Sarikat buruh muslimin Indonesia (Sarbumusi)

advertisement
Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Skripsi
(Membership)
Sarikat buruh muslimin Indonesia (Sarbumusi) 1955-1973
Alfanny
Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20156683&lokasi=lokal
-----------------------------------------------------------------------------------------Abstrak
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) merupakan salah satu dari sekian banyak serikat buruh yang
ada di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950- 1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan pada
awal Orde Baru (1966-1973). Sarbumusi lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal
27 September 1955. Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sebagai sebuah serikat buruh yang
berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam hal ini Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam
perkembangannya tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik NU dalam sektor perburuhan,
melainkan juga memperjuangkan aspirasi kaum buruh ketika berhadapan dengan Pemerintahan Orde Baru
yang represif terhadap gerakan buruh. Pada perkembangannya gerakan buruh Indonesia terpecah mengikuti
afiliasi politiknya masing-masing. Pada awal pertumbuhannya Sarbumusi sebagai serikat buruh yang
berafiliasi pada Partai NU disibukkan oleh persoalan konsolidasi dan eksistensi organisasi terutama demi
mengimbangi pengaruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), serikat buruh yang berafiliasi
pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterkaitan serikat buruh dan politik pada satu sisi telah memberikan
kontribusi yang berharga bagi penanaman ruh nasionalisme dalam masa Pergerakan Nasional. Namun di sisi
lain nuansa politik yang kental dari serikat-serikat buruh telah menyebabkan perjuangan buruh tidak
mencapai basil yang optimal terutama ketika berhadapan dengan pihak pengusaha dan pemerintah. Gerakan
buruh tidak mampu bersatu dalam memperjuangkan aspirasinya, tapi terpecah belah oleh orientasi dan
afiliasi politiknya masing-masing. Sarbumusi bersama ormas-ormas NU lainnya mengambil peranan yang
cukup besar dalam upaya membersihkan SOBSI pasca G.30 S PKI. Namun di sisi lain TNI AD yang
menjadi Ujung tombak dalam operasi pembersihan sisa-sisa PKI telah bertindak sewenangwenang dengan
melakukan penangkapan buruh-buruh yang bukan anggota SOBSI. Sarbumusi mengkritisi Orde Baru yang
masih mempertahankan perilaku usang Rejim Orde Lama di bidang perburuhan. Sarbumusi dengan tegas
menolak pemecatan massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan negara dan menyatakan bahwa
tindakan pemecatan massal merupakan tindakan yang menguntungkan PKI. Sarbumusi juga menuntut
pencabutan larangan mogok, sebuah peraturan Rejim Orde Lama yang coba dipertahankan oleh Orde Baru.
Namun menjelang Pemilu 1971, Orde Baru bertekad memenangkan pemilu dengan melemahkan kekuatan
masyarakat, yang salah satunya adalah gerakan buruh dengan Sarbumusi sebagai serikat buruh terbesar yang
menginduk pada Partai NU yang juga menjadi pesaing utama Golkar, mesin politik Orde Baru, pada Pemilu
1971. Pemerintah Orde Baru kemudian melakukan proses penataan ulang gerakan buruh Indonesia dengan
tiga kebijakannya yang kemudian mendapat penentangan keras dari Sarbumusi. Pertama, kebijakan tentang
intervensi asing dalam urusan perburuhan domestik yang dimonopoli hak perantaranya oleh Sekber Golkar.
Kedua, tentang rencana pembentukan Korps Karyawan (Kokar) dan yang dilanjutkan dengan ketentuan
monoloyalitas pegawai negeri. Ketiga, adalah kebijakan penyatuan kaurn buruh dalam sebuah wadah
tunggal. Pasca Pemilu 1971, Pemerintah Orde Baru yang semakin bertambah kuat memprakarsai
pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) setelah serangkaian pertemuan di kantor Bakin.
Setelah FBSI berdiri, serikat-serikat buruh yang lama tidak dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, namun
pemerintah menempuh cara lain untuk membubarkan serikatserikat buruh lama yaitu dengan memberikan
hak monopoli pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam sebuah perusahaan kepada FBSI.
Kegagalan Sarbumusi dalam menolak kehendak Orde Barn, terutama dalam menolak kebijakan
pembentukan Kokar dan monoloyalitas serta pembentukan FBSI disebabkan kepentingan Orde Baru
lemahnya posisi NU, induk Sarbumusi, pasca Pemilu 1971. Setelah Golkar memastikan kemenangan telak
dalam Pemilu 1971 dan NU hanya mampu meraih urutan kedua, maka posisi tawar Sarbumusi pun kian
melemah. Sebagai akibat sikap kritisnya sebelum Pemilu 1971, Sarbumusi mengalami represi oleh Orde
Baru dan dipaksa untuk melebur dalam FBSI.
Download