9 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Saham Kieso, Weygandt, dan Warfield

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1
Saham
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2005) mendefinisikan saham sebagai berikut:
“Common stock is the residual corporate interest that bears the ultimate risk of loss and
receives the benefit of succes. It is guaranteed neither dividends nor assets upon
dissolution” (p. 726).
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001) saham adalah:
“Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang
atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah
selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik
perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh
seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan tersebut” (h.5).
Sementara itu, Nasarudin dan Surya (2007) memberi definisi sebagai berikut: “Saham
merupakan instrumen penyertaan modal seseorang atau lembaga dalam suatu perusahaan.
Saham ini dikeluarkan dalam rangka pendirian perusahaan, pemenuhan modal dasar,
atau peningkatan modal dasar” (h.188). Jadi, yang dimaksud dengan saham dalam
penelitian ini adalah tanda bukti yang mencerminkan kepemilikan individu atau badan
atas sebagian ekuitas yang dimiliki suatu perusahaan.
II.1.1 Klasifikasi Saham
Mengacu pada pendapat Kieso et al. (2005), klasifikasi saham secara umum
dapat dibedakan menjadi dua, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Common stock atau saham biasa, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Common stock is the residual corporate interest that bears the ultimate
risk of loss and receives the benefit of succes. It is guaranteed neither
dividends nor assets upon dissolution. But common stockholders generally
9
control the management of the corporation and tend to profit most if the
company is successful. In the event that a corporation has only one
authorized issues of capital stock” (p.726).
2. Preferred stock atau saham istimewa, yang didefinisikan sebagai berikut,
“Preferred stock is a special class of shares that is designated preferred
because it possesses certain preferences or features not possessed by the
common stock” (p.736).
Menurut Fakhruddin (2008), klasifikasi saham dapat dibedakan atas beberapa hal,
seperti yang dijelaskan sebagai berikut.
1. Berdasarkan cara peralihan hak, saham dapat dibedakan atas:
a. saham atas unjuk atau bearer stocks, artinya pada saham tersebut tidak
tertulis nama pemiliknya agar mudah dipindahtangankan dari satu investor
ke investor lainnya. Secara hukum, orang yang memegang saham tersebut
diakui sebagai pemiliknya dan berhak untuk hadir dalam RUPS (Rapat
Umum Pemegang Saham),
b. saham atas nama atau registered stocks, merupakan saham yang ditulis
dengan jelas siapa pemiliknya, di mana cara peralihannya harus melalui
prosedur tertentu.
2. Berdasarkan hak tagihan atau klaim, maka saham terbagi atas:
a. saham biasa atau common stocks, yaitu merupakan saham yang
menempatkan pemiliknya paling junior terhadap pembagian dividen, dan
hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi.
Saham biasa merupakan saham yang paling banyak dikenal dan
diperdagangkan di pasar,
10
b. saham preferen atau preferred stocks, merupakan saham yang memiliki
karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa
menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa
tidak mendatangkan hasil seperti yang dikehendaki investor.
3. Berdasarkan kinerja saham, maka saham dapat dikategorikan atas :
a. blue chip stocks, yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki
reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan
yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen,
b. income stocks, yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan
membayar dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang dibayarkan pada
tahun sebelumnya,
c. growth stocks (well known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki
pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis
yang memiliki reputasi tinggi. Selain itu terdapat juga growth stocks (lesser
known), yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri
namun memiliki ciri seperti growth stocks (lesser known),
d. speculative stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara
konsisten memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun, akan tetapi
mempunyai kemampuan penghasilan yang tinggi di masa mendatang,
meskipun belum pasti,
e. counter cyclical stocks, yaitu saham yang tidak terpengaruh oleh kondisi
ekonomi makro maupun situasi bisnis secara umum. Pada saat resesi
ekonomi, harga saham ini tetap tinggi, di mana emitennya mampu
11
memberikan dividen yang tinggi sebagai akibat dari kemampuan emiten
dalam memperoleh penghasilan yang tinggi pada masa resesi.(h.132)
Nasarudin dan Surya (2007) menambahkan
klasifikasi saham berdasarkan
kinerja saham menjadi satu kategori yaitu emerging growth stocks. “Emerging growth
stocks merupakan saham yang dikeluarkan oleh perusahaan yang relatif lebih kecil dan
memiliki daya tahan yang kuat meskipun dalam kondisi ekonomi yang kurang dan
mendukung. Harga saham jenis ini biasanya sangat spekulatif ”(h.192).
II.1.2 Return dan Risk Investasi Saham
Menurut Gitman (2006) yang dimaksudkan dengan return adalah sebagai berikut:
“The total gain or loss experienced on an investment over a given period of time. It is
commonly measured as cash distribution during the period plus the change in value,
expressed as a percentage of the begining of period investment value” ( p.226).
Mengacu pada pendapat Gitman (2006), return yang dimaksudkan dapat berupa capital
gain dalam investasi saham. Di mana definisi capital gain menurut Gitman (2006)
adalah jumlah yang diperoleh dari selisih antara harga jual (aktual) dengan harga historis
yang terjadi pada saat kita membeli.
Berkaitan dengan risiko (risk) pada investasi saham, maka menurut pendapat
Keown, Martin, Petty, dan Scott (2005), risiko dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Unsystematic risk (εo) : the risk related to an investment return that can be
eliminated through diversification. Unsystematic risk is the result of factors
that are unique to the particular firm. Also called company-unique risk or
diversiable risk.
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsystematic risk
merupakan risiko yang dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi,
12
karena risiko ini hanya ada dalam satu perseroan atau industri tertentu.
Fluktuasi risiko ini besarnya berbeda-beda antara satu saham dengan saham
yang lain. Oleh karena perbedaan itulah, maka masing-masing saham
memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda terhadap setiap perubahaan pasar,
misalnya faktor struktur modal, tingkat likuditas , tingkat keuntungan, dan
hal-hal lain yang berkaitan. Risiko ini disebut juga diversiable risk.
2. Systematic risk (β) : the risk related to an investment return that cannot be
eliminated through diversification. Systematic risk result from factor that
affect all stock. Also called market risk or non diversiable risk. The risk of a
project form the view point of a well-diversiable shareholders. This measure
takes into account that some of project risk will be diversified away as the
project is combined with the firm’s other project, and, in addition, some of
the remaining risk will be diversified away by shareholders as they combine
this stock with other stock in their portofolio.
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa risiko sistematik
merupakan risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan
diversifikasi, karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro
yang dapat mempengaruhi pasar secara keseluruhan, misalnya ada perubahan
tingkat bunga, kurs, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Risiko ini disebut
juga undiversiable risk.
Koefisien beta (β) adalah ukuran sensitifitas saham terhadap pergerakan
pasar. Beta digunakan sebagai ukuran risiko pasar yang relevan untuk
menentukan tingkat keuntungan yang diharapkan. Beta merupakan elemen
13
kunci dalam Capital Asset Pricing Model (CAPM). Beta (β) juga bisa
diartikan sebagai alat ukur volatilitas antara imbal hasil saham dan pasar
secara keseluruhan. Nilai beta dianggap dapat mengukur risiko atas
saham tersebut khususnya risiko sistematis dimana semakin tinggi
fluktuasi antar imbal hasil saham dan pasar maka semakin tinggi pula
risikonya. Beta (β) dapat mengukur kontribusi sebuah saham kepada tingkat
risiko sebuah portofolio, beta (β) secara teoritis adalah ukuran yang tepat dari
tingkat risiko saham. Oleh karena itu, risiko saham dapat dilihat dengan
koefisien beta. Risiko pasar suatu saham diukur dengan koefisien beta (β). Berikut adalah
rumus untuk menghitung beta (β). Rumus 2.1 Koefisien Beta
Beta (β) = ∑ ( X − X )(Y − Y )
∑(X − X )
Di mana :
X
= Variabel yang tidak terikat
Y
= Variabel yang terikat
II.1.2.1 Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Menurut Keown et al. (2005), definisi dari capital asset pricing model (CAPM)
adalah sebagai berikut.
14
“An equation stating that the expected rate of return on an investment is a function of
the risk free rate, the investment’s systematic risk, and the expected risk premium for the
market portofolio of all risky securities“(p.205).
Konsep
hubungan
antara
CAPM
risiko
pada
umumnya
dan
berguna
return. Capital
asset
untuk
mengkuantifikasikan
pricing
model
berfungsi
menjelaskan tingkah laku dari harga – harga sekuritas dan memberikan mekanisme
bagi investor untuk memiliki pengaruh suatu sekuritas terhadap risiko dan return.
CAPM dapat dinyatakan dalam Sekurities Market Line (SML) sebagai berikut :
Rumus 2.2 The Required Rate of Return
ks = Rf + β (Rm - Rf)
Di mana :
Ks
= Tingkat pengembalian yang diharapkan dari suatu saham
RF
= Tingkat pengembalian bebas risiko
β
= Suatu systematic risk yang menjadi tolak ukur sensitivitas return saham
RM
= Tingkat risiko pasar yang diestimasikan / premi risiko pasar
II.1.3 Analisis Penilaian Saham
Mengacu pada pendapat Achelis (2000), analisis penilaian saham dapat
dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu technical analysis dan fundamental
analysis. Definsi technical analysis menurut Achelis (2000) adalah:
15
"Technical analysis is a complicated sounding name for a very basic approach to
investing. Simply put, technical analysis is the study of prices, with charts being the
primary tool “ (p.7).
Sementara itu menurut Block dan Hirt (1999), definisi technical analysis dapat
dijelaskan sebagai berikut:
“The use of charting and the key indicator series to project future market movement”
(p.250).
Berkaitan dengan technical analysis, Block dan Hirt (1999) menjelaskannya sebagai
berikut:
“Technical analysis is based on a number of basic assumption: market value is
determined solely by the interaction of demand and supply. It is assumed that through
there are minor fluctuations in the market, stock price tend to move in trends that persist
for by period. Reveals of trends are caused by shift in demand and supply. Shift in
demand and supply can be detected sooner or later in charts ” (p.250).
Sedangkan menurut Fakhruddin (2008), analisis teknikal adalah:
“Metode analisis saham dengan basis pergerakan harga di masa lalu dengan grafik ”(h.7).
Berkaitan dengan fundamental analysis, Achelis (2000) memberikan pengertian sebagai
berikut:
“Fundamental analysis is the study of economic, industry, and company conditions in an
effort to determine the value of a company's stock. Fundamental analysis typically
focuses on key statistics in a company's financial statements to determine if the stock
price is correctly valued “ (p.52).
Sementara itu, analisis fundamental menurut Syamsir (2004) pada dasarnya
dapat dikatakan sebuah analisis yang dilakukan untuk melakukan penilaian atas sebuah
16
saham dengan menggunakan analisis yang meliputi: analisis perekonomian internasional,
analisis perekonomian nasional, analisis industri, analisis perusahaan. Analisis
fundamental sebagai penilaian suatu efek sangat dipengaruhi dan tidak terlepas dari
kondisi kinerja perusahaan penerbitnya (emiten). Menurut para penganut analisis
fundamental, harga saham merupakan refleksi dari nilai perusahaan yang bersangkutan.
Oleh karena itu dalam melakukan penilaian suatu saham menurut pendekatan
fundamental dapat digunakan teknik analisis rasio.
Berdasarkan pembahasan teori di atas, maka penulis melanjutkan penjabaran
mengenai analisis fundamental. Mengacu pada pendapat Block dan Hirt (1999) analisis
fundamental sering disebut juga share price forecasting model dan sering dipergunakan
dalam berbagai pelatihan analisis sekuritas. Dalam membuat model peramalan harga
saham tersebut, langkah yang penting adalah mengidentifikasikan faktor-faktor
fundamental (seperti kebijakan dividen, pemerintah, bursa, dan sebagainya) yang
diperkirakan akan mempengaruhi harga saham. Secara garis besar, analisis fundamental
sebuah perusahaan dapat digambarkan sebagai berikut :
Berikut ini adalah metode yang dapat digunakan untuk menaksir nilai intrinsik
(intrinsic value) suatu saham dengan pendekatan fundamental:
1. Pendekatan melalui rasio-rasio keuangan yang biasa dipakai untuk
memproyeksikan harga saham di masa mendatang. Mengacu pada pendapat
Munawir (2004) rasio keuangan adalah ratio menggambarkan suatu
hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara jumlah
tertentu dengan jumlah yang lain dan dengan menggunakan alat analisis
berupa ratio ini dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada
penganalisis tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu
17
perusahaan terutama apabila angka ratio tersebut dibandingkan dengan angka
ratio pembanding yang digunakan sebagai standard.
Munawir (2004) mengklasifikasikan rasio keuangan dalam empat bagian,
yaitu:
a. rasio likuiditas, terdiri dari current ratio, cash ratio, acid test ratio, dan
working capital to total assets ratio,
b. rasio leverage, terdiri dari total debt to equity ratio, total debt to total
capital assets, long term debt to equity ratio, tangible assets debt coverage,
dan time interest earned ratio,
c. rasio aktivitas, yaitu total assets turnover, receiveable turnover, average
collection period, inventory turnover, average day’s inventory, dan
working capital turnover,
d. rasio keuntungan, yaitu gross profit margin, operating income ratio,
operating ratio, net profit margin, earning power of total investment, net
earning power ratio dan rate of return for the owners .Lebih lanjut, Weston
dan Brigham (dikutip dalam Sirait, 2005) menambahkan satu rasio lagi
yaitu rasio nilai pasar yang terdiri dari price / earning ratio dan market/
book ratio.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis ratio total debt to
equity, total asset turnover, price earnings ratio dan return on assets.
Berikut adalah pembahasan dari masing-masing ratio yang digunakan
penulis dalam melakukan penelitian.
18
Mengacu pada pendapat Munawir (2004), total debt to equity ratio
mencerminkan perbandingan antara tingkat utang yang dimiliki perusahaan
terhadap modal yang dimiliki oleh perusahaan. Berikut adalah rumus
perhitungan total debt to equity ratio.
Rumus 2.3 Total Debt to Equity Ratio
Total debt to equity ratio = total current liabilities + total long term liabilities
total equity
Menurut
Helfert
(2003)
rasio
yang
paling
sering
digunakan
menghubungkan penjualan dengan aktiva kotor atau penjualan terhadap
aktiva bersih, yaitu asset turnover. Menurut Helfert (2003), “The measure
indicates the size of recorded asset commitment required to support a
particular level of sales or, conversely, the sales dollars generated by each
dollar of assets” (p. 121), sehingga bisa dilihat seberapa besar aktiva secara
keseluruhan mendukung aktivitas perusahaan. Makin tinggi rasio ini maka
makin produktif aktiva perusahaan secara keseluruhan, sehingga penjualan
dan laba perusahaan akan semakin tinggi. Hal ini akan menarik minat
pemegang saham untuk berinvestasi di perusahaan tersebut. Berikut adalah
rumus menghitung total assets turnover.
Rumus 2.4 Total Assets Turnover
Total assets turnover =
net sales
average total assets
19
Return on Assets (ROA), rasio ini menurut Weygandt et al. adalah “An
overall measure of profitability” (p.780). Selain itu, rasio ini juga
mengukur produktivitas penggunaan aktiva dalam menghasilkan laba,
sehingga perlu dipertimbangkan dalam melakukan investasi. Hal ini
dikarenakan rasio tersebut menggambar tingkat efektivitas dan efisiensi
pemanfaatan aktiva dalam menghasilkan laba, sehingga makin tinggi
rasio ini profitabilitas secara keseluruhan semakin tinggi. Hal ini tentu
akan menarik minat investor untuk membeli saham perusahaan tersebut,
sehingga harga saham akan naik. Berikut adalah rumus perhitungan retun
on assets (ROA).
Rumus 2.5 Return on Assets
Return on assets =
net income
total assets
Menurut Weston dan Brigham (dikutip dalam Sirait, 2005), Price
earning ratio (PER) dapat “Memperlihatkan berapa dolar (rupiah) yang
akan dibayar investor untuk setiap laba periode berjalan” (h. 305). Berarti
makin tinggi rasio ini, maka harga saham semakin tinggi. Persamaannya
adalah
Rumus 2.6 Price Earnings Ratio
PER
=
harga per saham
Laba per saham 20
2. Pendekatan dividen, merupakan faktor fundamental yang ikut mempengaruhi
nilai saham di masa yang akan datang.
II.2
Siklus Bisnis (Business Cycle)
II.2.1 Pengertian Siklus Bisnis (Business Cycle)
Business cycle juga didefinisikan sebagai up market dan down market yang
menunjukkan pada suatu kegiatan berulang. Perubahan business cycle antara ekspansi
(up market) dan resesi (down stream) cukup lambat dan secara umum bersifat jangka
panjang selama perekonomian masih ada (Diebold & Rudebusch, 2001, 1).
II.2.2 Tahapan Siklus Bisnis (Business Cycle)
Gambar 2.1 Business Cycle Stage
Mengacu pada pendapat Block & Hirt (2005), tahapan business cycle dapat
digolongkan menjadi empat bagian penting, di mana masing-masing bagian
mencerminkan kebijakan yang akan diambil oleh perusahaan. Satu dari pengaruh utama
pada dividen adalah tingkat pertumbuhan penjualan (sales) dari perusahaan dan
perkembangan dari return on assets. Empat tahap dari business cycle yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
21
1. Tahap pertama (Development). Pada perusahaan kecil dalam tahap awal dari
pengembangan, perusahaan tidak memberikan dividen. Hal ini dikarenakan
jika perusahaan mengalami keuntungan (jika ada) perusahaan akan
melakukan investasi kembali (reinvestment) terhadap assets baru yang
produktif. Jika perusahaan memperoleh kesuksesan dalam pasar, maka
permintaan akan produk perusahaan akan menciptakan pertumbuhan dalam
penjualan (sales), earnings, dan assets,
2. Tahap kedua (Growth). Pada tahap ini penjualan (sales) dan return on
assets akan bertumbuh dan menghasilkan tingkat persentase yang lebih
tinggi dan earnings akan tetap diinvestasikan. Pada bagian awal dalam
tahap ini, perusahaan boleh memberikan stock dividends (distribusi dari
saham tambahan) dan pada bagian akhir perusahaan dapat memberikan
cash dividends kepada para pemegang saham atau investor, pemberian cash
dividends ini menandakan perusahaan yang sudah memperoleh keuntungan
namun masih memerlukan cash untuk investasi internal,
3. Tahap ketiga (Expansion). Setelah memasuki tahap ketiga, perluasan dari
penjualan
(sales)
mulai
menunjukkan
perkembangan,
namun
perkembangan ini tidak sama besarnya dengan perkembangan penjualan
(sales) pada tahap sebelumnya dan return on investment mungkin turun
sebagai hasil dari persaingan yang timbul dalam pasar (market) dan
perusahaan mencoba untuk mendapatkan market share. Selama periode ini
perusahaan memiliki kemampuan untuk membayarkan cash dividends
secara berlebih. Stock dividends dan stock split dilakukan oleh perusahaan
22
dalam tahap ini, hal ini dikarenakan perluasan assets yang melambat dan
perusahaan memiliki dana yang diperoleh dari pihak luar, dividend payout
ratio juga naik pada umumnnya dari level rendah yaitu 5 sampai 15 persen
dari earnings sampai pada level moderate yaitu 20 sampai 30 persen dari
earnings,
4. Tahap keempat (Maturity). Pada tahap ini perusahaan menunjukkan tingkat
persentase penjualan (sales) dan ekonomi secara keseluruhan yang stabil,
perusahaan juga memiliki risk premium. Pada perusahaan yang kurang
beruntung, perusahaan akan mengalami kerugian (decline). Hal ini
dikarenakan dalam penjualan perusahaan tidak melakukan inovasi dan
diversifikasi produk yang akan dilakukan pada tahun tersebut. Dalam tahap
ini perusahaan memberikan cash dividends yang tinggi. Hal ini dikarenakan
investasi perusahaan cenderung turun dibandingkan dengan tahap-tahap
sebelumnya, perusahaan sudah mengalami kestabilan.
Berdasarkan uraian business cycle stage yang dijabarkan menurut Block & Hirt
(2005), dapat disimpulkan bahwa business cycle dapat diukur dengan melihat tingkat
penjualan (sales) yang terjadi pada setiap tahunnya. Akan tetapi, dalam penelitian ini
peneliti mengukur business cycle yang dialami dengan cara membandingkan net cash
flow yang ada pada masing-masing tahun, earnings per share (EPS) dan dividend per
share.
23
Sedangkan mengacu pada pendapat Kotler (2003) tahapan siklus bisnis dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Introduction
A period of slow sales growth as the product is introduced in the market.
Profit are nonexistent because of the haevy expense incurred with product
introduction.
2. Growth
A periodof rapid market acceptance and substantial profit improvement.
3. Maturity
A period a slowdown in sales because the product has achieved acceptance
by most potential buyers. Profit stabiliize or decline because of increase
competition.
4. Decline
The period when sales show a downward and profit erode.
Gambar di bawah ini adalah tahapan siklus bisnis menurut Kotler (2003):
Gambar 2.2 Business Cycle Stage (Kotler)
24
II.3
Penjualan Bersih (Net Sales)
Mengacu pada pendapat Kieso et al. (2005), penjualan bersih merupakan
pendapatan yang diterima oleh suatu perusahaan berdasarkan jumlah unit yang terjual
dikalikan dengan harga per unit lalu dikurangi dengan diskon penjualan dan retur
penjualan. Berikut adalah rumus menghitung penjualan bersih (net sales) menurut Kieso
et al. (2005).
Rumus 2.7 Net Sales
Penjualan Kotor
: xxx
-/- Diskon Penjualan : (xxx)
II.4
-/- Retur Penjualan
: (xxx)
Penjualan Bersih
: xxx
Net Cash Flow
Mengacu pada pendapat Kieso et al (2005), net cash flow merupakan arus kas
penerimaan dan arus kas pengeluaran yang terjadi pada setiap aktivitas selama periode
berjalan. Arus kas penerimaan dan pengeluaran terjadi pada aktivitas operasi (operating),
investasi (investing), dan pendanaan (financing).
Kieso et al. (2005), mengklasifikasikan arus kas sebagai berikut:
1. Operating activities involve the cash effect of transaction that enter into the
determination of net income, such as cash receipt from sales of goods and
services and cash payments to suppliers and employment for acquisitions of
inventory and expense.
25
2. Investing activities generally involve long term assets and include (a)
making and collection loans and (b) acquiring and disposingof investment
and productive long-lived assets.
3. Financing activities involve liability and stockholders equity items and
include (a) obtaining cash from creditors and repaying the amounts
borrowed and (b) obtaining capital froms owners and providing them with a
return on, and a return of: their investment.
Secara keseluruhan arus kas masuk (cash inflow) dan arus kas keluar (cash
outflow) dapat digambarkan seperti tampilan di bawah ini.
Gambar 2.3 Cash Inflow dan Cash Outflow
Mengacu pada pendapat Stowe, Robinson, Pinto, dan Mcleavey (2007) nilai net
cash flow yang didiskontokan dapat berguna dalam menilai intrinsik saham. (h.108)
II.4.1 Kegunaan Laporan Arus Kas (Statement of Cash Flow)
Mengacu pada pendapat Kieso et al (2005), kegunaan dari laporan arus kas
(statement of cash flow) adalah sebagai berikut.
26
1. The entitiy’s ability to generate future cash flow
2. The entity’s ability to pay dividends and meet obligations.
3. The reasons for the difference between net income and ne cash flow from
operating activities.
4. The cash and noncash investing and financing transactions during the period.
II.5
Earnings Per Share
Menurut Kieso et al. (2005) earnings per share dapat didefinisikan sebagai
berikut:
“Earnings per share is a ratio commonly used in prospectus, proxy material, and annual
reports stockholders“ (p.42).
Perhitungan earnings per share dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:
Rumus 2.8 Earnings per Share
Earnings per share =
Net income – Preferred dividends
(EPS)
Weighted average of common shares outstanding
II.6
Dividend
Menurut Ross, Westerfield, dan Jordan (2003) pengertian dividen adalah:
“Payment by a corporation to shareholders, made in either cash or stock. Dividends
paid to shareholders represent a return on the capital directly or indirectly contributed
to the corporation by the shareholders“ (p.255).
Sementara itu, menurut Fakhruddin (2008), dividen dapat didefinisikan sebagai
berikut:
27
“Pembagian sebagian laba perusahaan kepada para pemegang saham. Penentuan
pembagian dividen ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS )” (h.53).
II.6.1 Jenis-jenis Dividend
Menurut Kieso et al. (2005), jenis dividend dapat dikategorikan sebagai berikut.
1. Cash dividend, merupakan pembayaran dividen secara tunai kepada para
pemegang saham yang berasal dari laba bersih perusahaan sebelumnya,
2. Property dividend, merupakan pembayaran dividen dalam bentuk sebuah
assets di sebuah perusahaan selain kas,
3.
Liquidating dividend, merupakan dividen yang didasarkan bukan dari
retained earnings,
4. Stock dividend, merupakan dividen yang diberikan kepada pemegang saham
dalam bentuk saham.(h.739)
Sementara itu mengacu pada pendapat Fakhruddin (2008), jenis dividen secara
umum dapat dikategorikan sebagai berikut.
1. Dividen tunai (cash dividend), merupakan pembayaran dividen secara tunai
(cash) kepada para pemegang saham yang berasal dari keuntungan tahun
tersebut atau akumulasi dari keuntungan pada tahun sebelumnya,
2. Dividen non kas (stock dividend), yaitu dividen yang diberikan emiten
kepada para pemegang saham dalam bentuk saham, sehingga jumlah saham
28
yang dimiliki pemegang saham akan bertambah. Umumnya dividen jenis ini
diberikan emiten karena emiten tidak memiliki cash yang cukup.(h.141)
II.6.2 Pengertian Kebiijakan Dividend
Gitman (2006) mendefinisikan kebijakan dividen sebagai berikut:
“The firm’s plan of action to be followed whenever a dividend decision is made“(p.597).
Mengacu pada pendapat Gitman (2006), perusahaan harus mengembangkan
kebijakan dividen yang sesuai dengan tujuannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen terdiri dari legal constraints, contractual constraints, internal
constraints, the firm’s growth prospects, owner consideration, market consideration.
Sedangkan menurut Fakhruddin (2008), kebijakan dividen dapat didefinisikan
sebagai berikut:
“Kebijakan manajemen perusahaan yang berhubungan dengan hal pembagian dividen
kepada para pemegang saham“(h.55).
II.6.3 Jenis-jenis Kebijakan Dividend
Mengacu pada pendapat Gitman (2006), jenis-jenis kebijakan dividen dapat
digolongkan menjadi tiga bagian, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Constant-payout-ratio dividend policy adalah kebijakan dividen yang
didasarkan dengan persentase tertentu dari pendapatan.
2. Regular dividend policy adalah kebijakan dividen yang didasarkan atas
pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periode.
Seringkali kebijakan dividen teratur digunakan dengan memakai target rasio
pembayaran dividen.
29
3. Low-regular-an-extra dividend policy adalah kebijakan dividen yang
didasarkan pembayaran dividen rendah yang teratur, ditambah dengan
dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan. Pengambilan keputusan finansial
oleh manajemen dapat menyebabkan perubahan nilai saham perusahaan.
II.6.4 Strategi Pembagian Dividend
Mengacu pada pendapat Bodie, Kane, dan Marcus (2002), ada dua asumsi yang
mendasari kebijakan dividen, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Kebiijakan dividen pada perusahaan yang tidak sedang tumbuh (a low
investment rate plan). Pada perusahaan-perusahaan yang termasuk kategori
ini mampu membayarkan dividen lebih tinggi pada awal periode tetapi
pertumbuhan dividen pada tahun-tahun berikutnya menjadi lebih rendah.
2. Kebijakan dividen dalam perusahaan yang sedang tumbuh (a high
reinvestment rate plan). Perusahaan yang sedang tumbuh akan memberikan
dividen relatif lebih rendah pada awalnya. Hal ini berkaitan dengan adanya
rencana reinvestasi dari sebagian laba yang diperolehnya. Karena sebagian
perolehan laba tersebut akan digunakan sebagai laba ditahan untuk
membiayai
aktivitas ekspansinya
(reinvestment).
Tetapi
perusahaan-
perusahaan yang termasuk kelompok perusahaan yang sedang tumbuh akan
mampu menghasilkan tingkat pertumbuhan dividen yang lebih tinggi pada
tahun-tahun berikutnya. Walaupun sebagian besar perusahaan kelompok ini
mempertahankan rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) yang
tetap. Namun pertumbuhan laba yang lebih besar akhirnya memberikan
dividen yang lebih besar.(h.538)
30
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan waktu pembagian dividen yaitu :
1. Tanggal pengumuman (declaration date), yaitu tanggal pengumuman bentuk
dan besarnya dividen.
2. Tanggal cum dividen (cum dividend date), yaitu tanggal terakhir
perdagangan saham yang masih melekat hak dividen.
3. Tanggal ex-dividen (ex-dividend date), yaitu tanggal di mana perdagangan
saham sudah tidak melekat hak dividen.
4. Tanggal pencatatan dalam daftar pemegang saham (date of record), yaitu
tanggal yang menyebutkan bahwa seorang investor tercatat sebagai
pemegang saham suatu perusahaan maka memiliki hak yang diperuntukkan
bagi pemegan saham, (e) tanggal pembayaran (date of payment).
II.6.5 Alternatif Pembagian Dividend
Menurut Sulistyastuti (2002), strategi perusahaan membagikan dividen tidak
hanya melalui pemberian dividen baik tunai maupun saham. Strategi pemberian dividen
seringkali dilakukan juga melalui pembelian kembali sebagian saham (stock repurchase
/ buy back). Salah satu tujuan pembelian kembali saham yang telah beredar (stock
repurchase / buy back) adalah untuk menghindari kemungkinan pengambilalihan
perusahaan oleh pihak lain (takeover). Selain mengantisipasi kemungkinan takeover,
stock repurchase juga bertujuan untuk meningkatkan likuiditas saham. Ketika saham
yang beredar di masyarakat sudah terlalu banyak, seringkali saham tersebut tidak likuid
kecuali likuiditas yang rendah. Jumlah saham yang terlampau besar menyebabkan harga
saham tersebut terlalu murah (undervalued), Secara teoritis, stock repurchase dapat
meningkatkan harga saham, dengan tindakan perusahaan tersebut jumlah saham yang
beredar akan turun. Jika pertumbuhan laba dan rasio pembayaran dividen konstan, maka
31
penurunan jumlah saham yang beredar akan meningkatkan earnings per share (EPS).
Diketahui bahwa harga saham merupakan hasil perkalian antara price earnings ratio
(PER) dengan earnings per share (EPS) sehingga hal tersebut akan memberikan dampak
pada kenaikkan harga saham. Hal ini memberikan kesempatan kepada para pemegang
saham untuk mendapatkan capital gain dari kenaikkan harga saham. Perolehan capital
gain inilah yang dianggap sebagai pengganti saham.
Alternatif pembagian saham yang lainnya bisa melalui pemecahan nilai nominal
saham atau stock split. Walaupun pemecahan nilai nominal saham tidak menambah
kekayaan pemegang saham, akan tetapi pemecahan nilai nominal diharapkan dapat
meningkatkan likuiditas saham sehingga perdagangan saham menjadi semakin aktif.
Peningkatan likuiditas transaksi saham pada gilirannya dapat memacu kenaikan harga
saham (apresiasi). Dengan adanya apresiasi harga saham berarti memungkinkan investor
memperoleh capital gain secara lebih tinggi dibandingkan sebelum stock split.
Sebagaimana asumsi pada stock repurchase bahwa adanya peningkatan capital gain
dapat dianggap pengganti dividen, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan
pendapatan investor sehingga secara teoritis stock split dapat dijadikan alternatif
dividen.(h.22)
II.7
Dividend Discounted Model
Menurut pendapat Sulistyastuti (2002) dividend discounted model (DDM) adalah
“model
untuk
menghitung
nilai
instrinsik
saham
berdasarkan
pertumbuhan
dividen“ (h.41).
Dividend discounted model (DDM) mengasumsikan bahwa nilai saham
merupakan present value semua aliran dividen di masa yang akan datang. Model ini
32
mendasarkan pada dividen sebagai sumber pendapatan. Penentuan nilai instrinsik saham
dengan dividend discounted model (DDM) berarti memprediksi saham agar investor
terhindar dari harga saham yang mahal (overpriced). Ada tiga asumsi yang menjadi
dasar dalam menghitung dividend discounted model (DDM), yaitu dividen tidak tumbuh
(zero growth model), dividen yang tumbuh konstan (constant growth model), dan
dividen yang tumbuh melebihi tingkat pengembalian pada saat perusahaan sedang
tumbuh (supernormal growth model).
II.7.1
Dividend Discounted Model with Zero Growth Model
Dividend discounted model (DDM) yang paling sederhana adalah model tanpa
pertumbuhan (zero growth model). Model ini sesuai untuk menentukan nilai
fundamental saham preferen. Penentuan nilai fundamental saham biasa akan tepat
menggunakan metode ini bila periode investasi maksimal satu tahun.
Rumus 2.9 Dividend Discounted Model with Zero Growth Model
Vo
=
D
k
Di mana :
Vo
=
Nilai Instrinsik Saham
D
=
dividen yang tidak tumbuh (zero growth)
k
=
tingkat pengembalian yang diharapkan (required rate of return on stock)
II.7.2 Dividend Discounted Model with Constant Growth Model
Suatu saham dengan dividen yang tumbuh konstan maka nilai instrinsiknya dapat
dihitung dengan constant growth model. Constant growth model paling sesuai untuk
33
menilai saham perusahaan yang telah mencapai tahap matang (mature company).
Perusahaan yang telah mencapai pendewasaan biasanya mempunyai retention ratio yang
konstan. Demikian juga return on equity yang cenderung stabil, maka pertumbuhan
dividennya menjadi konstan. constant growth model didasarkan atas tiga asumsi yaitu :
1. Perusahaan mempertahankan rasio pembayaran dividen (dividend payout
ratio) secara tetap dari tahun ke tahun.
2. Setiap laba yang diinvestasikan kembali memperoleh tingkat keuntungan
yang sama tiap tahunnya.
3. Implikasinya EPS maupun DPS akan meningkat dengan prosentase secara
konstan tiap tahunnya.
Rumus 2.10 Dividend Discounted Model with Constant Growth Model
Vo
=
D(1 + g )
k−g
Di mana :
Vo
=
Nilai Instrinsik Saham
D
=
Dividen yang diberikan pada periode tersebut (dividen payment in the
related period)
g
=
pertumbuhan dividen secara konstan
k
=
tingkat pengembalian yang diharapkan
34
II.7.3
Dividend Discounted Model with Supernormal Growth Model
Pertumbuhan dividen supernormal mengasumsikan bahwa pertumbuhan
dividen tidak sama sepanjang masa. Dividend discounted model (DDM) dengan
pertumbuhan dividen supernormal merupakan DDM dengan pertumbuhan dua tahap.
Model ini labih realistis karena pertumbuhan dividen pasti tidak akan sama sepanjang
masa. Pada periode pertumbuhan perusahaan, pertumbuhan dividen juga menunjukkan
tingkat pertumbuhan yang tinggi yaitu growth rate (g) melebihi required rate of return
(k), kemudian pertumbuhan dividen akan menurun setelah periode tertentu. Selanjutnya
perusahaan yang sudah mencapai tahap pendewasaan (mature) memiliki tingkat
pertumbuhan dividen yang konstan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perusahaan-perusahaan tidak memiliki pertumbuhan dividen yang konstan sepanjang
masa. DDM dengan pertumbuhan dividen supernormal memiliki dua tingkat
pertumbuhan (growth rate, g). Pada periode awal growth rate (g) melebihi required rate
of return (k). Kemudian pertumbuhan dividen akan menurun setelah periode tertentu
sehingga required rate of return (k) melebihi growth rate (g). Model pertumbuhan
dividen supernormal sesuai untuk menentukan nilai intrinsik saham perusahaan yang
sedang tumbuh (growth company). Perusahaan yang sedang tumbuh (growth company)
memberikan ROE yang besar.
Nilai Intrinsik dengan pertumbuhan dividen supernormal :
Rumus 2.11 Dividend Discounted Model with Supernormal Growth Model
Vo =
D1
D2
D3
Do(1 + g 1) 4 (1 + g 2)
+
+
+
(1 + k ) (1 + k ) 2 (1 + k )3
(k − g )(1 + k ) n
35
Di mana :
Vo
=
Nilai Wajar Saham (value of stock)
Do
=
Dividen yang dibagikan pada tahun perhitungan
D1
=
Dividen yang dibagikan pada tahun 1
D2
=
Dividen yang dibagikan pada tahun 2
D3
=
Dividen yang dibagikan pada tahun 3
k
=
tingkat pengembalian yang diharapkan (required rate of return on stock)
g1
=
Growth tahun pertama
g2
=
Growth tahun kedua II.8 Program Linier
Definisi linier programming menurut Taylor (2002) adalah
“Linier programming is a model cosisting of linier relationships representing a firm’s
decision(s) given an objective and resource constraints”(p.27)
Ada tiga langkah dalam mengaplikasikan program linier
1. Identifikasi bahwa masalah dapat dipecahkan menggunakan program linier
2. Masalah yang tidak terstruktur dapat diformulasikan sebagai model
matematika
3. Model harus di pecahkan menggunakan tehnik matematik yang dibuat.
36
Model program linier terdiri dari komponen-komponen umum dan karakteristik.
Komponen model terdiri dari variabel keputusan, fungsi tujuan dan model constraints
atau batasan.Variabel keputusan adalah simbol matematik yang mewakili tingkat
kegiatan.
Fungsi
tujuan
(objective
function)
adalah
hubungan
linier
yang
menggambarkan tujuan dari operasi kegiatan.sedangkan model batasan (constraints
model) merefleksikan batasan dalam pembuatan keputusan.
II.8.1 Solver Method for Regression
Mengacu pada pendapat Aczel dan Sounderpandian (2002), tools solver-add ins
pada Microsft Excel dapat digunakan untuk membuat sebuah model prediksi dengan
bentuk persamaan seperti model regresi. Dalam tools solver-add ins, terdapat changing
cell yang dapat diisi dengan nilai intercept atau slope dari model prediksi yang akan
dibuat. Selain itu, dalam solver add-ins terdapat contraint yang berfungsi sebagai
pembatas untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
Menurut pendapat Chandan Sengupta (2004), solver dapat dijelaskan sebagai
berikut.
“Excel provides a special tool called Solver that you can use to answer this type of
question independently or, more powerfully, as part of a model“ (p.69).
II.9
Control Charts
Menurut Aczel dan Sounderpandian (2002), definisi control charts adalah:
“A control chart is a time plot of a statistic, such as a sample mean, range, standar
deviation, or proportion, with a centerline and upper and lower control limits. The limits
give the desired range of values for the statistic. When the statistic is outside the bounds,
or when its time plot reveals certain patterns, the process may be out of contro “ (p.641).
37
Mengacu pada pendapat Aczel dan Sounderpandian (2002), upper and lower
control adalah nilai batasan toleransi dari nilai tengah (centerline). Jika terdapat nilai
yang berada diluar batasan upper and lower limits, maka nilai itu merupakan nilai yang
tidak bisa dikendalikan dan harus dikoreksi. Standar deviasi yang dipakai dalam
membuat lower dan upper limits control dapat berupa dua atau tiga kali standar deviasi.
Aczel dan Sounderpandian (2002) memberikan gambaran mengenai control charts
sebagai berikut.
Gambar 2.4 Control Charts
II. 9.1 Standar Deviasi
Menurut Supranto (2000), definisi dari standar deviasi (simpangan baku) adalah
sebagai berikut.
“Simpangan baku merupakan salah satu ukuran dispersi yang diperoleh dari akar kuadrat
positif varians. Varians merupakan rata-rata hitung dan kuadrat simpangan setiap
pengamatan terhadap rata-rata hitungnya” (h.129).
38
Rumus standar deviasi (simpangan baku) menurut Supranto (2000) adalah sebagai
berikut.
Rumus 2.12 Standar Deviasi
∑ (Χ − Χ )
2
=
(n − 1)
Di mana :
X
= data atau nilai sampel
X
= rata-rata sampel
n
= banyaknya sampel
II.9.2 Mean of Square Error (MSE)
Definisi mean of square error (MSE) menurut Aczel dan Sounderpandian
(2002) adalah
“The mean of square error is an unbiased estimator of the variance of the population
error ” (p.510)
Berikut adalah rumus untuk menghitung mean of square error (MSE).
Rumus 2.13 Mean of Square Error
n
∑ (Y
j −
MSE =
Y j) 2
SSE
j =1
=
n − (k + 1)
n − (k + 1)
Di mana:
SSE
= Sum of Square Error
39
Yj
= Harga Aktual
Yj
= Harga Prediksi
n
= Jumlah Sampel
k
= variabel bebas
II.10 Interval Kelas
Mengacu pada pendapat Supranto (2000), pembagian interval kelas dapat
menggunakan rumus sebagai berikut.
Rumus 2.14 Interval Kelas
Di mana :
c = Xn – X1
k
c
= perkiraan besarnya (class width, class size, class length)
k
= banyaknya interval kelas
Xn
= nilai observasi terbesar
X1
= nilai observasi terkecil
II.11 Metode Rata-rata Bergerak (Moving Average)
Mengacu pada pendapat Supranto (2000), jika dalam penelitian terdapat data
berkala, maka untuk menghitung rata-rata bergerak selama beberapa waktu dapat
menggunakan rumus sebagai berikut.
40
Rumus 2.15 Moving Average
Moving Average =
Y 1 + Y 2 + Y 3 + ...... + Yn
n
Di mana:
Y
= Nilai data pada periode tertentu
n
= Jumlah periode
Di dalam data berkala, rata-rata bergerak (moving average) sering dipergunakan
untuk memuluskan fluktuasi yang terjadi dalam data tersebut. Proses pemulusan ini
disebut dengan pemulusan data berkala.
II.12
Metode Relatif Bersambung
Mengacu pada pendapat Supranto (2000), metode relatif bersambung dapat
digunakan untuk mengukur tingkat pertumbuhan yang terjadi selama beberapa periode.
Berikut adalah rumus dalam metode relatif bersambung.
Rumus 2.16 Relatif Bersambung
Relatif Bersambung =
Yt − Yt − 1
Yt
Di mana:
Yt
= Nilai pada periode berjalan
Yt-1
= Nilai pada periode sebelumnya
II.13 Present Value
Menurut Kieso et al.(2005), definisi dari present value adalah sebagai berikut.
41
“The value now (present value) of a future sum or sums discounted asssuming compound
interest“(p.258)
Dalam menghitung dividend per share yang terjadi pada setiap kuartal penulis
menggunakan konsep time value of money. Nilai dividen per share yang diperoleh pada
akhir tahun digunakan sebagai nilai future value. Berikut rumus perhitungan present
value.
Rumus 2.17 Present Value
FV
PV = ----------( 1 + k )t
Di mana :
PV
= present value
FV
= future value
k
= suku bunga Bank Indonesia
t
= time
Tabel 2.1 Present Value Quarterly
Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
PV = FV/( 1 + n )3
PV = FV/( 1 + n )2
PV = FV/( 1 + n )1
Future Value
42
Download