BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Yodium Yodium adalah bahan baku pembuatan hormon Tiroksin (T4), sedangkan tempat pembuatannya adalah di dalam kelenjar tiroid. Produksi Triiodotironine (T3) tergantung dari hormon tiroksin (T4). Pada kondisi defisiensi Yodium, Hyphothalamus akan merangsang produksi TSH untuk menstimulasi kelenjar tiroid memproduksi hormon T1, T2, T3, T4. Tiroid beradaptasi pada saat defisiensi yodium tergantung fleksibilitas kelenjar tiroid pada setiap tahap metabolisme yodium dan pada kemampuan untuk meningkatkan efisiensi melalui stimulasi TSH. Yodide adalah elektron tunggal negatif sebagai komponen hormon tiroksin pada mamalia. Yodium terdapat dalam makanan dalam bentuk yodide, yang secara umum berikatan dengan asam amino. Yodide diserap usus dengan cepat dan diasimilasi oleh kelenjar Tiroid untuk digunakan dalam produksi hormon tiroksin. Jalur ekskresi yodium melalui urin. Yodium dalam urin adalah indikator akurat yang menggambarkan asupan yodium harian (Tom Brody, 1994, dalam Rusnelly, 2006). Asupan yodida dengan kadar 100-500 μg/hari secara esensial tidak menyebabkan keracunan, tapi asupan lebih dari 2 gram (2000 μg/hari) dapat mengganggu produksi hormon tiroksin. Selain itu orang-orang dalam kondisi defisiensi yodium dalam jangka waktu lama dan penderita gondok yang membutuhkan asupan yodium apabila jumlah asupan yodium terlalu tinggi dapat menyebabkan hipertiroid (Zimmermann, 2000). 6 7 2.1.1 Absorpsi Yodium Yodium diabsorpsi dalam bentuk Iodida, sedangkan ekskresi dilakukan melalui ginjal dan jumlahnya tergantung dari jumlah konsumsi. Pada makanan hewani hanya separuh dari yodium yang dikonsumsi dapat diabsorpsi sebab bentuk ikatannya organik. Di dalam darah, yodium terdapat dalam bentuk bebas dan terikat protein. Pada orang dewasa yang sehat mengandung 15-20 mg yodium, 70-80% diantaranya berada di kelenjar tiroid. Di dalam kelenjar ini yodium digunakan untuk mensintesis hormon T3 dan T4 jika diperlukan serta kelenjar ini harus menangkap 60 µg yodium sehari guna memelihara persediaan tiroksin melalui transport aktif atau pompa yodium yang diatur langsung oleh hormon TSH dan hormone tirotrofin (TRH) yang dikeluarkan oleh hipotalamus pada kelenjar pituitary guna mengatur ekskresi tiroid. Hormon tiroksin kemudian dibawa ke sel-sel sasaran dan hati yang kemudian pecah dan bila diperlukan yodium dapat kembali digunakan. Adanya hormon tiroksin dalam darah diatur oleh hipotalamus melalui pengontrolan hormon TSH. Kelebihan yodium terutama akan dikeluarkan melalui urin dan sebagian kecil juga dikeluarkan melalui feses yang berasal dari empedu (Almatsier, 2010). Gambar 2. 1 Metabolisme Yodium Sumber : Greenspan (2004) dalam Gunung (2007) 8 Gambar 2.1 menunjukkan metabolisme yodium dalam tubuh pada individu sehat dengan asupan yodium sebesar 500 mcg/hari. Hampir seluruh yodium di ekskresikan melalui urin (485 mcg atau 97%) dan hanya sebagian kecil (12 mcg atau 3% diekskresikan melalui feses. Dan pada individu yang sehat, jumlah konsumsi yodium dianggap sama dengan jumlah ekskresi yodium. 2.1.2 Fungsi Yodium Hormon yang merupakan bagian integral dari yodium adalah T3 dan T4, yang memiliki fungsi sebagai pengatur pertumbuhan dan perkembangan. Setiap kecepatan sel yang menggunakan oksigen diatur oleh hormon tiroksin dan merangsang metabolisme hingga 30%. Selain mengatur pertumbuhan dan perkembangan hormon tersebut sangat membantu dalam mengatur suhu tubuh, reproduksi, pembentukan sel darah merah serta fungsi otot dan saraf. Yodium berperan pula dalam perubahan karoten menjadi bentuk aktif vitamin A, sintesis protein dan absorpsi karbohidrat dari saluran cerna kemudian dalam sintesis kolesterol darah (Almatsier, 2010). 2.1.3 Sumber Yodium Yodium sebagian besar berasal dari laut, salah satu contoh bahan makanan tersebut adalah garam beryodium yang merupakan makanan dengan fortifikasi yodium, ikan, rumput laut, sarden, tuna, kerang, salmon, dan udang. Ganggang laut juga merupakan makanan yang kaya akan yodium. Kelebihan yodium akan disekresikan melalui urin, keracunan akan terjadi jika asupan terus-menerus berlebihan. Kelebihan asupan yodium pada penggunaan suplementasi dan pengobatan, dapat menurunkan fungsi tiroid. Kelebihan yodium juga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid seperti halnya kekurangan 9 yodium, selain itu kelebihan yodium juga dapat menyebabkan tertutupnya jalan pernafasan sehingga menimbulkan sesak nafas (Almatsier, 2010). Angka kecukupan yodium sehari yang dianjurkan berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2. 1 Kecukupan Yodium Yang Dianjurkan Golongan Umur AKI* (mg) Golongan Umur AKB (mg) 0-6 bl 90 Wanita : 120 7-11 bl 120 10-12 th 150 1-3 th 120 13-15 th 150 4-6 th 120 16-18 th 150 7-9 th 120 19-29 th 150 30-49 th 150 Pria 50-64 th 150 10-12 th 120 ≥65 th 150 13-15 th 150 16-18 th 150 Hamil : + 50 19-29 th 150 30-49 th 150 Menyusui : 50-64 th 150 0-6 bl + 50 ≥ 65 th 150 7-12 bl + 50 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 (Almatsier, 2010) *Angka Kecukupan Yodium 2.1.4 Penyebab Defisiensi Adapun faktor risiko penyebab timbulnya masalah GAKY adalah rendahnya kandungan yodium pada air minum (0,89-1,47 ppm). Tingginya tingkat konsumsi makanan misalnya umbi-umbian yang mengandung zat goitrogenik, cara pengolahan ikan yang menurunkan kadar yodium serta penggunaan garam yang tidak beryodium ataupun yang kurang memenuhi syarat. Selain itu khususnya pada daerah dataran tinggi, banyaknya kasus GAKY dapat disebabkan karena rendahnya kandungan yodium dalam air dan tanah yang disebabkan oleh banjir sehingga yodium terbawa ke dataran rendah (Bachtiar, 2009). 10 2.2 Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) Kekurangan yodium yang menyebabkan gondok telah diketahui sejak lama. Pada awalnya gondok endemik disama artikan dengan GAKY, namun saat ini, karena gondok merupakan sebagian kecil dari spektrum GAKY maka Iodine defisiensi disorder (IDD) atau gangguan akibat kekurangan yodium yang merupakan istilah tepat untuk menggambarkan akibat defisiensi yodium (Bachtiar, 2009). Defisiensi yodium disebabkan karena kurangnya asupan yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Ion yodida dioksidasi oleh sinar matahari menjadi yodium elemental yang mudah menguap, sehingga setiap tahun kurang lebih 400.000 ton yodium berpindah dari laut kedaratan. Konsentrasi yodida di air laut lebih kurang 50 µg per liter. Masalah berkurangnya yodium pada tanah menimbulkan berkurangnya semua bentuk yodium dalam tanah yang tumbuh sehingga kerusakan lingkungan akan membuat lingkungan yang kaya yodium menjadi berkurang (Hetzel, 2004). Masalah GAKY sebagian besar timbul didaerah pegunungan karena kandungan yodium dalam air dan tanah yang rendah atau tidak mengandung yodium sama sekali. Rendahnya kandungan yodium dalam tanah dan air dipegunungan disebabkan oleh banjir sehingga yodium terbawa kedataran rendah atau pantai (Hetzel dan Maberly, 1986, dalam Rusnelly, 2006). Spektrum GAKY seluruhnya terdiri dari gondok dalam berbagai stadium. Rangkaian gangguan spektrum GAKY dapat dilihat pada Tabel 2.2 11 Tabel 2.2 Spektrum GAKY Tahap Perkembangan Fetus Bentuk Gangguan Aborsi, lahir mati, gangguan kongenital, kretin neurologic, defisiensi mental, bisu, tuli, diplegia spartika, mata juling, kretin hipitiroid : kerdil, def. mental, hipotiroid, defek psikomotorik. Neonatus Kenaikan mortalitas perinatal, hipotiroid neonatus, retardasi mental dan perkembangan fisik. Anak dan Dewasa Kenaikan mortalitas bayi, retardasi mental dan perkembangan fisik. Dewasa Gondok dengan komplikasi Semua Umur Goiter, hipotiroid, fungsi mental terganggu. Sumber. WHO/UNICEF/ICCIDD (2001) Kretin endemik merupakan akibat defisiensi yodium berat pada masa fetal, dan merupakan indikator klinis penting bagi GAKY. Yang dimaksud dengan daerah endemik adalah daerah yang sebagian besar penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok, dengan klasifikasi 1) daerah GAKY berat, bila TGR ≥ 30%, 2) daerah GAKY sedang, bila TGR 20-29,9%, 3) daerah GAKY ringan, bila TGR 519,9%, 4) daerah Non-endemik, TGR ≤ 5% (WHO/ICCIDD 1997, dalam Rusnelly, 2006). 2.3 Tanda-tanda Klinis Kekurangan Yodium Secara umum dampak dari GAKY berupa pembesaran kelenjar gondok, hipotiroid, kretinisme, kegagalan reproduksi dan kematian. Adanya kekurangan atau defisiensi yodium pada janin dapat menimbulkan insiden lahir mati, aborsi ataupun cacat lahir, menimbulkan kretinisme endemis, terjadi kemunduran saraf misalnya tuli, kemunduran mental dan diplegia spatik. Kemudian apabila defisiensi terjadi pada anak, maka puncak kejadian GAKY akan terjadi pada usia remaja, dan terjadinya gangguan kinerja belajar dan kecerdasan. Kelainan-kelainan klinis kekurangan yodium telah diuraikan diatas, kelainan tersebut sangat beragam pada setiap individu maupun setiap daerah dan terdapat dua 12 kelainan yang paling menonjol yaitu pembesaran kelenjar tiroid (goiter) dan kretin endemik (Gunung, 2007). 2.3.1 Pembesaran kelenjar tiroid (goiter) Goiter merupakan salah satu tanda klinis dari kekurangan yodium yang mengakibatkan produksi tiroksin (T4) dan triyodotironin (T3) menurun. Penurunan T4 dalam darah merangsang kelenjar hipofise untuk mensekresikan thirotrofin Thyroid Stimulating Hormone (TSH), kemudian TSH akan bekerja untuk meningkatkan mekanisme pompa yodium dalam memproduksi hormon tiroksin. Peningkatan ini menyebabkan terjadinya hyperplasia sel-sel tiroid kemudian terjadi pembesaran kelenjar tiroid (goiter) atau biasa disebut gondok. Apabila terjadi defisiensi secara terus menerus, kelenjar tiroid akan tidak mampu dalam mengkompensasi kekurangan yodium. Kemudian tubuh akan mengalami kekurangan hormon tiroksin sehingga terjadi hipotiroidi yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan mental. 2.3.2 Kretin endemik Kretin endemik terdiri dari dua jenis berdasarkan tanda-tanda dan gejala- gejala yang tampak lebih menonjol. 1. Kretin miksedematosa, merupakan jenis kretin dengan gejala hipotiroid berat, otot-otot abdominal yang lemah, fungsi usus yang kurang aktif, reflek tendon yang terhambat, dan tanda-tanda klasih hipotiroidi lainnya. 1. Kretin neurologik, merupakan jenis kretin yang memiliki tanda-tanda menonjol berupa terhambatnya perkembangan mental, bisu, tuli, dan tidak dijumpai tanda- 13 tanda hipotoroidi. Pada penderita ini, tinggi penderita terlihat normal, otot-otot dan fungsi usus tidak terganggu. 2.4 Parameter Pengukuran Status GAKY Parameter pengukuran status GAKY merupakan kumpulan metode yang digunakan utnuk menentukan keadaan kekurangan yodium. Beberapa parameter pengukuran status GAKY adalah Total Goiter Rate (TGR), Yodium urin, Ultrasonografi, Thyroid Stimulating Hormone (TSH). 2.4.1 Total Goiter Rate (TGR) Salah satu cara pengukuran TGR atau gondok adalah dengan cara palpasi. Pengukuran masa tiroid dengan palpasi merupakan metode standar untuk menilai prevalensi GAKY. Ukuran tiroid lebih tepat pada penilaian dasar berat ringannya GAKY dan juga berperan dalam penilaian dampak jangka panjang dari pemantaun program (WHO, 2001). Keuntungan metode Palpasi adalah tidak membutuhkan biaya mahal dan relatif mudah dilakukan oleh orang yang sudah di training dan tidak bersifat invasif, kekurangannya adalah bersifat objektif. Klasifikasi grade palpasi gondok ada pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Klasifikasi Gondok Grade Keterangan 0 Tidak Teraba dan Tidak Terlihat 1 Tidak Terlihat pada posisi leher normal tapi teraba 2 Terlihat apabila menelan dan ketika posisi leher normal Sumber : WHO 2001 Adapun kriteria epidemiologi hasil pengukuran prevalensi GAKY dengan metode palpasi pada anak sekolah dasar masuk kategori ringan apabila TGR 5,0% 19,9%, prevalensi gondok 20,0%-29,9% masuk kategori sedang, prevalensi gondok ≥ 30, 0% masuk kategori berat (WHO, 2001). 14 2.4.2 Yodium Urin Sebagian besar yodium yang diserap tubuh dapat dilihat di urine karena eksresi yodium urin menggambarkan asupan yodium harian. Secara individu eskresi yodium dapat berubah tergantung konsumsi makanan setiap hari. Studi menunjukkan secara meyakinkan profil konsentrasi yodium pagi hari atau sewaktu pada anak atau orang dewasa merupakan penilaian adekuat nutrisi yodium pada populasi. Sampel urine selama 24 jam sulit di peroleh dan tidak perlu (WHO, 2001, dalam Rusnelly, 2006). Tingkat kepercayaan indikator ini sangat tinggi, dan specimen urine mudah diperoleh. Metode pemeriksaan yodium urine tidak sulit untuk dipelajari atau digunakan tapi membutuhkan ketelitian untuk menghindari kontaminasi yodium pada semua tahap pemeriksaan, khususnya di wilayah laboratorium, peralatan laboratorium terutama gelas dan reagen di khususkan untuk pemeriksaan ini. Secara umum jumlah urin 0,5-1 ml sudah cukup sebagai bahan pemeriksaan meskipun ini tergantung dari metode yang digunakan. Sampel dapat di simpan di laboratorium satu bulan atau lebih tanpa perlu refrigator, suhu dingin lebih diutamakan untuk menghindari bau urin. (WHO, 2001). Kriteria epidemiologi yodium urin pada anak sekolah dasar selengkapnya pada Tabel 2.4. Tabel 2. 4 Kriteria Kadar Yodium Urin Pada Anak SD Median urinary Iodine Intake yodium Dampak (µg/L) <20 Tidak cukup Defisiensi yodium berat 20-49 Tidak cukup Defisiensi yodium sedang 50-99 Tidak cukup Defisiensi yodium ringan 100-199 Adekuat Optimal 200-299 Lebih dari cukup Berisiko hipertiroid >300 Kelebihan Berisiko merugikan kesehatan (hipertiroid, autoimun tiroid disease) Sumber : WHO, 2001 15 2.4.3 Ultrasonografi Metode ini aman tidak bersifat invasif. Hasil pemeriksaan sangat signifikan dibandingkan TGR dalam memonitor program kontrol yodium dimana volume Thyroid diharapkan mengecil. Di masa mendatang Ultrsonografi dipertimbangkan untuk digunakan secara luas untuk menilai GAKY (IDD). Berat alat antara 12-15 kg dengan panjang gelombang 7,5 MHz dan harga sekitar $ 15.000. Membutuhkan listrik dan operator terlatih (WHO, 2001). 2.4.4 Thyroid Stimulating Hormone (TSH) Kelenjar Pituitary mengeluarkan TSH sebagai respon konsentrasi dari kadar T4 di sirkulasi darah. TSH meningkat ketika T4 rendah, menurun bila T4 meningkat. Defisiensi yodium ditandai dengan rendahnya kadar T4 dalam darah dan meningkatnya TSH. Jadi penderita defisiensi yodium pada populasi umumnya mempunyai serum TSH lebih tinggi meskipun pemeriksaan nilai TSH cukup akurat pada orang dewasa namun tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin sebagai data survey (WHO, 2001) TSH pada bayi adalah indikator yang baik untuk kondisi defisiensi yodium. Kadar homon tiroksin pada bayi mengandung yodium lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa ini karena pertukaran yodium yang tinggi. Pertukaran tinggi bukanlah hal yang berlebihan pada keadaan defisiensi yodium, sebab terjadi peningkatan stimulasi tiroid oleh TSH. Prevalensi bayi dengan serum TSH meningkat merupakan indikator akut defisiensi yodium pada populasi, juga sebagai bukti bahwa defisiensi yodium berefek langsung pada pertumbuhan otak (WHO, 2001). 16 2.5 Hemoglobin (Hb) Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hemoglobin juga merupakan protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Hemoglobin adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat di dalam eritrosit. Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi fero dan empat rantai globin (Brooker, 2001, dalam Rusnelly, 2006). 2.5.1 Kadar Hemoglobin (Hb) Kadar Hb merupakan ukuran pigmenrespiratorik dalam butiran-butiran darah merah. Jumlah Hb dalam darah normal adalah kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100 %” (Evelyn, 2009). Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang sulit ditentukan karena kadar hemoglobin bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin yang dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut. 17 Tabel 2. 5 Batas Kadar Hemoglobin Kelompok Umur Anak usia 6 bulan - 5 tahun Anak usia 5-11 tahun Anak usia 12-13 tahun Wanita dewasa Wanita hamil Laki-laki Sumber. Indicators for assessing Iron WHO/UNICEF, UNU dalam FKM UI 2.5.2 Nilai (gr/dl) 11,0 11,5 12,0 12,0 11,0 13,0 Deficiency and Strategies for Its Prevention, Fungsi Hemoglobin Hemoglobin di dalam darah memiliki fungsi yang sangat vital, yaitu membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen yaitu menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin (Almatsier, 2010). Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan tubuh, mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar, membawa karbondioksida dari jaringanjaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008). 2.5.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah kecukupan besi dalam tubuh serta metabolisme besi dalam tubuh. 18 1. Kecukupan Besi dalam Tubuh Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh, yaitu berupa senyawa besi fungsional, besi cadangan dan besi transpor. Besi dalam tubuh tidak terdapat dalam bentuk logam bebas, tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan yang memiliki sifat seperti radikal bebas (Bakta, 2006). Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan flavoprotein. Walaupun jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk kedalam sel-sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja. Pada anak sekolah berdampak pada penurunan prestasi belajar (Rusnelly, 2006). 2. Metabolisme Besi dalam Tubuh Besi adalah trace element yang sangat penting oleh tubuh. Di alam besi terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dari segi evolusinya, sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makan berubah dimana sebagian besar besi berasal dari nabati, 19 khususnya pada daerah tropik, tetapi perangkat besi tidak mengalami evolusi yang sama sehingga menimbulkan banyak defisiensi besi (Bakta, 2006). Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merah atau hemoglobin (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg), phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum tulang (>2001500mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik dan bagian yang merupakan cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom, serta enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Bakta, 2006; Almatsier, 2010). Selain kedua faktor tersebut menurut Gibson (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi hemoglobin adalah : 1. Variasi biologis Variasi biologis berpengaruh terhadap konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi hemoglobin cenderung lebih rendah pada malam hari daripada pagi hari, kira-kira bisa mencapai 10 g/L. 2. Umur dan jenis kelamin Umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan konsentrasi hemoglobin, khususnya bagi yang berusia muda. Nilai hemoglobin pada jenis kelamin yang berbeda, terlihat jelas pada anak usia 6 bulan. Anak laki-laki 20 mempunyai konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari anak perempuan. Pada tahap kehidupan selanjutnya, perempuan mempunyai nilai hemoglobin lebih rendah setelah usia 12 tahun. Level hemoglobin pada laki-laki selama masa remaja dipengaruhi oleh hormon testosteron dan usia kematangan seksual. Pada orang dewasa, konsentrasi hemoglobin pada laki-laki rata-rata sekitar 20 g/L lebih tinggi dibandingkan perempuan. Perbedaan nilai hemoglobin yang berhubungan dengan jenis kelamin tersebut semakin berkurang dengan bertambahnya usia. 3. Ras Ras mempengaruhi konsentrasi hemoglobin. Orang-orang keturunan Afrika mempunyai nilai hemoglobin 5-10 g/L lebih rendah dari Caucasians, terlepas dari umur, pendapatan, atau defisiensi zat besi. Hal tersebut mungkin dipengaruhi faktor genetik. 4. Kehamilan Kehamilan menyebabkan peningkatan pada volume plasma dan masa sel darah merah. Ekspansi terbesar terjadi pada volume plasma sehingga hemoglobin menjadi cair. Akibatnya, konsentrasi hemoglobin menurun. Hal tersebut semakin jelas pada akhir trimester kedua kehamilan. Setelah itu, selama trimester ketiga, konsentrasi hemoglobin secara berangsur-angsur naik. 5. Ketinggian Ketinggian menghasilkan adaptasi tubuh terhadap tekanan oksigen yang lebih rendah dan menurunkan kejenuhan oksigen dalam darah. Hal ini semakin berpengaruh pada ketinggian di atas 1000 meter. Konsentrasi hematokrit dan hemoglobin meningkat secara berangsur-angsur seiring dengan meningkatnya ketinggian. 21 6. Anemia defisiensi zat besi Anemia defisiensi zat besi terjadi di akhir tahapan defisiensi zat besi saat cadangan zat besi habis. Hemoglobin adalah alat ukur yang tidak sensitif terhadap defisiensi zat besi sehingga konsentrasi hemoglobin turun hanya pada saat akhir tahapan defisiensi zat besi. 7. Defisiensi mikronutrien tertentu Defisiensi mikronutrien tertentu dihubungkan dengan anemia dan kadar hemoglobin yang rendah. Defisiensi mikronutrien tersebut meliputi defisiensi vitamin A, B6, B12, riboflafin, asam folat, dan tembaga. 8. Infeksi parasit Infeksi parasit seperti protozoa penyebab malaria (Plasmodium falciparum) dapat menyebabkan konsentrasi hemoglobin rendah dengan pemecahan sel darah merah dan penekanan produksi sel darah merah yang baru. Selain itu, cacing (seperti cacing tambang dan cacing pipih) juga dapat menyebabkan rendahnya nilai hemoglobin sebagai hasil dari kehilangan darah dan zat besi. 9. Keadaan penyakit tertentu Penyakit tertentu dapat mempengaruhi konsentrasi hemoglobin. Nilai hemoglobin yang rendah dapat disebabkan oleh infeksi kronik dan peradangan. Penyakit kronik yang dapat mempengaruhi konsentrasi hemoglobin diantaranya HIV-AIDS, perdarahan, dan gizi kurang akibat kekurangan energi-protein. 10. Merokok Hal ini dihubungkan dengan penurunan kapasitas pembawa oksigen darah yang menyebabkan peningkatan level karboksihemoglobin. 22 2.5.4 Metode pemeriksaan hemoglobin Metode untuk menentukan kadar hemoglobin saat ini banyak macamnya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Pemilihan metode yang tepat tergantung pada keadaan serta fasilitas yang tersedia (Sihadi & Sawira,1995, dalam H.M Nae, 2011). 1. Sianmethemoglobin langsung Berbeda dengan metode kertas lakmus, metode sianmethemoglobin ini memerlukan peralatan dan pereaksi khusus tetapi hasil yang diperoleh lebih teliti. Metode sianmethemoglobin ini sangat dianjurkan oleh WHO (1968) karena sampai saat ini dinilai dapat menghasilkan data yang paling teliti. Kelemahannya adalah ketergantungan pada alat spektrophotometer yang masih terbatas pada instansi tertentu selain sukarnya pemeliharaan fotoometernya sendiri, alat ini relatif sulit dibawa ke lapangan dan sangat tergantung pada listrik. Di samping itu, fasilitas lain yang diperlukan dalam penyiapan larutan, listrik dengan voltase yang stabil biasanya sulit tersedia di lapangan. 2. Sianmethemoglobin tidak langsung Metode ini merupakan pengembangan metode sianmethemoglobin sebagai usaha untuk mengatasi kelemahannya. Penetapan kadar Hb dengan metode ini di lapangan sangat praktis karena darah yang akan diperiksa di laboratorium tidak dalam bentuk cair. Apabila pelaksanaan pengambilan darah di lapangan dalam waktu yang relatif lama, sampel darah yang telah diteteskan dalam kertas dapat dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim ke laboratorium lewat pos. 23 3. Metode Sahli Prinsipnya sama dengan metode kertas lakmus yaitu membandingkan warna secara visual tetapi memerlukan peralatan dan pereaksi tertentu. Berbeda dengan metode sianmethemoglobin, peralatan yang digunakan sangat sederhana, ringan, sehingga memungkinkan dibawa ke lapangan, dan tidak tergantung pada listrik ataupun batrei. Metode Sahli masih dianggap subjektif karena pembandingan warna dilakukan secara visual. 4. Metode Hemocue Metode ini merupakan pengembangan metode penentuan Hb secara spektrophotometer. Metode Hemocue berdasarkan pengukuran optical density pada kuvet yang mempunyai kapasitas volume sebesar 10 mikroliter oleh sinar yang berasal dari lampu yang berjarak 0,133 mililiter sampai pada dinding paralel celah optis tempat kuvet berada. Alat penentuan kadar hemoglobin dengan metode Hemocue ini ringan dibawa, praktis, dapat menggunakan batrei, tidak tergantung listrik, dan hasilnya dapat langsung diketahui pada saat itu juga. Pemilihan metode penetapan kadar Hb yang akan digunakan tergantung berbagai pertimbangan, diantaranya tujuan atau keperluan penetapan Hb, misalnya untuk penelitian jelas memerlukan metode yang lebih teliti. Di samping itu, juga tergantung pertimbangan biaya karena ada beberapa metode walaupun teliti tetapi peralatan dan bahan pereaksi harganya relatif mahal. Situasi dan kondisi lapangan juga mempengaruhi pemilihan metode seperti ada tidaknya sarana listrik, jauh tidaknya lapangan dan laboratorium dan lain-lain. 24 2.6 Besi (Fe) Jumlah zat besi dalam tubuh bervariasi menurut umur, jenis kelamin, status gizi, status kesehatan dan jumlah zat besi cadangan. Zat besi dalam tubuh berkombinasi dengan protein sehingga mampu menerima atau melepaskan oksigen atau karbondioksida. 2.6.1 Absorpsi Zat Besi (Fe) Penyerapan zat besi terjadi dalam lambung dan usus bagian atas yang masih bersuasana asam, banyaknya zat besi dalam makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh tergantung pada tingkat absorpsinya. Tingkat absorpsi zat besi dapat dipengaruhi oleh pola menu makanan atau jenis makanan yang menjadi; sumber zat besi. Misalnya zat besi yang berasal dari; bahan makanan hewani dapat diabsorpsi sebanyak 20 -30% sedangkan zat besi yang berasal dari bahan makanan tumbuhtumbuhan hanya sekitar 5 % (Rasmaliah, 2004). Rasmaliah (2004) juga menjelaskan bahwa protein nabati maupun protein hewani tidak meningkatkan absorpsi zat besi. Tetapi bahan makanan yang disebut meat factor seperti daging, ikan dan ayam, yang ada dalam menu makanan walaupun dalam jumlah yang sedikit akan meningkatkan absorpsi zat besi. Zat gizi yang telah dikenal luas dan sangat berperan dalam meningkatkan absorpsi zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dengan zat besi membentuk senyawa askorbat besi kompleks yang larut dan mudah diabsorpsi, karena itu sayur-sayuran segar dan buah-buahan yang mengandung vitamin C baik dimakan untuk mencegah anemia kurang besi. 2.6.2 Fungsi Zat Besi (Fe) Di dalam tubuh zat besi mempunyai fungsi yang berhubungan dengan pengangkutan, penyimpanan dan pemanfaatan oksigen yang terdapat dalam bentuk 25 hemoglobin, myoglobin atau cytochrome. Untuk memenuhi kebutuhan guna pembentukan hemoglobin, sebagian besar zat besi yang berasal dari pemecahan sel darah akan dimanfaatkan kembali kemudian kekurangannya harus dipenuhi dan diperoleh melalui makanan. Selain fungsi tersebut diatas, zat besi juga berperan dalam proses respirasi yaitu sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat di dalam reaksi oksidasi-reduksi. Fungsi lain dari zat besi adalah meningkatkan kemampuan belajar sebab zat besi dapat meningkatkan fungsi otak. Kemudian zat besi juga memiliki peran penting dalam metabolisme energi, sistem kekebalan tubuh dan pelarut obat-obatan serta membantu kelenjar tiroid dalam penyerapan atau pengikatan yodium dalam tubuh manusia (Rasmaliah, 2004; Almatsier, 2010). 2.6.3 Sumber Zat Besi (Fe) Sumber besi yang baik terdapat dalam makanan hewani seperti daging, ayam dan ikan, selain itu telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah merupakan sumber besi yang baik. Disamping jumlah, kualitas besi dalam makanan juga harus diperhatikan atau biasa disebut ketersediaan biologik (bioavaibility). Pada umumnya ketersediaan biologik yang tinggi ada pada di dalam daging, ayam dan ikan. Ketersediaan biologik yang sedang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran, terutama yang mengandung asam oksalat tinggi contohnya adalah bayam. Contoh lain dari jenis makanan yang mengandung ketersediaan biologik yang sedang adalah kacang-kacangan dan serealia (Almatsier, 2010). Angka kecukupan besi sehari yang dianjurkan berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) dapat dilihat pada Tabel. 2.6 26 Tabel 2. 6 Angka kecukupan besi yang dianjurkan Golongan Umur AKB* (mg) Golongan Umur AKB (mg) 0-6 bl 0,5 Wanita : 20 7-11 bl 7 10-12 th 26 1-3 th 8 13-15 th 26 4-6 th 9 16-18 th 26 7-9 th 10 19-29 th 26 30-49 th 26 Pria 50-64 th 12 10-12 th 13 ≥65 th 12 13-15 th 19 16-18 th 15 Hamil : 19-29 th 13 Trimester I +0 30-49 th 13 Trimester II +9 50-64 th 13 Trimester III + 13 ≥ 65 th 13 Menyusui : 0-6 bl +6 7-12 bl +6 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 (Almatsier, 2010) *Angka Kecukupan Besi 2.7 Hubungan Zat Besi (Fe) dengan Yodium (I) Besi sebagai mineral mikro yang esensial dan paling banyak ditemukan di dalam tubuh memiliki beberapa fungsi yang sangat penting yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu dari berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Dalam tubuh manusia dewasa besi dapat ditemukan 3-5 g (Almatsier, 2010). Sedangkan yodium merupakan salah satu jenis mineral mikro yang jumlahnya sangat sedikit di dalam tubuh tetapi memiliki fungsi yang penting dimana sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mental. Besi mempengaruhi metabolisme tiroid dalam tubuh manusia, dimana sekitar 75% yodium ada di dalam kelenjar tiroid (Almatsier, 2010). Defisiensi besi akan menurunkan aktivitas enzim tyroid peroksidase (TPO) yang mengandung heme dan berfungsi sebagai katalisator dalam sintesis hormon tiroksin. Sehingga akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid. Di samping itu defisiensi besi juga dapat 27 mempengaruhi efek suplementasi yodium didaerah endemik GAKY (Normawati, 2010). Pada tahun 2000 Zimmerman membuktikan bahwa kekurangan Fe dapat menyebabkan terganggunya metabolisme tiroid dalam tubuh manusia. Adanya hubungan kadar Hb dalam darah dengan status GAKY diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Normawati, et al (2010) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian GAKY dan anemia, serta subjek yang mempunyai kadar Hb < 20 gr/dl memiliki risiko 2.9 kali menderita GAKY. Sehingga secara tidak langsung juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mental khususnya pada pertumbuhan anak. Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan untuk bangsa Indonesia khususnya untuk zat besi dan yodium dapat dilihat pada Tabel 2.7 Tabel 2. 7 AKG Rata-rata yang Dianjurkan untuk Anak SD (per orang per hari) Kelompok Umur (tahun)` Besi (mg) Yodium (mcg) Anak 4-6 9 120 7-9 10 120 Laki-laki 10-12 13 120 Perempuan 10-12 20 120