Kanker Serviks Kanker servik adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada wanita diseluruh dunia, dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita di negara – negara berkembang. Di Amerika Serikat, kanker servik merupakan neoplasma ganas nomer 4 yang sering terjadi pada wanita., setelah Ca mammae, kolorektal, dan endometrium. Insidensi dari kanker servik yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir, namun terus meningkat di negara – negara berkembang. Perubahan tren epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan skrining besar – besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears). 1, 8 Kanker serviks merupakan kanker yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Setengah juta kasus dilaporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya program skrining pap smear yang dilakukan. Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika dan Asia tenggara termasuk Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua setelah kanker payudara. 1, 6 Di Indonesia dilaporkan jumlah kanker serviks baru adalah 100 per 100.000 penduduk per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 kanker yang terbanyak pada wanita. Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih kanker serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk. 3, 10 A. Definisi Kanker serviks adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada serviks. Kanker serviks merupakan kanker yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Serviks adalah bagian ujung depan rahim yang menjulur ke vagina. 1, 8, 9, 13 B. Angka Kejadian Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uterus merupakan kanker pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap tahunnya, terdapat kurang lebih 500 ribu kasus baru kanker leher rahim (cervical cancer), sebanyak 80 persen terjadi pada wanita yang hidup di negara berkembang. Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker leher rahim. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal itu terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut. 1, 8 Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita Indonesia. saat ini ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70 persen kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut. 2, 3 C. Etiologi dan Faktor Resiko Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih kanker serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk. HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Oncoprotein E6 dan E7 yan berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel dapat berjalan tanpa kontrol. 8, 10 Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks, antara lain adalah : 1. Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda. Faktor ini merupakan faktor risiko utama. Semakin muda seorang perempuan melakukan hubungan seks, semakin besar risikonya untuk terkena kanker serviks. Berdasarkan penelitian para ahli, perempuan yang melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun. 2. Berganti-ganti pasangan seksual. Perilaku seksual berupa gonta-ganti pasangan seks akan meningkatkan penularan penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi human papilloma virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis dan vulva. Resiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus herpes simpleks tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping. 3. Merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping merupakan ko-karsinogen infeksi virus. 4. Defisiensi zat gizi. Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah beta karoten dan retinol (vitamin A). 5. Trauma kronis pada serviks seperti persalinan, infeksi, dan iritasi menahun 6. Pemakaian DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970) 7. Gangguan sistem kekebalan 8. Pemakaian pil KB 9. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun 10. Golongan ekonomi lemah (karena tidak mampu melakukan Pap smear secara rutin) D. Klasifikasi Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya : 1. Squamous carcinoma • Keratinizing • Large cell non keratinizing • Small cell non keratinizing • Verrucous 2. Adeno carcinoma • Endocervical • Endometroid (adenocanthoma) • Clear cell - paramesonephric 13 • Clear cell - mesonephric • Serous • Intestinal 3. Mixed carcinoma • Adenosquamous • Mucoepidermoid • Glossy cell • Adenoid cystic 4. Undifferentiated carcinoma 5. Carcinoma tumor 6. Malignant melanoma 7. Maliganant non-epithelial tumors • Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma • Lymphoma Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90%; adenokarsinoma 5%; sedang jenis lainnya 5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor sendiri dari sel-sel yang berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat dan batas tumor stroma tidakjelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus. E. Gejala Klinis Pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut : 1. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan 2. Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal. 3. Timbulnya perdarahan setelah masa menopause. 4. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah. 5. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis. 6. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya. 7. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh. F. Diagnosis dan Staging Staging untuk kanker serviks berdasarkan pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan yang lebih teliti dan cermat dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis. Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, komposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan Xray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif. 10 Pemeriksaan patologi anatomi setelah prosedur operasi dapat menjadi data yang akurat untuk penyebaran penyakit, tetapi penemuan ini tidak dianjurkan untuk menjadi perubahan diagnosis staging sebelumnya. Nomenklatur TNM lebih sesuai untuk penemuan ini. Tabel 1. Staging Karsinoma Serviks Menurut FIGO G. Pentatalaksanaan Manajemen Tumor Insitu Manajemen yang tepat diperlukan pada karsinoma insitu. Biopsi dengan kolposkopi oleh onkologis berpengalaman dibutuhkan untuk mengeksklusi kemungkinan invasi sebelum terapi dilakukan. Pilihan terapi pada pasien dengan tumor insitu beragam bergantung pada usia, kebutuhan fertilitas, dan kondisi medis lainnya. Hal penting yang harus diketahui juga adalah penyebaran penyakitnya harus diidentifikasi dengan baik. Karsinoma insitu digolongkan sebagai high grade skuamous intraepitelial lesion (HGSIL). Beberapa terapi yang dapat digunakan adalah loop electrosurgical excision procedure (LEEP), konisasi, krioterapi dengan bimbingan kolposkopi, dan vaporisasi laser. Pada seleksi kasus yang ketat maka LEEP dapat dilakukan selain konisasi. LEEP memiliki keunggulan karena dapat bertindak sebagai biopsi luas untuk pemeriksaan lebih lanjut. Keberhasilan eksisi LEEP mencapai 90% sedangkan konisasi mencapai 70-92%. Teknik lain yang dapat dilakukan untuk terapi karsinoma insitu adalah krioterapi yang keberhasilannya mencapai 80-90% bila lesi tidak luas (<2,5 cm), tetapi akan turun sampai 50% apabila lesi luas (> 2,5 cm). Evaporasi laser pada HGSIL memberikan kerbehasilan sampai 94% untuk lesi tidak luas dan 92% untuk lesi luas. HGSIL yang disertai NIS III memberikan indikasi yang kuat untuk dilakukan histerektomi. Pada 795 kasus HGSIL yang dilakukan konisasi didapatkan adanyarisiko residif atau kegagalan 0,9-1,2% untuk terjadinya karsinoma invasif. 10 Manajemen Mikroinvasif Diagnosis untuk stadium IA1 dan IA2 hanya dapat ditegakkan setelah biopsi cone dengan batas sel-sel normal, trakelektomi, atau histerektomi. Bila biopsi cone positif menunjukkan CIN III atau kanker invasif sebaiknya dilakukan biopsi cone ulangan karena kemungkinan stadium penyakitnya lebih tinggi yaitu IB. Kolposkopi dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya vaginal intraepithelial neoplasia (VAIN) sebelum dilakukan terapi definitif. Stadium serviks IA1 diterapi dengan histerektomi total baik abdominal maupun vaginal. Apabila ada VAIN maka vagina yang berasosiasi harus ikut diangkat. Pertimbangan fertilitas pada pasien-pasien dengan stadium ini mengarahkan terapi pada hanya biopsi cone diikuti dengan Pap’s smear dengan interval 4 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan bila hasilnya negatif. Stadium serviks IA2 berasosiasi dengan penyebaran pada kelenjar limfe sampai dengan 10% sehingga terapinya adalah modified radical hysterectomy diikuti dengan limfadenektomi. Pada stadium ini bila kepentingan fertilitas masih dipertimbangkan atau tidak ditemukan bukti invasi ke kelenjar limfe maka dapat dilakukan biopsi cone yang luas disertai limfadenektomi laparoskopi atau radikal trakelektomi dengan limfadenektomi laparoskopi. Observasi selanjutnya dilakukan dengan Pap’s smear dengan interval 4 bulan, 10 bulan dan 12 bulan. Manajemen Karsinoma Invasif Stadium Awal Pasien-pasien dengan tumor yang tampak harus dilakukan biopsi untuk konfirmasi diagnosis. Apabila ditemukan gejala-gejala yang berhubungan dengan metastasis maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan seperti sistoskopi dan sigmoidoskopi. Pemeriksaan foto toraks dan evaluasi fungsi ginjal sangat dianjurkan. Stadium awal karsinoma serviks invasif adalah stadium IB sampai IIA (< 4cm). Stadium ini memiliki prognosis yang baik apabila diterapi dengan operasi atau radioterapi. Angka kesembuhan dapat mencapai 85% sampai 90% pada pasien dengan massa yang kecil. Ukuran tumor merupakan faktor prognostik yang penting untuk kesembuhan atau angka harapan hidup 5 tahunnya. Penelitian kontrol acak selama 5 tahun mendapatkan bahwa radioterapi atau operasi menunjukkan angaka harapan hidup 5 tahunan yang sama dan tingkat kekambuhan yang sama-sama kecil untuk terapi karsinoma serviks stadium dini. Morbiditas terutama meningkat apabila operasi dan radiasi dilakukan bersamasama. Namun, pemilihan pasien dengan penegakkan stadium yang baik dibutuhkan untuk menentukan terapi operatif. Jenis operasi yang dianjurkan untuk stadium IB dan IIA (dengan massa < 4cm) adalah modified radical hysterectomy atau radical abdominal hysterectomy disertai limfadenektomi selektif. Setelah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan hasil operasi dan bila didapatkan penyebaran pada kelenjar limfe paraaorta atau sekitar pelvis maka dilakukan radiasi pelvis dan paraaorta. Radiasi langsung dilakukan apabila besar massa mencapai lebih dari 4 cm tanpa harus menunggu hasilpatologi anatomi kelenjar limfe. Penelitian kontrol acak menunjukkan bahwa pemberian terapi sisplatin yang bersamaan dengan radioterapi setelah operasi yang memiliki invasi pada kelenjar limfe, parametrium, atau batas-batas operatif menunjukkan keuntungan secara klinis. Penelitian dengan berbagai dosis dan jadwal pemberian sisplatin yang diberikan bersamaan dengan radioterapi menunjukkan penurunan risiko kematian karena kanker serviks sebanyak 30-50%. Risiko juga meningkat apabila didapat ukuran massa yang lebih dari 4 cm walaupun tanpa invasi pada kelenjar-kelenjar limfe,infiltrasi pada kapiler pembuluh darah, invasi di lebih dari 1/3 stroma serviks. Radioterapi pelvis adjuvan akan meningkatkan kekambuhan lokal dan menurunkan angka progresifitas dibandingkan tanpa radioterapi. 5, 10 Manajemen Karsinoma Invasif Stadium Lanjut Ukuran tumor primer penting sebagai faktor prognostik dan harus dievaluasi dengan cermat untuk memilih terapi optimal. Angka harapan hidup dan kontrol terhadap rekurensi lokal lebih baik apabila didapatkan infiltrasi satu parametrium dibandingkan kedua parametrium. Pengobatan terpilih adalah radioterapi lengkap, dilanjutkan penyinaran intrakaviter. Terapi variasi yang diberikan biasanya beruapa pemberian kemoterapi seperti sisplatin, paclitaxel, 5fluorourasil, docetaxel, dan gemcitabine. Pengobatan bersifat paliatif bila stadium mencapai staidum IVB dalam bentuk radiasi paliatif. H. Pencegahan dan Skrining Kematian pada kasus kanker serviks terjadi karena sebagian besar penderita yang berobat sudah berada dalam stadium lanjut. Padahal, dengan ditemukannya kanker ini pada stadium dini, kemungkinan penyakit ini dapat disembuhkan sampai hampir 100%. Malahan sebenarnya kanker serviks ini sangat bisa dicegah. Menurut ahli obgyn dari New York University Medical Centre , dr. Steven R. Goldstein, kuncinya adalah deteksi dini . Sekitar 90-99 persen jenis kanker serviks disebabkan oleh human papillomavirus (HPV). Virus ini bisa ditransfer melalui hubungan seksual dan bisa hadir dalam berbagai variasi. Ada beberapa kasus virus HPV yang reda dengan sendirinya, dan ada yang berlanjut menjadi kanker serviks, sehingga cukup mengancam kesehatan anatomi wanita yang satu ini. Salah satu problema yang timbul akibat infeksi HPV ini seringkali tidak ada gejala atau tanda yang tampak mata. Menurut hasil studi National Institute of Allergy and Infectious Diseases , hampir separuh wanita yang terinfeksi dengan HPV tidak memiliki gejala-gejala yang jelas. Dan lebih-lebih lagi, orang yang terinfeksi juga tidak tahu bahwa mereka bisa menularkan HPV ke orang sehat lainnya. Kini, 'senjata' terbaik untuk mencegah kanker ini adalah bentuk skrining yang dinamakan Pap Smear , dan skrining ini sangat efektif. Pap smear adalah suatu pemeriksaan sitologi yang diperkenalkan oleh Dr. GN Papanicolaou pada tahun 1943 untuk mengetahui adanya keganasan (kanker) dengan mikroskop. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat dan tidak sakit. Masalahnya, banyak wanita yang tidak mau menjalani pemeriksaan ini, dan kanker serviks ini biasanya justru timbul pada wanita-wanita yang tidak pernah memeriksakan diri atau tidak mau melakukan pemeriksaan ini. 50% kasus baru kanker servik terjadi pada wanita yang sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan pap smear. Padahal jika para wanita mau melakukan pemeriksaan ini, maka penyakit ini suatu hari bisa saja musnah, seperti halnya polio.2 Tabel 2. Kategorisasi diagnosis deskriptif Pap smear berdasarkan sistem Bethesda Dalam perkembangannya, banyak ahli dalam the American Cancer Society, the American College of Obstetricians and Gynecologists, the American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, dan the US Preventive Services Task Force menetapkan protokol skrining bersama-sama, sebagai berikut : 8, 10 1. Skrining awal. Skrining dilakukan sejak seorang wanita telah melakukan hubungan seksual (vaginal intercourse) selama kurang lebih tiga tahun dan umurnya tidak kurang dari 21 tahun saat pemeriksaan. Hal ini didasarkan pada karsinoma serviks berasal lebih banyak dari lesi prekursornya yang berhubungan dengan infeksi HPV onkogenik dari hubungan seksual yang akan berkembang lesinya setelah 3-5 tahun setelah paparan pertama dan biasanya sangat jarang pada wanita di bawah usia 19 tahun. 2. Pemeriksaan DNA HPV juga dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditenukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks. 3. Skrining untuk wanita di bawah 30 tahun berisiko dianjurkan menggunakan Thinprep atau sitologi serviks dengan liquid-base method setiap 1-3 tahun. 4. Skrining untuk wanita di atas 30 tahun menggunakan Pap’s smear dan pemeriksaan DNA HPV. Bila keduanya negatif maka pemeriksaan diulang 3 tahun kemudian. 5. Skrining dihentikan bila usia mencapai 70 tahun atau telah dilakukan 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan hasil negatif. Tidak dapat dipungkiri, memang saat ini cara terbaik untuk mencegah kanker serviks adalah dengan screening gynaecological dan jika dibutuhkan dilengkapi dengan treatment yang terkait dengan kondisi pra-kanker. Namun demikian, dengan adanya biaya dan rumitnya proses screening dan treatment, cara ini hanya memberikan manfaat yang sedikit di negara-negara yang membutuhkan penanganan. Beberapa hal lain yang dapat dilakukan dalam usaha pencegahan terjadinya kanker serviks antara lain : 1. Vaksin HPV Sebuah studi menyatakan bahwa kombinasi vaksinasi HPV dan screening dapat memberikan manfaat yang besar dalam pencegahan penyakit ini. Vaksin HPV dapat berguna dan cost efective untuk mengurangi kejadian kanker serviks dan kondisi pra-kanker, khususnya pada kasus yang ringan. Vaksin HPV yang terdiri dari 2 jenis ini dapat melindungi tubuh dalam melawan kanker yang disebabkan oleh HPV (tipe 16 dan 18). Salah satu vaksin dapat membantu menangkal timbulnya kutil di daerah genital yang diakibatkan oleh HPV 6 dan 11, juga HPV 16 dan 18. Manfaat tersebut telah diuji pada uji klinis tahap III dan harus dapat diwujudkan dalam waktu dekat. Keyakinan hasil uji klinis tahap III ini menunjukan bahwa vaksin-vaksin tersebut dapat membantu menangkal infeksi HPV dari tipetipe diatas dan mencegah lesi pra-kanker pada wanita yang belum terinfeksi HPV sebelumnya. 3 2. Penggunaan kondom Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka punya bukti pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi risiko penularan virus penyebab kutil kelamin (genital warts) dan banyak kasus kanker leher rahim. Hasil pengkajian atas 82 orang yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine memperlihatkan bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual kemungkinannya 70 persen lebih kecil untuk terkena infeksi human papillomavirus (HPV) dibanding wanita yang pasangannya sangat jarang (tak sampai 5 persen dari seluruh jumlah hubungan seks) menggunakan kondom. Hasil penelitian memperlihatkan efektivitas penggunaan kondom di Indonesia masih tergolong rendah. Dari survei Demografi Kesehatan Indonesia pada 2003 (BPS-BKKBN) diketahui bahwa ternyata penggunaan kondom pada pasangan usia subur di negara ini masih sekitar 0,9 persen. 4 3. Sirkumsisi pada pria Sebuah studi menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria berhubungan dengan penurunan resiko infeksi HPV pada penis dan pada kasus seorang pria dengan riwayat multiple sexual partners, terjadi penurunan resiko kanker serviks pada pasangan wanita mereka yang sekarang. 12 I. Prognosis Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%. 8 1. Stadium 0 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh. 2. Stadium 1 Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi 2, IA dan IB. dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka. 3. Stadium 2 Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70 - 90%.. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%. 4. Stadium 3 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50% 5. Stadium 4 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30% Cervical cancer From Wikipedia, the free encyclopedia Cervical Cancer Classification and external resources Histopathologic image (H&E stain) of carcinoma in situ, stage 0. ICD-10 C53 ICD-9 180 OMIM 603956 DiseasesDB 2278 MedlinePlus 000893 eMedicine med/324 radio/140 MeSH D002583 Cervical cancer is malignant neoplasm of the cervix uteri or cervical area. It may present with vaginal bleeding, but symptoms may be absent until the cancer is in its advanced stages.[1] Treatment consists of surgery (including local excision) in early stages and chemotherapy and radiotherapy in advanced stages of the disease. Pap smear screening can identify potentially precancerous changes. Treatment of high grade changes can prevent the development of cancer. In developed countries, the widespread use of cervical screening programs has reduced the incidence of invasive cervical cancer by 50% or more.[citation needed] Human papillomavirus (HPV) infection is a necessary factor in the development of almost all cases of cervical cancer.[1][2] HPV vaccines effective against the two strains of HPV that currently cause approximately 70% of cervical cancer have been licensed in the U.S, Canada, Australia and the EU.[3][4] Since the vaccines only cover some of the cancer causing ("high-risk") types of HPV, women should seek regular Pap smear screening, even after vaccination.[5] Cervix in relation to upper part of vagina and posterior portion of uterus. Cervical cancer seen on a T2 weighted saggital MR image of the pelvis. The cervix is the narrow portion of the uterus where it joins with the top of the vagina. Most cervical cancers are squamous cell carcinomas, arising in the squamous (flattened) epithelial cells that line the cervix. Adenocarcinoma, arising in glandular epithelial cells is the second most common type. Very rarely, cancer can arise in other types of cells in the cervix. 11. 12. Contents [hide] 1 Signs and symptoms 2 Causes 2.1 Human papillomavirus infection 2.2 Cofactors 13. 3 Diagnosis 3.1 Biopsy procedures 3.2 Precancerous lesions 3.3 Cancer subtypes 3.4 Staging 14. 4 Prevention 4.1 Vaccination 4.2 Condoms 4.3 Smoking 4.4 Nutrition 4.5 Screening 15. 5 Treatment 16. 6 Prognosis 17. 7 Epidemiology 18. 8 History 19. 9 Society and culture 20. 10 References and notes 21. 11 External links [edit] Signs and symptoms The early stages of cervical cancer may be completely asymptomatic.[1][6] Vaginal bleeding, contact bleeding or (rarely) a vaginal mass may indicate the presence of malignancy. Also, moderate pain during sexual intercourse and vaginal discharge are symptoms of cervical cancer. In advanced disease, metastases may be present in the abdomen, lungs or elsewhere. Symptoms of advanced cervical cancer may include: loss of appetite, weight loss, fatigue, pelvic pain, back pain, leg pain, single swollen leg, heavy bleeding from the vagina, leaking of urine or faeces from the vagina,[7] and bone fractures. [edit] Causes Human papillomavirus (HPV) infection with high-risk types has been shown to be a necessary factor in the development of cervical cancer.[8] HPV DNA may be detected in virtually all cases of cervical cancer.[1][8][2] Not all of the causes of cervical cancer are known. Several other contributing factors have been implicated.[9] [edit] Human papillomavirus infection In the United States each year there are more than 6.2 million new HPV infections in both men and women, according to the CDC, of which 10 percent will go on to develop persistent dysplasia or cervical cancer. That is why HPV is known as the "common cold" of the sexually transmitted infection world. It is very common and affects roughly 80 percent of all sexually active people, whether they have symptoms or not. The most important risk factor in the development of cervical cancer is infection with a high-risk strain of human papillomavirus. The virus cancer link works by triggering alterations in the cells of the cervix, which can lead to the development of cervical intraepithelial neoplasia, which can lead to cancer. Women who have many sexual partners (or who have sex with men who had many other partners) have a greater risk.[10][11] More than 150 types of HPV are acknowledged to exist (some sources indicate more than 200 subtypes).[12][13] Of these, 15 are classified as high-risk types (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, and 82), 3 as probable high-risk (26, 53, and 66), and 12 as low-risk (6, 11, 40, 42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, 81, and CP6108).[14] Types 16 and 18 are generally acknowledged to cause about 70% of cervical cancer cases. Together with type 31, they are the prime risk factors for cervical cancer.[15] Genital warts are caused by various strains of HPV which are usually not related to cervical cancer. However, it is possible to have multiple strains at the same time, including those that can cause cervical cancer along with those that cause warts. The medically accepted paradigm, officially endorsed by the American Cancer Society and other organizations, is that a patient must have been infected with HPV to develop cervical cancer, and is hence viewed as a sexually transmitted disease, but most women infected with high risk HPV will not develop cervical cancer.[16] Use of condoms reduces, but does not always prevent transmission. Likewise, HPV can be transmitted by skin-to-skin-contact with infected areas. In males, there is no commercially available test for HPV, although HPV is thought to grow preferentially in the epithelium of the glans penis, and cleaning of this area may be preventative.[citation needed] [edit] Cofactors The American Cancer Society provides the following list of risk factors for cervical cancer: human papillomavirus (HPV) infection, smoking, HIV infection, chlamydia infection, stress and stress-related disorders, dietary factors, hormonal contraception, multiple pregnancies, exposure to the hormonal drug diethylstilbestrol, and family history of cervical cancer.[10] Early age at first intercourse and first pregancy are also considered risk factors, magnified by early use of oral contraceptives.[17] There is a possible genetic risk associated with HLA-B7.[citation needed] There has not been any definitive evidence to support the claim that circumcision of the male partner reduces the risk of cervical cancer, although some researchers say there is compelling epidemiological evidence that men who have been circumcised are less likely to be infected with HPV.[18] However, in men with low-risk sexual behaviour and monogamous female partners, circumcision makes no difference to the risk of cervical cancer.[19] [edit] Diagnosis [edit] Biopsy procedures While the pap smear is an effective screening test, confirmation of the diagnosis of cervical cancer or pre-cancer requires a biopsy of the cervix. This is often done through colposcopy, a magnified visual inspection of the cervix aided by using a dilute acetic acid (e.g. vinegar) solution to highlight abnormal cells on the surface of the cervix.[1] Colposcopic impression, the estimate of disease severity based on the visual inspection, forms part of the diagnosis. Further diagnostic and treatment procedures are loop electrical excision procedure (LEEP) and conization, in which the inner lining of the cervix is removed to be examined pathologically. These are carried out if the biopsy confirms severe cervical intraepithelial neoplasia. This large squamous carcinoma (bottom of picture) has obliterated the cervix and invaded the lower uterine segment. The uterus also has a round leiomyoma up higher. Micrograph of a (cervical) adenosquamous carcinoma, a type of cervical cancer. H&E stain. [edit] Precancerous lesions Cervical intraepithelial neoplasia, the potential precursor to cervical cancer, is often diagnosed on examination of cervical biopsies by a pathologist. For premalignant dysplastic changes, the CIN (cervical intraepithelial neoplasia) grading is used. The naming and histologic classification of cervical carcinoma percursor lesions has changed many times over the 20th century. The World Health Organization classification[20][21] system was descriptive of the lesions, naming them mild, moderate or severe dysplasia or carcinoma in situ (CIS). The term, Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) was developed to place emphasis on the spectrum of abnormality in these lesions, and to help standardise treatment.[21] It classifies mild dysplasia as CIN1, moderate dysplasia as CIN2, and severe dysplasia and CIS as CIN3. More recently, CIN2 and CIN3 have been combined into CIN2/3. These results are what a pathologist might report from a biopsy. These should not be confused with the Bethesda System terms for Pap smear (cytology) results. Among the Bethesda results: Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL) and High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL). An LSIL Pap may correspond to CIN1, and HSIL may correspond to CIN2 and CIN3,[21] however they are results of different tests, and the Pap smear results need not match the histologic findings. [edit] Cancer subtypes Histologic subtypes of invasive cervical carcinoma include the following:[22][23] Though squamous cell carcinoma is the cervical cancer with the most incidence, the incidence of adenocarcinoma of the cervix has been increasing in recent decades.[1] • squamous cell carcinoma (about 80-85%[citation needed]) • adenocarcinoma (about 15% of cervical cancers in the UK[20]) • adenosquamous carcinoma • small cell carcinoma • neuroendocrine carcinoma Non-carcinoma malignancies which can rarely occur in the cervix include • melanoma • lymphoma Note that the FIGO stage does not incorporate lymph node involvement in contrast to the TNM staging for most other cancers. For cases treated surgically, information obtained from the pathologist can be used in assigning a separate pathologic stage but is not to replace the original clinical stage. [edit] Staging Cervical cancer is staged by the International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) staging system, which is based on clinical examination, rather than surgical findings. It allows only the following diagnostic tests to be used in determining the stage: palpation, inspection, colposcopy, endocervical curettage, hysteroscopy, cystoscopy, proctoscopy, intravenous urography, and X-ray examination of the lungs and skeleton, and cervical conization. The TNM staging system for cervical cancer is analogous to the FIGO stage. • Stage 0 - full-thickness involvement of the epithelium without invasion into the stroma (carcinoma in situ) • Stage I - limited to the cervix IA - diagnosed only by microscopy; no visible lesions IA1 - stromal invasion less than 3 mm in depth and 7 mm or less in horizontal spread IA2 - stromal invasion between 3 and 5 mm with horizontal spread of 7 mm or less IB - visible lesion or a microscopic lesion with more than 5 mm of depth or horizontal spread of more than 7 mm IB1 - visible lesion 4 cm or less in greatest dimension IB2 - visible lesion more than 4 cm • Stage II - invades beyond cervix IIA - without parametrial invasion, but involve upper 2/3 of vagina IIB - with parametrial invasion • Stage III - extends to pelvic wall or lower third of the vagina IIIA - involves lower third of vagina IIIB - extends to pelvic wall and/or causes hydronephrosis or nonfunctioning kidney • Stage IV - extends outside the vagina IVA - invades mucosa of bladder or rectum and/or extends beyond true pelvis IVB - distant metastasis Stage 1-A1 young women - conization wis clear margin. Parous women hysterectomy. Stage 1-A2 laproscopic lymphadenectomy + vaginal trechelectomy + post operative radiotherapy. Stage 1B & 2A 1. Wertheim's hysterectomy . 2- schauta vaginal hysterectomy + laparoscopic lymphadenectomy 3: primary radiotherapy 4: combined surgery & radiotherapy. Stage 2B , 3 , 4 - chemotherapy [edit] Prevention [edit] Vaccination Main article: HPV vaccine Gardasil, is a vaccine against HPV types 6, 11, 16 & 18 which is up to 98% effective.[24] Cervarix has been shown to be 92% effective in preventing HPV strains 16 and 18 and is effective for more than four years.[25] Together, HPV types 16 and 18 currently cause about 70% of cervical cancer cases. HPV types 6 and 11 cause about 90% of genital wart cases. HPV vaccines have also been shown to prevent precursors to some other cancers associated with HPV.[26][27] HPV vaccines are targeted at girls and women of age 9 to 26 because the vaccine only works if given before infection occurs; therefore, public health workers are targeting girls before they begin having sex. The vaccines have been shown to be effective for at least 4[5] to 6[28] years, and it is believed they will be effective for longer,[29] however the duration of effectiveness and whether a booster will be needed is unknown. The use of the vaccine in men to prevent genital warts, anal cancer, and interrupt transmission to women or other men is initially considered only a secondary market. The high cost of this vaccine has been a cause for concern. Several countries have or are considering programs to fund HPV vaccination. [edit] Condoms Condoms offer some protection against cervical cancer.[30] Evidence on whether condoms protect against HPV infection is mixed, but they may protect against genital warts and the precursors to cervical cancer.[30] They also provide protection against other STDs, such as HIV and Chlamydia, which are associated with greater risks of developing cervical cancer. Condoms may also be useful in treating potentially precancerous changes in the cervix. Exposure to semen appears to increase the risk of precancerous changes (CIN 3), and use of condoms helps to cause these changes to regress and helps clear HPV.[31] One study suggests that prostaglandin in semen may fuel the growth of cervical and uterine tumours and that affected women may benefit from the use of condoms.[32][33] [edit] Smoking Carcinogens from tobacco increase the risk for many cancer types, including cervical cancer, and women who smoke have about double the chance of a nonsmoker to develop cervical cancer.[34][35] [edit] Nutrition Fruits and vegetables Higher levels of vegetable consumption were associated with a 54% decrease risk of HPV persistence.[36] Vitamin A There is weak evidence to suggest a significant deficiency of retinol can increase chances of cervical dysplasia, independently of HPV infection. A small (n~=500) case-control study of a narrow ethnic group (native Americans in New Mexico) assessed serum micro-nutrients as risk factors for cervical dysplasia. Subjects in the lowest serum retinol quartile were at increased risk of CIN I compared with women in the highest quartile.[37] However, the study population had low overall serum retinol, suggesting deficiency. A study of serum retinol in a well-nourished population reveals that the bottom 20% had serum retinol close to that of the highest levels in this New Mexico sub-population.[38] Vitamin C Risk of type-specific, persistent HPV infection was lower among women reporting intake values of vitamin C in the upper quartile compared with those reporting intake in the lowest quartile.[39] Vitamin E HPV clearance time was significantly shorter among women with the highest compared with the lowest serum levels of tocopherols, but significant trends in these associations were limited to infections lasting </=120 days. Clearance of persistent HPV infection (lasting >120 days) was not significantly associated with circulating levels of tocopherols. Results from this investigation support an association of micronutrients with the rapid clearance of incident oncogenic HPV infection of the uterine cervix.[40] A statistically significantly lower level of alpha-tocopherol was observed in the blood serum of HPV-positive patients with cervical intraepithelial neoplasia. The risk of dysplasia was four times higher for an alphatocopherol level < 7.95 mumol/l.[41] Folic acid Higher folate status was inversely associated with becoming HPV testpositive. Women with higher folate status were significantly less likely to be repeatedly HPV test-positive and more likely to become test-negative. Studies have shown that lower levels of antioxidants coexisting with low levels of folic acid increases the risk of CIN development. Improving folate status in subjects at risk of getting infected or already infected with highrisk HPV may have a beneficial impact in the prevention of cervical cancer.[42][43] However, another study showed no relationship between folate status and cervical dysplasia.[37] Carotenoids The likelihood of clearing an oncogenic HPV infection is significantly higher with increasing levels of lycopenes.[44] A 56% reduction in HPV persistence risk was observed in women with the highest plasma [lycopene] concentrations compared with women with the lowest plasma lycopene concentrations. These data suggests that vegetable consumption and circulating lycopene may be protective against HPV persistence.[36][39][45] [edit] Screening Main article: Pap test The widespread introduction of the Papanicolaou test, or Pap smear for cervical cancer screening has been credited with dramatically reducing the incidence and mortality of cervical cancer in developed countries.[6] Pap smear screening every 3–5 years with appropriate follow-up can reduce cervical cancer incidence by up to 80%.[46] Abnormal Pap smear results may suggest the presence of cervical intraepithelial neoplasia (potentially premalignant changes in the cervix) before a cancer has developed, allowing examination and possible preventive treatment. If premalignant disease or cervical cancer is detected early, it can be monitored or treated relatively noninvasively, with little impairment of fertility. Cervical cancer screening is typically recommended starting three years or more after first sex, or starting at age 21 to 25.[47][48][citation needed] Recommendations for how often a Pap smear should be done vary from once a year to once every five years, in the absence of abnormal results.[46] Guidelines vary on how long to continue screening, but well screened women who have not had abnormal smears can stop screening about age 60 to 70.[47][48][49] To take a Pap smear, the vagina is held open with a speculum, the loose surface cells on the cervix are scraped using a specially shaped spatula and a brush, and the cells are spread on a microscope slide. At a laboratory the slide is stained, examined for abnormal cells and findings are reported. Until recently the Pap smear has remained the principal technology for preventing cervical cancer. However, following a rapid review of the published literature, originally commissioned by NICE,[50] liquid based cytology has been incorporated within the UK national screening programme. Although it was probably intended to improve on the accuracy of the Pap test, its main advantage has been to reduce the number of inadequate smears from around 9% to around 1%.[51] This reduces the need to recall women for a further smear. Automated technologies have been developed with the aim of improving on the interpretation of smears, normally carried out by cytotechnologists. Unfortunately these on the whole have proven less useful; although the more recent reviews suggest that generally they may be no worse than human interpretation.[52] The HPV test is a newer technique for cervical cancer triage which detects the presence of human papillomavirus infection in the cervix. It is more sensitive than the pap smear (less likely to produce false negative results), but less specific (more likely to produce false positive results) and its role in routine screening is still evolving. Since more than 99% of invasive cervical cancers worldwide contain HPV, some researchers recommend that HPV testing be done together with routine cervical screening.[15] But, given the prevalence of HPV (around 80% infection history among the sexually active population) others suggest that routine HPV testing would cause undue alarm to carriers, more unnecessary follow-up testing and treatment. HPV testing along with cytology significantly increases the cost of screening. Various experimental techniques, such as visual inspection using acetic acid, sometimes with special lights (speculoscopy), or taking pictures for expert evaluation (cervicography) have been evaluated as adjuncts to or replacements for Pap smear screening, especially in countries where Pap smear screening is prohibatively expensive. There are efforts to develop low cost HPV tests which might be used for primary screening of older women in less developed countries. [edit] Treatment Microinvasive cancer (stage IA) is usually treated by hysterectomy (removal of the whole uterus including part of the vagina). For stage IA2, the lymph nodes are removed as well. An alternative for patients who desire to remain fertile is a local surgical procedure such as a loop electrical excision procedure (LEEP) or cone biopsy.[53] If a cone biopsy does not produce clear margins,[54] one more possible treatment option for patients who want to preserve their fertility is a trachelectomy.[55] This attempts to surgically remove the cancer while preserving the ovaries and uterus, providing for a more conservative operation than a hysterectomy. It is a viable option for those in stage I cervical cancer which has not spread; however, it is not yet considered a standard of care,[56] as few doctors are skilled in this procedure. Even the most experienced surgeon cannot promise that a trachelectomy can be performed until after surgical microscopic examination, as the extent of the spread of cancer is unknown. If the surgeon is not able to microscopically confirm clear margins of cervical tissue once the patient is under general anesthesia in the operating room, a hysterectomy may still be needed. This can only be done during the same operation if the patient has given prior consent. Due to the possible risk of cancer spread to the lymph nodes in stage 1b cancers and some stage 1a cancers, the surgeon may also need to remove some lymph nodes from around the uterus for pathologic evaluation. A radical trachelectomy can be performed abdominally[57] or vaginally[58] and there are conflicting opinions as to which is better.[59] A radical abdominal trachelectomy with lymphadenectomy usually only requires a two to three day hospital stay, and most women recover very quickly (approximately six weeks). Complications are uncommon, although women who are able to conceive after surgery are susceptible to preterm labor and possible late miscarriage.[60] It is generally recommended to wait at least one year before attempting to become pregnant after surgery.[61] Recurrence in the residual cervix is very rare if the cancer has been cleared with the trachelectomy.[56] Yet, it is recommended for patients to practice vigilant prevention and follow up care including pap screenings/colposcopy, with biopsies of the remaining lower uterine segment as needed (every 3–4 months for at least 5 years) to monitor for any recurrence in addition to minimizing any new exposures to HPV through safe sex practices until one is actively trying to conceive. Early stages (IB1 and IIA less than 4 cm) can be treated with radical hysterectomy with removal of the lymph nodes or radiation therapy. Radiation therapy is given as external beam radiotherapy to the pelvis and brachytherapy (internal radiation). Patients treated with surgery who have high risk features found on pathologic examination are given radiation therapy with or without chemotherapy in order to reduce the risk of relapse. Larger early stage tumors (IB2 and IIA more than 4 cm) may be treated with radiation therapy and cisplatin-based chemotherapy, hysterectomy (which then usually requires adjuvant radiation therapy), or cisplatin chemotherapy followed by hysterectomy. Advanced stage tumors (IIB-IVA) are treated with radiation therapy and cisplatin-based chemotherapy. On June 15, 2006, the US Food and Drug Administration approved the use of a combination of two chemotherapy drugs, hycamtin and cisplatin for women with late-stage (IVB) cervical cancer treatment.[62] Combination treatment has significant risk of neutropenia, anemia, and thrombocytopenia side effects. Hycamtin is manufactured by GlaxoSmithKline. [edit] Prognosis Prognosis depends on the stage of the cancer. With treatment, the 5-year relative survival rate for the earliest stage of invasive cervical cancer is 92%, and the overall (all stages combined) 5-year survival rate is about 72%. These statistics may be improved when applied to women newly diagnosed, bearing in mind that these outcomes may be partly based on the state of treatment five years ago when the women studied were first diagnosed.[63] With treatment, 80 to 90% of women with stage I cancer and 50 to 65% of those with stage II cancer are alive 5 years after diagnosis. Only 25 to 35% of women with stage III cancer and 15% or fewer of those with stage IV cancer are alive after 5 years.[64] According to the International Federation of Gynecology and Obstetrics, survival improves when radiotherapy is combined with cisplatin-based chemotherapy.[65] As the cancer metastasizes to other parts of the body, prognosis drops dramatically because treatment of local lesions is generally more effective than whole body treatments such as chemotherapy. Interval evaluation of the patient after therapy is imperative. Recurrent cervical cancer detected at its earliest stages might be successfully treated with surgery, radiation, chemotherapy, or a combination of the three. Thirty-five percent of patients with invasive cervical cancer have persistent or recurrent disease after treatment.[66] Average years of potential life lost from cervical cancer are 25.3 (SEER Cancer Statistics Review 1975-2000, National Cancer Institute (NCI)). Approximately 4,600 women were projected to die in 2001 in the US of cervical cancer (DSTD), and the annual incidence was 13,000 in 2002 in the US, as calculated by SEER. Thus the ratio of deaths to incidence is approximately 35.4%. Regular screening has meant that pre cancerous changes and early stage cervical cancers have been detected and treated early. Figures suggest that cervical screening is saving 5,000 lives each year in the UK by preventing cervical cancer.[67] About 1,000 women per year die of cervical cancer in the UK. [edit] Epidemiology Age-standardized death from cervical cancer per 100,000 inhabitants in 2004.[68] no data less than 2.4 2.4-4.8 4.8-7.2 7.2-9.6 9.6-12 12-14.4 14.4-16.8 16.8-19.2 19.2-21.6 21.6-24 24-26.4 more than 26.4 Worldwide, cervical cancer is twelfth most common[69] and the fifth most deadly cancer in women.[70] It affects about 16 per 100,000 women per year and kills about 9 per 100,000 per year.[71] Approximately 80% of cervical cancers occur in developing countries[72] Worldwide, in 2008, it was estimated that there were 473,000 cases of cervical cancer, and 253,500 deaths per year.[73] In the United States, it is only the 8th most common cancer of women. In 1998, about 12,800 women were diagnosed in the US and about 4,800 died.[6] In 2008 in the US an estimated 11,000 new cases were expected to be diagnosed, and about 3,870 were expected to die of cervical cancer.[63] Among gynecological cancers it ranks behind endometrial cancer and ovarian cancer. The incidence and mortality in the US are about half those for the rest of the world, which is due in part to the success of screening with the Pap smear.[6] The incidence of new cases of cervical cancer in the United States was 7 per 100,000 women in 2004.[74] Cervical cancer deaths decreased by approximately 74% in the last 50 years, largely due to widespread Pap smear screening.[69] The annual direct medical cost of cervical cancer prevention and treatment is prior to introduction of the HPV vaccine was estimated at $6 billion.[69] In the European Union, there were about 34,000 new cases per year and over 16,000 deaths due to cervical cancer in 2004.[46] In the United Kingdom, the age-standardised (European) incidence is 8.5/100,000 per year (2006). It is the twelfth most common cancer in women, accounting for 2% of all female cancers, and is the second most common cancer in the under 35s females, after breast cancer. The UK's European age-standardised mortality is 2.4/100,000 per year (2007) (Cancer Research UK Cervical cancer statistics for the UK).[75] With a 42% reduction from 1988-1997 the NHS implemented screening programme has been highly successful, screening the highest risk age group (25–49 years) every 3 years, and those ages 50–64 every 5 years. In Canada, an estimated 1,300 women will be diagnosed with cervical cancer in 2008 and 380 will die.[76] In Australia, there were 734 cases of cervical cancer (2005). The number of women diagnosed with cervical cancer has dropped on average by 4.5% each year since organised screening began in 1991 (1991–2005).[77] Regular two-yearly Pap tests can reduce the incidence of cervical cancer by up to 90% in Australia, and save 1,200 Australian women dying from the disease each year.[78] Kanker Leher Rahim (Cervical Cancer) Perawatan Kanker Leher Rahim (Cervical Cancer) Peningkatan Jika biopsi menunjukan bahwa anda mempunyai kanker, dokter anda akan melakukan pemeriksaan pelvic yang seksama dan mungkin mengangkat jaringan tambahan untuk mempelajari luasnya (tingkat) penyakit anda. Tingkat memberitahukan apakah tumor telah menyerang jaringan-jaringan yang berdekatan, apakah kanker telah menyebar dan, jika ya, ke bagian-bagian tubuh yang mana. Ini adalah tingkat-tingkat dari kanker leher rahim: 22. 23. 24. Tingkat 0: Kanker hanya ditemukan pada lapisan atas dari selsel pada jaringan yang melapisi leher rahim. Tingkat 0 juga disebut carcinoma in situ. Tingkat I: Kanker telah menyerang leher rahim dibawah lapisan atas dari sel-sel. Itu ditemukan hanya di leher rahim. Tingkat II: Kanker meluas melewati leher rahim kedalam jaringan-jaringan berdekatan. Ia meluas ke bagian atas dari vagina. Kanker tidak menyerang ke bagian ketiga yang lebih 25. 26. 27. rendah dari vagina atau dinding pelvic (lapisan dari bagian tubuh antara pinggul). Tingkat III: Kanker meluas ke bagian bawah dari vagina. Ia juga mungkin telah menyebar ke dinding pelvic dan simpul-simpul getah bening yang berdekatan. Tingkat IV: Kanker telah menyebar ke kandung kemih, rektum, atau bagian-bagian lain tubuh. Terjadinya kembali kanker: Kanker telah dirawat, namun telah kembali setelah periode waktu yang selama waktu ini tidak dapat terdeteksi. Kanker mungkin timbul kembali pada leher rahim atau pada bagian-bagian lain tubuh. Untuk mempelajari luasnya penyakit dan menyarankan jalan perawatan, dokter mungkin meminta beberapa dari tes-tes berikut: • X-rays dada: X-rays seringkali dapat menunjukan apakah kanker telah menyebar ke paru-paru. • CT scan: Mesin x-ray yang dihubungkan ke sebuah komputer mengambil rentetan dari gambar-gambar yang mendetil (terperinci) dari organ-organ anda. Anda munkin menerima materi kontras melalui suntikan dilengan atau tangan anda, melalui mulut, atau dengan enema. Beberapa orang alergi terhadap materi-materi kontras yang mengandung iodine. Beritahu dokter atau suster jika anda mempunayi alergi. Materi kontras membuat area-area abnormal lebih mudah untuk dilihat. Tumor di hati, paru-paru, atau dimana saja didalam tubuh dapt terlihat pada CT scan. • MRI: Magnet yang kuat yang dihubungkan ke sebuah komputer digunakan untuk membuat gambar-gambar yang mendetil dari pelvis dan perut anda. Dokter dapat melihat gambar-gambar ini pada sebuah monitor dan dapat mencetak mereka pada film. MRI dapat menunjukan apakah kanker telah menyebar. Kadangkala materi kontras membuat area-area abnormal timbul lebih jelas pada gambar. • Ultrasound: Alat ultrasound diletakkan pada perut atau dimasukkan kedalam vagina. Alat mengirim gelombang-gelombang suara yang tidak dapat didengar manusia. Gelombang-gelombang memantul pada leher rahim dan jaringan-jaringan berdekatan, dan sebuah komputer menggunakan gema-gema (echoes) menciptakan gambar. Tumor-tumor dapat menghasilkan gemagema yang berbeda dari gema-gema yang dibuat oleh jaringanjaringan yang sehat. Gambar dapat menunjukan apakah kanker telah menyebar. Perawatan Banyak wamita-wanita dengan kanker leher rahim ingin mengambil bagian yang aktif dalam membuat keputusan-keputusan tentang perawatan medik mereka. Adalah alami berkeinginan untuk belajar semua yang anda bisa tentang penyakit anda dan pilihan-pilihan perawatan anda. Bagaimanapun, shock dan stres setelah diagnosis dapat membuatnya menjadi susah untuk memikirkan segalanya yang anda ingin tanyakan pada dokter. Adalah seringkali bermanfaat untuk membuat daftar pertanyaan-pertanyaan sebelum janji temu. Untuk membantu mengingat apa yang dikatakan dokter, anda mungkin membuat catatan atau bertanya apakah anda dapat menggunakan suatu alat perekam (tape recorder). Anda juga mungkin ingin mempunyai seorang anggota keluarga atau teman dengan anda ketika anda berbicara dengan dokter — mengambil bagian dalam diskusi, membuat catatan-catatan, atau hanya mendengarkan. Anda tidak perlu bertanya semua pertanyaan-pertanyaan anda seketika. Anda akan mempunyai kesempatan-kesempatan lain meminta dokter anda untuk menjelaskan hal-hal yang tidak jelas dan untuk bertanya lebih banyak informasi-informasi. Dokter anda mungkin merujuk anda pada seorang spesialis, atau anda dapat bertanya referensi. Ahli-ahli kandungan (Gynecologists), ahliahli kanker kandungan (gynecologic oncologists), ahli-ahli pengobatan kanker (medical oncologists), dan ahli-ahli radiasi kanker (radiation oncologists) adalah spesialis-spesialis yang merawat kanker leher rahim. Mendapatkan suatu pendapat/pikiran kedua Sebelum memulai perawatan, anda mungkin ingin pendapat (opini) kedua tentang diagnosis dan rencana perawatan. Banyak perusahaanperusahaan asuransi menempuh pendapat kedua jika anda atau dokter anda memintanya. Itu dapat memakan beberapa waktu dan usaha untuk mengumpulkan catatan mengenai kesehatan (medical records) dan mengatur untuk menemui dokter lain. Biasanya itu bukanlah persoalan yang memakan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan pendapat kedua. Pada kebanyakan kasus-kasus, penundaan dalam memulai perawatan tidak akan membuat perawatan berkurang efektif. Untuk memastikannya, anda harus diskusi penundaan ini dengan dokter anda. Beberapa wanita-wanita dengan kanker leher rahim memerlukan perawatan yang segera. Ada sejumlah cara-cara untuk menemukan dokter untuk pendapat kedua: • Dokter anda mugkin merujuk anda pada satu atau lebih spesialisspesialis. Pada pusat-pusat kanker, beberapa spesialis-spesialis seringkali bekerja sama sebagai suatu regu (team). • NCI's Cancer Information Service, at 1-800-4-CANCER, dapat memberitahu anda tentang pusat-pusat perawatan yang berdekatan. • The American Board of Medical Specialties (ABMS) mempunyai dafter dari dokter-dokter yang telah mendapatkan latihan dan telah lulus ujian dalam spesialisasinya. Anda dapat mencari dokterdokter ini pada http://www.abms.org. (Click on "Who's Certified.") Persiapan untuk perawatan Pilihan perawatan tergantung terutama dari ukuran tumor dan apakah kanker telah menyebar. Jika seorang wanita berada pada umur-umur mengandung anak, pilihan perawatan mungkin juga tergantung pada apakah ia ingin hamil suatu ketika. Dokter anda dapat menguraikan pilihan-pilhan perawatan anda dan hasil-hasil yang diharapkan dari setiap pilihan. Anda dan dokter anda dapat bekerja sama untuk mengembangkan rencana perawatan yang memenuhi keperluan-keperluan medik anda dan nilai-nilai pribadi anda. Metode-metode perawatan Wanita-wanita dengan kanker leher rahim dapat dirawat dengan operasi, terapi radiasi, kemoterapi, terapi radiasi dan kemoterapi, atau kombinasi dari metode ketiga-tiganya. Pada tingakat manapun dari penyakit, wanita-wanita dengan kanker leher rahim dapat mempunyai perawatan untuk mengontrol nyeri dan gejala-gejala lainnya, untuk menghilangkan efek-efek sampingan terapi, dan untuk meringankan persoalan-persoalan emosi dan praktis. Perawatan semacam ini disebut perawatan yang menunjang (supportive care), pengendalian gejala (symptom management), atau perawatan yang meredakan (palliative care). Anda mungkin ingin bicara pada dokter anda tentang ambil bagian dalam percobaan klinik, studi penelitian dari metode-metode perawatan yang baru. Operasi Operasi merawat kanker pada leher rahim dan area yang berdekatan dengan tumor. Kebanyakan wanita-wanita dengan kanker leher rahim awal mempunyai operasi untuk mengangkat leher rahim (cervix) dan kandungan (uterus) yaitu total hysterectomy. Bagaimanapun, untuk setiap kanker leher rahim dini (tingkat 0), hysterectomy mungkin tidak diperlukan. Cara-cara lain untuk mengangkat jaringan yang bersifat kanker termasuk conization, cryosurgery, operasi laser, atau LEEP. Beberapa wanita-wanita memerlukan hysterectomy yang radikal. Hysterectomy yang radikal adalah operasi pengangkatan kandungan (uterus), leher rahim (cervix), dan bagian dari vagina. Dengan salah satu dari hysterectomy total atau radikal, ahli bedah mungkin mengangkat kedua tabung-tabung fallopian dan indungindung telur (ovaries). Prosedur ini adalah salpingo-oophorectomy. Ahli bedah mungkin juga mengangkat simpul-simpul getah bening dekat tumor untuk melihat apakah mereka mengandung kanker. Jika sel-sel kanker telah mencapai simpul-simpul getah bening, itu berarti penyakit telah menyebar pada bagian-bagian lain tubuh. Terapi Radiasi Terapi radiasi (juga disebut radiotherapy) menggunakan sinar-sinar yang tinggi energinya untuk membunuh sel-sel kanker. Ia mempengaruhi sel-sel hanya di area-area yang dirawat. Wanita-wanita mendapat hanya terapi radiasi, dengan kemoterapi, atau dengan kemoterapi dan operasi. Dokter mungkin menyarankan terapi radiasi sebagai ganti dari operasi untuk jumlah yang kecil dari wanita-wanita yang tidak bisa mendapat operasi karean sebab-sebab medis. Kebanyakan wanita-wanita dengan kanker yang meluas melalui leher rahim mendapat terapi radiasi dan kemoterapi. Untuk kanker yang telah menyebar pada organ-organ yang jauh, hanya terapi radiasi sendiri mungkin digunakan. Dokter-dokter menggunakan dua tipe dari terapi radiasi untuk merawat kanker leher rahim. Beberapa wanita-wanita menerima kedua-dua tipe: • External radiation: Radiasi datang dari sebuah mesin besar diluar tubuh. Wanita biasanya mendapat perawatan sebagai seorang pasien luar dalam sebuah rumah sakit atau klinik. Ia menerima external radiation 5 hari setiap minggu untuk beberapa minggu. • Internal radiation (intracavitary radiation): Tabung-tabung tipis (juga disebut implants) mengandung unsur radioaktif ditinggalkan di vagina untuk beberapa jam atau sampai 3 hari. Wanita itu dapat tinggal di rumah sakit selama waktu itu. Untuk melindungi yang lain-lainnya dari radiasi, wanita itu tidak boleh menerima tamutamu atau dapat menerima tamu-tamu hanya untuk periode waktu yang singkat ketika tabung-tabungnya berada ditempat. Sekali tabung-tabungnya diangkat, tidak ada radioaktif yang tertinggal didalam tubuhnya. Internal radiation dapat diulang dua kali atau lebih melalui beberapa minggu. Kemoterapi Kemoterapi menggunakan obat-obat anti kanker untuk membunuh sel-sel kanker. Ia disebut terapi sistemik (systemic therapy) kerena obat-obat masuk kedalam aliran darah dan dapat mempengaruhi selsel diseluruh tubuh. Untuk perawatan kanker leher rahim, kemoterapi biasanya digabungkan dengan terapi radiasi. Untuk kanker yang telah menyebar pada organ-organ yang jauh, hanya kemoterapi sendiri mungkin digunakan. Obat-obat anti kanker untuk kanker leher rahim biasanya diberikan melalui pembuluh darah. Wanita-wanita biasanya menerima perawatan pada bagian pasien luar dari rumah sakit, di ruang praktek dokter, atau dirumah. Jarang seorang wanita tinggal dirumah sakit selama perawatan. Kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks adalah sejenis kanker yang 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang menyerang leher rahim.[1] Kanker ini dapat hadir dengan pendarahan vagina, tetapi gejala kanker ini tidak terlihat sampai kanker memasuki stadium yang lebih jauh, yang membuat kanker leher rahim fokus pengamatan menggunakan Pap smear. Di negara berkembang, penggunaan secara luas program pengamatan leher rahim mengurangi insiden kanker leher rahim yang invasif sebesar 50% atau lebih. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa infeksi human papillomavirus (HPV) bertanggung jawab untuk semua kasus kanker leher rahim. [2][3] Perawatan termasuk operasi pada stadium awal, dan kemoterapi dan/atau radioterapi pada stadium akhir penyakit. Daftar isi [sembunyikan] 28. 1 Infeksi 29. 2 Faktor Resiko 2.1 Faktor Alamiah 2.2 Faktor Kebersihan 2.3 Faktor Pilihan 30. 3 Pencegahan 31. 4 Catatan kaki 32. 5 Daftar pustaka 33. 6 Pranala luar [sunting] Infeksi Human papilloma virus (HPV) 16 dan 18 merupakan penyebab utama pada 70% kasus kanker serviks di dunia. Perjalanan dari infeksi HPV hingga menjadi kanker serviks memakan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 10 hingga 20 tahun. Namun proses penginfeksian ini seringkali tidak disadari oleh para penderita, karena proses HPV kemudian menjadi pra-kanker sebagian besar berlangsung tanpa gejala.[1] [sunting] Faktor Resiko [sunting] Faktor Alamiah Faktor alamiah adalah faktor-faktor yang secara alami terjadi pada seseorang dan memang kita tidak berdaya untuk mencegahnya. Yang termasuk dalam faktor alamiah pencetus kanker serviks adalah usia diatas 40 tahun. Semakin tua seorang wanita maka makin tinggi risikonya terkena kanker serviks. Tentu kita tidak bisa mencegah terjadinya proses penuaan. Akan tetapi kita bisa melakukan upaya-upaya lainnya untuk mencegah meningkatnya risiko kanker serviks. Tidak seperti kanker pada umumnya, faktor genetik tidak terlalu berperan dalam terjadinya kanker serviks. Ini tidak berarti Anda yang memiliki keluarga bebas kanker serviks dapat merasa aman dari ancaman kanker serviks. Anda dianjurkan tetap melindungi diri Anda terhadap kanker serviks. [sunting] Faktor Kebersihan • Keputihan yang dibiarkan terus menerus tanpa diobati. Ada 2 macam keputihan, yaitu yang normal dan yang tidak normal. Keputihan normal bila lendir berwarna bening, tidak berbau, dan tidak gatal. Bila salah satu saja dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi berarti keputihan tersebut dikatakan tidak normal. Segeralah berkonsultasi dengan dokter Anda bila Anda mengalami keputihan yang tidak normal. • Penyakit Menular Seksual (PMS). PMS merupakan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. PMS yang cukup sering dijumpai antara lain sifilis, gonore, herpes simpleks, HIV-AIDS, kutil kelamin, dan virus HPV. • Pemakaian pembalut yang mengandung bahan dioksin. Dioksin merupakan bahan pemutih yang digunakan untuk memutihkan pembalut hasil daur ulang dari barang bekas, misalnya krayon, kardus, dan lain-lain. • Membasuh kemaluan dengan air yang tidak bersih, misalnya di toilettoilet umum yang tidak terawat. Air yang tidak bersih banyak dihuni oleh kuman-kuman. [sunting] Faktor Pilihan Faktor ketiga adalah faktor pilihan, mencakup hal-hal yang bisa Anda tentukan sendiri, diantaranya berhubungan seksual pertama kali di usia terlalu muda. Berganti-ganti partner seks. Lebih dari satu partner seks akan meningkatkan risiko penularan penyakit kelamin, termasuk virus HPV. Memiliki banyak anak (lebih dari 5 orang). Saat dilahirkan, janin akan melewati serviks dan menimbulkan trauma pada serviks. Bila Anda memutuskan untuk memiliki banyak anak, makin sering pula terjadi trauma pada serviks. Tidak melakukan Pap Smear secara rutin. Pap Smear merupakan pemeriksaan sederhana yang dapat mengenali kelainan pada serviks. Dengan rutin melakukan papsmear, kelainan pada serviks akan semakin cepat diketahui sehingga memberikan hasil pengobatan semakin baik. [sunting] Pencegahan Pencegahan terhadap kanker serviks dapat dilakukan dengan program skrinning dan pemberian vaksinasi. Di negara maju, kasus kanker jenis ini sudah mulai menurun berkat adanya program deteksi dini melalui pap smear. Vaksin HPV akan diberikan pada perempuan usia 10 hingga 55 tahun melalui suntikan sebanyak tiga kali, yaitu pada bulan ke nol, satu, dan enam. Dari penelitian yang dilakukan, terbukti bahwa respon imun bekerja dua kali lebih tinggi pada remaja putri berusia 10 hingga 14 tahun dibanding yang berusia 15 hingga 25 tahun. Kanker Serviks CERVICAL CANCER | CARSINOMA CERVISIS UTERI Kanker serviks atau sering dikenal dengan kanker mulut rahim/kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada servik uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Gambar organ reproduksi wanita: Menurut Globacan (2002) di seluruh dunia setiap tahun ada 493.243 wanita terdiagnosa kanker serviks, 273.505 meninggal. Di dunia, lebih dari 700 wanita meninggal setiap hari karena kanker serviks. Di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama kanker pada wanita. Setiap hari di Indonesia ada 40 orang wanita terdiagnosa dan 20 wanita meninggal karena kanker serviks. Karena kanker serviks merupakan penyakit yang telah diketahui penyebabnya dan telah diketahui perjalanan penyakitnya. Ditambah juga sudah ada metode deteksi dini kanker serviks dan adanya pencegahan dengan vaksinasi, seharusnya angka kejadian dan kematian akibat kanker servik dapat diturun. Banyaknya kasus kanker serviks di Indonesia disebabkan pengetahuan tentang kanker servik yang kurang sehingga kesadaran masyarakat untuk deteksi dini pun masih rendah. PENYEBAB KANKER SERVIKS Hingga saat ini Human Papilloma Virus (HPV) merupakan penyebab 99,7% kanker serviks. Virus papilloma ini berukuran kecil, diameter virus kurang lebih 55 nm. Terdapat lebih dari 100 tipe HPV, HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 sering ditemukan pada kanker maupun lesi pra kanker serviks. HPV tipe 16 dan 18 merupakan 70 % penyebab kanker serviks. Sebenarnya sebagian besar virus HPV akan menghilang sendiri karena ada system kekebalan tubuh alami, tetapi ada sebagian yang tidak menghilang dan menetap. HPV yang menetap inilah yang menyebabkan perubahan sel leher rahim menjadi kanker serviks. Perjalanan kanker serviks dari infeksi HPV, tahap pre kanker hingga menjadi kanker serviks memakan waktu 10 – 20 thn. PERKEMBANGAN KANKER LEHER RAHIM Dari infeksi virus HPV sampai menjadi kanker serviks memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan lebih dari 10 tahun. Pada tahap awal infeksi virus akan menyebabkan perubahan sel-sel epitel pada mulut rahim, sel-sel menjadi tidak terkendali perkembangannya dan bila berlanjut akan menjadi kanker. Pada tahan awal infeksi sebelum menjadi kanker didahului oleh adanya lesi prakanker yang disebut Cervical Intraepthelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Lesi prakanker ini berlangsung cukup lama yaitu memakan waktu antara 10 -- 20 tahun. Dalam perjalanannya CIN I (NIS I) akan berkembang menjadi CIN II (NIS II) kemudian menjadi CIN III (NIS III) yang bila penyakit berlanjut maka akan berkembang menjadi kanker serviks. Konsep regresi spontan serta lesi yang persiten menyatakan bahwa tidak semua lesi pra kanker akan berkembang menjadi lesi invasive atau kanker serviks, sehingga diakui masih banyak faktor yang mempengaruhi. CIN I (NIS I) hanya 12 % saja yang berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan CIN II (NIS II) dan CIN III (NIS III) mempunyai risiko berkembang menjadi kanker invasif bila tidak mendapatkan penanganan. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI 2 bentuk kanker serviks yang paling sering dijumpai yaitu karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. 85% merupakan karsinoma skuamosa (epidermoid), 10% merupakan jenis adenokarsinoma dan 5% merupakan adenoskuamosa, clear cell, small cell dan verucous. BAGAIMANA ORANG BISA TERKENA INFEKSI HPV? Setiap orang bisa terinfeksi HPV baik pada wanita maupun pria, infeksi HPV ditularkan melalui kontak kelamin, bukan hanya melalui hubungan seks. Infeksi ini mudah menular sehingga semua wanita yang sudah melakukan hubungan seks berisiko terkena kanker leher rahim. Resiko menderita kanker leher rahim meningkat pada wanita perokok, berganti-ganti pasangan seksual, menikah usia muda dan penderita dengan penurunan kekebalan tubuh/HIV+ (AIDS). GEJALA KANKER LEHER RAHIM Infeksi HPV tidak menimbulkan gejala, bahkan orang tidak menyadari bahwa dia sudah terinfeksi bahkan sudah menularkannya kepada orang lain. Pada tahap/stadium awal (prekanker) tidak ada gejala yang jelas, setelah berkembang menjadi kanker timbul gejala-gejala keputihan yang tidak sembuh walaupun sudah diobati, keputihan yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah berhubungan seks, perdarahan di luar siklus haid dan lain-lain. Pada stadium lanjut dimana sudah terjadi penyebaran ke organ-organ sekitar mungkin terdapat keluhan nyeri daerah panggul, sulit BAK, BAK berdarah dan lain-lain. DETEKSI DINI Pap smear merupakan salah satu cara deteksi dini kanker leher rahim, test ini mendeteksi adanya perubahan-perubahan sel leher rahim yang abnormal, yaitu suatu pemeriksaan dengan mengambil cairan pada laher rahim dengan spatula kemudian dilakukan pemeriksaan dengan miroskop. Saat ini telah ada teknik thin prep (liquid base cytology) adalah metoda pap smear yang dimodifikasi yaitu sel usapan serviks dikumpulkan dalam cairan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, lendir serta memperbanyak sel serviks yang dikumpulkan sehingga akan meningkatkan sensitivitas. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengunakan semacam sikat (brush) kemudian sikat dimasukkan ke dalam cairan dan disentrifuge, sel yang terkumpul diperiksa dengan mikroskop. Pap smear hanyalah sebatas skrining, bukan diagnosis adanya kanker serviks. Jika ditemukan hasil pap smear yang abnormal, maka dilakukan pemeriksaan standar berupa kolposkopi. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan pembesaran (seperti mikroskop) yang digunakan untuk mengamati secara langsung permukaan serviks dan bagian serviks yang abnormal. Dengan kolposkopi akan tampak jelas lesi-lesi pada permukaaan servik, kemudian dilakukan biopsy pada lesi-lesi tersebut. IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) tes merupakan alternatif skrining untuk kanker serviks. Tes sangat mudah dan praktis dilaksanakan, sehingga tenaga kesehatan non dokter ginekologi, bidan praktek dan lain-lain. Prosedur pemeriksaannya sangat sederhana, permukaan serviks/leher rahim diolesi dengan asam asetat, akan tampak bercakbercak putih pada permukaan serviks yang tidak normal. Penanganan kanker serviks dilakukan sesuai stadium penyakit dan gambaran histopatologimnya. Sensitifitas pap smear yang dilakukan setiap tahun mencapai 90%. Gambar teknik Pap Smear: Keterangan : 34. Vagina dibuka dengan spekulum agar mulut rahim kelihatan; 35. Dilakukan usapan pada mulut rahim dengan spatel; 36. Spatel dioleskan ke obyek glas, kemudian diperiksa dengan mikroskop; 37. Metode berbasis cairan : usapan pada mulut rahim dilakukan dengan citobrush (sikat) > sikat dimasukkan ke dalam cairan fiksasi,dibawa ke laboratorium > diperiksa dengan miroskop. PENANGANAN KANKER LEHER RAHIM Penanganan kanker leher dilakukan sesuai dengan stadiumnya. Pada tahap prekanker yaitu pada tahap CIN penanganan dilakukan dengan destruksi lokal pada mulut rahim. Sedangkan bila sudah pada tahap kanker penanganan yang dilakukan adalah pembedahan berupa pengangkatan rahim, kemoterapi dan radioterapi. Pada tahap kanker walaupun dilakukan penanganan kesembuhannya kecil sekali. yang semestinya angka PENCEGAHAN Menjaga perilaku seksual yang sehat dan melakukan skrining dan deteksi dini secara teratur merupakan langkah terbaik yang dapat dilakukan. Sekarang telah dikembangkan vaksin untuk mencegah kanker leher rahim, untuk menimbulkan kekebalan yang cukup diperlukan 3 kali penyuntikan vaksin. Cegah kanker serviks sebelum terlambat. Lakukan deteksi dini dan pencegahan dengan vaksinasi. Anda terlalu berharga untuk keluarga dan orang di sekitar anda. Jangan sampai kanker serviks merenggut kebahagiaan dan impian-impian anda. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Serviks 2.1.1 Pengertian kanker serviks dan penyebabnya Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV- 18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2 (Hacker, 2000). 2.1.2 Faktor resiko kanker leher rahim Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu : Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti- ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obatobatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. • Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko- karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p>0,05. 2.1.3 Klasifikasi stadium kanker serviks Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis rencana tindakan, dan memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of Gynecologi And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan – tahapan tersebut yaitu : a. Karsinoma pre invasif b. Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel c. Kasinoma invasive Tabel 2.1. Stadium kanker serviks menurut klasifikasi FIGO (Wiknyosastro (1997) 2.1.4 Jenis histopatologis pada kanker serviks Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90% merupakan karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari sel- sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya : 1. Skuamous carcinoma • Keratinizing • Large cell non keratinizing • Small cell non keratinizing • Verrucous 2. Adeno carcinoma • Endocervical • Endometroid (adenocanthoma) • Clear cell - paramesonephric • Clear cell - mesonephric • Serous • Intestinal 3. Mixed carcinoma • Adenosquamous • Mucoepidermoid • Glossy cell • Adenoid cystic 4. Undifferentiated carcinoma 5. Carcinoma tumor 6. Malignant melanoma 7. Maliganant non-epithelial tumors • Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma • Lymphoma 2.1.5 Patofisiologi kanker serviks Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paruparu, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997). 2.1.6 Gejala klinis kanker serviks Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 - 80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid. Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro, 1997). 2.1.7 Diagnosis kanker serviks Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X- ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) : 1. Pemeriksaan pap smear Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999): a. Normal. b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas). c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas). d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar). e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya). Tabel 2.2. Kategorisasi diagnosis deskriptif Pap smear berdasarkan sistem Bethesda 2.Pemeriksaan DNA HPV Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks. 3. Biopsi Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997). 4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar) Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997). 5. Tes Schiller Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997). 6. Radiologi a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe. b) Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999). 2.1.8 Pencegahan kanker serviks Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor- faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004) : 1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta sering berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja. 2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Bila dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII). 3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim. Universitas Sumatera Utara 4. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker mulut rahim 5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%. 2.1.9 Pengobatan kanker serviks Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi), pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi (Wiknjosastro, 1997). 1. Pembedahan Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruhkanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar. 2. Terapi penyinaran (radioterapi) Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar berasal dari sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal yaitu zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette, 2000). 3. Kemoterapi Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997). 2.1.10 Prognosis kanker serviks Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih Universitas Sumatera Utara dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30% (Geene,1998; Kenneth, 2000). 1. Stadium 0 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh. 2. Stadium 1 Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka. 3. Stadium 2 Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70-90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%. 4. Stadium 3 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%. 5. Stadium 4 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%. 6. Stadium 5 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5-10%. Stage 1 Stage 1 cervical cancer means the cancer is only in the cervix. It is is now divided into 4 groups: stage 1A1, stage 1A2, stage 1B1 and stage 1B2, depending on the size of the cancer. The outcome or chance of being cured is better the earlier the cancer is detected. Smaller cancers have a better prognosis. The smallest tumours of only a few millimetres (stage 1A1) are very unlikely to recur and have a cure rate of 98 to 99%, if they are completely removed. For stage 1A2 cancers the cure rate is between 95 and 98%. For stage 1B1 cancers the cure rate is between 90 to 95%. A stage 1B2 cervical cancer, which may be larger than 4cm in diameter, still has a very good chance of cure. 8 out of 10 women (80%) with stage 1B2 cervical cancer will be cured. Stage 2 Stage 2 means that the cancer has spread to tissue close to the cervix. It is divided into 2 main groups: stages 2A and 2B. For all those women diagnosed with stage 2A cervical cancer, between 7 and 9 out of 10 (70 to 90%) will be alive 5 years later. For stage 2B the figures are slightly lower. Between 6 and 7 out of every 10 women (60 to 70%) will be alive 5 years after diagnosis. Stage 3 Stage 3 means the cancer has spread to the lower vagina or the side of the pelvis. As you might expect, the survival statistics fall with the more advanced stages of cervical cancer. Between 3 and 5 out of 10 women (30 to 50%) live at least five years after a diagnosis of stage 3 cervical cancer. Stage 4 Stage 4 means the cancer has spread to distant organs or into the bladder or bowel. As it is the most advanced stage, the survival statistics are lowest for stage 4 cervical cancers. 20 out of 100 women (20%) will live 5 years or longer with stage 4 cervical cancer. These are figures for all stage 4 cervical cancers. The figures will be slightly higher for women with stage 4A cancers and lower for those with stage 4B cancers.