BAB II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. ATTACHMENT
1. Pengertian Attachment
Istilah attachment atau kelekatan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh
seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian
formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969
(Mc Cartney dan Dearing, 2002). Attachment merupakan suatu ikatan emosional
yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan
Dearing, 2002).
Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan ini
akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Pengertian ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai attachment.
Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke, 2001) mengatakan bahwa attachment
adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang
bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal
sepanjang waktu. Ainsworth menjelaskan bahwa hubungan attachment pada ibu
sebagai salah satu hal penting dalam pembentukan hubungan dengan orang lain
sepanjang kehidupan. Ia menyebutkan hal ini sebagai affectional bonds.
Affectional bonds yaitu ikatan yang secara relatif kekal dimana pasangan
merupakan individu yang unik dan tidak dapat tergantikan oleh orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk mempertahankan
kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami saat perpisahan, senang atau
gembira saat bertemu, dan sedih saat kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak,
pasangan seksual, dan hubungan saudara kandung dan teman dekat adalah contoh
affectional bonds (dalam Lemme, 1995).
Selain itu, Durkin (1995) menyatakan bahwa Attachment merupakan suatu
hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang
dirancang untuk memelihara hubungan tersebut. Cicirelli (dalam Lemme, 1995)
mendefinisikan attachment sebagai suatu ikatan emosional antara dua orang; yang
pada dasarnya untuk diidentifikasi, mencintai, dan memiliki hasrat dengan orang
lain, dan merepresentasikan keadaan internal individu.
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut
attachment. Adapun ciri afektif yang menunjukkan attachment adalah: hubungan
bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam
jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain, dan kelekatan
dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Shaver &
Mikulincer, 2004).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan attachment
adalah suatu hubungan emosional atau
hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang
mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau
pengasuhnya. Hubungan dapat bertahan cukup lama, timbal balik, dan
memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.
Universitas Sumatera Utara
2. Attachment pada Masa Anak-anak
A. Proses Attachment
Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai saat proses
pemberian ASI (air susu ibu). Melalui proses pemberian ASI diharapkan akan
berkembang attachment dan attachment behavior karena dalam proses ini terjadi
kontak fisik yang disertai upaya untuk membangun hubungan psikologis antara
ibu dan anak. Berkaitan dengan attachment behavior, Ainsworth (dalam Papalia
dan Old, 1986) menyebutkan ada mekanisme yang disebut dengan “working
model” atau istilah Bowlby disebut dengan “internal working model”.
Menurut Bowlby (dalam Shaver & Mikulincer, 2004), manusia dilahirkan
dengan suatu innate psychobiological system (the attachment behavioral system)
yang mendorong mereka untuk mendekat dengan sifnificant others (figur lekat)
pada waktu dibutuhkan. Tujuan sistem ini adalah pencapaian seutuhnya atau
mendapat perlindungan dan rasa aman. Sistem ini akan diaktivasi saat ancaman
secara nyata atau berpotensi pada rasa aman individu. Individu secara otomatis
cenderung mencari perlindungan dan kenyamanan pada figur lekat nyata atau
menginternalisasikan representasi mereka, dan mempertahankan attachment baik
secara nyata atau simbolik dengan figur tersebut hingga tahap perlindungan dan
keamanan dicapai.
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan
mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri
(self) dan orang lain (others) yang akan menjadi prototip dalam hubungan sosial
Universitas Sumatera Utara
(Bowlby dalam Pervin et al., 2005). Bolwby (dalam Shaver & Mikulincer, 2004)
menyatakan bahwa tidak ada orang di usia berapapun secara sempurna bebas dari
ketergantungan dengan orang lain secara nyata dan bahwa sistem attachment akan
tetap aktif dalam seluruh rentang kehidupan.
Mc Cartney & Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan
menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working
model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah, “Internal” : karena
disimpan dalam pikiran; “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku
dan “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam
membina hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu
hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Model ini
selanjutnya akan menggiring mereka dalam interaksi di masa yang akan datang.
Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran
mental yang dimiliki seorang anak.
Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins dan Read
(dalam Ervika, 2005) yang terdiri dari empat komponen yang saling berhubungan,
yaitu;
a) Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan pengalaman
b) Kepercayaan, sikap, dan harapan mengenai diri dan orang lain yang
dihubungkan dengan attachment
c) Attachment dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal and needs)
d) Strategi dan rencana yang diasosiasikan dengan pencapaian tujuan
attachment
Universitas Sumatera Utara
Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar (Mc Cartney &
Dearing, 2002). Pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan pengasuh,
khususnya ibu. Anak yang memiliki orang tua yang mencintai dan dapat
memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif
yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan
mengembangkan model yang paralel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang
mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan
digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain. Sebaliknya anak yang
memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan
(mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin
hubungan sosial.
Menurut Bowlby (dalam Shaver & Mikulincer, 2004) internal working
model dan figur lekat saling melengkapi serta saling menggambarkan dua sisi
hubungan tersebut. Anak yang diasuh dengan kehangatan, sensitifitas, dan
responsifitas akan mengembangkan internal working model yang positif pada
orang tua dan diri sendiri. Internal working model merupakan hasil interpretasi
pengalaman secara terus-menerus dan interaksinya dengan figur lekat.
Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal working
model, yaitu :
1) Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi
kebiasaan yang terjadi secara otomatis
2) Dyadic Pattern, merupakan pola yang timbal balik dan cenderung akan
mengubah
pola
individual
karena
harapan
yang
timbal
balik
Universitas Sumatera Utara
memerintahkan
masing-masing pasangan untuk mengartikan perilaku pihak
lainnya.
Bowlby juga menjelaskan pentingnya perbedaan individu dalam
keberfungsian sistem attachment bergantung pada availability, responsiveness,
dan supportiveness dari figur lekat pada waktu yang dibutuhkan. Interaksi dengan
figur lekat yang available dan responsiveness dapat memudahkan sistem
attachment berfungsi optimal dan mengembangkan sense of attachment security –
perasaan bahwa dunia pada dasarnya merupakan tempat yang aman, figur lekat
pada umumnya membantu dan berguna saat dibutuhkan, dan memungkinkan
menjelajahi lingkungan dan menjalin hubungan dengan orang lain. Sebaliknya,
jika figur lekat tidak dipercaya available dan suportif, rasa aman menjadi tidak
diperoleh. Individu mengalami keraguan dengan self efficacy dan tujuan orang
lain.
Working model diri dan orang lain dilihat oleh Bowlby sebagai faktor
penyebab utama kelancaran antara pengalaman attachment awal dengan kognitif,
perasaan, dan perilaku dalam hubungan selanjutnya. Memberi sebuah pola yang
hampir konsisten dari interaksi dengan figur attachment selama masa kanakkanak dan remaja, sebagian besar representatif atau bentuk dasar working models
dari interaksi ini mengeras dan menjadi bagian pengetahuan individu yang harus
diikuti kemudian. Seperti skema mental lainnya, sebagian besar working model
yang diperoleh secara kronis menjadi inti dari karakteristik kepribadian,
cenderung diaplikasikan dalam situasi dan hubungan baru, dan mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
fungsi sistem attachment pada umumnya dan rangkaian interaksi sosial serta close
relationship berikutnya.
B. Aspek Attachment
Menurut Cassidy (dalam Wilson dan & Daveport, 2003), Bowlby
membedakan tiga aspek attachment menjadi:
a. Attachment Behavior
Attachment behavior atau perilaku attachment adalah tindakan untuk
meningkatkan kedekatan pada figur lekat. Anak akan membuat kontak mata,
menangis, atau membuat gesture (sikap tubuh) sebagai cara untuk mendekati
orang tua mereka.
b. Attachment Bond
Attachment bond merupakan suatu ikatan afeksi; ikatan ini bukan diantara
dua orang, namun suatu ikatan yang dimiliki seorang individu terhadap individu
lainnya yang dirasa lebih kuat dan bijaksana. Individu dapat melekat pada
seseorang yang tidak terikat dengannya. Affectional bonds yaitu ikatan yang
secara relative kekal dimana pasangan merupakan seseorang yang unik dan tidak
dapat tergantikan oleh orang lain. Hubungan ini ditandai dengan adanya
kebutuhan untuk mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami
saat perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan sedih saat kehilangan.
Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual, dan hubungan saudara kandung
serta teman dekat adalah contoh affectional bonds. Hubungan ini digerakkan oleh
Universitas Sumatera Utara
sistem perilaku tambahan, seperti reproduktif, pengasuhan, dan sociable system
(Ainsworth, Greenberg, & Marvin dalam Lemme, 1995).
c. Attachment Behavioral System
Attachment behavioral system merupakan suatu rangkaian perilaku khusus
yang digunakan individu. Bowlby melihat bahwa attachment berakar dalam
sebuah sistem yang disebut dengan attachment behavioral system yang ia yakini
berkembang secara universal di semua spesies. Tujuan attachment system adalah
untuk mencapai kedekatan antara orang tua dan anak, meningkatkan perlindungan
dan kelangsungan hidupnya. Bowlby berpendapat bahwa attachment behavioral
system memberikan sebuah fungsi evolusioner karena dapat menyarankan
perlindungan anak yang bergantung pada orang dewasa demi keselamatan.
Bowlby juga menyatakan bahwa terdapat dua behavioral system lainnya
yang berinteraksi dengan attachment behavioral system. Pertama adalah
exploratory behavioral system yang meningkatkan kelangsungan hidup karena
rasa ingin tahu membantu anak untuk belajar dan beradaptasi pada lingkungan
mereka. Sistem ini mengurangi perilaku attachment. Kedua, fear behavioral
system menunjukkan keamanan dan sebagai hasilnya, membentuk sistem
attachment.
Cassidy menjelaskan beberapa hal mengenai teori attachment yaitu:
1. Affectional bond hanya mengutamakan hubungan orang tua dan anak
2. Anak akan mendemonstrasikan perilaku attachment dengan seorang yang
tidak berada dalam attachment bond.
Universitas Sumatera Utara
3. Anak mengalami multiple attachment tapi kualitas affectional bond
berbeda di masing-masing hubungan. Kualitas ikatan (bond) dipengaruhi
oleh jumlah interaksi, kualitas pemberian kasih sayang, dan emosional
yang ditanamkan oleh pengasuh.
C. Pola Attachment pada Anak
Pola attachment dikelompokkan berdasarkan hasil penelitian Mary
Ainsworth dengan menggunakan Strange Situation (SS). Ainsworth membagi
dalam tiga pola menjadi secure, avoidant, dan resistant atau ambivalent
attachment. Kemudian Main dan Solomon menambahkan kategori keeempat yaitu
disorganized/disoriented attachment.
a. Pola Secure Attachment
Anak dengan pola secure attachment menunjukkan distress pada saat
ditinggalkan pengasuh dan ketika bertemu kembali, pengasuh dan anak terlihat
senang melihat satu dan lainnya serta langsung memulai berinteraksi.
Karakteristik interaksi orang tua dan anak dalam pola ini antara lain:
1. Komunikasi pengasuh dan anak terlihat hangat dan sensitif. Anak tidak
kelihatan takut untuk menunjukkan rasa marah.
2. Pengasuh membolehkan autonomi sesuai dengan usia dan kesempatan
untuk bereksplorasi. Terdapat fleksibilitas dalam kedekatan: anak dan
pengasuh beraktifitas secara independen dan saling bersentuhan satu dan
lainnya dari waktu ke waktu.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengasuh terlihat memiliki pandangan yang logis mengenai attachment
dan mengetahui pentingnya hal tersebut bagi anak.
4. Pengasuh dan anak terlihat senang dalam berinteraksi.
b. Pola Avoidant Attachment
Anak dengan pola avoidant terus-menerus menunjukkan tanda-tanda
psikologis adanya kecemasan. Anak sering menghindar dari pengasuh. Pengasuh
juga tidak terlalu memperhatikan anak dan lebih fokus dengan situasi sekitar.
Strategi untuk menarik diri dari pengasuh meskipun psychological arousal
menyarankan anak untuk berusaha meniadakan perasaan-perasaan tidak aman
dengan fokus pada objek sekitar.
Beberapa karakteristik hubungan antara orang tua dan anak dalam pola ini
antara lain:
1. Pengasuh merespon secara negatif saat anak berusaha membuat kontak:
pengasuh menghindar saat anak merasa sedih.
2. Pengasuh terlihat menunjukkan perilaku menolak (rejecting) pada anak.
3. Anak lebih menunjukkan rasa marah di rumah
4. Perilaku bermain menunjukkan adanya gangguan dari kebutuhankebutuhan attachment.
c. Pola Resistant atau Ambivalent Attachment
Anak terlihat sangat lengket dengan pengasuh karena pengalamannya yang
sebentar-sebentar ditinggal oleh pengasuh. Namun begitu, anak tidak terlihat
tenang dengan hadirnya pengasuh, malahan tampak marah dan pasif.
Beberapa bentuk hubungan orang tua dan anak pada pola ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Pengasuh terlihat melakukan tugas mengasuhnya namun sering tidak
tampak secara emosional.
2. Anak mempelajari bahwa pengasuhnya mampu berespon jika ia terus
memperlihatkan perhatian sehingga anak tetap berada dalam jarak yang
dekat dengan pengasuh.
3. Beberapa anak berhati-hati terhadap orang tua mereka seperti jalan untuk
membentuk interaksi.
d. Disorganized/disoriented Attachment
Dengan adanya kehadiran pengasuh, anak dengan pola attachment seperti
ini akan:
1) Membeku dengan ekspresi kosong
2) Bangkit saat pengasuh datang
3) Jatuh ke lantai
4) Teringat pada pengasuh saat jauh dari pengasuh
Disorganized attachment umumnya berhubungan dengan sejarah child
abuse dan neglect. Disorganized attachment berasal dari rasa dilema atau
kebingungan yang dihadapi anak untuk mengetahui bagaimana seharusnya
berkelakuan pada pengasuh yang memenuhi kebutuhan attachment anak dengan
memberi siksaan (abusing).
3. Attachment pada Masa Dewasa
A. Dimensi Attachment
Universitas Sumatera Utara
Mengikuti internal working model Bowlby, Bartholomew & Horowitz
(dalam Pervin, Cervone, & John, 2005) membagi dimensi attachment ke dalam
dua bagian, yakni:
a. internal working model of self
Bagian positif diri menjelaskan perasaan bahwa diri bernilai dan berharap
orang lain merespon individu secara positif.
b. internal working model of others
Bagian positif orang lain menjelaskan harapan bahwa orang lain akan ada
dan mendukung, menjalin kedekatan dengan diri mereka.
Masing-masing dimensi tersebut meliputi akhir yang positif dan negatif.
Selanjutnya, dimensi ini dihubungkan dengan empat pola attachment seperti yang
terdapat dalam gambar di bawah ini.
Secure (comfortable
with intimacy and
autonomy)
Positive Others
Positive Self
Preoccupied
(preoccupied with
relationship)
Negative Self
Fearful (fearful of
intimacy socially
avoidant)
Dismissing
(dismissing of
intimacy; counterdependent)
Negative Other
Gambar 1. Bortholomew’s Dimensions of Self and Other Internal Working
Models and Associated Attachment Patterns (Sumber: Pervin, Cervone, & John,
2005)
Universitas Sumatera Utara
B. Pola Adult Attachment (Close Relationship)
Penelitian ini melihat proses attachment pada individu dewasa. Peneliti
attachment yang meneliti remaja dan dewasa fokus pada attachment style – pola
sistematis dari harapan dan emosi, dan perilaku hubungan yang dihasilkan dari
pengalaman attachment sebelumnya (Frales, Saver, & Mikulincer, dalam Shaver
& Mikulincer, 2004). Bortholomew & Horowitz (dalam Shaver & Mikulincer,
2004) mengelompokkan attachment style pada dua bagian pada hubungan orang
dewasa. Bagian attachment style tersebut adalah:
a. Attachment Avoidant Style
Menggambarkan tingkatan dimana individu tidak percaya kebaikan dari
pasangannya
dalam
suatu
hubungan,
berusaha
untuk
mempertahankan
kepercayaan diri, dan jarak emosional dari pasangan dan secara kronis
menggunakan strategi deactivation untuk sejalan dengan attachment insecurity.
b. Attachment Anxiety Style
Menggambarkan tingkat dimana seorang individu cemas jika pasangan
tidak
ada
saat
dibutuhkan
dan
secara
kronis
menggunakan
strategi
hyperactivation.
Individu biasanya menggunakan dua bentuk strategi dalam menghadapi
situasi seperti ini. Strategi tersebut (Mikulincer & Shaver, dalam Shaver &
Mikulincer, 2004) meliputi:
1. Hyperactivation
Yaitu usaha intens untuk memperoleh kedekatan dengan figur lekat dan
memastikan perhatian dan dukungan mereka. Individu yang menggunakan strategi
Universitas Sumatera Utara
hyperactivation secara paksa mencari kedekatan dan perlindungan, menunjukkan
hypersensitive jika ditolak atau diabaikan, dan cenderung mengalami personal
deficiencies, dan mengancam hubungan.
2. Deactivation
Deactivation merupakan kegagalan untuk bertindak mendekat. Individu
yang menggunakan strategi ini cenderung memperbesar jarak dengan orang lain,
mengalami kegelisahan dengan kedekatan, berusaha menguatkan diri, self
reliance, dan menekan pikiran-pikiran dan ingatan buruk.
Individu yang dinilai rendah dalam kedua attachment style tersebut
dikatakan menjadi aman atau memiliki rasa aman yang kuat dan dikelompokkan
dalam secure attachment style.
C. Persamaan Attachment Masa Anak-anak dan Attachment Masa Dewasa
Aplikasi teori attachment pada hubungan cinta romantis dikembangkan
oleh Cindy Hazan dan Philip Shaver (1987), yang menegakkan bahwa gaya
attachment yang berasal dari interaksi antara anak dan orang tua mempengaruhi
hubungan ini dalam cara-cara penting. Mereka memandang bahwa cinta romantis
merupakan sebuah proses biologis yang mengembangkan pencapaian attachment
antara pasangan seksual dewasa yang akhirnya menjadi orang tua dari seorang
anak yang membutuhkan pengasuhan mereka (Hazan & Shaver, dalam Lemme,
1995). Tabel di bawah ini menjelaskan kesamaan antara perilaku attachment pada
anak dan cinta romantis orang dewasa.
Tabel 1. Kesamaan perilaku attachment pada anak dengan cinta romantis orang
dewasa
Universitas Sumatera Utara
Attachment
Romantic Love
Pembentukan dan kualitas attachment Cinta romantis meliputi suatu hasrat
bergantung pada sensitivitas dan respon tinggi untuk tertarik pada pasangan
dari figur attachment.
(baik nyata maupun dalam imajinasi)
dan timbale-balik.
Perasaan senang dan sedih pada anak Mood orang dewasa yang sedang
bergantung pada keberadaan dan respon mencintai bergantung pada persepsinya
dari figur attachment.
saat
ini
mengenai
balasan
atau
penolakan dari pasangan.
Jika hubungan attachment pada anak Saat orang dewasa sedang jatuh cinta,
yang secure, ia akan merasa senang, mereka sering menyatakan perasaannya
memiliki batasan terhadap kesedihan, lebih tenang, tidak bimbang, tidak
dan lebih berinteraksi pada lingkungan defensive, lebih kreatif dan spontan, dan
yang tidak dikenal, juga pada orang lebih berani.
asing.
Perilaku
attachment
meliputi: Cinta
romantis
orang
dewasa
pemeliharaan kedekatan dan kontak – diindikasikan oleh pelukan, sentuhan,
memeluk,
menyentuh,
membelai, belaian, ciuman, ayunan, senyuman,
mencium, mengayun-ayun, tersenyum, melakukan kontak mata, mengikuti, dan
membuat kontak mata, mengikuti, dan lain-lain.
lainnya.
Perpisahan dengan figur attachment Perpisahan
yang
tidak
diinginkan
menyebabkan distress tinggi, ditandai dengan pasangan menyebabkan distress
dengan
perilaku
yang
berlebihan, tinggi, berusaha untuk bersatu kembali,
perhatian sebagai usaha untuk bertemu dan mengakibatkan kesedihan jika tidak
kembali, dan mengakibatkan keputus- memungkinkan untuk bersatu.
asaan
jika
ternyata
tidak
memungkinkan untuk bertemu.
Hasrat tinggi untuk saling bertemu dan Hasrat tinggi untuk berbagi penemuan,
bereaksi dengan figur attachment.
perasaan, pendapat, dan lainnya serta
Universitas Sumatera Utara
memberikan hadiah bagi pasangan
kekasihnya.
Anak mengoceh, ”menyanyi”, berbicara Pasangan kekasih dewasa berbicara,
bahasa bayi, dan figur attachment bernyanyi, berbicara bahasa bayi, dan
berbicara dengan ”bahasa ibu”.
menggunakan
sebagai
nama
wujud
seperti
bayi
sayang
satu
kasih
dengan yang lain.
Shaver dan Hazan menyatakan bahwa pada dasarnya attachment
behavioral system mendasari dua sistem lainnya yakni sistem pengasuhan dan
seksualitas. Tabel di bawah ini menyimpulkan adanya hubungan antara
attachment style, pengasuhan, dan seksualitas.
Tabel 2. Hubungan Antara Attachment Style, Pengasuhan, Dan Seksualitas
Attachment Style
Secure
Pengasuhan
Seksualitas
Memberi dan menerima Berusaha
perhatian dengan senang.
keras
untuk
saling dekat dan merasa
senang.
Anxious/Ambivalent
Memberikan
perhatian Mencoba
dalam pengorbanan diri, memuaskan
cara
yang
tidak
untuk
kebutuhan
kompulsif, akan rasa aman dan cinta
merasa
puas dengan kontak seksual.
dengan perhatian yang
diterima.
Avoidant
Tidak
mampu
atau Menjaga
enggan untuk memberi emosional.
atau menerima perhatian.
jarak
Tidak
memilih-milih.
Universitas Sumatera Utara
B. CHILD ABUSE
1. Pengertian Child Abuse
Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse
berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey
(dalam Tower, 2003) menyebutkan kasus ini dengan Caffey Syndrome. Henry
(dalam Fitri, 2008) menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami
anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang
disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua
atau pengasuh lain. Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk
menggambarkan
kasus
penganiayaan
yang
dialami
anak-anak
adalah
Maltreatment Syndrome, meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan
emosi anak, dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan
ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang
gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan
medis (Gelles dalam Fitri, 2008).
Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal
dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak
baik dilakukan oleh orang tua atau orang lain. Maltreatment sendiri terdiri dari
beberapa bentuk. Abuse mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan,
dan neglect merupakan tidak adanya tindakan atau pengabaian pengasuhan yang
dapat mengakibatkan kerusakan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap
anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang
berakibat penderitaan pada anak.
2. Bentuk-Bentuk Child Abuse
Terdapat empat bentuk child abuse (Tower, 2003):
1. Physical Abuse
Kekerasan yang menyebabkan luka-luka di seluruh tubuh melalui pukulan,
gigitan, tendangan, dan pembakaran.
2. Sexual Abuse
Aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain.
Menurut Child Abuse Prevention Act (dalam Tower, 2003) sexual abuse meliput i:
(i) mempekerjakan, menggunakan, membujuk, merangsang, mengajak, atau
memaksa anak untuk ikut dalam perilaku seksual secara nyata (atau berupa
rangsangan perilaku) untuk tujuan menghasilkan gambaran visual dari perilaku
tersebut
(ii) pemerkosaan, penganiayaan, prostitusi, atau bentuk lain dari eksploitasi
seksual pada anak, ataupun incest pada anak di bawah kondisi yang
mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau
terancam oleh hal-hal tersebut
3. Emotional Abuse
Meliputi tindakan abuse atau neglect yang menyebabkan gangguan
perilaku, kognitif, emosional, atau mental (Papalia, 2004). Garbarino, dan kolega
Universitas Sumatera Utara
(dalam Tower, 2003) memisahkan emotional abuse dalam dua bagian, yaitu
emotional/psychological abuse (meliputi serangan verbal atau emosional,
ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup) dan emotional/psycological
neglect (meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih-sayang, menolak
memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja membiarkan perilaku
maladaptif seperti kejahatan ata penggunaan obat-obatan).
Selanjutnya Garbarino, Guttman, dan Seeley (dalam Tower, 2003)
menyatakan bahwa emotional maltreatment atau
yang disebut
dengan
psychological maltreatment merupakan bentuk perilaku merusak secara fisik yang
meliputi:
1) rejecting (orang dewasa menolak untuk mengakui anak berharga dan
memenuhi kebutuhan anak)
2) isolating (orang dewasa memisahkan anak dari pengalaman sosial normal,
mencegah anak membentuk persahabatan, dan membuat anak yakin bahwa ia
sendirian di dunia ini)
3) terrorizing (orang dewasa menyerang anak secara verbal, menciptakan suasana
takut, mendesak dan menakuti anak, dan meyakini anak bahwa dunia berubahubah dan bermusuhan)
4) ignoring (orang dewasa menghilangkan stimulasi dan respon yang diperlukan
sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan intelektual)
5) corrupting (orang dewasa ‘mis-socializes’ pada anak, memancing anak untuk
melawan
dalam
perilaku
yang
merusak
dan
antisosial,
menguatkan
Universitas Sumatera Utara
penyimpangan, dan membuat anak tidak mampu mengikuti aturan sosial pada
umumnya)
Tower (2003) mengemukakan bahwa psychological abuse merupakan
perilaku merusak yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai ataupun
berkurang esensinya, dan dapat mempengaruhi kemampuan atau proses mental
anak yang meliputi inteligensi, ingatan, pengenalan, persepsi, perhatian, bahasa,
dan perkembangan moral. Sedangkan emotional abuse merupakan respon
emosional yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai terhadap ekspresi emosi
anak dan beriringan dengan perilaku ekspresif.
4. Neglect
Depanfilis dan koleganya (dalam Tower, 2003) menyebutkan bahwa
neglect sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni
physical neglect, educational neglect, dan emotional neglect. Sedangkan Zuravia
dan Taylor membagi neglect menjadi delapan bentuk kelalaian orang tua dalam
hal:
a. physical health care, gagal memberi atau menolak menyediakan kebutuhan
fisik
b. mental health care, gagal atau menolak untuk memenuhi kebutuhan psikis
c. supervision, pengawasan yang tidak cukup di dalam dan luar rumah
d. substitute child care, meninggalkan anak atau tidak kembali selama 48 jam
untuk memberikan perawatan
e. housing hazard, tidak melindungi anak dari bahaya seperti obat-obatan atau
benda berbahaya
Universitas Sumatera Utara
f. household sanitation, tidak memastikan anak terlindung dari makanan basi,
sampah, atau kotoran manusia, meliputi toilet yang tidak berfungsi, dan
sebagainya
g. personal hygiene, tidak menjaga pribadi anak dan kebersihan pakaian, serta
bebas dari kotoran
h. nutrition, gagal untuk memberikan makanan yang cukup dan teratur, serta tidak
melindungi anak dari makanan basi atau diet yang dapat menyebabkan masalah
kesehatan fisik.
Universitas Sumatera Utara
Download