BAB II TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN 2.1. Telaah Teoritis Volatilitas (volatility)berasal dari kata dasar volatile(Restiyanto, 2009). Istilah ini mengacu pada kondisi yang berkonotasi tidak stabil, cenderung bervariasi dan sulit diperkirakan. Konotasi kuncinya adalah keragaman (variability) dan ketidakpastian (uncertainty). 2.1.1 Volatilitas Inflasi dari Sisi Moneter Inflasi merupakan fenomena yang dialami oleh semua negara. Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang secara umum(Mankiw, 2000). Menurut kaum monetaris, inflasi dinyatakan sebagai suatu fenomena moneter, artinya tingkat inflasi yang terjadi disebabkan oleh pertumbuhan penawaran uang, sehingga yang terjadi hanyalah perubahan tingkat harga, sedangkan tingkat output konstan (Mishkin, 2000:664). Pertumbuhan jumlah uang beredar yang cepat akan menyebabkan tingkat harga naik secara terus menerus sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi. Sebagian besar pembaca mungkin lebih akrab dengan pandangan moneter. Bank-bank sentral melakukan kebijakan moneter untuk mengendalikan pengeluaran agregat melalui suku bunga nominal. Jika suku bunga nominal rendah, rumah tangga dan perusahaan dapat meminjam lebih murah, sehingga dapat meningkatkan pengeluaran. Peningkatan pengeluaran harus menghasilkan produksi yang lebih tinggi dengan biaya produksi dan upah yang tinggi pula. Akibatnya, tingkat inflasi meningkat (Sukirno, 2006). Dengan demikian, salah satu peranan penting dari otoritas moneter yakni mengendalikan jumlah uang beredar. Analisis volatilitas inflasi semakin diperlukan dan penting ketika masyarakat dihadapkan pada situasi dan kondisi harga yang cenderung tidak stabil dan polanya semakin tidak teratur. Seperti kondisi yang terjadi di pasar barang di mana inflasi dipengaruhi dari sisi permintaan atau yang sering dikenal dengan istilah demand pull inflation (inflasi karena tarikan permintaan). Inflasi yang terjadi karena tarikan permintaan / Demand pull inflation ini menggambarkan bahwa permintaan agregat/Aggregat Demand (AD) lebih besar dari penawaran agregat / Aggregat Supply (AS). Salah satu contoh konkretnya adalah menjelang hari raya besar seperti lebaran maupun natal, di mana permintaan agregat (AD) meningkat sementara penawaran agregat (AS) tetap/konstan. Kenaikan jumlah permintaan agregat/AD ini akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga, lalu memicu terjadinya inflasi. Permintaan agregat/aggregat demand (AD)merupakan penjumlahan nilai pasar dari permintaan konsumsi oleh rumah tangga (C), permintaan oleh sektor bisnis akan barang-barang modal (I), permintaan akan barang-barang dan jasa oleh sektor pemerintah (G), dan permintaan oleh sektor luar negeri akan barang ekspor dan impor (X-M). Pengeluaran pemerintah (G) dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Dengan demikian, semakin tinggi permintaan agregat dari pemerintah untuk kebutuhan belanja daerah. Jika permintaan agregat terlalu besar, maka akan mendorong terjadinya inflasi di dalam perekonomian. 2.1.2 Volatilitas Inflasi dari Sisi Fiskal Sejalan dengan perkembangan teori inflasi, ternyata terdapat suatu teori yang menjelaskan bahwa inflasi bukan hanya semata-mata fenomena moneter, melainkan juga merupakan fenomena fiskal. Teori ini dikenal dengan teori fiskal tentang tingkat harga (Fiscal Theory of the Price Level / FTPL), (Hervino, 2009). Fiscal Theory of the Price Level / FTPL menjelaskan efek kekayaan atas utang pemerintah merupakan jalur tambahan dari pengaruh fiskal terhadap tingkat harga (inflasi), atau peningkatan utang pemerintah akan meningkatkan kekayaan rumah tangga konsumen, sehingga ada peningkatan permintaan akan barang dan jasa yang kemudian mendorong inflasi untuk naik. FTPL menjelaskan bahwa tingkat harga selain dipengaruhi oleh utang pemerintah, juga dipengaruhi oleh penerimaan pajak saat ini dan akan datang, serta oleh rencana belanja pemerintah tanpa adanya campur tangan langsung terhadap kebijakan moneter (Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2012). Menindaklanjuti teori FTPL tersebut, maka dalam penelitian ini penulis akan melihat volatilitas inflasi dari sisi fiskal dengan menggunakan variabel Utang Pemerintah Daerah. Sumber data telah menunjukkan bahwa terdapat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD dari masing-masing Provinsi yang nilainya bisa dikatakan cukup besar. Dengan besaran defisit yang ada, perlu dicermati langkah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam menutup besaran defisit tersebut1. Penulis akan memaparkan hasil korelasi yang menggambarkan keterkaitan antara defisit anggaran dengan utang pemerintah daerah berikut ini: Table 2.1 Korelasi antara Defisit Anggaran dengan Utang Pemerintah Daerahdi Indonesia Tahun 1999-2009 LOG(def) LOG(def) 1.0000 LOG(L) 0.3798 LOG(L) 1.0000 Keterangan : ~ Jumlah observasi (N) = 275. ~ Sumber : data diolah penulis, 2013. Hasil korelasi data panel di atas menunjukkan bahwa defisit anggaran (LOG(Def)) memiliki hubungandengan Utang Pemerintah Daerah (LOG(L)) sebesar 0.3798. Walaupun nilai korelasi dari kedua variabel tersebut tidak terlalu besar, namun ini menunjukkan bahwa adapun kebijakan dalam sumber pembiayaan ! #" " demi menutup defisit tersebut adalah pembiayaan melalui utang. Artinya, adanya defisit anggaran menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk berutang. Namun, pemerintah sangat berhati-hati dalam memberikan kebebasan kepada Daerah untuk melakukan utang guna meningkatkan kemampuan pembelanjaan daerah, terutama untuk utang yang berasal dari luar negeri. Sebab, penggunaan utang daerah untuk membiayai kegiatan pembangunan yang bersifat regional tersebut berpotensi menciptakan ketidakstabilan makro ekonomiNegara yang bersangkutan jika pinjaman tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik (Makro Ekonomi, Sukirno, 2006).Penulis berpendapat bahwa yang lebih membahayakan adalah ketika utang tersebut terlampau banyak dan semakin banyak maka tingkat pengeluaran pemerintah bertambah, dan bisa menyebabkan terjadi inflasi. 2.2. Model dan Hipotesis Penelitian 2.2.1 Model Penelitian Berikut ini penulis menggambarkan model penelitian yang dibangun dengan melihat pengaruh variabel moneter dan fiskal terhadap inflasi. Variabel Fiskal : Variabel Moneter : Money Supply(MS) Inflasi (IHK) Gambar 2.1. Model Penelitian Utang Pemerintah Daerah 2.2.2 Hipotesis Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 2.2.2.1. Variabel Jumlah Uang Beredar / Money Supply yang diproksi dengan posisi pinjaman Rupiah dan Valuta Asing Bank Umum dan BPR menurut lokasi proyek Provinsi (Miliar Rp) berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi daerah di Indonesia tahun 1999-2009. 2.2.2.2. Variabel Utang Pemerintah Daerah berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi daerah di Indonesia tahun1999-2009.