Peran Pendampingan Kesehatan Terhadap Status Gizi Anak Usia 3

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Status Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat yang tidak
digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi
normal dari organ – organ serta menghasilkan energi (Amelia, 2012).
Menurut Suhardjo (2003), status gizi adalah keadaan kesehatan
individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat
kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan
dan dampak fisiknya diukur secara antropometri. Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat
gizi, yang dibedakan menjadi status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih
(Almatsier, 2003).
Penanganan gizi kurang dan buruk merupakan masalah yang
kompleks. Menurut Eko Suryani (2008), ada beberapa langkah-langkah
yang harus dilakukan untuk menunjang anjuran yang berhubungan dengan
kesehatan yaitu: mengenal masalah, masyarakat dan wilayah. Penyuluhan
kesehatan harus disesuaikan dengan masalah yang ada sehingga program
dapat menjawab dan memecahkan masalah kesehatan. Masyarakat
7
sebagai subyek penyuluhan harus dikenal dalam segala segi kehidupannya
seperti jumlah penduduk, keadaan sosial budaya dan ekonomi masyarakat
dan pola komunikasi dalam masyarakat.
Wilayah sebagai tempat
penyuluhan harus sesuai dengan masalah kesehatan, tujuan penelitian,
sasaran penyuluhan, isi penyuluhan, dan metode penyuluhan.
2.2
Penentuan Status Gizi
Menurut Handayani (2011), penentuan status gizi digunakan untuk
memperoleh gambaran status gizi seseorang. Antropometri ditinjau dari
sudut pandang gizi, berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi. Jenis parameter yang digunakan adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia yaitu umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak dibawah kulit.
a) Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat
Badan
merupakan
parameter
yang
sensitif
terhadap
perubahan-perubahan mendadak karena penyakit infeksi, nafsu
makan ataupun jumlah makanan yang dikonsumsi. Parameter ini
baik untuk mengukur status gizi akut maupun kronis. Sedangkan
kelemahannya yaitu mengakibatkan interprestasi status gizi yang
keliru dan memerlukan data umur yang akurat.
8
b) Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan adalah indeks antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Penilaian status gizi berdasarkan
tinggi badan menurut umur yaitu untuk melihat status gizi masa
lampau, alat ukur panjang dapat dibuat sendiri. Kelemahannya
adalah tinggi badan tidak cepat naik.
c) Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan secara seimbang dengan tinggi
badan.
Dalam
keadaan
normal,
seseorang
mengalami
perkembangan yang searah antara berat badan dengan tinggi
badan. Parameter ini tidak memerlukan data umur dan dapat
membedakan proporsi badan. Parameter ini tidak dapat memberikan
gambaran perkembangan status gizi masa lalu.
d) Lingkar Lengan Atas menurut Umur (LILA/U)
Lingkar lengan atas merupakan gambaran keadaan jaringan otot
dan jaringan lemak kulit seseorang. Pengukuran ini merupakan
indikator yang baik untuk menilai KEP (Kurang Energi Protein) berat,
alat ukur murah dan dapat dibuat sendiri. Kelemahan pengukuran ini
yaitu hanya mengidentifikasi anak dengan KEP berat, sulit
digunakan untuk menilai pertumbuhan anak umur 2 sampai 5 tahun.
2.3
Kekurangan Gizi
Menurut Handayani (2011), kekurangan gizi dapat berupa zat gizi
makro maupun mikro antara lain dapat diindikasikan dari status gizi anak
9
balita dan wanita hamil. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi
pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini
berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi
kemerosotan jaringan. Pada situasi tersebut
orang dapat dikatakan
malnutrisi. Implikasi masalah gizi, antara lain: tingginya prevalensi Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR) akibat tingginya prevalensi kurang energi kronik
pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka kematian bayi dan balita,
gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak serta penurunan kecerdasan,
kurang zat besi (anemi gizi besi) pada ibu hamil dapat meningkatkan resiko
kematian waktu melahirkan, meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan
kurang zat besi dan berdampak buruk pada pertumbuhan sel-sel otak anak
sehingga secara konsisten dapat mengurangi kecerdasan anak, kurang
vitamin A pada anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh,
meningkatkan resiko kebutaan dan meningkatkan resiko kematian akibat
infeksi, meluasnya kekurangan gizi pada anak balita akan memicu kenaikan
biaya kesehatan dan pengeluaran rumah tangga. Ketika kurangnya
kebutuhan pangan melanda pada anak balita maka akan berakibat pada
kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak
berkualitas.
Menurut Handayani (2011), masyarakat Indonesia rentan gizi
terutama yang berada di daerah pedesaan dengan lingkungan sosial
ekonomi yang rendah yaitu dengan tingkat pendidikan, pengetahuan,
10
pendapatan dan budaya yang tidak mendukung terjadinya status gizi
masyarakat yang baik.
2.4
Gizi Buruk
Menurut Adisasmito (2008), gizi buruk adalah masalah yang bukan
hanya disebabkan oleh kemiskinan (masalah struktural), tapi juga karena
aspek sosial dan budaya hingga menyebabkan tindakan yang tidak
menunjang tercapainya gizi yang memadai untuk balita (masalah individual
dan keluarga). Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun. Status gizi balita secara sederhana dapat
diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur
maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah
ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak
disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila
jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Gizi buruk yang disertai dengan
tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor.
2.4.1
Penyebab gizi buruk
Menurut Moehyi (2008), faktor-faktor penyebab gizi buruk adalah :
faktor resiko yang bersumber dari masyarakat di mana harga bahan
makanan yang bernilai gizi tinggi harganya tidak terjangkau dan lingkungan
yang tidak sehat sehingga menyebabkan berbagai penyakit, faktor resiko
yang bersumber pada keluarga, yaitu pendidikan orang tua yang relatif
rendah sehingga pemahaman terhadap masalah kesehatan gizi terbatas,
11
penghasilan keluarga kurang, jumlah anak dalam keluarga tidak sesuai
kemampuan ekonomi, hygiene dan sanitasi lingkungan dan perumahan
yang kurang baik sehingga memudahkan penularan penyakit dan yang
terakhir faktor resiko yang bersumber pada ibu yang masih terlalu muda
atau sudah terlalu tua, banyaknya jumlah anak yang dilahirkan, jarak lahir
anak yang pendek (kurang dari 2 tahun), tingkat kesehatan ibu, kecukupan
dan kesesuaian makanan ibu sebelum dan sesudah melahirkan.
2.4.2
Pencegahan Gizi Buruk
Menurut Moehyi (2008), pencegahan gizi buruk pada anak dapat
dilakukan dengan cara mengawasi tumbuh kembang anak sejak masih
dalam rahim sampai anak mencapai usia lima tahun. Laju tumbuh kembang
anak dipantau melalui pengukuran dalam buku Kartu Menuju Sehat (KMS),
imunisasi terhadap penyakit tertentu seperti campak, tuberkulosa, polio,
batuk rejan dan pengaturan makanan yang tepat dan benar sejak lahir
sampai usia lima tahun. Usia tahun pertama dan kedua setelah bayi lahir
merupakan masa dimana makanan bayi perlu diatur secara tepat dan benar
hingga kebutuhan gizi anak dapat terpenuhi sehingga tumbuh kembang
anak dapat berlangsung optimal.
2.5
Intervensi (Pendampingan) Gizi
Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan
langsung kepada orang tua balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan
kesehatan, yaitu pelayanan perorangan dalam rangka menyembuhkan dan
12
memulihkan anak dari kondisi gizi buruk, dan pelayanan masyarakat yaitu
dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk di masyarakat (Depkes RI,
2005).
Kunjungan rumah bertujuan untuk menggali permasalahan yang
dihadapi keluarga termasuk kepatuhan mengonsumsi makanan untuk
pemulihan gizi dan memberikan nasehat sesuai dengan masalah yang
dihadapi (Kemenkes RI, 2011).
Tujuan pendampingan, yaitu : mengidentifikasi dan mencatat
masalah gizi yang terjadi pada keluarga sasaran. Meskipun pada saat
pendataan telah diketahui masalah gizi keluarga sasaran, namun kader
pendamping masih perlu melakukan identifikasi secara teliti masalah gizi
yang dihadapi pada saat kunjungan. Di samping itu dilakukan pengamatan
terhadap balita atau anggota keluarga lain yang menderita sakit, kebersihan
diri dan lingkungan rumah serta pemanfaatan air bersih. Semua hasil
identifikasi tersebut harus dicatat untuk setiap sasaran agar dapat diberikan
nasehat sesuai dengan masalahnya.
2.6
Variasi Makanan untuk Mencegah Anak Susah Makanan
Menurut Moehyi (2008), pada usia 3 tahun selain susunan hidangan
“4 sehat” yang terdiri dari 4 macam hidangan yaitu nasi, lauk pauk (baik
hewani maupun nabati), sayur yang dibuat dari sayuran dan buah-buahan
harus diperhatikan variasi penyusunan hidangannya karena pada usia 3
tahun ke atas anak sering dikeluhkan susah makan ataupun jika makan
anak hanya memilih makanan tertentu saja. Untuk mengatasi keadaan itu,
13
variasi makanan sangat penting misalnya jika anak menolak makan nasi,
harus dicarikan apa yang dapat mengganti nasi yang disukai anak seperti
kentang goreng, roti atau bahan karbohidrat lainnya.
Jika anak tidak mau makan lauk pauk berupa daging harus dicarikan
lauk pengganti daging, masakan telur atau ikan dimasak dengan variasi
berbagai rasa. Bentuk variasi makanan yang agak sukar adalah membuat
variasi hidangan sayuran karena hanya jenis sayuran tertentu yang baik
untuk makanan anak seperti bayam, tomat, kacang polong, wortel dan labu
kuning. Variasi dapat dilakukan dengan memberi bentuk potongan dari
berbagai sayuran seperti wortel menjadi bentuk yang disukai anak. Bentuk
potongan atau warna makanan sering dapat membangkitkan sikap anak
untuk menyenangi suatu makanan yang sebelumnya tidak disenangi.
Manfaat pendampingan penyajian makanan yang bervariasi adalah untuk
meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak bayi dan
meningkatkan
pengetahuan
orang
tua
tentang
balita serta
makanan
bergizi
(Moehyi,2008).
14
Download