Kepemimpinan Dan Dakwah

advertisement
http://sumut.kemenag.go.id/
Kepemimpinan Dan Dakwah
Oleh : Amin Maskur, S.Ag
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi orang atau sekelompok
orang ke arah penetapan dan pencapaian tujuan. Kepemimpinan juga berarti seni
mempengaruhi individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Orang yang
melakukan tindakan kepemimpinan disebut pimpinan yang pada gilirannya juga disebut
pemimpin. Dalam kosakata bahasa Inggris kepemimpinan merupakan terjemahan dari
Leadership yang artinya lebih kurang sama dengan defenisi di atas. Sebagaian pakar
mendefenisikan
: Leadership is the key to management (Kepemimpinan adalah inti dari
managemen).
Sedangkan dalam literarur Islam kata pemimpin atau memimpin ditemukan dalam AlQur-an dan hadits yaitu : 1. Imam (QS. 2:24, QS. 17:71, QS. 25:74), 2. Khalifah (QS. 2:30, QS.
6:165,QS. 38:26), 3. Wali atau Auliya”(QS. 3:28, QS. 4:89,144, QS. 5:51,57, QS. 27:155, 4. Ulil
Amri (QS. 4:59:82), 5. Ra’in (hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Mencermati ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist di atas, pemimpin pada dasarnya adalah
pengemban amanah Allah dan rakyat untuk memakmurkan bumi dan menyejahterakan
rakyatnya, menegakkan kebenaran dan keadilan bukan sekedar jabatan untuk menduduki
status sosial. Dari pengertian itulah kita kenapa rakyat menginginkan sebagai syarat seorang
pemimpin harus memiliki watak yang baik dan berkepribadian mulia tidak lain karena
kepemimpinan membawa pengaruh. Jadi, bila pemimpinnya bermoral baik maka pengaruhnya
kepada rakyat tentu juga baik.
Dikaitkan dengan pelaksanaan Pilkada diberbagai tempat diseluruh Indonesia yang
sudah dan akan digelar sepanjang tahun ini bukanlah itu adalah upaya untuk menemukan
pemimpin? Persoalan yang kemudian muncul adalah apakah pemimpin-pemimpin yang telah
dan akan kita pilih lewat pilkada,pilpres, Pemilu Legislatif bahkan Pilkades itu benar-benar
dapat memposisikan dirinya sebagai pengemban amanah Allah dan rakyat dan melaksanakan
http://sumut.kemenag.go.id/
tanggungjawab dakwah bukan untuk menduduki jabatan akan membahas permasalahan
tersebut secara ringkas. Dan mengapa pemimpin memiliki tanggungjawab dakwah ?
Pengerian Dakwah Dan Perlunya Keteladanan
Dakwah tidak hanya bisa dilakukan oleh para da’I, ustadz atau kyai tetapi juga oelh para
pemimpin di segala tingkatan karena pengertian dakwah pada dasarnya adalah setiap kegiatan
untuk mengajak dan menyeru manusia kepada jalan kebaikan atau jalan Allah. Dakwah juga
berarti upaya untuk merubah manusia ke arah yang lebih baik secara individual maupun
masyarakat mencakup semua aspek kehidupan : ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial,
hukum, politik, sains dan teknologi dan sudah tentu aspek agama. Untuk melakukan semua itu
bukanlah semata-mata tanggungjawab da’i, namun para pemimpin justru memiliki peran yang
signifkan untuk melakukan perubahan masyarakat. Rakyat yang lapar tidak akan kenyang hanya
dengan ceramah, begitu pula seorang guru yang gajinya tidak layak untuk hidup tidak akan
efektif hanya diceramahi tentang ikhlas, meskipun sifat itu sebenarnya menjadi modal
profesionalitasnya. Oleh karena itu praktek dakwah hendaknya diiringi dengan menebar
keteladanan (uswah hasanah). Di sinilah pemimpin memiliki peranan yang sangat penting.
Realitas menunjukkan bahwa keteladanan seorang da’i, ustadz, mubaligh, gu, kyai atau syekh
sekarang ini belum cukup.
Tetapi jika pemimpin juga ikut memberikan keteladanan maka perubahan masyarakat
menuju yang lebih baik mudah terjadi. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ahzab : 21 berbunyi
: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah”. Rasulullah Saw adalah pemimpin dunia yang telah banyak memberikan contoh teladan
kepada para sahabat dan tentunya juga kepada umat Islam masa sekarang ini. Rasulullah Saw
selalu konsisten antara perkataan dan perbuatannya.
Pemimpin yang meneladani Rasulullah Muhammad Saw dalam ibadah, muamalah dlsb
kemudian menerangkannya dalam kepemimpinannya akan menjadi pemimpin yang bersih dari
korup, jujur, sabar, sederhana, dermawan dan merakyat. Justru itu menjadi mulia dalam
pandangan masyarakat seorang pemimpin tidak akan mendapatkan pengikut yang setia untuk
membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat dan bangsa jika justru
http://sumut.kemenag.go.id/
pemimpinnya “menjadi bagian dari permasalahan itu”. Dalam arti sibuk dengan urusan pribadi
dan golongannya.
Kepedulian Dan Kecintaan Sosial
Kemudian perlu dimiliki seni memimpin dalam rangka mengajak manusia ke jalan Allah
yang didasari kepedulian dan kecintaan kepada masyarakat. Amru Khalid dalam “Romantika
Yusuf”: berpesan orang tidak akan simpatik kepada kita, kalau kita tidak mencintai mereka,
karena dakwah adalah cinta. Tataran dakwah ini disebut dakwah Lisan al Hal (dakwah Bil Hal).
Ini merupakan strategi dakwah yang sangat penting. Oleh karena itu bagi seorang yang
dianugerahi Allah menjadi pemimpin disemua tingkatan hendaklah menunjukkan rasa cintanya
kepada bawahannya dan rakyatnya. Menyapa mereka dengan penuh perhatian dan cinta,
member bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan diminta atau tidak.
Terlebih-lebih mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, menyantuni mereka dengan
makanan dan pakaian maupun memberikan lapangan pekerjaan atau modal usaha. Hal ini
disebabkan sudah sering kita dengar sebagian dari saudara-saudara kita rela mengorbankan
akidahnya (murtad) hanya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
termasuk biaya pendidikan.
Pemimpin hendaknya juga mengunjungi sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah dan
tunjukkan bahwa anda mencintai para pelajar sebagai generasi penerus bangsa,
memberdayakan guru-gurunya dengan memberikan tambahan kesejahteraan dan peningkatan
kualitas professional.
Memberantas Kemungkaran
Menyeru orang untuk berbuat kebajikan sangat mudah dilakukan apalagi dengan katakata tetapi mencegah atau memberantas kemungakaran tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan karena tindakan itu menyangkut kekuatan, kebijakan dan keuasaan. Pelakupelaku kemungkarannya pun terkadang teroganisir dengan baik. Dalam terminology Islam
kedua term itu disebut : “Amar ma’ruf Nahi Mungkar”. Syekh Ibnu Taimiyah mendefenisikan
ma’ruf sebagai segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian
menurutnya mungkar adalah kebalikannya yaitu semua yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
http://sumut.kemenag.go.id/
Dengan demikian setiap perbuatan yang merusak atau menghilangkan kesempurnaan diri
manusia dan lingkungannya dikategorikan perbuatan mungkar yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya seperti : minum minuman keras dan narkoba yang merusak akal;perjudian, pencurian
dan korupsi yang menghilangkan harta; pembunuhan yang menghilangkan jiwa; perninahan
yang merusak keturunan; syirik dan murtad yang merusak agama dan illegal logging yang
merusak lingkungan.
Dalam hubungan ini para pemimpin rakyat hendaknya punya komitmen memberantas
kemungkaran atau dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan kewenangan yang ada secara
melakukan juridis formal. Tindakan ini berkaitan dengan tanggungjawab kepemimpinan tidak
lain adalah pengambilan keputusan itu. Tidak boleh ada pemimpin yang bersikap plinplan/tidak konsisten atau ragu-ragu. Dalam konteks kekinian nyali untuk memberantas
kemungkaran inilah yang akan menopangnya yang sudah disampaikan para da’i, ustadz
maupun kyai karena memang mereka bukanlah orang-orang yang diberi hhak utuk mengambil
keputusan. Rasulullah Saw bersabda dari Abu Sa’id Al-Khudry : “Siapa diantara kamu yang
melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu
dengan lisannya dan kalau tidak mampu juga dengan hatinya, yang demikian itu adalah
selemah-lemahnya iman”. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud merubah
dengan tangan adalah kekuatan dan kekuasaan. Secara kasat mata tidaklah mungkin
kemungkaran yang terorganisir dapat dikalahkan oleh hanya satu kekuatan apalagi yang tidak
punya kekuasaan.
Apa yang akan terjadi jika berbagai bentuk kemungkaran terjadi di depan mata kita, lalu
kita tidak tergerak untuk memberantasnya? Pertama, Allah tidak akan membukakan pintu
keberakahan (baca :peradaban bangsa) yang bisa diperoleh dari langit maupun dari bumi
karena pintu keberkahan itu hanya akan diberikan kepada bangsa yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah, sebagaimana maksud Al-Qur’an surah Al-A’raf : 96. Kedua, Allah akan
menurunkan azab secara merata yang akan menimpa siapa saja baik pelaku-pelaku munkarat
maupun yang ahli ibadah seperti tersebut dalam hadits dari Abu Bakar Ash-Shiddiq Rasulullah
Saw bersabda : “Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran lalu tidak mengubahnya
maka Allah akan meratakan siksa kepada mereka”. (H.R. Abu Daud, Tarmidzi dan An-Nasa’i).
http://sumut.kemenag.go.id/
Ketiga, doa-doa yang kita panjatkan tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Dari Hudzaifah,
Rasulullah Saw bersabda : “Demi zat yang menggenggam diriku, engkau lakukan amar ma’ruf
nahi mungkar atau Allah akan turunkan azab kepadamu lalu engkau berdoa kepada-Nya tidak
akan pernah dikabulkan”.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya menurut ajaran
Islam, seorang pemimpin dengan kepemimpinannya juga mengemban tugas dakwah yakni
mengemban amanah Allah, rasul dan rakyat untuk memperbaiki dan merubah rakyat itu sendiri
menuju pada kedudukan yang bermartabat, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. (Penulis
adalah Penyuluh Agama Islam Kankemenag Labuhanbatu)
http://sumut.kemenag.go.id/
Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Arga,
Jakarta, 2001.
Al-Ghazali, Imam. Mukasyafatul Qulub, Penj. Ust. Labib MZ, Bintang Usaha Jaya, Surabaya, 2002
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang, 1989
Handayaningrat, Suwarno, Pengantar Studi Ilmu Administrasi Dan Manajemen, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1983
Khalid, Amru, Romantika Yusuf, Penj. Herii Efendi, Pustaka maghfirah, Jakarta, 2004
Suparta Munzir & Hefni Harjani (ed), Metode Dakwah, Kencana, Jakarta, 2003
Syukir, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1983.
Download