BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksualitas dalam Buku

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Homoseksualitas dalam Buku Memberi Suara pada yang Bisu.
Sepuluh tahun terakhir ini, di kalangan para pengkaji homoseksualitas dan
aktivis gerakan gay dan lesbian di barat berkecamuk kontroversi yang dapat
diringkaskan pada perbedaan antara dua pandangan. Pandangan yang pertama bahwa
homoseksualitas merupakan bagian hakiki (esensial) dari struktur kepribadian
manusia yang merupakan bawaan dari lahir (innate). Pandangan ini timbul dari
konseptualisasi medis-biologis para pakar dari abad ke-19 yang melihat adanya
kesemestaan (universalitas) homoseksualitas di mana-mana dan pada zaman
manapun. Pandangan yang kedua menganggap bahwa kategori homoseksual yang
dikonseptualisasikan oleh para pakar itu sebagai timbul khas dari kecenderungan
kebudayaan barat abad ke-19. Pandangan ini melihat kategori homoseksual sebagai
konstruksi sosial (dengan kata lain dibentuk oleh masyarakat) yang merupakan
produk sejarah peradaban barat pada abad ke-19. Pandangan pertama, yang dalam
literatur kini dikenal sebagai esensialisme (essentialism), cenderung banyak didukung
oleh para aktivis gerakan gay dan lesbian yang menganggap bahwa keadaan pribadi
seorang homoseksual merupakan sesuatu yang terberi (given) dan justru menghadapi
tentangan dari masyarakat umum sehingga perlu diperjuangkan pemenuhan
potensinya. Pandangan kedua, yang dikenal sebagai sosio-konstruksionisme (social
Universitas Sumatera Utara
contructionism), banyak dianut oleh kalangan ilmuwan sosial yang terpengaruh oleh
ide-ide Michel Foucault dari tahun 1970-an. Para ilmuwan sosial ini merujuk pada
posisi perilaku homoseksual dalam berbagai budaya non barat yang tidak
dikategorikan sebagai suatu kategori tertentu yang menyeluruh sebagaimana
dikonseptualisasikan oleh para esensialis.
2.1.1 Pola Hubungan, Identitas Diri dan Perilaku Seksual Gay
Dari penelitian kelompok “Psyche” di Surabaya, didapati bahwa 30% dari
kaum gay yang diwawancarai (N=100) memilih berpasangan monogam, dengan
alasan bahwa adanya pasangan tetap merupakan perwujudan kebutuhan akan cinta
dan rasa aman dan pasti. Namun lebih banyak (70%) yang tidak punya pasangan
tetap, karena mempunyai pasangan tetap dianggap terlalu banyak mengajukan
tuntutan dan tanggung jawab. Juga dikemukakan alasan sulitnya proses adaptasi
antara dua orang yang baru kenal dan kurangnya kebebasan kalau berpasangan tetap.
Banyak laki-laki gay yang mengidentifikasi diri secara bercanda sebagai
“banci”. Umumnya mereka ini menunjukkan nonkonformitas gender yang tinggi.
Secara bercanda pula ada di antara mereka yang mengidentifikasi diri sebagai
“perempuan”. Hal sebaliknya, yakni identifikasi sebagai laki-laki, kerap dilaksanakan
oleh para lesbian. Cukup banyak laki-laki yang mau berhubungan seks dengan lakilaki gay, menolak disebut gay. Bahkan ada laki-laki gay yang hanya mau
berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak mengidentifikasi diri sebagai gay ini,
yang mereka sebut “laki-laki asli”. Mereka ini cenderung tidak menampakkan
Universitas Sumatera Utara
nonkonformitas gender, walaupun sebagian kemudian mengadopsi identitas gay dan
menampakkan nonkonformitas gender. Dalam kaitan ini, yang menarik adalah lakilaki yang berhubungan seks dengan waria, yang jelas tidak memandang diri atau
dipandang sebagai gay/homoseksual. Hal identitas diri ini ternyata tidak ada sama
sekali hubungannya dengan perilaku seksual mereka dengan partnernya: ada laki-laki
“asli” yang dalam hubungan seksual minta disemburit (dipenetrasi di anus oleh penis
laki-laki gay atau waria) atau yang dengan senang hati melakukan seks oral. Akan
halnya perilaku seksual pada umumnya, semua tipe kontak langsung genital didapati
di kalangan mereka yang berperilaku homoseksual di Indonesia modern. Pada lakilaki gay, dikenal teknik masturbasi mutual, fellatio (seks oral), koitus interfemoral
dan “gesek-gesek” (frottage), serta koitus genito-anal (semburit). Secara umum
didapatkan kesan bahwa orang Indonesia lebih berinhibisi dalam melakukan
hubungan seksual apabila dibandingkan dengan orang barat.
2.1.2 Kaum Gay di Tengah Ancaman AIDS
Perilaku homoseksual resiko tingggi sebenarnya sudah jelas, yakni senggama
penis-anus dan mungkin penis-mulut. Teknik seks lainnya (senggama penisselapaha/interfemoral, penis-penis, penis-dada/perut, masturbasi) merupakan perilaku
homoseksual resiko rendah. Yang tidak banyak disadari masyarakat adalah bahwa
jumlah mereka yang melakukan perilaku homoseksual resiko tinggi ternyata cukup
besar. Teknik senggama penis-anus dan penis-mulut dilakukan oleh banyak sekali
gay modern maupun waria. Frekuensi pergantian mitra seks juga cukup tinggi. Dari
Universitas Sumatera Utara
kajian-kajian antropologi juga diketahui adanya budaya-budaya yang mengenal
senggama penis-anus dan / atau penis-mulut sebagai bagian ritus inisiasi (MarindAnim, Asmat). Para pemuka masyarakat ini tentu saja menolak mengakui masih
adanya perilaku termaksud atau menganggap sudah tidak ada lagi, tetapi laporanlaporan dari “dalam” menunjukkan masih adanya perilaku itu.
Masyarakat yang tahu tentang seluk-beluk kehidupan gay dan waria pun
cenderung mempunyai stereotip bahwa gay dan waria selalu menjadi mitra pasif
dalam senggama. Karena itu, laki-laki yang gemar kencan dengan waria maupun
pelacur laki-laki yang melayani gay, dianggap bukan “kelompok risiko tinggi”.
Padahal pengamatan yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa si pejantan yang
sok jantan di taman atau di ruang tamu bordil, di dalam kamar bisa saja jadi pasif.
Perlu juga diingat bahwa ada cukup banyak laki-laki gay yang tidak menganut
stereotip hubungan gay-pejantan ini, dalam arti hubungan mereka cenderung timbalbalik, yang berarti bahwa jenis perilaku seks mereka pun cenderung timbal-balik.
Komunitas gay dan waria sendiri pun punya stereotip, bahwa laki-laki “jantan” yang
mereka kencani bukan gay. Bahkan pada awal tersebarnya berita tentang AIDS, para
waria tersinggung dijadikan sasaran pembicaraan karena dalam jaringan komunitas
gay dan waria, waria merasa dirinya lain dar gay. Tetapi kita tahu bahwa perilaku
seksual gay dan waria secara potensial sama saja. Begitu juga mitra seks gay dan
waria, apabila melakukan perilaku homoseksual resiko tinggi tadi, dapat saja tertular
HIV.
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran akan pentingnya berpindah ke perilaku seks yang resiko rendah
masih belum ada dalam komunitas gay, waria dan laki-laki pejantan mereka. Memang
pada beberapa kalangan ada keengganan berhubungan seks dengan pria barat, karena
dianggap hanya pria barat yang membawa HIV. Karenanya timbul mitos bahwa
selama hubungan seks dilakukan dengan sesama laki-laki Indonesia, maka resiko
tertular HIV tidak ada. Dapat dikatakan pada umumnya pengetahuan gay, waria dan
pejantannya tentang AIDS sangat minim dan penuh kesesatan. Hingga akhir-akhir ini,
pada umumnya mereka mengabaikan AIDS, dengan menganggapnya penyakit luar
negeri yang tidak ada penderitanya di Indonesia. Pada umumnya pengetahuan mereka
sangat minim atau keliru tentang bahaya AIDS, cara penularannya, gejala-gejala
komplikasi serta penderitaan sebelum ajal, dan perjalanan penyakitnya. Kalaupun
mereka membicarakan AIDS, kebanyakan dengan bercanda dan mencerminkan
minim atau kelirunya pengetahuan itu, tetapi yang jelas tanpa rasa khawatir yang
terlampau tinggi.
Pengetahuan tentang cara-cara berhubungan seks aman (safe sex) juga minim
sekali. Ada sikap mencemoohkan atau melecehkan penggunaan kondom saat
senggama, atau setidak-tidaknya heran kenapa “alat KB” ini ikut-ikutan dalam
kehidupan homoseksual. Patut disebutkan pula adanya reaksi berlebihan pada kaum
lesbian yang menganggap kaum gay sebagai kelompok resiko tinggi dan tidak mau
bergaul, menggunakan alat makan bekas dipakai gay, meskipun sudah dicuci bersih,
atau minum suguhan seorang gay. Ada pula stereotip, baik di masyarakat awam
maupun pada kaum gay, waria dan pejantannya, bahwa HIV tertular karena sering
Universitas Sumatera Utara
berganti mitra seks. Kenyataan menunjukkan bahwa sekali saja berhubungan seks
dengan pembawa virus HIV dengan melakukan perilaku resiko tinggi sudah cukup
untuk menularkannya. Selain itu, kebanyakan orang menganggap bahwa perilaku
homoseksual, kalaupun ada terpusat pada kota-kota besar dan pusat-pusat wisata
seperti Bali. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kota kecil, setiap desa, dihuni
oleh orang-orang yang gemar menjalankan perilaku homoseksual resiko tinggi.
Mereka hanyalah tidak terlihat dari permukaan. Kelompok gay dan waria yang
tampak mencolok itu hanyalah “puncak gunung es”.
2.2 Studi Homoseksualitas dalam Buku HASRAT PEREMPUAN, Relasi
Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di
Indonesia.
Salah satu permasalahan utama dalam studi homoseksualitas di negara-negara
selain Amerika Serikat dan Eropa adalah studi tersebut lebih berkonsentrasi pada
fakta-fakta praktek seksual antara laki-laki dengan laki-laki. Dalam “Sejarah
Homoseksualitas
(Homosexuality
in
History)”
yaitu
sejarah
mengenai
homoseksualitas laki-laki dari negara barat yang dimulai dari jaman Yunani kuno
sampai dengan era Victoria, Karlen (1980) mencatat bahwa sebagian literatur dan
kesenian Yunani menggambarkan relasi seksual antara dua orang perempuan atau dua
orang laki-laki. Karlen tidak membahas permasalahan ini dengan lebih terperinci.
Karlen mencoba mengemukakan adanya kemungkinan relasi antara status seorang
perempuan dengan kejadian homoseksualitas laki-laki Yunani, yaitu suatu relasi yang
Universitas Sumatera Utara
menurutnya saling terkait untuk mengangkat status sosial perempuan (Karlen dalam
Wieringa & Blackwood, 2009).
Sebagai upaya untuk memformulasikan teori homoseksualitas antar negara,
Carrier (1980) menyimpulkan bahwa ada dua “faktor sosio-kultural” signifikan yang
terkait dengan ekspresi mengenai tingkah laku homoseksual, yaitu sikap dan larangan
(penerimaan atau pelarangan terhadap sikap homoseksual) dan keberadaan pasangan
seksual. Carrier mencoba mengemukakan bahwa ketiadaan jenis kelamin yang
berbeda, nilai keperawanan (bagi perempuan), segregasi laki-laki dalam perkemahan,
migrasi laki-laki dan poligini (pernikahan dengan lebih dari satu orang perempuan),
kesemuanya meningkatkan sikap homoseksual. Dalam skenario ini segregasi dan
kurangnya pasangan dengan jenis kelamin berbeda mengarahkan pada terbentuknya
praktek-praktek homoseksual laki-laki dan juga perempuan. Salah satu kontribusi
Carrier terhadap studi homoseksualitas adalah menjelaskan mengapa sebagian budaya
mengakomodir apa yang disebutnya sebagai sikap gender silang (sekarang ini lebih
sering disebut sebagai transgender), sementara sebagian lainnya menolak paham ini.
Walaupun diskusi yang dilakukannya lebih berfokus pada laki-laki daripada
perempuan, Carrier menegaskan bahwa kecocokan yang sama juga berlaku terhadap
perempuan. Kesimpulan Carrier bahwa homoseksualitas tidak selalu memiliki arti
yang sama dalam setiap budaya bertahan sampai sekarang ini dan menjadi wawasan
yang penting dalam berbagai studi mengenai gay dan lesbian. Carrier menyimpulkan
bahwa sikap homoseksual laki-laki biasanya nampak ke permukaan dengan lebih
teratur dibandingkan dengan sikap homoseksual perempuan. Anggapan bahwa
Universitas Sumatera Utara
perbedaan ini kemungkinan karena status lebih tinggi yang diberikan kepada laki-laki
dibandingkan kepada perempuan dalam kebanyakan tatanan masyarakat khususnya
dalam peran melindungi yang dimainkan laki-laki dalam sepanjang sejarah dimana
mereka biasanya melindungi anak-anak dan perempuan. Penegasan Carrier bahwa
status sosial laki-laki yang lebih tinggi dan perempuan di bawahnya merupakan
alasan mengapa lebih banyak ditemukan bukti dan visibilitas homoseksualitas lakilaki karena berkaitan dengan budaya patriarkat, tetapi juga menjadi alasan umum
yang kurang dapat diterima (Carrier dalam Wieringa & Blackwood, 2009).
2.3 Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Gay dalam Jurnal Pengambilan
Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-laki Usia Dewasa Awal.
Hal yang berat ketika seseorang memutuskan dan mengakui bahwa dirinya
adalah gay. Dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk melakukan hal itu. Individu
harus benar-benar mempersiapkan diri secara psikologis sebelum melakukannya.
Bahkan setelah individu mampu menguasai dirinya sendiri, individu harus siap
menerima respon dari keluarga dan kemungkinan konsekuensi atas pengakuannya
sehingga keluarga akhirnya tahu. Keluarga dan masyarakat akan memberikan
berbagai macam reaksi, baik yang mendukung maupun yang menolak. Dilema dan
konflik pasti akan dihadapi ketika seseorang memutuskan untuk menjadi gay.
Universitas Sumatera Utara
Proses pengambilan keputusan menjadi gay dipengaruhi oleh faktor internal
yang berasal dari dalam diri subjek dan faktor lingkungan yang ada di sekitar subjek.
Pemahaman diri subjek sebagai seorang gay tidak akan terbentuk menjadi orientasi
seksual yang aktif apabila dari dalam diri subjek tidak ada keinginan untuk menjadi
seorang gay. Pada awalnya subjek belum memiliki pengetahuan yang benar tentang
orientasi seksual. Subjek hanya mengikuti perasaan dan menikmati sensasi
ketertarikan pada sesama jenis tanpa memikirkan konsekuensinya lebih lanjut. Rasa
ketertarikan yang awalnya hanya dipendam kemudian diwujudkan dalam komitmen
untuk menjalin hubungan. Ketertarikan secara fisik maupun seksual kemudian
berubah menjadi keinginan untuk menjalin hubungan secara intim. Hubungan ini
yang kemudian menentukan subjek akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai
gay atau mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual. Ternyata hubungan
yang dijalani subjek dengan pasangannya membuat subjek merasa menemukan
sesuatu yang hilang dari dalam keluarganya seperti rasa nyaman dan kepuasan batin.
Subjek merasakan adanya kepuasan dan terpenuhinya kebutuhan seksual maupun
kebutuhan emosional dalam hubungan sejenis cenderung akan semakin memantapkan
identitas seksual gay.
Pembentukan orientasi seksual gay dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri
subjek dan faktor dari lingkungan. Pada awalnya subjek merasakan adanya
ketertarikan kepada sejenis yang masih belum dipahami. Subjek yang berada di
tengah masyarakat yang heterosentris tentunya akan merasakan kebingungan saat
menyadari orientasi seksualnya. Subjek yang berada pada tahapan kebingungan
Universitas Sumatera Utara
identitas ini biasanya akan menjalani kehidupannya dengan usaha mencari tahu
kebenaran tentang orientasi seksualnya. Subjek kemudian memasuki tahapan
perbandingan identitas. Pada tahapan ini subjek berusaha menerima orientasi
seksualnya. Meskipun penerimaan diri yang dirasakan masih bersifat sementara,
tetapi subjek mulai memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung. Tahapan ini
merupakan langkah awal pada komitmen bahwa subjek memiliki gambaran diri
sebagai seorang gay. Di tahap selanjutnya subjek memasuki tahap toleransi. Pada
tahap ini subjek akan memiliki komitmen yang besar atas identitas gaynya.
Universitas Sumatera Utara
Download