2.5 Organizational Citizenship Behavior (OCB)

advertisement
BAB 2
Landasan Teori
2.1
Kajian Pustaka
Yang menjadi acuan untuk melandasi penelitian ini adalah teori manajemen
sebagai grand theory, teori manajemen sumber daya manusia dijadikan sebagai
middle theory, dan teori tentang kepemimpinan transformasional, organizational
citizenship behavior, kepuasan kerja dan kinerja karyawan dijadikan sebagai applied
theory.
2.2
Manajemen
Menurut Robbins dan Coulter (2012) Manajemen melibatkan aktivitas-
aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga
pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Manajemen juga
berupaya untuk menjadi efektif, dengan menyelesaikan tugas-tugas demi
terwujudnya sasaran-sasaran organisasi.
Menurut Hasibuan (2007) manajemen merupakan sebuah ilmu dan juga seni
yang mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber
lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
Jadi, berdasarkan kedua teori diatas, manajemen menurut saya adalah ilmu
sekaligus seni yang mempelajari tentang proses pengkoordinasian dan pengawasan
dalam memanfaatkan sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan tertentu.
2.3
Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Marwansyah (2010, p.3) Manajemen sumber daya manusia dapat
diartikan sebagai pendayagunaan sumber daya manusia di dalam organisasi, yang
dilakukan malalui fungsi-fungsi perencanaan sumbar daya manusia, rekrutmen dan
seleksi, pengembangan sumber daya manusia, perencanaan dan pengembangan karir,
pemberian kompensasi dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan
hubungan industrial.
Menurut Mathis dan Jackson (2006)
Manajemen sumber daya manusia
adalah ranangan sistem-sistem formal untuk memastikan penggunaan bakat manusia
secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasi.
7
8
Mathis juga menyebutkan bahwa aktivitas manajemen sumber daya manusia
berfokus pada :
1. Produktivitas. Diukur dari jumlah output per tenaga kerja, peningkatan
tanpa henti pada produktivitas telah menjadi kompetisi global.
Produktivitas tenaga kerja di sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh
usaha, program dan sistem manajemen
2. Kualitas. Kualitas suatu barang/jasa akan sangat mempengaruhi
kesuksesan jangka panjang suatu organisasi.Bila suatu organisasi
memiliki reputasi sebagai penyedia barang/jasa yang kualitasnya buruk,
perkembangan dan kinerja organisasi tersebut akan berkurang.
3. Pelayanan. Sumber daya manusia sering kali terlibat pada proses produksi
barang/jasa. Manajemen sumber daya manusia harus disertakan pada saat
merancang proses tersebut. Pemecahan masalah harus melibatkan semua
karyawan, tidak hanya manajer, karena sering kali membutuhkan
perubahan pada budaya perusahaan, gaya kepemimpinan dan kebijakan
SDM.
Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen SDM haruslah terdiri dari
aktivitas-aktivitas yang saling berkaitan. Aktivitas SDM adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dan Analisis Sumber. Aktivitas perencanaan dan analisis
Sumber Daya Manusia mempunyai beberapa muka. Dengan perencaan
Sumber Daya Manusia, manajer mencoba untuk mengantisipasi kekuatan
yang akan mempengaruhi pasokan dan permintaan akan tenaga kerja.
2. Kesetaraan Kesempatan Bekerja. Kepatuhan pada hokum dan peraturan
Kesetaraan Kesempatan Bekerja (Equal Employment Opportunity-EEO)
mempengaruhi aktivitas Sumber Daya Manusia lainnya dan menjadi bagian
yang tidak terpisah dari manajemen Sumber Daya Manusia.
3. Perekrutan/Staffing. Sasaran dari perekrutan adalah untuk mnyediakan
pasokan tenaga kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan organisasi.
4. Pengembangan SDM. Dimulai dari memberikan orientasi pada tenaga kerja
baru, pelatihan kerja-keterampilan (job-skill training) adalah bagian dari
pelatihan dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Pekerjaan pasti akan
berevolusi dan berubah, pelatihan yang berkesinambungan diperlukan untuk
tanggap pada perubahan teknologi
9
5. Kompensasi dan Keuntungan. Kompensasi diberikan pada tenaga kerja yang
melakukan kerja organisasi seperti dengan pembayaran (pay), insentif, dan
keuntungan (benefit). Perusahaan harus mengembangkan dan selalu
memperbaiki system upah dan gaji.
6. Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Kerja. Kesehatan dan keselamatan
fisik serta mental tenaga kerja adalah hal yang utama. Occupational Safety
and Health Act (OSHA) atau Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja telah membuat organisasi lebih tanggap atas isu kesehatan dan
keselamatan.
7. Hubungan Tenaga Kerja dan Buruh / Manajemen. Hubungan antara manajer
dan bawahannya harus ditangani dengan efektif jika ingin tenaga kerja dan
organisasi mau tumbuh bersama. Hak-hak tenaga kerja harus diperhatikan,
tidak perduli apakah ada atau tidak ada serikat tenaga kerja.
Jadi, manajemen sumber daya manusia menurut saya adalah ilmu sekaligus seni
yang mengatur sumber daya manusia di dalam suatu organisasi untuk menggunakan
bakatnya secara efektif dan efisien demi mencapai tujuan organisasi.
2.4
Kepemimpinan
2.4.1
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam organisasi.
Kepemimpinan dibutuhkan oleh manusia karena adanya sifat keterbatasan yang
sangat melekat pada diri manusia. Suatu organisasi tanpa ada sosok seorang
pemimpin akan mengalami kesulitan dalam mencapai visi dan misi dari organisasi
itu sendiri. Dari sinilah timbul kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin. Secara
kasar, kepemimpinan didefinisikan sebagai ciri – ciri individual, kebiasaan, cara
mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam organisasi dan persepsi
mengenai pengaruh yang sah.
Menurut Robbins dan Judge (2007, p.365) kepemimpinan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan.
Menurut Soekarso (2010, p10) kepemimpinan merupakan proses pengaruh
sosial, yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang
mempengaruhi perilaku orang lain ke arah pencapaian tujuan tertentu.
Jadi, menurut saya kepemimpinan adalah proses yang disengaja dari
seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk
10
memahami dan setuju untuk berkerja sama untuk mencapai tujuan kelompok yang
telah ditentukan
2.4.2 Fungsi – fungsi Kepemimpinan
Berdasarkan Soekarso (2010, p.22) agar kelompok berjalan dengan efektif,
maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah, mencakup
penetapan struktur tugas, pemberian saran dan penyelesaian, informasi dan
pendapat.
2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau sosial,
mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi
berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengaruh
perbedaan pendapat dan sebagainya.
Fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi dapat disebut dengan “enam
F”, antara lain:
a. Fungsi pengambilan keputusan ( Decision Making)
b. Fungsi pengarahan (Directing)
c. Fungsi pendelegasian (Delegation)
d. Fungsi pemberdayaan (Empowerment)
e. Fungsi fasilitas (Facilitating)
f. Fungsi pengendalian (Controlling)
2.4.3 Sumber Daya Kepemimpinan
Menurut Soekarso (2010, p,26) seorang pemimpin hanya dapat melakukan
fungsi kepemimpinannya apabila memiliki kekuatan berupa suatu sumber daya
tertentu, seperti:
1. Pengaruh (Influence)
Kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial dalam hubungan
interpersonal. Pemimpin mempengaruhi bawahan atau pengikut kearah yang
diinginkan.
11
2. Kekuasaan (Power)
Pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki
suatu sumber daya tertentu, yaitu power. Dalam hal ini power berarti daya,
atau dalam teori kepemimpianan power adalah sebagai kekuasaan.
3. Legitimasi (Legitimacy)
Kepemimpinan memerlukan legitimasi agar posisi formal keberadaan
pemimpin dan kekuasaan mendapat pengakuan resmi dalam organisasi.
4. Indiosinkratik kredit (Indiosyncracy credit)
Konsep Indiosinkratik merupakan elemen penting dari analisis teori
pertukaran (exchange theory). Bagaimanapun pemimpin atau anggota dalam
menjalankan tugas mempunyai peran masing-masing sesuai dengan
kelompok atau organisasi.
5. Wewenang (Authority)
Wewenang merupakan dasar hukum untuk mengambil tindakan yang
diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik.
6. Politik (Politic)
Dalam organisasi terdapat keterbatasan sumber daya, keanekaragaman
struktur, perbedaan kepentingan dan terjadi perubahan, maka agar
mendapatkan lebih berperan atau lebih berkuasa dalam organisasi maka
diperlukan tindakan-tindakan tertentu yaitu politik.
2.4.4
Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu
perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya
dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk
tertentu. Atau dengan kata lain bagaimana cara seorang pemimpin dalam memimpin
para bawahannya.
Menurut Soekarso (2010, p.11) gaya kepemimpinan adalah perilaku atau
tindakan pemimpin dalam mempengaruhi para anggota/pengikut serta melaksanakan
tugas-tugas pekerjaan manajerial.
Menurut Kartini Kartono (2006, p.34) menentukan watak dan tipe
pemimpin atas setidaknya ada tiga pola dasar, yaitu:
1. Berorientasi pada tugas (task orientation)
2. Berorientasi hubungan kerja (relationship orientation)
12
3. Berorientasi hasil yang dicapai (effectivess orientation)
Berdasarkan tiga orientasi di atas, dapat ditentukan bahwa terdapan delapan
tipe gaya kepemimpinan:

Tipe deserter (pembelot)
Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa loyalitas
dan ketaatan

Tipe birokrat
Sifatnya: kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma

Tipe misionaris (missionary)
Sifatnya: terbuka, penolong, ramah-tamah

Tipe developer (pembangun)
Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan wewenang dan menaruh
kepercayaan kepada bawahan

Tipe otokrat
Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala

Benevolent autocrat (otokrat yang bijak)
Sifatnya: lancar, tertib, ahli dalam mengorganisasikan

Tipe compromiser (kompromis)
Sifatnya: tidak punya pendirian, berpikir pendek dan sempit, tidak
mempunyai keputusan

Tipe eksekutif
Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi, tekun
Maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu perilaku
yang ditunjukan oleh pemimpin kepada bawahannya dengan tujuan untuk
mempengaruhi bawahannya supaya dapat diarahkan.
2.4.5 Gaya Kepemimpinan Transaksional
Dalam Yukl (2013, p.312) Bass memandang kepemimpinan transaksional
sama dengan Burns yaitu sebuah pertukaran imbalan – imbalan untuk mendapatkan
kepatuhan. Namun demikian, Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional
dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Menurut Bass dalam Robbins dan Judge
(2007, p.387) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memadukan atau
13
memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan
memperjelas peran dan tuntutan tugas.
Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) mengemukakan bahwa
kepemimpinan transaksional terdiri dari empat dimensi :
a)
Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward) : Menjalankan pertukaran
kontraktual antara penghargaan dan usaha, menjanjikan penghargaan untuk
kinerja yang baik dan mengakui pencapaian yang diperoleh.
b)
Manajemen
Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active) :
Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta
melakukan tindakan-tindakan perbaikan.
c)
Manajemen Pengecualian-pasif (Management by Exception-Passive) :
Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai.
d)
Laissez-faire :
Melepas
tanggung
jawab
dan
menghindari
pengambilan keputusan.
2.4.6
Cakupan Utuh Model Kepemimpinan (Transaksional-Transformasional)
Gambar 2.1 Full Range of Leadership Model
Sumber : Robbins dan Judge, 2007, p.388
14
Kepemimpinan
transaksional
dan
transformasional
hendaknya
tidak
dipandang sebagai pendekatan yang saling bertentangan. Kedua jenis kepemimpinan
ini saling melengkapi, tetapi tidak berarti keduanya sama penting. Kepemimpinan
transformasional lebih unggul dari pada kepemimpinan transaksional dan
menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa
dicapai kalau hanya pendekatan transaksional yang diterapkan. Tetapi, yang
sebaliknya tidak berlaku, jadi sebaik-baiknya kepemimpinan transaksional maka
akan menjadi biasa saja apabila tidak memiliki sifat-sifat transformasional. Pada
gambar Cakupan Utuh model kepemimpinan ini menjelaskan bahwa Laissez-Faire
adalah model yang paling pasif dan karena itu merupakan perilaku pemimpin yang
paling tidak efektif. Para pemimpin yang menggunakan gaya ini jarang dianggap
efektif. Management by exception-entah aktif ataupun pasif-sedikit lebih baik dari
pada Laissez-Faire, tetapi masih dianggap tipe kepemimpinan yang tidak efektif.
Pemimpin yang menerapkan Management by exception cenderung hanya
memberikan reaksi saat ada masalah, yang sering kali sudah terlambat.
Kepemimpinan yang memberikan contingent reward
bisa menjadi gaya
kepemimpinan yang efektif. Namun, pemimpin seperti ini tidak bisa mendorong
karyawannya untuk bekerja di luar cakupan tugasnya. Hanya dengan empat gaya
kepemimpinan yang lain- semuanya merupakan aspek dari kepemimpinan
transformasional - pemimpin bisa memotivasi karyawan untuk bekerja diatas
ekspetasi dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan
organisasi. Individualized consideration, intellectual stimulation, inspirational
motivation, dan idealized influence, seluruhnya mendorong karyawan untuk bekerja
lebih keras, meningkatkan produktivitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja
yang lebih tinggi, meningkatkan efektivitas organisasi, meminimalkan perputaran
karyawan,
menurunkan
tingkat
ketidakhadiran
dan
memiliki
kemampuan
menyesuaikan diri secara organisasi yang lebih tinggi. Berdasarkan model ini,
pemimpin umumnya paling efektif bila mereka secara rutin menetapkan masingmasing dari keempat perilaku transformasional.
2.4.7 Gaya Kepemimpinan Transformasional
Menurut
Yukl
(2013,
p.313)
menjelaskan
bahwa
kepemimpinan
transformasional adalah suatu keadaan dimana para pengikut dari seorang pemimpin
transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat
15
terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari
pada yang awalnya diharapkan mereka. Pemimpin tersebut mentransformasi dan
memotivasi para pengikut dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai
pentingnya hasil – hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih
mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan
mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.
Menurut Robbins dan Judge (2007, p.387) kepemimpinan transformasional
adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang
diindividualkan dan memiliki kharisma.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan
pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral serta strategi dalam
membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus
mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya,
serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa
yang mereka butuhkan.
Robbins dan Judge (2007) mengemukakan ada empat karakteristik
kepemimpinan transformasional, yaitu:
a)
Pengaruh Ideal (Idealized Influence): Pengaruh yang ideal berkaitan
dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin. Pemimpin diidentifikasikan
dengan dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi
dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan.
b) Motivasi yang Inspirasi (Inspirational Motivation): Pemimpin yang
inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara
memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu
mengomunikasi ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, menggunakan
simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan
tujuan-tujuan penting secara sederhana.
c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation): Pemimpin mendorong
bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong bawahannya untuk
menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih rasional dalam
pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan permasalahan yang
ada .
d)
Perhatian
yang
bersifat
Individual
(Individualized
Consideration):
Pemimpin memberikan perihatian pribadi kepada bawahannya, seperti
16
memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan
kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada
bawahannya.
2.5
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
2.5.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu
yang dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan
kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong
orang lain, menjadi volunter untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan
dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai
tambah karyawan.”
Menurut
Organ
(2006)
Perilaku
Kewarnegaraan
Organisasional
(Organizational Citizenship Behavior) adalah perilaku yang merupakan pilihan dan
inisiatif individual, tidak berkaitan dengan system reward formal organisasi tetapi
secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini berarti perilaku tersebut
tidak termasuk kedalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga
jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman.
Menurut Luthans (2006, p.251) Organizational Citizenship Behavior (OCB)
atau kewarganegaraan organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat
pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/
kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait
predisposes karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan sungguhsungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam
OCB untuk membalas tindakan organisasi.
Jadi, menurut saya Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah
kontribusi pekerja “diatas dan lebih dari” deskripsi kerja formal, yang dilakukan
secara sukarela, yang secara formal tidak diakui oleh sistem reward, dan memberi
kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku organisasi yang dapat membuat
karyawan benar-benar merasa terlibat seperti bagian di dalam organisasi tersebut dan
berperilaku untuk bekerja lebih dari tuntutan pekerjaan yang diberikan perusahaan.
17
2.5.2
Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Dimensi OCB menurut Organ (2006, p.106) adalah sebagai berikut :
1) Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami
kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam
organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada
memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
2) Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan
perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari
panggilan tugas .
3) Sportmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal
dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan – keberatan. Seseorang yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan
iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja
sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang
lebih menyenangkan.
4) Courtessy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah –
masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang
yang menghargai dan memperhatikan orang lain, yaitu membantu teman
kerja,mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjannya dengan
cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka.
5) Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi
(mengikuti
perubahan
dalam
organisasi,
mengambil
inisiatif
untuk
merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur – prosedur organisasi
dapat diperbaiki, dan melindungi sumber
organisasi).
– sumber yang dimiliki oleh
Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan
organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan
yang ditekuni.
18
2.5.3 Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Melalui sejumlah riset, OCB diyakini dan terbukti dapat memberikan manfaat
yang besar terhadap organisasi, diantaranya adalah berikut ini, menurut Organ (2006,
p.166):
1)
OCB dapat meningkatkan produktivitas rekan kerja
2)
OCB juga mampu meningkatkan produktivitas manajer
3)
OCB dapat menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan
organisasi secara keseluruhan
4)
OCB menjadi sarana yang efektif untuk mengkordinasi kegiatan tim kerja
secara efektif.
5)
OCB
meningkatkan
kemampuan
organisasi
untuk
merekrut
dan
mempertahankan karyawan dengan kualitas performa yang baik
6)
OCB dapat mempertahankan stabilitas kinerja organisasi
7)
OCB membantu kemampuan organisasi untuk bertahan dan beradaptasi
dengan perubahan lingkungan.
2.5.4 Motif yang Mendasari OCB
Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh
banyak hal, artinya tidak banyak penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk
akal bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendektan motif dalam
perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya, Menurut
McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005:14) :

Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard
keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau
kompetisi.

Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain.

Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari situasi di mana mereka
dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain.
2.6
Kepuasan Kerja
2.6.1 Definisi Kepuasan Kerja
Kepuasan
kerja
merupakan
bentuk
perasaan
seseorang
terhadap
pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja. Dengan demikian
19
kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang
pegawai, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan.
Menurut Robbins dan Judge (2007, p.79) menyatakan bahwa kepuasan kerja
adalah perasaan positif sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut.
Definisi ini tentu sangat luas maknanya.
Luthans (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap
emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan
oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja.
Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dicerminkan oleh
pegawai terhadap pekerjaannya.
2.6.2
Teori - Teori Kepuasan Kerja
Menurut Yukl & Wexley dalam Sunyoto (2013) ada tiga macam teori
kepuasan kerja
a. Disrepancy theory, teori yang dipelopori oleh Porter (1961). Ia mengukur
kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Lalu Locke (1969)
menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada disrepancy
antara should be (expectation needs or value) dengan apa yang menurut
perasaannya atau persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaan.
b. Equity theory, prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas dan
tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity).
Perasaan equity dan inequity atas atas situasi, diperoleh orang dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor dan
pemerintah dipengaruhi oleh motivasi
c. Two factor theory, prinsip teori ini adalah kepuasan kerja dan ketidakpuasan
kerja merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap pekerjaan tidak merupakan variabel yang kontinyu. Situasi yang
mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaan di bagi dua yaitu:
-
Satisfiers atau motivator adalah situasi yang membuktikannya sebagai
sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari achievement, recognition, work
itself, responsibilitiy and advencement
20
-
Dissatisfiers (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi
sumber
ketidakpuasan
yang
terdiri
dari
company
policy
and
administration, supervision, technical, salary, interpersonal, relation,
working condition, job security and status.
2.6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Robins
dan Coulter (2009 ) antara lain:
1) Pekerjaan yang menantang
Dikatakan bahwa pekerjaan yang memberi peluang untuk menggunakan
keterampilan dan kemampuan, serta menawarkan variasi tugas, kebebasan
dan umpan balik cenderung lebih disukai. Karakteristik ini membuat
pekerjaan menjadi menantang secara mental.
2) Imbalan yang sesuai
Karyawan menginginkan sistem gaji yang mereka anggap sesuai dengan apa
yang mereka harapkan dan adil berdasarkan permintaan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu dan standar pembayaran masyarakat.
3) Kondisi kerja yang mendukung
Kondisi lingkungan akan mempengaruhi kenyaman pribadi karyawan agar
dapat bekerja dengan lebih baik.
4) Rekan kerja yang mendukung
Karyawan bekerja tidak hanya semata mata untuk mendapatkan uang atau
prestasi yang berwujud, namun sebagian karyawan juga membutuhkan
interaksi sosial.
5) Kesesuaian kepribadian pekerjaan
Pekerjaan yang cocok dengan kepribadian seseorang akan meningkatkan rasa
puas orang tersebut terhadap pekerjaannya.
6) Disposisi genetik Individual
Disposisi seseorang terhadap hidup positif atau negatif ditentukan oleh
bentukan genetisnya, bentukan sepanjang waktu, dan dibawa serta kedalam
disposisinya
Terwujudnya kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor
pendorong dari tercapainya tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2007) faktor yang
menimbulkan kepuasan kerja karyawan adalah:
21
a.
Balas jasa yang adil dan layak
b.
Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
c.
Berat ringannya pekerjaan
d.
Suasana dan lingkungan pekerjaan
e.
Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
f.
Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya
g.
Sadar pekerjaan monoton atau tidak
2.6.4
Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2007, p.83) ketidakpuasan karyawan dapat
dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya:
a
Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi.
Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.
b
Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi.
Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan
beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
c
Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi.
Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan
mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat.
d
Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk
kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan
tingkat kekeliruan yang meningkat.
2.6.5
Dimensi Kepuasan Kerja
Beberapa faktor penentu kepuasan kerja menurut Luthans (2005, p.212),
adalah sebagai berikut :
1. Supervisor (Atasan)
Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut
dengan hubungan
fungsional dan keseluruhan (entity) . Hubungan fungsional mencerminkan
sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai
pekerjaan yang penting bagi karyawan, misalnya dengan memberikan
pekerjaan yang menantang. Hubungan keseluruhan didasarkan pada
ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-niai yang
seru.
22
2.
The work it self (Pekerjan itu Sendiri)
Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan kerja. Ada beberapa
unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang menyimpulkan bahwa
pekerjaan yang menarik dan menantang, serta perkembangan karir merupakan
hal penting untuk setiap karyawan.
3.
Pay (Gaji)
Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima,
derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan
bagaimana gaji diberikan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima
dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutantuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standard gaji yang
berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja.
4.
Promotion Opportunity (Kesempatan Promosi)
Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam
kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena promosi mengambil beberapa
bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari yang menyertai
kompesasi. Contohnya , apabila seorang karyawan naik jabatan, gaji
karyawan tersebut juga naik sesuai dengan jabatannya dan kepuasan kerja
karyawan tersebut juga meningkat.
5.
Co-Worker (Rekan Kerja)
Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak,
yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul
karena mereka dalam jumlah tertentu berada dalam satu ruangan, sehingga
mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian kebutuhan sosialnya terpenuhi.
Rekan kerja memberikan sumber-sumber semangat, kenyamanan, nasihat,
dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja yang baik dapat
membuat pekerjaan menjadi menyenangkan.
6. Working Condition (Kondisi Kerja)
Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang
mempengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih, atraktif, dan
nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam menjalankana
pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik
dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.
23
2.7
Kinerja Karyawan
2.7.1
Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan sering diartikan sebagai pencapaian tugas, dimana
karyawan dalam bekerja harus sesuai dengan program kerja organisasi untuk
menunjukkan tingkat kinerja organisasi dalam mencapai visi, misi, dan tujuan
organisasi. Pada dasarnya kinerja seorang karyawan merupakan hal yang bersifat
individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda –
beda dalam mengerjakan pekerjaannya.
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p.378) berpendapat bahwa kinerja
(perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi
elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil,
kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama.
Menurut Wibowo (2007, p.7) kinerja berasal dari pengertian performance.
Adapula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi
kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya
hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan secara langsung.
Jadi, berdasarkan kedua teori diatas, kinerja menurut saya adalah perilaku
yang ditunjukkan oleh para karyawan sebagai perwujudan prestasi kerja yang
dihasilkan sesuai dengan perannya di dalam perusahaan.
2.7.2
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara
satu karyawan dengan karyawan yang lainnya. Walaupun karyawan-karyawan
bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Secara
garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh 2 faktor, yaitu : faktor individu dan
situasi kerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, menurut Mathis dan Jackson
(2006, p.113) kinerja para karyawan adalah suatu awal keberhasilan organisasi
untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi kinerja
karyawan, yaitu :
1) Kemampuan individual
Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor
kepribadian. Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang
24
berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan
kecakapan tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan
mempunyai kinerja
yang baik, jika karyawan tersebut memmiliki
keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja
yang baik pula.
2) Usaha yang dicurahkan
Usaha yang dicurahkan oleh karyawan bagi perusahaan adalah motivasi, etika
kerja, kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran
motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan
baik. Dari itu, kalaupun karyawan memiliki tingkat keterampilan untuk
mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya
sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan anatara tingkat
keterampilan dengan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin
dari apa yang dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin dari apa
yang dilakukan.
3) Dukungan organisasional
Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi
karyawan meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi,
standar kinerja, dan manajemen dan rekan kerja. Kinerja pada dasarnya
adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan
adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi
pada organisasi.
Gambar 2. 2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Sumber : Mathis dan Jackson (2006, p.114)
25
2.7.3
Elemen – Elemen Kinerja Karyawan
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p.378) kinerja (performance) pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja
karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut:
1) Kuantitas dari hasil
Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut,
dalam presentase atau indeks.
2) Kualitas dari hasil
Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung
pada selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba.
3) Ketepatan waktu dari hasil
Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukan.
Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat
disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat
mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat
menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian.
4) Kehadiran atau absensi
Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah
perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi karyawan pada perusahaan.
5) Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga dapat
meningkatkan rasa kerja sama antar karyawan.
2.8
Penelitian Terdahulu
Berikut adalah penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan hubungan antara
kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja, organizational citizenship behavior
cultur, dan kinerja karyawan
1. Pengaruh
Kepemimpinan
Transformasional
terhadap
Organizational
Citizenship Behavior
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maharani Vivin dan Afnan Troena
dan Noermijati (2013), ditemukan salah satu cara untuk meningkatkan
Organizational
Citizenship
Behavior
adalah
dengan
meningkatkan
kepemimpinan transformasional. Ini karena kepemimpinan transformasional
membantu pegawai untuk mengembangkan kreatifitas dan mampu memberikan
26
motivasi pada bawahannya, sehingga pegawai mempunyai perilaku positif
terhadap pekerjaannya. Penelitian terdahulu lainnya juga didukung oleh Yulianto
Ardi (2013) yang menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior, dimana
kepemimpinan transformasional dapat menciptakan kondisi kerja yang efektif
dan menciptakan kondisi kerja yang ideal sehingga hal ini akan secara langsung
mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior.
Berlawanan
dengan
hasil
penelitian
sebelumnya,
Kerry
(2013)
menemukan bahwa kepemimpinan transformasional tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Hal ini
disebabkan
oleh
tidak
adanya
gaya
pemimpin
yang
transformasional
diperusahaan. Sehingga gaya kepemimpinan transformasional belum bisa
membantu pegawai untuk mengembangkan kreatifitas dan belum mampu
memberikan motivasi pada bawahannya.
Dari penelitian-penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian
peneliti berpendapat kepemimpinan transformasional berpengaruh secara
signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior, sedangkan sebagian
lain mengatakan hal yang sebaliknya. Untuk itu penulis mengadakan penelitian
ini untuk mencari tahu apa yang menyebabkan perbedaan tersebut dan hasil
penelitian mana yang lebih sesuai dengan kondisi di Bank Mega Syariah KCP
Moderen BSD
2. Pengaruh Kepuasan kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior
Menurut Maharani Vivin dan
Afnan Troena danNoermijati (2013)
kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Organizational
Citizenship Behavior, hal ini disebabkan oleh kepuasan kerja yang memiliki
peran penting dalam menciptakan Organizational Citizenship Behavior karena
kepuasan kerja merupakan hasil sinkronisasi dari perasaan individu terhadap
pekerjaannya. Widyanto Ribke (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa
kepuasan
kerja
memiliki
pengaruh
signifikan
terhadap
Organizational
Citizenship Behavior. Ini dikarenakan terdapat perbedaan tingkat kepuasan
individu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan individu
seperti faktor lingkungan dan faktor pekerjaan itu sendiri. Berdasarkan dari kedua
faktor tersebut dapat ditentukan dari kondisi perusahaan. Mendukung penelitian
27
sebelumnya Avolio (2009) menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh
secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Organizational
Citizenship Behavior menunjukkan perilaku pegawai mengenai kepuasan kerja
dan setiap pegawai memiliki tingkatan yang berbeda mengenai kepuasan kerja.
Contohnya kondisi lingkungan kerja yang tidak kondusif seperti hubungan
dengan rekan kerja yang terjalin dengan baik memberikan persepsi yang lebih
positif terhadap Organizational Citizenship Behavior, sedangkan terdapat
pegawai lain yang hubungan dengan rekan kerjanya tidak terjalin dengan baik
memberikan persepsi yang sebaliknya. Ini dikarenakan tidak semua pegawai bisa
memiliki interaksi sosial yang aktif.
Dari penelitian-penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebagian peneliti berpendapat kepemimpinan transformasional berpengaruh
secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Kaitannya
dengan Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD dengan adanya penelitian
terdahulu adalah dengan melihat faktor apakah yang dapat meningkatkan
kepuasan kerja karyawan.
3. Pengaruh Organizational Citizenship Behavior terhadap kinerja karyawan
Penelitian Menurut Maharani Vivin dan
Afnan Troena danNoermijati
(2013) menemukan bahwa organizational citizenship behavior berpengaruh
secara signifikan terhadap kinerja karyawan, pegawai yang memiliki perilaku
positif akan berkontribusi lebih terhadap pekerjaan mereka.Ini dikarenakan
adanya reward yang bisa menjadi penyemangat pegawai untuk selalu
berkontribusi melebihi tuntutan peran ditempat kerja sehingga secara agregat
dapat mempengaruhi hasil kinerja karyawan. Selain itu dalam penelitian ini
responden setuju bahwa penyemangat yang mereka dapat salah satunya adalah
dengan sistem reward yang baik dan dari atasan yang dapat memotivasi
pegawainya. Mendukung penelitian sebelumnya Burns (2010) menemukan
bahwa system reward yang baik memiliki pengaruh signifikan, temuan ini
mendukung penelitian-penelitian terdahulu. Ini karena apabilasistem reward
dikelola secara baik maka akan menciptakan kinerja kerja yang baik pada
pegawai.
Lebih lanjutnya Maggy (2011) menemukan bahwa system reward yang
baik merupakan sumber dari perilaku yang positif seorang pegawai. ini
28
dikarenakan system reward yang baik akan membuat pegawai merasa bahwa
mereka lebih dihargai dalam proses penyelesaian tugas, selain itu perilaku
partisipasi dapat memberikan pegawai rasa keterlibatan yang lebih mendalam
mengenai kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas sehingga bisa lebih
maksimal.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 dan 2011 menemukan pengaruh
yang signifikan antara organizational citizenship behavior dan kinerja karyawan.
Penulis ingin mencari tahu dari kedua penelitian tersebut penelitian manakah
yang lebih sesuai dengan kondisi Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD saat
ini.
4. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Karyawan
Menurut Oguz(2012), kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh
signifikan terhadap kinerja karyawan. Dimana dikatakan bahwa manajer harus
memimpin dengan gaya transformasional pada saat organisasi sedang mengalami
berkemban, karena perkembangan yang terus-menerus pada organisasi menuntut
hubungan yang berkualitas antara atasan dan bawahan dan apabila terjalin
hubungan yang baik antara atasan dan bawahan maka akan menghasilkan
peningkatan pada kinerja karyawan. Mendukung penelitian sebelumnya Obiwuru
dan Okwu (2011) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan memiliki pengaruh
signifikan terhadap kinerja pegawai dan kepemimpinan transformasional adalah
gaya kepemimpinan yang cocok bagi organisasi yang sedang berubah atau
berkembang karena di nilai dapat meningkatkan kinerja pegawai. Pada
perusahaan kecil ditemukan bahwa kepemimpinan transaksional memiliki
pengaruh
yang
transformasional,
lebih
signifikan
sehingga
pada
dibandingkan
perusahaan
dengan
kecil
gaya
kepemimpinan
kepemimpinan
transaksional lebih cocok. Namun apabila perusahaan tersebut berkembang dan
mengalami perubahan dalam organisasinya maka gaya kepemimpinan harus ikut
berubah dari transaksional menjadi transformasional.
Koech dan Namusonge (2012), mengemukakan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Gaya
kepemimpinan transformasional mendorong pegawai untuk berusaha secara
maksimal dan mendapatkan hasil yang melebihi ekpektasi mereka, karena tujuan
dari kepemimpinan transformasional adalah untuk memaksimalkan kinerja
29
pegawai
dengan
cara
menginspirasi
mereka
sehingga
mereka
dapat
meningkatkan kemampuan mereka.
Dari penelitian-penelitian di atas yang berkaitan dengan penelitian penulis
adalah bahwa di Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD membutuhkan seorang
pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan transformasional sehingga
tingkat produktivitas karyawan bisa meningkat.
5. Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan
Menurut brown (2012) kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan
terhadap kinerjankaryawan, temuan ini berdasarkan dari hasil yang menunjukkan
bahwa pegawai yang puas akan pekerjaan mereka akan selalu memiliki
produktifitas yang baik. Sehingga hal-hal yang dapat meningkatkan kepuasan
kerja seperti imbalan yang sesuai, pekerjaan yang menantang dan lingkungan
kerja yang baik akan membantu dalam meningkatkan kinerja. Mendukung
penelitian sebelumnya Serrano (2010), melihat bahwa ada pengaruh signifikan
antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan. Dalam penelitiannya mereka
menemukan bahwa jika pegawai mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi
menandakan mempunyai fisik dan mental yang lebih sehat, menyelesaikan
pekerjaan lebih cepat, kemungkinan kecil untuk complain, dan mempunyai
tingkatan untuk hubungan sosial lebih tinggi
Sebaliknya Robbins (2009) mengemukakan hal yang sebaliknya, jika
pegawai mempunyai tingkat kepuasan kerja yang renda maka perilakunya akan
menyimpang dan menunjukkan perilaku yang mengarah meninggalkan
organisasi.
Dari seluruh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Brown,
Serano dan Robbins bahwa pegawai yang puas akan pekerjaan mereka akan
selalu memiliki produktivitas yang baik. Hal ini berkaitan dengan kondisi di
Bank Mega Syariah KCP Moderen dimana produktivitas karyawannya rendah
diakibatkan oleh rasa ketidakpuasan mereka.
30
2.9
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori yang dikemukakan dalam topik sebelumnya maka dapat
disusun kerangka pemikiran sebagai berikut :
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Sumber: Penulis, 2014
Hipotesis
H1
H0
= Tidak ada pengaruh
yang signifikan antara kepemimpinan
transformasional (X1) terhadap organizational citizenship behavior
(Y).
Ha =
Ada
pengaruh
yang
signifikan
antara
kepemimpinan
transformasional (X1) terhadap organizational citizenship behavior
(Y).
H2
H0
= Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2)
terhadap organizational citizenship behavior (Y).
Ha
= Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2) terhadap
organizational citizenship behavior (Y).
H3
H0
= Tidak ada pengaruh yang signifikan antara organizational citizenship
behavior (Y) terhadap kinerja karyawan (Z).
31
Ha
= Ada pengaruh yang signifikan antara organizational citizenship
behavior (Y) terhadap kinerja karyawan (Z).
H4
H0
= Tidak
ada
pengaruh
yang
signifikan
antara
kepemimpinan
transformasional (X1) terhadap Kinerja karyawan (Z).
Ha
= Ada
pengaruh
yang
signifikan
antara
antara
kepemimpinan
transformasional (X1) terhadap Kinerja karyawan (Z).
H5
H0
= Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2)
terhadap Kinerja karyawan (Z).
Ha
= Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2) terhadap
Kinerja karyawan (Z).
H6
H0
= Tidak
ada
pengaruh
yang
signifikan
antara
kepemimpinan
transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational
citizenship behavior (Y)
Ha
= Ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional
(X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior
(Y).
H7
H0
= Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional
(X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior
(Y) dan dampaknya terhadap kinerja karyawan (Z)
Ha
= Ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional
(X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior
(Y) dan dampaknya terhadap kinerja karyawan (Z).
32
Download