3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang paling penting atau kritis untuk dianalisis. Sehingga SIG dapat diartikan sistem komputer yang memilki empat kemampuan untuk menangani data dengan referensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau manajemen data (menyimpan atau mengaktifkan kembali), analisis dan manipulasi data serta keluaran data. Prahasta (2009) menyatakan bahwa SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografis. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak (program) yang berfungsi, yaitu : (1) akuisi dan verifikasi data, (2) kompilasi data, (3) Penyimpanan data, (4) perubahan dan updating data, (5) manajemen data dan pertukaran data, (6) manipulasi data, (7) pemanggilan dan presentasi, serta (8) analisis data. Sedangkan menurut Widjodjo (1993) SIG dapat didefinisikan sebagai perangkat lunak untuk penimpanan, pemanggilan kembali, transformasi dan display data keruangan permukaan bumi yang terdiri dari: 1. Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur, dan ketinggian) 2. Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis 3. Hubungan antara data spasial, atribut, dan waktu. Menurut Jaya (2002), pada bidang kehutanan SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spatial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (polygon), batas (line atau arc) dan lokasi (point). Terdapat beberapa data spasial (peta) yang sering digunakan dalam bidang kehutanan, antara lain peta rencana tata ruang, peta rencana tata guna hutan, peta rupa bumi (kontur), peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta batas unit pengelolaan hutan, peta potensi sumberdaya hutan, peta iklim, peta tanah, dan peta sebaran biomassa hutan. 4 2.2 (Radio Detecting and Ranging) RADAR Radar menurut Lillesand and Kiefer (1990) merupakan suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya, prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang diinginkan dan merekam kekuatanya dari asal gema (echo), atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang. Antena pada radar mentransmisi dan menerima gelombang (pulsa) pada panjang gelombang dan polarisasi tertentu. Energi gelombang radar menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik. Panjang antena radar menentukan resolusi pada citra searah azimuth. Semakin panjang antena semakin baik resolusi yang di hasilkan. Synthetic Aperture Radar (SAR) menunjuk pada sebuah teknik yang digunakan untuk mensintetis antena yang sangat panjang dengan mengombinasikan sinyal yang diterima Radar yang bergerak pada jalur terbangnya. Aperture berarti pembukaan yang terjadi dalam proses penyerapan refleksi energi yang digunakan dalam pembuatan gambar. Sebuah Aperture sintetis dibangun oleh pergerakan antena pada berbagai posisi di sepanjang jalur penerbangan. Pada Radar, antena dipasang dibagian bawah pesawat dan diarahkan kesamping, sistem ini dikenal sebagai Side Looking Aperture Radar (SLAR). SAR merupakan teknik yang digunakan untuk menghasilkan Radar Image, dan menyediakan kemampuan yang unik sebagai alat pencitraan. SAR dapat menghasilkan penerangan sendiri (pulsa radar) tidak bergantung pada penerangan matahari dan dapat menembus awan maupun debu karena panjang gelombang radar lebih besar dari sinar tampak maupun infra merah. Polarisasi adalah arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada 5 bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V). Sinyal tersebut dapat pula di terima pada bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V). Terdapat empat kemungkinan kombinasi sinyal-sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu HH, HV, VH dan VV. Semua itu dapat terjadi karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan, maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990). Selain itu terdapat pula faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal sistem radar yaitu panjang gelombang. Makin rendah panjang gelombang maka semakin rendah daya tembusnya. Sebaliknya, semakin tinggi panjang gelombang maka semakin tinggi pula daya tembusnya. Kisaran panjang gelombang yang ada untuk radar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kisaran panjang gelombang (λ) pada saluran/band radar Panjang Gelombang (λ) Frekuensi (f) (mm) (MHz) Ka 7,5 – 11 40.000 – 26.500 K 11 – 16,7 26.500 – 18.000 K4 16,7 – 24 18.000 – 12.500 X 24 – 37,5 12.500 – 8000 C 37,5 – 75 8000 – 4000 S 75 – 150 4000 – 2000 L 150 – 300 2000 – 1000 P 300 – 1000 1000 – 300 Saluran/Band Sumber: Lillesand dan Kiefer 1990 Radar merupakan metode penginderaan jauh gelombang mikro aktif yang meliputi pencitraan pulsa energi gelombang mikro dari sensor ke target dan kemudian mengukur pancaran pulsa balik atau sinyal pantulan (backscatter). Faktor yang mempengaruhi besaran backscatter dapat di kelompokan ke dalam kedua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target objeknya. Dalam sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter, yaitu : 6 1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X,C,S,L dan P) 2. Polarisasi (HH,HV,VV,VH) 3. Sudut pandang dan orientasi, 4. Resolusinya Sedangkan faktor yang mempengaruhi backscatter dalam yang berasal dari sistem target, yaitu : 1. Kekasaran, ukuran dan orientasi objek termasuk di dalamnya biomassa 2. Konstanta dielektrik (antara lain dapat berupa kelembaban dan kandungan air) 3. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal/local incident angle). (JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011) Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai backscatter yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai backscatter yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk mempenetrasikan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung mengestimasi kuantiti dari struktur tegakan. Dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa dimana sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (ranting-ranting besar). Banyak studi yang telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard 2009) 2.3 ALOS PALSAR ALOS adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006. Menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 (the Japanese Earth Resource Satellite-1) dan ADEOS (the Advance Earth Observing Satellite) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat (JAXA 2006). 7 Tabel 2 Karakteristik satelit ALOS Data Keterangan Alat Peluncuran Roket H-IIA Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat Satelit 4000 Kg Power 7000 W Waktu Operasional 3-5 Tahun Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period: 46 Hari Sub Cycle 2 hari Tinggi Lintasan: 692 km diatas Ekuator Inklinasi: 98,2° Sumber: JAXA 2006 PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi L-band. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR (Synthetic Aperature Radar) pada satelit JERS-1. Hal ini memungkinkan instrumen PALSAR untuk melakukan pengamatan yang bebas dari tutupan awan pada siang atau malam hari. Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Polarisasi merupakan arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sensor PALSAR memiliki 4 jenis polarisasi yaitu HH, HV, VH, dan VV. 2.4 Biomassa Biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Menurut Brown (1997) biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight). 8 Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan tanah (bellow ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke dalam suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusuma 1993). Faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon diantaranya ialah suhu dan curah hujan (Kusuma 1993). Selain itu juga yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974). Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran, yaitu : (1) teknik pemetaan pemanenan atau teknik sampling destruktif (2) teknik sampling tanpa pemanenan atau teknik non-destruktif (3) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, dan (4) estimasi menggunakan model. Menurut IPCC (2006), terdapat dua pendekatan dalam mengestimasi nilai kandungan biomassa yaitu, pendugaan langsung melalui persamaan alometrik pada sample plot dan pendekatan tidak langsung melalui penggunaan nilai Biomass Expansion Factor (BEF). Metode ini termasuk metode non destruktif sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya. Pendugaan biomassa juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah data biomassa yang diukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai backscatter citra. Dengan menganalisis hubungan tersebut, akan diperoleh persamaan yang bisa digunakan untuk menduga potensi biomassa melalui peta citra. Metode ini memiliki akurasi data yang cukup baik, di samping itu waktu dan biaya yang dibutuhkan juga relatif tidak mahal (Bergen and Doubson 1999). Penelitian mengenai pendugaan nilai biomassa dengan memanfaatkan teknologi pengindraan jauh telah banyak dilakukan diantaranya ialah Rauste et al, 9 (2007) melakukan penelitian mengenai pemprosesan dan analisis data citra ALOS PALSAR didaerah Heinavesi, Finlandia. Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa polarisasi silang (HV) dari L-band SAR memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan dengan polarisasi searah (HH) dengan nilai saturasi sekitar 150 m3/ha. Hasil penelitian Woisiri (2011) menyatakan bahwa pada hutan tanaman Eucalyptus grandis peubah tinggi pohon,volume, dan biomassa menyebabkan variasi pada nilai backscatter. Hasil penelitian Syarif (2011) dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m pada tgekan jati di KPH Kebonharjo menyimpulkan bahwa hubungan antara backscatter HH dengan biomassa tidak terlalu erat, hal tersebut ditunjukan oleh nilai koefisien determinasi terkoreksi yang rendah dan error yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hubungan antara biomassa dengan backscatter HV. Penelitian yang dilakukan oleh Riska (2011) dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m menyimpulkan bahwa pendugaan biomassa pinus pada kawasan hutan KPH Banyumas Barat dapat dilakukan dengan menggunakan metode alometrik yang menggunakan dua variabel polarisasi HH dan HV. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan yang cukup baik antara nilai backscatter dengan kandungan biomassa. Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS) memberikan pemahaman terhadap hamburan balik (backscatter) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk. Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar L-band bekerja pada gelombang maksimum untuk citra radar yang tersedia. L-band memiliki kemampuan besar untuk menembus daun-daunan hingga ke pokok batang yang paling bawah. 10 2.5 Jati (Tectona grandis Linn.F) Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili Verbenaceae, genus Tectona, dengan nama species terbanyak di Indonesia adalah Tectona grandis Linn.F, dimana jenis ini merupakan jenis terbaik dibandingkan dengan jenis Jati lainnya. Sejak abad ke 9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Secara historis, nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti ching-jagu (di wilayah Asam); saigun, segub (Bengali); tekku (Bombay) (Sumarna 2001). Tempat tumbuh yang optimal 0-700 m dari permukaan laut. Di Indonesia, memang masih dijumpai jati pada ketinggian 1300 mdpl namun dengan pertumbuhannya menjadi kurang optimal. Selain itu untuk tumbuh dengan optimal jati memerlukan daerah dengan musim kering yang nyata (meski bukan syarat mutlak), memiliki curah hujan 1200-3000 mm/tahun, intensitas cahaya cukup tinggi, 75-100% dan suhu berkisar 22°C-31°C (Mahfudz et al. 2005). Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jati mempunyai berat jenis 0,62-0,75. Dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,8% sampai 5,3% (Sumarna 2001). Jati memiliki wilayah persebaran yang cukup luas, meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian Barat Thailand dan Indo-China. Di Indonesia, jati terdapat di sebagian Pulau Jawa dan beberapa kepulauan kecil seperti di Muna, Kangean, Sumba dan Bali. Tanaman jati ini khususnya yang tumbuh di Jawa dapat tumbuh terutama pada daerah-daerah panas dengan tanah yang rendah dan berbukit-bukit, sifatnya agak kurus dan kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan margalit (Fahutan UGM 1976). Hutan jati yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dikelola oleh Perum Perhutani. Dimana luas daerah pengelolaannya mencapai 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Produksi hutan jati yang dikelola oleh Perhutani rata-rata 800.000 m3/tahun, dimana sebagian besar produksi hutan jati dijual dalam bentuk log. 11 Pada penelitian ini digunakan beberapa parameter tegakan jati diantaranya ialah tinggi pohon dan umur pohon untuk membantu dalam pendugaan biomassa atas permukaan. Tinggi pohon adalah salah satu dimensi yang di gunakan untuk mengetahui nilai volume pohon. Tinggi pohon pada tegakan seumur juga merupakan parameter yang penting dalam pemilihan pohon benih dan kunci untuk menentukan perlakuan penjarangan. Peninggi yang didefinisikan sebagai rata rata 100 pohon tertinggi yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jati merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh. Parameter umur pohon digunakan perhutani untuk membagi wilayahnya pengelolaanya kedalam beberapa kelas umur. Selain itu umur pohon juga bermanfaat untuk menentukan waktu penjarangan dan penebangan. Pada hutan jati seumur, penjarangan dilakukan setiap 3-5 tahun sampai pohon berumur 15 tahun. Setelah berumur lebih dari 15 tahun, penjarangan dilakukan setiap 5-10 tahun. Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati ditebang jika telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik, minimal pohon telah berumur sekitar 15-20 tahun (CIFOR 2010). Saat ini apresiasi masyarakat terhadap kayu jati semakin tinggi. Pemanfaatan yang dilakukan lebih terfokus pada penggunaan jati untuk nilai estetika (keindahan). Hal tersebut terjadi karena penampilan kayu jati yang menarik sari segi warna kayu teras dan kayu gubalnya yang bervariasi, dari cokelat muda, cokelat kelabu, sampai cokelat merah tua atau merah cokelat. Kadang-kadang diselingi warna putih kekuningan dengan lingkaran tumbuh tampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial, sehingga menimbulkan ornament yang indah. Sehingga penggunaannya lebih banyak diarahkan untuk keperluan pembuatan bahan mebel atau furniture dan bahan baku pembuatan kerajinan (handicraft). Namun ada pula yang digunakan untuk keperluan bahan bangunan dan industri (Tini & Amri 2002).