Jensen dan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan adalah
hubungan kontraktual antara pemegang saham sebagai prinsipal yang memberi
wewenang dan manajer sebagai agen yang menjalankan wewenang tersebut.
Hubungan keagenan muncul ketika seorang individu atau lebih sebagai pemegang
saham atau prinsipal mempekerjakan pihak lain, yaitu manajer (agen) untuk
melaksanakan pekerjaan dan mendelegasikan wewenang pembuatan keputusan.
Hak dan tanggung jawab prinsipal dan agen ditentukan dalam kontrak hubungan
pekerjaan.
Pemisahan dua fungsi antara kepemilikan dan pengelolaan pada perusahaan
seringkali mengakibatkan terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan antara
prinsipal dan manajer. Masalah keagenan akan muncul ketika perilaku kerjasama
yang bertujuan memaksimalkan kesejahteraan kelompok tidak konsisten dengan
masing-masing keinginan individu. Hal ini didasarkan atas asumsi tentang sifat
dasar manusia yang mendahulukan kepentingannya sendiri (self interest) untuk
memaksimalkan utilitas. Pemegang saham dan manajer memiliki kepentingan
yang berbeda dan masing-masing menginginkan kepentingan mereka terpenuhi.
Utama (2002) dalam Piramita (2012) menyatakan bahwa kepentingan
prinsipal adalah memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai arus kas
yang dihasilkan oleh investasi perusahaan yang nantinya dapat digunakan untuk
17
pembagian dividen. Namun, tujuan manajer adalah berfokus pada pertumbuhan
dan ukuran perusahaan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan ukuran
perusahaan akan membuktikan produktifitas manajer sehingga akan memeroleh
penghargaan dan wewenang untuk menentukan pengeluaran serta memberikan
keamanan pekerjaan dan kompensasi yang besar untuknya. Berdasarkan
wewenangnya
dalam
perusahaan,
manajer
akan
memiliki
kesempatan
menggunakan sumber daya perusahaan untuk meningkatkan keuntungan pribadi.
Masalah keagenan tersebut dapat terjadi karena adanya asimetri informasi,
yaitu informasi yang tidak seimbang akibat distribusi informasi yang tidak sama
antara prinsipal dan manajer (Scott, 1997 dalam Piramita 2012). Prinsipal pastinya
akan selalu membutuhkan informasi tentang prospek perusahaan, dan informasi
tersebut diperoleh dari laporan yang dibuat oleh manajer, karena prinsipal tidak
dapat mengawasi kegiatan di dalam perusahaan secara langsung. Prisipal
seharusnya memeroleh informasi yang dibutuhkan untuk mengukur keberhasilan
manajemen, namun akibat adanya asimetri informasi membuat manajer tidak
menyajikan informasi yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan prinsipal tidak
dapat mengukur kinerja manajer yang sesungguhnya dalam mengelola harta
kekayaan mereka.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat dua jenis permasalahan
yang ditimbulkan akibat adanya asimetri informasi, yaitu:
1) adverse selection, adalah keadaan dimana prinsipal (pemegang saham) tidak
dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer sebagai
agen benar-benar didasarkan atas informasi yang diperolehnya, atau terjadi
sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
18
2) moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika manajer tidak
melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan
cenderung bertindak oportunis.
Manajer dan prinsipal akan berusaha untuk memaksimalkan ulititasnya
masing-masing melalui informasi yang dimiliki. Tetapi, manajer sebagai agen
lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan dibandingkan dengan
prinsipal, sehingga mengakibatkan agen akan memanfaatkan adanya asimetri
informasi untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui
prinsipal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal
dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya
kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran
kinerja agen. Hal ini memicu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi
dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya dengan
melakukan tindakan manajemen laba (Richardson, 1998).
2.1.2 Manajemen Laba
Scott (2011:423) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu keputusan
dari manajer untuk memilih kebijakan akuntansi tertentu yang dianggap bisa
mencapai tujuan yang diinginkan, baik itu untuk meningkatkan laba atau
mengurangi tingkat kerugian yang dilaporkan. Pemahaman atas manajemen laba
dibagi menjadi dua, yaitu (1) perspektif perilaku oportunis manajer (opportunistic
earnings management) karena manajer selalu berusaha memaksimumkan
utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya
politik dan (2) perspektif efficient contracting (effecient earnings management)
19
karena manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi
diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan
demikian manajer dapat memengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui
manajemen laba (Scott, 2011:369).
Menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba (earnings management)
dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan
keuangan, sebab komponen akrual merupakan komponen yang mudah untuk
dipermainkan sesuai dengan keinginan pihak yang melakukan pencatatan
transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, komponen akrual
merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga
upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai
dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan.
Akrual terdiri dari dua macam, yaitu nondiscretionary accrual dan
discretionary accrual. Scott (2000) dalam Tresnaningsih (2008) menyatakan
nondiscretionary accrual adalah nilai akrual yang diperoleh secara alamiah oleh
perusahaan akibat penggunaan metode akuntansi tanpa campur tangan dari
manajer. Selanjutnya, discretionary accrual adalah nilai akrual yang dipengaruhi
oleh komponen-komponen akrual yang diatur oleh kebijakan manajer, contohnya
seperti mengubah metode depresiasi, mengakui pendapatan yang belum diterima,
mengubah umur piutang, mengubah nilai cadangan pitang tak tertagih, mengubah
jumlah persediaan yang dihapus, mengubah nilai aktiva serta umur aktiva untuk
memperkecil beban depresiasi dan lain sebagainya. Akrual diskresioner sering
20
digunakan sebagai ukuran atau proksi dari manajemen laba yang bersifat
oportunis karena dipengaruhi oleh kebijakan manajemen.
Ada beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen
laba (Sulistyanto, 2008), diantaranya sebagai berikut.
a)
Motivasi Bonus
Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa manajer perusahaan cenderung
untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser laba yang
dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan
manajemen laba untuk kepentingan bonusnya. Laba sering dijadikan sebagai
indiktor penilaian kinerja manajer. Manajer perusahaan dengan rencana bonus
lebih mungkin menggunakan metode-metode akuntansi untuk meningkatkan
laba (income maximization) yang dilaporkan pada periode berjalan sehingga
dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi
perusahaan.
b) Motivasi Kontraktual Lainnya
Hipotesis debt/equity menjelaskan suatu perusahaan dengan rasio debt/equity
besar akan cenderung memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser
laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang.
Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjianperjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan.
c)
Motivasi Politik
Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat
menggurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini
dilakukan untuk memeroleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
21
d) Motivasi Pajak
Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation.
Semakin tinggi laba yang dihasilkan maka semakin besar pajak yang
dikenakan, sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi
pajak tersebut. Dalam hal ini manajemen laba dapat dilakukan dengan
menarik biaya pada periode yang akan datang menjadi biaya pada periode
berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi
pendapatan periode yang akan datang.
e)
Pergantian CEO
Motivasi manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana
bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan
srategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya.
f)
Motivasi Pasar Modal
Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh
investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu,
kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk mengatur laba
dengan cara memengaruhi performa harga saham jangka pendek.
Menurut Scott (2011:383) terdapat empat pola manajemen laba yang dapat
dilakukan oleh manajer.
1) Taking a Bath
Pola ini dilakukan dalam periode di mana terjadi organizational stress atau
reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian
dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di
masa mendatang.
22
2) Income Minimazation
Pola ini biasanya dilakukan pada saat perusahaan memeroleh laba yang tinggi
dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan munculnya biaya politis.
Aktivitas manajemen laba dilakukan dengan menjadikan laba periode
berjalan lebih rendah dari laba sesungguhnya. Jika laba periode mendatang
diperkirakan turun drastis maka dapat diatasi dengan mengambil laba periode
sebelumnya.
3) Income Maximization
Pola ini dilakukan pada saat terjadi penurunan laba dengan cara melaporkan
laba berjalan lebih tinggi dari laba sesungguhnya. Tindakan atas income
maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk
tujuan bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan serta untuk
menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang.
4) Income Smoothing
Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada
umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.
2.1.3 Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)
Arus kas bebas adalah kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang
menghasilkan net present value (NPV) positif (Jensen, 1986). Kieso (2007:219)
mendefinisikan arus kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan
untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau
23
hanya untuk menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. (2000) menyatakan
bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada
kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau
investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas
yang dimiliki perusahaan setelah perusahaan membiayai semua investasi dan
modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha.
Perusahaan dengan arus kas bebas tinggi akan memiliki kinerja yang lebih
baik dibandingkan perusahaan lainnya karena mereka dapat memeroleh
keuntungan atas berbagai kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh
perusahaan lain. Selain itu, dengan aliran kas bebas tinggi perusahaan diduga
lebih survive dalam situasi yang buruk, sedangkan aliran kas bebas negatif berarti
sumber dana internal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi
perusahaan, sehingga memerlukan tambahan dana eksternal baik dalam bentuk
hutang maupun penerbitan saham baru (Rosdini, 2009).
Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan
kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah
mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar
perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan
dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi.
Hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) berdasarkan pada adanya argumen
konflik kepentingan antara manajer dan prinsipal berkaitan dengan penggunaan
arus kas bebas perusahaan. Konflik kepentingan antara prinsipal dengan manajer
dapat timbul jika manajer bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri demi
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memerhatikan kepentingan
24
pemegang saham. Manajer cenderung mempunyai keinginan menahan sumber
daya (termasuk aliran kas bebas) agar mereka tetap memiliki kendali terhadap
penggunaan sumber daya tersebut. Di lain pihak, pemegang saham ingin agar
dana yang tersedia dibagikan dalam bentuk dividen. Manajer beranggapan bahwa
pembagian dividen akan mengurangi sumber daya yang ada di bawah
kekuasaannya, hal ini berarti bahwa kekuatan manajer akan berkurang.
Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran
optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan
NPV negatif (Jensen, 1986). Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar
sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin
besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan
untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas
bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan
penambahan modal dari luar perusahaan (Rosdini, 2009).
Pemegang saham menganggap bahwa investasi pada proyek-proyek dengan
NPV negatif merupakan suatu bentuk inefisiensi sekaligus merupakan penundaan
kesejahteraan mereka. Sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan
mempunyai arus arus kas bebas, manajer perusahaan akan mendapat tekanan dari
pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk dividen. Hal ini dilakukan
sebagai upaya mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas untuk
hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan
para pemegang saham (Zurohtun, 2013).
2.1.4 Capital Adequacy Ratio
25
CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan
risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121). CAR
menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi
dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan
mengontrol risiko-risiko yang timbul dan dapat berpengaruh terhadap besarnya
modal. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013, bank
dinyatakan sehat jika memiliki CAR minimum sebesar 8 persen.
Kondisi permodalan (yang diukur dengan capital ratio) adalah berkaitan
dengan penyediaan modal sendiri yang diperlukan untuk menutupi risiko kerugian
yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva produktif yang
mengandung risiko (Hapsari, 2010). Modal berfungsi untuk membiayai operasi,
sebagai instrumen untuk mengantisipasi risiko dan sebagai alat untuk ekspansi
usaha. CAR juga menjadi modal dasar yang harus dipenuhi oleh bank. Modal ini
digunakan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank
(Nurhafita, 2010).
Dalam formula CAR dibandingkan antara modal dengan semua jenis aktiva
yang dianggap mengandung risiko atau yang sering disebut aktiva tertimbang
menurut risiko (ATMR). CAR menunjukkan sejauh mana penurunan aset bank
masih dapat ditutup oleh ekuitas bank yang tersedia, semakin tinggi CAR semakin
baik kondisi sebuah bank. Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan
Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi
rasio kecukupan modal bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan
semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan
26
minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). Rasio CAR yang tidak memenuhi
ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk
melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai rasio CAR yang mencukupi
standar kesehatan bank pada periode saat ini sebagai sinyal bahwa bank tersebut
termasuk dalam kategori sehat.
2.1.5 Good Corporate Governance
Good corporate governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah,
karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI,
2006). GCG adalah struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ-organ
perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara
berkesinambungan
dalam
jangka
panjang,
dengan
tetap
memerhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan moral, etika, budaya dan aturan
berlaku lainnya.
Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006) menyatakan
bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip pokok GCG
diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Prinsipprinsip pokok tersebut sebagai berikut.
1) Keterbukaan (transparancy)
Untuk menjaga objektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses serta dapat dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang
27
diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting
untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku
kepentingan lainnya.
2) Akuntabilitas (accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur
dan
sesuai
dengan
kepentingan
perusahaan
dengan
tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya.
3) Pertanggungjawaban (responsibility)
Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga
dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai good corporate citizen.
4) Kewajaran (fairness)
Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
5) Independensi (independency)
Untuk melancarkan pelaksaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Sistem corporate governance dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme
internal governance dan mekanisme external governance (Jensen dan Meckling,
28
1976). Mekanisme internal governance meliputi struktur dewan direksi,
kepemilikan manajerial dan kompensasi eksekutif. Sedangkan mekanisme
external governance terdiri dari kepemilikan institusional, pasar untuk kontrol
perusahaan dan tingkat pendanaan dengan hutang.
2.1.6 Dewan Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi
dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham
pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat
memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak sematamata demi kepentingan perusahaan (POJK, 2014). Berdasarkan teori keagenan,
dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian internal tertinggi,
yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Ukuran
dewan komisaris diyakini sebagai aspek dasar dari pengambilan keputusan yang
efektif (Anindyah, 2013).
Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam mendorong
diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola yang baik pada perusahaan. Fama
dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen
dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para
manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat
kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk
melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan yang good
corporate governance.
29
Menurut FCGI (2006), dewan komisaris memegang peranan yang sangat
penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris
merupakan inti dari corporte governance yang ditugaskan untuk menjamin
pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola
perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, dewan
komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk
memberikan petunjuk dan arahan pada pengelolaan perusahaan. Lebih lanjut
tugas-tugas utama dewan komisaris dalam FCGI sebagai berikut.
1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana
kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha;
menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan;
serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.
2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan
penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan
anggota dewan direksi yang transparan dan adil.
3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.
4) Memonitor pelaksaan corporate governance, dan mengadakan perubahan di
mana perlu.
5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan.
2.1.7 Komite Audit
30
Komite audit adalah komite yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada
dewan komisaris untuk membantu dewan komisaris dalam memantau dan
memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas
auditor internal dan auditor independen (POJK, 2014). Komite audit merupakan
pihak yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
menciptakan keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Keempat
faktor inilah yang membuat laporan keuangan menjadi lebih berkualitas
(Sulistyanto, 2008:156).
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (2014) komite audit bertugas
membantu dewan komisaris dalam:
1) memastikan pengendalian internal dilaksanakan dengan baik;
2) memastikan
pelaksanaan
audit
internal
maupun
audit
independen
dilaksanakan sesuai dengan standar auditing yang berlaku;
3) memastikan pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas hasil temuan satuan
kerja internal, auditor independen, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan;
4) memberikan rekomendasi penunjukkan calon auditor independen;
5) memastikan kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang
berlaku.
Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena
komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan
tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen dan tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang diaudit.
Dalam kapasitas ini, komite audit bertindak sebagai perantara antara manajemen
31
dan auditor eksternal (Mashayekhi dan Noravesh, 2007). Peran komite audit
sangat penting karena memengaruhi kualitas laporan keuangan perusahaan yang
merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat
digunakan investor untuk menilai perusahaan.
Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung
kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite
audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan.
Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat
meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen
laba yang dapat dilakukan berkaitan dengan adanya arus kas bebas. Keberadaan
komite audit bermanfaat dalam menjamin transparansi, keterbukaan laporan
keuangan, keadilan bagi stakeholder, dan pengungkapan informasi yang
dilakukan oleh manajemen.
2.1.8 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah jumlah dari saham yang dimiliki oleh manajer
perusahaan (insider board) baik itu dewan direksi maupun komisaris dalam suatu
perusahaan diluar saham yang dimiliki oleh para prinsipal, masyarakat dan
institusional (Warfield, 1995 dalam Anggana dan Prastiwi, 2013). Dari sudut
pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer
perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba
yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang
saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan
memengaruhi manajemen laba, karena kepemilikan seorang manajer akan ikut
32
menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi
yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005).
Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan
pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung
manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko
apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi
kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan
antara manajer dengan pemegang saham, sehingga dapat mengatasi konflik
kepentingan diantara keduanya dan kinerja perusahaan juga akan semakin bagus
(Jensen, 1986).
Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam
kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang
kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan
demikian, manajemen akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan
yang berkualitas sehingga dapat menekan pemanfaatan akrual diskresioner
(manajemen laba) oleh pihak manajemen.
2.1.9 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah bagian dari saham perusahaaan yang dimiliki
oleh investor institusi, seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan
perusahaan lainnya yang terkait dengan kategori tersebut (Yang et al., 2009).
Mayoritas bentuk institusi adalah Perseroan Terbatas (PT). Kepemilikan
institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen
33
melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen
laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi
proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat
akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005).
Pemegang saham institusi dengan kepemilikan saham yang besar akan intensif
untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan (Barnea dan Rubin, 2005).
Semakin besar kepemilikan institusi maka semakin besar pula kekuatan suara
(votting) dan dorongan untuk memonitor manajemen sehingga akan dapat
mengoptimalkan nilai perusahaan.
Cornett et al. (2009) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan
oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih
memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan
mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri. Kepemilikan
institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba,
semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil
kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu
untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009).
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Arus Kas Bebas pada Manajemen Laba
Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan
kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah
mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar
perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan
34
dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi meskipun investasi tesebut
memberikan NPV negatif (overinvesment). Overinvesment dalam jangka panjang
akan menyebabkan penurunan kinerja atau penurunan laba, sehingga dalam upaya
untuk mencegahnya, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba
dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income
maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif yang ditimbulkan (Chung
et al., 2005).
Berbeda dengan hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) dan hasil penelitian
Chung et al. (2005), hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta
(2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap
manajemen laba. Dengan arus kas bebas yang tinggi dan tanpa adanya manajemen
laba, perusahaan sudah mampu meningkatkan harga sahammnya karena investor
melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden.
Keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang
investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan
lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan
untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan
operasi yang sedang berjalan (Wang, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut
maka hipotesis pertama yaitu:
H1: arus kas bebas berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba
Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang
harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi rasio kecukupan modal
35
bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan
oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI (Zahara dan
Veronica, 2009). CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode
sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar
mendapatkan nilai CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode
saat ini, sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat.
Ketika bank tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik maka bank tersebut tidak
dipercaya lagi oleh investor dan masyarakat yang menggunakan jasa bank
tersebut, dan akhirnya menyebabkan dilikuidasinya bank tersebut.
Nilai CAR yang meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal
sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva
yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan
yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam
Arriela, 2013). Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja
keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal
(CAR) berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, hasil ini juga
didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Berdasarkan Berdasarkan penjelasan
tersebut maka hipotesis kedua yaitu:
H2: capital adequacy ratio berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba
Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris
independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi
36
diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta
memberikan nasihat kepada manajemen. Dewan komisaris independen memiliki
pengawasan yang lebih baik terhadap manajer sehingga mampu memengaruhi
kemungkinan penyimpangan yang dilakukan manajer. Hal ini sesuai dengan
pendapat Jensen dan Meckling (1976) yang menyebutkan teori agensi mendukung
pernyataan bahwa untuk meningkatkan independensi dewan, maka dewan harus
didominasi oleh pihak yang berasal dari luar perusahaan (outsider).
Peran dewan komisaris independen diharapkan dapat memengaruhi pihak
manajemen dalam penyusunan laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu
laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Penelitian Kouki et al. (2011),
Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013)
menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan pada
manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis ketiga yaitu:
H3: dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba
Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena
komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan
tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk
meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Investor sebagai
pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem
informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan
memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan
demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat
37
meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen
laba.
Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik
manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta
Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif
antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al.
(2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu,
penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat
memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana
dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan
manajemen laba yang meningkatkan laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka
hipotesis keempat yaitu:
H4: komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba
Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan
pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung
manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko
apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Secara teoritis, pihak
manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan
bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan
(Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajer akan termotivasi
untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat
38
menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak
manajemen.
Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa
kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual
diskresioner perusahaan, hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kelima yaitu:
H5: kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba.
2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba
Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat
mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja
perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan
diri sendiri (Cornett et al., 2009). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan
untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif
sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang
dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan
yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak
manajemen (Boediono, 2005).
Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik
manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka
semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan
akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009). Hasil
penelitian Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
39
berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual sehingga
kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi
perilaku oportunistik manajemen. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis
keenam yaitu:
H6: kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada manajemen laba.
40
Download