BAB I PENDAHULUAN Pada bagian awal penelitian ini disajikan latar belakang masalah, masalah penelitian, motivasi penelitian, tujuan penelitian, perbedaan dengan penelitian sebelumnya, kontribusi penelitian dan rerangka penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Laba merupakan instrumen pengukur kinerja operasional perusahaan. Informasi laba mengukur keberhasilan atau kegagalan bisnis dalam mencapai tujuan operasi yang ditetapkan. Oleh karena itu informasi laba yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan yang tepat baik bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan. Berdasarkan sistem akuntansi akrual, ukuran utama kinerja perusahaan adalah laba, dalam hal ini laba adalah estimasi atas arus kas bersih saat ini dan masa depan dari transaksi ekonomi selama satu perioda. Hal ini mengimplikasikan bahwa laba yang dilaporkan perusahaan adalah estimasi atas kinerja perusahaan. Akurasi dari estimasi tersebut tergantung pada kualitas properti akuntansi yang digunakan untuk melakukan estimasi. Semakin rendah akurasi estimasi menyebabkan laba menjadi buram. Laba yang buram adalah laba yang tidak transparan. Keburaman laba (earnings opacity) 1 adalah ketidaktransparanan laba, sehingga tidak menyajikan distribusi laba ekonomi yang sesungguhnya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tingkat keburaman laba yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya peringkat indeks keburaman Indonesia, yaitu peringkat ke 35 dari 48 negara (Milken Institute, 2009)2. Peringkat 1 Keburaman laba (earnings opacity) adalah ukuran distribusi properti menunjukkan lemahnya korespondensi antara laba akuntansi terobservasi tidak terobservasi. Pandangan keburaman laba tersebut adalah lawan idefinisikan oleh Ball dkk.(2000) sebagai penggabungan secara tepat waktu ekonomi ke dalam laba akuntansi (Belkaoui dan AlNajjar, 2006). laba akuntansi yang dan laba ekonomi yang transparansi laba, yang (tidak terobservasi) laba 2 Definisi keburaman (opacity) menurut Milken Institute (2009) adalah praktik dalam ranah bertemunya bisnis, keuangan, dan pemerintah yang kurang jelas, kurang akurat, kurang formal, dan kurang ada pisah batas.Sedangkan menurut Anderson dkk.(2009) keburaman laporan keuangan mencerminkan usaha dari dalam perusahaan untuk membatasi informasi dan bentuk untuk membatasi perhatian dari partisipan pasar. 1 lain yang dilakukan oleh Bhattacharya dkk. (2003) yang menunjukkan tingkat keburaman laba Indonesia pada peringkat ke 32 dari 34 negara. Indeks keburaman menurut Milken Institute (2009) merupakan indeks yang mengukur dan memeringkat modal sosial negatif dari beberapa negara. Indeks keburaman adalah ukuran yang luas mengenai ketidakefektifan institusi keuangan dan ekonomi suatu negara, seperti ukuran risiko keseluruhandari suatu negara. Semakin tinggi indeks menunjukkan bahwa negara tersebut mempunyai tingkat korupsi yang tinggi, sistem hukum yang lemah, kebijakan pelaksanaan ekonomi yang kurang memadai, tata kelola dan standar akuntansi yang buruk, serta regulasi yang lemah. Hal ini sesuai dengan argumen Bhattacharya dkk. (2003) bahwa keburaman laba3 merupakan interaksi yang kompleks dari paling tidak tiga faktor yang meliputi:motivasi manajerial, standar akuntansi yang buruk, dan penegakan terhadap standar akuntansi yang lemah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingginya peringkat perusahaan publik di Indonesia menurut kedua indeks tersebut [indeks keburaman laba menurut Bhattacharya dkk. (2003) dan indeks keburaman menurut Milken Institute (2009)] menunjukkan bahwa kualitas informasi laba pada perusahaan publik di Indonesia sangatlah rendah. Selain itu, Indonesia memiliki sistem hukum yang kurang efektif (Durnev dan Kim, 2005), lemahnya sistem hukum tersebut akan mendorong tingginya tingkat keburaman laba di Indonesia, karena keburaman laba dipengaruhi oleh enforcement terhadap standar akuntansi (Battacharya dkk.,2003), enforcement hukum suatu negara (Belkoui, 2004 (b); Belkaoui dan AlNajjar, 2006) dan buruknya tata kelola perusahaan (Bao, 2009). Indonesia juga memiliki pasar untuk pengendalian perusahaan (market for corporate control)4 yang tidak efektif dan kurang maju (Nam, 2004), hal tersebut dapat mendorong tingginya keburaman laba karena pasar gagal memonitor tindakan diskresi yang dilakukan oleh manajemen (Anderson dkk., 2006). Faktor-faktor apakah yang menyebabkan tingginya 3 Keburaman laba suatu negara adalah sejauh mana distribusi laba yang dilaporkan perusahaanperusahaan dalam negara tersebut gagal menyajikan informasi mengenai distribusi laba ekonomi sesungguhnya, akan tetapi tidak terobservasi (Bhattacharya dkk., 2003). 4 Kemampuan mekanisme pasar untuk menjalankan fungsi monitoring terhadap manajemen perusahaan melalui penilaian terhadap harga pasar saham perusahaan. 2 keburaman laba di Indonesia, dan apakah dampak keburaman laba tersebut bagi perusahaan masih menimbulkan pertanyaan. Menurut Bao (2009) keburaman pelaporan keuangan, terutama keburaman laba penting dalam dua hal, yaitu keandalan informasi keuangan dan dampaknya terhadap ekonomi. Semakin tinggi indeks keburaman suatu negara mengindikasikan perusahaan dalam negara tersebut memiliki tata kelola perusahaan yang buruk dan tata kelola buruk tersebut dapat mengakibatkan kegagalan perusahaan. Semakin buram laba perusahaan semakin banyak jumlah informasi buruk perusahaan yang disembunyikan (Jin dan Myers, 2006). Keburaman laba juga akan mempengaruhi risiko informasional yang berhubungan dengan peningkatan kos ekuitas dan menurunkan perdagangan saham (Bhattacharya dkk.,2003); perkembangan ekonomi dan pembangunan manusia, kesejahteraan pasar modal dalam suatu negara (Belkaoui, 2005); arus kas dan risiko (Jin dan Myers, 2006); return saham (Hutton dkk., 2009). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keburaman laba pada suatu negara yaitu: tingkat korupsi suatu negara (Belkaoui, 2004), persentase perusahaan publik yang terhubung secara politis dan penegakan hukum suatu negara (Belkaoui, 2005), tingkat kebebasan ekonomi dan kualitas hidup, peraturan hukum, pertumbuhan ekonomi dan tingkat korupsi (Belkaoui dan AlNajjar, 2006); regulasi Sarbanes-Oxley (Hutton dkk., 2009). Anderson dkk. (2009) beragumen bahwa dalam sistem hukum yang sama informasi mengenai aktivitas perusahaan dapat bervariasi karena pengaruh risiko ekspropriasi yang dialami oleh investor minoritas. Anderson dkk. (2009) menguji peranan kepemilikan keluarga sebagai pemonitor dan potensinya dalam mengeksploitasi keburaman laba perusahaan untuk keuntungan privat dari pengendalian perusahaan, dan ditemukan bukti bahwa perusahaan keluarga lebih buram daripada non keluarga, serta semakin tinggi keburaman laba pada perusahaan 3 keluarga maka kinerja perusahaan akan semakin rendah5. Hal ini menunjukkan bahwa informasi aktivitas perusahaan bervariasi secara substansial dengan keberadaan kepemilikan pendiri (founder) dan pewarisnya (heirs). Hubungan kepemilikan saham oleh keluarga dapat dijelaskan dengan dua teori, yaitu hipotesis pemonitoran(monitoring hypothesis) dan hipotesis ekspropriasi (expropriation hypothesis) (Anderson dkk.,2009). Hasil penelitian empiris yang menguji kedua hipotesis tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan terkonsentrasi oleh keluarga berpengaruh terhadap keburaman laba perusahaan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan perusahaan non keluarga/non grup yang kepemilikan sahamnya juga terkonsentrasi? Apakah kepemilikan yang terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal juga berpengaruh terhadap keburaman laba? Pertanyaan tersebut didasari oleh dua teori yang menjelaskan motivasi pemegang saham mayoritas dalam perusahaan untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan termasuk kebijakan pelaporan keuangan, yaitu hipotesis pemonitoran (monitoring hypothesis) dan hipotesis konflik kepentingan (conflictof interest hypothesis), sehingga diduga keberadaan pemegang saham mayoritas tunggal perpengaruh terhadap keburaman laba perusahaan. Penelitian ini juga menguji pengaruh tingkat kompetisi industri yang dihadapi perusahaan terhadap keburaman laba yang belum pernah dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Hal ini didasari oleh argumen Fan dan Wong (2002) bahwa kepemilikan terkonsentrasi memungkinkan perusahaan membatasi pengungkapan informasi kepada publik. Keburaman adalah strategi yang bagus karena mencegah kebocoran informasi proprieter pada pesaing dan memungkinkan perusahaan untuk menghindari pemeriksaan mendalam baik secara politis maupun sosial. Ada tarik ulur/trade-off antara keinginan perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang menguntungkan ke pasar (sehingga menurunkan kos ekuitasnya) dan keinginan untuk melindungi informasi privat dari pesaing potensial (Darrough dan Stoughton, 1990). 5 Keburaman laporan keuangan menurut Anderson dkk. (2009) mencerminkan usaha dari dalam perusahaan untuk membatasi informasi dan bentuk untuk membatasi perhatian dari partisipan pasar. 4 Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan pengaruh kompetisi terhadap diskresi perusahaan untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi yang menguntungkan, yaitu hipotesis kos politis (political cost hypothesis) dan hipotesis kos proprieter (proprietary cost hypothesis), dan kedua teori tersebut memberikan prediksi yang berlawanan (Birt dkk., 2006; Gelb dan Greenstein, 2004). Akan tetapi apakah tingkat kompetisi industri yang dihadapi perusahaan berpengaruh terhadap tingkat keburaman laba masih menimbulkan pertanyaan. Hipotesis manakah yang mampu menjelaskan pengaruh tingkat kompetisi industri yang dihadapi perusahaan terhadap keburaman laba pada perusahaan publik di Indonesia, hipotesis kos politis atau hipotesis kos proprieter? Oleh karena perusahaan publik di Indonesia menghadapi risiko politis yang tinggi, apakah hipotesis kos politis mampu menjelaskan pengaruh kompetisi industri terhadap keburaman laba? Pengungkapan informasi ke publik melalui laporan tahunan dan pengungkapan lain akan mengurangi ketidakpastian mengenai waktu dan ukuran arus kas masa depan dan juga premi risiko. Hal ini berimplikasi terhadap regulasi pelaporan keuangan dan kebijakan pengungkapan sukarela, bahwa semakin informatif pengungkapan publik akan mengurangi kos ekuitas (Christensen dkk., 2010). Sebagai salah satu komponen dalam laporan keuangan yang diungkapkan kepada publik, laba yang buram bisa mempengaruhi pasar keuangan suatu negara. Bushman dan Smith (2001) mengidentifikasi bahwa keburaman laba akan mempengaruhi pasar keuangan dalam tiga hal: 1) informasi akuntansi yang lebih bagus membantu investor membedakan antara investasi bagus dan buruk yang menurunkan risiko estimasi, sehingga menurunkan kos ekuitas perusahaan, 2) informasi akuntansi yang lebih bagus membantu investor membedakan antara manajer bagus dan buruk yang menurunkan kos agensi, sehingga menurunkan kos ekuitas perusahaan, 3) keburaman laba melemahkan hubungan antara laba akuntansi yang dilaporkan dan laba akuntansi yang tidak terobservasi, sehingga meningkatkan asimetri informasi. Menurut Battacharya dkk.,(2003) keburaman laba menyebabkan risiko informasi, yaitu variasi risiko yang mungkin dihadapi investor, hasil dari 5 pemrosesan informasi yang tidak memadai atau tidak tepat sebagai dasar keputusan investasi. Oleh karena itu diperlukan pula bukti empiris pada perusahaan publik di Indonesia, bahwa keburaman laba akan meningkatkan risiko informasi sehingga berpengaruh terhadap kos ekuitas. 1.2. Masalah Penelitian Laba yang dilaporkan oleh perusahaan dalam suatu negara bisa buram karena adanya interaksi yang kompleks dari paling tidak tiga faktor, yaitu motivasi manajerial (motivasi manajer untuk memanipulasi laba), standar akuntansi (standar akuntansi yang terlalu longgar atau memang standarnya buruk), dan kurangnya enforcement terhadap standar akuntansi (Battacharya dkk., 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun berada dalam satu sistem hukum dan lingkungan regulasi akuntansi yang sama, tingkat keburaman laba antar perusahaan bisa berbeda-beda. Penelitian Anderson dkk., (2009) menggunakan dua perspektif teori keagenan untuk menjelaskan pengaruh kepemilikan keluarga terhadap keburaman laba menggunakan perspektif monitoring hypothesis dan entrenchment hypothesis. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan dua perspektif teori keagenan dalam menjelaskan pengaruh kepemilikan saham mayoritas tunggal terhadap keburaman laba, yaitu monitoring hypothesis dan conflict of interest hypothesis. Menurut perspektif monitoring hypothesis, keberadaan pemegang saham mayoritas tunggal akan menambah fungsi monitoring di dalam perusahaan. Monitoring yang biasanya dilakukan oleh perusahaan melalui pengungkapan yang ekstensif bisa digantikan oleh keberadaan pemegang saham mayoritas tunggal, sehingga diduga akan berpengaruh terhadap keburaman laba. Keburaman laba perusahaan tinggi bukan berarti kualitas informasi akuntansi rendah, tetapi laba yang buram berfungsi untuk menurunkan kos atas informasi yang dipublikasikan perusahaan. Menurut perspektif conflict of interest hypothesis, keberadaan pemegang saham mayoritas tunggal akan memanfaatkan keburaman laba untuk memperoleh 6 private benefit. Diduga pemegang saham mayoritas tunggal akan menggunakan hak voting-nya untuk mengendalikan kebijakan pelaporan keuangan perusahaan melalui laporan laba yang buram. Perusahaan keluarga biasanya memiliki struktur kepemilikan piramida, dan memiliki pemilik utama (ultimate owner) yang mengendalikan kebijakan perusahaan. Hal ini berbeda dengan perusahaan non piramida yang biasanya kebijakan perusahaan dikendalikan oleh pemegang saham mayoritas. Perbedaan tersebut menyebabkan motivasi dari founding & heirs pada penelitian Anderson dkk., (2009) berbeda dengan pemegang saham mayoritas tunggal dalam mempengaruhi kebijakan pelaporan keuangan. Keluarga biasanya memanfaatkan hak kendali atas kebijakan perusahaan untuk tujuan jangka panjang karena founding & heirs berfungsi sebagai penjaga (safe guard) perusahaan yang bertujuan untuk menjaga kesejahteraan keluarga dalam jangka panjang, sedangkan pemegang saham mayoritas tunggal biasanya mempunyai tujuan jangka pendek yang disesuaikan dengan strategi perusahaan. Tujuan jangka panjang maupun jangka pendek tersebutbisa dilakukan dalam perspektif efisien (monitoring hypothesis) maupun perspektif oportunistik (conflict of interest hypothesis). Perspektif monitoring hypothesis dan conflict of interest hypothesis mempunyai prediksi yang sama yaitu semakin tinggi kecenderungan perusahaan memiliki pemegang saham mayoritas tunggal maka keburaman laba perusahaan akan meningkat. Oleh karena itu rumusan masalah pertama dalam penelitian ini adalah: apabila ditinjau dari perspektif teori keagenan apakah kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal berpengaruh terhadap keburaman laba sesuai dengan penjelasan monitoring hypothesis dan conflict of interest hypothesis? Perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi biasanya akan membatasi pengungkapan informasi kepada publik (Fan dan Wong, 2002). Keburaman adalah strategi yang bagus karena mencegah kebocoran informasi proprieter pada kompetitor dan memungkinkan perusahaan untuk menghindari pemeriksaan mendalam baik 7 secara politis maupun sosial. Hal ini sesuai dengan hipotesis kos politis yang menjelaskan bahwa perusahaan yang beroperasi pada lingkungan kompetitif memiliki dorongan untuk tidak menarik perhatian melalui laba yang dihasilkan dari tindakan anti trust, tambahan pajak, dan regulasi pemerintah (Gelb dan Greenstein, 2004). Selain itu perusahaan publik di Indonesia menghadapi kos politis tinggi terutama yang terkait denganmasalah regulasi, seperti regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan, bursa efek, dan otoritas pajak. Tingginya kos politis tersebut akan mempengaruhi strategi keburaman laba perusahaan. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah kedua apakah kompetisi industri berpengaruh terhadap keburaman laba sebagaimana dijelaskan oleh hipotesis kos politis? Regulator biasanya mengharuskan pengungkapan informasi akuntansi yang ekstensif dan andal, akan tetapi tiap-tiap perusahaan akan memilih jenis, kualitas, dan tipe informasi yang diungkapkan ke publik berbeda-beda tergantung diskresi manajemen, lingkungan kompetisi industri dan tujuan strategik perusahaan. Perusahaan yang mempunyai keburaman laba tinggi mengindikasikan rendahnya keandalan informasi akuntansi sehingga akan meningkatkan risiko informasional bagi pengguna laporan keuangan yang berdampak terhadap kos ekuitas. Oleh karena itu rumusan masalah ketiga adalah apakah keburaman laba berpengaruh terhadap kos ekuitas yang ditanggung oleh perusahaan? 1.3. Motivasi Penelitian Penelitian ini dimotivasi oleh beberapa hal: 1) Perusahaan publik di Indonesia memiliki peringkat keburaman laba yang tinggi, maka riset ini dimotivasi untuk melakukan analisis dan memberikan bukti empirik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya keburaman laba pada perusahaan publik di Indonesia. 2) Tingginya tingkat keburaman laba menunjukkan bahwa keinformatifan laba di Indonesia sangatlah rendah sehingga mempengaruhi proses pengambilan 8 keputusan bagi investor, terutama dalam menanggung biaya transaksi yang lebih tinggi sehingga meningkatkan risiko informasi. Meningkatnya risiko informasi tersebut mendorong investor meminta return tinggi dari perusahaan untuk mengkompensasi risiko tersebut sehingga kos ekuitas yang ditanggung perusahaan tinggi. Oleh karena itu penulis juga termotivasi untuk memberikan bukti empiris pengaruh keburaman laba terhadap kos ekuitas, yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. 3) Riset sebelumnya menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh terhadap keburaman laba dan perusahaan keluarga memiliki laba yang lebih buram daripada perusahaan non keluarga/perusahaan dengan kepemilikan tersebar (Anderson dkk., 2009). Terdapat dua dasar teori yang digunakan dalam menjelaskan fenomena tersebut, yaitu hipotesis pemonitoran dan entrenchment hypothesis dan kedua teori tersebut memberikan prediksi sama bahwa semakin besar kepemilikan keluarga dalam perusahaan akan meningkatkan keburaman laba. Lalu bagaimana dengan perusahaan non keluarga (struktur kepemilikan non piramida) yang kepemilikan sahamnya terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal? Apakah perusahaan tersebut juga mempunyai tingkat keburaman laba tinggi? Pertanyaan ini didasari oleh adanya dua perspektif teori keagenan yang menjelaskan motivasi pemegang saham mayoritas tunggal untuk mengendalikan kebijakan perusahaan termasuk kebijakan pelaporan keuangan, yaitu hipotesis pemonitoran dan hipotesis konflik kepentingan. Kedua perspektif tersebut memberi penjelasan berbeda atas pengaruh kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal terhadap keburaman laba. Berdasarkan kedua perspektif teori tersebut diduga pemegang saham mayoritas tunggal mempunyai motivasi yang berbeda dengan keluarga dalam mempengaruhi kebijakan pelaporan keuangan perusahaan. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan karakteristik dari perusahaan keluargayang menyebabkan laba buram pada penelitian sebelumnya (Anderson dkk.,2009). 9 4) Selain menguji pengaruh kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal terhadap keburaman laba, penelitian ini juga menguji pengaruh tingkat kompetisi yang dihadapi perusahaan terhadap keburaman laba, karena ada tarik ulur antara keinginan perusahaan untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi yang menguntungkan ke publik. Satu sisi pengungkapan informasi ke publik akan menguntungkan posisi perusahaan untuk memperoleh akses ke pasar modal, di sisi lain perusahaan memilih tidak mengungkapkan informasi tertentu untuk melindungi informasi privat dari pesaingnya. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan pengaruh kompetisi industri terhadap diskresi perusahaan untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi yang menguntungkan, yaitu hipotesis kos politis dan hipotesis kos proprieter, dan kedua teori tersebut memberikan prediksi yang berlawanan (Birt dkk., 2006; Gelb dan Greenstein, 2004). 5) Indonesia adalah negara dengan pasar berkembang, menurut Chan dan Hameed (2006) biaya pencarian informasi perusahaan di pasar berkembang tinggi, yang disebabkan oleh: 1) kurangnya regulasi pengungkapan informasi dan usaha pelaksanaan oleh institusi berwenang, 2) rendahnya tingkat pengungkapan dan transparansi secara sukarela oleh perusahaan. Kedua hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk terhindar dari risiko politis, terutama risiko atas sangsi terhadap penegakan standar akuntansi dan risiko atas peraturan pajak. Oleh karena perusahaan publik di Indonesia menghadapi risriko politis yang tinggi terutama yang terkait dengan regulasi akuntansi dan regulasi pajak, maka riset ini termotivasi untuk menguji pengaruh kompetisi yang dihadapi perusahaan terhadap keburaman laba sesuai dengan penjelasan hipotesis kos politis. 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, motivasi penelitian dan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah: 10 1) Menguji pengaruh kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal terhadap keburaman laba sebagaimana dijelaskan oleh dua perspektif teori keagenan, yaitu hipotesis pemonitoran dan hipotesis konflik kepentingan. 2) Menguji pengaruh kompetisi industri terhadap keburaman laba sebagaimana dijelaskan oleh hipotesis kos politis. 3) Menguji pengaruh keburaman laba terhadap kos ekuitas. 1.5. Keaslian Penelitian Isu dalam penelitian ini masih baru, khususnya untuk konteks riset empiris di Indonesia dalam menganalisis fenomena keburaman laba. Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah: 1) Anderson dkk. (2009), menguji hubungan kepemilikan pendiri perusahaan dan pewarisnya dan keburaman perusahaan publik di Amerika. Penelitian tersebut menggunakan dasar teori hipotesis pemonitoran dan entrenchment hypothesis. Penelitian ini menguji pengaruh kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal terhadap keburaman laba, dengan menggunakan dua teori yaitu hipotesis pemonitoran dan hipotesis konflik kepentingan pemegang saham mayoritas tunggal adalah pemegang saham baik perorangan, pemerintah, maupun institusi yang memiliki saham secara langsung sebesar 50% atau lebih (Schiehll dan Santos, 2004) mayoritas perusahaan dan sebagian besar perusahaan di Indonesia memiliki pemegang saham mayoritas tunggal. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa penelitian empiris: (1) Siregar (2008) menggunakan sampel seluruh perusahaan yang terdaftar di BEJ tahun 2000-2004, dengan pisah batas hak kontrol 50% tingkat konsentrasi kepemilikan perusahaan publik di Indonesia tinggi yaitu 68% dari sampel. (2) Prabowo (2010) menggunakan sampel seluruh perusahaan yang terdaftar di BEJ (selain bank dan keuangan), ditemukan bukti bahwa perusahaan yang memiliki pemegang saham pengendali lebih dari 50% adalah 11 70% dari sampel. (3) Maizaroh dan Lucyanda (2011) menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009, dengan pisah batas pemegang saham mayoritas yang memiliki saham secara langsung 50% atau lebih, ditemukan bukti rata-rata konsentrasi kepemilikannya adalah 65,8%. 2) Gelb dan Greenstein (2004), menguji hubungan pengungkapan dan konsentrasi industri di Amerika dengan dua dasar teori: hipotesis kos politis dan hipotesis kos proprieter. Birt dkk. (2006), menguji hubungan antara struktur kepemilikan, kompetisi, dan pengungkapan segmen di Australia. Penelitian ini menguji pengaruh tingkat kompetisi industri terhadap keburaman laba, dengan menggunakan kedua teori tersebut, yang pada penelitian sebelumnya digunakan untuk memprediksi hubungan antara kompetisi dan pengungkapan. Hal yang mendasari adalah bahwa keburaman laba merupakan lawan dari transparansi laba (Belkaoui dan AlNajjar, 2006) dan menurut Ball dkk. (2000) transparansi laba adalah penggabungan secara tepat waktu (tidak terobservasi) laba ekonomi ke dalam laba akuntansi. 1.6. Kontribusi Penelitian Hasil penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1) Kontribusi teoritis. Penelitian ini menguji dua perspektif teori keagenan yang berlawanan (hipotesis pemonitoran dan hipotesis konflik kepentingan). Kedua perspektif tersebuti digunakan untuk memprediksi fenomena yang sama, dan mempunyai prediksi yang sama. Sehingga hasil penelitian ini bisa menambah penjelasan teori keagenan dalam konteks pengaruh kepemilikan mayoritas tunggal terhadap keburaman laba. Selain itu penelitian ini juga menambah penjelasan hipotesis kos politis dalam konteks pengaruh kompetisi industri terhadap keburaman laba. 2) Kontribusi metodologis. Secara metodologis penelitian ini menambahkan dua ukuran dimensi keburaman laba untuk membangun indeks keburaman laba yang tidak digunakan pada penelitian sebelumnya (Bhattacharya dkk., 2003; Belkoui 12 dkk., 2005; Anderson dkk., 2009) sehingga dapat memberikan alternatif pengukuran keburaman laba yang lebih baik. Ukuran keburaman laba tersebut adalah: (a) proporsi catatan dalam laporan laba rugi perusahaan, yang diukur dengan membagi jumlah catatan atas laporan keuangan dalam laporan laba rugi dengan jumlah total catatan atas laporan keuangan dalam laporan keuangan. Alasan yang mendasarinya adalah semakin banyak jumlah catatan atas laporan keuangan dalam laporan laba rugi relatif terhadap jumlah keseluruhan atas laporan keuangan dalam laporan keuangan maka tingkat keburaman laba perusahaan semakin rendah. Oleh karena laporan laba rugi merupakan gambaran sesungguhnya dari perusahaan dan biasanya investor lebih menekankan informasi laba dibanding informasi yang lain, maka diduga manajemen akan lebih menekankan kualitas informasi laba melalui catatan dalam laporan laba rugi dibanding laporan keuangan yang lain. Ukuran ini diadaptasi dari Akhigbe dan Martin (2006) yang menggunakan tingkat pengungkapan melalui catatan kaki dalam laporan keuangan sebagai salah satu proksi dari integritas dan keburaman pengungkapan keungan perusahaan, yang diukur dengan jumlah halaman catatan kaki dibagi jumlah total halaman dalam laporan tahunan; (b) Penyajian kembali laporan keuangan/financial restatement, yang diukur dengan membagi jumlah item yang disajikan ulang oleh perusahaan dengan jumlah rata-rata item yang disajikan ulang oleh seluruh perusahaan. Penelitian ini menggunakan penyajian ulang laporan laba rugi yang sifatnya sukarela maupun wajib, karena diduga manajemen akan menggunakan diskresinya untuk memperoleh keuntungan privat dari keburaman laba perusahaan, selain itu penyajian ulang laporan keuangan bisa dilakukan karena diharuskan oleh standar akuntansi. Ukuran ini diadaptasi dari Kim dan Zhang (2010), yang menggunakan tiga variabel indikator penyajian ulang laporan keuangan sebagai salah satu proksi keburaman laporan keuangan, yaitu ada/tidak penyajian ulang laporan keuangan selama tahun fiskal, iregularitas/tidak penyajian ulang laporan keuangan tersebut, dan apakah 13 penyajian ulang tersebut karena perusahaan melakukan kesalahan penyajian laporan keuangan/tidak. 3) Kontribusi praktik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan untuk meningkatkan kualitas informasi akuntansi khususnya laba perusahaan, sehingga akan meningkatkan relevansi dan keandalan dari laporan laba rugi perusahaan. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi investor dalam menggunakan informasi laba untuk pengambilan keputusan. 1.7. Rerangka Penelitian Penelitian ini diawali dari fenomena tingginya keburaman laba pada perusahaan publik di Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa laba perusahaan publik buram dan apa dampak keburaman laba tersebut bagi perusahaan. Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat dua faktor yang mempengaruhi keburaman laba, yaitu konsentrasi kepemilikan saham dan kompetisi industri yang dihadapi oleh perusahaan. Terdapat dua perspektif teori keagenan yang menjelaskan pengaruh kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham terhadap keburaman laba, yaitu hipotesis pemonitoran dan hipotesis konflik kepentingan. Kedua perspektif tersebut menjelaskan arah yang sama, yaitu semakin tinggi konsentrasi kepemilikan oleh pemegang saham mayoritas tunggal maka keburaman laba semakin tinggi. Terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan pengaruh kompetisi industri terhadap keburaman laba yaitu hipotesis kos politis dan hipotesis kos propieter. Oleh karena perusahaan publik di Indonesia menghadapi kos politis tinggi maka penelitian ini menggunakan perspektif hipotesis kos politis untuk menjelaskan pengaruh kompetisi industri terhadap keburaman laba. Berdasarkan perspektif hipotesis kos politis diduga semakin tinggi kompetisi industri yang dihadapi perusahaan maka keburaman laba semakin tinggi. Tingginya keburaman laba perusahaan membawa implikasi terhadap kos ekuitas yang ditanggung oleh perusahaan. Oleh karena itu penelitian ini menduga 14 semakin tinggi keburaman laba maka akan semakin tinggi kos ekuitas yang ditanggung oleh perusahaan. Model teoritis yang menghubungkan antara kepemilikan terkonsentrasi oleh pemegang saham mayoritas tunggal dan tingkat kompetisi industri terhadap keburaman laba, serta keburaman laba dan kos ekuitas disajikan pada Gambar 1.1 berikut: Gambar 1.1 Rerangka Penelitian 15