pendahuluan - IPB Repository

advertisement
16
PENDAHULUAN
Latar Belakang
World Declaration and Plan of Action yang dirumuskan pada
International Conference on Nutrition (FAO/WHO 1992), mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai akses setiap rumahtangga atau individu untuk dapat
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Dalam
sidang World Food Summit 1996, definisi ini diperluas dengan persyaratan
penerimaan pangan sesuai nilai budaya setempat (acceptable within given
culture).
Ketahanan pangan di Indonesia selama tiga dekade lalu berada dalam
kondisi yang relatif baik, yaitu ditunjukkan dengan ketersediaan pangan per
kapita meningkat dari 2000 kkal/hari pada tahun 1960 menjadi sekitar 2700
kkal/hari pada tahun 1990, dan tingkat kemiskinan menurun dari 40 persen pada
tahun 1976 menjadi 11 persen pada tahun 1996. Hal tersebut membawa dampak
pada peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi, pada tingkat nasional
maupun rumahtangga. Namun, krisis ekonomi yang telah menerpa Indonesia
pada akhir tahun 1990-an telah membawa dampak negatif terhadap ketahanan
pangan, kemiskinan dan status gizi masyarakat (Tabor et al. 2000).
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten termiskin di
Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Survei Rumahtangga Miskin Dinas Pertanian
Kabupaten Banjarnegara tahun 2007 yaitu sebesar 62,6 persen dan termasuk
dalam kategori wilayah risiko tinggi rawan pangan berdasarkan Peta Kerawanan
Pangan Departemen Pertanian tahun 2007. Terjadinya keadaan food insecurity
(rawan pangan) memberi konsekuensi pada menurunnya status gizi dan
kesehatan pada rumahtangga terutama bagi kelompok usia rawan, misalnya
anak balita. Memburuknya ketahanan pangan rumahtangga umumnya diikuti
dengan meningkatnya jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang.
Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007 menunjukkan
prevalensi Kurang Energi Protein (KEP) Nasional pada anak balita dengan status
gizi buruk sebesar 5,4 persen dan prevalensi status gizi kurang sebesar 13
persen. Sementara di Provinsi Jawa Tengah prevalensi status gizi buruk sebesar
4 persen dan prevalensi status gizi kurang sebesar 12 persen. Jumlah kasus gizi
buruk indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) di Kabupaten
Banjarnegara tahun 2008 meningkat dari 15 kasus pada bulan Januari menjadi
54 kasus pada bulan Desember (Dinkes Kabupaten Banjarnegara 2008).
17
Bila masalah KEP dibiarkan dan tidak segera ditanggulangi, maka
perkembangan pembangunan menjadi terhambat karena masalah gizi memiliki
dimensi yang luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga
masalah
sosial,
ekonomi,
budaya
dan
lingkungan.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan timbulnya masalah gizi antara lain adalah kemiskinan, daya beli,
pengetahuan gizi, besar keluarga, kebiasaan makan dan faktor lainnya (Suhardjo
1989a). Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata
terutama pada rumahtangga yang sangat miskin. Pemenuhan pangan akan lebih
mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Semakin besar jumlah
anggota rumahtangga, semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap
individu di dalamnya.
Masalah gizi kurang sangat erat hubungannya dengan kualitas dan
kuantitas pangan yang dikonsumsi (Berg 1986). Faktor yang sangat menentukan
kualitas pangan adalah tingkat pendapatan. Namun demikian, pertambahan
pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pola konsumsi pangan, karena
meningkatnya pengeluaran pangan atau pendapatan tidak selalu diikuti dengan
peningkatan kualitasnya. Hal ini dikarenakan peningkatan pengeluaran belum
tentu digunakan untuk pangan. Selain tingkat pendapatan, faktor sosial budaya
termasuk tabu atau pantangan makanan secara tidak langsung dapat
menyebabkan timbulnya masalah gizi kurang. Jika ditinjau dari konteks gizi,
bahan pangan yang dipantang tersebut seringkali justru mengandung zat gizi
yang baik untuk pertumbuhan.
Anak balita merupakan kelompok anggota rumahtangga yang paling
rentan terhadap kemungkinan kurang gizi. Kondisi balita sangat peka terhadap
jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Anak yang paling kecil
biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan, karena anak-anak
yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil
dibandingkan anggota rumahtangga yang lain, sehingga memperoleh bagian
yang terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi anak yang sedang tumbuh.
Menurut hasil penelitian, penderita KEP cenderung lebih banyak dan
parah di lingkungan rumahtangga yang hidup dalam kemiskinan dan rawan
pangan (Suhardjo 1989a). Umumnya rumahtangga ini memiliki daya beli kurang,
jumlah anak banyak disertai tingkat pengetahuan yang rendah, sehingga
kekurangan pangan yang dialaminya bersifat kronis dan pada akhirnya
mengakibatkan KEP pada anak-anak mereka. Tetapi penelitian yang dilakukan
18
oleh Sanjaya et al. (1999) di Jawa Barat, mengenai positive deviance
(penyimpangan positif) status gizi balita, bahwa pada keluarga yang kondisi
ekonominya rendah, faktor perawatan yang baik, akan mampu mengoptimalkan
status gizi balita. Dengan kata lain, anak-anak dengan keadaan gizi baik juga
ditemukan pada rumahtangga miskin atau yang kondisi ekonominya rendah.
Dengan adanya hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui
karakteristik rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan, pola konsumsi
pangan, adanya tabu makanan dan status gizi anak balita pada rumahtangga
yang tinggal di daerah rawan pangan serta hubungan hal-hal tersebut.
Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara pola konsumsi pangan dan tabu makanan dengan status gizi anak balita
pada rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan di Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah.
Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengetahui karakteristik rumahtangga (umur orang tua, besar keluarga,
pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi
pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan) dan karakteristik
balita (umur anak balita dan jenis kelamin).
2. Menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein anak balita.
3. Mempelajari pola konsumsi pangan anak balita.
4. Mengidentifikasi tabu makanan pada anak balita.
5. Mempelajari status gizi anak balita.
6. Mempelajari hubungan karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi
dan protein serta tabu makanan pada anak balita dengan status gizi balita.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan tentang hubungan antara pola konsumsi pangan dan tabu
makanan pada anak balita dengan status gizi anak balita, khususnya pada
rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan. Informasi ini sangat
bermanfaat
bagi
instansi
terkait
(misalnya
Dinas
Kesehatan,
Kantor
Pemberdayaan Masyarakat dan sebagainya) dalam merumuskan upaya
19
pemberdayaan masyarakat rawan pangan, terutama dalam hal perbaikan gizi
dan kesehatan. Diharapkan masyarakat dapat memperbaiki pola konsumsi
pangan, meski dalam keadaan rawan pangan.
Download