BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Manajemen Keuangan Menurut Sutrisno (2003) bahwa manajemen keuangan adalah sebagai semua aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan biaya yang murah serta usaha untuk menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut secara efisien. Sedangkan menurut Sartono (2001, manajemen keuangan dapat diartikan sebagai manajemen dana baik yang berkaitan dengan pengalokasian dana dalam berbagai bentuk investasi secara efektif maupun usaha pengumpulan dana untuk pembiayaan investasi atau pembelanjaan secara efisien. 2.2 Fungsi-fungsi Manajemen Keuangan Dalam manajemen keuangan, tidak bisa terlepas dari laporan keuangan. Ada beberapa fungsi manajemen keuangan menurut Sutrisno (2003), antara lain: 1. Keputusan Investasi Keputusan investasi adalah masalah bagaimana manajer keuangan harus bisa mengalokasikan dana ke dalam bentuk-bentuk investasi yang akan dapat mendatangkan keuntungan di masa yang akan datang. 2. Keputusan pendanaan Keputusan pendanaan ini sering disebut sebagai kebijakan struktur modal. Pada keputusan ini manajer keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber-sumber dana yang ekonomis bagi 9 10 perusahaan guna mendanai kebutuhan-kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya. 3. Keputusan Dividen Keputusan dividen merupakan keputusan manajemen keuangan untuk menentukan besarnya prosentase laba yang harus dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk cash dividend, stabilitas dividen yang dibagikan, dividen saham (stock dividend), dan pemecahan saham (stock split), serta penarikan kembali saham yang beredar yang semuanya ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran para pemegang saham. 2.3 Investasi Investasi merupakan suatu tindakan untuk mengorbankan sejumlah dana yang dimiliki saat ini untuk memperoleh return atau keuntungan di masa yang akan datang. Secara spesifik, Reilly dan Brown (2006) menjelaskan investasi sebagai komitmen untuk mengikatkan aset saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan penghasilan yang mampu mengkompensasikan pengorbanan investor berupa (1) keterikatan aset pada waktu tertentu (2) tingkat inflasi (3) ketidaktentuan penghasilan dimasa mendatang. Investor dapat berupa individu, pemerintah, maupun perusahaan. Investasi dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan aset yang dimiliki dan menghindarkan penurunan nilai riil suatu aset. Sedangkan Jones (2004), mendefinisikan investasi sebagai komitmen menanamkan sejumlah dana pada satu atau lebih aset selama beberapa periode pada masa mendatang. 11 Menurut Bodie, Kane, dan Marcus (2002), secara umum aset yang merupakan obyek investasi dapat dibedakan menjadi aset riil (real assets) dan aset keuangan (financial assets). Aset riil merupakan investasi di produk yang lebih terlihat secara fisik, dapat berupa tanah, bangunan, pengetahuan, dan mesin yang digunakan untuk memproduksi barang serta para pekerja yang kemampuan dan keahliannya diperlukan untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Sedangkan aset keuangan merupakan investasi di produk-produk pasar keuangan dan turunannya yang lebih tidak terlihat secara fisik, dapat berupa instrumen sekuritas seperti saham atau obligasi. 2.4 Obligasi Negara Sulistyastuti (2002) berpendapat bahwa obligasi merupakan sekuritas berpendapatan tetap (fixed income securities) yang diterbitkan berhubungan dengan perjanjian utang. Sebagai sekuritas berpendapatan tetap, obligasi memberikan penghasilan secara rutin. Sedangkan definisi obligasi negara atau menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Obligasi Negara merupakan surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan dengan kupon atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Obligasi negara dapat dibedakan menurut jenis kuponnya, antara lain: 1. Obligasi berbunga tetap (fixed rate bonds) 12 Obligasi jenis ini memiliki tingkat kupon yang ditetapkan pada saat penerbitan, dan dibayarkan secara periodik. Sebelum tahun 2006, obligasi berbunga tetap hanya didominasi obligasi seri FR (fixed rate) yang kuponnya dibayarkan setiap enam bulan sekali (semi-annual). 2. Obligasi berbunga mengambang (variable rate bonds) Obligasi berbunga mengambang memiliki tingkat kupon yang ditetapkan secara periodik berdasarkan tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan. Kupon dibayarkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan. Obligasi negara memiliki karakteristik sebagaimana karakteristik sekuritas berpendapatan tetap lainnya, yaitu: (1) surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum, (2) memiliki jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo, (3) memberikan pendapatan tetap secara periodik, dan (4) ada nilai nominal. Nilai nominal tersebut disebut nilai pari, par value, face value, atau stated value. Secara umum karakteristik obligasi (www.idx.co.id) antara lain : a. Nilai Nominal (Face Value) adalah nilai pokok dari suatu obligasi yang akan diterima oleh pemegang obligasi pada saat obligasi tersebut jatuh tempo; b. Kupon (the Interest Rate) adalah nilai bunga yang diterima pemegang obligasi secara berkala (biasanya pembayaran kupon obligasi adalah setiap 3 atau 6 bulanan). Kupon obligasi dinyatakan dalam annual prosentase. c. Jatuh Tempo (Maturity) adalah tanggal dimana pemegang obligasi akan mendapatkan pembayaran kembali pokok atau nilai nominal obligasi yang dimilikinya. Periode jatuh tempo obligasi bervariasi mulai dari 365 hari 13 sampai dengan di atas 5 tahun. Obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 tahun akan lebih mudah untuk diprediksi, sehingga memiliki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan obligasi yang memiliki periode jatuh tempo dalam waktu 5 tahun. Secara umum, semakin panjang jatuh tempo suatu obligasi, semakin tinggi kupon/bunganya. d. Penerbit/Emiten (Issuer). Pihak yang membutuhkan dana dengan menerbitkan obligasi. Dalam pengelolaan portofolio obligasi negara, pemerintah tidak terlepas dari adanya resiko yang mungkin terjadi, yaitu tambahan beban/biaya utang dalam APBN secara signifikan, baik berupa risiko pembiayaan kembali (refinancing risk) akibat struktur jatuh tempo yang tidak seimbang maupun resiko pasar akibat perubahan suku bunga ataupun inflasi. Berbagai resiko tersebut secara terusmenerus harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar krisis fiskal dapat dihindari. Resiko-resiko dimaksud antara lain: 1. Resiko kesinambungan fiskal (Fiscal Sustainability Risk) Besarnya jumlah utang akan berpengaruh terhadap kesinambungan fiskal, hal ini mengingat besarnya beban yang akan ditanggung pemerintah dalam hal pembayaran pokok dan bunga utang. Untuk itu, pemerintah membuat suatu strategi pengelolaan utang negara, dengan mengupayakan dan menekan agar besaran portofolio utang pemerintah semakin menurun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan diharapkan menjadi 30% (PDB) pada tahun 2009. 14 2. Resiko Perubahan Tingkat Bunga (Interest Rate Risk) Hampir sepertiga dari total utang negara merupakan utang dengan bunga mengambang (variable rate), sehingga apabila terjadi kenaikan tingkat bunga pasar, akan mengakibatkan kenaikan pada nilai kewajiban pembayaran bunga dari anggaran pemerintah. Sedang resiko akibat perubahan tingkat bunga dapat terjadi apabila pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) pada saat kondisi pasar sedang memburuk (bearish), yang antara lain ditandai oleh kenaikan suku bunga secara tajam sehingga biaya utang (yield) menjadi lebih tinggi. 3. Resiko Pembiayaan Kembali (Refinancing) Resiko refinancing adalah potensi naiknya tingkat bunga utang pada saat melakukan pembiayaan kembali (refinancing), atau bahkan tidak dapat dilakukan refinancing sama sekali yang akan meningkatkan beban pemerintah dan/atau mengakibatkan tidak terpenuhinya pembiayaan pemerintah. Resiko refinancing terutama terjadi apabila jumlah utang jatuh tempo berjumlah besar secara bersamaan, sehingga akan meningkatkan yield yang diminta investor/lender. Indikator resiko refinancing yang paling sederhana adalah maturity profile dari portofolio utang. Maturity profile yang tersebar merata akan kurang beresiko dibandingkan maturity profile yang terkonsentrasi pada satu periode waktu tertentu. 4. Resiko inflasi. Kalau inflasi begitu tinggi, akibatnya tingkat imbal hasil (yield) yang diminta investor akan lebih tinggi. Kondisi itu tentu akan 15 menekan harga obligasi, dan akibatnya pemerintah yang ingin menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) akan memberikan tambahan beban penerbitan obligasi. Salah satu manfaat dari obligasi negara adalah sebagai instrumen investasi, obligasi negara dapat memberikan peluang bagi investor dan pelaku pasar untuk melakukan diversifikasi portofolionya. Obligasi negara menjadi alternatif investasi selain tabungan, deposito, reksadana dan saham. Diversifikasi portofolio bertujuan untuk memperkecil risiko investasi. Obligasi negara juga memiliki fungsi sebagai instrumen pasar keuangan. Melalui fungsi ini, obligasi negara mendorong terciptanya acuan imbal hasil (benchmark yield) bagi penilaian harga instrumen keuangan lainnya, sehingga memberikan alternatif bagi dunia usaha untuk memperoleh pembiayaan dari pasar modal. 2.4.1 Yield Menurut Tandelilin (2001), yield merupakan komponen return yang mencerminkan aliran kas atau pendapatan yang diperoleh secara periodik dari suatu investasi. Samsul (2006) mengemukakan yield obligasi adalah keuntungan atas investasi dapat berupa kupon yang diterima maupun selisih kurs obligasi. Yield obligasi adalah pendapatan atau imbal hasil atau return yang akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai yield, yaitu hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan obligasi. 16 Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus mempertimbangkan besarnya yield obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan diterima. (www.idx.co.id) 2.4.2 Yield to Maturity Menurut Manurung (2007), ada tiga ukuran yield obligasi yang sering digunakan oleh para dealer dan portofolio manager yaitu current yield, yield to maturity dan yield to call, sebagaimana dijelaskan berikut ini : a. Currrent yield adalah yield yang dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap harga obligasi tersebut. Kupon dalam setahun Current yield = Harga pasar obligasi b. Sementara itu yield sampai jatuh tempo / yield to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Formula YTM yang seringkali digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau pendekatan nilai YTM, sebagai berikut: C+ R-P YTM Approximation = n x 100% R+P 2 Keterangan: C = kupon n = periode waktu yang tersisa (tahun) 17 R = redemption value P = harga pembelian (purchase value) Samsul (2006) menyatakan bahwa YTM digunakan dengan memperhitungkan sisa maturity obligasi yang harus dijalani. Sebelum maturity tiba, kurs obligasi (harga obligasi) dapat berada di atas pari ( di atas nilai nominal atau di atas 100 atau dibawah pari (di bawah nilai nominal) atau di bawah 100. Pada saat jatuh tempo kurs obligasi sama dengan 100 karena emiten akan membayar sebesar nilai nominal. c. Yield untuk membeli kembali (Yield to Call) Ada beberapa kupon yang bisa dibeli kembali sebelum jatuh tempo sehingga hasil untuk mengukur sampai dibeli disebut dengan yield to call. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut : C1 + Pc - P YTC approxmation = n x 100% Pc + P 2 Keterangan: P = Harga obligasi saat ini n = jumlah tahun sampai dengan YTC yang terdekat Ci = pendapatan kupon pertahun Pc =call price obligasi 18 2.4.3 Term Structure of Interest Rate Term structure of interest rate adalah hubungan antara rate of return (yield) dari asset keuangan dengan maturitasnya. Yield curve menunjukkan term structure of interest rate dari sekuritas yang mempunyai kualitas kredit yang sama. Menurut Hubbard (2008) dalam teori ini menerangkan adanya variasi pendapatan (yields) surat-surat berharga yang memiliki resiko, likuiditas dan karakteristik biaya informasi yang serupa tetapi memiliki maturity yang berbeda. Para analis pasar menggunakan pendapatan sampai jatuh tempo (yield to maturity) instrumen bebas resiko sebagai fungsi jangka waktu untuk mendapatkan informasi ekspektasi investor tentang kondisi pasar mendatang. Pendapat Miskhin, (2008), salah satu cara melihat ekspektasi inflasi di dalam suku bunga adalah dengan menggunakan yield curve. Yield Curve merupakan hubungan antara pendapatan atau suku bunga (rate of return) dengan jangka waktu (term of maturity). Pada dasarnya bentuk yield curve memiliki keterkaitan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Secara konvensional, transmisi kebijakan moneter terjadi dari suku bunga jangka panjang. Suku bunga jangka panjang pada gilirannya akan mempengaruhi permintaan agregat. Secara umum yield curve dikelompokkan menjadi 3 bentuk yaitu: 1. Kurva meningkat (upward slopping/ steep ) Kurva ini menunjukkan bahwa suku bunga jangka panjang lebih tinggi dari suku bunga jangka pendek 19 Sumber : www.pimco .com 2. Kurva mendatar (flatward slopping) Kurva ini menunjukkan bahwa suku bunga jangka panjang sama dengan suku bunga jangka pendek. Sumber :www.pimco.com 3. Kurva menurun (inverted slopping) Kurva ini menunjukkan bahwa suku bunga jangka panjang lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga jangka pendek. 20 Sumber :www.pimco.com Teori tentang kurva yield : 1. Teori pengharapan (expectation theory), menyatakan bahwa bentuk kurva Yield merefleksikan harapan investor tentang arah inflasi dan suku bunga di masa yang akan datang . 2. Teori likuiditas: para lender penghindar risiko lebih suka meminjamkan dana selama periode jangka pendek, kecuali suatu premi dibayarkan untuk penundaan likuiditas lebih besar dan dana yang dipinjamkan selama periode yang lebih panjang. 3. Teori pasar yang tersegmen: penawaran dan permintaan relatif untuk instrumen keuangan jangka pendek dan panjang oleh para partisipan pasar yang bervariasi. 4. Teori habitat-terpilih. Teori ini menghipotesis bahwa para investor akan mengubah dari pilihan maturitas normal (atau habitat) ke jangkauan maturitas sekuritas berbeda jika perbedaan-perbedaan yield cukup tinggi untuk mengkompensasi risiko harga potensial dengan ketidakselarasan maturitas aset dan kewajiban. 21 2.5 Suku Bunga Suku bunga menurut Brigham (2001) adalah harga yang harus dibayar atas modal yang terdiri atas modal pinjaman, dan deviden serta keuntungan modal yang merupakan hasil dari modal ekuitas. Tingkat bunga menurut Sunariyah (2006) adalah harga dari pinjaman. tingkat bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur. Adapun fungsi tingkat bunga menurut Sunariyah (2006) adalah: 1. Sebagai daya tarik bagi para penabung individu, institusi, atau lembaga yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan. 2. Tingkat bunga dapat digunakan sebagai alat kontrol bagi pemerintah terhadap dana langsung investasi pada sektor-sektor ekonomi. 3. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. 4. Pemerintah dapat memanipulasi tingkat bunga untuk meningkatkan produksi, sebagai akibatnya tingkat bunga dapat digunakan untuk mengontrol tingkat inflasi. Tingkat bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi modal. Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan 22 oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya. Laksmono (2001) menganggap suku bunga merupakan sebuah harga dan sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran. (Laksmono et.al,.2001:128). Para ekonom membedakan suku bunga menjadi empat yaitu : 1. Suku Bunga Nominal : Merupakan tingkat suku bunga yang dapat diamati di pasaran. 2. Suku Bunga Riil Yaitu suku bunga yang secara konsep diukur tingkat pengembaliannya setelah dikurangi inflasi. 3. Suku Bunga Jangka Pendek Yaitu suku bunga yang jatuh tempo (maturity) satu tahun atau kurang. 4. Suku Bunga Jangka Panjang Yaitu suku bunga yang jatuh tempo lebih dari satu tahun. 2.6 Tingkat Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI Rate) Definisi BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. (www.bi.go.id). Sedangkan menurut Siamat (2005) BI rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter. BI rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter 23 untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI -1 bulan hasil lelang OPT berada di sekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga SBI-1 bulan tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bunga Pasar Uang Antar bank (PUAB), suku bunga deposito dan kredit serta suku bunga jangka waktu yangg lebih panjang. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam kerangka kerja yang baru, mulai Juli 2005 suku bunga BI rate akan dipergunakan sebagai sinyal respon kebijakan moneter dan sasaran operasional. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan. (www.BI.go.id). Pada dasarnya perubahan dalam BI rate menunjukkan penilaian BI terhadap prakiraan inflasi ke depan dibandingkan dengan sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Pelaku pasar dan masyarakat akan dapat mengamati penilaian BI tersebut melalui penguatan 24 transparansi yang akan dilakukan anatara lain laporan kebijakan moneter yang disampaikan secara triwulanan . Sejalan dengan penggunaan suku bunga sebagai sinyal moneter RDG bulan Juli 2005 memutuskan untuk pertama kalinya BI rate ditetapkan BI sejak BI mengimplementasikan Inflation Targetting Framework . Dengan mempertimbangkan makroekonomi dan inflasi ke depan, maka kebijakan moneter yang cenderung ketat masih akan dilanjutkan. Penetapan Bi rate dapat mengendalikan tingkat inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah sekaligus kondusif untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi. 2.7 Nilai Tukar (Kurs) Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang negara lainnya (Sukirno 2004). Dengan kata lain bahwa nilai tukar yaitu mengukur nilai suatu valuta negara dari perspektif valuta negara lain. Menurut Madura (2006) sistem nilai tukar dapat diklasifikasikan menurut seberapa jauh nilai tukar dikendalikan oleh pemerintah. Sistem nilai tukar suatu negara biasanya masuk ke dalam salah satu kategori antara lain : 1. Sistem Tetap (fixed) Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar mata uang dibuat konstan ataupun hanya diperbolehkan berfluktuasi dalam kisaran yang sempit. Bila suatu saat nilai tukar mulai berfluktuasi terlalu besar, maka pemerintah akan melakukan intervensi untuk menjaga agar fluktuasi tetap berada dalam kisaran yang diinginkan. 25 2. Sistem Mengambang Bebas (freely floating) Pada sistem ini nilai tukar ditentukan sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Bila pada sistem tetap tidak diperbolehkan adanya fleksibilias secara penuh. Pada kondisi nilai tukar yang mengambang, nilai tukar akan disesuaikan secara terus-menerus sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan dari mata uang tersebut. 3. Sistem Mengambang Terkendali (managed floating) Sistem nilai tukar ini berada di antara sistem tetap dan mengambang bebas. Nilai tukar dibiarkan mengambang dari hari ke hari dan tidak ada batasan-batasan resmi. Hal ini hampir sama dengan sistem tetap, akan tetapi pemerintah sewaktu-waktu dapat melakukan intervensi untuk menghindarkan fluktuasi yang terlalu jauh dari mata uangnya. 4. Sistem Terpatok (pegged) Sistem nilai tukar terikat (pegged exchange rate), di mana mata uang lokal diikatkan nilainya pada sebuah valuta asing atau pada sebuah jenis mata uang tertentu. Nilai mata uang lokal akan mengikuti fluktuasi dari nilai mata uang yang dijadikan ikatan tersebut. Beberapa faktor penting yang mempunyai pengaruh dalam permintaan dan penawaran suatu valuta menurut Sukirno (2004) yaitu : 1. Perubahan dalam cita rasa masyarakat. Bila penduduk suatu negara lebih menyukai barang-barang dari negara lain, maka nilai mata uang asing tersebut akan semakin baik. 26 2. Perubahan harga dari barang-barang ekspor. Semakin tinggi harga barang yang akan diekspor, semakin turun nilai mata uang pengekspor tersebut. 3. Kenaikan harga-harga umum (inflasi) Semakin tinggi inflasi negara pengeskpor semakin turun nilai mata uang negara tersebut. 4. Perubahan dalam tingkat bunga dan tingkat pengembalian investasi. Semakin tinggi tingkat bunga investasi di negara tersebut semakin tinggi nilai mata uang tersebut. 5. Pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak nilai ekspor suatu negara semakin tinggi nilai mata uang negara tersebut. Menurut Madura (2006), ada dua faktor yang mempengaruhi nilai tukar yakni : • Tingkat inflasi relatif Besarnya keinginan untuk mendapatkan suatu mata uang, bukanlah untuk menyimpan tetapi untuk digunakan membayar pembelian barang-barang dari luar negeri. Sifat permintaan berkaitan erat dengan sifat permintaan ke atas barangbarang dari luar negeri tersebut. Kenaikan inflasi yang seketika dan dalam jumlah besar, akan mengakibatkan melonjaknya nilai impor di negara tersebut terhadap barang dan jasa dari luar negeri. Akibatnya, makin banyaknya satuan unit valuta asing yang dibutuhkan untuk membayar kegiatan impor itu. Dengan kata lain, permintaan banyaknya valuta asing di pasar valas tentu saja akan meningkat. Jika 27 impor terus-menerus dilakukan tanpa diimbangi dengan ekspor, maka kebutuhan valuta asing dalam negeri juga akan berkurang. • Tingkat suku bunga relatif yang berbeda di antara dua negara Tingkat suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga riil, yaitu selisih antara suku bunga nominal dengan laju inflasi, Menurut Lipsey, Ragan, Storer (2008), suatu tingkat bunga yang berubah, akan berdampak pada jumlah investasi pada suatu negara, baik yang dilakukan oleh investor dalam negeri maupun investor asing. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi jumlah supply dan demand terhadap valuta asing di dalam negeri. 2.8 Inflasi Menurut Tandelilin (2001) inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk secara keseluruhan. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan kepada barang lainnya. Menurut Case (2001), inflasi adalah kenaikan seluruh harga barang dan jasa pada periode waktu tertentu. Jenis-jenis inflasi menurut Karl (2001) adalah : • Demand Full Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan jumlah permintaan, yaitu terlalu kuatnya peningkatan permintaan agregat dari masyarakat terhadap komoditi – komoditi hasil produksi di pasar barang. • Cost Push Inflation yaitu inflasi yang diakibatkan karena kenaikan dalam hal biaya, ini digambarkan dengan bergesernya kurva penawaran agregat 28 ke arah kiri atas atau mengalami penurunan di mana diakibatkan karena harga faktor-faktor produksi, baik di dalam maupun luar negeri mengalami peningkatan. Naiknya harga faktor produksi ini berarti naiknya biaya produksi. Apabila biaya produksi naik maka hal ini akan menarik naiknya harga, karena harga akan ditetapkan untuk menutup laba yang diharapkan di atas biaya produksinya. • Stagflation yaitu inflasi yang terjadi pada waktu output barang mengalami penurunan seiring dengan harga yang meningkat • Hyperinflation yaitu inflasi yang terjadi karena peningkatan secara tepat dan berulang-ulang pada tingkatan harga dalam waktu atau periode tertentu. Tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan pembatasan moneter yang mengarah pada suku bunga yang tinggi sehingga menyebabkan harga obligasi jangka panjang dan saham menjadi lebih rendah. Hal yang pertama kali dilakukan pemerintah selaku pemegang otoritas moneter dalam menghadapi inflasi yang tinggi adalah dengan mengurangi jumlah uang yang beredar sebagai penyebab inflasi. Karena jumlah uang yang beredar nerkurang dan kebutuhan modal yang berupa uang tetapi jumlahnya akan semakin tinggi, maka permintaan terhadap uang akan naik melebihi jumlah uang yang ditwarakan sehingga tarif pinjaman menjadi tinggi. Karena suku bunga tinggi, maka harga obligasi yang telah diterbitkan sebelumnya dengan tingkat harga yang rendah akan jatuh hargaya dan harga saham pun akan lebih rendah karena pemilik modal lebih tertarik 29 menginvestasikan modalnya dalam bentuk deposito atau obligasi yang menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi. 2.9 Review Referensi dan Penelitian Terdahulu Penulis mencoba menyusun hubungan antara variabel-variabel seperti tingkat suku bunga Bank Indonesia, tingkat inflasi dan yield to maturity dari suatu obligasi. Dalam hal ini penulis menggunakan referensi dari informasi di media surat kabar, beberapa literatur dan penelitian sebelumnya. Menurut Arifin (2007) Inflasi mempengaruhi tingkat bunga (interest) rate, baik terhadap tingkat hasil real maupun tingkat bunga nominal. Tingkat bunga akan mempengaruhi kurva yield dan market return dari obligasi Deby Triana Wijaya dalam bisnis indonesia (2009) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan pasar modal suatu Negara adalah kondisi makroekonomi dan stabilitas politik Negara tersebut, misalnya kurs valuta asing (valas), cadangan devisa, inflasi, tingkat suku bunga deposito. Tingkat suku bunga dan sekuritas adalah dua faktor yang sering diperhatikan sebelum investor melakukan investasi, umumnya tingkat suku bunga mempunyai hubungan yang negative dengan harga sekuritas. Secara sederhana, jika suku bunga pasar meningkat, maka tingkat return yang disyaratkan investor atau suatu obligasi juga akan meningkat. Suku bunga merupakan besarnya imbalan yang harus dibayarkan atas penggunaan sejumlah uang. 30 Nana Oktavia Musliana dalam Bisnis indonesia (2010) menyatakan bahwa rupiah berpeluang melanjutkan penguatan nilai tukar terhadap dolar AS, terdorong investor asing yang bersikap bullish terhadap sejumlah aset di pasar berkembang. Suriyanto Chang, Kepala Tresuri Bank NISP dalam Kontan Online (2008), berpendapat bahwa, saat BI rate turun, yield SUN otomatis ikut luruh, dan sebaliknya harga SUN naik. Dalam laporan Debt Economic Research PT.Andalan Artha Advisindo Sekuritas (2008), diuraikan pendapat tentang hubungan ekspektasi inflasi dengan yield yaitu imbal hasil obligasi berkaitan dengan ekspektasi inflasi di masa datang. Ekspektasi inflasi yang semakin menurun akan menyebabkan yield obligasi pemerintah, juga akan mengalami penurunan. Demikian juga sebaliknya. Pada hasil penelitian Fauziah dan Setyarini (2004) yang menyatakan bahwa secara parsial laju inflasi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap yield to maturity tetap arah korelasinya sesuai dengan yang diharapkan yaitu positif. Wahyuningrum (2003) meneliti tentang pengaruh tingkat inflasi, suku bunga dan kurs dan laju pertumbuhan ekonomi terhadap return saham di bursa efek jakarta. Hasil yang diperoleh adalah inflasi, suku bunga dan kurs berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham, Sitorus (2004) pun melakukan penelitian terhadap saham pertambangan minyak dan gas bumi dan menyatakan bahwa variabel makro ekonomi (inflasi, kurs, suku bunga, dan uang beredar) berpengaruh secara simultan terhadap pengembalian (return) saham Bumi dan Medco. Sedangkan Lestiyono (2009) dalam penelitiannya menyatakan 31 bahwa variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap yield to maturity adalah kurs dan IHSG.