Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Kepuasan Kerja
Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari
tempatnya bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat
individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu. Semakin
banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka
semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.
Menurut Pangabean (2004) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
berikut:
“Kepuasan kerja merupakan tingkat keserasian antara apa yang diharapkan
dengan apa
yang dapat diperoleh, atau antara kebutuhan dan
penghargaan.”
Menurut Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai berikut :
“Kepuasan kerja merupakan perasaan positif tentang pekerjaan seseorang
yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan
tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan positif tentang
pekerjaan, sementara seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya
memiliki perasaan yang negatif. Keyakinan bahwa karyawan yang merasa
kepuasan terhadap pekerjaannya jauh lebih produktif daripada karyawan
yang tidak memiliki kepuasan kerja telah dijadikan prinsip dasar dalam
penilaian diantara manajer selama beberapa tahun belakangan ini.”
11
12
Menurut Rivai dan Jauvani (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
berikut :
“Kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas
perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam
bekerja.”
Menurut McShane dan Glinow (2008) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai berikut :
“Kepuasan kerja merupakan evaluasi individu tentang tugas dan konteks
pekerjaannya. Kepuasan kerja terkait dengan penilaian tentang
karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di
tempat kerja. Karyawan yang puas mempunyai penilaian yang baik tentang
pekerjaan mereka, berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka.
Kepuasan kerja merupakan sekumpulan sikap tentang aspek-aspek yang
berbeda dari tugas dan konteks pekerjaan.”
Menurut Noe et al (2011) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai berikut :
“Kepuasan kerja meruapakan perasaan senang sebagai akibat persepsi
bahwa pekerjaan seseorang memenuhi atau memungkinkan terpenuhinya
nilai-nilai kerja penting bagi orang itu.”
Definisi ini merefleksikan tiga aspek penting, yaitu:
1. Kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang didefinisikan sebagai apa
yang ingin diperoleh seseorang baik sadar maupun tidak sadar.
2. Beragam karyawan memiliki pandangan yang juga berbeda-beda
menyangkut nilai-nilai yang dirasa penting dan sangat berpengaruh
terhadap penentuan sifat dan derajat kepuasan mereka.
13
3. Persepsi individu bisa saja bukan merupakan refleksi yang sepenuhnya
akurat terhadap realitas, dan beragam orang bisa memandang situasi yang
sama secara berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan
kepuasan kerja akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaan serta
tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya karyawan yang
merasa tidak puas dalam pekerjaannya cenderung memiliki pikiran untuk keluar,
mengevaluasi alternatif pekerjaan yang lain dan berkeinginan untuk keluar karena
berharap mendapatkan pekerjaan yang memuaskan. Kepuasan kerja menjadi
urgent untuk diketahui oleh setiap pemimpin baik pimpinan pada posisi atas
manajemen maupun manajemen menengah.Pentingnya bagi para manajer dan
peneliti, sehubungan dengan fakta bahwa kepuasan kerja memiliki potensi untuk
mempengaruhi secara luas perilaku dalam organisasi dan berperan untuk
kesejahteraan karyawan.
2.1.1.1 Teori Kepuasan Kerja
Teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal menurut Rivai (2004)
adalah :
1. Teori ketidaksesuaian (Discrepancy theory)
Teori ini mengukur kepuasan kerja sesorang dengan menghitung selisih
antara sesuatu yang seharusnya dengan yang dirasakan. Sehingga apabila
kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan
menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan
discrepancy yang positif.
14
2. Teori keadilan (Equity theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,
tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (Equity) dalam suatu situasi,
khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori
keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah
faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya,
seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan
atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya.
Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan
yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti upah/gaji, keuntungan
sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil
atau aktualisasi diri.
3. Teori dua faktor (Two factor theori)
Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan
hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu
bukan suatu variabel yang kontinyu. Teori ini merumuskan karakteristik
pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies (motivator) dan
dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan
sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaan : pekerjaan
yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi,
kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Dissatisfies (hygiene
faktor) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang
15
terdiri dari : gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja
dan status.
2.1.1.2 Jenis-Jenis Kepuasan Kerja
Menurut Samad (2006) menyebutkan bahwa kepuasan kerja dapat dibagi
menjadi tiga jenis variasi yaitu intrinsic, extrinsic, dan general satisfaction.
Berikut ini merupakan penjelasan ketiga jenis variasi kepuasan kerja tersebut :
a. Intrinsic Satisfaction
Intrinsic satisfaction mengacu kepada kinerja karyawan, aktualisasi diri,
serta rasa keberhasilan, seperti kebebasan berkreasi dalam bekerja dan
kejelasan tugas.
b. Extrinsic Satisfaction
Extrinsic satisfaction merupakan bentuk penghargaan yang diberikan
organisasi kepada karyawan.
c. General Job Satisfaction
General job satisfaction merupakan kumpulan rasa kepuasan karyawan
terhadap berbagai jenis pekerjaan yang pernah dikerjakanya.
2.1.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja akan mendorong karyawan untuk berprestasi lebih baik.
Prestasi yang lebih baik akan menimbulkan imbalan ekonomi dan psikologi yang
lebih tinggi. Apabila imbalan tersebut dipandang pantas dan adil maka timbul
kepuasan yang lebih besar karena karyawan merasa bahwa mereka menerima
imbalan sesuai dengan prestasinya. Sebaliknya apabila imbalan dipandang tidak
sesuai dengan tingkat prestasi maka cenderung timbul ketidakpastian. Kepuasan
16
kerja tergantung kesesuaian atau keseimbangan antara yang diharapkan dengan
kenyataan. Ada lima faktor penentu kepuasan kerja yang disebut dengan job
descriptive index (JDI) menurut Gibson et al (2009) yaitu :
1. Pekerjaan itu sendiri
Tingkat
dimana
sebuah
pekerjaan
menyediakan
tugas
yang
menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan
tanggung jawab. Hal ini menjadi sumber mayoritas kepuasan kerja.
2. Gaji
Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang di
terima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan tenaga kerja dan
bagaimana gaji di berikan. Upah dan gaji diakui merupakan faktor yang
signifikan terhadap kepuasan kerja. Dengan mengunakan teori keadilan,
orang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu
besar mengalami distress (ketidakpuasan), yang penting ialah sejauh mana
gaji yang di terima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan adil akan
didasarkan pada tuntutan perkerjaan, tingkat keterampilan individu dan
standar gaji yang berlaku serta perbedaan tingkat pendidikan maka akan
ada kepuasan kerja.
3. Kesempatan atau Promosi
Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan
pengembangan kerja, serta terbukanya kesempatan untuk kenaikan
jabatan.
17
4. Supervisor
Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku
dukungan. Hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan yang positif
memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan.
Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu
tenaga kerja untuk memuaskan nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga
kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai yang serupa. Tingkat kepuasan kerja
yang paling besar dengan atasan adalah jika keduanya memiliki hubungan
positif.
5. Rekan kerja
Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan sosial akan
terpenuhi dengan adanya rekan kerja yang mendukung karyawan. Jika ada
karyawan yang mempunyai konflik dengan sesama rekan kerja mereka,
maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja karyawan tersebut.
Kepuasan kerja karyawan banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam
kepemimpinan. Kepemimpinan berpartisipasi memberikan kepuasan kerja
bagi karyawan. Kepuasan kerja karyawan juga merupakan kunci
pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam
mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.
18
Menurut Veithzal (2004) faktor–faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang
karyawan adalah sebagai berikut :
1. Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol
terhadap pekerjaan
2. Supervisi
3. Organisasi dan manajemen
4. Kesempatan untuk maju
5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya
insentif
6. Rekan kerja
7. Kondisi pekerjaan
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) ada lima faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja yaitu sebagai berikut :
1. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Perbedaan (Discrepancies)
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang
diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa
yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila
menerima manfaat diatas harapan.
19
3. Pencapaian nilai (Value attainment)
Kepuasan
merupakan
hasil
dari
persepsi
pekerjaan
memberikan
pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4. Keadilan (Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di
tempat kerja.
5. Komponen genetik (Genetic components)
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini
menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk
Menurut Robbins (2001) faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja
adalah :
1. Kerja yang secara mental menantang.
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
mereka kesempatan untuk maju menggunakan keterampilan dan
kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan
umpan balik mengenai betapa baiknya mereka bekerja. Karakteristik ini
membuat kerja secara mental menantang.
2. Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang
bersifat adil, tidak bermakna ganda dan sejalan dengan harapan mereka.
Upah dan promosi dapat menghasilkan kepuasan jika didasarkan pada
tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan
secara umum.
20
3. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik.
4. Rekan kerja yang mendukung
Rekan kerja yang ramah dapat menimbulkan kepuasan kerja yang akan
meningkat termasuk pula penyelia yang bersikap ramah dan menawarkan
pujian untuk kinerja yang baik dapat meningkatkan kepuasan kerja.
5. Kesesuaian antara kepribadian-pekerjaan.
Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seseorang karyawan dan
okupasi akan menghasilkan seseorang individu terpuaskan.
6. Disposisi genetik individu.
Disposisi seseorang terhadap hidup-positif atau negatif ditentukan oleh
bentukan genetisnya, bentukan sepanjang waktu, dan dibawa serta
kedalam disposisinya terhadap kerja.
2.1.1.4 Konsekuensi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja perlu dipantau dampaknya dengan mengaitkan kepada
output yang dihasilkan. Mengenai konsekuensi kepuasan kerja, menurut Davis
dan Newstrom (2002) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
1. Absenteeism
Kepuasan kerja (job sataisfaction) karyawan yang tinggi cenderung untuk
tidak sering absen dan karyawan yang kurang puas cenderung lebih sering
absen.Absen karyawan juga disebabkan karena sakit, dan izin.
21
2. Labor turnover
Kepusan kerja (job satisfaction) yang lebih tingi berkaitan erat dengan
rendahnya tingkat perputaran karyawan (labor turnover). Para karyawan
yang merasa lebih puas, kemungkinan besar akan lebih lama bertahan,
sebaliknya para karyawan yang kurang puas biasanya menunjukkan
tingkat perputaran karyawan yang tinggi.
2.1.1.5 Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja
Dalam suatu organisasi ketidakpuasan kerja dapat dilakukan melalui
berbagai cara, menurut Robins and Judge (2007) menerangkan ada 4 respon
yang berbeda satu sama lain dalam 4 dimensi yaitu dimensi konstruktif dan
destruktif serta dimensi aktif dan pasif dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Exit
Ketidakpuasan
ditunjukkan
melalui
perilaku
dengan
cara
meninggalkan organisasi dan berusaha mencari posisi baru.
2. Voice
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan
konstruktif untuk memperbaiki keadaan termasuk menyarankan
perbaikan serta mendiskusikan masalah dengan atasan dan
membentuk berbagai aktivitas perserikatan.
3. Loyalty
Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif tetapi optimistik dengan
menunggu kondisi untuk memperbaiki ketidakpuasan dengan
berbicara
dengan
organisasi
dan
mempercayai
organisasi
22
melakukan hal yang benar.
4. Neglect
Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara
pasif
membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau
keterlambatan.Secara tidak langsung akan mengurangi kinerja kerja
dan meningkatkan tingkat kesalahan.
2.1.1.6 Meningkatkan Kepuasan Kerja
Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan
perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan
pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang
disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan
adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan
sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktik untuk
para pekerja yang menerima tugastugas tambahan dan bervariasi dalam
usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari
sekedar anggota dari organisasi.
2. Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem pembayaran
ini dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay),
yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan pengetahuan
dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua
dilakukan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana
23
pekerja digaji berdasarkan performance, pencapaian finansial pekerja
berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Pembayaran
yang ketiga adalah Gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada
keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota
kelompok).
3. Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada
para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting
untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak bisa
bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab
pada anak-anak. Compressed work week (pekerjaan mingguan yang
dipadatkan), dimana jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedang
jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Para pekerja dapat
memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari hari Senin hingga
Jum’at, sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan.
Cara yang kedua adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang
pekerja menjalankan sejumlah jam khusus per minggu (Flextime), tetapi
tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan mengakhiri pekerjaannya.
4. Mengadakan
program
yang
mendukung,
perusahaan
mengadakan
program-program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para
karyawan, seperti; health center, profit sharing, dan employee sponsored
child care.
24
2.1.2
Keadilan Organisasi
Keadilan
organisasional
digunakan
untuk
mengkategorikan
dan
menjelaskan pandangan dan perasaan pekerja tentang sikap mereka sendiri
danorang lain dalam organisasi, dan hal itu dihubungkan dengan pemahaman
mereka dalam menyatukan persepsi secara subyektif yang dihasilkan dari hasil
keputusan yang diambil organisasi, prosedur dan proses yang digunakan untuk
menuju pada keputusan-keputusan ini serta implementasinya.
Menurut Koopman (2003) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai
berikut :
“Keadilan organisasi adalah hasil persepsi subyektif individu atas
perlakuan yang diterimanya dibanding dengan orang lain di sekitarnya.
Dalam literatur perilaku organisasi, konsep keadilan dibagi menjadi tiga,
yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional.”
Menurut Tabibnia et al (2008) mendefinisikan keadilan organisasional
sebagai berikut :
“Keadilan organisasional dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan
persepsi gaji yang adil, kesempatan yang sama untuk mendapatkan
promosi kenaikan jenjang karir dan prosedur seleksi yang benar.”
Karyawan akan mengevaluasi keadilan organisasional dalam tiga
klasifikasi peristiwa berbeda, yakni hasil yang mereka terima dari organisasi
(keadilan distributif), kebijakan formal atau proses dengan mana suatu pencapaian
dialokasikan (keadilan prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil
keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan interaksional) (Cropanzano et
al, 2000).
25
2.1.3
Keadilan Distributif
Pada awalnya keadilan distributif dikenal sebagai teori keadilan (Adams,
1965; dalam Panggabean, 2010). Teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan
menilai keadilan dengan cara membandingkan outcomes yang ia terima dengan
inputs yang ia berikan dan kemudian membandingkannya dengan outcomes dan
inputs dari yang dijadikan pembanding.
Menurut Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan keadilan distributif
sebagi berikut :
“Keadilan distributif sebagai keadilan jumlah dan penghargaan yang
dirasakan diantara individu-individu.”
Menurut Noe et al (2011) mendefinisikan keadilan distributif sebagi
berikut :
“Keadilan imbalan atau keadilan distributif sebagai penilaian yang dibuat
orang terkait imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang diterima
orang lain yang menjadi acuannya.”
2.1.3.1 Dimensi Keadilan Distributif
Menurut Cropanzano et al (2007) menyebutkan bahwa keadilan distributif
teridiri dari 3 dimensi yaitu sebagai berikut :
1. Keadilan
Menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya.
2. Persamaan
Menyediakan kompensasi bagi setiap karyawan yang secara garis besar
sama.
26
3. Kebutuhan
Menyediakan benefit berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang.
2.1.4
Keadilan Prosedural
Teori tentang keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur
yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil-hasil dan sumberdayasumber daya organisasi kepada para anggotanya. Para peneliti umumnya
mengajukan dua penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari
pengaruh keadilan prosedural, yaitu: kontrol proses atau instrumental dan
perhatian-perhatian relasional atau komponen struktural. Perspektif kontrol
instrumental atau proses berpendapat bahwa prosedur-prosedur yang digunakan
oleh organisasi akan dipersepsikan lebih adil manakala individu yang terpengaruh
oleh suatu keputusan memiliki kesempatan-kesempatan untuk mempengaruhi
proses-proses penetapan keputusan atau menawarkan masukan (Taylor dalam
Pareke, 2003).
Menurut Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan keadilan prosedural
sebagi berikut :
“Keadilan prosedural merupakan keadilan yang dirasakan dari proses yang
digunakan untuk menentukan distribusi imbalan.”
Menurut Noe et al (2011) mendefinisikan keadilan prosedural sebagi
berikut :
“Keadilan prosedural merupakan konsep keadilan yang berfokus pada
metode yang digunakan untuk menentukan imbalan yang diterima.”
27
Perspektif komponen-komponen struktural mengatakan bahwa keadilan
prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan
prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi
yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar
dalam organisasi (Gilliland dalam Pareke, 2003).
2.1.4.1 Dimensi Keadilan Prosedural
Menurut Cropanzano et al (2007) menyebutkan bahwa keadilan prosedural
teridiri dari 6 dimensi yaitu sebagai berikut :
1. Konsistensi
Semua karyawan diperlakukan sama.
2. Kurangnya Bias
Tidak ada orang atau kelompok yang diistimewakan atau diperlakukan
tidak sama.
3. Keakuratan
Keputusan dibuat berdasarkan informasi yang akurat.
4. Pertimbangan wakil karyawan
Pihak-pihak terkait dapat memberikan masukan untuk pengambilan
keputusan.
5. Koreksi
Mempunyai proses banding atau mekanisme lain untuk memperbaiki
kesalahan.
6. Etika
Norma pedoman profesional tidak dilanggar.
28
2.1.5
Keadilan Interaksional
Aspek terakhir dari keadilan organisasional adalah keadilan interaksional
dan mungkin yang paling sederhana diantara ketiga aspek ini (Cropanzano et al,
2007). Menurut Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan keadilan interaksional
sebagi berikut :
“Keadilan interaksional merupakan persepsi individu tentang tingkat
sampai dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh martabat,
perhatian, dan rasa hormat.”
Menurut Greenberg (1987) terdapat
dua
aspek dalam
keadilan
interaksional, yaitu informasional dan interpersonal. Keadilan informasional
adalah persepsi individu tentang keadilan informasi yang digunakan sebagai dasar
pembuatan keputusan, sedangkan keadilan interpersonal adalah sebagaimana yang
didefinisikan oleh Robbins dan Judge (2008) di atas.
Menurut Tyler (Yuwono dkk, 2005) menyebutkan ada tiga hal penting
yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, yaitu :
1. Pertama adalah Penghargaan
Khususnya penghargaan kepada status seseorang, hal ini tercermin
dalam bentuk perlakuan.Lebih khusus lagi adalah bentuk perlakuan
atau tindakan dari orang yang berkuasa (pimpinan) terhadap anggota
kelompoknya.Apabila makin baik kualitas perlakuan pimpinan
terhadap para anggota maka interaksinya dinilai makin adil oleh
anggotanya.
29
2. Kedua adalah Netralitas
Konsep ini berkembang karena butuh keterlibatan pihak ketiga
manakala ada masalah hubungan social antara suatu pihak dengan
pihak yang lain. Netralitas dalam keputusan atas konflik kedua belah
pihak dapat tercapai manakala dasar-dasar dalam pengambilan
keputusan lebih banyak menggunakan fakta dan bukan opini, apalagi
fakta yang ditampilkan mempunyai nilai objektifitas yang tinggi juga
punya validitas yang tinggi pula.
3.
Ketiga adalah Kepercayaan
Hal ini banyak dikaji pada aspek keadilan interaksional. Kepercayaan
seriong didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan
hubungan social, yang didalamnya mencakup resiko yang berkaitan
dengan harapan tersebut.
2.1.5.1 Dimensi Keadilan Interaksional
Menurut Cropanzano et al (2007) menyebutkan bahwa keadilan
interaksional teridiri dari 2 dimensi yaitu sebagai berikut :
1. Keadilan interpersonal
Memperlakukan seorang karyawan dengan martabat, perhatian, dan rasa
hormat
2. Keadilan informasional
Berbagi informasi yang relevan dengan karyawan
30
2.2
Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki visi dan misi tertentu yang
harus dicapai, salah satunya adalah untuk memperoleh profit (profit oriented).
Untuk dapat mencapai setiap tujuan perusahaan tersebut, mendorong para
manajemen perusahaan agar dapat memaksimalkan kinerja karyawannya dalam
mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini kinerja adalah melakukan suatu
kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan
hasil seperti yang diharapkan (Widodo, 2006).
Tuntunan yang datang dari pihak perusahaan terhadap karyawan untuk
dapat
memaksimalkan
kinerjanya
dalam
mencapai
tujuan
perusahaan,
menimbulkan pula harapan para karyawan agar perusahaan dapat memberikan
timbal balik (feedback) atas hasil kinerja yang telah dicapai perusahaan. Setiap
karyawan yang telah bekerja secara maksimal akan mengharapkan timbal balik
(feedback) agar perusahaan dapat memberikan dan mencukupi segala kebutuhan
karyawan. Maka dalam hal ini perusahaan diharapkan dapat memperhatikan
kebutuhan para karyawan sebagai bentuk timbal balik (feedback) atas kinerja
karyawan, karena hal tersebut akan memimbulkan kepuasan kerja pada diri setiap
karyawan yangtelah bekerja secara maksimal.
Kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas
perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja
(Rivai dan Jauvani, 2009). Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang
sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seseorang
merasakan kepuasan dalam bekerja, ia akan berupaya semaksimal mungkin
31
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas
pekerjaannya. Efektivitas dan produktivitas organisasi sangat dipengaruhi oleh
kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja akan menimbulkan penurunan semangat
dan gairah kerja (Nitisemito, 1992). Hal tersebut terkait bagaimana karyawan
merasakan pekerjaan mereka dan memberi dampak terhadap perilaku kerja
lainnya, seperti: organizational citizenship, ketidakhadiran, dan intensi keluar.
Lebih jauh lagi, kepuasan kerja dapat menjadi mediator yang menghubungkan
dengan variabel-variabel kepribadian dan perilaku menyimpang di tempat kerja.
Berbagai perilaku menyimpang seperti datang terlambat, mengabaikan
perintah atasan, atau menggunakan barang perusahaan di luar kewenangannya
merupakan bentuk penyimpangan yang dilakukan secara sadar untuk mengganggu
perusahaan (Aquino et al, 1999). Pada akhirnya ketidakadilan hanya akan
menghilangkan ikatan di antara anggota organisasi, sangat menyakitkan bagi
individu, dan berbahaya bagi perusahaan (Cropanzano et al, 2007).
Terdapat tiga alasan mengapa karyawan peduli terhadap masalah keadilan.
Pertama, manfaat jangka panjang, karyawan lebih memilih keadilan yang
konsisten daripada keputusan seseorang, karena dengan keadilan tersebut
karyawan dapat memprediksi hasil di masa yang akan datang. Karyawan juga mau
menerima imbalan yang tidak menguntungkan sepanjang proses pembayarannya
adil dan mendapat perlakuan yang bermartabat. Kedua, pertimbangan sosial,
setiap orang mengharapkan diterima dan dihargai oleh pengusaha tidak dengan
cara kasar dan tidak dieksploitasi. Ketiga, pertimbangan etis, orang percaya bahwa
32
keadilan merupakan cara yang secara moral tepat dalam memperlakukan
seseorang (Cropanzano et al, 2007).
Keadilan organisasional berpusat pada dampak dari pengambilan
keputusan manajerial, persepsi kualitas, efek keadilan, hubungan antara faktor
individu dan situasional serta menjelaskan persepsi keadilan individu dalam
organisasi (Greenberg dan Bies, 1992). Keadilan organisasional telah dibuktikan
menjadi anteseden bagi sikap dan perilaku karyawan. Sehingga konsep keadilan
organisasional dan konsekuensinya perlu dipahami oleh para pengelola sumber
daya manusia.
Konsep ini penting bagi organisasi yang ingin mengembangkan kebijakan
dan prosedur yang lebih dilembagakan. Salah satu sikap karyawan yang banyak
menjadi bahan penelitian dihubungkan dengan keadilan organisasional adalah
kepuasan kerja. Karyawan akan mengevaluasi keadilan organisasional dalam tiga
klasifikasi peristiwa berbeda, yakni hasil yang mereka terima dari organisasi
(keadilan distributif), kebijakan formal atau proses dengan mana suatu pencapaian
dialokasikan (keadilan prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil
keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan interaksional) (Cropanzano et
al, 2000). Keadilatn organisasi yang terdiri dari keadilan distributif, keadilan
prosedural, dan keadilan interaksional merupakan faktor penting yang harus
diimplementasikan oleh perusahaan agar menimbulkan kepuasan kerja bagi para
karyawan, hal tersebut akan berimbas denganmeningkatnyakinerja para karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peniliti akan menggambarkannya dalam
sebuah skema paradigma pemikiran dan kerangka pemikiran sebagai bentu alur
33
pemikiran peniliti atas masalah yang sedang diteliti. Adapun skema tersebut
digambarkan sebagai berikut :
Perusahaan
Profit (Keuntungan)
Kinerja Perusahaan
Menigkatkan Kinerja
Karyawan
Feedback (Timbal Balik)
Keadilan Organisasi
Keadilan Prosedural
Keadilan Distributif
1. Keadilan
2. Persamaan
3. Kebutuhan
1.
2.
3.
4.
Konsistensi
Kurangnya Bias
Keakuratan
Pertimbangan Wakil
Karyawan
5. Koreksi
6. Etika
7.
Kepuasan Kerja
Karyawan
1.
2.
3.
4.
5.
Pekerjaan itu Sendiri
Gaji
Kesempatan atau Promosi
Supervisor
Rekan Kerja
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Keadilan Interaksional
1. Keadilan
Interpersonal
2. Keadilan
Informasional
3.
34
Keadilan Distributif
(X1)
Keadilan Prosedural
(X2)
Kepuasan Kerja
(Y)
Keadilan
Interaksional
(X3)
Gambar 2.2
Paradigma Penelitian
2.2.1
Penelitian Terdahulu
Berikut ini akan disajikan beberapa rangkuman mengenai penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan judul dalam penelitian ini yaitu “Pengaruh
Keadilan Distributif, Keadilan Prosedural, dan Keadilan Interaksional Terhadap
Kepuasan Kerja Karyawan.”
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
No
1.
Penulis
Hasmarini
dan
Yuniawan
(2008)
Judul
Pengaruh
keadilan
distributif dan
prosedural
terhadap
kepuasan kerja
dan komitmen
afektif
Kesimpulan/Hasil
Hasil penelitian menunjukan
bahwa keadilan prosedural
dan keaditan distributif
memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap
kepuasan
kerja,
yang
kemudian kepuasan kerja
mempengaruhi komitmen
afektil secara positif dan
signifikan.
Keadilan
Persamaan
Persamaannya
adalah sama-sama
meniliti keadilan
distributif
dan
keadilan
prosedural
terhadap
kepuasan kerja.
Perbedaan
Perbedaannya
adalah
pada
penelitian
sebelumnya
menggunakan
komitmen
afektif,
sedangkan
dalam penelitian
ini
35
2.
3.
Pengaruh
keadilan
dan Hakim
organisasional
terhadap
(2010)
kepuasan kerja
karyawan FEUII
Suhartini
Budiarto
dan
Wardani
(2005)
Peran keadilan
distributif,
keadilan
proseduran dan
keadilan
interaksional
terhadap
komitmen
karyawan pada
perusahaan
prosedural maupun keadilan
distributif
memiliki
pengaruh tidak langsung
terhadap komitmen afektif
melalui kepuasan kerja.
Untuk pengaruh langsung
hanya keadilan distributif
yang
mempengaruhi
komitmen afektif secara
positif
dan
signifikan,
sedangkan
keadilan
prosedural hanya memberi
pengaruh
positif
ke
komitmen afektif akan
tetapi tidak signifikan.
Hasil
penilitiannya
menunjukan bahwa secara
parsial keadilan distributif
dan keadilan interaksional
berpengaruh positif dan
signifikan
terhadap
kepuasan kerja karyawan,
sedangkan
keadilan
prosedural
berpengaruh
positif
tetapi
tidak
signifikan. Selain itu secara
simultan
ketiganya
berpengaruh
signfikan
terhadap kepuasan kerja
karyawan.
Hasil
penelitiannya
menunjukan bahwa keadilan
distributif,
prosedural dan interaksional
perusahaan
secara
bersama-sama
berpengaruh terhadap
komitmen karyawan.
Sedangkan untuk simpulan
minor, keadilan distributif
perusahaan lebih dominan
mempengaruhi
komitmen
karyawan
dibandingkan
keadilan
interaksional dan
prosedural.
menggunakan
keadilan
interaksional.
Persamaannya
adalah sama-sama
menggunakan
keadilan
distributif,
keadilan
prosedural, dan
keadilan
interaksional
terhadap
kepuasan kerja.
Perbedaannya
adalah
pada
penelitian
sebelumnya
menggunakan
komitmen
afektif,
sedangkan
dalam penelitian
ini
menggunakan
keadilan
interaksional.
Persamaannya
adalah sama-sama
menggunakan
keadilan
distributif,
keadilan
prosedural
dan
keadilan
interaksional
Perbedaanya
adalah
pada
penelitiannya
sebelumnya
menggunakan
komitmen
karyawan,
sedangkan pada
penelitian
ini
mengunakan
kepuasan kerja
karyawan.
36
4.
Kadarudin
(2012)
5
Kristanto
(2013)
Pengaruh
keadilan
distributif,
keadilan
proseduran dan
keadilan
interaksional
terhadap
kepuasan
pegawai pajak
Hasil
pnelitiannya
menunjukan
bahwa
Keadilan disributif, keadilan
prosedural, dan keadilan
interaksional secara parsial
dan
secara
simultan
berpengaruh
signifikan
terhadap kepuasan kerja
pegawai Direktorat Jenderal
Pajak di Kota Makassar.
Keadilan distributif
mempunyai pengaruh yang
paling dominan.
Pengaruh
Hasil
penelitiannya
keadilan
menunjukkan
bahwa
organisasional
keadilan distributif tidak
terhadap
signifikan
terhadap
kepuasan kerja kepuasan kerja, keadilan
dan dampaknya prosedural dan
keadilan
terhadap
Interaksional berpengaruh
komitmen
terhadap
intensi keluar
kepuasan kerja,
kepuasan kerja berpengaruh
terhadap komitmen, dan
kepuasan kerja
berpengaruh
terhadap
intensi keluar.
Persamaannya
adalah sama-sama
menggunakan
keadilan
distributif,
keadilan
proseduran, dan
keadilan
interaksional
terhadap
kepausan pegawai
Perbedaanya
adalah terletak
pada responden
dan
subjek
penlitian yang
diteliti
Persamaannya
adalah sama-sama
menggunakan
keadilan
distributif,
keadilan
proseduran, dan
keadilan
interaksional
terhadap
kepausan
kerja
karyawan
Perbedaanya
adalahpada
penelitian
sebelumnya
mengunakan
komitmen dan
intensi keluar,
sedangkan pada
penelitian
ini
tidak
menggunakan
variabel
tersebut.
2.3
Hipotesis Penelitian
2.3.1
Hubungan Keadilan Distributif Dengan Kepuasan Kerja Karyawan
Keadilan imbalan atau keadilan distributif sebagai penilaian yang dibuat
orang terkait imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang diterima orang
lain yang menjadi acuannya (Noe et al, 2011). Dengan adanya keadilan distributif,
penialai terhadap karyawan atau imbalan yang diberikan keapda masing-masing
karyawan dalam suatu kelompok sesuai dengan tingkat kinerja karyawan yang
ditunjukan. Keadilan distributif sebagai penilaian mengenai seberapa adilnya
37
peraturan-peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan hasil yang diterima
seseorang (Lind dan Tyler, 1988).
Kewajaran merupakan norma yang fundamental, seorang individu akan
merasakan ketidakwajaran ketika alokasi hasil antara para anggota tidak
sebanding dengan kontribusi yang diberikan individu. Meskipun demikian
keadilan distributif tidaklah sepenuhnya dibangun oleh hasil yang mutlak, tetapi
dengan perbandingan proporsi yang dialokasikan kepada individu relatif dengan
proporsi yang dialokasikan ke anggota kelompok (Adams, 1965). Keadilan
distributif merupakan prediktor yang lebih kuat bagi kepuasan kerja dibanding
prosedural. Keadilan distributif merupakan prediktor penting bagi perilaku
personal karyawan, misalnya kepuasan kerja (McFarlin dan Sweeney, 1992). Hal
yang sama dikemukakan oleh Cohen-Carash dan Spector (2001) yang menyatakan
bahwa keadilan distributif merupakan prediktor yang paling kuat bagi kepuasan
kerja dibanding prosedural dan interaksional.
Jadi dengan adanya keadilan distributif yang diterapkan perusahaan dalam
memberikan penilaian atau imbalan harus sesuai dengan tingkat kinerja masingmasing individu dalam suatu kelompok, maka hal tersebut dapat memberikan
kepuasan kerja karyawan akan hasil yang diperoleh dan dirasa adil. Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
H1
: Keadilan distributif berpengaruh siginifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan
38
2.3.2 Hubungan Keadilan Prosedural Dengan Kepuasan Kerja Karyawan
Teori tentang keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur
yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil-hasil dan sumberdayasumber daya organisasi kepada para anggotanya. Keadilan prosedural merupakan
konsep keadilan yang berfokus pada metode yang digunakan untuk menentukan
imbalan yang diterima (Noe et al, 2011). Kepuasan kerja merupakan salah satu
akibat utama dari keadilan prosedural (Lind and Tyler, 1988).
Perspektif komponen-komponen struktural mengatakan bahwa keadilan
prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan
prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi
yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar
dalam organisasi (Gilliland dalam Pareke, 2003).
Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan
prosedural manakala aturan prosedural yang ada dalam organisasi dipenuhi oleh
para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur dalam organisasi itu
dilanggar maka individu akan mempersepsikan adanya ketidakadilan. Karenanya
keputusan harus dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-bias pribadi dengan
melibatkan sebanyak mungkin informasi yang akurat, dengan kepentingankepentingan individu yang terpengaruh terwakili dengan cara-cara yang sesuai
dengan nilai-nilai etis mereka, dan dengan suatu hasil yang dapat dimodifikasi.
Anggota organisasi akan merasa dihargai apabila prosedur yang
ditanamkan memperlakukan mereka dengan hormat dan adil, membuat lebih
39
mudah diterima meskip un mereka tidak menyukai hasil dari keputusan itu
sendiri, ini merupakan salah satu faktor terpenting didalam tempat kerja saat ini
dan akan berdampak pada kepuasan kerja karyawan. Puas
karyawan dengan system yang adapada
atau tidaknya
perusahaan ditentukan oleh persepsi
mereka tentang keadilan procedural (Greenberg, 1990). Dengan adanya keadilan
prosedural dalam hal ini akan memberikan rasa keadilam kepada karywan terkait
dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh perusahaan baik dalam
pengalokasian sumberdaya manusia yang sesuai atau imbalan yang akan diperoleh
karyawan, maka hal tersebut dapat memunculkan
kepuasan kerja karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H2 : Keadilan prosedural berpengaruh siginifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan
2.3.2 Hubungan
Keadilan
Interaksional
Dengan
Kepuasan
Kerja
Karyawan
Aspek terakhir dari keadilan organisasional adalah keadilan interaksional
dan mungkin yang paling sederhana diantara ketiga aspek ini (Cropanzano et al,
2007). Keadilan interaksional merupakan persepsi individu tentang tingkat sampai
dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh martabat, perhatian, dan
rasa hormat (Robbins dan Judge, 2008).
Menurut Greenberg (1987) terdapat
dua
aspek dalam
keadilan
interaksional, yaitu informasional dan interpersonal. Keadilan informasional
adalah persepsi individu tentang keadilan informasi yang digunakan sebagai dasar
40
pembuatan keputusan, sedangkan keadilan interpersonal adalah sebagaimana yang
didefinisikan oleh Robbins dan Judge (2008) di atas.
Keadilan interaksional dalam hal ini merupakan sejauh mana perusahaan
dalam memerikan rasa keadilan bagi karyawan baik dalam keadilan informasional
atau keadilan interpersonal. Perusahaan akan dianggap adil dalam membuat
keputusan dengan apabila informasi yang digunakan dalam pengambilan
keputusan sesuai dan akurat sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputuasan. Sedangkan keadilan interpersonal sendiri dirasakan adil apabila
perusahaan memperlakukan karyawan-karyawan sama dengan penuh rasa hormat,
perhatian dan martabat yang sama tanpa membeda-bedakan kedudukan atau posisi
karyawan dalam suatu organisasi. Karena pada dasarnya karyawan juga
merupakan mahluk yang sama secara sosial, sehingga akan sangat merasa dihargai
ketika perlakuan yang diberikan oleh perusahaan tidak membandingkan karyawan
satu dengan yang lainnya, sehingga hal tersebut dapat memberikan kepuasan kerja
karyawan.
Jadi dengan adanya keadilan interaksional yang diterapkan oleh
perusahaan yang terdiri dari keadilan interpersonal dan keadilan informasional,
maka hal tersebut dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawam. Jika semakin
tinggi keadilan interaksional yang diterapkan oleh perusahaan, maka akan
semakin tinggi pula kepuasan kerja karyawan. Berdasarkan uraian di atas, maka
hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H3 : Keadilan interaksional berpengaruh siginifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan
41
H4 : Keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional
berpengaruh siginifikan terhadap kepuasan kerja karyawan
Download