Hubungan Karakteristik Keluarga dan Peer Group

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
Ecological Model of Child Development
Bronfenbrenner dalam Santrock (1992) mengembangkan teori sistem
ekologi untuk menjelaskan bagaimana semua yang ada pada diri anak dan
lingkungan anak mempengaruhi tumbuh kembangnya. Urie Bronfenbrenner
menamakan aspek yang berbeda atau tingkat lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan
anak,
diantaranya
lingkungan
mikrosistem,
mesosistem,
eksosistem dan makrosistem di sekitarnya, seperti yang terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ecological Model of Child Development
Sumber: Santrock (1992)
Mikrosistem adalah sistem lingkungan di sekitar kehidupan anak yang
merupakan lingkungan terdekat anak yang menjadi tempat anak tumbuh
berkembang membentuk pola dan kebiasaan hidup sehari-hari, atau tempat
dimana anak saling berinteraksi yang mencakup lingkungan rumah, sekolah, peer
group dan dalam kehidupan bertetangga. Di lingkungan inilah anak paling banyak
berinteraksi, belajar, dan mengenali lingkungan sekitarnya yang dapat dia pelajari,
amati dan amalkan sehingga menjadi perilaku yang berpola tetap dan menjadi
suatu kebiasaan. Sementara itu, mesosistem adalah sebuah sistem lingkungan
10
yang merujuk pada hubungan antara dua atau lebih mikrosistem dimana anak
terlibat atau berpartisipasi di dalamnya, misalnya hubungan antara pasangan
suami dan istri di rumah atau antar guru di sekolah.
Sistem lingkungan selanjutnya adalah eksosistem, yaitu sebuah sistem
lingkungan berupa lembaga atau institusi yang mempengaruhi anak, tetapi anak
tidak secara langsung berinteraksi, misalnya tempat kerja orang tua atau lembaga
dan institusi pemerintah. Sementara itu, makrosistem adalah sistem lingkungan
yang meliputi lingkungan budaya yang lebih luas melebihi lingkungan
mesosistem dan eksositem di sekitar kehidupan anak, dan secara tak langsung
mempengaruhi anak, misalnya sistem sosial politik dan ekonomi di dalam
masyarakat yang menentukan kebijakan dan program terhadap anak.
Kelompok Peer Group
Selain keluarga, peer group merupakan lingkungan mikro yang memiliki
pengaruh langsung pada anak. Kelompok teman sebaya atau peer group adalah
kelompok anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan
yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah
sebagai sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga. Relasi yang baik
diantara teman-teman sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal
di masa remaja. Anak-anak mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan
keadilan melalui pengalaman mereka ketika menjalin persahabatan yang karib
dengan kawan-kawan terpilih, remaja dapat belajar menjadi mitra yang lebih
terampil dan peka (Santrock 2007).
Sejumlah ahli menekankan pengaruh negatif dari teman-teman sebaya bagi
perkembangan anak dan remaja. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau
diabaikan dapat membuat mereka merasa kesepian dan bersikap bermusuhan.
Selain itu pengalaman ditolak dan diabaikan oleh kawan-kawan sebaya berkaitan
dengan kesehatan mental dan masalah kejahatan di masa selanjutnya. Budaya
kawan-kawan sebaya dapat mempengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai
dan kendali orang tua terhadap mereka. Selain itu, teman-teman sebaya juga dapat
memperkenalkan remaja kepada alkohol, minuman keras, kenakalan, serta bentuk-
11
bentuk lain dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang dewasa (Santrock
2007).
Hurlock (1990) menyatakan bahwa pada masa puber ketika minat terhadap
kegiatan bermain yang melelahkan berubah menjadi minat kepada kegiatan sosial
yang lebih formal dan tidak menguras tenaga sehingga terjadi pengelompokan
sosial baru dari kelompok sosial di masa kanak-kanak. Pengelompokan sosial
remaja tersebut adalah:
•
Teman dekat, biasanya terdiri dari dua atau tiga orang sahabat karib dan dari
jenis kelamin yang sama
•
Kelompok kecil, biasanya terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Mulanya
dari jenis kelamin yang sama kemudian meliputi kedua jenis kelamin
•
Kelompok besar, terdiri dari beberapa kelompok kecil dan kelompok teman
dekat. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat berkurang di
antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di
antara mereka.
•
Kelompok yang terorganisir, kelompok pemuda yang dibina oleh orang
dewasa. Dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sosial para remaja. Banyak remaja yang mengikuti kelompok itu
merasa diatur dan berkurang minatnya ketika berusia enam belas atau tujuh
belas tahun
•
Kelompok geng, remaja yang tidak termasuk kelompok manapun mungkin
mengikuti kelompok geng. Anggota geng biasanya terdiri dari anak-anak
sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan temanteman melalui perilaku antisosial
Keterikatan dengan Peer Group
Menurut Baron dan Byrne (2005), keterikatan atau kohesivitas adalah
derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika
kohesivitas tinggi, atau ketika kita suka dan mengagumi suatu kelompok orangorang tertentu maka tekanan untuk melakukan konformitas bertambah besar.
Konformitas sendiri diartikan sebagai mengadopsi sikap atau perilaku orang lain
12
karena merasa didesak oleh orang lain, baik desakan nyata atau bayangannya saja
(Santrock 2007).
Cartwright dan Zander (1968) dalam Ramayanti (2000) menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi keterikatan pada kelompok, yang
diantaranya adalah keterlibatan anggota dalam kegiatan-kegiatan kelompok,
saling ketergantungan diantara anggota kelompok, ukuran kelompok, daya tarik
interpersonal, kesamaan diantara anggota, struktur, suasana, tujuan kelompok, dan
kepemimpinan. Sementara Hogg (1992) dalam Nurhuda (2008) mengungkapkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kelompok diantaranya
interaksi atau keakraban diantara anggota, ancaman yang dirasakan bersama,
pengalaman
inisiasi,
karakteristik
kepribadian
dan
tingkah
laku
yang
menyenangkan, kesamaan diantara anggota, status, situasi kelompok, penerimaan
dari anggota lain dan keberhasilan kelompok.
Cartwright dan Zander (1968) dalam Ramayanti (2000) menyatakan
bahwa kohesi terhadap kelompok akan mempengaruhi pribadi anggotanya.
Anggota yang memiliki kohesi kelompok tinggi akan jauh lebih menunjukkan
konformitas terhadap norma kelompok. Selain itu, anggota kelompok yang
kohesif akan lebih siap menerima pengaruh dari anggota yang lain dan sebaliknya
juga lebih bisa mempengaruhi orang lain.
Perkembangan Remaja
Istilah adolescene atau remaja berasal dari kata Latin (adolescere) (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa” (Hurlock 1980). Masa remaja adalah peralihan masa
perkembangan dan melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan
psikososial yang saling berkaitan. Secara umum, masa remaja ditandai dengan
munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan
seksual, atau fertilitas (Papalia et al 2009). Perkembangan fisik yang cepat dan
penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada awal masa
remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan
perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock 1980).
13
Cobb (2001) mengkategorikan usia remaja menjadi remaja awal dan
remaja akhir. Rentang usia untuk remaja awal adalah 11-15 tahun, sedangkan
untuk remaja akhir yaitu 16-19 tahun. Havighurst dalam Sarwono (2010)
menjabarkan tugas perkembangan bagi remaja yang diantaranya, menerima
kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima hubungan
yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun,
menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan),
berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang
dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan
kehidupan berkeluarga, merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung
jawab, serta mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah
lakunya
Pada tahap perkembangan sosial Erikson, usia remaja berada pada tahap
krisis identity vs role diffusion dimana remaja membangun konsep diri yang
positif atau bagaimana remaja menilai dirinya, akan meningkatkan kepercayaan
diri remaja tersebut. Sarwono (2010) menyatalkan bahwa pada tahap ini individu
sudah ingin menonjolkan identitas dirinya, akan tetapi ia masih terperangkap oleh
masih kaburnya peran dia dalam lingkungan asalnya.
Karakter
Karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu “charassein” yang artinya
memberi goresan (to scratch) atau mengukir (to engrave). Dalam bahasa Arab
karakter ini mirip dengan akhlak (akar kata khuluk), yang memiliki arti tabiat atau
kebiasaan melakukan hal yang baik. Karakter berkembang dari nilai menjadi
kebaikan, yaitu sifat dalam diri yang dapat dipercaya untuk merespon situasi
dengan moral yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter
dimulai dari penalaran moral.
Kohlberg (1969) dalam Papalia et al. (2008) menggambarkan tiga
tingkatan dari penalaran moral (moral reasoning), yang masing-masing dibagi
menjadi dua tahap, yaitu: 1) pre-conventional yang terbagi dalam tahap
punishment and obedience orientation dan instrument-relativist orientation
dimana orang berperilaku di bawah kontrol eksternal. Mereka menuruti peraturan
14
untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah, atau berperilaku karena
mementingkan diri sendiri. Tingkat ini umum ditemui pada anak usia 4 sampai 10
tahun; 2) conventional yang terdiri dari tahapan interpersonal corcodance
orientation dan law and order orientation, orang telah menginternalisasi standar
dari figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi “baik”, menyenangkan orang
lain, dan mempertahankan aturan sosial. Tingkat ini biasanya tercapai setelah usia
10 tahun; 3) post-conventional yang terdiri dari tahapan social contract
orientation, dan the universal ethical principle orientation, orang mengenali
konflik antara standar moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan
prinsip kebenaran, keadilan, dan hukum. Orang biasanya tidak mencapai tingkatan
dari penalaran moral ini sampai setidaknya awal masa remaja atau lebih umum di
masa dewasa awal.
Thomas Lickona (1991) menyatakan bahwa karakter terdiri dari nilai yang
berlaku dan nilai dalam tindakan. Karakter mengandung tiga hal yang saling
berhubungan, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Karakter
baik terdiri dari mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan
yang baik. Ketiganya sangat dibutuhkan untuk menghidupkan dan mematangkan
moral. Moral knowing meliputi kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral,
pandangan, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri.
Sementara moral feeling adalah sisi emosi dari karakter yang terdiri dari nurani,
penghargaan diri, empati, mencintai kebaikan, kendali diri, dan rendah hati.
Terakhir adalah moral action yang merupakan outcome dari dua bagian karakter
sebelumnya. Jika orang telah memiliki kualitas moral secara pengetahuan dan
emosi bisa dipastikan mereka pun suka melakukan kebenaran yang mereka tahu
dan rasakan. Aspek karakter dari moral action ini diantaranya adalah kompetensi,
hasrat, dan kebiasaan (Lickona 1991).
Pada tahapan penalaran moral Lickona (1983), remaja berada pada
tahapan keempat, yaitu responsibility to “the system”. Pada tahapan ini, remaja
menganggap bahwa mereka harus memenuhi tanggung jawabnya kepada sistem
sosial dan nilai dimana dirinya berada, dan alasan mereka berperilaku adalah
untuk menjaga sistem tetap utuh dan untuk mempertahankan harga diri sebagai
individu yang memiliki kewajiban.
15
Hormat Santun
Rasa hormat memiliki arti menunjukkan hormat akan nilai dari seseorang
atau sesuatu. Thomas Lickona (1991) menyatakan rasa hormat adalah satu dari
“two great moral values” selain rasa tanggung jawab. Kedua nilai tersebut
merupakan inti dari semesta yang merupakan moralitas umum. Rasa hormat
terdiri dari tiga bentuk utama yaitu hormat pada diri sendiri, hormat pada orang
lain, dan hormat pada semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang menopang
mereka.
Hormat pada diri sendiri mengharuskan kita untuk memperlakukan hidup
kita dan orang seperti memiliki nilai yang tidak bisa dipisahkan. Hormat pada
orang lain mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang sebagai
manusia, sekalipun orang yang tidak disukai, yang memiliki martabat dan hak
yang sama dengan kita. Hormat pada semua jaringan kompleks kehidupan,
melarang kekejaman pada hewan, dan memanggil kita untuk bertindak peduli
kepada lingkungan hidup. Bentuk lain dari rasa hormat diantaranya, hormat pada
kepemilikan barang, memahami bahwa barang merupakan perpanjangan dari
seseorang atau kumpulan orang; hormat pada wewenang, memahami bahwa
bentuk wewenang yang sah dipercayakan pada orang yang peduli pada orang lain
(Lickona 1991).
Shwalb dan Shwalb (2006) menyatakan bahwa anak dan remaja yang
memiliki sikap hormat akan menjadi orang dewasa yang penuh hormat, toleransi,
dan warga negara yang baik. Lemahnya sikap hormat pada diri membuat remaja
akan mengembangkan konsep diri yang negatif dan tidak mampu menghormati
orang lain. Tumbuh dengan ketidak mampuan untuk menghormati orang yang
lebih tua, akan membuat para generasi muda tidak bisa bertahan di dunia kerja
yang mana mereka harus memahami adanya kekuasaan dari orang lain. Selain itu,
Shwalb dan Shwalb (2006) juga menyatakan bahwa pelaku bully mungkin
meningkatkan sikap hormat di antara teman-temannya dengan mengancam orang
lain atau meningkatkan harga diri karena status dominan mereka.
16
Empati
Empati berasal dari bahasa Yunani “empatheia” yang berarti “ikut
merasakan”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Menurut KBBI,
empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau
merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau
kelompok lain. Sementara menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika
seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu,
kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga
menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu
(Dhamas 2009).
Menurut Hoffman dalam Goleman (2009) ditemukan bahwa ada proses
alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Disebutkan bahwa bayi
akan terganggu bila mereka mendengar bayi lain menangis, ini dianggap sebagai
tanda-tanda awal empati. Kemudian pada umur satu tahun, anak-anak merasakan
sakit pada dirinya apabila melihat anak lain jatuh dan menangis seolah mereka
sendiri yang mengalaminya. Setelah tahun pertama, ketika bayi sudah lebih
menyadari bahwa mereka berbeda dari orang lain, mereka akan mencoba
menghibur bayi lain yang menangis. Pada usia dua tahun, anak-anak mulai
memahami bahwa perasaan orang lain berbeda dengan perasaannya, sehingga
mereka lebih peka terhadap isyarat-isyarat yang mengungkapkan perasaan orang
lain.
Pada akhir masa kanak-kanak, tingkat empati paling lanjut muncul ketika
anak-anak sudah mampu memahami kesulitan yang ada di balik situasi yang
tampak. Pada tahap ini mereka dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan,
misalnya kaum miskin, kaum tertindas, dan mereka yang terkucil dari masyarakat.
Pemahaman itu, dalam masa remaja, dapat mendorong keyakinan moral yang
berpusat pada kemauan untuk meringankan kesusahan dan ketidakadilan
(Goleman 2009).
Empati mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Ada
sejumlah bukti bahwa tingkat empati yang dirasakan orang mewarnai pula
pertimbangan moral mereka. Serangkaian studi yang dilakukan memperlihatkan
17
bahwa sebagian besar perbedaan dalam kepekaan empati ada kaitannya dengan
bagaimana orang tua menerapkan disiplin pada anak-anak. Penganiayaan emosi
yang hebat dan terus menerus, termasuk perlakuan kejam dan sadis, penghinaan,
dan kekasaran akan menumpulkan empati (Goleman 2009).
Perilaku Bullying
Sullivan (2000) menyatakan bahwa tindakan bullying bukan merupakan
tindakan kriminal melainkan perilaku antisosial. Menurut Clarke (2003) perilaku
antisosial didefinisikan sebagai segala tindakan yang menunjukkan kurangnya
perasaan dan kepedulian pada kesejahteraan orang lain. Salah satu bentuk perilaku
antisosial adalah tindakan agresi. Sears, Freedman, dan Peplau (1985) menyatakan
agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Sehingga
definisi bullying menurut Sullivan (2000) adalah tindakan agresi dan atau
manipulasi yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh satu atau sekelompok
orang kepada orang lain yang bertujuan menyakiti orang tersebut.
Hasil wawancara mendalam yang dilakukan Andina (2004) terhadap tiga
orang pelaku bullying menunjukkan beberapa pemicu perilaku bullying, yang
diantaranya adalah karena adanya tradisi di sekolah, pernah menjadi korban
sebelumnya, merasa tidak dihormati oleh junior, ingin menunjukkan kekuasaan
sebagai senior, dan rasa iri karena junior lebih kaya dan bergaya dari senior.
Sullivan (2000) membagi bullying menjadi tiga, yaitu:
•
Fisik yang meliputi tindakan seperti memukul, mendorong, menggigit,
menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit,
mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang
dimiliki orang lain.
•
Kontak
verbal
yang
meliputi
tindakan
seperti
mengancam,
mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama
(name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek,
mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip)
•
Perilaku nonverbal, terdiri dari tindakan langsung dan tidak langsung.
Perilaku nonverbal langsung meliputi tindakan seperti melihat dengan
sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan,
18
mengejek, atau mengancam. Sedangkan perilaku non-verbal tidak
langsung meliputi tindakan seperti mendiamkan seseorang, memanipulasi
persahabatan
sehingga
menjadi retak, sengaja mengucilkan atau
mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
Perilaku bullying harus dapat dibedakan dengan tindakan kriminal,
perilaku sub-bullying dan non-bullying. Menyerang orang lain dengan senjata dan
menghilangkan nyawa orang lain merupakan contoh tindakan kriminal. Perilaku
sub-bullying atau non-bullying cenderung terjadi dalam permainan, seperti
permainan yang melibatkan fisik atau verbal yang terkadang permainan tersebut
dilakukan secara kasar, berkelahi, berguling-guling dan bermain dengan cara
mengolok-olok teman.
Duffy (2004) dalam Saputri (2010) membagi peran pelaku bullying
menjadi tiga dimensi, yaitu:
1. Bully adalah tipe pelaku utama, yaitu pelaku yang melakukan bullying
secara langsung atas inisiatifnya sendiri.
2. Assisting the bully adalah pelaku yang melakukan bullying dengan cara
membantu pelaku utama yang sedang melakukan bullying, misal ikutikutan memukul siswa yang dipukul.
3. Reinforcing the bully adalah pelaku yang melakukan bullying dengan
cara mendukung tindakan bullying itu sendiri, misalnya dengan
menyetujui pengucilan terhadap siswa.
Download