BAB I PENDAHULUAN Ganguan tidur merupakan salah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada
penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta
yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang
berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya,
menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi,
kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri
sendiri atau orang lain.1
Diperkirakan 50 hingga 70 juta orang di Amerika menderita gangguan tidur kronis sehingga
mempengaruhi kesehatan serta aktivitas keseharian. Akumulasi dari gangguan tidur yang
berkepanjangan sangat erat dengan timbulnya gangguan somatis seperti hipertensi, diabetes,
obesitas, depresi, serangan jantung, serta stroke. Dari sejumlah individu yang mengalami
gangguan tidur, 3-4 juta diantaranya mengalami obstructive sleep apnea, yakni gangguan
yang ditandai dengan kesulitan bernapas yang disebabkan oleh karena adanya obstruksi jalan
napan dengan konsekuensi yang fatal, hingga dapat mengakibatkan kematian. Insomnia
kronik menyerang lebih dari 10% penduduk Amerika Serikat.2
Menurut beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali lebih
sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada orang yang tidurnya cukup.
Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun semakin lama semakin
meningkat sehingga menimbulkan maslah kesehatan. Di dalam praktek sehari-hari,
kecendrungan untuk mempergunakan obat hipnotik, tanpa menentukan lebih dahulu
penyebab yang mendasari penyakitnya, sehingga sering menimbulkan masalah yang baru
akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal diatas, jelas bahwa gangguan tidur
merupakan masalah kesehatan yang akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Neurofisiologis dan biokimia tidur
Tidur merupakan fungsi dasar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan suatu keadaan
fisiologis yang dialami oleh setiap makhluk hidup. Meskipun setiap spesies berbeda dalam
jumlah tidur, Namun secara umum perbedaan ini merupakan fungsi dari umur. Rata-rata,
orang dewasa tidur 8 jam sehari. 4 Durasi tidur yang lebih pendek atau yang berlebihan,
keduanya dikaitkan dengan angka mortalitas yang lebih besar, seperti yang ditunjukkan pada
grafik di bawah ini:
Grafik 2.1. Hubungan Durasi Tidur dengan Mortalitas
Catatan : hazard ratio adalah risiko relatif individu untuk mengalami kematian dibandingkan
dengan populasi umum, berdasarkan rata-rata jumlah jam tidur per malam.
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu
dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama
sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hypothalamus.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia
ventrikulo retikularis medulo oblogata yang disebut sebagai pusat tidur.
Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada
bagian rostral medulo oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state.2
Penelitian modern mengenai tidur diawali oleh aserinsky dan kleitman. Kleitman
menerangkan perbedaan karakterisitk tiap stadium dari tidur menggunkan
electroencephalography (EEG). Hal ini merupakan era awal dimana tidur tidak hanya di
dipelajari secara kuantitatif ( seperti berapa lama tidur) tetapi juga secara kualitatif (seperti
bagaimana tidur yang baik).4
Pada pola tidur manusia yang dipelajari menggunakan EEG dan electrooculography (EOG),
tidur dapat klasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase
REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7
kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16- 20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari,
kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari
pada orang dewasa 5
Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
1. Tidur stadium Satu.
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata
tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini
hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri
dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang
rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K
2. Tidur stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih
dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat
adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K
3. Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak
gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang slee[ spindle.
4. Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh
gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini
biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase
REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih
insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan
bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua
organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi
eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur REM berubah
sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50%
dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui
stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga persentasi total tidur REM
berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk
keperiode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa
muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut:
1. NREM (75-80%) yaitu stadium 1: 2-5%; stadium 2 : 45-55%; stadium 3 : 3-8 %; stadium 4
:10-15%
2. REM; 20-25 %.
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary
Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan tidur.
Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur.
Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
1. Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan
Hasil serotogenik snagat dipnegaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan. Dengan
bertambahnya jumlah trypthopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat
akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari trypthopan terhambat
pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peniliti lokasi
yang terbanyak sistem serotogonik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak,
yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonin di nukleus raphe dorsalis denga tidur REM
2. Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus
cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi
penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas
neuron noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan
peningkatan keadaan jaga.
3. Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat
mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas
gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang
berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi
pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat
pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan
penurunan REM.
4. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
5. Sistem hormon
6. Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH,
GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar
pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur
mekanisme tidur dan bangun (Colten,2006).
B. Klasifikasi Gangguan Tidur
Klasifikasi gangguan tidur menurut Internasional Classification of Sleep Disorders:
1.
2.
3.
4.
Disomnia
Parasomnia
Gangguan tidur berhubungan dengan kesehatan/psikiatri
Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi
1. Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran menjadi jatuh tidur (failling
as sleep), mengalami gangguan selama tidur (difficulty in staying as sleep), bangun terlalu
dini atau kombinasi dintaranya.
a. Gangguan tidur spesifik
1) Narkolepsi
Ditandai oleh serangan mendadak tidur yang tidak dapat dihindari pada siang hari, biasanya
hanya berlangsung 10-20 menit atau selalu kurang dari 1 jam, setelah itu pasien akan segar
kembali dan terulang kembali 2-3 jam berikutnya. Gambaran tidurnya menunjukkan
menurunan fase REM 30-70%. Pada serangan tidur dimulai dengan fase REM.
Berbagai bentuk narkolepsi:
a) Narkolepsi kataplesia, adalah kehilangan tonus otot yang sementara baik sebagian atau
seluruh otot tubuh seperti jaw drop, head drop.
b) Hypnagogic halusinasi auditorik/visual adalah halusinasi pada saat jatuh tidur sehingga
pasien dalam keadaan jaga, kemudian ke kerangka pikiran normal.
c) Sleep paralis adalah otot volunter mengalami paralis pada saat masuk tidur sehingga pasien
sadar ia tidak mampu menggerakkan ototnya. Gangguan ini merupakan kelainan heriditer,
kelainannya terletak pada lokus kromoson 6 didapatkan pada orang-orang Caucasian white
dengan populasi lebih dari 90%, sedangkan pada bangsa Jepang 20-25%, dan bangsa Israel
1:500.000. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki dan wanita. Kelainan ini diduga
terletak antara batang otak bagian atas dan kronik pada malam harinya serta tidak rstorasi
seperti terputusnya fase REM (Harrison Et al., 2009).
2) Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik (periodic limb movement
disorders)/mioklonus nortuknal
Ditandai adanya gerakan anggota gerak badan secara streotipik, berulang selama tidur. Paling
sering terjadi pada anggota gerak kaki baik satu atau kedua kaki. Bentuknya berupa esktensi
ibu jari kaki dan fleksi sebagian pada sendi lutut dan tumit. Gerak itu berlangsung antara 0,55 detik, berulang dalam waktu 20-60 detik atau mungkin berlangsung terus-menerus dalam
beberapa menit atau jam. Bentuk tonik lebih sering dari pada mioklonus. Sering timbul pada
fase NREM atau saat onset tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur kronik yang
terputus. Lesi pada pusat kontrol pacemaker batang otak. Insidensi 5% dari orang normal
antara usia 30-50 tahun dan 29% pada usia lebih dari 50 tahun. Berat ringan gangguan ini
sangat tergantung dari jumlah gerakan yang terjadi selama tidur, bila 5-25 gerakan/jam:
ringan, 25-50 gerakan/jam: sedang, danlebih dari 50 kali/jam : berat. Didapatkan pada
penyakit seperti mielopati kronik, neuropati, gangguan ginjal kronik, PPOK, rhematoid
arteritis, sleep apnea, ketergantungan obat, anemia (Harrison et al., 2009).
3) Sindroma kaki gelisah (Restless legs syndrome)/Ekboms syndrome
Ditandai oleh rasa sensasi pada kaki/kaku, yang terjadi sebelum onset tidur. Gangguan ini
sangat berhubungan dengan mioklonus nokturnal. Pergerakan kaki secara periodik disertai
dengan rasa nyeri akibat kejang otot M. tibialis kiri dan kanan sehingga penderita selalu
mendorong-dorong kakinya. Ditemukan pada penyakit gangguan ginjal stadium akut,
parkinson, wanita hamil. Lokasi kelainan ini diduga diantara lesi batang otak hipotalamus
(Sateia, 2009).
4) Gangguan bernafas saat tidur (sleep apnea)
Terdapat tiga jenis sleep apnea yaitu central sleep apnea, upper airway obstructive apnea
dan bentuk campuran dari keduanya. Apnea tidur adalah gangguan pernafasan yang terjadi
saat tidur, yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. Dikatakan apnea tidur patologis jika
penderita mengalami episode apnea sekurang kurang lima kali dalam satu jam atau 30
episode apnea selama semalam. Selama periodik ini gerakan dada dan dinding perut sangat
dominan.
Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut, yang ditandai dengan intermiten penurunan
kemampuan respirasi akibat penurunan saturasi oksigen. Apnea sentral ditandai oleh
terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara periodik selama tidur, sehingga
pergerakan dada dan dinding perut menghilang. Hal ini kemungkinan kerusakan pada
batangotak atau hiperkapnia. Gangguan saluran nafas (upper airway obstructive) pada saat
tidur ditandai dengan peningkatan pernafasan selama apnea, peningkatan usaha otot dada dan
dinding perut dengan tujuan memaksa udara masuk melalui obstruksi. Gangguan ini semakin
berat bila memasuki fase REM. Gangguan saluran nafas ini ditandai dengan nafas megapmegap atau mendengkur pada saat tidur. Mendengkur ini berlangsung 3-6 kali bersuara
kemudian menghilang dan berulang setiap 20-50 detik.
Serangan apnea pada saat pasien tidak mendengkur. Akibat hipoksia atau hipercapnea,
menyebabkan respirasi lebih aktif yang diaktifkan oleh formasi retikularis dan pusat respirasi
medula, dengan akibat pasien terjaga dan respirasi kembali normal secara reflek. Baik pada
sentral atau obstruksi apnea, pasien sering terbangun berulang kali dimalam hari, yang
kadang-kadang sulit kembali untuk jatuh tidur. Gangguan ini sering ditandai dengan nyeri
kepala atau tidak enak perasaan pada pagi hari. Pada anak-anak sering berhubungan dengan
gangguan kongenital saluran nafas, dysotonomi syndrome, adenotonsilar hypertropi. Pada
orang dewasa obstruksi saluran nafas septal defek, hipotiroid, atau bradikardi, gangguan
jantung, PPOK, hipertensi, stroke, GBS, arnord chiari malformation (Sateia, 2009).
5) Paska trauma kepala
Sebagian besar pasien dengan paska trauma kepala sering mengeluh gangguan tidur. Jarak
waktu antara trauma kepala dengan timbulnya keluhan gangguan tidur setelah 2-3 tahun
kemudian. Pada gambaran polysomnography tampak penurunan fase REM dan peningkatan
sejumlah fase jaga. Hal ini juga menunjukkan bahwa fase koma (trauma kepala) sangat
berperan dalam penentuan kelainan tidur. Pada penelitian terakhir menunjukkan pasien
tamoak selalu mengantuk berlebih sepanjang hari tanpa diikuti oleh fase onset REM.
Penanganan dengan proses program rehabilitasi seperti sleep hygine. Litium carbonat dapat
menurunkan angka frekwensi gangguan tidur akibat trauma kepala (Sateia, 2009).
b. Gangguan tidur irama sirkadian
Sleep wake schedule disorders (gangguan jadwal tidur) yaitu gangguan dimana penderita
tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki,walaupun jumlah tidurnya tatap.
Gangguan ini sangat berhubungan dengan irama tidur sirkadian normal.
Bagian-bagian yang berfungsi dalam pengaturan sirkadian antara lain temperatur
badan,plasma darah, urine, fungsi ginjal dan psikologi. Dalam keadan normal fungsi irama
sirkadian mengatur siklus biologi irama tidur-bangun, dimana sepertiga waktu untuk tidur
dan dua pertiga untuk bangun/aktivitas. Siklus irama sirkadian ini dapat mengalami
gangguan, apabila irama tersebut mengalami pergeseran. Menurut beberapa penelitian terjadi
pergeseran irama sirkadian antara onset waktu tidur reguler dengan waktu tidur yang irreguler
(bringing irama sirkadian). Perubahan yang jelas secara organik yang mengalami gangguan
irama sirkadian adalah tumor pineal.
Gangguan irama sirkadian dapat dikategorikan dua bagian:
1) Sementara (acute work shift, Jet lag)
2) Menetap (shift worker)
Keduanya dapat mengganggu irama tidur sirkadian sehingga terjadi perubahan pemendekan
waktu onset tidur dan perubahan pada fase REM
Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama sirkadian adalah sebagai berikut:
1) Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type) yaitu ditandai oleh waktu tidur dan
terjaga lebih lambat yang diinginkan. Gangguan ini sering ditemukan dewasa muda, anak
sekolah atau pekerja sosial. Orang-orang tersebut sering tertidur (kesulitan jatuh tidur) dan
mengantuk pada siang hari (insomnia sekunder).
2) Tipe Jet lag ialah menangantuk dan terjaga pada waktu yang tidak tepat menurut jam
setempat, hal ini terjadi setelah berpergian melewati lebih dari satu zone waktu. Gambaran
tidur menunjukkan sleep latensnya panjang dengan tidur yang terputus-putus.
89
3) Tipe pergeseran kerja (shift work type). Pergeseran kerja terjadi pada orang tg secara
teratur dan cepat mengubah jadwal kerja sehingga akan mempengaruhi jadwal tidur. Gejala
ini sering timbul bersama-sama dengan gangguan somatik seperti ulkus peptikum.
Gambarannya berupa pola irreguler atau mungkin pola tidur normal dengan onset tidur fase
REM.
4) Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase syndrome).
Tipe ini sangat jarang, lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut,dimana onset tidur pada
pukul 6-8 malam dan terbangun antara pukul 1-3 pagi. Walaupun pasien ini merasa cukup
ubtuk waktu tidurnya. Gambaran tidur tampak normal tetapi penempatan jadwal irama tidur
sirkadian yang tdk sesuai.
5) Tipe bangun –tidur beraturan
6) Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam (Harrison et al., 2009).
c. Lesi susunan saraf pusat (neurologis)
Sangat jarang. Lesi batang otak atau bulber dapat mengganggu awal atau memelihara selama
tidur, ini merupakan gangguan tidur organik. Feldman dan wilkus et al menemukan fase tidur
pada lesi atau trauma daerah ventral pons, yang mana fase 1 dan 2 menetap tetapi fase REM
berkurang atau tidak ada sama sekali. Penderita chroea ditandai dengan gangguan tidur yang
berat, yang diakibatkan kerusakan pada raphe batang otak. Penyakit seperti Gilles de la
Tourettes syndrome, parkinson, khorea, dystonia, gerakan-gerakan penyakit lebih sering
timbul pada saat pasien tidur. Gerakan ini lebih sering terjadi pada fase awal dan fase 1 dan
jarang terjadi pada fase dalam. Pada demensia sinilis gangguan tidur pada malam hari,
mungkin akibat diorganisasi siklus sirkadian, terutama perubahan suhu tubuh. Pada penderita
stroke dapat mengalami gangguan tidur, bila terjadi gangguan vaskuler didaerah batang otak
epilepsi seringkali terjadi pada saat tidur terutama pada fase NREM (stadium ½) jarang
terjadi pada fase REM.
d. Gangguan kesehatan, toksik
Seperti neuritis, carpal tunnel sindroma, distessia, miopati distropi, low back pain, gangguan
metabolik seperti hipo/hipertiroid, gangguan ginjal akut/kronik, asma, penyakit, ulkus
peptikus, gangguan saluran nafas obstruksi sering menyebabkan gangguan tidur seperti yang
ditunjukkan mioklonus nortuknal.
e. Obat-obatan
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat stimulan yang
kronik (amphetamine, kaffein, nikotine), antihipertensi, antidepresan, antiparkinson,
antihistamin, antikholinergik. Obat ini dapat menimbulkan terputus-outus fase tidur REM.# 2.
Parasomnia
Yaitu merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadian-kejadian episode yang
berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau pada waktu antara bangun dan tidur. Kasus
ini sering berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku danaksi motorik potensial,
sehingga sangat potensial menimbulkan angka kesakitan dan kematian, Insidensi ini sering
ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami perbaikan atau
penurunan insidensi pada usia dewasa (3%).
Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu:
a. Peminum alkohol
b. Kurang tidur (sleep deprivation)
c. Stress psikososial
Kelainan ini terletak pada aurosal yang sering terjadi pada stadium transmisi antara bangun
dan tidur. Gambaran berupa aktivitas otot skeletal dan perubahan system otonom. Gejala
khasnya berupa penurunan kesadaran (confuse), dan diikuti aurosal dan amnesia episode
tersebut. Seringkali terjadi pada stadium 3 dan 4.
1. Gangguan tidur berjalan (sleep walking)/somnabulisme
Merupakan gangguan tingkah laku yang sangat komplek termasuk adanya automatis dan
semipurposeful aksi motorik, seperti membuka pintu, menutup pintu, duduk ditempat tidur,
menabrak kursi, berjalan kaki, berbicara. Tingkah laku berjalan dalam beberapa menit dan
kembali tidur. Gambaran tipikal gangguan tingkah laku ini didapat dengan gelombang tidur
yang rendah, berlangsung 1/3 bagian pertama malam selama tidur NREM pada stadium 3 dan
4. Selama serangan, relatif tidak memberikan 91
respon terhadap usaha orang lain untuk berkomunikasi dengannya dan dapat dibangunkan
susah payah. gelombang rendah. Bahkan tidak didapatkan adanya gelombang alpha.
2. Gangguan teror tidur (sleep terror)
Ditandai dengan pasien mendadak berteriak, suara tangisan dan berdiri ditempat tidur yang
tampak seperti ketakutan dan bergerak-gerak. Serangan ini terjadi sepertiga malam yang
berlangsung selama tidur NREM pada stadium 3 dan 4. Kadang-kadang penderita tetap
terjaga dalam keadaan terdisorientasi, atau sering diikuti tidur berjalan. Gambaran teror tidur
mirip dengan teror berjalan baik secara klinis maupun dalam pemeriksaan polisomnografy.
Teror tidur mungkin mencerminkan suatu kelainan neurologis minor pada lobus temporalis.
Pada kasus ini sering kali terjadi perubahan sistem otonomnya seperti takhicardi, keringat
dingin, pupil dilatasi, dan sesak nafas.
3. Gangguan tidur berhubungan dengan fase REM
Ini meliputi gangguan tingkah laku, mimpi buruk dan gangguan sinus arrest. Gangguan
tingkah laku ini ditandai dengan atonia selama tidur (EMG) dan selanjutnya terjadi aktifitas
motorik yang keras, episode ini sering terjadi pada larut malam (1/2 dari larut malam) yang
disertai dengan ingat mimpi yang jelas. Paling banyak ditemukan pada laki-laki usia lanjut,
gangguan psikiatri atau dengan janis penyakit-penyakit degenerasi, peminum alkohol.
Kemungkinan lesinya terletak pada daerah pons atau juga didapatkan pada kasus seperti
perdarahan subarakhnoid. Gambaran menunjukkan adanya REM burst dan mioklonik
potensial pada rekaman EMG (Harrison et al., 2009).
3. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
a. Sleep and Neurological Disorders
Individu dengan demensia biasanya mengalami gangguan tidur. Meskipun ada berbagai
kondisi yang terkait dengan penyakit demensia Alzheimer, penyakit Parkinson, dementia
dengan Lewy bodies, penyakit Huntington, dan penyakit Creutzfeldt-Jakob ada beberapa pola
umum dari gangguan tidur yang terkait dengan semua demensia. Biasanya, tidur lebih
terfragmentasi, menyebabkan lebih banyak terbangun dan akibatnya sedikit waktu tidur, dan
REM mungkin akan menurun. Gangguan tidur ini biasanya memburuk seiring dengan
progresifitas penyakit. 92
b. Alzheimer’s Disease
Penyakit Alzheimer adalah gangguan neurodegenerative ditandai dengan hilangnya memori
dan penurunan intelektual yang progresifitasnya sesuai usia dan disebabkan oleh degenerasi
neuron di otak. Diperkirakan sekitar 4 juta orang di Amerika Serikat menderita penyakit
Alzheimer. Sekitar seperempat dari individu-individu ini memiliki gangguan tidur. Penyakit
Alzheimer menyebabkan peningkatan jumlah bangkitan (terbangun) dan mempengaruhi
arsitektur tidur seseorang. Sebagai hasil dari peningkatan durasi dan jumlah dari terbangun,
individu menghabiskan tidurnya di stage1 tidur dan dan terjadi penurunan presentasi dalam
stage 2 dan SWS (slow-wave sleep).
c. Parkinson’s Disease
Gangguan tidur berhubungan dengan penyakit Parkinson yang terdiri dari sulit tidur,
nocturnal akinesia, arsitektur tidur berubah, aktivitas motorik abnormal, gerakan anggota
badan periodik, gangguan tidur REM, dan gangguan pernapasan. Pada siang hari, banyak
pasien Parkinson memiliki kantuk yang berlebihan. Gangguan tidur biasanya akan meningkat
dengan perkembangan penyakit. Individu menderita latensi tidur meningkat dan sering
terbangun, menghabiskan sebanyak 30 sampai 40 persen terjaga di malam hari. Hal ini
menyebabkan waktu yang dihabiskan berkurang dalam stage 3 dan 4, tidur REM dan durasi
meningkat pada stage 1 dan 2.
d. Epilepsy
Epilepsi mengacu pada sekelompok dari berbagai gangguan yang ditandai oleh aktivitas
listrik abnormal di otak yang terwujud dalam individu sebagai kerugian atau gangguan
kesadaran dan gerakan abnormal dan perilaku. Tidur, kurang tidur, dan aktivitas kejang erat
terjalin. Diperkirakan bahwa epilepsi sleeprelated dapat mempengaruhi sebanyak 10 persen
atau lebih individu epilepsi. Enam puluh persen individu yang menderita kompleks lokalisasi
parsial terkait kejang (21,6 persen dari populasi epilepsi umum) menunjukkan kejang hanya
saat tidur.
Gangguan yang penyebabnya kejang dapat mempengaruhi siklus tidur seseorang, yang
menyebabkan kurang tidur. Demikian pula, tidur dan gangguan tidur meningkatkan kejadian
aktivitas kejang. Tidur yang berhubungan dengan epilepsi biasanya menyajikan dengan
setidaknya dua dari fitur berikut: arousals, tiba-tiba terbangun dari tidur, umum tonik-klonik
gerakan anggota badan, gerakan anggota badan fokal, wajah berkedut, inkontinensia, apnea,
lidah menggigit, dan kebingungan postictal dan kelesuan. Fitur-fitur ini menyebabkan
fragmentasi tidur dan kelelahan siang hari.
Ada sejumlah sindrom epilepsi umum yang bermanifestasi hanya atau didominasi pada
malam hari, termasuk epilepsi lobus frontal malam hari, epilepsi benign masa kecil dengan
spike centrotemporal, awitan dini atau akhir-onset epilepsi pada anak oksipital, epilepsi
mioklonik remaja, dan berkesinambungan lonjakan gelombang selama tidur non-REM.
Nocturnal epilepsi lobus frontal ditandai dengan gangguan tidur yang parah, luka yang
disebabkan oleh gerakan tak terkendali, dan kejang siang sesekali. Epilepsi mioklonik juvenil
ditandai dengan sinkron kontraksi otot tak sadar yang sering terjadi selama bangun. Kontinyu
spike gelombang selama non-REM epilepsi tidur yang umumnya terkait dengan gangguan
neurokognitif dan kadang-kadang dengan gangguan aktivitas otot dan kontrol.
e. Stroke
Stroke menyebabkan tiba-tiba kehilangan kesadaran, sensasi, dan gerakan volunter yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah-dan karena suplai oksigen- ke otak. Setelah stroke
arsitektur tidur individu sering diubah, menyebabkan penurunan waktu tidur total, tidur REM,
dan SWS. Insomnia adalah komplikasi umum dari stroke yang mungkin timbul dari obatobatan, tidak aktif, stres, depresi, dan kerusakan otak.
f. Sleep And Medical Disorders
Sejumlah gangguan medis yang berbeda dan penyakit, dari flu biasa sampai kanker, sering
mengubah siklus tidur-bangun individu. Masalah-masalah tidur sering hasil dari rasa sakit
atau infeksi yang berkaitan dengan kondisi primer. Meskipun sama-sama diketahui
menyebabkan masalah dengan siklus sleepwake, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah ini,
sangat sedikit yang masih dikenal tentang etiologi.
1) Nyeri
Nyeri diuraikan sebagai suatu pengalaman akut atau kronis sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang bervariasi dari ketidaknyamanan membosankan untuk penderitaan
tak tertahankan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Ini
biasanya menyebabkan fragmentasi tidur dan perubahan dalam arsitektur tidur seseorang.
Gejala-gejala tergantung pada jenis dan beratnya nyeri tersebut. Mereka termasuk kelelahan
siang hari dan mengantuk, kualitas tidur yang buruk, keterlambatan onset tidur, dan
penurunan kognitif dan motorik kinerja sesuai tabel di bawah ini:
2) Penyakit Infeksi
Infeksi yang disebabkan oleh strain bakteri, virus, dan parasit dapat mengakibatkan
perubahan pada pola tidur. Meskipun diterima bahwa aktivitas sistem kekebalan tubuh
mempengaruhi siklus tidur-bangun individu, sangat sedikit yang diketahui tentang bagaimana
kedua sistem berinteraksi.
a) Infeksi Bacterial dan Tidur
Infeksi bakteri biasanya menyebabkan peningkatan total waktu yang dihabiskan pada SWS
dan durasi penurunan tidur REM. Perubahan pola tidur dapat dipengaruhi oleh jenis infeksi
bakteri. Sebagai contoh, bakteri gram negatif menginduksi tidur yang disempurnakan lebih
cepat daripada bakteri gram positif. Perbedaan dalam proses dan perkembangan penyakit juga
mempengaruhi siklus sleepwake.
b) Infeksi Virus dan Tidur
Infeksi virus juga memiliki efek pada siklus tidur-bangun. Individu yang diinokulasi dengan
rhinovirus atau virus influenza melaporkan kurang tidur selama masa inkubasi, sedangkan
selama periode gejala mereka tidur lebih lama. Namun, dibandingkan dengan orang yang
sehat tidak ada perbedaan yang dilaporkan dalam kualitas tidur dan jumlah terbangun.
Virus human immunodeficiency (HIV) juga telah terbukti dapat mengubah pola tidur.
Individu menghabiskan waktu peningkatan pada SWS pada paruh kedua malam dan
menderita arousals sering dan penurunan waktu tidur REM. Seperti infeksi berkembang
menjadi AIDS, individu mengembangkan fragmentasi tidur meningkat, penurunan yang
signifikan pada SWS, dan gangguan terhadap arsitektur tidur secara keseluruhan.
c) Infeksi Jamur, Parasit dan Tidur
Infeksi jamur dan parasit juga dapat mengubah siklus tidur-bangun. Sebagai contoh, penyakit
tidur, atau trypanosomiasis Afrika, umumnya terjadi pada individu yang telah terinfeksi
dengan Trypanosoma brucei (Tb) parasit. Hal ini ditandai dengan episode insomnia malam
hari dan tidur siang hari, tetapi tidak hipersomnia.
Penyakit tidur ditemukan terutama di sub-Sahara Afrika, di mana Tb ditularkan ke manusia
akibat gigitan dari lalat tsetse. Penyakit tidur dikaitkan dengan arsitektur tidur berubah.
Rekaman EEG individu dengan penyakit tidur dari Gambia menunjukkan periode tidur REM
yang terjadi sepanjang siklus tidur-bangun secara keseluruhan, sering tanpa periode NREM
menengah yang normal. Fluktuasi hormon sirkadian-kortisol, prolaktin, dan hormon
pertumbuhan-juga diubah pada individu dengan penyakit tidur. Oleh karena itu, telah
dihipotesiskan bahwa penyakit tidur mungkin merupakan penyakit ritme sirkadian yang
mempengaruhi jalur saraf yang menghubungkan waktu-sirkadian dan tidur-regulating pusat.
4. Gangguna tiudur yang tak terklasifikasi
C. Penegakan diagnosis
1. Screening pasien gangguan tidur
Beberapa pertanyaan untuk melakukan screening gangguan tidur di masyarakat (clear lake
sleep center, 2009) :
1. Apa masalah utama tidur Anda?
2. Siapakah mulanya menduga merupakan masalah tidur?
3. Apakah saat ini Anda memiliki pasangan tidur / teman sekamar? Jika ya, silakan mereka
membantu Anda dengan kuesioner ini.
4. Apakah Anda pernah memeriksakan ke spesialis tidur sebelumnya?
5. Apakah Anda mengalami kesulitan di tempat kerja / sekolah karena masalah tidur Anda?
6. Apakah Anda mengalami kesulitan mengemudi karena masalah tidur Anda?
7. Apakah shift kerja utama Anda?
8. Berapa banyak minuman berkafein yang Anda konsumsi setiap hari?
9. Jika Anda mendengkur, silakan menilai tingkat kebisingan:
4(terdengar dari luar kamar)-3 (membangunkan mitra tidur)-2 (mudah didengar)-1 (hampir
takterdengar)
10. Apakah Anda tidur sebentar di siang hari? Ya/ tidak
11. Apakah Anda pernah merokok? Ya/ tidak;
Berapa bungkus per hari?
Berapa tahun Anda merokok?
Pernakah Anda berhenti merokok? Ya/ tidak
12. Apakah pernah seseorang mengamati Anda berhenti bernapas saat tidur? Ya/ tidak
13. Apakah anda bangun terengah-engah atau tersedak? Ya/ tidak
14. Apakah Anda sulit tidur? Ya/ tidak
15. Apakah Anda menendang atau berkedut kaki Anda ketika Anda tidur? Ya/ tidak
16. Berapa kali anda bangun di malam hari?
17. Berapa kali Anda bangun untuk buang air kecil di malam hari?
18. Apakah Anda memiliki perasaan menyeramkan / crawly, mati rasa kaki, ketika Anda
mencoba turun Tidur? Ya/ tidak
19. Apakah Anda pernah menggunakan pil diet? Ya/ tidak
20. Apakah Anda pernah menggunakan obat stimulan sebelumnya? Ya/ tidak
Apakah Anda pernah menggunakan ganja? Ya/ tidak
Apakah Anda pernah menggunakan kokain atau obat lain? Ya/ tidak
21. Apakah Anda sit up dan berteriak saat tidur atau tiba-tiba bangun takut? Ya/ tidak
22. Apakah Anda berjalan saat tidur, tanpa ingat hari berikutnya? Ya/ tidak
23. Apakah Anda memiliki mimpi buruk atau mimpi menakutkan? Ya/ tidak
24. Apakah Anda merasa lumpuh, tak bisa bergerak, tetapi waspada secara mental saat
tertidur atau waktu bangun? Ya/ tidak
25. Apakah Anda memiliki kelemahan fisik tiba-tiba lengan, kaki, atau wajah saat tertawa?
menangis atau selama situasi emosional lainnya? Ya/ tidak
26. Apakah Anda memiliki jantung berdebar atau nyeri dada pada malam hari? Ya/ tidak
27. Berapa banyak alkohol yang Anda konsumsi dalam waktu tiga jam sebelum tidur? Berapa
banyak alkohol yang Anda konsumsi dalam jangka waktu 24-jam?
28. Tolong jelaskan perasaan aneh atau perilaku yang Anda miliki pada malam hari.
29. Sebutkan obat yang sedang Anda mengambil: (Sertakan pil tidur atau Melatonin)
30. Apakah Anda sekarang atau di masa lalu mengalami masalah kesehatan dalam bidang
berikut?
Tekanan darah tinggi _____
Sesak napas _____
Septum deviasi _____
batuk kronis _____
Masalah sinus _____
Asma _____
Tonsilektomi _____
Emfisema _____
Penyakit Jantung Penyakit Tiroid _____ _____
Psychiatric _____
Diabetes _____
Mulas _____
Refluks _____
Sebutkan masalah medis lain yang Anda miliki atau memiliki:
31. Skala Kantuk
Silakan gunakan skala ini untuk mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan berikut:
0 = tidak akan pernah tertidur
1 peluang = sedikit mengantuk
2 kesempatan = sedang tertidur
3 kesempatan = tinggi tertidur
1. Duduk dan membaca _____
2. Menonton T.V. _____
3. Duduk tidak aktif dalam pertemuan publik _____
4. Sebagai penumpang di mobil selama satu jam tanpa istirahat _____
5. Berbaring dalam keadaan yang siang memungkinkan _____
6. Duduk dan berbicara dengan seseorang _____
7. Duduk dengan tenang setelah makan siang tidak setelah mengkonsumsi alkohol _____
8. Mengemudi mobil yang telah berhenti sebentar di lampu merah _____
Jumlah Epworth Skor _____
Epworth Skor Kantuk (ESK) dengan Diagnosis
0-9 = normal 10-13 = Ringan 14-19 Sedang 20-23 = berat =
Jika hasilnya lebih besar dari 9 dan / atau Anda merasa Anda mungkin memiliki apnea tidur,
mencetak kuis ini dan bawa ke dokter Anda.
2. Pendekatan untuk deteksi gangguan tidur pada pasien rawat jalan:
Metode terbaik untuk mendeteksi gangguan tidur-bangun pada pasien tua yang rawat jalan
adalah dengan menanyakan pola tidurnya. Para klinisi melakukannya saat awal kunjungan
pasien. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian awal
mengenai gangguan tidur:
a. Pukul berapa kamu biasanya mulai tidur pada malam hari? Pukul berapa biasanya kamu
bangun pada pagi hari?
b. Apakah kamu sering bermasalah dalam memulai tidur malam?
c. Berapa kali kamu biasanya terbangun pada malam hari?
d. Jika kamu terbangun malam hari, apakah kamu bermasalah untuk tidur kembali?
e. Apakah teman tidurmu (atau seseorang yang perhatian) berkata bahwa kamu sering
mengorok, terengah-engah (gasping), atau berhanti bernapas?
f. Apakah teman tidurmu (atau seseorang yang perhatian) berkata bahwa kamu menendang
atau memukul ketika sedang tidur?
g. Apakah menyadari bahwa kamu pernah berjalan, makan, meninju, menendang, atau takut
selama tidur?
h. Apakah kamu lebih banyak tidur atau kelelahan dalam keseharianmu?
i. Apakah kamu biasa mengalami satu atau lebih tidur sebentar di siang hari?
j. Apakah kamu biasa mengalami tidur ayam (tidur sebentar) tanpa terencana setiap hari?
k. Berapa lama waktu tidur yang kamu butuhkan untuk merasa terjaga dan memungsikan diri
secara baik?
l. Apakah kamu sekarang menggunakan berbagai jenis pengobatan atau preparat lain untuk
membantu tidur?
Apabila gejala gangguan tidur didapatkan pada skring awal, pertanyaan lebih lanjut
diperlukan untuk mendapatkan riwayat tidur.
a. Apakah kamu memiliki keinginan untuk menggerakkan kedua kaki atau memiliki
pengalaman sensasi yang tidak nyaman pada kaki selama istirahat atau pada malam hari?
b. Apakah kamu sering terbangun untuk kencing pada malam hari?
c. Jika kamu tidur sebentar di siang hari, berapa sering dan berapa lama?
d. Berapa banyak aktivitas fisik atau latihan yang kamu lakukan setiap hari?
e. Apakah kamu terpapar cahaya luar natural setiap hari?
f. Pengobatan apa yang kamu pakai, dan berapa kali sehari dan malam?
g. Apakah kamu menderita ketidaknyamanan akibat efek samping pengobatan tersebut?
h. Berapa banyak kafein (contohnya: kopi, the, kola) dan alcohol yang kamu konsumsi tiap
hari/ malam?
i. Apakah kamu sering merasa sedih atau cemas?
j. Apakah kamu sekarang ini menderita karena ditinggal seseorang? (Harrison et al., 2009)
3. Penegakan diagnosis gangguan tidur menurut PPDGJ III
F51.0 Insomnia Non-organik
Pedoman Diagnostik
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti :
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang
buruk;
b. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan;
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari;
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social dan pekerjaan.
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena
membutuhkan terapi tersendiri. Kriteria ―lama tidur‖ (kuantitas) tidak digunakan untuk
menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang
tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada ―transient insomnia‖) tidak didiagnosis di sini,
dapat dimasukkan dalam Reaksi Stres Akut (F43.0) atau Gangguan Penyesuaian (F43.2).
Insomnia diklasifikasikan sebagai primer atau komorbiditas. Insomnia primer menunjukkan
bahwa tidak ada penyebab lain dari gangguan tidur telah diidentifikasi. Insomnia
komorbiditas lebih umum dan yang paling sering dikaitkan dengan gangguan jiwa (misalnya,
depresi, kecemasan, atau gangguan penggunaan narkoba), gangguan medis (misalnya,
gangguan kardiopulmoner, gangguan neurologis, atau kronis keluhan somatik yang
mengakibatkan gangguan tidur), obat, dan gangguan tidur lainnya primer (misalnya, tidur
apnea obstruktif atau kaki gelisah) Insomnia komorbid tidak. tidak menyarankan bahwa
kondisi "penyebab" lain insomnia, melainkan bahwa insomnia dan kondisi lainnya co-terjadi,
dan mungkin setiap surat perintah perhatian klinis dan pengobatan.
Banyak orang dewasa secara teratur mengambil obat-obat. Obat-obatan digunakan untuk
mengobati berbagai yang mendasari kondisi medis dan psikiatris kronis juga berkontribusi
terhadap gangguan tidur, termasuk β-blocker, bronkodilator, kortikosteroid, dekongestan dan
diuretik, serta lain kardiovaskular, neurol ogi, psikiatri, dan gastrointestinal obat-obatan. Obat
digunakan untuk mengobati depresi, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan
serotonergik dan noradrenergik reuptake inhibitor (SNRIs) juga dapat menyebabkan atau
memperburuk insomnia. Selain obat resep, orang dewasa sering mengambil di atas meja
persiapan yang dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan tidur. Contohnya termasuk
batuk dan "Dingin" obat-obatan, terutama yang mengandung pseudoefedrin atau
fenilpropanolamin, setiap obat yang mengandung kafein (misalnya asetaminofen / aspirin /
kafein kombinasi), dan obat mengandung nikotin (nikotin misalnya permen karet atau
transdermal (patch). Tentu saja, merokok dan kopi konsumsi sendiri dapat mengganggu tidur
juga (Harrison et al., 2009).
F51.1 Hipersomnia Non-organik
Pedoman Diagnostik
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur/‖sleep attacks‖
(tidak disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari saat
mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya (sleep drunkenness);
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang dengan kurun
waktu yang lebih pendek, menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam social dan pekerjaaan;
c. Tidak ada gejala tambahan ―narcolepsy‖ (cataplexy, sleep paralysis, hypnagogic
hallucination) atau bukti klinis untuk ―sleep apnoe‖ (nocturnal breath cessation, typical
intermitten snoring sounds, dll);
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa kantuk pada siang
hari.
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa lain, misalnya
gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan gangguan yang mendasarinya.
Diagnosis hipersomnia psikogenik harus ditambahkan bila hipersomnia merupakan keluhan yang
dominan dari penderita dengan gangguan jiwa lainnya.
F51.2 Gangguan Jadwal Tidur-Jaga Non-organik
Pedoman diagnostik:
Gangguan klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama (out of synchrony) dengan pola tidur-jaga yang
normal bagi masyarakat setempat;
b. Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga,
yang dialami hamper setiap hari untuk sedikitnya 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang
lebih pendek.
c. Ketidakpuasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social dan pekerjaan.
Adanya gejala gangguan jiwa lain, seperti ansietas, depresi, hipomania, tidak menutup
kemungkinan diagnosis gangguan jadwal tidur-jaga non-organik, yang penting adanya dominasai
gambaran klinis gangguan ini pada penderita. Apabila gejala gangguan jiwa lain cukup jelas dan
menetap harus dibuat diagnosis gangguan jiwa yang spesifik secara terpisah.
F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
Pedoman diagnostik:
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Gejala yang utama adalah 1 atau lebih episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada
sepertiga awal tidur malam, dan terus berjalan-jalan; (kesadaran berubah)
b. Selama 1 episode, individu menunjukkan wajah bengong (blank, staring face), relative tak
memberi respon terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita, dan hanya dapat disadarkan/ dibangunkan dari tidurnya dengan
susah payah.
c. Pada waktu sadar/ bangun (setelah satu episode/ besok paginya), individu tidak ingat apa yang
terjadi;
d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada gangguan
aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu
singkat.
e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organic.
Somnambulisme harus dibedakan dari serangan epilepsy psikomotor dan fugue disosiatif (F44.1).
F51.4 Teror Tidur (Night Terrors)
Pedoman diagnostik:
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a. Gejala utama adalah 1 atau lebih episode bangun dari tidur, mulai dengan berteriak karena
panik, disertai ansietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan hiperaktifitas otonomik seperti
jantung berdebar-debar, nafas cepat, pupil melebar, dan berkeringat;
b. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1—10 menit, dan biasanya terjadi
pada sepertiga awal tidur malam;
c. Secara relative tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk mempengaruhi
keadaan terror tidurnya, dan kemudian dalam beberapa menit setelah bangun biasanya terjadi
disorientasi dan gerakan-gerakan berulang;
d. Ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada, sangat minimal (biasanya terbatas pada satu atau dua
bayangan-bayangan yang terpilah-pilah);
e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik.
Terror tidur harus dibedakan dengan mimpi buruk (F51.5), yang biasanya terjadi setiap saat
dalam tidur, mudah dibangunkan, dan teringat dengan jelas kejadiannya. Terror tidur dan
somnambulisme sangat berhubungan erat, keduanya mempunyai karakteristik klinis dan
patofisiologis yang sama.
F51.5 Mimpi Buruk (Nightmares)
Pedoman diagnosis:
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis passti :
a.
Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mmimpi yang menakutkan
yang dapat diingat kembali dengan rincidan jelas (vivid), biasanya perihal ancaman
kelangsungan hidup, keamanan atau harga periode tidur, tetapi yang khas adalah pada paruh
kedua masa tidur.
b. Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera sadar penuh dan mampu
mengenali lingkungannya.
c.
Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu, menyebabkan penderitaan
cukup berat bagi individu.
-
Sangat penting untuk membedakan mimpi buruk dari teror tidur, dengan memperhatikan
gambaran klinis yang khas untuk setiap gangguan.
D. Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien
dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki potensi mengurangi morbiditas terkait insomnia,
termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan kualitas hidup (Nabil dan Julie, 2006).
1. Pendekatan Non Farmakologi
a. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:
1) Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat.
2) Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik.
3) Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat
hipnotik,alkohol, gangguan mental.
4) Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek.
b. Konseling dan Psikoterapi
Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti (depresi, obsesi,
kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat membantu mengatasi
masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita tanpa penggunaan obat hipnotik
(Japardi, 2002).
c. Tindakan higiene tidur
1) Hindari dan meminimalkan penggunaan kafein, rokok, stimulan, alkohol, dan obat lainnya.
2) Meningkatkan tingkat aktivitas pada sore atau awal malam (tidak dekat dengan waktu tidur)
dengan berjalan atau berolahraga di luar ruangan.
3) Meningkatkan pajanan cahaya alami dan cahaya terang selama siang hari dan awal malam.
4) Hindari tidur siang, terutama setelah pukul 2 siang; batasi tidur siang, batas untuk 1 tidur
kurang dari 30 menit.
5) Periksa pengaruh obat terhadap tidur.
6) Pergi ke tempat tidur hanya bila mengantuk.
7) Mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur.
8) Minimalkan paparan kebisingan.
9) Makan makanan ringan kalau lapar.
10) Hindari makanan berat pada waktu tidur.
11) Batasi cairan pada malam hari.
12) Buatlah jadwal teratur.
a) Istirahat pada saat yang sama setiap hari.
b) Makan dan olahraga pada jadwal rutin.
c) Manajemen stress :
 Toleransi sulit tidur sesekali.
 Diskusikan kejadian yang mengkhawatirkan dalam waktu yang cukup sebelum tidur.
 Gunakan teknik relaksasi (Nabil dan Julie, 2006).
d. Terapi pengontrolan stimulus
Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan kesulitan
memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif yang sering
ditemukan pada insomnia.
Ada beberapa instruksi yang harus diikuti oleh penderita insomnia:
1) Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.
2) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
3) Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di tempat tidur.
4) Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa bertambah frustrasi jika tidak bisa tidur.
5) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun, pergi ke ruang lain, kerjakan
sesuatu yang tidak membuat terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk datang kembali.
6) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan waktu tidur, total tidur, atau hari
(misalnya hari Minggu).
7) Menghindari tidur di siang hari.
8) Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam 4-6 jam sebelum tidur
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus dipraktikkan,
gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.
e. Sleep Restriction Therapy
Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu mengkonsolidasikan tidur . Terapi ini
bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila pasien
mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di
tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari harus dihindari. Lansia
dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai
85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi
pembatasan tidur, secara berangsur-angsur, dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di
malam hari.
f. Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik. Menghipnotis diri sendiri, relaksasi
progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk
memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius.
Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi.
Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan yang didapat.
Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon tidur.
g. Terapi apnea tidur obstruktif
Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari tidur telentang, menggunakan perangkat
gigi (dental appliance), menurunkan berat badan, menghindari obat-obat yang menekan jalan
nafas, menggunakan stimulansia pernafasan seperti acetazolamide, nasal continuous positive
airway pressure (NCPAP), upper airway surgery (UAS). Nasal continuous positive airway
pressure ditoleransi baik oleh sebagian besar pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur pasien
di malam hari, rasa mengantuk di siang hari, dan keletihan serta perbaikan fungsi kognitif.
Uvulopalatopharyngeoplasty (UPP) merupakan salah satu teknik pembedahan yang digunakan
untuk terapi apnea tidur. Efikasi metode ini kurang. Trakeostomi juga merupakan pilihan terapi
untuk apnea tidur berat. Penggunaan kedua bentuk terapi bedah ini sangat terbatas karena risiko
morbiditas dan mortalitas.
Keputusan untuk mengobati apnea tidur didasarkan atas frekuensi dan beratnya gangguan tidur,
beratnya derajat kantuk di siang hari, dan akibat medik yang ditimbulkannya (Amir N., 2007).
2. Pendekatan Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal, juga dapat
diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang mempunyai
kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular activating system (ARAS) di
otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang menekan susunan saraf pusat, mulai dari
obat anti anxietas dan beberapa obat anti depresan.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yangdipaksakan dari proses
fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari berikutnya (long
acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila pemakaian obat jangka
panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat. Sebelum mempergunakan obat
hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada
fase latensi panjang (NREM) gangguan pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari,
kurang tidur pada malam hari, adanya perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan
penyakit primernya. Walaupun obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur
kronik, tapi dapat dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari.
Dengan pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema
gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati pada
pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan terselubungnya kondisi
yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang memuaskan.
Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi penyebab yang
mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan. Pemilihan obat hipnotik
sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short action) dgn membatasi penggunaannya
sependek mungkin yang dapat mengembalikan pola tidur yang normal. Lamanya pengobatan
harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan tidak lebih dari 2 minggu untuk short term
insomnia. Untuk long term insomnia dapat dilakukan evaluasi kembali untuk mencari latar
belakang penyebab gangguan tidur yang sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya
obat tersebut dihentikan secara berlahan-lahan untuk menghindarkan withdrawl terapi (Japardi I.,
2002).
OBAT ANTI-INSOMNIA
Penggolongan obat anti-insomnia
1. Benzodiazepine, contoh : Nitrazepam, Triazolam, Estazolam
2. Non-Benzodiazepine, contoh : Chloral-hydrate, Phenobarbital
Sediaan Obat Anti-Insomnia dan Dosis Anjuran
(yang beredar
Nama Generik Nama Dagang
di Indonesia
menurut
MIMS Vol. 302001) No
1.
Nitrazepam
MAGADON
(Roche)
DUMOLID
(Alpharma)
2.
Triazolam
HALCION
(Up John)
3.
Estazolam
4.
Chloral
hydrate
ESILGAN
(Takeda)
CHLORALHY
DRAT 500
(Darya Varia)
Sediaan
Dosis Anjuran
Tab 5 mg
Tab 5 mg
Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab
Tab 0,125 mg
Tab 0,250 mg
Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab
Dewasa 1 tab
Lansia 1/2 tab
1-2 mg/malam
Tab 1 mg
Tab 2 mg
Soft cap 500
mg
1-2 cap 15-30
menit sebelum
tidur
Indikasi penggunaan
Indikasi penggunaan obat anti-insomnia terutama pada kasus transient insomnia dan short term
insomnia, sangat berhati-hati pada kasus long term insomnia. Selalu diupayakan mencari
penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada penyebab dasar tersebut.
Mekanisme Kerja
Obat golongan benzodiazepine tidak menyebabkan REM suppression and rebound. Pada kasus
depresi terjadi pengurangan delta sleep (gelombang delta < 20%), sehingga tidak pulas tidurnya
dan mudah terbangun. Pada awal depresi terjadi defisit REM sleep (0-10%, dimana pada orang
normal sekitar 20%) yang menyebabkan tidur sering terbangun akibat mimpi buruk (REM sleep
bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga siklus tidur menjadi tidak teratur (disorganized).
Obat anti-depresi (trisiklik dan tetrasiklik) menekan dan menghilangkan REM sleep dan
meningkatkan delta sleep, sehingga pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi buruk. Bila obat
mendadak dihentikan terjadi REM rebound dimana pasien akan mengalami mimpi-mimpi buruk
lagi.
Efek Samping
Obat-obatan ini dapat menimbulkan supresi susunan saraf pusat (SSP) pada saat tidur. Hati-hati
pada pasien dengan insufisiensi pernapasan , uremia, dan gangguan fungsi hati, oleh karena
keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP dan dapat memudahkan timbulnya koma. Pada
pasien usia lanjut dapat terjadi oversedation sehingga risiko jatuh dan trauma menjadi besar, yang
sering terjadi adalah hip fracture.
Pemilihan Obat
Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan :
1. Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan dalah bersifat sleep
inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting). Misalnya pada gangguan
anxietas.
2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur
selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat prolong latent phase anti-insomnia, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi
beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat sleep maintaining
anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (long acting).
Misalnya pada gangguan stress psikososial.
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal dapat dinaikkan
sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya
tappering off untuk mencegah timbunya rebound dan toleransi obat. Pada usia lanjut dosis harus
lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan
intoksikasi.
Lama Pemberian
Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar
risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan
sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence (habituasi)
sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Perhatian Khusus
Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome, congestive heart failure, dan
chronic respiratory disease. Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities) khususnya pada trimester
pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek pada bayi, yaitu penekanan fungsi
SSP (Maslim R., 2001).
Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap
merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder. Kloralhidrat
dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein
seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat digunakan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi insomnia jangka
pendek. Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat
direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali.
Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi penyakit
yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, obesitas,
gangguan jantung dengan hipoventilasi. Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea
tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat gangguan koordinasi motorik
sering ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hati-hati dan
dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan obat pilihan
untuk membantu orang-orang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu paruhnya
panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang mengalami
interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki anxietas di siang
hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu, pemberian obatobat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH, eritromisin, dan
fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringan-sedang yang
mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder
terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam digunakan
untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan dengan
benzodiazepin pada awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk gangguan
gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific serotonin
antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang, dan
meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta efisiensi
tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan
insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase inhibitor pada
lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu kontinuitas tidur akibat
efek samping poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.
Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus
hati-hati karena dapat menginduksi delirium (Amir N., 2007).
E. Komplikasi
Gangguan tidur atau ketidakmampuan tidur memperngaruhi performa, keamanan, dan kualitas
hidup dari seorang individu. Hampir 20% kecelakaan lalu lintas berhubungan dengan pengemudi
yang mengantuk atau mabuk minuman beralkhohol.
Penelitian terkini mengemukakan bahwa gangguan memiliki neurobehavioral effect, mulai dari
yang paling ringan yakni attensi dan reaksi, dan yang lebih kompleks yakni kesalahan dalam
melakukan penilaian terhadap suatu hal, atau membuat keputusan. Orang yang memiliki
gangguan tidur akan memiliki masalah dalam ingatan jangka pendeknya. Dan walaupun individu
dengan gangguan tiduk mampu melakukan pekerjaan dengan baik, akan tetapi membutuhkan
waktu pengerjaan yang lebih lama (Meadows, 2005).
Meskipun data yang ada sangat terbatas, efek dari gangguan tidur, kehilangan tidur kronis, dan
tidur yang kurang akan mempengaruhi perekonomian Amerika secara signifikan. Apabila
gangguan tidur tidak diobati dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih
besar daripada biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobati gangguan tidur itu sendiri (colten,
2006).
Lebih dari 10 tahun yang lalu, terdapat suatu paradigm yang menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara gangguan tidur dengan kesehatan. Akan tetapi, penelitian terkini menyatakan
bahwa sleep loss (kurang dari 7 jam per malam) memiliki efek pada ssystem kardiovaskuler,
endokrin, imun, dan system saraf, yakni :
1. Obesitas pada dewasa maupun anak-anak
Pada suatu studi kohort yang dilakukan selama hampir 13 tahun pada 500 individu dewasa muda,
didapatkan hasil bahwa pada usia 27 tahun, individu dengan durasi tidur yang lebih pendek (<6
jam), 7,5 kali lebih berisiko memiliki BMI tinggi. Penelitian tersebut sudah melalui kontroling
terhadap faktor riwayat keluarga, tingkat aktivitas fisik, serta faktor demografik. Penelitian
tersebut juga mencoba menganalisa, adakah relasi antara insufisiensi tidur terhadap hormonehormon yang berperan dalam peningkatan nafsu makan. Hasilnya, insufisiensi tidur diketahui
dapat menurunkan leptin, yakni hormone yang diproduksi oleh jaringan adipose dan dapat
menghambat nafsu makan. Selain itu, insufisiensi tidur meningkatkan pengeluaran ghrelin,
peptide yang mampu menstimulus nafsu makan (Taheri, 2004).
Grafik 2.1. Hubungan antara Durasi Tidur dengan BMI (body mass index)
2. Diabetes dan gangguan toleransi glukosa
Pada studi kohort berbasis komunitas yang dilakukan oleh sleep heart health
study, dilaporkan bahwa individu yang tidur kurang dari 5 jam semalam
memiliki risiko memiliki diabetes 2,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
individu yang tidur 7-8 jam semalam (Gottlieb, 2005). Selain itu, clearance
glucose pada orang dengan gangguan tidur, 40% lebih rendah daripada
individu tanpa gangguan tidur (Turk, 2005).
Grafik 2.2. Hubungan Durasi Tidur dengan Odds Ratio Diabetes dan
Gangguan Toleransi Glukosa
3. Penyakit kardiovaskuler dan hipertensi
Kesulitan tidur atau keluhan tidur lainnya berasosiasi dengan timbulnya serangan jantung
(myocardial infarction). Penjelasannya, gangguan tidur akan menimbulkan peningkatan tekanan
darah, hiperaktivitas simpatis, dan gangguan toleransi glukosa.
4. Sindroma kecemasan, gangguan mood, dan penggunaan alcohol.
Sleep loss berhubungan dengan adverse effect pada mood dan perilaku. Individu dengan
gangguan tidur kronis rentan terhadap distress, sindroma depresif, anxietas, dan penggunaan
alcohol (Baldwin and Daugherty, 2004; Strine and Chapman, 2005; Hasler, 2005).
Gangguan tidur mempengaruhi kewaspadaan, kemampuan dalam memperhatikan, dan fungsifungsi kognitif lain dari seorang individu, akan tetapi, mengkorelasikan antara gangguan tidur
dengan prestasi akademis masih susah untuk dilakukan.
The institute of medicine melaporkan bahwa sekitar 98.000 kematian-yang berhubungan dengan
medical eror-terjadi dari tahun-ke tahun di berbagai Rumah Sakit di Amerika Serikat. Setelah
laporan tersebut diterbitkan, dilakukan berbagai studi yang menyimpulkan bahwa terdapat relasi
yang kuat antara kurangnya waktu tidur, gangguan seseorang dalam memulai dan
mempertahankan tidur dengan medical eror terutama yang dilakukan oleh residen. Residen
bekerja dengan durasi yang lebih lama dibanding profesi yang lain (streinbrook, 2002).
Insomnia berat mempengaruhi delapan domain quality of life, yakni :
1. Kemampuan fisik
2. Perlindungan terhadap penyakit fisik
3. Persepsi nyeri
4. Kesehatan umum
5. Vitalitas
6. Fungsi sosial
7. Perllindungan terhadap instabilitas emosi
8. Kesehatan mental (moore, 2007)
Grafik 2.3. Insomnia Berat Mempengaruhi Kualitas Hidup
BAB III
Kesimpulan
Referensi
Download