BAB 2 Landasan Teori 2.1 Kajian Pustaka Yang menjadi acuan untuk melandasi penelitian ini adalah teori manajemen sebagai grand theory, teori manajemen sumber daya manusia dijadikan sebagai middle theory, dan teori tentang kepemimpinan transformasional, organizational citizenship behavior, kepuasan kerja dan kinerja karyawan dijadikan sebagai applied theory. 2.2 Manajemen Menurut Robbins dan Coulter (2012) Manajemen melibatkan aktivitas- aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Manajemen juga berupaya untuk menjadi efektif, dengan menyelesaikan tugas-tugas demi terwujudnya sasaran-sasaran organisasi. Menurut Hasibuan (2007) manajemen merupakan sebuah ilmu dan juga seni yang mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, berdasarkan kedua teori diatas, manajemen menurut saya adalah ilmu sekaligus seni yang mempelajari tentang proses pengkoordinasian dan pengawasan dalam memanfaatkan sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. 2.3 Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Marwansyah (2010, p.3) Manajemen sumber daya manusia dapat diartikan sebagai pendayagunaan sumber daya manusia di dalam organisasi, yang dilakukan malalui fungsi-fungsi perencanaan sumbar daya manusia, rekrutmen dan seleksi, pengembangan sumber daya manusia, perencanaan dan pengembangan karir, pemberian kompensasi dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan hubungan industrial. Menurut Mathis dan Jackson (2006) Manajemen sumber daya manusia adalah ranangan sistem-sistem formal untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasi. 7 8 Mathis juga menyebutkan bahwa aktivitas manajemen sumber daya manusia berfokus pada : 1. Produktivitas. Diukur dari jumlah output per tenaga kerja, peningkatan tanpa henti pada produktivitas telah menjadi kompetisi global. Produktivitas tenaga kerja di sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh usaha, program dan sistem manajemen 2. Kualitas. Kualitas suatu barang/jasa akan sangat mempengaruhi kesuksesan jangka panjang suatu organisasi.Bila suatu organisasi memiliki reputasi sebagai penyedia barang/jasa yang kualitasnya buruk, perkembangan dan kinerja organisasi tersebut akan berkurang. 3. Pelayanan. Sumber daya manusia sering kali terlibat pada proses produksi barang/jasa. Manajemen sumber daya manusia harus disertakan pada saat merancang proses tersebut. Pemecahan masalah harus melibatkan semua karyawan, tidak hanya manajer, karena sering kali membutuhkan perubahan pada budaya perusahaan, gaya kepemimpinan dan kebijakan SDM. Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen SDM haruslah terdiri dari aktivitas-aktivitas yang saling berkaitan. Aktivitas SDM adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan dan Analisis Sumber. Aktivitas perencanaan dan analisis Sumber Daya Manusia mempunyai beberapa muka. Dengan perencaan Sumber Daya Manusia, manajer mencoba untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi pasokan dan permintaan akan tenaga kerja. 2. Kesetaraan Kesempatan Bekerja. Kepatuhan pada hokum dan peraturan Kesetaraan Kesempatan Bekerja (Equal Employment Opportunity-EEO) mempengaruhi aktivitas Sumber Daya Manusia lainnya dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari manajemen Sumber Daya Manusia. 3. Perekrutan/Staffing. Sasaran dari perekrutan adalah untuk mnyediakan pasokan tenaga kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan organisasi. 4. Pengembangan SDM. Dimulai dari memberikan orientasi pada tenaga kerja baru, pelatihan kerja-keterampilan (job-skill training) adalah bagian dari pelatihan dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Pekerjaan pasti akan berevolusi dan berubah, pelatihan yang berkesinambungan diperlukan untuk tanggap pada perubahan teknologi 9 5. Kompensasi dan Keuntungan. Kompensasi diberikan pada tenaga kerja yang melakukan kerja organisasi seperti dengan pembayaran (pay), insentif, dan keuntungan (benefit). Perusahaan harus mengembangkan dan selalu memperbaiki system upah dan gaji. 6. Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Kerja. Kesehatan dan keselamatan fisik serta mental tenaga kerja adalah hal yang utama. Occupational Safety and Health Act (OSHA) atau Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah membuat organisasi lebih tanggap atas isu kesehatan dan keselamatan. 7. Hubungan Tenaga Kerja dan Buruh / Manajemen. Hubungan antara manajer dan bawahannya harus ditangani dengan efektif jika ingin tenaga kerja dan organisasi mau tumbuh bersama. Hak-hak tenaga kerja harus diperhatikan, tidak perduli apakah ada atau tidak ada serikat tenaga kerja. Jadi, manajemen sumber daya manusia menurut saya adalah ilmu sekaligus seni yang mengatur sumber daya manusia di dalam suatu organisasi untuk menggunakan bakatnya secara efektif dan efisien demi mencapai tujuan organisasi. 2.4 Kepemimpinan 2.4.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan oleh manusia karena adanya sifat keterbatasan yang sangat melekat pada diri manusia. Suatu organisasi tanpa ada sosok seorang pemimpin akan mengalami kesulitan dalam mencapai visi dan misi dari organisasi itu sendiri. Dari sinilah timbul kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin. Secara kasar, kepemimpinan didefinisikan sebagai ciri – ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam organisasi dan persepsi mengenai pengaruh yang sah. Menurut Robbins dan Judge (2007, p.365) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Soekarso (2010, p10) kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain ke arah pencapaian tujuan tertentu. Jadi, menurut saya kepemimpinan adalah proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk 10 memahami dan setuju untuk berkerja sama untuk mencapai tujuan kelompok yang telah ditentukan 2.4.2 Fungsi – fungsi Kepemimpinan Berdasarkan Soekarso (2010, p.22) agar kelompok berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah, mencakup penetapan struktur tugas, pemberian saran dan penyelesaian, informasi dan pendapat. 2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau sosial, mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengaruh perbedaan pendapat dan sebagainya. Fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi dapat disebut dengan “enam F”, antara lain: a. Fungsi pengambilan keputusan ( Decision Making) b. Fungsi pengarahan (Directing) c. Fungsi pendelegasian (Delegation) d. Fungsi pemberdayaan (Empowerment) e. Fungsi fasilitas (Facilitating) f. Fungsi pengendalian (Controlling) 2.4.3 Sumber Daya Kepemimpinan Menurut Soekarso (2010, p,26) seorang pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki kekuatan berupa suatu sumber daya tertentu, seperti: 1. Pengaruh (Influence) Kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial dalam hubungan interpersonal. Pemimpin mempengaruhi bawahan atau pengikut kearah yang diinginkan. 11 2. Kekuasaan (Power) Pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki suatu sumber daya tertentu, yaitu power. Dalam hal ini power berarti daya, atau dalam teori kepemimpianan power adalah sebagai kekuasaan. 3. Legitimasi (Legitimacy) Kepemimpinan memerlukan legitimasi agar posisi formal keberadaan pemimpin dan kekuasaan mendapat pengakuan resmi dalam organisasi. 4. Indiosinkratik kredit (Indiosyncracy credit) Konsep Indiosinkratik merupakan elemen penting dari analisis teori pertukaran (exchange theory). Bagaimanapun pemimpin atau anggota dalam menjalankan tugas mempunyai peran masing-masing sesuai dengan kelompok atau organisasi. 5. Wewenang (Authority) Wewenang merupakan dasar hukum untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik. 6. Politik (Politic) Dalam organisasi terdapat keterbatasan sumber daya, keanekaragaman struktur, perbedaan kepentingan dan terjadi perubahan, maka agar mendapatkan lebih berperan atau lebih berkuasa dalam organisasi maka diperlukan tindakan-tindakan tertentu yaitu politik. 2.4.4 Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Atau dengan kata lain bagaimana cara seorang pemimpin dalam memimpin para bawahannya. Menurut Soekarso (2010, p.11) gaya kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi para anggota/pengikut serta melaksanakan tugas-tugas pekerjaan manajerial. Menurut Kartini Kartono (2006, p.34) menentukan watak dan tipe pemimpin atas setidaknya ada tiga pola dasar, yaitu: 1. Berorientasi pada tugas (task orientation) 2. Berorientasi hubungan kerja (relationship orientation) 12 3. Berorientasi hasil yang dicapai (effectivess orientation) Berdasarkan tiga orientasi di atas, dapat ditentukan bahwa terdapan delapan tipe gaya kepemimpinan: Tipe deserter (pembelot) Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa loyalitas dan ketaatan Tipe birokrat Sifatnya: kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma Tipe misionaris (missionary) Sifatnya: terbuka, penolong, ramah-tamah Tipe developer (pembangun) Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan wewenang dan menaruh kepercayaan kepada bawahan Tipe otokrat Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala Benevolent autocrat (otokrat yang bijak) Sifatnya: lancar, tertib, ahli dalam mengorganisasikan Tipe compromiser (kompromis) Sifatnya: tidak punya pendirian, berpikir pendek dan sempit, tidak mempunyai keputusan Tipe eksekutif Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi, tekun Maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu perilaku yang ditunjukan oleh pemimpin kepada bawahannya dengan tujuan untuk mempengaruhi bawahannya supaya dapat diarahkan. 2.4.5 Gaya Kepemimpinan Transaksional Dalam Yukl (2013, p.312) Bass memandang kepemimpinan transaksional sama dengan Burns yaitu sebuah pertukaran imbalan – imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Namun demikian, Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memadukan atau 13 memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional terdiri dari empat dimensi : a) Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward) : Menjalankan pertukaran kontraktual antara penghargaan dan usaha, menjanjikan penghargaan untuk kinerja yang baik dan mengakui pencapaian yang diperoleh. b) Manajemen Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active) : Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta melakukan tindakan-tindakan perbaikan. c) Manajemen Pengecualian-pasif (Management by Exception-Passive) : Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai. d) Laissez-faire : Melepas tanggung jawab dan menghindari pengambilan keputusan. 2.4.6 Cakupan Utuh Model Kepemimpinan (Transaksional-Transformasional) Gambar 2.1 Full Range of Leadership Model Sumber : Robbins dan Judge, 2007, p.388 14 Kepemimpinan transaksional dan transformasional hendaknya tidak dipandang sebagai pendekatan yang saling bertentangan. Kedua jenis kepemimpinan ini saling melengkapi, tetapi tidak berarti keduanya sama penting. Kepemimpinan transformasional lebih unggul dari pada kepemimpinan transaksional dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau hanya pendekatan transaksional yang diterapkan. Tetapi, yang sebaliknya tidak berlaku, jadi sebaik-baiknya kepemimpinan transaksional maka akan menjadi biasa saja apabila tidak memiliki sifat-sifat transformasional. Pada gambar Cakupan Utuh model kepemimpinan ini menjelaskan bahwa Laissez-Faire adalah model yang paling pasif dan karena itu merupakan perilaku pemimpin yang paling tidak efektif. Para pemimpin yang menggunakan gaya ini jarang dianggap efektif. Management by exception-entah aktif ataupun pasif-sedikit lebih baik dari pada Laissez-Faire, tetapi masih dianggap tipe kepemimpinan yang tidak efektif. Pemimpin yang menerapkan Management by exception cenderung hanya memberikan reaksi saat ada masalah, yang sering kali sudah terlambat. Kepemimpinan yang memberikan contingent reward bisa menjadi gaya kepemimpinan yang efektif. Namun, pemimpin seperti ini tidak bisa mendorong karyawannya untuk bekerja di luar cakupan tugasnya. Hanya dengan empat gaya kepemimpinan yang lain- semuanya merupakan aspek dari kepemimpinan transformasional - pemimpin bisa memotivasi karyawan untuk bekerja diatas ekspetasi dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi. Individualized consideration, intellectual stimulation, inspirational motivation, dan idealized influence, seluruhnya mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras, meningkatkan produktivitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja yang lebih tinggi, meningkatkan efektivitas organisasi, meminimalkan perputaran karyawan, menurunkan tingkat ketidakhadiran dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara organisasi yang lebih tinggi. Berdasarkan model ini, pemimpin umumnya paling efektif bila mereka secara rutin menetapkan masingmasing dari keempat perilaku transformasional. 2.4.7 Gaya Kepemimpinan Transformasional Menurut Yukl (2013, p.313) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah suatu keadaan dimana para pengikut dari seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat 15 terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan mereka. Pemimpin tersebut mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil – hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Menurut Robbins dan Judge (2007, p.387) kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral serta strategi dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Robbins dan Judge (2007) mengemukakan ada empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu: a) Pengaruh Ideal (Idealized Influence): Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin. Pemimpin diidentifikasikan dengan dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan. b) Motivasi yang Inspirasi (Inspirational Motivation): Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengomunikasi ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan tujuan-tujuan penting secara sederhana. c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation): Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih rasional dalam pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada . d) Perhatian yang bersifat Individual (Individualized Consideration): Pemimpin memberikan perihatian pribadi kepada bawahannya, seperti 16 memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada bawahannya. 2.5 Organizational Citizenship Behavior (OCB) 2.5.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunter untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan.” Menurut Organ (2006) Perilaku Kewarnegaraan Organisasional (Organizational Citizenship Behavior) adalah perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan system reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini berarti perilaku tersebut tidak termasuk kedalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman. Menurut Luthans (2006, p.251) Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau kewarganegaraan organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/ kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposes karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan sungguhsungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk membalas tindakan organisasi. Jadi, menurut saya Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah kontribusi pekerja “diatas dan lebih dari” deskripsi kerja formal, yang dilakukan secara sukarela, yang secara formal tidak diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku organisasi yang dapat membuat karyawan benar-benar merasa terlibat seperti bagian di dalam organisasi tersebut dan berperilaku untuk bekerja lebih dari tuntutan pekerjaan yang diberikan perusahaan. 17 2.5.2 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dimensi OCB menurut Organ (2006, p.106) adalah sebagai berikut : 1) Altruism Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. 2) Conscientiousness Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas . 3) Sportmanship Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan – keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. 4) Courtessy Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah – masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain, yaitu membantu teman kerja,mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka. 5) Civic Virtue Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur – prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber organisasi). – sumber yang dimiliki oleh Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. 18 2.5.3 Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB) Melalui sejumlah riset, OCB diyakini dan terbukti dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi, diantaranya adalah berikut ini, menurut Organ (2006, p.166): 1) OCB dapat meningkatkan produktivitas rekan kerja 2) OCB juga mampu meningkatkan produktivitas manajer 3) OCB dapat menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan 4) OCB menjadi sarana yang efektif untuk mengkordinasi kegiatan tim kerja secara efektif. 5) OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk merekrut dan mempertahankan karyawan dengan kualitas performa yang baik 6) OCB dapat mempertahankan stabilitas kinerja organisasi 7) OCB membantu kemampuan organisasi untuk bertahan dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. 2.5.4 Motif yang Mendasari OCB Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh banyak hal, artinya tidak banyak penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk akal bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendektan motif dalam perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya, Menurut McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005:14) : Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau kompetisi. Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari situasi di mana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain. 2.6 Kepuasan Kerja 2.6.1 Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan bentuk perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja. Dengan demikian 19 kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang pegawai, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan. Menurut Robbins dan Judge (2007, p.79) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan positif sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Definisi ini tentu sangat luas maknanya. Luthans (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dicerminkan oleh pegawai terhadap pekerjaannya. 2.6.2 Teori - Teori Kepuasan Kerja Menurut Yukl & Wexley dalam Sunyoto (2013) ada tiga macam teori kepuasan kerja a. Disrepancy theory, teori yang dipelopori oleh Porter (1961). Ia mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Lalu Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada disrepancy antara should be (expectation needs or value) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaan. b. Equity theory, prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas dan tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas atas situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor dan pemerintah dipengaruhi oleh motivasi c. Two factor theory, prinsip teori ini adalah kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan tidak merupakan variabel yang kontinyu. Situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaan di bagi dua yaitu: - Satisfiers atau motivator adalah situasi yang membuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari achievement, recognition, work itself, responsibilitiy and advencement 20 - Dissatisfiers (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company policy and administration, supervision, technical, salary, interpersonal, relation, working condition, job security and status. 2.6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Robins dan Coulter (2009 ) antara lain: 1) Pekerjaan yang menantang Dikatakan bahwa pekerjaan yang memberi peluang untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan, serta menawarkan variasi tugas, kebebasan dan umpan balik cenderung lebih disukai. Karakteristik ini membuat pekerjaan menjadi menantang secara mental. 2) Imbalan yang sesuai Karyawan menginginkan sistem gaji yang mereka anggap sesuai dengan apa yang mereka harapkan dan adil berdasarkan permintaan pekerjaan, tingkat keterampilan individu dan standar pembayaran masyarakat. 3) Kondisi kerja yang mendukung Kondisi lingkungan akan mempengaruhi kenyaman pribadi karyawan agar dapat bekerja dengan lebih baik. 4) Rekan kerja yang mendukung Karyawan bekerja tidak hanya semata mata untuk mendapatkan uang atau prestasi yang berwujud, namun sebagian karyawan juga membutuhkan interaksi sosial. 5) Kesesuaian kepribadian pekerjaan Pekerjaan yang cocok dengan kepribadian seseorang akan meningkatkan rasa puas orang tersebut terhadap pekerjaannya. 6) Disposisi genetik Individual Disposisi seseorang terhadap hidup positif atau negatif ditentukan oleh bentukan genetisnya, bentukan sepanjang waktu, dan dibawa serta kedalam disposisinya Terwujudnya kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor pendorong dari tercapainya tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2007) faktor yang menimbulkan kepuasan kerja karyawan adalah: 21 a. Balas jasa yang adil dan layak b. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian c. Berat ringannya pekerjaan d. Suasana dan lingkungan pekerjaan e. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan f. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya g. Sadar pekerjaan monoton atau tidak 2.6.4 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbins dan Judge (2007, p.83) ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya: a Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti. b Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh. c Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat. d Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat. 2.6.5 Dimensi Kepuasan Kerja Beberapa faktor penentu kepuasan kerja menurut Luthans (2005, p.212), adalah sebagai berikut : 1. Supervisor (Atasan) Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan fungsional dan keseluruhan (entity) . Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan, misalnya dengan memberikan pekerjaan yang menantang. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-niai yang seru. 22 2. The work it self (Pekerjan itu Sendiri) Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan kerja. Ada beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta perkembangan karir merupakan hal penting untuk setiap karyawan. 3. Pay (Gaji) Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutantuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standard gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja. 4. Promotion Opportunity (Kesempatan Promosi) Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena promosi mengambil beberapa bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari yang menyertai kompesasi. Contohnya , apabila seorang karyawan naik jabatan, gaji karyawan tersebut juga naik sesuai dengan jabatannya dan kepuasan kerja karyawan tersebut juga meningkat. 5. Co-Worker (Rekan Kerja) Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak, yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka dalam jumlah tertentu berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian kebutuhan sosialnya terpenuhi. Rekan kerja memberikan sumber-sumber semangat, kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi menyenangkan. 6. Working Condition (Kondisi Kerja) Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih, atraktif, dan nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam menjalankana pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja. 23 2.7 Kinerja Karyawan 2.7.1 Pengertian Kinerja Karyawan Kinerja karyawan sering diartikan sebagai pencapaian tugas, dimana karyawan dalam bekerja harus sesuai dengan program kerja organisasi untuk menunjukkan tingkat kinerja organisasi dalam mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi. Pada dasarnya kinerja seorang karyawan merupakan hal yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda – beda dalam mengerjakan pekerjaannya. Menurut Mathis dan Jackson (2006, p.378) berpendapat bahwa kinerja (perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama. Menurut Wibowo (2007, p.7) kinerja berasal dari pengertian performance. Adapula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan secara langsung. Jadi, berdasarkan kedua teori diatas, kinerja menurut saya adalah perilaku yang ditunjukkan oleh para karyawan sebagai perwujudan prestasi kerja yang dihasilkan sesuai dengan perannya di dalam perusahaan. 2.7.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh 2 faktor, yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, menurut Mathis dan Jackson (2006, p.113) kinerja para karyawan adalah suatu awal keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu : 1) Kemampuan individual Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang 24 berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memmiliki keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula. 2) Usaha yang dicurahkan Usaha yang dicurahkan oleh karyawan bagi perusahaan adalah motivasi, etika kerja, kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dari itu, kalaupun karyawan memiliki tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan anatara tingkat keterampilan dengan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin dari apa yang dilakukan. 3) Dukungan organisasional Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi karyawan meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, standar kinerja, dan manajemen dan rekan kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi pada organisasi. Gambar 2. 2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sumber : Mathis dan Jackson (2006, p.114) 25 2.7.3 Elemen – Elemen Kinerja Karyawan Menurut Mathis dan Jackson (2006, p.378) kinerja (performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: 1) Kuantitas dari hasil Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut, dalam presentase atau indeks. 2) Kualitas dari hasil Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung pada selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba. 3) Ketepatan waktu dari hasil Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukan. Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian. 4) Kehadiran atau absensi Tingkat kehadiran merupakan sesuatu yang menjadi tolak ukur sebuah perusahaan dalam mengetahui tingkat partisipasi karyawan pada perusahaan. 5) Kemampuan bekerja sama Kemampuan bekerja sama dapat menciptakan kekompakan sehingga dapat meningkatkan rasa kerja sama antar karyawan. 2.8 Penelitian Terdahulu Berikut adalah penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan hubungan antara kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja, organizational citizenship behavior cultur, dan kinerja karyawan 1. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maharani Vivin dan Afnan Troena dan Noermijati (2013), ditemukan salah satu cara untuk meningkatkan Organizational Citizenship Behavior adalah dengan meningkatkan kepemimpinan transformasional. Ini karena kepemimpinan transformasional membantu pegawai untuk mengembangkan kreatifitas dan mampu memberikan 26 motivasi pada bawahannya, sehingga pegawai mempunyai perilaku positif terhadap pekerjaannya. Penelitian terdahulu lainnya juga didukung oleh Yulianto Ardi (2013) yang menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior, dimana kepemimpinan transformasional dapat menciptakan kondisi kerja yang efektif dan menciptakan kondisi kerja yang ideal sehingga hal ini akan secara langsung mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior. Berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya, Kerry (2013) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya gaya pemimpin yang transformasional diperusahaan. Sehingga gaya kepemimpinan transformasional belum bisa membantu pegawai untuk mengembangkan kreatifitas dan belum mampu memberikan motivasi pada bawahannya. Dari penelitian-penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian peneliti berpendapat kepemimpinan transformasional berpengaruh secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior, sedangkan sebagian lain mengatakan hal yang sebaliknya. Untuk itu penulis mengadakan penelitian ini untuk mencari tahu apa yang menyebabkan perbedaan tersebut dan hasil penelitian mana yang lebih sesuai dengan kondisi di Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD 2. Pengaruh Kepuasan kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior Menurut Maharani Vivin dan Afnan Troena danNoermijati (2013) kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior, hal ini disebabkan oleh kepuasan kerja yang memiliki peran penting dalam menciptakan Organizational Citizenship Behavior karena kepuasan kerja merupakan hasil sinkronisasi dari perasaan individu terhadap pekerjaannya. Widyanto Ribke (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Ini dikarenakan terdapat perbedaan tingkat kepuasan individu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan individu seperti faktor lingkungan dan faktor pekerjaan itu sendiri. Berdasarkan dari kedua faktor tersebut dapat ditentukan dari kondisi perusahaan. Mendukung penelitian 27 sebelumnya Avolio (2009) menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Organizational Citizenship Behavior menunjukkan perilaku pegawai mengenai kepuasan kerja dan setiap pegawai memiliki tingkatan yang berbeda mengenai kepuasan kerja. Contohnya kondisi lingkungan kerja yang tidak kondusif seperti hubungan dengan rekan kerja yang terjalin dengan baik memberikan persepsi yang lebih positif terhadap Organizational Citizenship Behavior, sedangkan terdapat pegawai lain yang hubungan dengan rekan kerjanya tidak terjalin dengan baik memberikan persepsi yang sebaliknya. Ini dikarenakan tidak semua pegawai bisa memiliki interaksi sosial yang aktif. Dari penelitian-penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian peneliti berpendapat kepemimpinan transformasional berpengaruh secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior. Kaitannya dengan Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD dengan adanya penelitian terdahulu adalah dengan melihat faktor apakah yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. 3. Pengaruh Organizational Citizenship Behavior terhadap kinerja karyawan Penelitian Menurut Maharani Vivin dan Afnan Troena danNoermijati (2013) menemukan bahwa organizational citizenship behavior berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan, pegawai yang memiliki perilaku positif akan berkontribusi lebih terhadap pekerjaan mereka.Ini dikarenakan adanya reward yang bisa menjadi penyemangat pegawai untuk selalu berkontribusi melebihi tuntutan peran ditempat kerja sehingga secara agregat dapat mempengaruhi hasil kinerja karyawan. Selain itu dalam penelitian ini responden setuju bahwa penyemangat yang mereka dapat salah satunya adalah dengan sistem reward yang baik dan dari atasan yang dapat memotivasi pegawainya. Mendukung penelitian sebelumnya Burns (2010) menemukan bahwa system reward yang baik memiliki pengaruh signifikan, temuan ini mendukung penelitian-penelitian terdahulu. Ini karena apabilasistem reward dikelola secara baik maka akan menciptakan kinerja kerja yang baik pada pegawai. Lebih lanjutnya Maggy (2011) menemukan bahwa system reward yang baik merupakan sumber dari perilaku yang positif seorang pegawai. ini 28 dikarenakan system reward yang baik akan membuat pegawai merasa bahwa mereka lebih dihargai dalam proses penyelesaian tugas, selain itu perilaku partisipasi dapat memberikan pegawai rasa keterlibatan yang lebih mendalam mengenai kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas sehingga bisa lebih maksimal. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 dan 2011 menemukan pengaruh yang signifikan antara organizational citizenship behavior dan kinerja karyawan. Penulis ingin mencari tahu dari kedua penelitian tersebut penelitian manakah yang lebih sesuai dengan kondisi Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD saat ini. 4. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Karyawan Menurut Oguz(2012), kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Dimana dikatakan bahwa manajer harus memimpin dengan gaya transformasional pada saat organisasi sedang mengalami berkemban, karena perkembangan yang terus-menerus pada organisasi menuntut hubungan yang berkualitas antara atasan dan bawahan dan apabila terjalin hubungan yang baik antara atasan dan bawahan maka akan menghasilkan peningkatan pada kinerja karyawan. Mendukung penelitian sebelumnya Obiwuru dan Okwu (2011) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai dan kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang cocok bagi organisasi yang sedang berubah atau berkembang karena di nilai dapat meningkatkan kinerja pegawai. Pada perusahaan kecil ditemukan bahwa kepemimpinan transaksional memiliki pengaruh yang transformasional, lebih signifikan sehingga pada dibandingkan perusahaan dengan kecil gaya kepemimpinan kepemimpinan transaksional lebih cocok. Namun apabila perusahaan tersebut berkembang dan mengalami perubahan dalam organisasinya maka gaya kepemimpinan harus ikut berubah dari transaksional menjadi transformasional. Koech dan Namusonge (2012), mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Gaya kepemimpinan transformasional mendorong pegawai untuk berusaha secara maksimal dan mendapatkan hasil yang melebihi ekpektasi mereka, karena tujuan dari kepemimpinan transformasional adalah untuk memaksimalkan kinerja 29 pegawai dengan cara menginspirasi mereka sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka. Dari penelitian-penelitian di atas yang berkaitan dengan penelitian penulis adalah bahwa di Bank Mega Syariah KCP Moderen BSD membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan transformasional sehingga tingkat produktivitas karyawan bisa meningkat. 5. Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan Menurut brown (2012) kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerjankaryawan, temuan ini berdasarkan dari hasil yang menunjukkan bahwa pegawai yang puas akan pekerjaan mereka akan selalu memiliki produktifitas yang baik. Sehingga hal-hal yang dapat meningkatkan kepuasan kerja seperti imbalan yang sesuai, pekerjaan yang menantang dan lingkungan kerja yang baik akan membantu dalam meningkatkan kinerja. Mendukung penelitian sebelumnya Serrano (2010), melihat bahwa ada pengaruh signifikan antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan. Dalam penelitiannya mereka menemukan bahwa jika pegawai mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi menandakan mempunyai fisik dan mental yang lebih sehat, menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, kemungkinan kecil untuk complain, dan mempunyai tingkatan untuk hubungan sosial lebih tinggi Sebaliknya Robbins (2009) mengemukakan hal yang sebaliknya, jika pegawai mempunyai tingkat kepuasan kerja yang renda maka perilakunya akan menyimpang dan menunjukkan perilaku yang mengarah meninggalkan organisasi. Dari seluruh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Brown, Serano dan Robbins bahwa pegawai yang puas akan pekerjaan mereka akan selalu memiliki produktivitas yang baik. Hal ini berkaitan dengan kondisi di Bank Mega Syariah KCP Moderen dimana produktivitas karyawannya rendah diakibatkan oleh rasa ketidakpuasan mereka. 30 2.9 Kerangka Pemikiran Berdasarkan teori yang dikemukakan dalam topik sebelumnya maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut : Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Sumber: Penulis, 2014 Hipotesis H1 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) terhadap organizational citizenship behavior (Y). Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) terhadap organizational citizenship behavior (Y). H2 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior (Y). Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior (Y). H3 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara organizational citizenship behavior (Y) terhadap kinerja karyawan (Z). 31 Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara organizational citizenship behavior (Y) terhadap kinerja karyawan (Z). H4 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) terhadap Kinerja karyawan (Z). Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara antara kepemimpinan transformasional (X1) terhadap Kinerja karyawan (Z). H5 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2) terhadap Kinerja karyawan (Z). Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja (X2) terhadap Kinerja karyawan (Z). H6 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior (Y) Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior (Y). H7 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior (Y) dan dampaknya terhadap kinerja karyawan (Z) Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) terhadap organizational citizenship behavior (Y) dan dampaknya terhadap kinerja karyawan (Z). 32