ARAH DAN KEBIJAKAN POLITIK EKONOMI INDONESIA MAKIN MENYIMPANG DARI KONSTITUSI Oleh Wachid Fuady .R. Abstrak Perekonomian Indonesia makin hari makin menyimpang dari konstitusi yaitu UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan kesejahteraan umum. Negara memilih menyerahkan peran Negara pada swasta, termasuk kebijakan ekonominya, Produk hukum yang dihasilkan pemerintah da DPR sangat dipengaruhi oleh paham Individuali – Kapitalistik (Liberalistik). Hukum ekonomi yang berbasis Liberasistik akan berdampak pada kebebasan dan memberi kesempatan kepada pihak yang kuat untuk mendominasi. Pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34) dalam UUD 1945 merupakan pasal yang keseluruhan saling berkait. Satu pasal (pasal 33) mengatur pengelolaan ekonomi, sedangkan Lima pasal lainnya mengatur kewajiban sosial Negara terhadap rakyatnya. Untuk mencegah penyimpangan lebih jauh beberapa alternative pemecahan antara lain (1) Norma-norma hukum hendaknya selaras dengan kandasan filosifis bangsa (2) Pemanfaatan SDA dan pasar domestic digunakan untuk kesejahteraan rakyat (3) Kebijakan pemerintah hendaknya makin terarah (4) Reformasi birokrasi (5) Arah baru politik ekonomi yaitu mengurangi peran penguasaan asing dan lebih memberi peluang pada peran domestik. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali melakukan koreksi terhadap kebijakan ekonomi dan menjadikan UUD 1945 sebagai referensi. Kata Kunci : UUD 1945, Liberastik, Konstitusi. PENDAHULUAN Amanat yang terkandung dalam Pembukaan Konstitusi UUD 1945 jelas disebutkan bahwa tujuan membentuk pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap negara pasti akan mengelola ekonominya sesuai konstitusinya. negara yang menekankan pada peran negara akan memiliki kebijakan ekonomi yang sejalan dengan paradigma tersebut. Negara yang memilih untuk mempercepat penyerahan peran negara kepada swasta juga akan tercermin pada pilihan kebijakan ekonominya. Apabila pengelolaan ekonomi Indonesia semakin menyimpang dari tujuan konstitusi, mungkinkah karena tidak dijalankan sesuai konstitusi? Perekonomian bergerak mengikuti dinamika yang berkembang saat ini semuanya serba pragmatis dan kebijakan pun kebanyakan disusun hanya untuk kepentingan jangka pendek. Sementara, perekonomian jangka pangjang tampak begitu sumir. Tentu fakta ini bukanlah maksud dari amandemen UUD1945 pasal 33 yang memasukkan “ideologi” efisiensi dan efektivitas berbasis hukum pasar. Ekonomi pasar tidak serta merta meninggalkan peran negara. Cara kita mengelola sumber daya adalah sebuah bentuk kehadiran Negara dalam perekonomian. Kegagalan menciptakan nilai tambah yang tinggi dari sumber daya yang dimiliki adalah sesat kebijakan. Pada titik ini harus diakui, perekonomian kita berada pada fase yang krusial dan mengkhawatirkan dalam jangka panjang. Menghadapi dinamika perubahan zaman yang rutin terjadi, roh dan tulang punggung kerekonomian tak boleh lepas dari visi besar tentang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Apa lagi, jangan sampai visi besar tersebut tersandera oleh kepentingan asing, para pemilik modal yang rakus dan tamak mengeruk kekayaan negeri ini demi pundi-pundi pribadinya. Harus jujur diakui, makin hari penyimpangan terhadap UUD 1945 semakin lebar. Ada persoalan dengan visi ekonomi yang mungkin sekali sebagai efek dari pudarnya visi kita dalam bangsa. LIBERALISTIK Amandemen UUD 1945 Pasal 33 yang memasukkan “ideologi” efisiensi dan efektifitas berbasis hukum pasar, ekonomi tidak serta merta menginggalkan peran negara. Dari persektif hukum, terutama dibidang hukum ekonomi peraturan perundang – undangan terlihat semakin liberal. Sebuah penelitian hukum yang dilakukan mahasiswa program doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia membuktikan ada banyak peraturan perundang – undangan yang sangat dipengaruhi paham individual – kapitalistik, meskipun sumber hukum utama Indonesia adalah kebersamaan, bukan free fight Liberalisme yang bertentangan dengan sumber hukum utama Indonesia yaitu kebersamaan (Kompas, 17 Mei 2011). Fenomena yang terjadi belakangan ini menjadi bukti bahwa pembangunan hukum, khususnya hukum ekonomi, yang berbasis pada Liberalisme akan berdampak pada kebebasan yang diusung liberalisme itu memberi kesempatan kepada pihak yang kuat untuk mendominasi. Memasuki era Orde Baru, penguasa saat itu mulai membuka ruang bagi liberalisasi ekonomi. Beberapa perusahaan asing diundang berinventasi di berbagai bidang, termasuk pertambangan, perkebunan, dan pengelolaan hutan dengan ketentuan bagi hasil yang tak adil. Sejak itu bergulirlah proses pengerukan kekayaan alam serta perusakan hutan tanpa memberi manfaat berarti bagi pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, serta pertahanan nasional yang sangat dibutuhkan bagi pencapaian tujuan nasional. Namun, kebijakan saat itu, khususnya di awal Orde Baru, masih mampu buka jalan keluar dari megakrisis bidang ekonomi, politik dan keamanan, bahkan mampu memberi peningkatan kesejahteraan yang cukup berarti. Memang kemajuan ekonomi tersebut bersifat semu sehingga belakangan gampang runtuh diterpa krisis hebat. Mari kita cermati kebijakan penguasa pascareformasi, termasuk pemerintah yang berkuasa saat ini. Kebijakan-kebijakan yang liberalistis, beraroma fundamentalis pasar bebas, diikuti gelombang privatisasi BUMN, termasuk perusahaan strategis yang mengurusi cabang produksi penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak – sebagaimana diatur Pasal 33 UUD 1945 – telah digelar dengan intensitas amat tinggi. Selain membuka ruang lebar bagi perusahaan asing untuk menghisap kekayaan bangsa, langkah ini sangat potensial membenamkan rakyat menengah – bawah ke jurang kesulitan ekonomi yang sangat kuat menjerat. (kompas, 27 Mei 2011). Ambil contoh kebijakan penghapusan subsidi BBM dengan menghilangkan premium dan menggiring konsumen beralih ke pertamax yang harganya jauh lebih mahal. Menurut ahli perminyakan, Kurtubi, kebijakan ini, selain mutlak salah, juga sangat tendendius. Selain dapat memicu kenaikan harga berbagai komoditas kebutuhan pokok masyarakat, konsumen pun dapat beralih ke produk asing Shell atau Petronas. Demikian pula kebijakan kerenagalistrikan yang memecah PLN menjadi unit pembangkit transmisi, dam distribusi serta dapat diprivatisasi sebagaimana di atur dalam UU 30 Tahun 2009 yang judicial review-nya baru saja ditolak Mahkamah Konstitusi. (kompas, 27 Mei 2011) Akibat pemberlakuan kebijakan ini, akan terjadi kenaikan tariff listrik, dan asing pun bakal beramai – ramai menguasai PLN. Contoh lain adalah tentang Penanaman Modal sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 yang sangat liberalistis karena memberi kesempatan bagi asing mengeruk kekayaan alam kita selama hampir 200 tahun dengan modal di atas 90 persen. Akibatnya, terjadi pemanfaatan lahan serta pengurukan kekayaan alam oleh asing dalam kurun waktu panjang dengan manfaat amat minim bagi rakyat. Contoh kebijakan penguasaan yang dituangkan dalam UU di atas hanya sebagaian kecil dari kebijakan ekonomi liberalistis. Liberalisasi bidang politik telah menyuburkan sikap machiavellion, kolusi, nepotisme, dan politik uang sehingga iklim demokrasi pekat dengan konflik dan anarki. Di bidang budaya mekar sikap feodalistis, pragmatisme sempit, individualisme, materialisme, hedonisme, konsumtivisme, fanatisme sempit, fundamentalisme, serta radikalisme. Dari perspektif pancasila serta garis haluan kenegaraan karya para bapak bangsa, semua kebijakan liberalistis di atas jelas menyimpang dan berdampak pada kerusakan sosial – ekonomi – budaya yang potensial berujung pada disintegrasi. JALAN EKONOMI KONSTITUSI Dalam Konstitusi UUD 1945, Indonesia memiliki Pasal (33) yang mengatur arah dan strategi kebijakan ekonomi. Dalam Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa pengaturan ekonomi seharusnya berbasis pada kekeluargaan dan kebersamaan. Adapun pada ayat (2) ditegaskan bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya sehingga dapat meningkatkan kesejehteraannya. Dalam ayat (3) diatur bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”. Ini bearti konstitusi menjamin rakyatlah pemegang hak atas kekayaan sumber daya alam (SDA) tersebut. Meskipun demikian, menurut penulis, pembahasan Pasal (33) yang mengatur pengelolaaan ekonomi seharusnya tidak terlepas daei pembahasab pasal – pasal tentang tanggung jawab social Negara terhadap warganya, baik kewajiban untuk menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan, erta dalam menjamin orang miskin. Dalam pasal (27)misalnya ditegaskan bahwa Negara berkewajiban untuk memenuhi hak rakyat atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Pada Pasal (28) e disebutkan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak – hak dasarnya oleh Negara. Sementara pada pasal (31) dijelaskan Negara bertanggung jawab atas hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan untuk mendapatkan pendidikan setinggi – tingginya. Dalam pasal (34) juga ditekankan bahwa fakir miskin dan anak terlantar memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dari Negara. Pasal (23) ayat 1 menegaskan untuk menjalankan kewajiban – kewajiban tersebut, pengelolaan anggaran dan keuangan harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pasal – pasal ekonomi dan sosial tersebut diyakini saling terkait, maka dalam UUD 1945 ada enam (6) pasal, yaitu pasal (23, (27), (28), (31), (33) dan (34), yang keseluruhannya saling terkait dan harus dimaknai secara bersama – sama. Satu pasal mengatur peradigma pengelolaan ekonomi, sedangkan lima pasal lainnya mengatur peradigma kewajiban sosial Negara terhadap rakyat. Apanila keenam pasal eknomi tersebut dimaknai secara bersama, menjadi jelas mengapa para pendiri bangsa menegaskan bahwa Negara harus menguasai berbagai sumber daya alam (SDA) strategis, tentu saja karena tugas social – ekonomi Negara terhadap rakyat sangat berat sehingga akan mengandalkan SDA sebagai sumber pembiayaan. (kompas 11 Juni 2010) PERAN NEGARA TEREDUKSI Setelah sekian lama, kebijakan ekonomi Indonesia yang cenderung liberal telah mereduksi peran besar Negara dalam neningkatkan kesejahteraan rakyat. Keenam pasal ekonomi – social bahkan telah dimaknai secara terpisah sehingga seolah tidak saling terkait. Akibatnya, meskipun pasal (33) menegaskan bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi, tetapi konsekuensi dari amanah tersebut yan antara lain kewajiban untuk memberikan akses modal yang sama bagi seluruh warga Negara, baik modal capital maupun modal ilmu tidak dijalankan. Akan tetapi, pasal (31) yang mewajibkan Negara memberikan modal ilmu bagi seluruh rakyat telah digeser lewat liberalisasi pendidikan. Akibatnya, Negara tidak lagi berkewajiban, Negara tidak lagi berkewajiban memberikan akses dan jaminan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Liberalisasi telah membeda – bedakan hak rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Alas an klasik bahwa Negara tidak memiliki cukup dana tak masuk akal karena Indonesia memiliki SDA yang melimpah. Seharusnya SDA dimanfaatkan sebagai modal dalam membangun bangsa, termasuk modal untuk menyediakan pendidikan setinggi – tingginya. Akan tetapi liberalisasi SDA telah memisahkan keterkaitan antara kewajiban untuk menjamin pendidikan dan kewajiban untuk menjadikan SDA sebagai modal pembangunan. Tegas dinyatakan dalam pasal (23) bahwa APBN adalah untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar, memberikan penghidupan yang layak lewat lapangan kerja, dan sebagainya seharusnya tercemin dalam alokasi APBN, namun, saat ini APBN tidak lagi “berkewajiban” mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kewajiban tersebut, karena kewajiban Negara untuk menciptakan lapangan kerja, misalnya telah disimpangkan menjadi sekadar menciptakan ilkim usaha yang baik dan menyerahkan penciptaan loapangan kerja kepada swasta. Padahal, apabila Pasal (27) diyakini sebagai amana yang harus dilaksanakan, maka banyak jalan untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia, tetapi pemerintah memilih membebaskan ekspor rotan mentah. Seharusnya melimpahnya rotan di Kalimantan menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk membangun industry pengolahan berbagai SDA rotan. Selain akan ciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat, juja akan mengurangi kesejahteraan antara wilayah jawa dan laur jawa. Apabila kebijakan yang sama juja dilakukan untuk kekayaan SDA lainya, seperti timah, coklat, kelapa sawit dan SDA lainya. Pengelola SDA yang menyimpang dari pasal (33) juja akan berpengaruh terhadap APBN. Apabila dilihat dari struktur APBN, pemerintah memang mengalokasikna anggaran yang cukup besar untuk subsidi BBM, listri, dan pupuk sehingga seolah tepat untuk memotong segera dipangkas. Padahal, masalah sesungguhnya bukan pada besarnya alokasi subsidi, tetapi pada kesalahan pengelolaan SDA energy. (kompas 11 Juni 2010) Untuk subsidi listrik, misalnya, tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energi mix) PLN dari BBM mencapai sekitar 85 persen. Biaya produksi dapat ditekan apabila energi yang digunakan adalah gas dan batu bara. Namun, liberalisasi SDA lewat berbagai undang – undang, mengakibatkan PLN tidak mendapatkan jaminan pasokan gas dan batu bara sehingga harus mnggunakan BBM yang jauh lebih mahal. STAREGI PEMECAHAN Strategi pemecahan masalah ekonomi yang penyusunan dan pemberlakuan perundang – undangan yang berbasis liberalisme – kapitalisme sebenarnya bisa dicegah. Beberapa langkiah pencegahan dan pemecahannya adalah sebagai berikut. 1. Norma hukum itu harus selaras dengan landasan filosofi bangsa Indonesia yang terkandung dalam pembukaan Undang – undang Dasar 1945. Jika para pnyusun dan pembuat Undang – undang dengan berbagai turunannya, termasuk peraturan pemerintah, peraturan menteri melalui ini, dan bahka sebaliknya melahirkn UU yang berbasis liberalisme – kapitalisme maka jelas dan terang telah terjadi penyimpangan terhadap mandat kontitusi. 2. Semberdaya alam (SDA) yang masih berlimpah beserta pasar domestic yang besar harus secara cormat kita gunakan untuk mengakumulasi surplus ekonomi nasional guna menyejahterakan rakyat, meningkatkan kualitas SDM, agar ketika SDA habis, kita sudah mampu bertumpu pada kegiatan ekonomi berbasis iptek bernilai tambah besar. Untuk memaksimalkan pemanfaatan pasar domestik bagi dunia usaha nasional, selain pembinaan, perluasan kesempatan berusaha, kita perlu merevisi instrument hukum terkait antara lain UU Penanaman Modal, UU Sumberdaya Alam, UU Pertambangan, UU Perbankan, UU Perpajakan serta pratek penyelenggaraan Negara disemua tingkatan. 3. Merujuk pada konstruksi kebijakan yang mengatur secara teknis sector – sektor perekonomian serta keterkaitannya dalam sebuah totalitas kebijakan pemerintah. Tampak sekali kebijakan industri kita makin tak terarah, daya saing yang terus menurun, dukungan infrastruktor dan birokrasi yang tidak memadai, tidak adanya energi dan sebagainya. Ekonomi kita telah bergerak dengan liar mengikuti kesempatan progmatis jangka pendek. 4. Reformasi Birokrasi. Pada dasarnya kita belum serius melakukan penataan dalam sebuah baik. Pada tahapan implementasi, meskipun pemerintah telah merumuskan Rencana Pembangunana Jangka Menengah (RPJM) Nasional, tetap saja terjadi tumpang tindih kebijakan dan langkah – langkah parsial ditip –tiap kementerian. Sebuah hal yang menjadi lumrah dalam pengelolaan pembangunan industri, tumpang tindih dengan kebijakan perdagangan, energi, perpajakan dan bidang lainnya. Inilah wujud nyata pembangunan yang berjalan tanpa landasan peradigma yang tegas. Hal ini perlu reformasi birokrasi di tiap – tiap bidang pemerintahan. 5. Arah baru politik ekonomi haruslah antiteris dari pola kebijakan selama ini yang dengan mudah menghapus begitu bawah sektor dan daftar negative investasi asing lokal, memberi peluang amat besar bagi pengusasaan asing pada kegiatan ekonomi nasional, mengobral asset ekonomi amat prospektif dengan harga murah, serta membiarkan berbagai kebijakan ekonomi ikut diatur konsultan asing yang ditempatkan diberbagai instansi pemerintah. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali melakukan kareksi total terhadap arah kebijakan ekonomi dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai referensi. PENUTUP Telah jelas dalam Pembukaan UUd 1945 bahwaq pembangunan dijalankan atas dasar peranan Negara yang kuat untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai visi tersebut terreduksi oleh kepentingan, para pemilik modal (kapitalis) yang akan mengarah pada perekonomian liberalisme. Ternyata pengelolaan masalah sosial – ekonomi semakin menyimpang dari tujuan pembentukan Negara republic Indonesia, karena dijalankan tidak sesuai dengan konstitusi. Pasal – pasal social – ekonomi dalam UUD 1945 ada enam (6) pasal yaitu pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34), harus dimaknai secara bersama – sama. Satu pasal (pasal 33) mengatur peradigma pengelolaan ekonomi, sedangkan lima (5) pasal lainnya mengatur peradigma kewajiban sosial Negara terhadap rakyat. Penyususnan dan pemberlakuan peraturan perundang – undangan yang berbasis liberalisme – kapitalisme bisa dicegah melalui beberapa langkah : Pertama ; Norma – norma hukum harus selaras dengan landasan filosofi bangsa Indonesia yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Kedua ; SDA yang masih bersimpah hendaknya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas SDM. Ketiga ; untuk memperkuat pasar domestic perlu pembinaan, perluasan kesempatan berusaha, juga perlu merevisi instrument hukum terkait. Keempat ; mengurangi dominasi asing. Kelima ; hindari kebijakan yang tumpang tindih melalui reformasi birokrasi. DAFTAR RUJUKAN 1. A. Prasentyantoko, Kompas 14 Juni 2010, Redefinisi Peran Negara dalam Ekonomi. 2. Agus Sarjono, Kompas 27 Mei 2011, Hukum Ekonomi yang Liberal. 3. Dodi Mantra, Kompas 21 Juni 2010, Paradigma Pembangunan. 4. Hendri Saparani, Kompas 11 Juni 2010, Kembali pada Jalan Konstitusi. 5. Kiki Syah Nakri, Kompas 5 Jan 2010, Ancaman Kebijakan Salah. 6. 2004, UUD 1945 dan Amandemen, Tim Srikandi Jakarta. 7. UU Nomer 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Depkumham.co.id, Akses 3 April 2011. 8. Undang – undang Penanaman Modal Inkostitusinal, http://jurnalhukum.blogspot.com, Akses 3 April 2011. 9. UU Nomer 4 Tahun 2009, tentang Mineral dan Batubara, Depkumham.co.id Akses 4 April 2011. 10. UU Nomer 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik, Depkumhan.co.id, Akses 4 April 2011. 11. UU Nomer 30 Thun 2009, tentang Ketenaga Listrikan Depkumham.co.id, Akses 4 April 2011.