1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masa kanak

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Masa kanak-kanak awal (early childhood) sering disebut sebagai “masa
prasekolah”, yaitu periode perkembangan yang dimulai dari akhir masa bayi
hingga usia lima atau enam tahun (Santrock, 2011). Pada masa ini seluruh aspek
dalam diri anak mulai terbangun, dari perkembangan fisik, kognitif, psikososial,
dan perkembangan bahasa (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Periode ini
merupakan tahap perkembangan kritis, yaitu periode ketika anak akan sensitif
terhadap rangsangan dari lingkungan (Hetheringthon & Parke, 2003). Artinya,
pembelajaran akan mudah dilakukan pada masa-masa ini dan setelah periode ini
terlewati, belajar akan menjadi sesuatu yang sulit. Bahkan tidak mungkin bisa
dilakukan (Santrock, 2007a).
Perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek perkembangan penting
terutama di masa anak-anak awal. Pada tahap ini dunia kognitif anak bersifat
kreatif, bebas dan penuh fantasi. Imajinasi anak berjalan sepanjang waktu, dan
kemampuan mental mereka dalam memahami dunianya juga semakin meningkat
(Santrock, 2011). Jean Piaget seorang ahli kognisi terkemuka menyatakan
bahwa pada rentang usia dua hingga tujuh tahun, perkembangan kognisi anak
berada dalam tahap praoperasional. Tahap ketika anak mulai mempresentasikan
dunianya melalui kata-kata, bayangan, gambar, dan pemikiran simbolik
(Santrock, 2007a). Sebutan praoperasional pada tahap kedua Piaget memberi
penekanan bahwa anak belum mampu menunjukkan suatu operasi (operation),
yaitu ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas mental yang dibalik
(reversibel) (Santrock, 2011).
1
2
Salah
satu
bentuk
keterbatasan
pemikiran
praoperasional
adalah
ketidakmampuan anak membedakan antara perspektifnya sendiri dengan
perspektif orang lain, yang disebabkan oleh egosentrisme yang masih melekat
dalam dirinya (Santrock, 2011). Artinya, pada tahap ini anak percaya bahwa
setiap orang akan berfikir sama dengannya, dan jika mereka bertemu dengan
pandangan yang berlawanan, maka anak akan berfikir bahwa orang lainlah yang
salah dan pikirannya sendiri yang benar (Wadsworth, dalam Suparno, 2007).
Namun, pada kenyataannya hasil penelitian metaanalisis Wellman, Cross, &
Watson (2001) telah menemukan bahwa anak-anak pada usia 4 tahun telah
memiliki rasa ingin tahu mengenai hakikat pikiran orang lain. Anak-anak telah
memiliki sebuah theory of mind, yang merujuk pada sebuah kesadaran
seseorang mengenai proses mentalnya sendiri dan proses mental orang lain.
Sebelum mengupas lebih jauh, maka perlu difahami terlebih dahulu
mengapa proses kognitif tentang pemahaman pikiran dan kondisi mental
tersebut dikatakan sebagai theory of mind. Pada konsep dasarnya theory of mind
diartikan sebagai kemampuan untuk memperkirakan kondisi mental diri sendiri
dan orang lain (Premack & Woodruff, 1978). Secara umum istilah "theory of
mind" digunakan dalam mengembangkan konsep anak terkait kondisi mental.
Seperti pikiran, keinginan, keyakinan, perasaan, dan sebagainya (Bjorklund,
2005). Sebagian para peneliti menyebut teori ini merupakan teori informal
(Flavell, 2004), artinya anak mencoba untuk menjelaskan tentang pikiran dan
mental orang lain mulai dari memahami, memprediksi, dan menerangkan
perilaku yang muncul akibat pikiran tersebut. Kemampuan itulah kemudian
disebut sebagai “theory” (Bjorklund, 2005), karena anak-anak berusaha untuk
3
membuat theory tentang pikiran mereka sendiri dan juga pikiran orang lain (Barr,
2006).
Proses pemahaman anak terhadap pikiran diri sendiri dan orang lain
tersebut mengalami perubahan besar pada anak-anak usia prasekolah (Jenkins
& Astington, 2000). Hal ini disebabkan, munculnya kemampuan theory of mind
diawali sejak anak berusia 3-5 tahun (Barr, 2006; Flavell, 2000; Slater &
Bremner, 2003; Wellman, Cross, & Waston, 2001). Artinya, pada usia ini anak
diharapkan mampu memahami bahwa dalam pikiran setiap orang terdapat
keyakinan, dan keyakinan tersebut bisa benar ataupun salah (Barr, 2006).
Pentingnya theory of mind juga didasarkan bahwa pada usia prasekolah,
anak mulai melakukan interaksi sosial dengan teman sebaya, sehingga
membutuhkan kemampuan kognisi sosial untuk memahami lingkungannya.
Kognisi sosial mengacu pada pemahaman seseorang terkait dunia sosial yang
ada disekitar, mulai dari diri sendiri dan orang lain dalam istilah-istilah psikologis.
Misalnya keyakinan, niat, harapan, emosi, keinginan, dan lain sebagainya
(Carpandale & Lewis dalam Overton, 2010). Oleh karena itu, konsep theory of
mind erat kaitannya dengan kognisi sosial, atau bahkan dikatakan bahwa theory
of mind adalah bagian dari kognisi sosial (Carpandale & Lewis, 2010).
Pada dasarnya, dalam konteks perkembangan kognitif theory of mind
memiliki peran penting dan strategis terkait hubungannya dengan orang lain,
terutama pada anak usia prasekolah. Hal ini didasarkan pada studi preliminary
oleh peneliti dengan melakukan wawancara terhadap kepala sekolah dan guru
pendamping di Taman Kanak-Kanak Indiyasana Yogjakarta, pada tanggal 15
Januari 2014. Berikut hasil kutipan wawancara:
“...Kemampuan anak dalam memahami pikiran, keinginan dan
perasaan sangatlah penting, karena kalau tidak seperti itu anak
4
tidak tahu bagaimana memahami orang lain, yang dijadikan bahan
dalam bergaul dan memahami karakter temannya...” (W1.S1:1419). Kita tidak bisa hidup sendiri, sosialisasi dengan orang lain itu
sangat dibutuhkan, karena kalau egois sampai besar nanti akhirnya
tidak punya teman (W1.S2:122-127). karena itu sejak dini anak kita
ajarkan melihat sudut pandang orang lain, supaya anak-anak ketika
dewasa bisa bersosialisasi, dan diterima di lingkungan di mana ia
berada (W1.S2:131-134). kita mendidiknya harus dari dini, supaya
anak tahu..dengan temannya dia harus tahu dan mengerti...”(Wi.S2:
16-19).
Hasil wawancara tersebut diketahui, bahwa kemampuan theory of mind
penting dimiliki untuk mengenal karakter dan memahami temannya, yang
digunakan untuk bersosialisasi, sehingga anak bisa diterima di lingkungannya.
Pentingnya penguasaan theory of mind tersebut terlihat pada beberapa bentuk
perilaku anak di sekolah. Sebagaimana kutipan hasil wawancara berikut ini:
“...Waktu temannya tidak membawa bekal, anak memberi. Ketika
waktunya bermain temannya ada yang tidak mau ikut, biasanya
diajak, seperti itu. Jadi anak-anak tahu bahwa tidak hanya
kebutuhan diri sendiri, tapi juga dapat dilihat dari kebutuhan dan
keinginan orang lain...”(W1.S2: 23-29). Sejak kecil anak ditanamkan
sosial, kalau ada temannya yang sakit untuk dibantu diberi obat,
dibantu kalau ada temannya yang jatuh (W1.S1: 137-140). Kita
mengajarkan berbagi, kalau ada temannya yang tidak punya crayon
ya memakai bersama..”(W1.S2: 94-97). Anak juga memahami kalau
temannya suka menangis, ini yang suka memberi, itu anak yang
suka bicara baik, itu semua anak yang mengenal. Tapi, karena
anak masih berumur 3 tahun, kemampuan dalam memahami
pikiran temannya masih sangat sederhana...”(W1.S1:19-25).
Berbeda ketika anak berusia 4 tahun, anak sudah bisa diajak
berfikir nalar. Misal, kalau aku punya mainan, bearti harus
bergantian, supaya aku juga nantinya dipinjami...”(W1.S1: 76-79).
Padahal sebenarnya dia juga masih ingin main, tapi harus
diterapkan untuk bergantian, kalau temannya juga ingin. Agar anak
belajar tenggang rasa, yang diterapkan sejak kecil, sedini
mungkin..”(W1.S1: 40-54).
Beberapa bentuk perilaku seperti pemahaman untuk saling berbagi,
bergantian mainan, dan mengajak teman bermain bersama merupakan salah
satu indikasi penguasaan theory of mind pada anak usia prasekolah. Selain hasil
preliminary, beberapa penelitian juga diketahui bahwa theory of mind dapat
5
membentuk kompetensi sosial anak (Aryanti, 2009; Astington, 2001; Walker,
2005). Artinya, semakin baik kemampuan theory of mind, maka semakin baik
pula kompetensi sosialnya. Alasannya, dengan kemampuan memahami pikiran
dan mental orang lain, anak dapat melakukan tindakan yang diinginkan orang
tersebut. Penelitian Slaughter, Dannis & Pritchard (2002) juga menemukan
bahwa theory of mind dapat menjadi prediktor terbaik terhadap penerimaan
teman sebaya (peer acceptance). Hal ini dikarenakan, dengan kemampuan
theory of mind memungkinkan anak untuk mengetahui dan memahami keinginan,
perspektif, emosi, dan pikiran temannya. Inilah yang membuat anak menjadi
populer, karena memiliki peluang lebih banyak untuk berinteraksi, sehingga
pemahamannya tentang pikiran orang lain jauh lebih berkembang.
Kemampuan Theory of mind yang dimiliki juga dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan empati pada hubungan interpersonal (Meltzoff,
2011), kerjasama, mengurangi prasangka, menyelesaikan konflik (Gehlbach
dalam Woolfolk, 2009), dan kemampuan berinteraksi secara tepat, karena
dengan menggunakan informasi terkait kondisi mental orang lain, anak dapat
mengartikan perilaku orang tersebut dalam mengatur interaksi sosialnya
(Astington & Gopnik dalam Barr, 2006). Namun, kesadaran dalam memahami
kondisi mental diri sendiri dan orang lain belum dimiliki setiap anak, meski dalam
rentang usia yang sama. Seperti hasil kutipan wawancara berikut ini:
“...kemarin waktu saya pertama kali ke sini, ada anak yang masih
belum bisa berbagi, egonya masih tinggi sekali (W1.S2: 97-99).
Padahal usianya 6 tahun malahan (W1.S2:108). Dampaknya anak
sering bertengkar, rebutan.. (W1.S1:87). Tapi sekarang sudah mulai
bisa, semua itu memang tidak lepas dari didikan dirumah..” (W1.S2:
109-111).
Defisiensi dari kemampuan theory of mind tersebut memberikan dampak
negatif bagi anak, terutama ketrampilan mereka bersosialisasi. Kajian Hughes
6
(dalam Repacholi, Slaughter, Pritchard, & Gibbs, 2003) telah diketahui bahwa
anak-anak yang cenderung “sulit diatur” (hard to manage) dan anak dengan
gangguan perilaku (conduct disorder) juga diketahui memiliki penguasaan theory
of mind yang rendah. Ketidakmampuan anak dalam memahami bagaimana
keadaan mental orang lain tersebut dianggap sebagai mindblindness atau
kebutaan dalam memahami pikiran. Hal itulah yang juga terjadi pada anak
dengan gangguan autisme, sehingga mereka memiliki hambatan dalam
bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya (Doherty, 2009; Hughes &
Leekam, 2004).
Berbagai permasalahan yang telah dipaparkan diatas, menjadi dasar
mengapa kajian tentang theory of mind perlu dilakukan. Meski demikian,
kemampuan tersebut tidak bisa lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi.
Salah satu faktor yang secara empiris berpengaruh dalam mendukung
kemampuan theory of mind adalah kemampuan bahasa verbal (Astington &
Baird, 2005; Harris, de Rosnay & Pons, 2005; Miller, 2006; Milligan, Astington &
Dack, 2007; Novitasari, 2013; Slade & Ruffman, 2005; Villiers, 2007). Keterkaitan
antar keduanya dapat dijelaskan, karena kondisi mental (mental states) seperti
berfikir, mengetahui, menyukai, menginginkan dan lain sebagainya, merupakan
keadaan internal yang tidak dapat diamati secara langsung (unobservable). Oleh
sebab itu, Miller (2006) mengungkapkan bahwa bahasa verbal akan menjadi
sumber informasi untuk mengerti makna dari kondisi-kondisi mental tersebut.
Peran penting dari bahasa verbal lainnya dijelaskan oleh (Harris dalam
Carpendale & Lewis, 2010), bahwa percakapan yang dilakukan antar individu
akan menjadi tanda bahwa orang lain memiliki keyakinan, keinginan, dan niat
yang berbeda dengan dirinya, sehingga kemampuan ini dinilai berkontribusi
7
terhadap ketrampilan anak dalam memahami individu (Cutting & Dunn, 2006;
Miller, 2006). Keterkaitan bahasa verbal dengan theory of mind selanjutnya, juga
mengacu dari tahap perkembangan bahasa anak. Hal ini terlihat, pada usia
sekitar 2-3 tahun, anak-anak mulai memiliki kecenderungan menggunakan
terminologi kondisi mental (mental states) untuk menjelaskan isi pikirannya dan
orang lain. Kondisi ini terlihat ketika anak mulai menunjukkan pemahaman ketika
melakukan percakapan dengan orang lain (Keenan & Evans, 2009). Percakapan
yang dilakukan anak dengan orang lain tersebut menyangkut keinginan,
keyakinan dan perasaan, sehingga dari sini diketahui bahwa bahasa dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak memahami keyakinan dan
keinginan orang lain (belief-desire reasoning), dan dapat digunakan untuk
mendiskripsikan kondisi mental (mental state) yang awalnya abstrak menjadi
mudah difahami.
Kemampuan bahasa verbal juga telah disinyalir akan muncul melalui
pemahaman anak pada tugas-tugas theory of mind (Doherty, 2009). Artinya,
tugas-tugas theory of mind tersebut sangatlah kental dengan pemahaman
bahasa. Oleh karena itu, tingkat perkembangan bahasa anak juga perlu
diperhatikan agar dapat mendukung kemampuan pada tugas tersebut. Pendapat
ini diperkuat dengan hasil penelitian Novitasari (2013) terhadap 49 anak usia 4661 bulan, yang diketahui bahwa kemampuan bahasa verbal memiliki pengaruh
positif terhadap kemampuan theory of mind.
Bukti lain bahwa kemampuan bahasa verbal memiliki peran penting untuk
dapat menyusun bagaimana theory of mind anak terbentuk, juga diketahui dari
hasil-hasil penelitian pada anak dengan perkembangan yang tidak normal
(atypical development). Hasil penelitian Farrar, Johnson, Tompkins, Easters,
8
Medus & Benigno (2009) pada anak usia 42-65 bulan dengan gangguan bahasa
(specific language impairment) diketahui bahwa perkembangan tata bahasa
secara umum dan kosakata yang dimiliki anak terbukti berkontribusi terhadap
penalaran pada tugas theory of mind. Oleh karena itu, hasil penelitian diketahui
terjadinya keterlambatan pada kemampuan theory of mind disebabkan oleh
hambatan bahasa yang mereka miliki.
Keterlambatan dalam memahami tugas-tugas theory of mind lain yang
disebabkan kurangnya kemampuan bahasa verbal, juga terjadi pada anak-anak
tunarungu (deaf). Hasil penelitian Schick, Jill Villiers, Peter Villiers & Hoffmeister
(2007) terhadap anak-anak tunarungu (deaf) dengan orang tua yang bisa
mendengar (hearing parents), telah diketahui bahwa mereka mengalami
keterlambatan pada tugas theory of mind. Hal ini dikarenakan, tugas-tugas yang
diberikan untuk menilai kemampuan tersebut merupakan tugas yang diberikan
secara verbal dan memerlukan kemampuan tatabahasa yang sangat kompleks.
Oleh karena itu, anak tunarungu yang mengalami hambatan dalam kemampuan
bahasa, akan mengalami keterlambatan dalam tugas tersebut. Hasil penelitian ini
senada dengan Peterson & Siegal (2000), bahwa keterlambatan kemampuan
theory of mind anak disebabkan karena kurangnya akses untuk melakukan
komunikasi. Anak tunarungu dengan orang tua atau keluarga lain yang bisa
mendengar, tentu saja dalam kehidupannya sehari-hari mengalami kesulitan
komunikasi terkait pikiran, keyakinan, dan tujuan. Akibatnya mereka akan
kehilangan kemampuan untuk membuat sebuah kesimpulan pada sesuatu yang
tidak terlihat, seperti kondisi mental yang akan digunakan sebagai alat utama
untuk melihat kemampuan theory of mind.
9
Peran penting kemampuan bahasa verbal terhadap theory of mind lainnya
dapat diamati pada anak gangguan autisme. Hasil penelitian (Happê, 1995;
Hughes & Leekam, 2004) diketahui bahwa anak autis yang lulus pada tugas
keyakinan yang salah (false belief) cenderung memiliki tingkat kemampuan
verbal yang lebih tinggi daripada mereka yang gagal dalam tugas tersebut.
Namun, kemampuan bahasa yang dimiliki anak autis untuk dapat lulus tentunya
jauh lebih tinggi daripada anak normal. Hal senada juga diungkapkan Colle,
Cohen & Hill (2007) bahwa pemahaman pada tugas-tugas false belief erat
kaitannya dengan sejauh mana kemampuan bahasa verbal yang dimiliki anak,
sehingga
anak
autis
dengan
tingkat
bahasa
yang
rendah
cenderung
menunjukkan penurunan pada kemampuan theory of mind.
Berbagai hasil penelitian yang telah diuraikan tersebut menjadi bukti bahwa
kemampuan theory of mind memang tergantung pada perkembangan bahasa.
Bukti tersebut terlihat pada anak normal maupun anak dengan hambatan
perkembangan (typical and atypical development). Hal ini dikarenakan struktur
bahasa akan memberikan anak gambaran secara simbolis untuk dapat
menyusun pemahaman pada pikirannya (Barr, 2006), serta memiliki peran utama
untuk dapat melewati satu atau lebih tugas-tugas theory of mind.
Perkembangan pemahaman anak tentang kondisi mental orang lain juga
tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial (Hughes & Leekam, 2004). Vygotsky
menjelaskan bahwa anak-anak akan secara aktif membangun pengetahuan dan
pemahamannya melalui interaksi sosial (Santrock, 2011), salah satunya yaitu
interaksi anak dengan saudara kandung (Perner, Ruffman, & Leekam, 1994).
Interaksi tersebut terbukti berkontribusi terhadap pemahaman anak pada tugas
false belief. Hasil penelitian Dunn, Brown, Slomkowski, Tesla, & Youngblade
10
(1991) menemukan bahwa interaksi kooperatif antara anak dengan saudara
kandung akan berkorelasi dengan kinerja mereka pada berbagai tugas kognisi
sosial pada tujuh bulan kemudian. Penelitian lain diungkapkan oleh Brown,
Donelan-McCall, & Dunn (1996) dengan mengkaji komunikasi tentang kondisi
mental yang digunakan anak-anak selama interaksi secara tidak terstruktur
dengan teman, ibu, atau saudara kandung di rumah. Anak-anak secara signifikan
telah menggunakan istilah-istilah kondisi mental ketika komunikasi dengan
saudara atau teman daripada dengan ibunya. Penggunaan terminologi kondisi
mental ketika anak melakukan komunikasi dengan saudara kandung dan teman
tersebut berkorelasi dengan kinerja mereka dalam pengukuran tugas keyakinan
yang salah (false belief). Tidak hanya interaksi kooperatif, tetapi konflik anak
dengan saudara kandung juga berkorelasi terhadap pemahaman anak pada
tugas false belief (Foote & Holmes-Lonergan, 2003).
Pentingnya intensitas interaksi dan keberadaan saudara kandung tersebut
terbukti ketika anak dengan jumlah saudara yang banyak memiliki pemahaman
terhadap false belief lebih baik, daripada mereka yang sedikit memilikinya. Hasil
penelitian Perner, Ruffman, & Leekam (1994) ditemukan bahwa anak usia 3
tahun yang memiliki saudara kandung kemungkinan besar akan berhasil pada
tugas keyakinan yang salah, daripada mereka yang tidak memilikinya. Penelitian
lain oleh (Lewis, Freeman, Kyriakidou, Maridaki-kassotaki, & Berridge, 1996;
Ruffman, Perner, Naito, Parkin & Clements, 1998) diketahui bahwa anak yang
memiliki saudara dua atau lebih, hampir dua kali lipat kemungkinan dapat
melewati tugas keyakinan yang salah. Namun, saudara yang dapat berkontribusi
terhadap pemahaman false belief adalah saudara yang lebih tua (kakak) dan
tidak berlaku bagi anak dengan saudara yang lebih muda (adik). Penelitian
11
tersebut relevan dengan (Farhadian, Abdullah, Mansor, Redzuan, Kumar &
Gazanizad, 2010; McAlister & Peterson, 2007) bahwa jumlah saudara kandung
yang dimiliki anak berpengaruh terhadap pengembangan kemampuan theory of
mind. Anak yang memiliki saudara dua atau lebih mendapatkan skor pada tugas
theory of mind lebih tinggi daripada anak tunggal.
Keterkaitan antara saudara kandung dengan theory of mind terjadi karena
interaksi yang terjalin dapat memberi beberapa manfaat bagi pengembangan
theory of mind. Artinya, saudara kandung akan menyediakan berbagai sumber
informasi tentang representasi mental, yang kemungkinan besar dapat
memberikan manfaat sebagai pijakan (scaffolding) kepada anak (Barr, 2006).
Selain itu, saudara kandung juga memberi kesempatan kepada anak untuk bisa
saling berdiskusi dan berbagi pengalaman tentang pikiran dan perasaan orang
lain. Anak juga akan melakukan proses observasi untuk mengamati interaksi
sosioemosional yang terjadi antar anggota keluarga secara lebih beragam,
terutama bagi anak dengan urutan kelahiran lebih akhir. Pengamatan yang
dilakukan anak terhadap saudaranya yang lebih tua (kakak) itulah yang
kemudian dapat memfasilitasi dalam mengembangkan kemampuan theory of
mind (Hughes & Leekam, 2004).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan seseorang dalam memahami kondisi mental diri sendiri dan orang
lain menjadi hal penting. Terutama pada anak usia 3-5 tahun, karena pada usia
inilah anak-anak mulai memasuki “dunia sosial” untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga mereka membutuhkan kemampuan theory of
mind dalam hubungannya dengan orang lain. Kemampuan tersebut bukanlah
konsep yang bisa berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
12
baik internal maupun eksternal. Kemampuan bahasa verbal dan intensitas
interaksi anak dengan saudara kandung telah diketahui dapat mempengaruhi
perkembangan theory of mind. Dengan demikian, peneliti ingin mengkaji lebih
lanjut bagaimana kemampuan bahasa verbal dan intensitas interaksi anak
dengan saudara kandung mampu menjadi prediktor terhadap kemampuan theory
of mind pada anak usia 3-5 tahun.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan. Maka kajian theory of mind
terhadap anak usia prasekolah, khususnya pada awal kemunculannya yakni usia
3-5 tahun menjadi kajian penting untuk diteliti. Terlebih, beberapa hasil penelitian
menemukan bahwa kemampuan theory of mind dipengaruhi oleh berbagai faktor
internal maupun eksternal. Kemampuan bahasa verbal yang dimiliki anak
merupakan salah satu faktor internal yang terbukti secara konsisten dapat
berpengaruh terhadap perkembangan theory of mind. Begitu pula faktor dari
lingkungan sosial, salah satunya adalah intensitas interaksi anak dengan
saudara kandung (sibling) yang juga terbukti memberikan pengaruh terhadap
perkembangan theory of mind. Dengan demikian, masalah utama yang ingin
dikaji dalam penelitian ini adalah “Apakah theory of mind anak usia 3-5 tahun
dapat diprediksi dari kemampuan bahasa verbal dan intensitas interaksi dengan
saudara kandung?”
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana permasalahan yang ingin diteliti di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara kemampuan bahasa
verbal dan intensitas interaksi yang terjalin dengan saudara kandung terhadap
kemampuan theory of mind pada anak usia 3-5 tahun. Adapun beberapa
manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian adalah:
1. Manfaat Teoritis
Terkait dengan kajian keilmuan, penelitian diharapkan dapat menjadi
wawasan pengetahuan di bidang psikologi perkembangan kognisi.
Khususnya, bagaimana mengembangkan kemampuan theory of mind
pada anak usia 3-5 tahun, yang ditinjau dari kemampuan bahasa verbal
dan intensitas interaksi dengan saudara kandung.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian diharapkan menjadi sumber informasi
khususnya bagi para orang tua serta peneliti selanjutnya, untuk
menambah pemahaman bagaimana keterkaitan antara kemampuan
bahasa verbal dan intensitas interaksi dengan saudara kandung dapat
mempengaruhi kemampuan theory of mind pada anak usia 3-5 tahun.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Kajian theory of mind sudah banyak dilakukan di luar negri, khususnya
terkait dengan kemampuan bahasa verbal. Hasil penelitian Slade dan Ruffman
(2005) terhadap 44 anak berusia 3,8 tahun diketahui bahwa kemampuan bahasa
14
pada anak memainkan peran penting dalam pemahaman tugas keyakinan yang
salah (false belief). Dalam hal ini, kemampuan bahasa anak baik sintaksis
maupun semantik berkontribusi terhadap pemahaman pada tugas keyakinan
yang salah (false belief). Selanjutnya, penelitian metaanalisis Milligan, Astington
& Dack (2007) terhadap 104 hasil-hasil penelitian, dengan jumlah anak sebanyak
8,891 usia dibawah 7 tahun, juga diketahui bahwa kemampuan bahasa akan
berhubungan dengan pemahaman pada keyakinan yang salah (false belief).
Senada dengan hasil penelitian tersebut, Villiers (2007) juga telah menemukan
bahwa kemampuan bahasa pada anak usia 4 tahun, khususnya pemahaman
sintaksis akan berpengaruh terhadap pemahamannya pada tugas keyakinan
yang salah (false belief).
Penelitian terbaru theory of mind dengan kemampuan bahasa verbal di
Indonesia telah dikaji Novitasari (2013) terhadap 49 anak usia 46-61 bulan.
Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan bahasa verbal memiliki korelasi
positif dan signifikan terhadap kemampuan theory of mind, yang terlihat pada
tugas false belief. Dengan demikian, kesimpulan dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kemampuan bahasa verbal memang berkaitan erat dengan
bagaimana theory of mind seorang anak dapat terbentuk.
Kemampuan theory of mind pada anak tidak bisa lepas dari faktor sosial.
Beberapa penelitian di luar negri membuktikan adanya pengaruh interaksi
saudara kandung terhadap perkembangan theory of mind. Hasil penelitian Dunn,
Brown, Slomkowski, Tesla, & Youngblade (1991) diketahui bahwa interaksi
kooperatif yang dilakukan anak dengan saudara kandung, berkorelasi terhadap
berbagai tugas kognisi sosial pada 7 bulan kemudian. Penggunaan istilah-istilah
kondisi mental ketika anak melakukan komunikasi dengan saudara kandung
15
tersebut berkorelasi dengan kinerja mereka dalam pengukuran tugas keyakinan
yang salah (false belief) (Brown, Donelan-McCall, & Dunn, 1996). Selain interaksi
kooperatif, konflik yang terjadi antar saudara kandung juga terbukti berkorelasi
terhadap perkembangan anak dalam memahami tugas keyakinan yang salah
(Foote & Holmes-Lonergan, 2003).
Bukti pentingnya keberadaan saudara kandung tersebut dapat dilihat dari
hasil penelitian Ruffman, Perner, Natio, Parkin, & Clements (1998) bahwa anak
yang memiliki saudara kandung akan berkorelasi dengan tingginya hasil pada
tugas false belief, terutama anak dengan saudara yang lebih tua. Namun, hasil
ini tidak ditemukan pada anak dengan saudara lebih muda (adik). Penelitian ini
menyimpulkan bahwa intensitas interaksi dengan saudara kandung yang dimiliki
dalam keluarga, dapat dijadikan dasar untuk memperoleh percakapan dan
pengalaman dalam berinteraksi sosial, yang telah diketahui dapat membantu
anak mengembangkan kemampuan theory of mind, khususnya pada anak usia
prasekolah.
Penelitian selanjutnya, McAlister dan Peterson (2007) terhadap 63 anak usia
3-6 tahun, juga diketahui bahwa anak yang memiliki dua atau lebih saudara
kandung mendapatkan skor lebih tinggi pada tugas theory of mind dibandingkan
dengan anak tunggal. Farhadian, Abdullah, Mansor, Redzuan, Kumar &
Gazanizad (2010) terhadap 163 anak usia 3,6 sampai 5,6 di Iran menunjukkan
bahwa jumlah saudara kandung berkontribusi terhadap pengembangan theory of
mind anak. Artinya, anak tunggal mendapatkan hasil yang lebih rendah dari pada
anak yang memiliki satu, dua, atau lebih saudara kandung. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa anak dengan saudara lebih tualah yang mampu
memberikan kontribusi terhadap perkembangan theory of mind.
16
Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya terletak
pada variabel yang dilibatkan. Kajian theory of mind terutama di Indonesia masih
sangat terbatas. Sepengetahuan peneliti belum ditemukannya penelitian theory
of mind yang dilihat dari kemampuan bahasa verbal dan intensitas interaksi
dengan saudara kandung pada anak usia 3-5 tahun. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian Novitasari (2013) terdapat pada variabel bebas dan lokasi
penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kemampuan bahasa verbal
sebagai faktor internal dan intensitas interaksi dengan saudara kandung sebagai
faktor eksternal. Peneliti sebelumnya telah meninjau theory of mind hanya
berdasarkan dua faktor internal, yaitu bermain simbolik dan kemampuan bahasa
verbal. Oleh karena itu, telaah kajian theory of mind pada penelitian ini tidak
hanya fokus pada faktor internal saja. Namun, bagaimana intensitas interaksi
anak dengan saudara kandung dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan kemampuan theory of mind.
Download