee person). Di samping itu, Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga masih
menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau
korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.86 Terdakwa
merupakan subjek hukum yang termasuk dalam naturlijke person.
Setelah pemeriksaan dipersidangan terdakwa sehat jasmani dan rohani,
tidak sedang dibawah pengampuan, mampu merespon jalannya
persidangan dengan baik, sehingga dengan demikian terdakwa telah
memenuhi kriteria sebagai subjek hukum.
b. Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “dengan
maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan
palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan
perkataan-perkataan bohong”
Menurut pendapat penulis dengan maksud harus berarti tujuannya
adalah mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini adalah tujuan
utamanya dengan jalan melawan hukum. Dengan demikian setiap tindak
pidana penipuan haruslah merugikan kekayaan orang lain agar
menguntungkan diri dengan melawan hukum, tetapi disini menurut fakta
86
Mahrus Ali, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, hal. 250 diakses pada tanggal 9 Juli
2013.
100
yang terungkap di persidangan tujuan untuk mendapatkan keuntungan
dan melakukannya dengan melawan hukum tidak terbukti karena pada
dasarnya kas bon yang dilakuakn saksi 3 adalah tanpa sepengetahuan
terdakwa sehingga tidak ada hubungan hukum antara saksi korban
dengan terdakwa.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,87 pemakaian nama palsu terjadi
apabila seorang menyebutkan sebagai namanya suatu nama yang bukan
namanya, dan dengan demikian menerima barang yang harus diserahkan
kepada orang yang namanya disebutkan tadi. Hal ini sesuai dengan apa
yang dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa nama palsu adalah nama
yang bukan namanya sendiri, keadaan palsu adalah mengakui profesi
yang bukan profesinya. Sesuai dengan fakta dalam persidangan terdakwa
M.A.N Bin D.J.S adalah pemilik PT. Aries Pura Graha yang mendapat
pekerjaan dari Koperasi Gotong Royong Banyumas untuk pembangunan
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul dan pengakuan
tersebut sama halnya seperti yang diungkapkan oleh saksi korban, maka
dari itu menurut pendapat penulis terdakwa telah mengatakan yang
sebenarnya dan tidak menggunakan nama palsu serta kedudukan/
keadaan palsu.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,88 rangkaian kebohongan berupa
beberapa kata yang tidak benar atau suatu perbuatan sedangkan tipu
muslihat berupa membohongi tanpa kata-kata tetapi dengan misalnya
87
88
Wirjono Rrodjodikoro, Op.Cit, hal. 39.
Ibid, hal.40-41.
101
memperlihatkan sesuatu atau dua pernyataan yang bohong. Majelis
Hakim berpendapat tipu muslihat adalah suatu perkataan yang
sedemikian rupa sehingga orang yang berfikiran normal dapat terpedaya,
rangkaian kebohongan adalah susunan atau rangkaian kalimat yang
disampaikan kepada orang sehingga seakan-akan benar.
Fakta dalam persidangan memang terdakwa membutuhkan modal
kerja kemudian membicarakannya kepada saksi korban, sehingga saksi
korban bertindak sebagai penyandang dana bahkan sudah sempat
mengeluarkan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)
yang diserahkan langsung oleh saksi korban kepada Koperasi Gotong
Royong dan telah dikembalikan kepada saksi korban. Kemudian antara
terdakwa dengan saksi korban tidak terdapat kesepakatan pembagian
sehingga tidak ada perjanjian tertulis yang pada akhirnya saksi korban
mengundurkan diri dengan meminta pengembalian uang yang sudah
dikeluarkan oleh karena itu terdakwa didanai oleh saksi 4.
Pekerjaan
pembangunan
perumahan
tersebut
masih
sedang
berlangsung sampai pada saat ini dan dikerjakan PT. Aries Pura Graha
dengan didanai saksi 4. Berdasarkan keterangan saksi korban ia merasa
dirugikan dan atas kerugian tersebut saksi telah menggugat Koperasi
Gotong Royong dan terdakwa di Pengadilan Negeri Purwokerto. Atas
gugatan tersebut saksi korban penggugat dalam perkara perdata adalah
pihak yang dimenangkan, namun perkara tersebut belum mempunyai
102
kekuatan hukum yang pasti karena saksi korban sebagai penggugat
menyatakan banding.
Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa berkaitan
dengan tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan
bohong tidak dilakukan oleh terdakwa karena pada dasarnya tidak terjadi
kesepakatan karena isi draft perjanjian baik terdakwa maupun saksi
korban sama-sama belum menyepakatinya sehingga belum ada perjanjian
baik mengenai pembagian keuntungan dan lain-lain, serta terdakwa telah
mengatakan hal yang sebenarnya tidak bohong atau fiktif bahwa memang
benar-benar ada proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai
Kelurahan Pasir Kidul dengan demikian kesimpulan Majelis Hakim yang
berpendapat bahwa terdakwa tidak memalsukan namanya, profesinya,
dan juga tidak berbohong bahwa pekerjaan borongan, tidak nyata oleh
karenanya unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau
keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan
perkataan-perkataan bohong tidak terpenuhi sudah tepat.
Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka unsur selebihnya
tidak perlu dipertimbangankan lagi. Namun penulis akan membahas
unsur selanjutnya.
c.
Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “membujuk
orang supaya memberikan suatu barang, membuat hutang,
menghapuskan piutang”
103
Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk menyerahkan
barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak dan
penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 25
Agustus 1923, bahwa : “Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia
antara upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu.
Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat
penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh
yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan
suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal
sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu
harus menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang
tersebut menyerahkan sesuatu barang.”
R. Soesilo89 menyatakan bahwa:
“Sesuatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk pula
binatang (manusia tidak termasuk), misalnya: uang, baju, kalung,
dan sebagainya. Dalam pengertian barang termasuk pula “daya
listrik” dan “gas” meskipun tidak berwujud barang. Barang juga
tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Memberikan barang adalah
barang itu tidak harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa
sendiri, sedangkan yang menyerahkan tidak harus orang yang
dibujuk, bisa dilakukan oleh orang lain.”
Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa memang unsur
ini tidak terbukti dilakukan oleh terdakwa, karena berdasarkan fakta yang
terungkap di persidangan terdakwa tidak pernah menerima uang sebesar
89
R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, hal. 250.
104
Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dari saksi
korban, selain itu kas bon yang dilakukan saksi korban adalah tanpa
sepengetahuan terdakwa dan terdakwa tidak pernah menyuruh atau
memerintahkan saksi 3 untuk kas bon kepada saksi korban. Saksi 2
mengakui bahwa kas bon yang dilakukan oleh saksi 3 kepada saksi
korban adalah urusan pribadi mereka terlepas dari urusan pekerjaan
listrik maka terdakwa tidak terbukti membujuk saksi korban supaya
memberikan hutang. Dengan demikian unsur ini memang tidak
terpenuhi.
Menurut Suharto RM,90 rumusan yang berbentuk kelakuan tersebut
merupakan
perbuatan
yang
disengaja
dengan
maksud
untuk
menguntungkan diri sendiri dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum;
3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat atau rangkaian kebohongan;
4. Menggerakkan orang lain untuk:
a. Menyerahkan barang sesuatu;
b. Memberi utang; atau
c. Menghapuskan piutang.
Bentuk dari rumusan Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini sifatnya
alternatif, artinya apabila salah satu dari kelompok tiap unsur itu sudah
90
Suharto RM, Loc.Cit.
105
memenuhi syarat dari perbuatan materiil yang dilakukan si pelaku, maka
dapat memilih salah satu dari kelompok unsur yang terdapat pada tiap
unsur. Dalam pasal ini yang perlu dibuktikan ialah unsur perbuatan
melawan hukum yang mana sehingga dapat menggerakkan seseorang
untuk menyerahkan sesuatu barang.91
Salah satu unsur pidana dari dakwaan Penuntut Umum tidak terpenuhi
maka terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kesimpulan Majelis Hakim sudah
sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro92 yang menyatakan bahwa:
“Tindak pidana penipuan termasuk golongan tindak pidana terhadap
kekayaan orang lain, maka setiap penipuan harus dianggap merugikan
kekayaan orang lain, disamping itu menguntungkan diri dengan
melanggar hukum kiranya selalu merugikan orang”.
Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Undang-undang
No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling
banyak enam puluh rupiah”.
Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) mempunyai unsur-unsur pidana sebagai
berikut:
a.
91
92
Unsur barang siapa;
Ibid.
Wirjono Prodjodikoro,Op.Cit,hal. 38.
106
b.
Unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu
barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan
orang lain;
c.
Unsur barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan.
Alasan hukum hakim pada unsur dalam dakwaan kedua yaitu Pasal
372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) adalah sebagai berikut:
a.
Unsur pertama seperti yang terdapat dalam hasil penelitian adalah
unsur “barang siapa”
Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum,
atau setiap orang yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatannya.
Bahwa pertimbangan barang siapa dalam hal ini kesimpulan Majelis
Hakim mengambil alih pertimbangan unsur “barang siapa” dalam
dakwaan kesatu. Selain itu maksud barang siapa sama saja seperti yang
sudah dijelaskan dalam dakwaan kesatu. Unsur barang siapa dalam
dakwaan kesatu terpenuhi maka unsur barang siapa dalam dakwaan
kedua ini juga terpenuhi.
b. Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “dengan
sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama
sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain”
107
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah niat yang dilakukan secara
sadar menempatkan suatu benda dalam kekuasaannya, dimana benda
tersebut sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. Dalam konteks
pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan
(opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar
(berdasar fakta hukum) terdakwa memang:
a. “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda
secara melawan hukum;
b. “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia
kuasai itu adalah sebuah benda;
c. “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau
seluruhnya adalah milik orang lain;
d. “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena
kejahatan.93
Wirjono Prodjodikoro94 menyatakan bahwa:
Unsur barang milik orang lain, unsur ini menimbulkan kesulitan
dalam hal sejumlah uang tunai yang dipercayakan oleh yang punya
kepada orang lain untuk disimpan atau dipergunakan untuk
melakukan pembayaran tertentu. Uang yang disimpan pada orang
lain itu ada kalanya dianggap uang yang disimpan itu tidak boleh
diganggu tetapi ada kalanya uang itu dapat dipakai dulu. Ini
tergantung dari maksud penyimpanan uang itu dan keadaan
kekayaan orang yang diserahi menyimpan uang itu.
Sesuai dengan fakta dipersidangan sebagaimana diterangkan oleh
saksi-saksi dan terdakwa bahwa benar saksi korban telah mengeluarkan
uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah) yang ditransfer ke rekening saksi 3 sebagai pelaksana dari PT.
Puri Sinar Berkah Jaya milik saksi 2 dengan cara kas bon. Saksi 3
melakukan kas bon kepada saksi korban karena saksi 3 merasa bahwa
93
94
M. Abdul Kholiq, Op.Cit.
Wirjono Prodjodikoro,Op.Cit,hal. 32.
108
saksi korban adalah penyandang dana PT. Aries Pura Graha milik
terdakwa. Saksi 3 masih mempunyai tagihan kepada terdakwa, meskipun
saksi 2 telah memberikan kwitansi penerimaan uang sebesar Rp
113.000.000,00 (Seartus tiga belas juta rupiah) karena yang melakukan
kas bon kepada saksi korban adalah saksi 3. Terdakwa merasa masih
mempunyai hutang kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebagai rekan
kerja pembangunan instalasi listrik sudah pernah ditawarkan untuk
dibayar tetapi saksi 2 tidak bersedia menerima.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas menurut pendapat penulis
dapat disimpulkan bahwa tidak ada sikap kesengajaan dari terdakwa,
uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu
rupiah) yang di kas bon oleh saksi 3 tidak pernah pada kekuasaan
terdakwa melainkan uang tersebut langsung ditransfer ke rekening saksi
3 dan ternyata saksi 3 masih merasa mempunyai piutang kepada
terdakwa. Karena uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta
lima ratus ribu rupiah) milik saksi korban tidak pernah diberikan kepada
terdakwa sehingga dapat dikatakan bahwa terdakwa tidak menguasai
uang tersebut maka pendapat Majelis Hakim mengenai unsur dengan
sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali
atau sebagiannya milik orang lain tidak terpenuhi.
c.
Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “barang itu
ada dalam tangannya bukan karena kejahatan”
109
Unsur ini adalah unsur pokok dari penggelapan yang membedakan
dari tindak-tindak pidana lain mengenai kekayaan orang. Barang harus
ada di bawah kekuasaan si pelaku dengan cara lain daripada dengan
melakukan kejahatan. Barang tersebut dipercayakan kepada si pelaku,
dengan demikian pada penggelapan si pelaku tidak memenuhi
kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan
kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.
Seperti yang telah dikemukakan pada unsur sebelumnya, fakta yang
terungkap di persidangan adalah saksi korban tidak memberikan uang
sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
kepada terdakwa dengan kata lain tidak berada dalam tangan terdakwa
atau berada di bawah kekuasaan terdakwa akan tetapi saksi korban
memberikan kas bon tersebut kepada saksi 3 tanpa sepengetahuan
terdakwa. Berdasarkan hal tersebut maka unsur barang itu ada dalam
tangannya bukan karena kejahatan tidak terpenuhi, seperti kesimpulan
Majelis Hakim bahwa karena unsur kedua dari dakwaan kedua tidak
terpenuhi maka unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi.
Berdasarkan bunyi Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatas, diketahui bahwa
secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok
berupa:
1. Unsur subjektif delik berupa kesengajaan pelaku untuk
menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam
pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2. Unsur oyektif delik yang terdiri atas:
110
a.
b.
c.
d.
e.
Unsur barang siapa;
Unsur menguasai secara melawan hukum;
Unsur suatu benda;
Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.95
Dasar pokok dari tindak pidana penggelapan ialah bahwa si pelaku
menegecewakan kepercayaan yang diberikan atau dapat dianggap
diberikan kepadanya oleh pemilik barang.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tersebut,
terdakwa dijatuhkan putusan bebas sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP,
hal ini sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap,96 putusan bebas ditinjau
dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang
bersangkutan:
1) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara
negative yaitu pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak
cukup membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus kesalahan
terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim;
2) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yaitu kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat
bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP agar
cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Menurut Van Bemmelen,97 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah
menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh
keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai pertanyaan
apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin
95
M. Abdul Kholiq, Loc.Cit.
M. Yahya Harahap, 2002, Loc.Cit.
97
Andi Hamzah, Loc. Cit.
96
111
bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini
yang melakukannya”.
Majelis Hakim dalam pembuktian perkara pidana ini telah sesuai
dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, karena
dalam sistem pembuktian ini terpadu kesatuan penggabungan antara sistem
conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif (positief wettelijk stelsel). Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan
bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan
dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
serta sekaligus keterbuktian kesalahan-kesalahan itu “dibarengi” dengan
keyakinan hakim. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP maka pembuktian harus
didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang
diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Alat bukti dalam perkara ini adalah
berupa keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, serta barang bukti
berupa 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang ditanda tangani oleh saksi
3, 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang pembayaran pekerjaan listrik
sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga
ribu rupiah) yang ditanda tangani oleh saksi 2, 2 (dua) lembar surat bukti
112
transfer uang dari Bank Niaga sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima
juta rupiah) dan Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah).
Alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP
ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.”
Terdakwa dalam perkara ini diputus bebas
murni karena Majelis
Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan yaitu, disimpulkan bahwa PT. Aries Pura Graha adalah milik
terdakwa
M.A.N
Bin
D.J.S
dan
benar-benar
mendapat
pekerjaan
pembangunan perumahan dan fasilitas penerangan (listrik) dan sampai saat
ini masih sedang berlangsung. Berkaitan dengan uang yang sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang di kas bon
oleh saksi 3 tidak pernah pada kekuasaan terdakwa melainkan uang tersebut
langsung ditransfer ke rekening saksi 3 dan ternyata saksi 3 masih merasa
mempunyai piutang kepada terdakwa. Karena uang sebesar Rp 52.500.000,00
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) milik saksi korban tidak pernah
diberikan kepada terdakwa. Sehingga Penuntut Umum yang mendakwa
terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan kesatu Pasal 378 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) atau dakwaan kedua Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terbukti secara
113
sah dan meyakinkan, maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan
dan tuntutan hukum.
2. Akibat Hukum Dengan Dijatuhkannya Putusan Bebas Bagi
Terdakwa Pada Perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
Hal-hal yang berkaitan dengan akibat hukum dijatuhkannya putusan
bebas bagi terdakwa pada perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah sebagai
berikut:
a.
Dalam Hal Penahanan
Dalam amar putusan pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
Majelis Hakim tidak menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa
dibebaskan dari tahanan”. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal
191 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan”.
Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun
2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana
yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan,
menyatakan bahwa:
“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus
dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari
segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan
(ontslag van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa
segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan di
depan sidang terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya
ringkasan putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera
setelah putusan tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan
114
putusan (extract vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa
dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan Hakim”.
Ketentuan dalam Pasal 191 ayat (3) KUHAP dan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001 tentang Pembuatan Ringkasan
Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau
Dilepas Dari Segala Tuntutan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 199
ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan bahwa:
“(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1)
kecuali huruf e,f, dan h;
b. Pernyataan bahwa diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia
ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan
(3) berlaku juga bagi pasal ini”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 199 KUHAP, dapat ditafsirkan secara
gramatikal bahwa konsekuensi hukum atau akibat hukum dari Pasal 199
KUHAP sama dengan ketentuan Pasal 197 KUHAP. Pasal 197 ayat (1)
huruf k KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan”.
Apabila seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi
hukuman penjara, apabila terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus
memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Apabila terdakwa sedang
ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap
berada dalam tahanan. Apabila putusan membebaskan atau melepaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka
115
putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah
tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat
(1) huruf k, maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270
KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Akibat hukum apabila tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat
(1) huruf k KUHAP terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) menyatakan
bahwa:
“Tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f,
h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” artinya putusan
tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena
tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan
hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian
putusan tersebut
dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau
dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan.
Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian
menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah keharusan
hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht),
sehingga tidak boleh diabaikan oleh Majelis Hakim dalam memutus
perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung).
116
Di dalam praktiknya ketentuan khususnya mengenai Pasal 197 ayat
(1) huruf k dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP sering kali menimbulkan
perdebatan karena pada kenyataannya ada beberapa putusan Majelis
Hakim baik yang menghasilkan putusan pemidanaan maupun putusan
bebas yang tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau
tetap dalam tahanan atau dibebaskan seperti yang terjadi dalam putusan
perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt, sehingga kadang kala Jaksa
sebagai eksekutor sering kali mengalami kesulitan dalam proses
pengeksekusian seperti yang terjadi pada putusan Susuno Duadji, tetapi
perdebatan tersebut berakhir sejak tanggal 22 November 2012 pasca
dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012.
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa ketika dalam perkara pidana yang harus dibuktikan
adalah kebenaran materiil, dan saat kebenaran materiil tersebut sudah
terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana, namun karena
ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh
merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih
mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat memang benar bahwa
dalam suatu amar putusan pidana tetap perlu ada suatu pernyataan bahwa
terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai
bagian dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya
117
yang telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus dijatuhi
pidana, namun ada atau tidak adanya pernyataan tersebut tidak dapat
dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah
dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya.
Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012
menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan
Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan
batal demi hukum; Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya
ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012
maka apabila suatu putusan dalam amarnya tidak mencantumkan
mengenai penahanan tidak merupakan putusan yang batal demi hukum
karena dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil
bukan kebenaran formil. Akibat hukum pada ketentuan Pasal 197 ayat (2)
KUHAP berlaku juga dalam ketentuan Pasal 199 ayat (2) KUHAP maka
118
putusan yang bukan pemidanaan apabila tidak mencantumkan frasa
“memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan” tidak batal
demi hukum.
Dalam amar putusan pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
Majelis Hakim tidak menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa
dibebaskan dari tahanan”, maka berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012 menurut pendapat penulis hal tersebut
tidak menyebabkan putusan batal demi hukum karena terdakwa yang
secara materiil tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana penipuan dan dibebaskan dari segala dakwaan serta
tuntutan hukum dan berdasarkan Pasal 270 KUHAP jaksa harus tetap
mengeksekusi putusan tersebut.
Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan,
sesudah putusan diucapkan, kecuali ada alasan lain. Menurut M. Yahya
Harahap,98 Pelaksanaan perintah pembebasan dari tahanan terhadap
seorang terdakwa yang diputus bebas sebagai berikut:
1. Perintah pembebasan dari tahanan “segera” dilaksanakan jaksa
sesudah putusan diucapkan, dan;
2. Sekaligus pelaksanaan pembebasan dari tahanan itu:
a. Jaksa membuat laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah
pembebasan dimaksud;
b. Laporan pelaksanaan pembebasan dilampiri dengan surat
pelepasan;
c. Laporan dan lampiran surat pelepasan, disampaikan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan selambatlambatnya dalam waktu 3x24 jam.
b. Dalam Hal Penuntut Umum dan Terdakwa Menerima atau Menolak
98
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit. hal. 330.
119
Putusan
Setelah Majelis Hakim membacakan putusannya maka baik Penuntut
Umum maupun terdakwa mempunyai hak untuk menolak maupun
menerima putusan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 196 ayat (3)
huruf a KUHAP. Apabila Penuntut Umum maupun terdakwa menerima
putusan tersebut maka putusan tersebut akan mempunyai kekuatan
hukum tetap, namun apabila Penuntut Umum maupun terdakwa menolak
putusan dan akan mempergunakan upaya hukum selanjutnya maka
putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dalam amar putusan pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana yang berarti terdakwa diputus
bebas. Pada putusan yang membebaskan terdakwa baik Penuntut Umum
dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum banding hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa:
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan
dalam acara cepat.”
Selain tidak dapat mengajukan upaya hukum banding, baik Penuntut
Umum dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum kasasi
berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa:
“Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
120
Akan tetapi pada Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14
PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, butir 19 dicantumkan
antara lain:
“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi
berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini
akan didasarkan pada yurisprudensi.”
Secara logika, terdakwa yang diputus bebas akan dengan senang hati
menerima putusan bebas tersebut, akan tetapi disini yang sering
diperdebatkan adalah mengenai hak Penuntut Umum dalam hal
mengajukan upaya hukum terhadap putusan Majelis Hakim, oleh karena
itu berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03
tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 butir 19 diatas Penuntut Umum
yang dalam hal ini dapat mengajukan upaya hukum biasa serta kasasi
demi kepentingan hukum hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 259
ayat (1) KUHAP yang menyatakan:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung dapat diajukan satu kali permohonan
kasasi oleh Jaksa Agung”.
Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya
hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan kasasi diajukan oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus
perkara tersebut dalam tingkat pertama disertai risalah yang menjadi
alasan kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 260 KUHAP. Salinan keputusan
121
Mahkamah Agung disampaikan Jaksa Agung dan kepada pengadilan
yang bersangkutan, disertai berkas perkara dimana sesuai dengan
ketentuan Pasal 261 KUHAP. Pada umumnya, kasasi demi kepentingan
hukum sama saja dengan kasasi biasa kecuali dalam kasasi demi
kepentingan hukum ini penasihat hukum tidak lagi dilibatkan.99
Yurisprudensi pertama mengenai putusan bebas adalah Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor Reg. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember
1983. M. Yahya Harahap100 menyatakan bahwa apabila dilihat dari segi
yuridis formalnya yakni dari segi hukum acara dikaitkan dengan Pasal 67
dan Pasal 244 KUHAP maka:
1) Putusan bebas pengadilan tingkat pertama mutlak tidak dapat
diminta banding, tapi langsung dapat diminta permohonan kasasi;
2) Memang Pasal 244 KUHAP tidak memperkenankan putusan bebas
diminta kasasi sepanjang putusan bebas itu bersifat “pembebasan
murni”, dan permintaan kasasi terhadap putusan bebas yang
bersifat pembebasan murni harus dinyatakan tidak dapat diterima;
3) Jika sifat pembebasan itu “tidak murni”, putusan bebas tersebut
dapat diminta kasasi;
4) Suatu putusan bebas dianggap tidak bersifat pembebasan murni,
antara lain:
a. Apabila dalam putusan itu terdapat kekeliruan penafsiran
terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya
unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, atau;
b. Apabila dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja
wewenang yang menyangkut kompetensi absolut dan
relative, tapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis.
Di dalam praktik, permasalahan mengenai putusan bebas murni dan
putusan bebas tidak murni itu tidak perlu dihiraukan lagi, karena apakah
99
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.304.
M. Yahya Harahap, 2002, Loc.Cit.
100
122
putusan bebas itu bersifat murni atau tidak, tidak menjadi masalah bagi
Mahkamah Agung.
Namun
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
114/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “kecuali
terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan
konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP kini berbunyi:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.”
Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan pada pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan:
1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.”
Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum
dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undangundang atau keliru dalam menerapkan hukum.101
Menurut M. Yahya Harahap,102 tujuan utama upaya hukum kasasi
antara lain sebagai berikut:
1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah
satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan
101
102
Andi Hamzah, Loc.Cit.
M. Yahya Harahap, 2002, Loc.Cit.
123
sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benarbenar dilakukan menurut ketentuan undang-undang;
2) Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi,
adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru
dalam bentuk yurisprudensi;
3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. Tujuan
lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran
“keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work
dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang
menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman
pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya
upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan
penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.
Permohonan kasasi diajukan 14 (empat belas) hari, setelah putusan
pengadilan diberitahukan kepada terdakwa yang disampaikan kepada
panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara tersebut dalam
tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya permintaan kasasi tersebut
ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani panitera serta
pemohon, kemudian panitera mencatat dalam daftar yang dilampiri
berkas perkara kemudian panitera wajib memberitahukan permintaan dari
pihak yang satu kepada pihak yang lain sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 245 ayat (2) dan (3) KUHAP.
14 (empat belas) hari setelah mengajukan permintaan kasasi, wajib
mengajukan memori kasasi kepada panitera dan diberi tanda terima
dalam rangkap 2 (dua) sebagai tembusan oleh panitera untuk
disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan
kontra memori kasasi, ini sesuai dengan Pasal 248 ayat (6) KUHAP.
124
Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan
memori kasasi, sesuai dengan Pasal 248 ayat (7) KUHAP.
Apabila salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu
ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya
diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (1)
KUHAP. Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera
pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
setelah tenggang waktu permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh
panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung,
sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (2) dan (3) KUHAP.
125
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan
perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Alasan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas bagi terdakwa
pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah:
a. Dakwaan pertama, berdasarkan persesuaian antara keterangan saksi
dengan keterangan terdakwa, PT. Aries Pura Graha adalah milik
terdakwa M.A.N Bin D.J.S dan benar-benar mendapat pekerjaan
pembangunan perumahan dan fasilitas penerangan (listrik) serta
sampai saat pada putusan ini masih sedang berlangsung, oleh karena
itu unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu,
atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan
karangan perkataan-perkataan bohong tidak terbukti dan unsur
membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat hutang,
menghapuskan piutang.
126
b. Dakwaan kedua, berdasarkan persesuaian antara keterangan saksi
dengan keterangan terdakwa berkaitan dengan uang yang sebesar Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang di kas
bon oleh saksi 3 tidak pernah diberikan kepada terdakwa dan tidak
pernah pada kekuasaan terdakwa melainkan uang tersebut langsung
ditransfer ke rekening saksi 3, oleh karena itu unsur dengan sengaja
memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan unsur barang itu ada
dalam tangannya bukan karena kejahatan tidak terbukti.
2. Akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa pada
perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah:
a. Penahanan, terdakwa harus segera dibebaskan dari tahanan kecuali ada
alasan
lain
meskipun
dalam
amar
putusan
perkara
nomor
39/Pid.B/2008/PN.Pwt tidak dicantumkan, hal ini diperkuat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012. Perintah untuk
membebaskan terdakwa dari tahanan segera dilaksanakan oleh jaksa
setelah putusan diucapkan dan laporan tertulis mengenai perintah
tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri Puwokerto selambat-lambatnya dalam waktu tiga
kali dua puluh empat jam.
b. Penuntut Umum dan terdakwa, berdasarkan Pasal 259 ayat (1)
KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan kasasi demi kepentingan
hukum terhadap putusan bebas dan bagi Penuntut Umum dapat
127
mengajukan upaya kasasi diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi114/PUU-X/2012 untuk putusan bebas murni baik Penuntut
Umum atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum yang disebut
kasasi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
dibacakan oleh Majelis Hakim.
B. Saran
Untuk mencegah Majelis Hakim menjatuhkan putusan bebas,
Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan dan tuntutan harus lebih
cermat, jelas, lengkap serta teliti dalam membuktikan unsur-unsur tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa, selain itu dalam pembuktian Penuntut
Umum harus benar-benar mencari kebenaran materiil sehingga terdakwa
tidak di jatuhi putusan bebas.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Adji, Habib. 2005. Jurnal Renvoi. Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005.
Ali, Mahrus. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, hal.
250 diakses pada tanggal 9 Juli 2013.
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi, Adam. 2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
_______. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Ibrahim, Jhony. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia Publishing.
Kartanegara, Satochid, 2001, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta: Balai
Lektur Mahasiswa.
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana&Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika.
Listijono, Agoes Dwi. 2005. Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya
Dengan Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum. Vol.1, No.1.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori Dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana Di Kejaksaan &
Pengadilan Negeri Upaya Hukum&Eksekusi. Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Perdana
Media Grup.
M. Syamsudin. 2010. Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya Pada
Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum.. Jurnal Mimbar Hukum
Volume 22 No.23 Oktober 2010.
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara.
Prayitno, Kuat Puji. 2012. Restorative Justive Untuk Sistem Peradilan Pidana.
Jurnal Dinamika Hukum Vol.12 No.3 September 2012.
Prinst, Darwan . 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indosnesia.
Bandung: Refika Aditama.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2002. Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
RM, Suharto. 2002. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia.
Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek.
Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suparmono, Rudi. 2006. Peran Serta Hakim Dalam Pembelajaran Hukum.
Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX No. 246 Mei 2006.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
________, Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
________, Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
________, Undang-undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Surat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001 tentang Pembuatan
Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus
Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan.
Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983.
C. Internet
Anonim, Hukum Acara Pidana. http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html
diakses pada tanggal 30 April 2013.
Kholiq, M. Abdul. 23 Januari 2011. Tinjauan Yuridis Wanprestasi, Penipuan dan
Penggelapan, http://pkbh.uii.ac.id/analisa-hukum/analisa-hukum/tinjauanyuridis-tentang-perbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html
diakses pada tanggal 7 Juni 2013.
Pramudya, Kelik. 17 September 2008. Putusan Bebas (Vrijspraak). http://clickgtg.blogspot.com/2008/09/putusan-bebas-vrijspraak.html diakses pada
tanggal 8 Juni 2013.
Setyawan, Budi. 20 Oktober 2012. Tinjauan Yuridis Penanganan Perkara
Penipuan (Pasal 378 Kuhp) Dan Atau Penggelapan (Pasal 372 Kuhp)
Studi Kasus Perkara Atas Nama Saudi Bin Maksin Pada Kejaksaan Negeri
Cilegon.
http://rangselbudi.wordpress.com/2012/10/20/tinjauan-yuridispenanganan-perkara-penipuan-pasal-378-kuhp-dan-atau-penggelapanpasal-372-kuhp-studi-kasus-perkara-atas-nama-saudi-bin-maksin-padakejaksaan-negeri-cilegon/ diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
Siadari, Ray Pratama. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan.
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-unsur-unsurtindak-pidana-penipuan.html diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
Sofa,
16
Agustus
2011.
Tentang
Putusan
Hakim,
http://massofa.wordpress.com/2011/08/16/tentang-putusan-hakim/ diakses
pada tanggal 7 Juni 2013.
Download