BAB V KESIMPULAN Kebijakan perbatasan pemerintah Indonesia

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Kebijakan
perbatasan
pemerintah
Indonesia
di
Kalimantan
Utara
setelah
terbeentuknya BNPP mengalami perubahan dalam dua dimensi: administratif dan paradigma.
Secara administratif pengelolaan perbatasan Indonesia sebelum terbentuknya BNPP memiliki
karakteristik yang tumpang tindih atau overlapping baik dalam hal kebijakan yang
menekankan pada ego sektoral masing-masing lembaga maupun secara institusional.
Terdapat tiga bentuk kelembagaan yang bertugas untuk mengelola perbatasan
Indonesia sebelum terbentuknya BNPP, yang pertama adalah komite-komite perbatasan
bilateral antara Indonesia dan negara tetangga yang didalamnya termasuk General Border
Committee (GBC) yang menangani perbatasan Indonesia-Malaysia, kemudian Joint Border
Committee (JBC) untuk perbatasan Indonesia-Papua Nugini, dan perbatasan Indonesia-Timor
Leste, dan Border Committee (BC) untuk perbatasan Indonesia-Filipina. Selanjutnya adalah
lembaga pemerintah baik Kementerian ataupun Non-Kementerian yang berjumlah 24
lembaga terkait dengan 35 program program perbatasan. Terakhir adalah unit dan badan
khusus di daerah yang dibentuk untuk menangani pengelolaan maupun kerjasama bilateral di
kawasan perbatasan yang termasuk didalamnya Sosek Malindo di Provinsi Kalimantan Barat,
Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Riau, dan badan daerah seperti BPKP2DT di
Provinsi Kalimantan Timur. Selain tumpang tindih dalam hal kelembagaan pengelola
perbatasan, kaburnya garis komando atau hirarki diantara lembaga pengeola perbatasan
tersebut juga menjadi permasalahan yang serius. GBC untuk Indonesia-Malaysia diketuai
Menteri Pertahanan, JBC untuk Indonesia-Timor Leste dan Indonesia-Papua Nugini diketuai
Kementerian Dalam Negeri, dan BC untuk Indonesia-Filipina diketuai oleh Panglima
Wirabuana.
Dalam dimensi paradigma yang digunakan sebelum terbentuknya BNPP adalah
perspektif keamanan atau security approach. Hal ini bisa dilihat dengan jelas ketika lembagalembaga yang ditugasi untuk mengelola perbatasan adalah lembaga-lembaga militer seperti
TNI maupun Kementerian Pertahanan yang merupakan sektor terdepan dalam setiap
pengambilan keputusan terkait dengan perbatasan.
Setelah BNPP dibentuk sesuai dengan amanat dari UU No.43 Tahun 2008 Tentang
Wilayah Negara dan Perpres No.12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola
Perbatasan maka pengelolaan perbatasan Indonesia termasuk di Kalimantan Utara
dikoordinasi oleh BNPP.
BNPP memiliki empat tugas pokok yakni: a) menetapkan
85
kebijakan program pembangunan perbatasan, b) menetapkan rencana kebutuhan anggaran, c)
mengoordinasikan pelaksanaan, dan d) melaksanakan evaluasi dan pengawasan. BNPP
sebagai institusi terdepan dalam pengelolaan perbatasan kemudian bertugas untuk
mengharmoniskan kebijakan-kebijakan yang selama ini diambil secara parsial oleh masingmasing institusi, serta menekan ego sektoral dari institusi-institusi tersebut. Meski demikian
wewenang BNPP dibatasi hanya sebagai koordinator dari anggota-anggotanya dalam
merumuskan kebijakan terkait dengan pengelolaan perbatasan, sedangkan eksekutor dari
kebijakan-kebijakan tersebut tetap dipegang oleh lembaga negara yang menangani
permasalahan terkait.
Dalam dimensi paradigma yang digunakan, setelah terbentuknya BNPP pengelolaan
perbatasan Indonesia menggunakan pendekatan keamanan, kesejahteraan dan kelestarian
lingkungan
secara
bersamaan.
Kebijakan
pengelolaan
perbatasan
Indonesia
yang
menggunakan pendekatan keamanan, kesejahteraan dan kelestarian lingkungan secara
bersamaan itu menghasilkan sebuah paradigma atau pendekatan yang bercorak hybrid atau
penggabungan antara dua pendekatan yang berbeda. Secara konseptual kebijakan perbatasan
Indonesia di Kalimantan Utara setelah terbentuknya BNPP berada di antara paradigma
realistic dan transnasional namun tidak tepat ditengah-tengahnya. Meskipun bercorak
hybrid, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia lebih condong kearah paradigma
realistic.
Selanjutnya faktor yang melatarbelakangi pemerintah Indonesia dalam menggunakan
pendekatan keamanan, kesejahteraan dan kelestarian lingkungan secara bersamaan antara lain
adalah territorial attachment, state responsibility dan globalisasi. Pendekatan keamanan
dipengaruhi oleh faktor territorial attachment yang menghasilkan konsep “Tanah Air” atau
homeland yang berfungsi sebagai pembatas dan pengikat kesatuan Indonesia. Pemerintah
Indonesia mengartikulasikan kekuatan politiknya di perbatasan dengan melakukan
militerisasi untuk mengamankan wilayah Indonesia dari invasi dan pencaplokan wilayah oleh
Malaysia sebagai wujud dari keterikatan masyarakat serta elit Indonesia terhadap wilayah
Indonesia. Globalisasi kemudian memperkuat keterikatan masyarakat dan elit Indonesia
terhadap wilayah mereka sendiri karena globalisasi disini justru berperan sebagai katalisator
yang membuat masyarakat dan elit Indonesia semakin menghargai akar- dalam konteks ini
tahan air- mereka.
Selain itu pemerintah Indonesia juga mengamankan perbatasan dari
ancaman non tradisional yang tidak hanya menyangkut keamanan negara namun juga
keamanan manusia (human security) sebagai wujud dari implementasi state responsibility
untuk mengamankan masyarakat di perbatasan.
86
Pendekatan kesejahteraan didorong oleh state responsibility Indonesia untuk
menyediakan institusi dan fasilitas umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur
transportasi, dan infrastruktur perekonomian yang memungkinkan warganegara untuk
mencapai kesejahteraannya. Tingginya ketergantungan masyarakat di perbatasan Kalimantan
Utara terhadap Malaysia membuat supremasi internal Indonesia lemah, dan untuk itu
pendekatan kesejahteraan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
perbatasan untuk menegakkan supremasi internal Indonesia selain dari implementasi dari
state responsibility. Regionalisme di Asia Tenggara sebagai salah satu aspek dalam
globalisasi juga mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengadopsi
pendekatan kesejahteraan dalam pengelolaan perbatasan di Kalimantan Utara. Derajat
interdependensi antara Indonesia dan Malaysia yang berbeda dalam aspek vulnerability
membuat pemerintah Indonesia fokus dalam meningkatkan kesejahteraan masayarakat di
perbatasan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat setempat terhadap Malaysia dan
diharapkan bisa berkontribusi bagi pembangunan ekonomi daerah.
Yang terakhir adalah pendekatan kelestarian lingkungan. Pendekatan ini sebenarnya
bersifat komplementer dari dua pendekatan sebelumnya karena dalam banyak hal tujuan
pendekatan kelestarian lingkungan selaras dengan pendekatan keamanan dan pendekatan
kesejahteraan, oleh sebab itu faktor pendorong diadopsinya pendekatan kelestarian
lingkungan oleh pemerintah Indonesia dalam pengelolaan perbatasan di Kalimantan Utara
sama dengan dua pendekatan sebelumnya. Yang membedakannya adalah aspek dari
globalisasi yang mempengaruhi kebijakan tersebut. Disini faktor perubahan iklim sangat
berpengaruh terhadap diadopsinya pendekatan kelestarian lingkungan.
Kebijakan pengelolaan kawasan dan masyarakat di perbatasan Kalimantan Utara
memiliki corak tersendiri yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik di sana. Perspektif
pengelolaan perbatasan yang bercrikikan hybrid namun lebih condong kearah perspektif
realistic dipengaruhi oleh sejarah konflik antara Indonesia-Malaysia di masa lalu. Malaysia
seolah menjadi “musuh” yang selalu mencari kesempatan untuk mencaplok wilayah
Indonesia dengan pergeseran patok. Selain itu derajat sensivity dan vulnerability yang
berbeda antara masyarakat di perbatasan Kalimantan Utara dan masyarakat Sabah juga turut
mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia tersebut. Tentu saja hal ini akan berbeda jika
diterapkan di wilayah perbatasan Indonesia yang lain yang memiliki corak sosial dan politik
yang berbeda pula. Misalnya di perbatasan Indonesia-Papua Nugini dan Indonesia-Timor
Leste dimana kondisi masyarakat Indonesia di perbatasan justru lebih baik dibandingkan
dengan masyarakat di perbatasan Papua Nugini dan Timor Leste. Corak kawasan serta
87
masyarakat yang memiliki kondisi yang khas di masing-masing perbatasan membutuhkan
kebijakan yang berbeda pula. Untuk itu penelitian ini bisa menjadi acuan atau sekadar
membuka jalan bagi penelitian berikutnya yang mengambil lokasi perbatasan yang berbeda.
Meskipun secara umum pengelolaan perbatasan Indonesia bersifat hybrid namun posisi
kebijakan pengelolaan perbatasan di daerah lain sangat mungkin berbeda entah itu tepat
berada diantara perspektif realistic dan transnasional atau bahkan lebih condong kearah
perspektif transnasional sesuai dengan kondisi sosial dan politik di masing-masing kawasan
perbatasan.
88
Download